Bicara Itu Tidak Gratis

Antara Janji dan Kepercayaan
Janji itu Bukan Sekedar Bicara; dan Bicara itu Tidak Gratis
Dalam waktu beberapa bulan mendatang, kita kembali akan diramaikan oleh sejumlah
Pilkada. Kembali hingar bingar jargon politik dan janji dari para kontestan akan
membahana di berbagai daerah kabupaten. Jargon-jargon seperti “Kita Pasti Bisa”,
“Bersatu Kita Bangun Daerah”, “Pemerintahan Yang Bersih”, “Berantas Korupsi”,
“Reformasi Birokrasi”, dan “Pendidikan Gratis” akan mewarnai kampanye para
kontestan. Belum lagi kata-kata seperti “SEMARAK”, “SERASI”, “BERSINAR”,
“BERIMAN” yang selama ini menjadi motto bagi sejumlah daerah akan
dikumandangkan. Namun setelah pesta demokrasi daerah usai, maka jarang sekali jargon
dan janji yang akan terlaksana sepenuhnya. Bahkan motto daerah yang sudah dibuat sejak
jaman orde baru pun, sampai sekarang belum ada yang terbukti keberhasilannya.Semua
ini masih hanya dalam batas kata-kata yang diucapkan oleh para kontestan. Bila mereka
terpilih, maka semua itu juga akan usai. Semua ini hanya “alat” untuk memperoleh suara.
Sungguh amat mengenaskan nasib bangsa dan negara ini.
Semua yang diucapkan oleh para kontestan mempunyai nilai-nilai luhur dan patut
dijunjung tinggi untuk dijadikan pedoman dalam melakukan tindakan. Semua janji yang
diucapkan oleh para kontestan juga merupakan keinginan dari rakyatnya. Namun,
sebagaimana dengan “bicara itu gratis” atau “ngomong itu gampang” atau “NATO = No
Action Talk Only”, semua itu hanya tinggal janji yang tidak pernah ditepati. Yang patut
ditanyakan di sini, mengapa kita ini mudah sekali mengucapkan janji, padahal kita tidak

akan mampu untuk melaksanakannya? Contohnya, “Pendidikan Gratis” telah
dikumandangkan sejak dekade lalu. Namun kenyataannya sampai saat ini, tidak ada
pendidikan yang gratis. Bahkan biaya pendidikan semakin tinggi saja. Bagaimana
mungkin kita bisa melakukan pendidikan gratis, bilamana pendidik masih juga harus
bekerja sambilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya? Dengan pendidikan yang tidak
gratis saja nasib para pendidik masih mengenaskan, bagaimana nasib mereka bilamana
pendidikan digratiskan? Mungkin pendidikan bisa gratis, tapi para murid akan datang ke
sekolah yang tanpa guru, karena pendidik harus mencari nafkah di tempat lain.
Benarkah bicara itu mudah dan gratis? Bukankah ada ungkapan seperti misalnya
“mulutmu adalah harimaumu”; “lidahmu adalah pedangmu” atau “silence is golden”?
Sebagai orang yang beragama, kita juga tahu bahwa janji wajib dipenuhi. Janji yang
diucapkan bersifat mengikat, dan akan terus dituntut, baik di dunia maupun di kehidupan
nanti. Di dunia, bila kita tidak memenuhi janji, maka kita akan disebut sebagai orang
yang ingkar janji dan tidak bisa dipercaya. Di kehidupan nanti, janji berupa beban yang
harus dipertanggungjawabkan. Janji juga merupakan harapan bagi banyak orang,
terutama bagi “rakyat kecil” yang mengharapkan perbaikan kesejahteraan. Kalau janji
tidak kunjung dipenuhi, dapat menimbulkan hilangnya harapan. Bilamana sudah tidak
ada harapan, dapat menimbulkan rasa putus asa. Lebih buruk lagi, hilangnya harapan
dapat menjurus ke arah perbuatan anarki karena sudah tidak peduli lagi apa yang akan
terjadi, “nothing to lose”. Suatu keputusasaan yang sudah tidak lagi mempertimbangkan

baik buruknya suatu tindakan yang akan dilakukan. Sebagai kontestan terpilih, perbuatan

anarki ini dapat diperhitungkan sebagai bagian dari beban tanggungjawabnya sebagai
akibat tidak memenuhi janji yang bersangkutan.
Dengan kata lain, janji yang diucapkan, harus lah dipahami seperti kartu kredit. Belanja
dengan kartu kredit, berarti tidak perlu membayar seketika pada saat belanja. Tapi pada
saatnya nanti, tagihan penggunaan kartu kredit akan datang dan harus dibayar. Seberapa
besar penggunaan kartu kredit tersebut, jumlah itulah yang harus kita bayar. Boleh
dicicil, tapi minimum 10% dan terkena “financial charge” bulanan. Lebih kecil dalam
mencicil, semakin besar pula “financial charge” yang harus dibayar, dan semakin lama
pula akan dapat melunasi semua tagihan. Demikian pula dengan janji. Bila kita tidak bisa
menepati janji, maka suatu ketika pasti harus membayarnya. Kalaupun kita berusaha
mencicil pemenuhan janji tersebut, semakin kecil kita penuhi semakin lama pula kita
akan bisa memenuhijanji seluruhnya. Sedangkan, waktu yang tersedia untuk membayar
janji tersebut tidak dapat kita perhitungkan. Bagi kontestan terpilih, waktu yang tersedia
hanya 5 tahun. Bisa diperpanjang, namun pasti juga dengan janji baru pula. Tapi sebagai
manusia, dapat meninggalkan dunia kapan saja dan di mana saja.
Bila kita lihat dalam berbagai teori ilmu sosial, suatu hubungan antar manusia bisa terjadi
karena adanya komunikasi, terutama komunikasi verbal. Hubungan tersebut akan
menjadi semakin erat bilamana kedua belah pihak sudah bisa saling mempercayai.

Kepercayaan ini dinilai dari keselarasan antara apa yang diucapkan dengan tindakan yang
diwujudkan dalam menjalin hubungan. Apapun jenis hubungan sosial yang terbentuk,
namun jangka waktu dan intensitas hubungan antara kedua belah pihak tetap dipengaruhi
oleh faktor kepercayaan satu pihak terhadap pihak yang lain. Bilamana kepercayaan
pihak satu terhadap pihak lain luntur, maka mutu hubungan akan menurun, dan hubungan
tersebut dapat berakhir.
Bila seorang kontestan terpilih, maka apa yang dijanjikan pada masa kampanye akan
tetap diingat oleh para pemilihnya. Namun bila tidak memenuhi janji tersebut, maka
kepercayaan rakyatnya juga tidak dapat dipertahankan. Semakin banyak janji yang tidak
dapat diwujudkan, akan semakin rendah kepercayaan rakyat kepadanya. Rendahnya
kepercayaan rakyat ini juga dapat mengakibatkan semakin rendahnya penghargaan
pemilih terhadap yang terpilih.
Dalam hal pimpinan dengan rakyatnya, tingkat kepercayaan ini juga dapat diukur melalui
kesediaan rakyat untuk melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh pimpinan. Semakin
segan rakyat mematuhi perintah pimpinan, semakin rendah tingkat kepercayaan rakyat
terhadap pimpinan. Hal ini disebabkan, karena rakyat beranggapan apa yang dilakukan
oleh pimpinan, tidak lagi sesuai dengan apa yang dilakukannya. Pada titik terendah
kepercayaan rakyat pada pimpinan, maka akan timbul perasaan apatis, “nothing to lose”
yang menjurus kepada perbuatan anarki.
Bilamana kita amati keadaan saat ini, seringkali timbul demonstrasi yang mengarah

kepada perbuatan anarki. Walaupun ada teori yang menyatakan bahwa demonstrasi
anarki ini karena “ditungganggi” oleh oknum atau pihak tertentu, namun kesediaan orang
untuk berdemonstrasi anarkis ini tidak akan mudah terjadi bilamana kepercayaan

pendemo terhadap pimpinan masih tinggi. Mudahnya demonstrasi anarkis ini karena
rendahnya tingkat kepercayaan terhadap pimpinan.
Rendahnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap pimpinan yang menjadi kontestan, juga
bisa diukur melalui kesediaan pemilih untuk terlibat dalam “money politics”, yaitu antara
lain dengan menerima bayaran untuk mengikuti kampanye seorang kontestan. Bagi
mereka, yang terpenting adalah memperoleh uang. Dalam anggapan mereka, siapapun
yang akan terpilih nanti, hasil akhirnya akan tetap sama, yaitu yang terpilih hanya bisa
mengucap janji, namun tidak pernah diwujudkan.