DAMPAK STABILITAS MAKRO EKONOMI TERHADAP EXCHANGE RATE PASS THROUGH COMPARATIVE STUDY ANTARA INDONESIA DAN KOREA SELATAN

DAMPAK STABILITAS MAKRO EKONOMI TERHADAP
EXCHANGE RATE PASS-THROUGH: COMPARATIVE
STUDY ANTARA INDONESIA DAN KOREA SELATAN

AGUNG SATRYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Stabilitas Makro
Ekonomi terhadap Exchange Rate Passthrough: Comparative Study antara Indonesia dan
Korea Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Agung Satryo
NIM H151150316

RINGKASAN
AGUNG SATRYO. Dampak Stabilitas Makro Ekonomi terhadap Exchange Rate
Passthrough: Comparative Study antara Indonesia dan Korea Selatan. Dibimbing
oleh LUKYTAWATI ANGGRAENI dan NOER AZAM ACHSANI.
Dengan semakin terbukanya perekonomian suatu negara, kegiatan
perekonomian antar negara baik arus barang dan jasa maupun arus modal akan
semakin tinggi. Hal tersebut membuat nilai tukar menjadi faktor yang semakin
berpengaruh terhadap perekonomian domestik termasuk pengaruhnya terhadap
inflasi domestik. Penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas (floating
exchange rate) membuat pergerakan nilai tukar tidak lagi dibatasi pada suatu
tingkat tertentu melainkan dibiarkan bebas bergerak sesuai dengan kekuatan
permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Oleh karena itu, pergerakan nilai
tukar memiliki peranan penting terhadap pembentukan variabel sasaran kebijakan

moneter terutama terhadap pembentukan tingkat inflasi.
Dampak dari pergerakan nilai tukar terhadap inflasi domestik dalam
literatur dapat dilihat dengan konsep exchange rate passthrough (ERPT). ERPT
didefinisikan sebagai persentase perubahan harga (domestik, impor maupun
ekspor) sebagai akibat dari perubahan satu persen dalam kurs. Beberapa penelitian
terdahulu mengungkapkan bahwa ERPT bisa saja bersifat nonlinear terutama saat
terjadi krisis ekonomi, dan tidak bersifat linear seperti di banyak penelitianpenelitian sebelumnya.
Penelitian ini mencoba untuk menganalisis adanya sifat nonlinearitas pada
Exchange Rate Passthrough (ERPT) untuk contoh kasus di negara Indonesia dan
Korea Selatan sebagai negara-negara yang pernah mengalami krisis ekonomi yang
cukup parah. Pendekatan model Smooth Transition Regression (STR) digunakan
untuk melihat adanya potensi nonlinearitas pada ERPT di negara-negara tersebut
terutama saat terjadi krisis. Berdasarkan hasil, ditemukan bahwa untuk kasus
Indonesia dan Korea Selatan, exchange rate passthrough bersifat nonlinear dan
bergantung pada kestabilan kondisi makroekonomi. Artinya, pada saat negaranegara tersebut mengalami krisis ekonomi, perubahan nilai tukar bisa memiliki
pengaruh yang lebih besar terhadap perubahan tingkat inflasi domestik. Begitu
pula yang terjadi sebaliknya. Pada saat kondisi perekonomian stabil, perubahan
nilai tukar tidak terlalu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
tingkat inflasi domestik di negara-negara tersebut.
Pada kasus Indonesia, sumber nonlinearitas pada ERPT disebabkan oleh

variabel interest rate differential antara Indonesia dengan Amerika Serikat
sebagai acuan suku bunga internasional. Sedangkan pada kasus Korea Selatan,
nonlinearitas pada ERPT disebabkan oleh pergerakan variabel nilai tukar antara
Korea Selatan dan Amerika Serikat. Ketika variabel-variabel ini nilainya
berfluktuasi dan meningkat secara signifikan pada kondisi krisis, maka akan
berpengaruh pada peningkatan nilai ERPT di masing-masing negara.
Kata Kunci: Exchange Rate Passthrough, Nonlinearitas, Smooth Transition
Regression,

SUMMARY
AGUNG SATRYO. Impact of Macroeconomics Stability towards Exchange Rate
Passthrough: Comparative Study between Indonesia and South korea. Supervised
by LUKYTAWATI ANGGRAENI and NOER AZAM ACHSANI.
Economic activity accross countries either the flow of goods and service, or
capital flow is getting higher as countries is more open on these days. That makes
exchange rate become the key factor in economics including its factor towards
domestic inflation. The implementation of floating exchange rate system makes
exchange rate movement is no longer limited on any level or any range, but it is
free to move depends on the power of supply and demand in the market.
Therefore, exchange rate movement has important role in the forming of inflation

rate.
The impact of exchange rate movement towards domestic inflation is
commonly known in literature as exchange rate passthrough (ERPT). ERPT is
defined as the percentage of price changes caused by one percent changes on
exchange rate. Prior research revealed that ERPT may nonlinear particularly in
economic crisis.
This research is trying to investigate nonlinearity on exhange rate
passthrough (ERPT) in Indonesia and South Korea as countries that have
experienced such a heavy economic crisis in the past. Smooth Transition
Regression (STR) Model is used to analyse potential of nonlinearity on ERPT in
those countries particularly when crisis hit. The result shows that in Indonesia and
South Korea, ERPT is nonlinear and depends on macro economics stability. When
economic crisis hit those countries, exchange rate movement has higher impact
towards domestic inflation.
In Indonesia, the source of nonlinearity of ERPT is caused by interest rate
differential variable between Indonesia and United States as an international
parameters of interest rate. In South Korea, nonlinearity of ERPT is caused by
exchange rate variable between Korean Won and US Dollar. When these variables
fluctuated and increased significantly in crisis, ERPT is affected and can be higher
in each country.


Keywords: Exchange Rate Passthrough, Nonlinearity, Smooth Transition
Regression

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK STABILITAS MAKRO EKONOMI TERHADAP
EXCHANGE RATE PASS-THROUGH: COMPARATIVE
STUDY ANTARA INDONESIA DAN KOREA SELATAN

AGUNG SATRYO


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, M.Si

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat
dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis yang
berjudul Dampak Stabilitas Makro Ekonomi terhadap Exchange Rate Passthrough:
Comparative Study antara Indonesia dan Korea Selatan. Tesis ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, SP,
M.Si dan Prof. Noer Azam Achsani, Ph.D selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan arahan, motivasi, dan ilmu bermanfaat kepada penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, M.Si selaku
penguji luar komisi dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku penguji komisi
pendidikan yang telah memberikan banyak masukan yang berharga terhadap
penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua
Widiyanto Wibowo dan Marita yang selalu mendoakan dan memberikan
dukungan kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor tempat penulis menempuh pendidikan strata 2 ini, teman-teman
seperjuangan fasttrack Ilmu Ekonomi angkatan 3, dan teman-teman Ilmu
Ekonomi angkatan 48 atas segala dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Februari 2017
Agung Satryo

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

i

DAFTAR GAMBAR

ii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
5
6
6

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori Nilai Tukar
Inflasi
Exchange rate pass-through
Model Dasar Exchange Rate Passthrough terhadap Consumer Price
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

6
6
16
17
17
20
21
22


3 METODOLOGI
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Tahapan Estimasi

22
22
22
23

4 PEMBAHASAN
Gambaran Umum
Potensi Respon Nonlinear pada Exchange Rate Passthrough
Kebijakan Moneter, Stabilitas Keuangan, Stabilitas Harga, dan Nilai
Tukar

25
25
37
42


5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

46
46
47

DAFTAR PUSTAKA

47

LAMPIRAN

51

RIWAYAT HIDUP

54
DAFTAR TABEL

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Penelitian Terdahulu
Jenis dan Sumber data
Uji Nonlinearitas Kasus Indonesia
Hasil Estimasi Smooth Transition Regression Kasus Indonesia
Uji Nonlinearitas Kasus Korea Selatan
Hasil Estimasi Smooth Transition Regression Kasus Korea Selatan

20
22
37
38
41
42

DAFTAR GAMBAR
1.
2

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15a.
15b.
16a.
16b.

Rata-rata tingkat inflasi di negara maju dan berkembang sebelum dan
sesudah penerapan ITF
Rata-rata tingkat exchange rate passthrough pada kelompok high
income countries dan kelompok middle income countries sebelum dan
sesudah penerapan ITF
Keseimbangan nilai tukar tetap
Keseimbangan nilai tukar mengambang
Kerangka Pemikiran
Tingkat inflasi tahunan Indonesia (%)
Tingkat inflasi tahunan Korea Selatan (%)
Nilai tukar tahunan Rupiah per USD
Nilai tukar tahunan won per USD
Tingkat money market rate tahunan Indonesia (%)
Tingkat money market rate tahunan Korea Selatan (%)
Tingkat pertumbuhan gross domestic product tahunan Indonesia (%)
Tingkat pertumbuhan gross domestic product tahunan Korea Selatan
(%)
Model Mundell-Fleming
Plot Fungsi Transisi Kasus Indonesia
Plot Variabel Transisi Real Interest Rate Differential
Plot Fungsi Transisi Kasus Korea Selatan
Plot Variabel Transisi Nilai Tukar Korea dan Amerika Serikat

2
3

9
10
21
28
29
29
33
34
35
36
36
39
40
40
43
43

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaaan Inflation Targeting Framework (ITF) telah diadopsi beberapa
negara baik negara berpendapatan tinggi seperti Kanada, Selandia Baru, Australia,
maupun negara berpendapatan menengah seperti Brazil, Peru, dan Indonesia.
Kerangka kebijakan yang berorientasi pada penargetan inflasi ini pertama kali
digunakan oleh Selandia Baru pada tahun 1990. Kemudian diikuti oleh negara
negara lain seperti United Kingdom, Kanada, Australia, dll. Indonesia secara
resmi mulai menerapkan kebijakan ITF ini pada tahun 2005 sebagai dampak dari
terjadinya krisis moneter di tahun 1998 yang banyak menimpa negara-negara di
Asia.
Krisis moneter ini diduga bermula dari mata uang Baht Thailand yang
mengalami depresiasi yang signifikan dan kemudian berdampak sistemik ke
negara-negara lainnya. Pada awalnya krisis ini terjadi karena banyak perusahaan
di Thailand tidak bisa membayar hutang yang telah jatuh tempo dan juga
disebabkan ulah para spekulan yang menjual Baht ke luar. Pada bulan Januari
1998, Baht terdepresiasi ke level 56 Baht per US Dollar padahal sebelumnya Baht
selalu berada di kisaran 25 Baht per US Dollar. Korea, Malaysia, Filipina dan
Indonesia adalah negara-negara yang paling merasakan dampak dari krisis
moneter tersebut.
Efek penurunan kurs ini berdampak pada naiknya harga barang-barang
domestik yang dijadikan tolak ukur terhadap tingkat inflasi. Hal ini terjadi karena
depresiasi kurs menyebabkan harga-harga barang impor baik barang jadi maupun
barang setengah jadi semakin tinggi. Kemudian peningkatan biaya impor bahan
baku tersebut mempengaruhi peningkatan biaya produksi dan mengakibatkan
naiknya tingkat inflasi di negara tersebut.
Terjadinya krisis nilai tukar pada tahun 1997/1998 yang terjadi pada
beberapa negara berkembang membawa perubahan pada rezim nilai tukarnya
yang semula pegged exchange rate regimes atau fixed exchange rate regimes
menjadi floating exchange rate regimes. Selain itu, dalam konteks kerangka
kebijakan moneter terjadi pergeseran jangkar nominal yang digunakan, yang mana
sebelumnya menggunakan penargetan jumlah uang beredar (money targeting)
atau penargetan nilai tukar (exchange rate targeting) menjadi penargetan tingkat
inflasi (inflation targeting).
Perubahan ini membawa negara-negara berkembang seperti Brazil, Chili,
Afrika Selatan dan negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara seperti Korea,
Thailand, Filipina, dan termasuk Indonesia untuk mengubah rezim nilai tukarnya
menjadi rezim nilai tukar mengambang (floating exchange rate regimes) dan juga
mengadopsi ITF sebagai alternatif kerangka kebijakan moneter yang baru. Hal ini
dilakukan dengan harapan dapat mengembalikan kondisi perekonomian pasca
krisis serta dapat mengalami kesuksesan yang sama seperti negara maju melalui
implementasi ITF.
Bank Indonesia sendiri selaku otoritas kebijakan moneter memiliki tujuan
untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan tersebut
sebagaimana tercantum dalam UU No.3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank
Indonesia yang berbunyi “tujuan ψank Indonesia adalah mencapai dan

2

menstabilkan nilai rupiah”. Hal yang dimaksud dengan menjaga kestabilan nilai
rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin
pada tingkat inflasi. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk
meningkat secara umum dan terus menerus pada seluruh kelompok barang dan
jasa (Pohan 2008). Inflasi merupakan permasalahan yang sering terjadi di
beberapa negara, baik negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia.
Sebagai kerangka kerja kebijakan moneter yang menargetkan inflasi
sebagai satunya-satunya jangkar nominal, otoritas moneter perlu mengetahui
secara jelas sumber-sumber penentu inflasi. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi
kesalahan dalam penyusunan kebijakan. Pergerakan inflasi dapat bersumber dari
faktor internal suatu negara maupun faktor eksternal. Faktor internal dapat berasal
dari bahan makanan yang harganya sangat berfluktuasi (volatile food), barangbarang yang harganya ditentukan oleh kebijakan pemerintah (administered
prices), dll. Faktor eksternal berasal dari luar suatu negara, seperti kondisi
perekonomian global, pergerakan harga minyak dunia, dan nilai tukar mata uang.
20

Persen

15
10

High Income Countries
(%)

5

Middle Income Countries
(%)

0
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
Periode

Sumber: Internasional Monetary Fund (2014), data diolah
Gambar 1 Rata-rata tingkat inflasi di negara maju dan berkembang sebelum dan
sesudah penerapan ITF
Pada Gambar 1 terlihat perbedaan tingkat inflasi rata-rata yang cukup
signifikan antara negara maju dan negara berkembang baik sebelum penerapan
ITF maupun sesudah penerapan ITF. Pada periode 7 tahun sebelum menerapkan
ITF, tingkat inflasi rata-rata di negara maju adalah sebesar 3,80 persen, sedangkan
pada negara berkembang tingkat inflasi rata-rata adalah sebesar 11,27 persen.
Setelah penerapan ITF terjadi penurunan tingkat inflasi rata-rata yang cukup
signifikan dan perkembangannya relatif stabil baik di negara maju maupun di
negara berkembang, yaitu pada negara maju tingkat inflasi rata-rata pada periode
7 tahun setelah penerapan ITF menjadi sebesar 1,85 persen dan pada negara
berkembang sebesar 5,05 persen.
Dengan semakin terbukanya perekonomian suatu negara, kegiatan
perekonomian antar negara baik arus barang dan jasa maupun arus modal akan
semakin tinggi. Hal tersebut membuat nilai tukar menjadi faktor yang semakin
berpengaruh terhadap perekonomian domestik termasuk pengaruhnya terhadap
inflasi domestik. Penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas (floating
exchange rate) membuat pergerakan nilai tukar tidak lagi dibatasi pada suatu
tingkat tertentu melainkan dibiarkan bebas bergerak sesuai dengan kekuatan

3

permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Oleh karena itu, pergerakan nilai
tukar memiliki peranan penting terhadap pembentukan variabel sasaran kebijakan
moneter terutama terhadap pembentukan tingkat inflasi.
Dampak dari pergerakan nilai tukar terhadap inflasi domestik dalam literatur
dapat dilihat dengan konsep exchange rate passthrough (ERPT). ERPT
didefinisikan sebagai persentase perubahan harga (domestik, impor maupun
ekspor) sebagai akibat dari perubahan satu persen dalam kurs. Pergerakan nilai
tukar yang berdampak pada inflasi domestik ditransmisikan baik secara langsung
(direct exchange rate passthrough) maupun tidak langsung (indirect exchange
rate passthrough). Pengaruh langsung terjadi karena perubahan nilai tukar
mempengaruhi pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi
oleh masyarakat, khususnya terhadap barang impor. Sementara itu, pengaruh tidak
langsung terjadi karena perubahan nilai tukar memengaruhi kegiatan ekspor dan
impor, yang pada gilirannya berdampak pada output dan perkembangan hargaharga barang dan jasa.
Penelitian-penelitian terdahulu terkait exchange rate passthrough telah
banyak dilakukan, seperti pada Nogueira (2007), Dilla (2014), dan Satryo (2015).
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa beberapa negara rata-rata
mengalami penurunan tingkat ERPT setelah penerapan ITF tersebut. Hal ini
terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang. Pada gambar dibawah ini
ditampilkan tingkat rata-rata exchange rate passthrough pada negara
berpendapatan tinggi dan negara berpendapatan sedang pada periode sebelum dan
sesudah implementasi ITF yang diperoleh dari hasil penelitian Satryo (2015).
0,14

0,127

0,12

Persen

0,1
0,08
0,06

0,051

0,04
0,0122

0,02
0,0021
0
Sebelum ITF
High Income Countries

Setelah ITF
Middle Income Countries

Sumber: Satryo (2015)
Gambar 2 Rata-rata tingkat exchange rate passthrough pada kelompok high
income countries dan kelompok middle income countries sebelum dan
sesudah penerapan ITF
Pada gambar 2 terlihat bahwa terdapat perbedaan tingkat rata-rata exchange
rate passthrough antara negara berpendapatan tinggi dan negara berpendapatan

4

sedang. Selain itu, terdapat pula perbedaan tingkat ERPT sebelum dan sesudah
penerapan ITF. Sebelum penerapan ITF kelompok negara berpendapatan tinggi
memiliki tingkat rata-rata ERPT sebesar 0,051 dan kelompok negara
berpendapatan sedang sebesar 0,127. Setelah penerapan ITF tingkat rata-rata
ERPT menurun secara signifikan baik kelompok negara berpendapatan tinggi
yaitu menjadi sebesar 0,0021 dan kelompok negara berpendapatan sedang
menjadi sebesar 0,0122.
Pengaruh nilai tukar terhadap inflasi (ERPT) merupakan aspek penting
dalam perumusan kebijakan moneter. Penelitian-penelitian selama ini
menunjukkan bahwa negara-negara berkembang mengalami penurunan ERPT
lebih besar dari negara-negara maju. Frankel et al. (2005) melakukan studi
empiris mengenai fenomena ini dan faktor-faktor penyebabnya pada 76 negara
pada periode 1990 hingga 2001. Indikator harga dibedakan antara harga
dipelabuhan, harga jual eceran, dan IHK. Hasilnya menunjukkan bahwa negara
dengan sejarah inflasi tinggi mengalami penurunan ERPT dari sekitar 0.79 pada
periode 1990-2001 menjadi hanya sekitar 0.20 pada periode 1996-2001.
Sementara negara dengan catatan inflasi rendah mencatat penurunan ERPT dari
sekitar 0.50 hanya menjadi 0.12 pada periode yang sama. Untuk setiap jenis
harga, ERPT sebesar 0.63 pada harga pelabuhan, 0.41 pada harga impor dan 0.22
pada IHK. Semakin meningkatnya perdagangan internasional dengan masuknya
era globalisasi menyebabkan turunnya biaya transportasi antar negara. Sementara
itu, volatilitas nilai tukar memiliki pengaruh yang tidak simetris atau asimetris
terhadap tingkat ERPT. Dengan adanya depresiasi yang lebih besar dari 25 persen
akan meningkatkan ERPT, sementara jika terjadi apresiasi maka belum tentu akan
menurunkan ERPT. Studi empiris ini juga menekankan peran kebijakan moneter
dalam menurunkan inflasi dalam jangka panjang sebagai faktor penting dalam
menurunkan ERPT tersebut (Warjiyo 2016).
Sementara itu, kinerja kerangka kebijakan moneter dengan sasaran stabilitas
harga (Inflation Targeting Framework) dalam menurunkan ERPT menjadi fokus
penelitian Edwards (2006). Negara-negara ITF mengalami penurunan pengaruh
nilai tukar terhadap inflasi. Penurunan terbesar ditemukan pada Brazil. Negara
lain yang mencatat penurunan besar diantaranya, Chile, Israel, dan Mexico.
Sementara penurunan di Korea tidak terlalu besar karena tingkat exchange rate
passthrough telah relatif rendah. Selanjutnya penerapan ITF tercatat tidak terlalu
meningkatkan volatilitas nilai tukar baik nominal maupun riil. Meskipun demikian
masih ada beberapa negara yang mengalami peningkatan volatilitas nilai tukar
seperti Brazil, Chile, dan Israel.
Untuk negara ASEAN 5, Corinthas (2007) melakukan studi empiris ERPT
secara bilateral antar dua negara dan mengaitkannya dengan kemungkinan untuk
penyatuan mata uang dengan data unutk periode 1968-2001. Hasilnya
menunjukkan bahwa secara signifikan ERPT ditemukan relatif besar untuk
Indonesia-Filipina. Untuk hubungannya dengan harga impor penelitian ini
menunjukkan ERPT signifikan untuk Indonesia-Malaysia dan IndonesiaSingapura.
Pengaruh nilai tukar terhadap perekonomian juga telah menjadi objek studi
empiris di Indonesia. Winarno (2014) melakukan penelitian terkait kondisi
Marshall-Lerner dan fenomena J-curve di Indonesia dengan data bulanan dari
tahun 2008-2012. Hasilnya menunjukkan kondisi Marshall-Lerner terbukti di

5

Indonesia, yaitu setiap satu persen depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US
Dollar akan meningkatkan transaksi berjalan, neraca perdagangan total dan neraca
perdagangan non-migas. Penelitian tersebut juga membuktikan fenomena J-Curve
di Indonesia yaitu pengaruh nilai tukar akan menurunkan transaksi berjalan,
neraca perdagangan total, dan neraca perdagangan non-migas sekitar 3-4 bulan
sebelum meningkat ke level jangka panjangnya.
Taylor (2002) menyatakan bahwa, penurunan exchange rate passthrough
berhubungan dengan kondisi inflasi yang rendah dan stabil. Menurutnya, tingkat
inflasi mempengaruhi perubahan biaya secara terus menerus, yang mana
berkorelasi positif dengan tingkat ERPT. Selain itu, studi Mishkin (2001) dan
Choudhri dan Hakura (2006), terdapat kemungkinan bahwa kondisi makro
ekonomi memiliki peran dalam menentukan tingkat ERPT. Oleh karena itu,
analisis lebih lanjut terkait exchange rate passthrough dan hubungannya dengan
kestabilan makro ekonomi penting untuk dilakukan. Tujuannya adalah agar dapat
diketahui implikasi kebijakan yang sebaiknya diambil terutama saat terjadi
ketidakstabilan pada makro ekonomi sehingga tidak menimbulkan respon
kebijakan yang salah.
Perumusan Masalah
Pengaruh perubahan nilai tukar terhadap inflasi domestik atau yang sering
disebut exchange rate passthrough (ERPT) tidak hanya mempengaruhi inflasi
pada saat itu saja tetapi juga mempengaruhi ekspektasi inflasi, pengaturan
kebijakan moneter, dan kemampuan nilai tukar dalam mengoreksi trade
imbalances, Nogueira (2008). Hal ini penting dan harus menjadi perhatian bagi
pengambil kebijakan yaitu otoritas moneter atau bank sentral.
Beberapa literatur terkait exchange rate passthrough seperti pada Campa
dan Goldberg (2006), Choudhri dan hakura (2006), Nogueira (2006), dan Dilla
(2014) rata-rata menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terjadi penurunan
tingkat ERPT baik di negara maju maupun di negara berkembang terlebih setelah
menerapkan inflation targeting framework. Namun, penelitian-penelitian tersebut
masih bersifat linear.
Menurut Nogueira (2008) exchange rate passthrough mungkin tidak linear
(nonlinear) seperti yang selama ini banyak diteliti. Terdapat sumber-sumber
penyebab nonlinearitas dari exchange rate passthrough. Salah satunya adalah
kestabilan makro ekonomi. Dasar dari pernyataan ini adalah beberapa temuan
yang melihat adanya hubungan antara rendahnya inflasi dan penurunan tingkat
ERPT (Taylor 2002).
Nogueira berpendapat bahwa pada saat makro ekonomi mengalami
ketidakstabilan, exchange rate passthrough dapat meningkat tajam dan bersifat
nonlinear. Hal ini terjadi karena diasumsikan saat suatu negara mengalami krisis
ekonomi, pelaku usaha di negara-negara yang mengekspor produknya ke negara
tersebut akan melakukan mark up pada harga produknya. Begitu pula saat kondisi
makro ekonomi mengalami kestabilan, kepercayaan pasar dapat mendorong
penurunan tingkat ERPT.
Terdapat beberapa negara yang tercatat pernah mengalami krisis keuangan
yang parah yang terlihat dari nilai variabel-variabel makro ekonominya yang
bergejolak dan berfluktuasi pada periode tersebut. Negara-negara tersebut
diantaranya adalah Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Ketiga negara tersebut

6

pernah mengalami krisis keuangan yang parah pada tahun 1997-1998. Pada tahun
tersebut beberapa negara di Asia mengalami krisis keuangan. Krisis yang diduga
bermula di Thailand akibat anjloknya nilai tukar mata uang Baht terhadap US
Dollar menjalar ke negara-negara Asia lain termasuk menimpa Indonesia dan
Korea Selatan. Akibat krisis ini, beberapa variabel makro ekonomi di kedua
negara tersebut seperti nilai tukar anjlok dan terdepresiasi, tingkat inflasi yang
meningkat tajam, begitu pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang mencatatkan
pertumbuhan negatif pada periode krisis tersebut.
Dari paparan tersebut, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis
sumber-sumber yang menyebabkan respon nonlinear pada exchange rate
passthrough, khususnya yang berasal dari variabel-variabel makro ekonomi di
negara-negara yang pernah mengalami krisis keuangan yang parah seperti di
Indonesia dan Korea Selatan. Selain itu, kedua negara tersebut menerapkan
Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kebijakan moneternya.
Penerapan ITF ini memerlukan fokus untuk menjaga tingkat inflasi yang rendah
dan stabil. Faktor eksternal seperti fluktuasi nilai tukar dan intervensi terhadapnya
dapat menyebabkan penerapan ITF menjadi tidak efektif. Oleh karena itu, inti
permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
1. Adakah potensi respon nonlinear pada exchange rate passthrough di negara
Indonesia dan Korea Selatan?
2. Apa sumber-sumber yang menyebabkan respon nonlinear pada exchange
rate passthrough di negara Indonesia dan Korea Selatan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dari permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah:
1. Mengidentifikasi adanya potensi respon nonlinear pada exchange rate
passthrough di negara Indonesia dan Korea Selatan
2. Menganalisis sumber-sumber yang menyebabkan respon nonlinear pada
exchange rate passthrough di negara Indonesia dan Korea Selatan
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas kepada
otoritas moneter mengenai exchange rate passthrough dan kaitannya terhadap
kestabilan makro ekonomi sehingga dapat menjadi masukan dan pertimbangan
dalam penyusunan kebijakan dan tidak menimbulkan respon kebijakan yang
salah. Penulis juga berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangan yang cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
terkait riset mengenai ERPT, dan juga dapat bermanfaat sebagai referensi atau
bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada analisis adanya potensi respon
nonlinear pada exchange rate passthrough dan sumber-sumber potensial yang
menyebabkan respon nonlinear pada exchange rate passthrough di negara
Indonesia dan Korea Selatan sebagai negara objek penelitian.

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Teori Nilai Tukar
Definisi Nilai Tukar
Nilai tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga satu mata uang suatu
negara terhadap mata uang negara lain (Krugman dan Obsfelt, 1999). Nilai Tukar
nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara (Mankiw, 2007). Menurut
Simorangkir dan Suseno (2005), jika nilai tukar atau kurs didefinisikan sebagai
nilai Rupiah terhadap valuta asing, maka:
KURSIDR/USD = Rupiah yang diperlukan untuk membeli satu Dollar Amerika,
KURSIDR/YEN = Rupiah yang diperlukan untuk membeli satu Yen
Dalam hal ini jika kurs meningkat, artinya Rupiah mengalami depresiasi,
sedangkan jika kurs menurun maka Rupiah akan mengalami apresiasi. Nilai tukar
riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu
harga-harga didalam negeri dibandingkan dengan harga-harga diluar negeri. Nilai
tukar riil dapat dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini:
P
Q=E
(2.1)
P*
dimana Q adalah nilai tukar riil, E adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat
harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri. Pengukuran nilai tukar
riil suatu negara terhadap mitra dagangnya juga memperhitungkan laju inflasi dan
nilai tukar dari masing-masing negara tersebut.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Nilai Tukar
Menurut Syarifuddin (2014), pergerakan nilai tukar di pasar dipengaruhi
oleh faktor fundamental dan non-fundamental. Faktor fundamental tercermin dari
variabel-variabel ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, dan
perkembangan ekspor impor. Sementara itu, faktor nonfundamental, antara lain
berupa sentimen pasar terhadap perkembangan sosial politik, faktor psikologi para
pelaku pasar dalam memperhitungkan informasi, rumor, atau perkembangan lain
dalam menentukan nilai tukar sehari-hari.
Perubahan nilai tukar dalam jangka panjang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah: harga relatif, tarif dan kuota, preferensi terhadap
barang domestik dibandingkan dengan barang luar negeri dan produktivitas
(Mishkin, 2001).
Penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama,
faktor penerimaan hasil ekspor. Semakin besar volume penerimaan ekspor barang
dan jasa, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara
sehingga akan membuat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing
cenderung mengalami apresiasi. Kedua, faktor aliran modal masuk (capital
inflow). Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung
semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang
luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (portofolio
investment) dan investasi langsung pihak asing (foreign direct investment).
Menurut Simorangkir dan Suseno (2005), terdapat tiga faktor utama yang
mempengaruhi permintaan valuta asing. Pertama, faktor pembayaran impor.
Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan terhadap

8

valuta asing sehingga nilai tukar cenderung melemah. Sebaliknya, jika impor
menurun, maka permintaan valuta asing menurun sehingga mendorong
menguatnya nilai tukar dengan asumsi faktor-faktor lain tidak berubah (ceteris
paribus). Asumsi ini berlaku juga untuk aliran modal keluar/masuk dan ekspor.
Kedua, faktor aliran modal keluar (capital outflow). Semakin besar aliran modal
keluar, maka semakin besar permintaan valuta asing dan akhirnya akan
memperlemah nilai tukar. Aliran modal keluar meliputi pembayaran hutang
penduduk Indonesia baik swasta dan pemerintah dan penempatan dana penduduk
Indonesia ke luar negeri. Ketiga, kegiatan spekulasi. Semakin banyak kegiatan
spekulasi valuta asing yang dilakukan, maka semakin besar permintaan terhadap
valuta sehingga memperlemah nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang
asing.
Sistem Nilai Tukar
Pada umumnya, kebijakan nilai tukar suatu negara diarahkan untuk
mendukung neraca pembayaran dan/atau membantu efektivitas kebijakan
moneter. Penetapan nilai tukar yang overvalued dapat mengakibatkan barangbarang ekspor menjadi lebih mahal di luar negeri dan barang-barang impor
menjadi lebih murah dan akhirnya neraca perdagangan menjadi memburuk.
Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter, depresiasi nilai tukar yang
berlebihan dapat mengakibatkan tingginya laju inflasi sehingga dapat menganggu
tujuan akhir kebijakan moneter untuk memelihara stabilitas harga. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka kebijakan nilai tukar yang tepat merupakan salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara.
Sejalan dengan tujuan kebijakan nilai tukar, maka dikenal berbagai jenis
sistem nilai tukar yang digunakan suatu negara khususnya setelah runtuhnya
sistem nilai tukar Bretton Woods. Berdasarkan perkembangan terakhir, terdapat
kecenderungan negara-negara dunia menggunakan sistem nilai tukar
mengambang. Namun, masih terdapat beberapa negara yang menggunakan
sistem nilai tukar tetap ataupun variasi dari sistem nilai tukar mengambang
dengan sistem nilai tukar tetap. Corden (2002) mengklasifikasikan sistem nilai
tukar menjadi tiga kelompok, yaitu: sistem nilai tukar tetap murni (Absolutely
fixed rate regime), sistem nilai tukar mengambang murni (Pure floating regime),
sistem nilai tukar tetap tetapi dapat disesuaikan (Fixed But Adjustable Rate/FBAR)
yang merupakan kombinasi sistem nilai tukar tetap dan mengambang. Selanjutnya
terdapat beberapa jenis sistem nilai tukar yang merupakan kombinasi dari ketiga
sistem nilai tukar tersebut. Diantara sistem nilai tukar mengambang murni dengan
FBAR terdapat tiga jenis sistem nilai, yaitu pegged, target zone (band), managed
floating. Sementara itu crawling pegged dapat dibagi menjadi dua jenis lagi, yaitu
active (pre-announced) dan passive crawling pegged.
Setiap sistem nilai tukar mempunyai kelebihan dan kelemahan. Pemilihan
sistem nilai tukar yang digunakan bergantung pada berbagai faktor, diantaranya
situasi dan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan, besarnya cadangan
devisa yang dimiliki, keterbukaan ekonomi, sistem devisa yang dianut (bebas,
semi terkontrol, atau terkontrol), dan besarnya volume pasar valuta asing
domestik. Sistem nilai tukar tetap mempunya kelebihan karena adanya kepastian
nilai tukar bagi pasar. Akan tetapi, sistem ini membutuhkan cadangan devisa yang
besar karena keharusan bagi bank sentral untuk mempertahankan nilai tukar pada

9

level yang ditetapkan. Selain itu, sistem ini dapat mendorong kecenderungan
dunia usaha untuk tidak melakukan hedging atau perlindungan nilai valuta
asingnya terhadap risiko perubahan nilai tukar. Sistem ini umumnya diterapkan di
negara yang mempunyai cadangan devisa besar, dengan sistem devisa yang masih
relatif terkontrol.
Sistem nilai tukar mengambang mempunyai kelebihan dengan tidak
perlunya cadangan devisa yang besar, karena bank sentral tidak harus
mempertahankan nilai tukar pada suatu level tertentu. Akan tetapi, nilai tukar
yang terlalu berfluktuasi dapat menambah ketidakpastian bagi dunia usaha. Sistem
ini umumnya diterapkan di negara yang mempunyai cadangan devisa relatif kecil
sementara sistem devisa yang dianut cenderung bebas (Syarifuddin 2015).
Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate System)
Pada sistem nilai tukar tetap nilai tukar mata uang suatu negara ditetapkan
secara tetap dengan mata uang asing tertentu. Dengan penetapan nilai tukar secara
tetap, terdapat kemungkinan nilai tukar yang ditetapkan terlalu tinggi (overvalued) atau terlalu rendah (under-valued) dari nilai yang sebenarnya. Terdapat
dua penyebab utama suatu negara meninggalkan sistem ini yaitu:
Pertama, dapat menganggu neraca perdagangan. Dengan menerapkan
sistem nilai tukar tetap, maka nilai mata uang domestik akan dapat lebih mahal
dibandingkan dengan nilai sebenarnya. Kondisi ini dapat mengakibatkan barangbarang ekspor suatu negara menjadi lebih mahal di luar negeri dan akan
mengurangi daya kompetisi dan selanjutnya akan menurunkan volume ekspor.
Disisi impor, nilai tukar yang over-valued mengakibatkan harga barang-barang
impor menjadi lebih murah dan impor dapat meningkat. Secara keseluruhan nilai
tukar yang over-valued akan memperburuk neraca perdagangan suatu negara.
Kedua, ketidakcukupan cadangan devisa untuk mempertahankan nilai
tukar ini. Negara-negara yang memiliki cadangan devisa sedikit akan rentan
terhadap serangan nilai tukar karena negara tidak mempunyai cadangan devisa
yang cukup untuk mengintervensi ke pasar valas dalam mempertahankan nilai
tukar. (Simorangkir dan Suseno, 2005).
Kurs
S1

S2

e1
Fixed Rate

e
e2
D1
Q

Q1

D2

Q2
Kuantitas mata uang

Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 3 Keseimbangan nilai tukar tetap

10

Gambar 3 menunjukkan bagaimana kondisi nilai tukar suatu mata uang
dalam sistem nilai tukar tetap. K1 merupakan kondisi mata uang negara yang
terlalu tinggi daripada nilai yang ditetapkan. Sebaliknya, kondisi mata uang yang
terlalu rendah ditunjukkan oleh K2.
Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange
Rate System)
Menurut Simorangkir dan Suseno (2005), suatu negara menerapkan nilai
tukar mengambang terkendali apabila bank sentral melakukan intervensi di pasar
valuta asing tetapi tidak ada komitmen untuk mempertahankan nilai tukar pada
tingkat tertentu atau pada suatu batasan target (target zone). Tujuan dari intervensi
tersebut adalah untuk menstabilkan pergerakan nilai tukar secara berkala atau
setidaknya mengurangi tingkat volatilitas pada tingkat moderat, serta mencegah
pergerakan nilai yang terlalu besar.
Keuntungan dari sistem ini adalah pembuat kebijakan mendapat kebebasan
untuk menggunakan intervensi atau kebijakan lain, seperti suku bunga, untuk
mencapai nilai tukar yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan ekonomi tanpa
harus kehilangan kredibilitas. Akan tetapi, kelemahan dari sistem ini dapat
mendorong kegiatan spekulasi dan (jika) bank sentral atau pemerintah tidak
mempunyai cadangan devisa yang cukup, dapat mengakibatkan ambruknya sistem
nilai tukar ini.
Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (Free Floating Exchange Rate
System)
Dalam sistem nilai tukar ini, mekanisme penetapan nilai mata uang
domestik terhadap mata uang asing ditentukan oleh mekanisme pasar. Besarnya
nilai tukar ini juga dipengaruhi oleh perilaku penjual dan pembeli khususnya para
spekulan. Dengan demikian, pada sistem ini nilai mata uang akan dapat berubah
setiap saat tergantung dari permintaan dan penawaran mata uang domestik relatif
terhadap mata uang asing dan perilaku spekulan.
D’

Kurs
D

e1

E

e

E1

e2
S
S’
Q

Q1

Q2
Jumlah Mata Uang

Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 4 Keseimbangan nilai tukar mengambang

11

Bank Sentral tidak menargetkan besarnya nilai tukar dan tidak melakukan
intervensi langsung ke pasar valuta asing. Sistem nilai tukar ini banyak dianut
oleh negara-negara di dunia. Hal tersebut terjadi karena sistem ini memiliki
beberapa keuntungan, yaitu: Pertama, sistem ini memungkinkan suatu negara
mengisolasikan kebijakan ekonomi makronya dari dampak kebijakan dari luar
sehingga suatu negara mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan kebijakan yang
independen. Kedua, sistem ini tidak memerlukan cadangan devisa yang besar
karena tidak ada kewajiban untuk mempertahankan nilai tukar. Tetapi sistem ini
juga memiliki kelemahan, yaitu penetapan nilai tukar berdasarkan pasar dapat
mengakibatkan nilai tukar berfluktuasi. Depresiasi nilai tukar dapat
mengakibatkan peningkatan harga barang-barang impor dan pada akhirnya akan
memicu inflasi di dalam negeri (Simorangkir dan Suseno, 2005).
Dua alasan mengapa banyak negara yang menggunakan sistem nilai tukar
mengambang adalah sebagai berikut. Pertama, sistem nilai tukar ini memberikan
kebebasan kepada negara yang menerapkannya untuk mengeluarkan kebijakan
yang independen karena sistem ini memungkinkan negara penggunanya untuk
memisahkan kebijakan ekonominya dari dampak kebijakan eksternal. Kedua,
sistem nilai tukar ini tidak mewajibkan negara penggunanya untuk
mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu, sehingga suatu negara memiliki
kewajiban unutk mengumpulkan cadangan devisa sebanyak-banyaknya. Namun,
sistem ini juga mempunyai kelemahan, yaitu penetapan nilai tukar yang
berdasarkan mekanisme pasar menyebabkan nilai tukar mudah berfluktuasi
sehingga dapat memengaruhi stabilitas perekonomian domestik.
Fixed but Adjustable Rate (FBAR)
Sistem nilai tukar FBAR disebut juga dengan sebutan adjustable peg dan
merupakan perpaduan antara sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai tukar
mengambang murni. Salah satu ciri dari sistem nilai tukar nin adalah komitmen
untuk mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu oleh bank sentral. Oleh
karena itu, dalam sistem ini, tingkat nilai tukar juga ditentukan oleh pembuat
kebijakan seperti bank sentral dan bank sentral akan melakukan intervensi
langsung dengan menjual dan membeli mata uang dengan harga tetap di pasar
valas unutk mempertahankan tingkat nilai tukar tersebut.
Yang membedakan FBAR dengan nilai tukar murni adalah tingkat nilai
tukar yang dapat berubah. Namun pada kenyataannya, perubahan tersebut tidak
selalu dilakukan oleh bank sentral dengan tujuan unutk menjaga kredibilitas. Hal
tersebut terjadi karena adanya kekhawatiran terkait dengan reaksi pasar, karena
adanya perubahan tingkat nilai tukar dapat mencerminkan perubahan fundamental
ekonomi atau terjadinya tekanan pasar yang kuat yang memengaruhi cadangan
devisa yang pada akhirnya dapat memengaruhi stablitas perekonomian.
Keunggulan daru sistem ini adalah dapat mendorong terciptanya kebijakan
moneter dan nilai tukar yang independen, terutama jika diterapkan oleh negara
dengan mobilitas arus modal yang rendah. Arus modal yang rendah
mempermudah otoritas moneter untuk menyusun dan mengimplementasikan
kebijakannya tanpa perlu mengkhawatirkan arus masuk dan keluar modal.
Demikian halnya dengan kebijakan nilai tukar, otoritas moneter dapat
melakukan penyesuaian berdasarkan faktor fundamental ekonomi dan kondisi
pasar valuta asing. Sebaliknya, otoritas moneter di negara dengan arus modal

12

yang tinggi tidak dapat melakukan kebijakan moneternya secara independen. Hal
itu disebabkan arus modal yang tinggi memberikan tekanan yang tinggi juga
terhadap nilai tukar sehingga kebijakan bank sentral lebih banyak diarahkan untuk
menjaga kestabilan nilai tukar.
Sistem Nilai Tukar Terpatok (peg)
Sistem nilai tukar terpatok (pegged exchange rate system) merupakan
varian dari sistem nilai tukar FBAR dan mengambang. Sistem nilai tukar terpatok
adalah suatu sistem nilai tukar dimana mata uang suatu negara dipatokkan atau
dikaitkan ke suatu mata uang asing atau ke sekeranjang mata uang asing (multi
currency pegging). Sistem ini terbagi menjadi dua sebagai berikut:
 Flexible peg
Dalam sistem nilai tukar ini, bank sentral mematok atau mengaitkan (peg)
nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing sebesar besaran
tertentu dalam jangka waktu yang pendek. Dalam sistem ini, otoritas
moneter tidak memiliki kewajiban untuk mempertahankan nilai tukar pada
tingkat tertentu atau mempertahankan niali tukar riil tertentu. Penetapan
peg nilai tukar mata uang tersebut dapat dilakukan baik melalui intervensi
maupun mekanisme pasar. Kurs atau nilai tukar dengan sistem ini dengan
cepat dan sering disesuaikan sebagai respon terhadap kekuatan pasar atau
perubahan fundamental ekonomi. Keunggulan dari sistem ini yaitu dapat
mencegah terjadinya ketidakstabilan atau volatilitas nilai tukar dalam
jangka pendek. Sistem ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat
digunakan sebagai jangkar nominal. Namun demikian, kelemahan tersebut
membuat sistem ini memiliki fleksibilitas yang dapat mendorong
pelaksanaan kebijakan moneter yang independen.
 Crawling Peg
Sistem nilai tukar crawling peg terbagi menjadi dua, yaitu active crawling
peg dan passive crawling peg. Dalam sistem nilai tukar crawling peg aktif,
pemerintah atau bank sentral menetapkan nilai tukar pada besaran tertentu
dan secara berkala besaran tersebut disesuaikan berdasarkan
perkembangan indikator-indikator ekonomi tertentu, seperti perbedaan
inflasi dengan negara mitra dagang utama. Penetapan nilai tukar terhadap
mata uang asing tersebut dilakukan di depan (pre announced rate) sistem
nilai tukar crawling peg yang aktif umumnya digunakan sebagai jangkar
nominal untuk menurunkan inflasi, seperti yang dilakukan beberapa
negara Amerika Latin guna memerangi inflasi yang tinggi. Sementara itu,
sistem nilai tukar crawling peg pasif dilandasi pada pendekatan target riil.
Yaitu nilai tukar riil. Dalam sistem ini, nilai tukar nominal pada suatu
waktu tertentu disesuaikan sejalan dengan perkembangan inflasi pada
masa lalu atau inflasi saat ini dan inflasi negara mitra dagang dan negara
pesaing utama. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga target nilai tukar
riil konstan. Berbeda dengan sistem nilai tukar crawling peg aktif, dalam
sistem ini tidak ada penetapan nilai tukar di depan (pre-announced).
Kelemahan sistem crawling peg pasif ini adalah tidak kredibel sehingga
rentan terhadap serangan spekulasi.

13

Sistem Nilai Tukar Target Zone (band)
Secara definisi nilai tukar mata uang dalam sistem ini dibiarkan
mengambang dalam target daerah tertentu (band) dengan penetapan rentang band
berupa batas atas dan batas bawah. Dalam sistem ini, bank sentral berkewajiban
untuk menjaga nilai tukar dalam rentang band tersebut. Oleh karena itu, dalam
sistem ini penetapan besarnya rentang band menjadi salah satu faktor penting
yang harus diperhatikan. Sistem ini menjadi mirip dengan sistem nilai tukar
mengambang murni apabila rentang band yang ditetapkan terlalu lebar.
Sebaliknya sistem ini menjadi mirip dengan FBAR apabila rentang band yang
ditetapkan terlalu sempit. Namun demikian, adanya rentang band tersebut
menjadikan sistem ini memiliki banyak fleksibilitas. Rentang band yang
ditetapkan juga dapat disesuaikan atau dibiarkan tetap pada waktu tertentu.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Menurut Warjiyo (2004), mekanisme transmisi kebijakan moneter pada
dasarnya menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank
sentral mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan sehingga pada
akhirnya dapat mencapai tujuan akhir yang ditetapkan. Mekanisme transmisi
moneter dimulai dari tindakan bank sentral dengan menggunakan instrumen
moneter, apakah OPT (Operasi Pasar Terbuka) atau yang lain, dalam
melaksanakan kebijakan moneternya. Tindakan itu kemudian berpengaruh pada
aktivitas ekonomi dan keuangan melalui berbagai saluran transmisi kebijakan
moneter yaitu saluran uang, kredit, suku bunga, nilai tukar, harga aset, dan
ekspektasi inflasi.
Pada perekonomian terbuka, perkembangan ekonomi dan keuangan di suatu
negara akan dipengaruhi pula oleh perkembangan ekonomi dan keuangan di
negara lain yang terjadi antara lain melalui perubahan nilai tukar, volume ekspor
dan impor, atau besarnya arus dana yang masuk dan keluar dari negara yang
bersangkutan. Pada kondisi demikian, peranan saluran lain seperti nilai tukar,
suku bunga, dan kredit menjadi semakin penting dalam transmisi kebijakan
moneter. Peranan saluran harga aset lainnya, seperti obligasi dan saham, dan
saluran ekspektasi juga semakin diperhatikan. Secara spesifik, Taylor (2002)
menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah ”the process
through monetary policy decisions are transmitted into changes in real GDP and
inflation”.
Mekanisme transmisi Kebijakan moneter merupakan suatu proses yang
reltif kompleks karena melibatkan interaksi antara bank sentral, sektor keuangan,
pelaku ekonomi, dan juga kebijakan pemerintah dan otoritas lainnya, baik di
dalam negeri maupun internasional (Warjiyo 2016). Sejak dua dekade sebelum
krisis global 2008/2009, kredibilitas kebijakan moneter di berbagai negara mampu
berkontribusi dalam menurunkan inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi
(Taylor 2014). Era Great Moderation di Amerika Serikat dengan inflasi dan suku
bunga rendah serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama hampir dua dekade
sebagai contohnya. Akan tetapi boom ekonomi di AS mendorong inovasi produk
di sektor keuangan yang demikian kompleksnya, jauh dari intermediasi tradisional
melalui deposito dan kredit. Hal tersebut menyebabkan semakin banyaknya
produk turunan (derivative) yang sulit dipahami mekanisme transmisi dan
kandungan risikonya. Integrasi dalam keuangan global juga telah semakin kuat

14

sehingga semakin mempererat keterkaitan transmisi keuangan dan aliran modal
antar negara. Berbagai perkembangan seperti ini perlu semakin diperhatikan
dalam memahami mekanisme transmisi kebijakan moneter agara kebijakan
moneter lebih efektif.
Teori mekanisme kebijakan moneter pada mulanya mengacu pada peranan
uang dalam perekonomian, yang pertama kali dijelaskan oleh Fisher ditahun 1911
dalam bukunya yang berjudul Quantity Theory of Money. Dalam perkembangan
selanjutnya, dengan kemajuan di sektor keuangan selain perbankan dan semakin
terintegrasinya globalisasi keuangan, terdapat enam saluran mekanisme transmisi
kebijakan moneter (monetary policy transmission channels) yang sering
dikemukakan dalam teori ekonomi moneter (Mishkin 2001). Kelima saluran
transmisi moneter yang dimaksud adalah saluran moneter langsung (direct
monetary channel) yang diantaranya adalah, saluran suku bunga (interest rate
channel), saluran nilai tukar (exchange rate channel), saluran harga aset (asset
price channel), saluran kredit (credit channel), saluran neraca keuangan (balance
sheet channel), dan saluran ekspektasi (expectation channel). Beberapa ekonom
seperti Allen dan Carletti (2008), dan Borio dan Zhou (2008) berpandangan
bahwa saluran perilaku berisiko (risk taking channel) sebagai saluran transmisi
moneter tersendiri.
Bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter dimulai dari keputusan
kebijakan moneter bank sentral melalui suku bunga kebijakan dan instrumen
moenter lainnya, seperti operasi moneter, intervensi valuta asing, giro wajib
minimum (GWM). Atau yang lainnya. Tindakan tersebut kemudian memiliki
pengaruh terhadap aktivitas di sektor keuangan dan ekonomi riil melalui berbagai
saluran mekanisme transmisi, seperti saluran suku bunga, nilai tukar, harga aset,
uang beredar, kredit dan ekspektasi. Pengaruh kebijakan moneter tersebut terjadi
melalui dua tahapan mekanisme di dalam perekonomian, yaitu yang pertama
adalah interaksi