Exchange Rate Pass-Through dalam Konteks Inflation Targeting Framework: Kasus Empiris di 19 Negara di Dunia

EXCHANGE RATE PASS-THROUGH DALAM KONTEKS
INFLATION TARGETING FRAMEWORK: KASUS EMPIRIS
DI 19 NEGARA DI DUNIA

SALSA DILLA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Exchange Rate
Pass-Through dalam Konteks Inflation Targeting Framework: Kasus
Empiris di 19 Negara di Dunia adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Salsa Dilla
NIM H151130476

RINGKASAN
SALSA DILLA. Exchange Rate Pass-Through dalam Konteks Inflation Targeting
Framework: Kasus Empiris di 19 Negara di Dunia. Dibimbing oleh NOER
AZAM ACHSANI dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 banyak negara di
dunia mengubah kebijakan moneternya baik dalam rezim nilai tukar maupun
kerangka kebijakan moneter yang diadopsi. Semakin meluasnya keterbukaan
ekonomi serta semakin pentingnya pengendalian inflasi di suatu negara, menjadi
alasan utama yang melatarbelakangi banyak negara untuk mengubah rezim nilai
tukar yang dianut menjadi rezim nilai tukar mengambang bebas (floating
exchange rate) dan mengadopsi kerangka kebijakan moneter yang baru yaitu
inflation targeting framework (ITF).

Exchange rate pass-through (ERPT) didefinisikan sebagai persentase
perubahan harga (domestik, impor maupun ekspor) sebagai akibat dari perubahan
satu persen dalam kurs. Besaran ERPT digunakan untuk melihat besarnya
pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap pembentukan harga pada suatu negara.
Dengan diadopsinya ITF, peran nilai tukar dalam mempengaruhi pembentukan
tingkat inflasi menjadi semakin kecil atau dengan kata lain besaran koefisien
ERPT nya akan mengalami penurunan atau sering disebut dengan istilah loss of
pass-through. Hal ini disebabkan karena adanya kewajiban Bank Sentral untuk
fokus dan komitmen terhadap pencapaian sasaran target inflasi.
Penelitian ini menitikberatkan pada dampak implementasi ITF terhadap
koefisien jangka pendek dan jangka panjang ERPT di sembilan belas negara yang
mengadopsi ITF di dunia dengan mengelompokan negara tersebut menjadi
kelompok high income countries dan kelompok middle income countries.
Berdasarkan hasil perhitungan ERPT dengan menggunakan Autoregressive
Distributed Lag (ARDL) ditemukan bahwa implementasi ITF lebih berhasil
menurunkan koefisien jangka pendek dan jangka panjang ERPT di kelompok high
income countries dibandingkan dengan di kelompok middle income countries.
Jika dilihat dari besaran koefisien ERPT, negara-negara yang berada pada
kelompok middle income countries memiliki koefisien ERPT yang relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang berada pada kelompok high

income countries. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar masih memegang
peranan yang penting dalam mempengaruhi pembentukan tingkat inflasi di
kelompok middle income countries.
Belum terjadinya penurunan koefisien jangka pendek ERPT setelah
mengimplementasikan ITF di kelompok middle income countries menunjukkan
bahwa dibutuhkan waktu yang lebih panjang bagi kelompok negara tersebut untuk
mengalami penurunan ERPT. Dengan kata lain bagi kelompok middle income
countries, ITF baru akan optimal dimplementasikan jika diterapkan pada periode
waktu yang lebih panjang, dimana diperlukan waktu yang berbeda bagi setiap
negara untuk mengalami penurunan ERPT setelah mengimplementasikan ITF
tergantung dari kondisi struktur makroekonomi secara keseluruhan.
Kata kunci: exchange rate pass-through, inflation targeting framework, loss of
pass-through

SUMMARY
SALSA DILLA. Exchange Rate Pass-Through in The Perspective of Inflation
Targeting Framework: Empirical Case in 19 Countries in the World. Supervised
by NOER AZAM ACHSANI and LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Since the economic crisis in 1997/1998 many countries in the world have
changed their monetary policy in both exchange rate regimes and monetary policy

framework. The higher degree of market openness among the world and the
urgency of controlling inflation become the main reason to change the exchange
rate regimes into floating exchange rate and started to adopt inflation targeting
framework (ITF) as the new monetary policy framework.
Exchange rate pass-through (ERPT) is difined as the change in local
currency prices (domestic, import or export) resulting from one percent change in
the exchange rate. The degree of ERPT is used to identify the role of exchange
rate in influencing the domestic price. By adopting ITF, the role of exchange rate
in influencing the inflation rate has decreased or in the other word the degree of
ERPT will decrease which also known as loss of pass-through phenomenon. This
is because the obligation of Central Bank to focus and commit on reaching the
inflation target.
This research is focusing on the impact of ITF implementation on the short
term and long term degree of ERPT in nineteen countries who adopt ITF by
classifying the countries into high income countries and middle income countries.
Based on the result of ERPT estimation using Autoregressive Distributed Lag
(ARDL), it was found that the implementation ITF is more successful in
decreasing the short term and long term degree of ERPT in high income countries
rather than in middle income countries. Moreover if we see from the perspective
of the ERPT degree, the countries in the middle income countries group have a

higher degree of ERPT than the countries in high income countries group. This
finding strengthen the fact that exchange rate still plays an important role in
influencing the inflation rate in the middle income countries.
The finding that shows there hasn’t a decrease in short term degree of ERPT
after implementing ITF in middle income countries indicate that it takes a longer
time for these countries to fall on the decrease of ERPT. In the other word, ITF
will optimally adopted for middle income countries if it is implemented in the
long term period which needs a different period of time for each country to fall on
a decrease of ERPT after implementing ITF,
depends on the overall
macroeconomic condition.

Keywords: exchange rate pass-through, inflation targeting framework, loss of
pass-through

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EXCHANGE RATE PASS-THROUGH DALAM KONTEKS
INFLATION TARGETING FRAMEWORK: KASUS EMPIRIS
DI 19 NEGARA DI DUNIA

SALSA DILLA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Judul Penelitian
Nama
NIM
Program Studi

: Exchange Rate Pass-Through dalam Konteks Inflation
Targeting Framework: Kasus Empiris di 19 Negara di Dunia
: Salsa Dilla
: H151130476
: Ilmu Ekonomi

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Noer Azam Achsani, Ph.D
Ketua


Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir.R. Nunung Nuryartono, M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 4 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Exchange Rate Pass-Through
dalam Konteks Inflation Targeting Framework: Kasus Empiris di 19 Negara di
Dunia” berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Noer Azam Achsani,
Ph.D dan Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku dosen pembimbing atas
arahan, masukan serta motivasi yang sangat berharga dalam menyelesaikan
penelitian ini serta kepada Bapak Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS selaku penguji luar
komisi dan Ibu Dr.Ir. Sri Mulatsih, M.ScAgr selaku dosen penguji komisi
pendidikan atas kritik dan sarannya dalam menyempurnakan penelitian ini. Tak
lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Heni Hasanah, SE, M.Si dan Sri Retno
Wahyu Nugraheni, SE, M.Si selaku asisten dosen yang senantiasa memberikan
masukan yang sangat bermanfaat.
Di samping itu, ucapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta kakak tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada teman satu perjuangan Fastrack Angkatan 1
Maria Utari, Perdana, Andrian, Farhana, Friska, Nandha, Nida, Bintan, Manda
dan Bram. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada para sahabat terdekat Vicky

Alditiara, Rissa Febrina, Risya Maulida, Sri Wulan, Mellida, Meiyora, Farah
Meiska, Puspita Mega, Meiryanti, Amelia, Juwitania, Anindyah, Justisia, Ditri,
Yuki, Nur Nabilah, Annisa dan Maya. Serta pihak-pihak yang ikut membantu
dalam penyelesaian skripsi ini baik berupa saran, masukan maupun dukungan
kepada penulis. Ucapan terimakasih juga diberikan kepada seluruh civitas Sekolah
Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

Salsa Dilla

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
3 METODOLOGI
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Perumusan Model
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Eksploratif Data
Data Generating Process
Hasil Perhitungan Jangka Pendek dan Jangka Panjang Exchange Rate
Pass-Through pada Periode Sebelum dan Sesudah ITF
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

1
1
3
5
5
5
6
6
8
10
10
11
17
18
19
19
25

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

47

26
33
33
34
35

DAFTAR TABEL

1 Daftar Periode Estimasi Negara-negara Pengadopsi ITF
2 Variabel dan Sumber Data
3 Hasil Perhitungan Exchange Rate Pass-Through di Kelompok High
Income Countries dan Middle Income Countries (Periode: 8 Tahun
Sebelum dan 8 Tahun Sesudah ITF)
4 Perbandingan Hasil Perhitungan Perubahan Koefisien ERPT di
Kelompok Middle Income Countries

10
11

27
32

DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan Rata-rata Tingkat Inflasi pada Negara Pengadopsi ITF
2 Perbandingan Koefisien ERPT di Negara Maju dan Negara
Berkembang
3 Kerangka Pemikiran Teoritis
4 Kerangka Pemikiran Operasional
5 Plot Pergerakan Rata-rataTingkat Inflasi Tahunan (%) pada Periode
Sebelum dan Sesudah ITF
6 Rata-rataTingkat Inflasi Tahunan (%) pada Kelompok High Income
Countries dan Middle Income Countries
7 Rata-rataTingkat Inflasi Tahunan (%) per Kawasan
8 Rata-rataTingkat Pertumbuhan Ekonomi (%) pada Kelompok High
Income Countries dan Middle Income Countries
9 Rata-rataTingkat Pertumbuhan Ekonomi (%) per Kawasan
10 Plot Pergerakan Nilai Tukar (mata uang domestik/$) dan Tingkat Inflasi
di Kelompok High Income Countries
11 Plot Pergerakan Nilai Tukar (mata uang domestik/$) dan Tingkat Inflasi
di Kelompok Middle Income Countries
12 Rata-rata Pertumbuhan Value of Import (%) di Kelompok High Income
Countries dan Middle Income Countries
13 Rata-rata Pertumbuhan Value of Import (%) per Kawasan
14 Hasil Perhitungan Rata-rata Perubahan Koefisien ERPT pada
Kelompok High Income Countries dan Middle Income Countries

2
4
8
9
19
20
20
21
21
23
24
25
25
31

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Uji Akar Unit (Periode: 8 tahun Sebelum ITF dan 8 tahun Setelah ITF)
Uji Akar Unit (Periode: 7 tahun Sebelum ITF dan 7 tahun Setelah ITF)
Uji Akar Unit (Periode: 6 tahun Sebelum ITF dan 6 tahun Setelah ITF)
Uji Akar Unit (Periode: 5 tahun Sebelum ITF dan 5 tahun Setelah ITF)
Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi dan Penetapan Lag Optimum (Periode
Estimasi: 8 tahun Sebelum ITF dan 8 tahun Setelah ITF)
Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi dan Penetapan Lag Optimum (Periode
Estimasi: 7 tahun Sebelum ITF dan 7 tahun Setelah ITF)
Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi dan Penetapan Lag Optimum (Periode
Estimasi: 6 tahun Sebelum ITF dan 6 tahun Setelah ITF)
Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi dan Penetapan Lag Optimum (Periode
Estimasi: 5 tahun Sebelum ITF dan 5 tahun Setelah ITF)
Hasil Perhitungan Exchange Rate Pass-Through di Kelompok Middle
Income Countries (Periode Estimasi: 7 tahun Sebelum dan 7 tahun
Sesudah ITF)

40
41
41
42
43
43
44
44

45

10 Hasil Perhitungan Exchange Rate Pass-Through di Kelompok Middle
Income Countries (Periode Estimasi: 6 tahun Sebelum dan 6 tahun
Sesudah ITF)

45

11 Hasil Perhitungan Exchange Rate Pass-Through di Kelompok Middle
Income Countries (Periode Estimasi: 5 tahun Sebelum dan 5 tahun
Sesudah ITF)

46

DAFTAR ISTILAH

No
1.

2.

3.

4.

5.
6.

Istilah
Inflation targeting framework

Keterangan
Kerangka kebijakan moneter yang
menitikberatkan pada indikator tingkat
inflasi yang harus dicapai pada suatu
periode tertentu,
Exchange rate pass-through
Persentase perubahan harga (domestik,
impor maupun ekspor) sebagai akibat dari
perubahan satu persen dalam kurs
Loss of pass-through
Kondisi dimana terjadi penurunan
koefisien
ERPT
setelah
mengimplementasikan ITF,
Floating
exchange
rate Nilai tukar dibiarkan bergerak bebas
regimes
sesuai dengan kekuatan permintaan dan
penawaran yang terdapat di pasar,
Fixed exchange rate
Nilai tukar dibatasi pada suatu tingkat
tertentu,
Fear of floating
Kondisi dimana suatu negara terlihat
secara aktif membatasi fluktuasi kondisi
moneter internasionalnya dari pengaruh
nilai-nilai eksternal

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 banyak negara di
dunia mengubah kebijakan moneternya baik dalam rezim nilai tukar maupun
kerangka kebijakan moneter yang dianutnya. Perubahan rezim nilai tukar yang
sebelumnya merupakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate) berubah menjadi
nilai tukar mengambang bebas (floating exchange rate). Sedangkan dalam
konteks kerangka kebijakan moneter, terjadi pergeseran jangkar nominal yang
digunakan yaitu dari yang sebelumnya mengadopsi pentargetan jumlah uang
beredar (money targeting) atau pentargetan nilai tukar (exchange rate targeting)
menjadi penargetan inflasi (inflation targeting) (Bank Indonesia, 2004).
Penerapam rezim nilai tukar mengambang bebas (floating exchange rate)
menjadikan pergerakan nilai tukar tidak lagi dibatasi pada suatu tingkat tertentu
tetapi dibiarkan bergerak bebas sesuai dengan kekuatan permintaan dan
penawaran yang terjadi di pasar. Besarnya pengaruh pergerakan nilai tukar
terhadap tingkat inflasi dalam suatu negara tergantung pada tingkat keterbukaan
ekonomi pada negara tersebut. Keterbukaan ekonomi yang semakin luas
menjadikan pergerakan nilai tukar memegang peran yang penting terhadap
pembentukan variabel sasaran kebijakan moneter khususnya terhadap
pembentukkan inflasi. Oleh karena itu, prasyarat terjadinya nilai tukar yang stabil
akan membantu bank sentral untuk dapat lebih memfokuskan kebijakannya dalam
pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan.
Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran nilai
tukar terletak pada pengaruh aset finansial dalam valuta asing yang berasal dari
hubungan kegiatan ekonomi suatu negara dengan negara lain (Pohan, 2008).
Besarnya dampak pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap pembentukan harga
pada suatu negara dilihat dengan konsep exchange rate pass-through (ERPT)
yang sedang menjadi salah satu isu sentral dalam ekonomi internasional dewasa
ini. ERPT didefinisikan sebagai persentase perubahan harga (domestik, impor
maupun ekspor) sebagai akibat dari perubahan satu persen dalam kurs. Perubahan
nilai tukar dapat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap perkembangan harga-harga barang dan jasa di dalam negeri. Pengaruh
langsung (direct exchange rate pass-through) terjadi karena perubahan nilai tukar
mempengaruhi pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi
oleh masyarakat, khususnya terhadap barang impor. Sementara itu, pengaruh tidak
langsung (indirect exchange rate pass-through) terjadi karena perubahan nilai
tukar memengaruhi kegiatan ekspor dan impor, yang pada gilirannya berdampak
pada output dan perkembangan harga-harga barang dan jasa.
Selanjutnya dalam konteks kerangka kebijakan moneter, terjadinya
hyperinflation pada tahun 1980-an yang terjadi di banyak negara di dunia
membuat otoritas moneter pada masing-masing negara berkomitmen untuk
mencapai tingkat inflasi yang rendah. Urgensi pengendalian inflasi inilah yang
menjadi alasan utama dimulainya penerapan Inflation Targeting Framework (ITF)
di dunia. ITF merupakan kerangka kebijakan moneter yang menitikberatkan pada
indikator tingkat inflasi yang harus dicapai pada suatu periode tertentu. ITF
pertama kali diimplementasikan oleh negara-negara maju seperti Selandia Baru
(1990), Kanada (1991), Inggris (1992), Swedia (1993) dan Australia (1993).

2

Menurut Creel dan Hubert (2008), perkembangannya penerapan ITF di negara
maju membawa dampak yang positif terhadap laju inflasi dan kestabilan kondisi
perekonomiannya dimana tingkat inflasi cenderung rendah dan terkendali
sehingga dapat meningkatkan kinerja perekonomian di negara tersebut.
Kesuksesan implementasi ITF di negara maju membawa negara
berkembang, yang pada saat itu sedang terkena krisis nilai tukar 1997/1998, untuk
ikut mengadopsi ITF sebagai kerangka kebijakan moneter yang baru. Berdasarkan
Roger (2009) implementasi ITF di negara berkembang ternyata tidak sebaik di
negara maju. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa frekuensi
penyimpangan inflasi aktual terhadap target inflasi di negara berpendapatan
rendah (low income group) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara
berpendapatan tinggi (high income group). Dimana pada saat terjadi
ketidakstabilan harga barang pada tahun 2007, kinerja negara high income group
yang mengimplementasikan ITF relatif lebih baik dibandingkan dengan yang
tidak mengimplementasikan ITF. Sedangkan kinerja negara low income group
yang tidak mengimplementasikan ITF jutru relatif lebih baik dibandingkan
dengan yang mengimplementasikan ITF. Hal ini menunjukan bahwa ITF lebih
cocok diterapkan di negara maju dibandingkan negara berkembang termasuk di
Indonesia.
Perkembangan perbandingan implementasi ITF di berbagai negara di dunia
dapat dievaluasi dengan melihat pada tingkat inflasi aktual yang berhasil dicapai
pada negara tersebut. Gambar 1 merupakan perkembangan rata-rata tingkat inflasi
yang dicapai oleh negara-negara yang mengadopsi ITF di dunia.
(%) 7.85
6.53

6.89

6.49

5.49
3.55

2

5.91

6.16

5.34

6.04
4.56

3.28
2.04

Tahun ke- 1

5.83

1.81

3
4
5
High Income Countries

1.98
6

1.46

2.07

2.02

1.94

7
8
9
10
Middle Income Countries

Sumber: World Bank (2012), data diolah oleh penulis

Gambar 1. Perkembangan Rata-rata Tingkat Inflasi pada Negara Pengadopsi ITF
Gambar 1 menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun mengadopsi ITF
perkembangan rata-rata tingkat inflasi di kelompok high income countries1relatif
lebih rendah dan stabil dibandingkan dengan kelompok middle income countries2.
Dimana rata-rata tingkat inflasi pada kelompok high income countries berada
pada kisaran 5.49-1.46%, sedangkan pada kelompok middle income countries
rata-rata tingkat inflasi yang dicapai berada pada kisaran 7.85-4.56%. Hal ini
menunjukkan bahwa implementasi ITF lebih berhasil menciptakan inflasi yang
rendah dan stabil pada kelompok high income countries dibandingkan dengan
1

Peneliti mengelompokkan negara yang mengimplementasikan ITF menjadi kelompok
high income countries yang terdiri dari Selandia Baru, Kanada, Inggris, Swedia, Australia, Israel,
Czech Republic, Polandia, Switzerland, Korea Selatan dan Norwegia
2
Sedangkan untuk kelompok middle income countries terdiri dari India, Brazil, Afrika
Selatan, Thailand, Meksiko, Hungaria, Peru, Filipina, Indonesia, Romania dan Turki

3

kelompok middle income countries. Fakta ini semakin memperkuat argumen yang
menyatakan bahwa ITF lebih cocok diimplementasikan di negara maju
dibandingkan di negara berkembang.
Berdasarkan penelitian terdahulu, pada hakikatnya permasalahan yang
timbul di negara berkembang yang mengimplementasikan ITF relatif sama.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Mishra (2010), Francia dan Garcia
(2005), Torres dan Saridakis (2007) serta Yogi (2008) ditemukan bahwa
implementasi ITF di beberapa emerging countries seperti India, Meksiko dan
Indonesia memiliki pola fenomena moneter yang identik dimana peran nilai tukar
masih cukup besar dalam mempengaruhi tingkat inflasi akibatnya bank sentral
masih terjebak pada pengendalian nilai tukar (exchange rate targeting)
dibandingkan dengan pengendalian tingkat inflasi (inflation targeting) atau sering
disebut dengan istilah fear of floating.
Keterkaitan antara pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap pembentukan
harga (ERPT) pada suatu perekonomian terbuka, membuat otoritas moneter pada
negara yang mengimplementasikan ITF pada khususnya, akan mengalami
kesulitan dalam menentukan fokus kebijakan moneternya. Di satu sisi
implementasi ITF mengharuskan bank sentral komitmen terhadap pencapaian
target inflasi yang sudah ditetapkan. Tetapi disisi lain semakin meluasnya
keterbukaan ekonomi antar negara di dunia menjadikan pergerakan inflasi tidak
dapat terlepas dari pergerakan nilai tukar itu sendiri.
Bagi negara berkembang yang kondisi perekonomiannya belum sebaik
negara maju, evaluasi implementasi ITF masih menjadi suatu hal yang
diperdebatkan oleh banyak pihak. Oleh karena itu penelitian mengenai evaluasi
implementasi ITF khususnya di negara berkembang sangat menarik untuk dikaji
secara empiris. Selain itu penelitian mengenai analisis ERPT dalam konteks ITF
baik di developed countries maupun di emerging countries masih sedikit
dilakukan. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk melakukan studi
komparatif mengenai evaluasi implementasi ITF dalam perspektif ERPT baik di
developed countries maupun di emerging countries.
Perumusan Masalah
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kebijakan
moneter dimana kebijakan ini dapat diterapkan dengan syarat bahwa rezim nilai
tukar negara tersebut adalah mengambang bebas (floating exchange rate) dan
memiliki kebijakan keterbukaan ekonomi atau pada suatu negara dengan rezim
nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan keterbukaan ekonomi terbatas (Riyadi,
2012). Pada umumnya negara yang mengadopsi ITF menerapkan rezim nilai tukar
mengambang bebas. Dengan demikian pengaruh pergerakan nilai tukar tidak
dapat terlepas dari pertimbangan bank sentral dalam mencapai kebijakan
stabilisasi harga. Menurut Pohan (2008) kebijakan nilai tukar seharusnya
bertujuan untuk smoothing dampak dari temporary shock dan membantu
pencapaian target inflasi. Dengan demikian implementasi ITF seharusnya
menjadikan pergerakan nilai tukar bukan lagi menjadi isu utama dalam mencapai
stabilitas moneter, tetapi diletakkan sebagai subordinasi target inflasi.
Berdasarkan Taguchi (2010), dalam praktiknya negara yang
mengimplementasikan ITF akan mengalami penurunan exchange rate pass-

4

through (ERPT). Menurut Bailliu (2004) penurunan ERPT akan terjadi pada
negara yang memiliki tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Choudhri dan Hakura
(2001) menyatakan bahwa besarnya koefisien pass-through tergantung dari
kebijakan yang diadopsi dalam suatu negara, dimana jika bank sentral pada negara
tersebut kredibel dalam menciptakan tingkat inflasi yang rendah maka secara
otomatis akan terbentuk koefisien pass-through yang rendah. Artinya
implementasi ITF seharusnya dapat mengakibatkan pengaruh perubahan harga
akibat guncangan nilai tukar menjadi cenderung menurun. Hal ini disebabkan
adanya kewajiban komitmen yang kuat dari Bank Sentral untuk fokus terhadap
sasaran tunggal yaitu tercapainya stabilitas harga yang diproksikan dengan
pencapaian target inflasi.
Beberapa penelitian terdahulu mengenai perubahan ERPT dalam konteks
ITF telah dilakukan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Nogueira
(2007) telah menganalisis perbedaan koefisien ERPT pada periode sebelum dan
sesudah diimplementasikannya ITF di negara maju yang mengadopsi ITF
(Kanada, Swedia dan Inggris) dan di negara berkembang yang mengadopsi ITF
(Brazil, Czech Republic, Meksiko, Korea Selatan dan Afrika Selatan). Dari hasil
penelitian ditemukan bahwa fenomena loss of pass-through terjadi baik di negara
maju maupun di negara berkembang setelah mengimplementasikan ITF. Jika
dilihat dari besaran koefisien ERPT pada jangka panjang, koefisien ERPT di
negara berkembang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di negara maju baik
pada periode sebelum ITF maupun setelah ITF. Hal ini menunjukkan bahwa
pengaruh nilai tukar masih cukup besar dalam mempengaruhi pembentukan harga
di negara berkembang dibandingkan dengan di negara maju. Secara grafis
gambaran mengenai dampak implementasi ITF terhadap perubahan koefisien
EPRT dapat dilihat pada Gambar 2.
Negara Maju

Negara Berkembang
0.540
0.294

0.073

0.058

Sebelum ITF

0.169

0.067 0.033
Setelah ITF

Jangka Pendek
Sumber: Nogueira (2007), data diolah oleh penulis

Sebelum ITF

0.334

Setelah ITF

Jangka Panjang

Gambar 2. Perbandingan Koefisien ERPT di Negara Maju dan Negara
Berkembang
Penelitian lain mengenai analisis ERPT dalam konteks ITF yang dilakukan
oleh Taguchi dan Sohn (2010) dimana ditemukan bahwa di negara Asia Timur,
hanya Korea yang mengalami penurunan ERPT atau disebut juga dengan
fenomena loss of pass-through setelah mengimplementasikan ITF. Sedangkan di
Indonesia, Thailand dan Filipina tidak ditemukan adanya loss of pass-through.
Hal ini memperkuat fakta bahwa masih besarnya peran nilai tukar dalam
mempengaruhi inflasi domestik di beberapa emerging countries yang
mengimplementasikan ITF. Dengan demikian permasalahan yang muncul akibat
relatif masih tingginya ERPT di negara yang mengimplementasikan ITF adalah
kesulitan bank sentral pada negara tersebut dalam pencapaian target inflasi.
Sebagian besar penelitian mengenai dampak implementasi ITF dalam
perspektif ERPT telah banyak dilakukan di negara maju tetapi belum banyak

5

dilakukan di negara berkembang. Padahal beberapa penelitian menunjukkan hasil
yang berbeda pada fenomena loss of pass-through di negara maju dan di negara
berkembang yang mengimplementasikan ITF. Belum adanya penelitian yang
mencakup seluruh negara yang mengadopsi ITF di dunia, baik di negara maju
maupun di negara berkembang, menjadi alasan utama penulis untuk ingin
menganalisis perubahan ERPT dalam konteks ITF secara lebih mendalam. Selain
itu dengan menggunakan jangka waktu penelitian yang lebih panjang penelitian
ini diharapkan dapat memperbaharui penelitian-penelitian sebelumnya.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka inti permasalahan yang dapat diangkat
dalam penelitian ini secara garis besar diantaranya adalah:
1. Bagaimana analisis exchange rate pass through pada jangka pendek dan
jangka panjang di negara-negara yang mengimplementasikan ITF?
2. Apakah terjadi loss of pass-through setelah mengimplementasikan ITF?
3. Berapa lama periode waktu yang dibutuhkan oleh setiap negara agar dapat
mengalami penurunan koefisien exchange rate pass-through setelah
mengimplementasikan ITF?
Tujuan
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan dari
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis koefisien exchange rate pass-through pada jangka pendek
dan jangka panjang di negara-negara yang mengimplementasikan ITF.
2. Mengevaluasi perbandingan koefisien exchange rate pass-through pada
periode sebelum dan sesudah mengadopsi ITF.
3. Mengidentifikasi periode waktu yang dibutuhkan oleh setiap negara agar
dapat mengalami penurunan koefisien exchange rate pass-through setelah
mengimplementasikan ITF.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada otoritas
moneter khususnya bagi negara yang mengimplementasikan ITF dalam upaya
menurunkan ERPT sehingga dapat lebih fokus terhadap stabilitas inflasi. Selain
itu dengan melakukan studi komparatif perbandingan analisis ERPT di sembilan
belas negara yang mengimplementasikan ITF diharapkan dapat menjadi referensi
bagi pengambil kebijakan pada khususnya dalam merumuskan kebijakan
stabilisasi moneter. Penulis juga mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat
memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai referensi
untuk penelitian lebih lanjut.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup analisis exchange rate pass through
pada jangka pendek dan jangka panjang di negara-negara yang
mengimplementasikan ITF. Selanjutnya dievaluasi perubahan ERPT pada periode
sebelum dan sesudah mengimplementasikan ITF dan diidentifikasi periode waktu
yang dibutuhkan oleh setiap negara agar dapat mengalami penurunan ERPT

6

setelah mengadopsi ITF. Penelitian ini mencakup sembilan belas negara yang
mengimplemetasikan ITF yang dikategorikan sebagai high income countries yaitu
Selandia Baru, Kanada, Swedia, Australia, Polandia, Switzerland, Korea Selatan
dan Norwegia serta middle income countries yaitu India, Brazil, Afrika Selatan,
Thailand, Meksiko, Hungaria, Peru, Filipina, Indonesia, Romania dan Turki.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai evaluasi pengaruh penerapan kebijakan inflation
targeting framework (ITF) dalam perspektif exchange rate pass-through (ERPT)
telah dilakukan di berbagai negara. Syafri (2013) menganalisis pengaruh ERPT
terhadap harga domestik di Indonesia pada periode sebelum dan sesudah
mengadopsi ITF. Winkelried (2011) mengevaluasi perubahan ERPT setelah
mengimplementasikan ITF di Peru. Penelitian mengenai ERPT di negara maju
telah dilakukan oleh Bailliu (2004) dengan menganalisis perubahan ERPT setelah
mengadopsi kebijakan ITF di sebelas industrialized countries yaitu Austalia,
Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Kanada, Denmark, Spanyol, Finlandia,
Perancis, Inggris dan Italia. Sedangkan penelitian mengenai perbandingan ERPT
di negara berkembang telah dilakukan oleh Taguchi dan Sohn (2010) dengan
menganalisis ERPT di Indonesia, Korea Selatan, Thailand dan Filipina pada
periode sebelum dan sesudah mengadopsi ITF.
Penelitian mengenai perbandingan ERPT di negara maju dan negara
berkembang yang mengimplementasikan ITF telah dilakukan oleh Nogueira Jr.
(2007) dimana dilakukan perbandingan analisis ERPT di Inggris, Kanada dan
Swedia sebagai developed countries serta Afrika Selatan, Brazil, Czech Republic
dan Korea Selatan sebagai emerging countries. Coulibaly dan Kempf (2010)
melakukan perbandingan ERPT di limabelas negara yang mengadopsi ITF yaitu
Afrika Selatan, Brazil, Chili, Colombia, Czech Republic, Filipina, Hungaria,
Indonesia, Israel, Korea Selatan, Meksiko, Peru, Polandia, Thailand dan Turki
serta duabelas negara yang tidak mengadopsi ITF yaitu Argentina, Bulgaria, Cina,
Estonia, India, Lativa, Lithuania, Malaysia, Singapura, Taiwan, Uruguay dan
Venezuela. Kemudian Campa dan Goldberg (2004) telah mengestimasi ERPT di
dua puluh tiga negara OECD dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
besaran ERPT di kelompok negara tersebut.
Untuk menganalisis permasalahan yang ada Syafri (2013) dan Nogueira Jr.
(2007) menggunakan metode ARDL (Autoregressive Distributed Lag). Jeannine
Bailliu (2004) serta Taguchi dan Sohn (2010) menggunakan metode GMM
(Generalized Method of Moments). Metode SVAR (Structural Vector
Autoregression) digunakan oleh Winkelried (2011) sedangkan Coulibaly dan
Kempf (2010) menggunakan metode Panel VAR. Pada penelitian sebelumnya
seluruhnya menggunakan data sekunder. Sebagian besar data yang digunakan
berupa data time series. Data diperoleh dari berbagai macam sumber publikasi
seperti Bank Sentral pada masing-masing negara, International Financial
Statistic-IMF dan OECD (Organization of Economic Co-operation and
Development).
Secara garis besar, penelitian terdahulu menunjukan bahwa terdapat
perbedaan pengaruh ERPT pada negara yang mengadopsi ITF dengan negara

7

yang tidak mengadopsi ITF. Pada negara yang mengadopsi ITF terjadi penurunan
pengaruh ERPT terhadap harga domestik. Sedangkan pada negara yang tidak
mengadopsi ITF tidak terdapat perubahan yang signifikan pada perubahan
pengaruh ERPT terhadap harga domestik. Selain itu kontribusi guncangan nilai
tukar terhadap fluktuasi harga di negara yang mengadopsi ITF relatif lebih rendah
dibandingkan dengan di negara yang tidak mengadopsi ITF. Berdasarkan
penelitian terdahulu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya
koefisien ERPT di suatu negara yaitu diantaranya tingkat inflasi, volatilitas nilai
tukar dan money growth. Penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa
penurunan ERPT setelah mengadopsi ITF sebagian besar terjadi di developed
countries seperti Austalia, Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Kanada, Denmark,
Spanyol, Swedia, Finlandia, Perancis, Inggris dan Italia serta di beberapa
emerging countries seperti Afrika Selatan, Brazil, Czech Republic dan Korea
Selatan. Sedangkan di sebagian lain emerging countries yang mengadopsi ITF
seperti di Indonesia, Thailand dan Filipina tidak ditemukan adanya fenomena loss
of pass-through setelah diadopsinya kebijakan ITF. Dimana untuk kasus di
Indonesia sendiri ditemukan fenomena incomplete pass-through pada nilai tukar
yaitu guncangan pada nilai tukar tidak direspon penuh oleh harga domestik. Selain
itu tidak ditemukan adanya penurunan ERPT setelah mengadopsi ITF di
Indonesia.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini
menganalisis ERPT pada jangka pendek dan jangka panjang dengan memperluas
ruang lingkup penelitian yang telah dilakukan oleh Nogueira Jr. (2007). Pada
penelitian ini akan dianalisis ERPT di sembilan belas negara yang
mengimplementasikan ITF yaitu Selandia Baru, Kanada, Swedia, Australia,
Polandia, Switzerland, Korea Selatan dan Norwegia untuk kelompok high income
countries serta India, Brazil, Afrika Selatan, Thailand, Meksiko, Hungaria, Peru,
Filipina, Indonesia, Romania dan Turki untuk kelompok middle income countries
dengan menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag (ARDL). Semakin
luasnya cakupan negara yang akan dianalisis dapat menyempurnakan studi
komparatif mengenai pengaruh implementasi ITF terhadap ERPT dari penelitian
sebelumnya. Penelitian ini memasukkan negara Indonesia, Thailand dan Filipina
yang mana berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Taguchi dan Sohn
(2010) ketiga negara ini tidak mengalami loss of pass-through setelah
mengimplementasikan ITF. Selain itu penelitian ini akan mengidentifikasi periode
waktu yang dibutuhkan oleh setiap negara agar dapat mengalami penurunan
koefisien exchange rate pass-through setelah mengimplementasikan ITF.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berawal dari semakin pentingnya pengendalian inflasi dalam
perekonomian di suatu negara terkait dengan semakin meluasnya keterbukaan
ekonomi antar negara di dunia. Hal ini ditandai dengan implementasi kerangka
kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kebijakan yang
baru di berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia. ITF diyakini dapat
membantu bank sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan
menentukan sasaran kebijakan moneter berdasarkan pada proyeksi dan target
inflasi tertentu.

8

Keterbukaan ekonomi suatu negara akan membawa konsekuensi pada
perencanaan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro, termasuk kebijakan
moneternya. Hal ini mengingat semakin besar transaksi perdagangan dan
keuangan internasional yang dilakukan oleh suatu negara, maka semakin besar
pula aliran dana luar negeri yang masuk dan keluar dari negara yang
bersangkutan. Aliran dana luar negeri tersebut selanjutnya akan mempengaruhi
jumlah uang yang beredar, suku bunga dan nilai tukar dalam perekonomian yang
pada akhirnya akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Mekanisme dan besarnya pengaruh aliran dana luar negeri tersebut akan
dipengaruhi oleh sistem nilai tukar yang dianut oleh negara yang bersangkutan.
Pasca krisis nilai tukar 1997/1998 yang terjadi di kawasan Asia membawa
perubahan pada rezim nilai tukarnya menjadi sistem nilai tukar mengambang
bebas (floating exchange rate regimes). Pada sistem nilai tukar mengambang
bebas pergerakan nilai tukar diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Pengaruh
pergerakan nilai tukar terhadap inflasi domestik pada suatu negara
direpresentasikan dengan istilah exchange rate pass-through (ERPT). Bagi negara
yang mengadopsi ITF, pengaruh nilai tukar seharusnya tidak lagi menjadi isu
sentral tetapi hanya menjadi subordinat dari pencapaian stabilitas harga. Oleh
karena itu negara yang mengimplementasikan ITF seharusnya akan mengalami
penurunan exchange rate pass-through (ERPT).
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa implementasi
ITF di beberapa emerging countries peran nilai tukar masih cukup besar dalam
mempengaruhi tingkat inflasi akibatnya bank sentral masih terjebak pada
pengendalian nilai tukar (exchange rate targeting) dibandingkan dengan
pengendalian tingkat inflasi (inflation targeting). Berdasarkan argumen ini akan
dilakukan penelitian mengenai analisis ERPT terhadap inflasi domestik pada
jangka pendek dan jangka panjang di sembilan belas negara yang
mengimplementasikan ITF baik di negara maju maupun di negara berkembang,
dengan membedakan periode observasi menjadi periode sebelum ITF dan sesudah
ITF.
Untuk lebih jelas kerangka pemikiran teoritis dijelaskan pada Gambar 3 dan
kerangka pemikiran operasional dijelaskan pada Gambar 4.
Exchange Rate Pass-through

Kebijakan Moneter

Nilai Tukar

Harga Relatif
Impor

Permintaan
Agregat

Fokus Penelitian

Sumber: Warjiyo (2003)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Teoritis

Harga

9

Pengaruh implementasi ITF terhadap
perubahan exchange rate pass through

Permasalahan:
1. Bagaimana analisis exchange rate pass through pada jangka
pendek dan jangka panjang di negara-negara yang
mengimplementasikan ITF?
2. Apakah terjadi loss of pass-through setelah
mengimplementasikan ITF?
3. Berapa lama periode waktu yang dibutuhkan oleh setiap
negara agar dapat mengalami penurunan koefisien exchange
rate pass-through setelah mengimplementasikan ITF?
4.
Metode analisis Autoregressive Distributed Lag (ARDL)

Analisis dampak implementasi ITF terhadap
perubahan exchange rate pass through pada
jangka pendek dan jangka panjang

Tidak terjadi loss
of pass-through

Terjadi loss of
pass-through

Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka tersebut
diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
1. Terjadi penurunan koefisien exchange rate pass-through baik jangka pendek
maupun jangka panjang atau mengalami loss of pass-through pada negara
yang mengimplementasikan ITF.
2. Koefisien exchange rate pass-through di middle income countries relatif lebih
tinggi dibandingkan di high income countries.
3. Dibutuhkan periode waktu yang lebih panjang pada kelompok middle income
countries untuk dapat mengalami loss of pass-through dibandingkan dengan
kelompok high income countries.

10

3 METODOLOGI
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa deret waktu (times series) bulanan di sembilan belas negara yang
mengimplementasikan ITF. Negara-negara tersebut dikelompokkan menjadi
kelompok high income countries yaitu Selandia Baru, Kanada, Swedia, Australia,
Polandia, Switzerland, Korea Selatan dan Norwegia serta kelompok middle
income countries yaitu India, Brazil, Afrika Selatan, Thailand, Meksiko,
Hungaria, Peru, Filipina, Indonesia, Romania dan Turki. Pemilihan jumlah negara
yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada ketersediaan data. Untuk
dapat membandingkan pengaruh ERPT terhadap inflasi domestik pada periode
sebelum dan sesudah diimplementasikannya ITF, periode data yang digunakan
dibagi menjadi delapan taun sebelum dan delapan tahun sesudah diadopsinya ITF.
Sehingga periode data yang digunakan akan berbeda pada masing-masing negara.
Daftar negara dan periode data yang digunakan oleh masing-masing negara secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Daftar Periode Estimasi Negara-negara Pengadopsi ITF
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.

Negara

Tahun Mulai

Periode Pre-ITF

Kelompok High Income Countries:
Selandia Baru
1990:M1
1982:M1-1989:M12
Kanada
1991:M2
1983:M2-1991:M1
Swedia
1993:M1
1985:M1-1992:M12
Australia
1993:M4
1985:M4-1993:M3
Polandia
1998:M10
1990:M10-1998:M9
Switzerland
2000:M1
1992:M1-1999:M12
Korea Selatan
2001:M1
1993:M1-2000:M12
Norwegia
2001:M3
1993:M3-2001:M2
Kelompok Middle Income Countries:
India
1990:M12
1982:M12-1990:M11
Brazil
1999:M6
1991:M6-1999:M5
Afrika Selatan
2000:M2
1992:M2-2000:M1
Thailand
2000:M5
1992:M5-2000:M4
Meksiko
2001:M1
1993:M1-2000:M12
Hungaria
2001:M6
1993:M6:2001:M5
Peru
2002:M1
1994:M1-2001:M12
Filipina
2002:M1
1994:M1-2001:M12
Indonesia
2005:M7
1997:M7-2005:M6
Romania
2005:M8
1997:M8-2005:M7
Turki
2006:M1
1998:M1-2005:M12

Periode Post ITF
1990:M1-1997:M12
1991:M2-1999:M1
1993:M1-2000:M12
1993:M4-2001:M3
1998:M10-2006:M9
2000:M1:2007:M12
2001:M1-2008:M12
2001:M3-2009:M2
1990:M12-1998:M11
1999:M6-2007:M5
2000:M2-2008:M1
2000:M5-2008:M4
2001:M1-2008:M12
2001:M6-2009:M5
2002:M1-2009:M12
2002:M1-2009:M12
2005:M7-2013:M6
2005:M8-2013:M7
2006:M1-2013:M12

Sumber: Riyadi (2012) dan World Bank (2012), data diolah oleh penulis

Data yang digunakan yaitu Consumer Price Index (CPI), Industrial
Production Index (IPI) atau Manufacturing Production Index (MPI) atau Real
Gross Domestic Product (RGDP), nilai tukar nominal (nilai tukar domestik/$) dan
value of import (VOI). Data dalam bentuk kuartalan akan diagregasi menjadi data
bulanan dengan menggunakan perhitungan cubics match last. Secara rinci

11

variabel dan data yang digunakan pada masing-masing negara disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Variabel dan Sumber Data
No.
Variabel
Proksi
Negara
1.
Harga
CPI
 Bulanan:
Domestik
Kanada, Swedia, Switzerland,
Norwegia, Peru, Polandia, Brazil,
Afrika Selatan, Meksiko, Korea
Selatan, Filipina, Hungaria, India,
Indonesia, Romania, Thailand dan
Turki.
 Kuartalan:
Australia dan Selandia Baru
2.
Output
IPI
 Bulanan:
Australia, Kanada, Norwegia,
Polandia, Brazil, Meksiko, Korea
Selatan, Filipina, Hungaria, India,
Indonesia, Romania dan Turki.
MPI
 Bulanan:
Afrika Selatan
RGDP  Kuartalan:
Selandia Baru, Swedia, Thailand,
Peru dan Switzerland
3.
Nilai Tukar
NER
 Bulanan:
Nominal
Semua negara yang diestimasi
(nilai tukar
domestik/$)
4.
Harga Impor VOI
 Bulanan:
Semua negara yang diestimasi

Sumber
IFS, CEIC,
Bank
Sentral
Australia
dan Bank
Sentral
Selandia
Baru

IFS dan
CEIC

IFS
IFS

IFS

IFS

Data diperoleh dari berbagai sumber antara lain International Financial
Statistic (IFS) versi online, CEIC database, Bank Sentral Australia dan Bank
Sentral Selandia Baru. Selain itu data juga diperoleh berdasarkan studi pustaka
dari berbagai literatur seperti jurnal dan artikel yang berkaitan dengan penelitian
baik dari media cetak maupun internet. Dalam menganalisis data, peneliti
menggunakan bantuan software atau perangkat lunak Microsoft Excel 2007,
Microfit 4.1, dan Eviews 6.
Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai
tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, pergerakan nilai tukar, dan harga impor
dari masing-masing negara yang dianalisis. Dalam metode analisis deskriptif
disajikan gambar/grafik dalam bentuk plot data untuk memperlihatkan kondisi
pergerakan serta korelasi dari masing-masing variabel. Melalui gambaran umum
ini diharapkan dapat menguatkan analisis ekonometrika untuk menjawab tujuan
penelitian ini.

12

Disagregasi Data
Disagregasi data dilakukan dengan menggunakan metode Qubic Match Last.
Hal ini dilakukan apabila data yang tersedia memiliki frekuensi observasi tahunan
atau kuartalan untuk disesuaikan menjadi data bulanan.
Metode Hodrick-Presscott Filter
Metode Hodrick-Presscott (HP) Filter digunakan untuk melihat
kecenderungan (tren) dari output dalam jangka panjang. Metode HP Filter
berusaha untuk mendekomposisikan series data menjadi tren (μ t) dan komponen
stasioner yt – μ t. Jika didefinisikan dengan jumlah kuadrat adalah sebagai berikut:




(3.1)

dengan
adalah sebuah konstanta,
adalah rata-rata, dan
adalah jumlah
observasi yang digunakan.
Permasalahan dalam penggunaan metode HP Filter adalah bagaimana
menentukan suatu deret dari
sehingga meminimumkan jumlah kuadrat (SS).
Terkait dengan permasalahan minimisasi, adalah suatu sembarang konstanta
yang mencerminkan biaya terkait dengan bagaimana menurunkan fluktuasi
menjadi tren. Tarik ulur dalam menentukan besar akan berimplikasi pada hasil
dekomposisi, akan menjadi tren yang halus atau bahkan akan menjadi konstanta
(Enders, 2004).
Merujuk pada Hodrick-Presscott (1997), nilai dibedakan menurut periode
data, yaitu untuk data tahunan menggunakan
, sedangkan pada data
triwulanan ditetapkan sebesar 1.600, sementara untuk data bulanan besarnya
adalah 144.000.
Autoregressive Distributed Lag (ARDL)
Metode ARDL yang diperkenalkan oleh Pesaran dan Shin (1997)
merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan jangka panjang
dengan melibatkan adanya konsep kointegrasi diantara variabel time series.
Prosedur dalam ARDL diyakini dapat mengestimasi parameter dalam jangka
panjang dengan tepat serta dapat mengestimasi t-statistik dengan valid.
Berikut adalah model augmented autoregressive distributed lag ARDL(p,q)
menurut Pesaran dan Shin (1997):


(3.2)
(3.3)

dimana xt merupakan variabel berdimensi k pada integrasi satu I(1) yang tidak
terkointegrasi diantara mereka, ut dan t merupakan gangguan/error dengan
rataan nol, varian dan kovarian konstan serta tidak berkorelasi serial. Pi
merupakan matriks koefisien k x k proses vektor autoregressive pada ∆ xt stabil

dengan asumsi roots dari
diturunkan diluar dari unit circle nya
dan berlaku hubungan jangka panjang yang stabil diantara yt dan xt.


(3.4)

13

Dimana:
(3.5)
(3.6)
L adalah lag operator sehingga Lyt = yt-1 dan wt adalah vektor s x 1 dari variabel
deterministik seperti intersep, dummy musiman, trend atau variabel eksogenous
dengan lag tetap. Pertama, persamaan (3.2) diestimasi dengan metode OLS untuk
semua kemungkinan nilai dari
,
,
;
yaitu model ARDL yang berbeda dengan total
. Jumlah lag
maksimum, m, dipilih oleh peneliti, dan semua model diestimasi untuk periode
sample yang sama yaitu
.
Tahap kedua, untuk menentukan satu model terbaik dari jumlah total model
digunakan empat model selection criteria:
criterion, Akaike
information criterion (AIC), Schwarz Bayesian criterion (SBC), atau HannanQuinn criterion (HQC). Koefisien jangka panjang untuk respon
terhadap
perubahan satu unit
diestimasi dengan:
̂

̂

̂

̂

̂

̂

̂

̂

̂

̂̂
̂̂ ,

(3.7)

dimana ̂ dan ̂ ,
adalah nilai estimasi
dan ,
.
Dengan cara yang sama, koefisien jangka panjang yang terkait dengan variabel
deterministic atau eksogenous dengan lag tetap diestimasi dengan formula:
̂

̂ ̂̂ ̂
̂
̂

̂

̂̂

(3.8)

dimana ̂ ̂ ̂ ̂
̂ merupakan estimasi OLS dari untuk model ARDL
terpilih.
Beberapa literatur mengenai uji kointegrasi yang dapat digunakan seperti
Engel-Granger, Johansen, Phillips dan Hansen, Phillips dan Loretan mensyaratkan
perlunya variabel-variabel yang diestimasi terintegrasi dalam level yang sama
pada ordo I(1) atau first difference. Untuk mengatasi hal tersebut Pesaran dan
Shin (1997) mengembangkan metode ARDL dengan menggunakan Bound Testing
Cointegration. Menurut Fosu dan Magnus (2006) dalam Hasanah (2010) metode
ARDL memiliki berbagai kelebihan, yaitu pertama proses pengujiannya
sederhana jika dibandingkan dengan pengujian kointegrasi Johansen-Jeselius. Hal
ini karena pengunaan bound testing cointegration cukup dengan menguji
kointegrasi yang diestimasi menggunakan OLS ketika lag dari model telah
diidentifikasi. Kedua, ARDL tidak memerlukan pengujian akar unit untuk
variabel yang digunakan dalam penelitian. Pengujian ini dapat dipergunakan tanpa
tergantung pada orde integrasi regresor pada I(0), I(1) ataupun satu sama lain
saling terkointegrasi. Ketiga, pengujian dengan ARDL relatif lebih efisien untuk
sampel data yang kecil dan terbatas.
Langkah-langkah dalam pengujian ARDL pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Uji Non-Stasioneritas dilakukan dengan Phillip Perron (PP) Test.
Hipotesis uji dari PP Test adalah sebagai berikut:
; ada unit root/tidak stasioner
; tidak ada unit root/stasioner

14

Kriteria hasil uji adalah dengan membandingkan nilai Z statistik dengan
nilai kritis statistik Dickey-Fuller. Jika nilai Z statistik lebih kecil dari nilai
kritis statistik Dickey-Fuller maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut
stasioner. Apabila hasil uji menunjukkan bahwa data yang digunakan tidak
stasioner pada derajat I(0) atau level maka terdapat dua kemungkinan
model ARDL yang akan digunakan. Apabila data tersebut terkointegrasi
maka model ARDL yang digunakan adalah ARDL for Cointegration.
Namun jika data yang digunakan tidak terkointegrasi maka model ARDL
yang digunakan adalah ARDL first difference.
2. Untuk melihat adanya hubungan kointegrasi antara variabel yang tidak
stasioner dilakukan Bound Testing Cointegration. Estimasi persamaan
dilakukan dengan menggunakan OLS dengan mengaplikasikan uji F yang
ditujukan untuk mengetahui adanya hubungan jangk