Exchange Rate Pass-Through Untuk Harga Domestik: Kasus Indonesia

EXCHANGE RATE PASS-THROUGH UNTUK HARGA
DOMESTIK: KASUS INDONESIA (2004-2013)

YOHANES PUTRA ABADI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Exchange Rate Passthrough untuk Harga Domestik: Kasus Indonesia (2004-2013) adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Yohanes Putra Abadi
NIM H14100026

ABSTRAK
YOHANES PUTRA ABADI. Exchange Rate Pass-through Untuk Harga
Domestik: Kasus Indonesia. Dibimbing oleh IMAN SUGEMA.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model VECM data bulanan dari
Januari 2004 sampai dengan Desember 2013. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: 1. Pergerakan Exchange Rate memiliki efek moderat pada inflasi harga
domestik 2. Exchange Rate Pass-through lebih parah terjadi di PPI dibandingkan
dengan CPI karena pangsa yang lebih tinggi diperdagangkan di PPI relatif
terhadap CPI 3. Dampak Pass-through pada harga domestik menyebar lebih dari
12 bulan, namun efeknya akan lebih parah dalam tiga bulan pertama untuk PPI
dan setelah empat bulan pertama untuk CPI seperti yang ditunjukkan oleh
koefisien Pass-through 4. Pertukaran Pass-through untuk harga konsumen
semakin meningkat setelah fenomena Dinamika Sistem Keuangan Global pada
bulan Maret 2009 dimana terjadi depresiasi Rupiah. Exchange Rate Pass-through
yang rendah untuk harga domestik, memiliki implikasi bagi pelaksanaan
kebijakan moneter, yaitu memberikan kebebasan yang lebih besar untuk mengejar

kebijakan moneter yang independen khususnya melalui penargetan inflasi rezim.
Kata kunci: Inflasi, Nilai Tukar Pass-through, Vector Error Correction Model

ABSTRACT
YOHANES PUTRA ABADI. Exchange Rate Pass-through to Domestic Prices:
The Case of Indonesia. Supervised by IMAN SUGEMA.
In this study, the authors use a VECM model of monthly data from January
2004 to December 2013, results showed that: 1. Exchange rate movements had a
moderate effect on domestic price inflation 2. Exchange Rate Pass-through is
more severe in CPI compared to PPI due to the higher share of trade in PPI
relative to CPI 3. Pass-through impact on domestic prices spread over 12 months,
but the effect is more pronounced in the first three months after the PPI and CPI
for the first four months as indicated by coefficient Pass–through 4. Exchange
Pass-through to consumer price increased after the condition of the effect of the
Global Financial System Dynamics in March of 2009 where there is depreciation
of the Rupiah. Exchange Rate Pass-through to domestic prices low, has
implications for the implementation of monetary policy, which gives greater
freedom to pursue an independent monetary policy through inflation targeting
regime in particular.
Keywords: Exchange Rate Pass-through, Inflation, Vector Error Correction Model


EXCHANGE RATE PASS-THROUGH UNTUK HARGA
DOMESTIK: KASUS INDONESIA (2004-2013)

YOHANES PUTRA ABADI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

i


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini ialah moneter, dengan judul Exchange Rate Pass-through
untuk Harga Domestik: Kasus Indonesia (2004-2013).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Iman Sugema selaku
pembimbing. Disamping itu, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ka
Farhana Zahrotunnisa. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Juga tidak lupa ungkapan
terima kasih kepada teman-teman Ilmu Ekonomi 47 dan teman-teman dari Komisi
Kesenian, teman-teman UKM PMK atas dukungan doa dan motivasinya dalam
penyusunan skripsi saya ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Baik bagi penulis maupun pihak pihak
lain.
Bogor, Agustus 2014
Yohanes Putra Abadi

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

4

Manfaat Penelitian

4

Ruang Lingkup Penelitian

4

TINJAUAN PUSTAKA

5


Exchange Rate Pass-through

5

Penelitian Terdahulu

6

Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu

7

KERANGKA PEMIKIRAN

8

METODE PENELITIAN

9


Jenis dan Sumber Data

9

Metode Analisis Data

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Uji Stasioner

11

Penetapan Tingkat Lag Optimal

12


Uji Kointegrasi

13

Pengaruh Exchange Rate Terhadap Harga Domestik

14

Variabel yang Berhubungan dengan CPI dan PPI

17

SIMPULAN DAN SARAN

21

DAFTAR PUSTAKA

22


LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

26

iii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Augmented Dickey Fuller ( ADF ) Unit Root Test
Optimal Lag Jan 2004 – Dec 2013

Optimal Lag Jan 2004 – March 2009
Optimal Lag April 2009 – Dec 2013
Summary of Cointegration Tests
Impuls Respon: Estimated Cumulative Pass-through Coefficient of
Domestic Prices
7 Variance Decomposition of Domestic Prices

12
13
13
13
14
16
17

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Annual Percentage Change of Exchange Rate, PPI and CPI
Exchange Rate Pass-through
Kerangka Pemikiran
Impulse Responses of Domestic to One Standard Deviation Innovation
in Exchange Rate
Estimate Cumulative Pass-through Coefficients
Impuls Response Function for Jan 2004 – Dec 2013 Period
Impuls Response Function for Jan 2004 – March 2009 Period
Impuls Response Function for April 2009 – Dec 2013 Period

1
5
8
15
15
18
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai Reserve Money, Indeks Harga Konsumen (CPI), Indeks Harga
Perdagangan Besar (PPI), Indeks Produksi Industri (IPI), Harga Minyak
(HM), dan Exchange Rate Nominal (EXR) Indonesia periode Januari
2004 – Desember 2013

23

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kondisi perekonomian suatu negara dapat dilihat dari salah satu indikator
dasar makroekonomi. Salah satu dari indikator dasar makroekonomi tersebut
adalah inflasi. Inflasi adalah kenaikan tingkat harga yang terjadi secara terus
menerus, memengaruhi individu, pengusaha dan pemerintah (Mishkin, 2008).
Umumnya laju inflasi digunakan untuk mengukur sejauh mana perekonomian
suatu negara mampu mempertahankan stabilitas kegiatan perekonomiannya.
Inflasi yang terjadi disebabkan karena adanya demand pull inflation (inflasi
tarikan permintaan) dan cost push inflation (inflasi desakan biaya). Untuk negara
dengan perekonomian terbuka, inflasi berasal dari internal presure (faktor dalam
negeri) dan juga external presure (faktor luar negeri). Faktor eksternal bersumber
dari adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri ataupun adanya
fluktuasi nilai tukar.
Nilai tukar (harga dari mata uang asing dipandang dari segi mata uang
domestik) adalah salah satu harga terpenting dalam ekonomi terbuka (Chowdhury,
A.Hossain. 1996). Nilai tukar dapat dibedakan menjadi dua yaitu nilai tukar
nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga suatu mata uang
terhadap mata uang lainnya, sedangkan nilai tukar riil adalah memperhitungkan
inflasi. Pergerakan nilai tukar memiliki efek moderat pada inflasi harga domestik
seperti yang terlihat pada (Gambar 1).
Secara teoritis, sebuah negara yang menerapkan nilai tukar mengambang
akan menghadapi situasi dimana nilai tukar dalam negeri terhadap mata uang
asing akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung ketingkat
harga domestik. Sebagian barang-barang konsumsi yang dibeli merupakan barang
yang diimpor, sehingga ketika mata uang domestik jatuh terhadap mata uang
asing akan berdampak langsung dengan harga barang di negara tersebut. Selain itu,
efek tidak langsung dari dalam negeri perubahan mata uang terjadi melalui
peningkatan biaya produksi industri dalam negeri digunakan yang bahan baku
impor. Efek langsung dari nilai tukar pada tingkat harga domestik yang terkait
dengan teori paritas daya beli (PPP), yang mengasumsikan bahwa ada hubungan
antara perubahan nilai tukar dengan perubahan harga domestik (Indeks Harga
Konsumen (CPI) dan Indeks Harga Perdagangan Besar (PPI)).

Gambar 1 Annual Percentage Change of Exchange Rate, PPI and CPI (Rp/US$)
Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa pergerakan nilai tukar memiliki efek
moderat pada inflasi harga domestik yaitu pada CPI dan PPI. Bila dilihat dari

2
grafik data diatas kenaikan dan penurunan CPI dan PPI melalui nilai tukar dan
dikombinasikan dengan kondisi perekonomian Indonesia, hal ini disebabkan oleh
kenaikan harga minyak dunia, krisis energi dan krisis pangan, krisis keuangan dan
krisis ekonomi dunia dan ditandai dengan tingkat inflasi yang terlihat terlalu jauh
ketimpangannya antar tiap bulan dalam per tahun nya dari 2004-2013. Kekuatan
pengaruh nilai tukar terhadap inflasi itu sendiri tergantung pada sistem nilai tukar
apa yang digunakan suatu negara. Negara-negara didunia memiliki rezim
penetapan nilai tukar yang beragam, yang dibedakan menjadi tiga yaitu peg, fix,
dan floating. Peg exchange rate atau menempel adalah penetapan nilai tukar
dengan mengacu pada salah satu mata uang (biasanya US Dollar). Fix exchange
rate (nilai tukar tetap) adalah penetapan nilai tukar yang dipatok oleh pemerintah
untuk jangka waktu tertentu, keuntungan dari menggunakan fix exchange rate
adalah dapat meminimalisir risiko fluktuasi nilai tukar, sedangkan floating
exchange rate (nilai tukar mengambang) adalah membebaskan nilai tukar
terhadap pasar uang yang terjadi di negara tersebut (Malahayati, 2011).
Indonesia sendiri merupakan suatu negara dengan perekonomian terbuka,
sehingga fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS secara teoritis
berhubungan positif dengan laju inflasi, dimana ketika nilai tukar Rupiah
terdepresiasi terhadap dollar AS laju inflasi cenderung tinggi. Hal ini dapat dilihat
dari kinerja sektor keuangan Indonesia yang juga banyak dipengaruhi oleh
Dinamika Sistem Keuangan Global, akibatnya nilai tukar rupiah melemah tajam
ke level Rp 11.829,4 per dollar AS pada bulan Maret 2009 yang akan
menyebabkan laju inflasi cenderung tinggi. Salah satu teori yang digunakan untuk
menentukan nilai tukar adalah teori purchasing power parity (PPP), atau lebih
dikenal dengan teori paritas daya beli. Teori paritas daya beli ini menyatakan
bahwa nilai tukar mata uang antar negara harus mencerminkan nilai perbandingan
nilai mata uang suatu negara terhadap negara lainnya yang ditentukan oleh daya
beli masing-masing negara yang berarti nilai tukar antara dua negara sama dengan
rasio tingkat harga dari kedua negara tersebut. Teori ini memprediksikan bahwa
penurunan daya beli dari suatu mata uang akan menyebabkan nilai tukar dari mata
uang tersebut terdepresiasi dan begitu pula sebaliknya depresiasi mata uang
domestik dapat menyebabkan terjadinya inflasi. Dengan demikian secara teoritis
dengan asumsi PPP berlaku, maka inflasi dalam negeri yang lebih besar daripada
luar negeri akan mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah. Selanjutnya
depresiasi itu sendiri juga akan mendorong inflasi karena Pass-through effect dari
barang-barang dan bahan baku impor sehingga biaya produksi juga akan
meningkat. Dalam situasi perekonomian negara yang mengalami depresiasi sangat
besar, depresiasi rupiah mengakibatkan kenaikan sangat besar pada harga barangbarang tradable dan nontradable.
Exchange Rate Pass-through merupakan hubungan antara pergerakan nilai
tukar dan penyesuain harga barang yang diperdagangkan. Telah diakui secara luas
bahwa nilai tukar Pass-through adalah proses yang menghabiskan waktu, dan
tampaknya bervariasi banyak antar negara dan waktu serta di industri dalam suatu
negara. Total efek nilai tukar Pass-through tergantung pada faktor mikro serta
kondisi makroekonomi. Faktor-faktor ini dapat terdaftar sebagai berikut; struktur
pasar dan tingkat konsentrasi, persepsi variabilitas dan durasi dari nilai tukar,
tingkat homogenitas baik substitusi yang diperdagangkan dan pangsa pasar
perusahaan asing sehubungan dengan pesaing domestik, derajat asimetri

3
(hysteresis) dari keputusan perusahaan untuk masuk atau keluar ketika perubahan
nilai tukar, tingkat perdagangan intra perusahaan, kebijakan perdagangan,
kebijakan devisa mempengaruhi harga pasar dari barang yang diperdagangkan,
lingkungan inflasi yang berbeda.
Pemahaman yang mendalam tentang Exchange Rate Pass-through adalah
sangat penting karena beberapa alasan: pertama, pengetahuan tentang derajat dan
waktu Pass-through sangat penting untuk penilaian yang tepat dari transmisi
kebijakan moneter pada harga serta untuk peramalan inflasi. Kedua, penerapan
target inflasi membutuhkan pengetahuan tentang ukuran dan kecepatan nilai tukar
Pass-through ke inflasi. Dan terakhir, tingkat nilai tukar Pass-through memiliki
implikasi penting untuk expenditure-switching efek dari nilai tukar. Dengan kata
lain, tingkat nilai tukar Pass-through akan memungkinkan bagi arus perdagangan
tetap relatif tidak sensitif terhadap perubahan nilai tukar, meskipun permintaan
mungkin sangat elastis. Jika harga merespon lamban terhadap perubahan nilai
tukar dan jika arus perdagangan merespon lambat terhadap perubahan harga
relatif, maka neraca pembayaran secara keseluruhan proses penyesuaian akan
sangat terhenti, yang akan menghasilkan tingkat tertentu dari "nilai tukar
putuskan".

Perumusan Masalah
Indonesia sendiri merupakan suatu negara dengan perekonomian terbuka,
sehingga fluktuasi nilai tukar secara teoritis berhubungan positif dengan laju
inflasi, dimana ketika nilai tukar terdepresiasi laju inflasi cenderung tinggi. Hal ini
dapat dilihat dari kinerja sektor keuangan Indonesia yang juga banyak dipengaruhi
oleh Dinamika Sistem Keuangan Global, akibatnya nilai tukar rupiah melemah
tajam ke level Rp 11.829,4 per dollar AS pada bulan Maret 2009. Selanjutnya
depresiasi itu sendiri juga akan mendorong inflasi karena Pass-through effect dari
barang-barang dan bahan baku impor sehingga biaya produksi juga akan
meningkat. Pemahaman yang mendalam tentang nilai tukar Pass-through adalah
sangat penting karena beberapa alasan: pertama, pengetahuan tentang derajat dan
waktu Pass-through sangat penting untuk penilaian yang tepat dari transmisi
kebijakan moneter pada harga serta untuk peramalan inflasi. Kedua, penerapan
target inflasi membutuhkan pengetahuan tentang ukuran dan kecepatan nilai tukar
Pass-through ke inflasi. Dan terakhir, tingkat nilai tukar Pass-through memiliki
implikasi penting untuk expenditure-switching efek dari nilai tukar. Dengan kata
lain, tingkat nilai tukar Pass-through akan memungkinkan bagi arus perdagangan
tetap relatif tidak sensitif terhadap perubahan nilai tukar, meskipun permintaan
mungkin sangat elastis. Jika harga merespon lamban terhadap perubahan nilai
tukar dan jika arus perdagangan merespon lambat terhadap perubahan harga
relatif, maka neraca pembayaran secara keseluruhan proses penyesuaian akan
sangat terhenti, yang akan menghasilkan tingkat tertentu dari "nilai tukar
putuskan‘'.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, perlu dilihat hubungan dan
pengaruh Exchange Rate Pass-through untuk harga domestik. Maka dari itu,
permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

4
1. Seberapa besar pergerakan exchange rate mempengaruhi produsen dalam
negeri dan harga konsumen di Indonesia dengan menganalisis data dari
Januari 2004 sampai Desember 2013?
2. Bagaimana hubungan variabel lain selain exchange rate terhadap CPI dan
PPI?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan di atas,
tujuan penelitian ini secara umum adalah:
1. Untuk menerangkan sejauh mana pergerakan exchange rate
mempengaruhi harga produsen dalam negeri dan harga konsumen di
Indonesia dengan menganalisis data dari Januari 2004 sampai Desember
2013.
2. Mengidentifikasi hubungan variabel lain selain exchange rate terhadap
CPI dan PPI.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
otoritas moneter untuk mengambil langkah kebijakan yang tepat berdasarkan
kondisi perekonomian yang sedang terjadi karena adanya pengaruh Exchange
Rate Pass-through. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat
bagi para pembaca sebagai refrensi untuk penelitian lebih lanjut.
Ruang Lingkup Penelitian
Analisis data yang digunakan menggunakan metode Vector Error Correction
Model (VECM), uji stasioner, uji optimum lag, uji kointegrasi, peramalan impuls
response dan Varian Decomposition (VD). Data yang digunakan adalah Harga
Minyak Mentah (HM)/Indonesia Crude Price (dalam mata uang lokal), Indeks
Produksi Industri (IPI) Indonesia, Reserve Money (RM) Indonesia, Exchange Rate
Nominal (EXR) Rupiah terhadap US$, Indeks Harga Perdagangan Besar (PPI)
Indonesia, dan Indeks Harga Konsumen (CPI) Indonesia.. Periode penelitian yang
dilakukan dari bulan Januari 2004 sampai Desember 2013.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Exchange Rate Pass-through
Mekanisme Exchange Rate Pass-through menurut Majardi (2001)
menjelaskan dampak perubahan faktor eksternal, yaitu nilai tukar (exchange rate)
dan perubahan harga dunia (world price) terhadap laju inflasi di Indonesia. Jalur
mekanisme transmisi pergerakan nilai tukar terhadap laju inflasi terbagi dalam
dua jalur, yaitu melalui pergerakan nilai tukar langsung (direct Pass-through) dan
jalur tidak langsung (indirect Pass-through). Kedua jalur sama-sama penting
dalam perekonomian terbuka. Sementara jalur ekspektasi adalah untuk melihat
tingkat ekspektasi masyarakat dalam merespon perubahan-perubahan faktor
eksternal tersebut terhadap inflasi Gambar 2.
Direct Pass-through Effect
Consumption
Goods
Import

External Impact
Exchange Rate
World Price

Raw Material

Capital
Goods
expectation

Export

Inflation

Demand
Supply

Indirect Pass-through Efect
Sumber: Majardi (2001)
Ganbar 2 Mekanisme Exchange Rate Pass-through
Melalui jalur langsung harga impor, perubahan nilai tukar akan berpengaruh
langsung ke harga domestik dengan arah positif. Jalur tidak langsung, yaitu
perubahan nilai tukar akan mempengaruhi perubahan permintaan dan penawaran
terhadap ekspor karena dampak pada permintaan agregat. Secara teoritis
terdepresiasinya rupiah memberi peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki
neraca perdagangan melalui peningkatan ekspor dan pengurangan impor. Trend
pergerakan kurs rupiah cenderung melemah terhadap USD disebabkan oleh
dampak inflasi yang cenderung meningkat. Namun terdapat fenomena yang yang
dinamakan J-Curve dimana depresiasi nilai tukar menyebabkan neraca
perdagangan pada awalnya akan memburuk sebelum akhirnya meningkat secara
permanen. Hal ini disebabkan oleh pada jangka pendek volume ekspor dan
volume impor tidak akan banyak berubah dan pengaruh harga akan lebih
mendominasi, sehingga dalam jangka pendek neraca perdagangan akan
memburuk.

6
Penelitian Terdahulu
Sahminan (2005) dalam disertasinya meneliti mengenai dampak Exchange
Rate Pass-through terhadap harga impor di Indonesia, Filipina, Singapura, dan
Thailand. Dengan menggunakan data kuartal pertama tahun 1974 sampai kuartal
ketiga tahun 2000 dan menggunakan metode Error Correction Model (ECM).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara yang diteliti (termasuk
Indonesia) mengalami completely Pass-through.
Sato et.al. (2005) meneliti pengaruh Exchange Rate Pass-through terhadap
IHK di sembilan negara Asia termasuk Indonesia dengan menggunakan data
bulanan dari bulan pertama tahun 1995 sampai bulan kedelapan tahun 2004
dengan menggunakan metode VAR. Hasil temuannya menunjukkan bahwa negara
yang mengalami krisis 1997-1998 memiliki koefisien Pass-through relatif besar
terhadap harga domestik. Efek Pass-through terbesar terjadi di Indonesia, baik
jangka panjang maupun jangka pendek.
Enny (2004) dalam tesisnya meneliti mengenai dampak pergerakan nilai
tukar terhadap inflasi di Indonesia: pendekatan Exchange Rate Pass-through
selama penerapan sistem nilai tukar mengambang di Indonesia. Dengan
menggunakan data bulan September 1997 sampai April 2002 dan menggunakan
metode Vector Auto Regression (VAR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dampak pergerakan nilai tukar rupiah terhadap inflasi di Indonesia terutama
selama penerapan sistem nilai tukar mengambang cukup signifikan.
Nita (2011) dalam tesisnya meneliti mengenai pengaruh perubahan nilai
tukar rupiah per dolar AS terhadap inflasi selama periode inflation targeting di
Indonesia. Dengan menggunakan data selama periode 2005.7 – 2011.6 atau
selama awal penerapan ITF hingga 2011.9 dan menggunakan metode Vector Auto
Regression (VAR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) Variabel nilai tukar
rupiah per dolar AS signifikan berpengaruh secara tidak langsung terhadap IHK di
Indonesia pada derajat α=5 persen dan secara bersama seluruh variabel dalam
model VAR berpengaruh signifikan terhadap inflasi IHK pada derajat α=5 persen
baik pada direct Pass-through maupun indirect Pass-through. (ii) Derajat Passthrough Indonesia adalah rendah dan positif atau berada dalam kategori
incomplete Pass-through, yaitu derajat Pass-through yang berada pada selang
nilai 0 – 1 untuk periode 6 bulan pada direct Pass-through dan sampai 24 bulan
pada indirect Pass-through. Incomplete Pass-through mengimplikasikan bahwa
perubahan nilai tukar rupiah per dolar AS tidak seluruhnya ditransmisikan ke
harga konsumen di dalam negeri. (iii) Penerapan ITF yang dikombinasikan
dengan FFER berpengaruh dalam mengendalikan inflasi di Indonesia selama
periode penerapan ITF (2005:7-2011:6).
Nilgun, Siklar (2007) dalam penelitiannya meneliti mengenai Exchange Rate
Pass-through untuk harga domestik: Kasus Turki. Dengan menggunakan data
bulanan dari Januari 1994 sampai Desember 2006 dan menggunakan metode
Vector Error Correction Model (VECM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1. Pergerakan nilai tukar memiliki efek moderat pada inflasi harga domestik 2.
Nilai tukar Pass-through akan lebih parah PPI dibandingkan dengan CPI karena
pangsa yang lebih tinggi diperdagangkan di PPI relatif terhadap CPI 3. Dampak
Pass-through pada harga domestik menyebar lebih dari 12 bulan, namun, efeknya
akan lebih parah dalam empat bulan pertama seperti yang ditunjukkan oleh

7
koefisien Pass-through dari PPI dan CPI 4. Pertukaran Pass-through untuk harga
konsumen telah semakin melemah setelah free float dari lira terhadap mata uang
asing pada bulan Februari 2001 dan perubahan struktural yang dihasilkan dalam
perekonomian.
Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu
Berbeda dengan penelitian terdahulu, skripsi ini memiliki kekhususan dalam
beberapa hal berikut: (1) Penelitian ini menganalisis pergerakan nilai tukar
mempengaruhi perilaku harga domestik yaitu CPI dan PPI. (2) Penelitian ini
menggunakan data-data pasca krisis keuangan yang lebih up to date (2004-2013)
sehingga lebih menggambarkan kondisi yang terjadi pada saat ini. Kemudian
dibangun suatu alur pemikiran untuk menjawab permasalahan yang ada.

8
KERANGKA PEMIKIRAN
Indonesia merupakan suatu negara dengan perekonomian terbuka, sehingga
fluktuasi nilai tukar secara teoritis berhubungan positif dengan laju inflasi, hal ini
disebabkan oleh Dinamika Sistem Keuangan Global yang mempengaruhi kinerja
sektor keuangan Indonesia, sehingga membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi.
Selanjutnya depresiasi itu sendiri juga akan mendorong inflasi karena Passthrough effect dari barang-barang dan bahan baku impor sehingga biaya produksi
juga akan meningkat. Dalam situasi perekonomian negara yang mengalami
depresiasi sangat besar, depresiasi rupiah mengakibatkan kenaikan sangat besar
pada harga barang-barang tradable dan nontradable. Dengan demikian Indeks
Harga Domestik (CPI dan PPI) akan terpengaruh. Fokus pada penelitian ini adalah
untuk menerangkan sejauh mana pergerakan exchange rate mempengaruhi
produsen dalam negeri dan harga konsumen dan mengidentifikasi hubungan
variabel lain selain exchange rate terhadap CPI dan PPI. Faktor-faktor lain seperti
harga minyak, reserve money, dan indeks produksi industri tidak akan dibahas
secara mendetail. Kerangka pemikiran secara diagram seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.
Dinamika Sistem
Keuangan Global

Bank Sentral

Instrumen

Kebijakan Moneter

Harga
Minyak

Exchange
Rate

Reserve
Money

Indeks Produksi
Industri

Indeks Harga
Domestik
(CPI dan

traded and
nontraded
Goods Price
Net Export

PPI)
GDP

Output GAP

Ganbar 3 Kerangka Pemikiran

9

METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa time series bulanan dari
Januari 2004 sampai Desember 2013 yang diperoleh dari berbagai instansi terkait.
Adapun instansi yang dimaksud adalah Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia,
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Bank Indonesia dengan SEKI dan
The University of British Columbia Sauder School of Business Pacific Exchange
Rate Service. Data yang dipakai dalam penelitian ini meliputi:
1. Harga Minyak Mentah/Indonesia Crude Price Indonesia (US$/Barrels)
2. Indeks Produksi Industri Indonesia
3. Reserve Money Indonesia (Juta US$)
4. Exchange Rate Nominal Rupiah terhadap US$ (Rp/US$)
5. Indeks Harga Perdagangan Besar/PPI Indonesia
6. Indeks Harga Konsumen/CPI Indonesia
Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan kuantitatif.
Metode deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum dan narasi
terkait keadaan harga domestik yaitu CPI dan PPI Indonesia serta variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan metode kuantitatif,
yakni kegiatan penelitian dalam usaha pencapaian kesimpulan atas hipotesis yang
diajukan dengan melakukan analisis data-data kuantitatif yang diolah
menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6 untuk melihat faktor yang
mempengaruhi harga domestik. Adapun tahapan dan model yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tahapan Analisis Kuantitatif
Sebelum memperkirakan model, penting untuk menetapkan urutan integrasi
dari seri yang terlibat. Tahapan mengolah data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Uji Stasioneritas dengan menggunakan The Augmented Dickey Fuller
(ADF) unit root test.
2. Uji Optimum Lag
3. Uji Kointegrasi
4. Peramalan Impulse Response
5. Variance Decomposition

10
Model Analisis
Untuk memeriksa Exchange Rate Pass-through terhadap harga domestik,
sebagian besar karya-karya dalam literatur memanfaatkan Vector Autoregressive
(VAR) pendekatan yang diusulkan oleh McCarthy (2000) yaitu menggunakan
model of pricing a long distribution chain, menganalisis efek langsung dari
perubahan nilai tukar. Model analisis yang digunakan dalam penulisan ini
didasarkan pada menemukan atau dengan asumsi bahwa tidak ada hubungan
kointegrasi kuat antara variabel-variabel dalam model. Penelitian ini
memanfaatkan pendekatan serupa untuk mekanisme Pass-through kecuali
metodologi estimasi setelah menganalisis hubungan kointegrasi. Model ini
didasarkan pada enam variabel dalam urutan sebagai berikut: harga minyak, (mata
uang dalam mata uang lokal) digunakan sebagai proxy untuk shock pasokan
internasional; shock permintaan; proxy dengan indeks produksi industri; respon
kebijakan moneter, proxy oleh cadangan uang; nilai tukar nominal, indeks harga
produsen dan indeks harga konsumen. Adapun hubungan antara variabel tersebut
dijelaskan dalam model sebagai berikut:
[
[
[
[
[
[

dimana:

]
]

]

]
]

]

harga Minyak (oil price) pada waktu t
perubahan Indeks Produksi Industri pada waktu t
perubahan Uang Cadangan (Reserve Money) pada waktu t
perubahan Exchange Rate nominal pada waktu t
Harga Perdagangan Besar/PPI pada waktu t
Harga Konsumen/CPI pada waktu t
waktu (bulanan)
[
[

[

[
[

]
]

lag perubahan Uang Cadangan (Reserve Money) berdasarkan 1
periode sebelumnya
] : lag perubahan Exchange Rate nominal berdasarkan 1 periode
sebelumnya
] : lag inflasi WPI berdasarkan 1 periode sebelumnya
] : lag inflasi CPI berdasarkan 1 periode sebelumnya

11
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Stasioneritas
Pengujian Stasioneritas digunakan untuk menguji stasioneritas data agar
terhindar dari spurious regression atau regresi palsu, sehingga apabila masingmasing variabel bersifat stasioner maka koefisien dalam model akan menjadi valid.
Pada tahap pertama karakteristik data diuji dengan menggunakan uji akar unit. Uji
ini diterapkan untuk melihat kondisi stasioneritas data yang akan diamati. Kondisi
stasioner terpenuhi apabila satu raangkaian data runtut waktu (time series data)
memiliki rata-rata (mean) dan varian (variance) yang konstan sepanjang waktu,
selain itu nilai kovarian (covariance) antara dua periode waktu hanya tergantung
pada jarak atau lag anatara dua periode waktu tersebut dan tidak tergantung pada
waktu (Gujarati, 1997). Semua data yang digunakan dalam bentuk log natural
(natural log), salah satu alsannya adalah untuk menyederhanakan analisis.
Pengujian kestasionerisan dalam data time series merupakan syarat utama
dalam melakukan uji kointegrasi. Bila suatu data time series tidak stasioner maka
data tersebut menghadapi persoalan unit root, sehingga untuk mengatasinya
dilakukan unit root test. Metode pengujian unit root yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Augmented Dickey Fuller ( ADF ). Variabel yang memiliki
nilai p-value atau probabilitynya lebih kecil dibandingkan dengan derajat
keyakinan alpha 5 persen, maka variabel tersebut telah stasioner.
Berdasarkan hasil uji statistik Augmented Dickey Fuller ( ADF ), dapat dilihat
bahwa untuk variabel LNHM, LNIPI, dan LNRM nilai nilai p-value atau
probabilitynya lebih kecil dibandingkan dengan derajat keyakinan alpha 5 persen,
maka variabel tersebut telah stasioner pada tingkat level I(0). Hal ini memberi arti
bahwa hiptesis nol (Null Hypotheis), yakni variabel yang diuji mengandung akar
unit pada tingkat level dapat ditolak. Sedangkan untuk variabel LNEXR, LNPPI,
dan LNCPI nilai nilai p-value atau probabilitynya lebih besar dibandingkan
dengan derajat keyakinan alpha 5 persen maka variabel tersebut belum stasioner
pada tingkat level. Hal ini memberi arti bahwa hiptesis nol (Null Hypotheis),
yakni variabel yang diuji mengandung akar unit pada tingkat level tidak dapat
ditolak. Oleh karena itu untuk variabel LNEXR, LNPPI, dan LNCPI, perlu
dilajutkan uji staioneritas pada derajat difference atau uji derajat integrasi sampai
semua variabel yang diamati stasioner pada derajat yang sama. Hasil dalam first
difference menunjukkan bahwa untuk variabel LNEXR, LNPPI, dan LNCPI nilai
p-value atau probabilitynya lebih kecil dibandingkan dengan derajat keyakinan
alpha 5 persen, maka variabel tersebut telah stasioner pada tingkat first difference
I(1). Hasil uji statistik ADF pada first difference yang menunjukkan bahwa
hipotesis nol dapat ditolak, artinya setelah diturunkan satu kali, data menjadi
stasioner Tabel 1.

12

Variable
LNHM
LNIPI
LNRM
LNEXR
LNPPI
LNCPI

Tabel 1 Augmented Dickey Fuller ( ADF ) Unit Root Test
Level
Probability
Difference
Probability
-3.612608
0.0329
-3.550571
0.0083
-4.711416
0.0011
-2.151593
0.2253
-8.231762
0.0000
-2.043176
0.2683
-10.60337
0.0000
-2.066613
0.5586
-11.12728
0.0000
Penetapan Tingkat Lag Optimal

Tahap berikutnya adalah penetapan lag optimal. Penetepan lag optimal sangat
penting karena variabel independent yang digunakan tidak lain adalah lag dari
variable endogennya. Penetapan lag optimal didasarkan pada nilai Schwarz
Information Criterion (SC). Pemilihan lag optimal dilakukan sebelum dilakukan
uji kointegrasi, hal ini penting dilakukan sebelum melakukan estimasi dalam
model VAR (Gujarati, 1997). Pemilihan panjang lag penting karena bisa
mempengaruhi penerimaan dan penolakan hipotesis nol, mengakibatkan bias
estimasi dan bisa menghasilkan prediksi yang tidak akurat. Pemilihan panjang lag
optimal dalam model var terutama untuk menghindari terjadinya serial korelasi
antara error term dengan variabel endogen dalam model yang dapat menyebabkan
estimator menjadi tidak konsisten. Semakin panjang lag yang digunakan akan
mengurangi degree of freedom dan jumlah observasi, sedangkan lag yang terlalu
pendek akan menghasilkan spesifikasi yang salah (Gujarati, 1997). Isu tentang
penentuan panjang lag juga semakin penting seiring dengan anggapan bahwa
pemilihan lag yang tepat akan menghasilkan residual bersifat Gaussian (terbebas
dari permasalahan autokorelasi dan heteroskedastisitas) (Gujarati, 1997). Untuk
menetapkan lag optimal biasanya digunakan nilai Akaike Information Criteria
(AIC), Final Prediction Error (FPE), Hannan-Quinn Information Criterion (HQ),
dan Schwarz Information Criterion (SC).
Nilai SC didapat saat lag 1 untuk variabel-variabel dalam keseluruhan sampel
dari Jan 2004 – Des 2013 Tabel 2. Selanjutnya, perhitungan nilai SC untuk
setiap lag mengindikasikan bahwa nilai SC didapat saat lag 2 untuk variabelvariabel dalam sub sampel dari Jan 2004 – Maret 2009 Tabel 3. Dan yang terakhir
untuk perhitungan nilai SC untuk setiap lag mengindikasikan bahwa nilai SC
didapat saat lag 1 untuk variabel-variabel dalam sub sampel dari April 2009 – Des
2013 Tabel 4.

13
Tabel 2 Optimal Lag Jan 2004 – Dec 2013
Lag
0
1
2
3
4
5
6
7
8

LogL

LR

FPE

AIC

SC

HQ

303.8281
920.9281
968.6225
996.5336
1041.256
1063.693
1125.255
1159.418
1191.817

NA
1157.062
84.31696
46.35236
69.48020
32.45308
82.44835*
42.09392
36.44890

1.97e-10
6.16e-15
5.02e-15
5.88e-15
5.17e-15
6.87e-15
4.65e-15*
5.28e-15
6.42e-15

-5.318359
-15.69514
-15.90397
-15.75953
-15.91529
-15.67309
-16.12955*
-16.09675
-16.03244

-5.172725
-14.67571*
-14.01073
-12.99249
-12.27445
-11.15844
-10.74109
-9.834490
-8.896384

-5.259271
-15.28153*
-15.13583
-14.63685
-14.43809
-13.84136
-13.94328
-13.55595
-13.13712

Tabel 3 Optimal Lag Jan 2004 – March 2009
Lag

LogL

LR

FPE

0
1
2
3
4
5

199.7568
433.3751
507.0047
550.9746
597.0551
626.6046

NA
5.05e-11
410.8459
5.59e-14
114.2529
1.59e-14
59.13193
1.34e-14
52.43642* 1.17e-14*
27.51158
2.14e-14

AIC

SC

HQ

-6.681270
-13.49569
-14.79327
-15.06809
-15.41569*
-15.19326

-6.468121
-12.00365
-12.02233*
-11.01825
-10.08696
-8.585635

-6.598244
-12.91451
-13.71393*
-13.49060
-13.34005
-12.61946

Tabel 4 Optimal Lag April 2009 – Dec 2013
Lag

LogL

LR

0
1
2
3
4

566.6529
909.3071
937.0024
965.4139
1017.300

NA
594.7959
41.80421
36.45260
54.82335*

FPE
2.61e-17
2.49e-22*
3.58e-22
5.48e-22
4.01e-22

AIC

SC

HQ

-21.15671
-32.72857*
-32.41518
-32.12883
-32.72831

-20.93366
-31.16721*
-29.51551
-27.89084
-27.15202

-21.07094
-32.12814*
-31.30011
-30.49910
-30.58394

Uji Kointegrasi
Pendeteksian keberadaan kointegrasi ini dilakukan dengan metode Johansen.
Jika variabel-variabel tidak terkointegrasi, kita dapat menerapkan VAR standar
yang hasilnya akan identik dengan OLS, setelah memastikan variabel tersebut
sudah stasioner pada derajat (ordo) yang sama. Jika pengujian membuktikan
terdapat vektor kointegrasi maka kita akan menerapkan VECM untuk system
equation. Pengujian dilakukan dengan cara membandingkan nilai Trace Statistics
terhadap nilai kritisnya dan Max Eigen Statistics, dan berhenti pada saat pertama
hipotesis nol ditolak. Hubungan saling mempengaruhi dapat dilihat dari
kointegrasi yang terjadi antar variabel itu sendiri. Jika terdapat kointegrasi antar
variabel maka hubungan saling mempengaruhi berjalan secara menyeluruh dan

14
informasi tersebar secara paralel. Berdasarkan uji kointegrasi untuk keseluruhan
sampel yaitu dari Jan 2004 – Des 2013 dan sub sampel dari April 2009 – Des
2013, baik uji statistik menunjukkan masing-masing 1 vektor terkointegrasi.
Sedangkan untuk sub sampel dari Jan 2004 – Maret 2009, Trace Statistics
menunjukkan 2 dan Max Eigen Statistics menunjukkan 2 vektor terkointegrasi
Tabel 5. Adanya kointegrasi menunjukkan terdapat hubungan jangka panjang
antara variabel harga minyak, indeks produksi industri, reserve money, exchange
rate nominal, PPI, dan CPI diantara sampel-sampel tersebut.
Tabel 5 Summary of Cointegration Tests

Number of
Cointegrat
ed Vectors
0
1
2
3
4
5

Jan 2004 – Dec 2013

Jan 2004 – March 2009

April 2009 – Dec 2013

Trace
Statistics

Max Eigen
Statistics

Trace
Statistics

Max Eigen
Statistics

Trace
Statistics

124.8870*
74.52705
41.74299
22.55009
8.915701
4.286334

50.35996*
32.78406
19.19290
13.63439
4.629367
4.286334

162.9533*
94.07001*
53.76673
31.20177
17.18882
6.181688

68.88327*
40.30328*
22.56496
14.01295
11.00713
6.181688

111.1326*
68.17616
42.88953
20.93788
7.735129
0.445409

Max
Eigen
Statistics
42.95649*
25.28663
21.95165
13.20275
7.289720
0.445409

Pengaruh Exchange Rate Terhadap Harga Domestik
Fungsi impulse response menggambarkan tingkat laju dari shock variabel
yang satu terhadap variabel yang lainnya suatu rentang periode tertentu. Sehingga
dapat dilihat lamanya pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain
sampai pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan. Hasil fungsi
impulse response dijelaskan pada Gambar 1, dari yang mungkin terlihat bahwa
Exchange Rate Pass-through untuk harga domestik cukup besar yang konsisten
dengan perkiraan yang dilaporkan dalam penelitian lain dari Pass-through di
Indonesia (Sato.et.al, 2005). Harga domestik untuk masing-masing PPI dan CPI
yaitu untuk PPI merespon naik selama tiga bulan pertama (Januari-Maret),
sedangkan untuk CPI segera merespon naik setelah empat bulan pertama (JanuariApril) yang terlihat kenaikannya pada April-Mei, kenaikan tersebut disebabkan
adanya shock depresiasi terhadap nilai tukar yang diukur dengan fungsi impulse
response dan kumulatif koefisien Pass-through Gambar 4 dan Gambar 5.
Koefisien Pass-through didefinisikan sebagai:




Dimana PTt,t+j dan Et,t+j adalah perubahan kumulatif dalam tingkat harga
dan nilai tukar masing-masing antara t dan t+j bulan Tabel 6.

15

Gambar 4 Impulse Responses of Domestic to One Standard Deviation Innovation
in Exchange Rate

Gambar 5 Estimate Cumulative Pass-through Coefficients
Gambar 4 menunjukkan bahwa efek shock dari nilai tukar akan relatif lebih
parah dalam kasus PPI terhadap CPI, dengan sebanyak 17.8 persen dan 3.2 persen
dari perubahan nilai tukar yang akhirnya tercermin dalam harga PPI dan CPI.
Koefisien Pass-through menunjukkan bahwa setelah tiga bulan untuk PPI sebesar
19.1 persen dan setelah empat bulan pertama untuk CPI sebesar 3.5 persen dari
nilai tukar, masing-masing telah tercermin ke produsen dan harga konsumen
Tabel 6. Hal ini tampaknya menjadi manifestasi dari bagian yang lebih besar dari
komoditas tradable di PPI dibandingkan dengan CPI, CPI juga mencakup layanan
yang umumnya tidak diperdagangkan serta kurang dipengaruhi oleh perubahan
nilai tukar secara langsung, dan juga menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar
memiliki efek pada harga domestik melalui perubahan biaya produksi, yang
berasal dari perubahan harga barang setengah jadi yang diimpor.

16
Tabel 6 Impuls Respon: Estimated Cumulative Pass-through Coefficient of
Domestic Prices
Month
LNCPI
LNPPI
Ahead Jan 2004 Jan 2004 Apr 2009 Jan 2004 Jan 2004
Apr 2009
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Des 2013

Mar 2009

Des 2013

Des 2013

Mar 2009

Des 2013

0.042912
0.031824
0.031773
0.030344
0.035052
0.03331
0.032177
0.031689
0.032597
0.03295
0.032363
0.032226

0.055132
0.046204
0.039313
0.04364
0.036112
0.04219
0.033959
0.04228
0.032574
0.043401
0.031386
0.045091

0.00499
0.005628
0.0037
0.002357
0.002192
0.002383
0.002547
0.002646
0.002676
0.002667
0.002646
0.002634

0.120071
0.157494
0.191758
0.186238
0.175573
0.158818
0.17227
0.174752
0.173158
0.175245
0.178961
0.178735

0.149941
0.206943
0.145839
0.200867
0.120889
0.212556
0.106722
0.229371
0.094256
0.24939
0.077874
0.272441

0.006664
0.01123
0.010619
0.009694
0.009203
0.008895
0.00881
0.008874
0.008951
0.00899
0.008998
0.008993

Kumulatif koefisien Pass-through juga dihitung untuk sub-sampel sesudah
dan sebelum bulan Maret 2009 untuk memperkirakan dampak dari Dinamika
Sistem Keuangan Global paritas terhadap mata uang asing pada nilai tukar Passthrough untuk harga domestik. Hal ini antara lain ditunjukkan dari perkembangan
inflasi yang tercatat mengalami kenaikan, suku bunga yang cenderung meningkat
dan nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi yang cukup besar pada kisaran
Rp 11000 per dolar AS. Koefisien perkiraan kumulatif Pass-through dari sub
sampel menunjukkan bahwa nilai tukar Pass-through untuk harga konsumen telah
naik dari sekitar 0.2 persen menjadi sekitar 4 persen setelah melemahnya nilai
tukar yang dimana kinerja sektor keuangan Indonesia dipengruhi oleh Dinamika
Sistem Keuangan Global Tabel 6. Depresiasi Rupiah/1$ pada kisaran Rp 11000
selama bagian akhir dari sub sampel dan resultan, karena banyak dipengaruhi oleh
Dinamika Sistem Keuangan Global. Ternyata untuk harga Pass-through untuk
harga produsen sedikit meningkat dari sekitar 16.5 persen menjadi 16.67 persen.
Taylor (2000) menyatakan bahwa besarnya nilai tukar Pass-through untuk harga
domestik tergantung pada lingkungan inflasi umum yang berlaku dalam
perekonomian. Sebagai nilai tukar Pass-through diharapkan mempengaruhi nilai
tukar kejutan pada biaya saat ini dan masa depan, lingkungan inflasi yang lebih
tinggi Pass-through akan cenderung meningkat dengan memperkuat efek masa
depan yang diharapkan dari shock nilai tukar. Dalam kasus Indonesia, perkiraan
koefisien Pass-through kumulatif mengkonfirmasi hipotesis ini selama periode
inflasi masih rendah dari Januari 2004 sedangkan untuk Maret 2009 lingkungan
inflasi yang relatif lebih tinggi Tabel 6 ditengah kestabilan makroekonomi dan
Dinamika Sistem Keuangan Global dimana terjadi depresiasi Rupiah.

17
Variabel yang Berhubungan dengan CPI dan PPI
Hasil variance decomposition, yang menunjukkan kontribusi inovasi dalam
nilai tukar terhadap variabilitias dari keadaan PPI dan CPI, disajikan pada Tabel 7.

Month
Ahead
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Tabel 7 Variance Decomposition of Domestic Prices
LNCPI
LNPPI
Jan 2004
Des 2013

Jan 2004
Mar 2009

Apr 2009
Des 2013

Jan 2004
Des 2013

Jan 2004
Mar 2009

Apr 2009
Des 2013

100
98.93284
98.48927
97.80969
97.36485
97.09741
96.97284
96.81906
96.67973
96.60813
96.57025
96.53421

100
98.88225
98.21908
97.84976
97.2073
96.87051
95.86123
95.40714
94.26531
93.89967
92.86971
92.69265

100
93.76785
85.99905
80.82732
77.82997
76.10398
75.11854
74.51768
74.08942
73.7393
73.43665
73.17378

99.9614
97.13527
91.8938
86.35366
83.87501
83.52662
83.35381
83.28035
83.24022
83.25407
83.33393
83.41639

99.82019
96.09737
81.90056
77.83415
65.92966
63.64719
56.90037
56.80659
52.76621
53.71734
50.81465
52.16712

90.42726
72.05674
54.93361
44.38175
38.70347
35.54109
33.67961
32.47978
31.60314
30.89842
30.30827
29.80905

Seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 7 CPI paling berpengaruh karena nilai
nya lebih besar dibandingkan PPI, dalam penelitian ini ketika mempertimbangkan
periode sampel penuh, guncangan nilai tukar menjelaskan hampir 83 persen dari
varians kesalahan dari PPI dan 96 persen dari varians kesalahan dari CPI,
sedangkan sisanya varians dari PPI dan inflasi CPI dijelaskan oleh inovasi dalam
variabel lainnya Gambar 6, Gambar 7, dan Gambar 8. Namun, membagi periode
sampel kedalam dua sub sampel secara drastis mengurangi persentase kesalahan
perkiraan varians disebabkan guncangan nilai tukar. Pada Januari 2004 - Maret
2009 sub sampel 52.16 dan 92.69 persen dari kesalahan perkiraan yang dijelaskan
oleh kestabilan makroekonomi yang dimana nilai tukar cenderung stabil untuk
masing-masing PPI dan CPI. Dalam penelitian ini, pangsa nilai tukar dalam
menjelaskan variansi kesalahan perkiraan dari kedua PPI dan CPI masing-masing
turun menjadi 29.81 dan 73.17 persen, setelah mengalami shock nilai tukar yang
semakin terdepresiasi April 2009 – Des 2013 karena dampak dari dinamika sistem
keuangan global di tahun 2009, dan krisis utang Eropa serta dampak pengetatan
kebijakan fiskal Amerika Serikat, kelangsungan program stimulus ekonomi oleh
The Fed, serta masih tingginya ketidakpastian prospek penanganan krisis Eropa
dan kondisi ekonomi makro Eropa yang masih lemah menyebabkan masih
rentannya proses pemulihan ekonomi global hingga akhir tahun 2013.

18
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of LNCPI to LNCPI

Response of LNCPI to LNPPI

Response of LNCPI to LNEXR

Response of LNCPI to LNHM

Response of LNCPI to LNIPI

Response of LNCPI to LNRM

.06

.06

.06

.06

.06

.06

.04

.04

.04

.04

.04

.04

.02

.02

.02

.02

.02

.02

.00

.00

.00

.00

.00

-.02

-.02
2

4

6

8

10

-.02
2

12

Response of LNPPI to LNCPI

4

6

8

10

-.02
2

12

Response of LNPPI to LNPPI

4

6

8

10

Response of LNPPI to LNEXR

.00

-.02
2

12

4

6

8

10

-.02
2

12

Response of LNPPI to LNHM

4

6

8

10

2

12

Response of LNPPI to LNIPI

.15

.15

.15

.15

.15

.15

.10

.10

.10

.10

.10

.10

.05

.05

.05

.05

.05

.05

.00

.00

.00

.00

.00

.00

-.05

-.05

-.05

-.05

-.05

-.05

2

4

6

8

10

2

12

Response of LNEXR to LNCPI

4

6

8

10

2

12

Response of LNEXR to LNPPI

4

6

8

10

2

12

Response of LNEXR to LNEXR

4

6

8

10

2

12

Response of LNEXR to LNHM

4

6

8

10

2

12

Response of LNEXR to LNIPI

.04

.04

.04

.04

.04

.02

.02

.02

.02

.02

.02

.00

.00

.00

.00

.00

.00

-.02

-.02

-.02

-.02

-.02

-.02

2

4

6

8

10

2

12

4

6

8

10

2

12

Response of LNHM to LNPPI

4

6

8

10

2

12

Response of LNHM to LNEXR

4

6

8

10

2

12

Response of LNHM to LNHM

4

6

8

10

2

12

Response of LNHM to LNIPI

.12

.12

.12

.12

.12

.08

.08

.08

.08

.08

.08

.04

.04

.04

.04

.04

.04

.00

.00

.00

.00

.00

-.04
2

4

6

8

10

-.04
2

12

Response of LNIPI to LNCPI

4

6

8

10

-.04
2

12

Response of LNIPI to LNPPI

4

6

8

10

Response of LNIPI to LNEXR

4

6

8

10

Response of LNIPI to LNHM

4

6

8

10

2

12

Response of LNIPI to LNIPI

.06

.06

.06

.06

.06

.04

.04

.04

.04

.04

.04

.02

.02

.02

.02

.02

.02

.00

.00

.00

.00

.00

.00

-.02

-.02

-.02

-.02

-.02

-.02

2

4

6

8

10

2

12

4

6

8

10

2

12

Response of LNRM to LNPPI

4

6

8

10

2

12

Response of LNRM to LNEXR

4

6

8

10

2

12

Response of LNRM to LNHM

4

6

8

10

2

12

Response of LNRM to LNIPI

.12

.12

.12

.12

.12

.08

.08

.08

.08

.08

.08

.04

.04

.04

.04

.04

.04

.00

.00

.00

.00

.00

-.04
2

4

6

8

10

12

-.04
2

4

6

8

10

12

-.04
2

4

6

8

10

12

4

6

8

10

12

8

10

12

4

6

8

10

12

4

6

8

10

12

4

6

8

10

12

.00

-.04
2

6

Response of LNRM to LNRM

.12

-.04

4

Response of LNIPI to LNRM

.06

Response of LNRM to LNCPI

12

-.04
2

12

10

.00

-.04
2

12

8

Response of LNHM to LNRM

.12

-.04

6

Response of LNEXR to LNRM

.04

Response of LNHM to LNCPI

4

Response of LNPPI to LNRM

-.04
2

4

6

8

10

12

2

4

6

Gambar 6 Impuls Response Function for Jan 2004 – Dec 2013 Period

8

10

12

19
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of LNCPI to LNCPI

Response of LNCPI to LNPPI

Response of LNCPI to LNEXR

Response of LNCPI to LNHM

Response of LNCPI to LNIPI

Response of LNCPI to LNRM

.06

.06

.06

.06

.06

.06

.04

.04

.04

.04

.04

.04

.02

.02

.02

.02

.02

.02

.00

.00

.00

.00

.00

-.02

-.02
2

4

6

8

10

-.02
2

12

Response of LNPPI to LNCPI

4

6

8

10

-.02
2

12

Response of LNPPI to LNPPI

4

6

8

10

Response of LNPPI to LNEXR

.00

-.02
2

12

4

6

8

10

-.02
2

12

Response of LNPPI to LNHM

4

6

8

10

2

12

Response of LNPPI to LNIPI

.3

.3

.3

.3

.3

.3

.2

.2

.2

.2

.2

.2

.1

.1

.1

.1

.1

.1

.0

.0

.0

.0

.0

.0

-.1

-.1

-.1

-.1

-.1

-.1

-.2

-.2
2

4

6

8

10

-.2
2

12

Response of LNEXR to LNCPI

4

6

8

10

-.2
2

12

Response of LNEXR to LNPPI

4

6

8

10

-.2
2

12

Response of LNEXR to LNEXR

4

6

8

10

4

6

8

10

2

12

Response of LNEXR to LNIPI

.04

.04

.04

.04

.04

.02

.02

.02

.02

.02

.02

.00

.00

.00

.00

.00

.00

-.02

-.02

-.02

-.02

-.02

-.02

2

4

6

8

10

2

12

4

6

8

10

2

12

Response of LNHM to LNPPI

4

6

8

10

2

12

Response of LNHM to LNEXR

4

6

8

10

2

12

Response of LNHM to LNHM

4

6

8

10

2

12

Response of LNHM to LNIPI

.2

.2

.2

.2

.2

.1

.1

.1

.1

.1

.1

.0

.0

.0

.0

.0

.0

-.1

-.1

-.1

-.1

-.1

-.1

-.2
2

4

6

8

10

-.2
2

12

Response of LNIPI to LNCPI

4

6

8

10

-.2
2

12

Response of LNIPI to LNPPI

4

6

8

10

-.2
2

12

Response of LNIPI to LNEXR

4

6

8

10

Response of LNIPI to LNHM

4

6

8

10

2

12

Response of LNIPI to LNIPI

.06

.06

.06

.06

.06

.04

.04

.04

.04

.04

.04

.02

.02

.02

.02

.02

.02

.00

.00

.00

.00

.00

.00

-.02

-.02

-.02

-.02

-.02

-.02

2

4

6

8

10

2

12

4

6

8

10

2

12

Response of LNRM to LNPPI

4

6

8

10

2

12

Response of LNRM to LNEXR

4

6

8

10

2

12

Response of LNRM to LNHM

4

6

8

10

2

12

Response of LNRM to LNIPI

.4

.4

.4

.4

.4

.2

.2

.2

.2

.2

.2

.0

.0

.0

.0

.0

.0

-.2

-.2

-.2

-.2

-.2

-.2

4

6

8

10

12

2

4

6

8

10

12

2

4

6

8

10

12

2

4

6

8

10

12

6

8

10

12

4

6

8

10

12

2

4

6

8

10

4

6

8

10

12

4

6

8

10

12

Response of LNRM to LNRM

.4

2

4

Response of LNIPI to LNRM

.06

Response of LNRM to LNCPI

12

-.2
2

12

10

Response of LNHM to LNRM

.2

-.2

8

Response of LNEXR to LNRM

.04

Response of LNHM to LNCPI

6

-.2
2

12

Response of LNEXR to LNHM

4

Response of LNPPI to LNRM

12

2

4

6

Gambar 7 Impuls Response Function for Jan 2004 – Mar 2009 Period

8

10

12

20
Response to Cholesky One S.D. Innov ations
Response of LNCPI to LNCPI

Response of LNCPI to LNPPI

Response of LNCPI to LNEXR

Response of LNCPI to LNHM

Response of LNCPI to LNIPI

Response of LNCPI to LNRM

.008

.008

.008

.008

.008

.008

.004

.004

.004

.004

.004

.004

.000

.000

.000

.000

.000

.000

-.004

-.004

-.004

-.004

-.004

-.004

2

4

6

8

10

2

12

Response of LNPPI to LNCPI

4

6

8