Efektivitas Herbisida IPA Glifosat 486 SL untuk Pengendalian Gulma pada Budidaya Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.) Belum Menghasilkan

EFEKTIVITAS HERBISIDA IPA GLIFOSAT 486 SL UNTUK
PENGENDALIAN GULMA PADA BUDIDAYA TANAMAN
KARET (Hevea brasiliensis Muel. Arg) BELUM MENGHASILKAN

I GEDE SUPAWAN

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Herbisida
IPA Glifosat 486 SL untuk Pengendalian Gulma pada Budidaya Tanaman Karet
(Hevea brasiliensis Muel. Arg.) Belum Menghasilkan adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
I Gede Supawan
NIM A24090024

ABSTRAK
I GEDE SUPAWAN. Efektivitas Herbisida IPA Glifosat 486 SL untuk
Pengendalian Gulma pada Budidaya Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muel.
Arg.) Belum Menghasilkan. Dibimbing oleh HARIYADI
Penelitian dilakukan di perkebunan PTPN VIII Cikumpay Kabupaten
Purwakarta, Jawa Barat, pada bulan September 2012 sampai Desember 2012.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji efektivitas herbisida IPA glifosat 486 SL.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan satu faktor. Penelitian ini
menggunakan 7 perlakuan dengan empat ulangan. Perlakuan dosis IPA glifosat
486 SL yang diberikan adalah 1.0 l ha-1 (P1), 1.5 l ha-1 (P2), 2.0 l ha-1 (P3), 2.5 l
ha-1 (P4), 3.0 l ha-1 (P5), Penyiangan Manual (P6), dan Kontrol (P7). Herbisida
IPA glifosat 486 SL tidak efektif menekan pertumbuhan gulma di perkebunan
karet belum menghasilkan. Perhitungan rata-rata perlakuan herbisida pada setiap

dosis tidak menunjukan perbedaan yang nyata walaupun secara umum terjadi
penurunan berat kering gulma pada setiap perlakuan. Selama pengamatan tidak
ditemukan gejala keracunan pada tanaman karet untuk setiap perlakuan dosis. Hal
tersebut menunjukan bahwa aplikasi herbisida IPA glifosat 486 SL tidak
berbahaya pada tanaman karet belum menghasilkan.
Kata kunci: aplikasi, dosis, gulma, herbisida, IPA glifosat

ABSTRACT
I GEDE SUPAWAN. Effectiveness of Herbicide Glyphosate IPA 486 SL
for Weed Control in Immature Rubber Crops (Hevea brasiliensis Muel. Arg.).
Supervised by HARIYADI
The research was conducted in the plantation PTPN VIII Cikumpay
Purwakarta, West Java, from September 2012 until December 2012. This
reaserch was conducted to test the effectiveness of the herbicide glyphosate IPA
486 SL. The experimental design used in this research were randomized design
Complete Group (RKLT) with one factor. This research use seven treatments with
four replications. Treatment doses of glyphosate IPA 486 SL given is 1.0 l ha-1
(P1), 1.5 l ha-1 (P2), 2.0 l ha-1 (P3), 2.5 l ha-1 (P4), 3.0 l ha-1 (P5), Weeding
Manual (P6), and Control (P7). Herbicide glyphosate IPA 486 SL was not
effective in suppressing the growth of weeds in immature rubber plantations..

Calculation the average herbicide treatments at any dose did not show significant
differences, although in general there is a decrease in weed dry weight each
observation. During observations did not symptoms of poisoning in the rubber
plant for each treatment dose. It shows that the application of glyphosate IPA 486
SL herbicide is not dangerous to immature rubber plants.
Key words: application, dose, herbicide, glyphosate, weed

EFEKTIVITAS HERBISIDA IPA GLIFOSAT 486 SL UNTUK
PENGENDALIAN GULMA PADA BUDIDAYA TANAMAN
KARET (Hevea brasiliensis Muel. Arg.) BELUM MENGHASILKAN

I Gede Supawan

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

Judul Skripsi: Efektivitas Herbisida IPA Glifosat 486 SL untuk Pengendalian
Gulma pada Budidaya Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muel.
Arg.) Belum Menghasilkan
Nama
: I Gede Supawan
NIM
: A24090024

Disetujui oleh

Dr. Ir. Hariyadi, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Efektivitas Herbisida IPA Glifosat 486 SL untuk Pengenda1ian
Gulma pada Budidaya Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Mue!.
Arg.) Belum Menghasilkan
: I Gede Supawan
Nama
: A24090024
NIM

Disetujui oleh

(

If. Hariyadi, MS
Pembimbing

f.


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah
pengandalian lingkungan perkebunan karet, dengan judul Efektivitas Herbisida
IPA Glifosat 486 SL untuk Pengendalian Gulma pada Budidaya Tanaman Karet
(Hevea brasiliensis Muel. Arg.) Belum Menghasilkan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Hariyadi, MS selaku
pembimbing, serta seluruh dosen dan staf Departemen AGH yang telah banyak
membantu dan memberi masukan. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Ihsan Baharudin, dan seluruh mandor dari PTPN VIII
Cikumpay serta Bapak Hendri Antoro beserta staf dari Stasiun BMKG Dramaga
dan Ray March Syahadat yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian dan
pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga
seluruh teman-teman AGH, Faperta, IPB, serta seluruh pihak atas segala, bantuan
doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
I Gede Supawan

TI

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Karet

Gulma
Persaingan Gulma dan Tanaman Karet
Pengendalian Gulma
Glifosat
METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Pelaksanaan Penelitian
Pengamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Gulma Dominan
Bobot Kering Gulma Total
Bobot Kering Gulma Daun Lebar
Bobot Kering Gulma Rumput
Fitotoksisitas pada Tanaman Karet Belum Menghasilkan
Perbandingan dengan Pengendalian Mekanis
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

Halaman
vi
vi
vi
1
1
2
2
2
2
2
2
3
3
4

5
5
5
6
6
6
7
8
8
9
12
13
14
16
17
18
18
19
19
21

23

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Halaman
Rekapitulasi sidik ragam pada tiap waktu pengamatan
9
Nisbah jumlah dominansi (NJD) gulma sebelum aplikasi herbisida
10
Nisbah jumlah dominansi (NJD) gulma setelah aplikasi herbisida
10
Data curah hujan selama percobaan di areal percobaan
12
Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma
total
12
Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma
daun lebar
14
Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma
rumput
15
Data nilai rata-rata tingkat skoring toksisitas pada tanaman karet belum
menghasilkan
16
Perbandingan biaya antara perlakuan penyiangan manual dengan
perlakuan herbisida pada beberapa dosis
19

DAFTAR GAMBAR
1 Kondisi lahan percobaan di PTPN VIII Cikumpay, Purwakarta sebelum
aplikasi
2 Gulma dominan
3 Tidak terlihat adanya keracunan pada batang dan tajuk tanaman karet

9
11
17

DAFTAR LAMPIRAN
4 Denah satuan petak perlakuan dan pengambilan contoh gulma
5 Denah lokasi percobaan untuk setiap perlakuan

21
22

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.) merupakan salah satu tanaman
yang termasuk ke dalam tanaman perkebunan yang hasil olahan getahnya
banyak dimanfaatkan pada alat transportasi. Menurut Madjid (1986) karet telah
ditanam secara komersial sejak permulaan abad ke-20. Tanaman ini juga
merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di
Indonesia, selain sebagai sumber lapangan kerja utama di daerah, komoditas itu
juga memberikan kontribusi yang signifikan sebagai sumber devisa negara.
Menurut Kementrian Pertanian (2012), pada tahun 2011 luas areal
perkebunan karet Indonesia mencapai 3.4 juta hektar dan produksi karet 2.8
juta ton. Data ini menunjukan adanya peningkatan produktivitas dari tahun
2010, yaitu 2.41 juta ton. Indonesia sebagai salah satu produsen besar karet
memiliki posisi lebih baik dibandingkan dengan Malaysia yang hanya memiliki
luas lahan 1,02 juta hektar dengan produksi mencapai 951 ribu ton, namun
Indonesia masih kalah dari Thailand dalam hal produksi mencapai 3,1 juta ton
dengan luas lahan 2,6 juta hektar. Ketiga negara itu saat ini merupakan
produsen karet terbesar di dunia.
Meningkatkan produksi hasil perkebunan sering kali ditemui berbagai
kendala, mulai dari ketersedian tenaga kerja hingga adanya serangan hama dan
penyakit tanaman (HPT) yang berdampak pada penurunan hasil produksi.
Kendala lainnya yang paling sering ditemui adalah banyaknya tanaman yang
tidak diinginkan yang tumbuh pada tajuk tanaman utama. Gulma yang tumbuh
bersama-sama dengan tanaman karet diketahui dapat menyebabkan kerugian
terhadap karet tersebut akibat adanya kompetisi antara tanaman dengan gulma
dalam memanfaatkan sarana tumbuh seperti air, unsur hara, cahaya matahari
dan ruang tumbuh. Menurut Wiroatmodjo et al. (1992) gulma atau tanaman
yang tidak diinginkan keberadaannya menjadi pesaing utama tanaman utama
pada saat pertumbuhan tanaman.
Herbisida merupakan bahan kimia yang dapat menghentikan
pertumbuhan gulma sementara atau seterusnya bila diperlakukan pada ukuran
yang tepat (Sembodo 2010). Pemilihan herbisida yang sesuai untuk
pengendalian gulma di pertanaman karet merupakan suatu hal yang sangat
penting. Pemilihan dilakukan dengan memperhatikan daya efikasi herbisida
terhadap gulma dan ada tidaknya fitotoksisitas pada tanaman.
Menurut Katritzky et al. (2002) Indole-3-propionic acid (IPA) adalah
hormon tanaman endogen dan konjugasi asam aminonya diketahui untuk
berinteraksi dengan albumin serum. Nufarm (2012) menambahkan IPA glifosat
merupakan herbisida pasca tumbuh yang diformulasi dalam bentuk larutan
yang mudah larut dalam air yang dapat mengendalikan gulma berdaun sempit,
berdaun lebar, dan teki-tekian serta mempunyai spektrum yang luas. Oleh
karena itu, penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui efektivitas dan efek
toksisitasnya untuk menekan pertumbuhan gulma pada tanaman karet belum
menghasilkan.

2
Perumusan Masalah
1. Seberapa efektif herbisida IPA glifosat 486 SL untuk mengendalikan gulma
pada tanaman karet belum menghasilkan?
2. Perlakuan mana yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada
tanaman karet belum menghasilkan?
3. Bagaimanakah efek toksisitas herbisida glifosat 486 SL terhadapa tanaman
karet belum menghasilkan?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas herbisida IPA glifosat
486 SL untuk pengendalian gulma pada budidaya tanaman karet (Hevea
brasiliensis Muel. Arg.) belum menghasilkan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang efektivitas
dan efek toksisitas herbisida IPA glifosat 486 SL dalam pengendalian gulma
pada budidaya tanaman karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.) belum
menghasilkan. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan informasi
formula dosis herbisida IPA glifosat 486 SL yang efektif.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan analisis vegetasi pada gulma sebelum
dan setelah aplikasi herbisida. Analisis vegetasi sebelum aplikasi bertujuan
untuk mengetahui gulma dominan pada lahan percobaan. Analisis vegetasi
setelah aplikasi herbisida bertujuan untuk mengetahui efektivitas dari herbisida
yang diaplikasikan dan efek toksisitasnya terhadap tanaman karet belum
menghasilkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Karet
Tanaman karet adalah tanamn perkebunan yang banyak dibudidayakan
di negara tropis. Tanaman karet sendiri memiliki nama latin Hevea brasiliensis
Muell. Arg. yang berasal dari Brazilia, Amerika Selatan tepatnya di wilayah
Amazon Brazilia. Tanaman karet mulai dibudidayakan di Indonesia pada tahun
1864 di Jawa Barat. Sedangkan perkebunan karet dimulai di Sumatera Utara
tahun 1903, dan di Jawa tahun 1906 (Semangun 2000).
Tanaman karet merupakan tanaman perkebunan yang tumbuh di
berbagai wilayah di Indonesia. Karet merupakan produk dari proses
penggumpalan getah tanaman karet (lateks). Pohon karet normal disadap pada
tahun ke-5. Produk dari penggumpalan lateks selanjutnya diolah untuk
menghasilkan lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah
(crumb rubber) yang merupakan bahan baku industri karet.

3
Hasil karet biasa dimanfaatkan atau diolah menjadi beberapa produk
antara lain adalah: RSS I, RSS II, RSS III, Crumb Rubber, Lump, dan Lateks.
Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat dijual atau
diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit
asap/sit angin. Selanjutnya produk-produk tersebut akan digunakan sebagai
bahan baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah, yang menghasilkan berbagai
bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet, sarung
tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan berbagai produk hilir
lainnya.

Gulma
Gulma atau tumbuhan pengganggu merupakan tumbuhan yang
keberdaannya tidak diharapkan oleh manusia. Sifat gulma adalah mengganggu
pertumbuhan tanaman pokok. Selama ini, masalah pada tanaman perkebunan
besar adalah masalah tentang gulma. Kehilangan produk pada tanaman
perkebunan yang disebabkan oleh gangguan gulma cukup besar, belum lagi
ada tambahan biaya untuk pengendaliannya. Penyebaran gulma dari suatu
tempat ketempat budidaya lainnya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
oleh manusia, hewan, angin dan alat-alat pertanian yang tidak dibersihkan
sebelumnya (Sukman dan Yakup 1991).
Daya kompetisi gulma ditentukan oleh jenis, densitas, distribusi, umur
atau lamanya gulma tumbuh bersama tanaman budidaya, kultur teknik yang
ditetapkan pada tanaman budidaya dan jenis atau varietas tanaman
(Tjitrosoedirdjo et al. 1984)
Secara kualitatif, Suprapto dan Yufdy (1987) menyatakan bahwa
pengaruh buruk dari gulma pada tanaman yang kurang mendapat perawatan
yang teratur adalah pertumbuhan tanaman terhambat, cabang produksi kurang
dan pertumbuhan tanaman muda tidak normal serta daunnya benwarna kuning.
Selain faktor kompetisi dan alelopati, keberadaan gulma di pertanaman dapat
menjadi inang patogen atau hama bagi tanaman.
Persaingan Gulma dan Tanaman Karet
Gulma yang tumbuh pada pertanaman karet pada umumnya adalah
gulma-gulma yang cukup tahan terhadap naungan dan telah berasosiasi serta
menyesuaikan diri dengan tanaman tersebut. Menurut Meilin (2008) jenis
gulma yang tumbuh biasanya sesuai dengan kondisi perkebunan. Misalnya pada
perkebunan yang baru diolah, maka gulma yang dijumpai kebanyakan adalah
gulma semusim, sedang pada perkebunan yang telah lama ditanami, gulma yang
banyak terdapat adalah dari jenis tahunan. Gulma yang terdapat pada dataran
tinggi relatif berbeda dengan yang tumbuh di daerah dataran rendah. Pada daerah
yang tinggi terlihat adanya kecenderungan bertambahnya keaneka-ragaman jenis,
sedangkan jumlah individu biasanya tidak begitu besar. Hal sebaliknya terjadi
pada daerah rendah yakni jumlah individu sangat melimpah, tetapi jumlah jenis
yang ada tidak begitu banyak.

4
Spesies gulma yang umumnya dijumpai pada tanaman karet ialah gulma
Digitaria ciliaris, Cynodon dactylon, Echinochloa colona Echinochlo crussgali,
Paspalum conjugatum, Paspalum distichum, Eleusine indica, Cyperus
rotundus, Borreria latifolia, Borreria alaat, Phyllantus niruri, Cyrtoccocum
patens dan Ageratum conyzoides.
Tanaman sangat peka terhadap persaingan dengan gulma sejak awal
penanaman sampai dengan seperampat atau sepertiga umur tanaman (Bangun,
1985). Penurunan hasil akibat kompetisi tanaman karet degan gulma dapat
berkisar antara 5-6 persen. Gangguan gulma secara langsung terhadap tanaman
karet selain melalui kompetisi juga melalui alelopati. Beberapa jenis gulma
yang dapat menurunkan hasil tanaman diantaranya ialah Echinochlo crussgali
dan Ageratum conyzoides (Kohli 1997).
Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma pada hakekatnya merupakan usaha untuk
melemahkan daya saing gulma dan meningkatkan daya tumbuh tanaman
budidaya ada beberapa teknik pengendalian gulma yang sering digunakan oleh
manusia diantaranya, preventif, mekanis, kultur teknis, hayati, kimia dan
pengendalian terpadu (integrated weed management). Tindakan pengendalian
gulma yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan bahan kimia sintetis
yang disebut dengan herbisida.
Menurut Johnson et al. (1998) pengendalian gulma memakai herbisida
diperoleh hasil yang cukup memuaskan, namun penggunaan herbisida juga
dapat menyebabkan perubhan komposisi spesies dan kepadatan (density) gulma
disuatu tempat dalam jangka waktu lama. Selain itu, apabila herbisida
diaplikasikan secara terus-menerus dapat mengakibatkan resistensi tumbuhan
terhadap herbisida. Bila herbisida tersisa dalam tubuh tumbuhan sampai saat
panen maka ada residu dalam tubuh tumbuhan dan yang tersisa dalam tanah
menjadi residu dalam tanah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
berikutnya.
Dibalik pengaruh negatif yang ditimbulkan karena pengaplikasian
herbisida, pengendalian gulma memakai herbisida juga memiliki kelebihankelebihan diantaranya, tidak perlu memakai banyak tenaga kerja, memakan
sedikit waktu, dapat mengendalikan gulma dengan cakupan areal yang lebih
luas dan cepat dibandingkan pegendalian manual serta lebih hemat tenaga.
Pengendalian gulma (weed control) sendiri sejatinya harus dibedakan
dengan istilah pemberantasan gulma (weed eradication). Pengendalian gulma
diartikan sebagai suatu proses untuk membatasi pertumbuhan gulma
sedemikian rupa, sehingga tanaman pokok yang dibudidayakan dapat
berkembang secara efesien dengan produktivitas yang tinggi. Pengendalian
gulma tidak bertujuan untuk menekan populasi gulma sampai tingkat nol.
Pengendalian hanya bertujuan untuk menekan populasi gulma sampai tingkat
yang tidak merugikan secara ekonomis atau tidak melewati ambang batas
ekonomi (economic threshold) (Sukman dan Yakup 1991).

5
Glifosat
Glifosat [N-(phosphonomethyl)glysin] merupakan salah satu herbisida
dari golongan phosphono amino acid yang bersifat non selektif dan efektif
untuk rerumputan daripada gulma daun lebar Herbisida glifosat bersifat
sistemik, mengendalikan gulma dengan cara menghambat proses sintesis asam
amino (Taufiq 2003). Menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984), herbisida sistemik
adalah herbisida yang ditranslokasikan ke dalam jaringan tumbuhan sehingga
akan mematikan jaringan sasaran seperti daun, tunas, dan perakaran. Mode of
action (cara kerja) glifosat adalah menyerang enzim 5- enoylpyruvate shikimic
acid-3-phosphate synthase (EPSP synthase) yang terdapat di kloroplas. Enzim
ini berperan dalam biosintesis asam amino aromatik seperti triptopan,
fenilalanin, dan tirosin. Nama kimia dari herbisida Glifosat adalah N(phosphonomethyl) glycine, atau garam isopropylamine dengan rumus empiris
C3H8NO5P. Landerdale dan Savannah (1998) menambahkan herbisida ini
memiliki titik lebur 230oC dengan massa jenis 0.5 g cm-3, dengan berat
molekul 169.07, berwarna putih jernih dan tidak berbau berbentuk kristal
bening. Adapun rumus bangun kimia herbisida Glifosat sebagai berikut:
O
O


CH – C – CH2 – NH – CH2 – P – (OH)2
Glifosat sangat cocok untuk mengendalikan gulma-gulma jenis rumput,
teki-tekian dan daun lebar yang bersifat semusim (annual), dwi tahunan
(biennial), dan tahunan (perennial). Selain itu herbisida ini cukup efektif untuk
mengendalikan gulma semak berkayu. Setelah herbisida diaplikasikan,
herbisida glifosat yang tidak mengenai sasaran atau tercecer akan segera
diabsorbsi oleh tanah dan cenderung sulit tercuci. Waktu paruh rata-rata dari
herbisida glifosat dalam tanah adalah 60 hari (Landerdale dan Savannah 1998).

METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksakan di perkebunan karet (TBM) PTP Nusantara VIII
(Persero) Cikumpay, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat dan di Laboratorium
Pasca Panen, Departemaen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama empat bulan dari bulan
September 2012 sampai bulan Desember 2012.

6
Bahan dan Alat
Kultivar yang digunakan adalah semua klon/jenis karet PR 255 dengan
umur yang seragam empat tahun. Herbisida yang digunakan adalah herbisida
yang diuji yaitu herbisida IPA glifosat 486 SL serta 15 iter air. Alat yang
dipakai dalam penelitian ini adalah sprayer knapsack semi otomatis dan nozel
T-jet warna biru, gelas ukur, ember, timbangan, tali, label, plastik, amplop,
pisau cuter, spidol, kamera digital, oven dan kuadran dengan ukuran 0.5 m x
0.5 m.
Meteode Penelitian
Penelitian ini menggunkan rancangan kelompok lengkap teracak
(RKLT) dengan satu faktor yang terdiri dari tujuh perlakuan dengan empat kali
ulangan pada setiap herbisida yang diuji. Perlakuan menggunakan herbisida
dengan dosis 1.0 l ha-1, 1.5 l ha-1, 2.0 l ha-1, dosis 2.5 l ha-1 dan 3.0 l ha-1.
Perlakuan keenam tidak menggunakan herbisida tetapi dengan cara penyiangan
manual dengan teknik babat dempes, yang akan dilakukan sekali pada
pengamatan 10 minggu setelah aplikasi (12 MST). Perlakuan ketujuh
merupakan kontrol yang digunakan sebagai pembanding yang tidak diberikan
penyiangan dan perlakuan apapun.
Model rancangan yang digunakan adalah:
Yij = µ + τi + βj + εij
Keterangan:
Yij
= pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
µ
= nilai rata-rata populasi
= pengaruh aditif dari perlakuan ke-i
τi
= pengaruh aditif dari kelompok ke-j
βj
= pengaruh acak dari perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
εij
Pengolahan data dikerjakan menggunakan metode analisis ragam.
Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh nyata maka akan dulakukan uji
lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) terhadap perbedaan nilai rata-rata
pada taraf kepercayaan 5% dengan prosedur uji yang sesuai dengan rancangan
percobaan (Gomez dan Gomes 1995). Satuan petak terdiri atas gulma dibawah
5 tanaman karet (TBM) atau dengan luas 3 m x 15 m. Jarak antar satuan petak
perlakuan adalah satu tanaman karet di dalam barisan.
Pelaksanaan Penelitian
Analisis vegetasi dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan aplikasi
herbisida untuk mengetahui jenis gulma yang dominan. Analisis vegetasi
dilakukan dengan menggunakan alat kuadran yang berukuran 0.5 m x 0.5 m
dengan cara mengambil contoh gulma secara sistematis pada areal percobaan
yang terlebih dahulu telah dilakukan pembagian petak percobaan yang
disesuaikan berdasarkan perlakuan yang akan diberikan dengan jumlah 28
petak percobaan.

7
Setiap petak berukuran 3 m x 15 m dengan jarak antar ulangan adalah
3 m dan jarak antara petak dalam satu ulangan adalah 2 m. Keadaan tumbuhan
karet relatif seragam dengan jarak tanam sesuai dengan kondisi perkebunan
setempat yaitu 2.5 m x 6 m dengan jumlah populasi adalah 667 pohon ha-1.
Pemeliharaan tanaman karet terpelihara dengan baik sesuai dengan anjuran
perkebunan setempat. Penutupan gulma secara umum tidak kurang dari 75%
dengan kondisi lingkungan yang mendukung.
Cara dan aplikasi herbisida
Cara aplikasi herbisida dan alat yang digunakan disesuaikan dengan
sifat fisik, cara kerja dan bentuk formulasi herbisida yang diuji. Untuk
formulasi yang larut dalam air, digunakan alat semprot punggung semi
otomatis (semi automatic sprayer) dan nozel T-jet dengan tekanan 1 kg cm-2
(15-20 psi).
Pengamatan
Pengamatan gulma
Data contoh biomasa gulma pada setiap satuan petak perlakuan.
Diamati sebanyak dua petak kuadrat, menggunakan metode kuadrat berukuran
0.5 m x 0.5 m. Letak petak kuadrat ditetapkan secara sistematis. Waktu
pengambilan contoh gulma dilakukan sebelum dan setelah aplikasi.
Pengambilan contoh gulma sebelum aplikasi digunakan untuk data biomasa
kerapatan dan frekwensi dilakukan sebelum aplikasi dimaksudkan untuk
menganalisis vegetasi menggunakan tehnik sum dominance ratio (SDR), yaitu
proses perhitungan jumlah dominasi gulma yang ada di areal percobaan
tersebut. Pengambilan contoh setelah aplikasi dilakukan setiap 2 minggu sekali
setelah aplikasi, yaitu pada 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 MSA.
Cara pengambilan contoh
Contoh gulma yang diambil adalah gulma sasaran yang menjadi target
herbisida yang diuji yang diperoleh menggunakan teknik pelemparan alat
kuadran perpetak perlakuan. Gulma yang masih segar dipotong tepat setinggi
permukaan tanah, kemudian dipisahkan setiap spesies. Selanjutnya gulma
dikeringkan pada oven dengan temperatur 80oC selama 48 jam.
Pengamatan karet
Jumlah contoh tanaman karet untuk pengamatan fitotoksisitas adalah
sebanyak 3 tanaman dalam satuan petak perlakuan dan ditentukan secara acak.
Tingkat keracunan dinilai secara visual terhadap populasi kultivar dalam satuan
petak perlakuan, diamati pada 2, 4 dan 6 minggu setelah aplikasi atau setelah
aplikasi kedua. Skoring keracunan sebagai berikut:
0 = tidak ada keracunan, 0 - 5% bentuk warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman karet tidak normal
1 = keracunan ringan, >5 - 20% bentuk warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman karet tidak normal
2
= keracunan sedang,>20-5% bentuk warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman karet tidak normal

8
3

= keracunan berat, >50- 75% bentuk warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman karet tidak normal
4 = keracunan sangat berat, >75% bentuk warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman karet tidak normal

Kriteria efikasi
 Efektivitas herbisida yang diuji dibandingkan dengan perlakuan
pembanding dan kontrol.
 Efikasi herbisida yang diuji disimpulkan berdasarkan analisis
statistik data biomasa spesies gulma sasaran.
 Sebagai data penunjang adalah keracunan dan tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan karet.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Perkebunan Cikumpay terletak di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Perkebunan Cikumpay berjarak 19 km dari Purwakarta dan 109 km dari
Bandung. Lokasi Perkebunan Cikumpay berada di lima wilayah kecamatan di
Purwakarta, yaitu Campaka, Cibatu, Bungursari, Darangdan dan Plered.
Wilayah Perkebunan Cikumpay terletak kira-kira 70-90 m dpl dengan keadaan
topografi datar hingga bergelombang. Kecamatan Campaka terletak pada
lintang 06o30’33.9” LS, bujur 107o28’58.5” BT dengan evaluasi 97 meter.
Kondisi pertanaman karet pada awal dimulainya penelitian di areal
percobaan terlihat sangat baik dan sesuai dijadikan tempat percobaan (Gambar
1). Umur tanaman karet waktu pada areal penelitian adalah empat tahun. Tajuk
tanaman sudah cukup tinggi berkisar 3-4 meter dan belum pernah disadap.
Aplikasi dilakukan pada pagi hari yaitu pada tanggal 29 September 2012, pada
pukul 08.00 WIB yang diperkirakan tidak turun hujan atau maksimal turun
hujan 6 jam setelah aplikasi bertujuan untuk menghindari penguapan herbisida
oleh sinar matahari yang dapat mengurangi efektivitas herbisida yang
diaplikasikan.
Tingkat curah hujan di areal penelitian selama penelitian berlangsung
tidak terlalu tinggi dan pada bulan tersebut intensitas hujan masih rendah.
Selain curah hujan, tingkat naungan juga sangat mempengaruhi jumlah
populasi gulma yang ada, karena dengan tingginya curah hujan dan tingkat
naungan menyebabkan kelembaban tanah tetap terjaga. Menurut Kurniawan et
al. (2007) kelembaban tanah yang cukup dapat menyebabkan tumbuhnya
sebagian besar biji gulma dalam tanah.
Data rekapitulasi sidik ragam menunjukan bahwa pengamatan bobot
kering gulma total untuk perlakuan 4 MSA dan 12 MSA berbeda nyata dengan
dengan perlakuan 2, 6, 8, dan 10 MSA. Pada pengamatan bobot kering gulma
rumput, perlakuan pada 12 MSA diperoleh sangat berbeda nyata dengan

9
perlakuan lainnya, sedangkan pada pengamatan bobot kering gulma daun lebar
didapat tidak berbeda nyata untuk setiap perlakuan (Tabel 1).

Gambar 1 Kondisi lahan percobaan di PTPN VIII Cikumpay, Purwakarta
sebelum aplikasi
Tabel 1 Rekapitulasi sidik ragam pada tiap waktu pengamatan
Peubah Pengamatan
Waktu
(MSA)
BKGT
BKR
BKDL
2
tn
tn
tn
*
tn
tn
4
tn
tn
tn
6
tn
tn
tn
8
tn
tn
tn
10
*
**
tn
12
a

BKDT = Bobot Kering Daun Lebar; MSA = Masa Setelah Aplikasi;
BKGT = Bobot Kering Gulma Total ; BKRT = Bobot Kering Rumput
*
= Berpengaruh nyata pada taraf 5 % ; ** = Berpengaruh nyata pada taraf 1 %
; tn
= Tidak berpengaruh nyata

Gulma Dominan
Vegetasi gulma dapat menggambarkan perpaduan jenis gulma disuatu
wilayah atau daerah. Suatu tipe vegetasi mampu menggambarkan suatu daerah
dari segi penyebaran gulma yang ada baik secara ruang maupun waktu. Ratarata jumlah kerapatan nisbi, nilai frekuensi nisbi, dan nilai berat kering nisbi
gulma yang diperoleh dari analisis vegetasi pada areal penelitian disebut
dengan NJD (Nisbah Jumlah Dominansi). Spesies gulma dominan akan
ditunjukan oleh besarnya NJD dalam persen pada areal penelitian.
Hasil analisis vegetasi gulma sebelum aplikasi herbisida IPA glifosat
486 SL disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis vegetasi sebelum aplikasi
herbisida, diperoleh empat gulma dominan yaitu Paspalum conjugatum,
Tetracera indica, Ficus septica, dan Eleusine indica (Tabel 2). Adapun spesies
gulma lain seblum aplikasi herbisida yang cukup banyak tumbuh di areal

10
penelitian yaitu Ottoclhoa nodosa, Cynodon dactylon, Chromolena odorata
dan Mikania micrantha.
Tabel 2 Nisbah jumlah dominansi (NJD) gulma sebelum aplikasi herbisida
Nomor
Spesies gulma
Gulma jenis
NJD (%)
1
Paspalum conjugatum
rumput
17.72
2
Tetracera indica
daun lebar
13.90
3
Ficus septic
daun lebar
9.02
4
Eleusine indica
rumput
7.73
5
Chromolaena odorata
daum lebar
6.97
6
Ottochloa nodosa
rumput
6.83
7
Cynodon dactylon
rumput
6.49
8
Mikania micrantha
daun lebar
5.26
9
Gulma lain
campuran
26.08
Analisis vegetasi juga dilakukan pada akhir percobaan untuk
mengetahui apakah ada perubahan dari jumlah gulma yang dominan ketika
sebelum aplikasi dengan setelah aplikasi herbisida. Hasil analisis vegetasi akhir
yang dilakukan pada lahan percobaan memberikan gambaran umum tentang
dominansi gulma setelah aplikasi herbisida. Tabel 3 menunjukan bahwa terjadi
perubahan dominansi gulma yang terjadi pada akhir percobaan setelah aplikasi
herbisida dibandingakan dengan sebelum aplikasi herbisida.
Dominansi gulma yang paling tinggi pada akhir percobaan yaitu gulma
dari spesies Borreria alata dan Cyrtococcum patens, dengan persentase
masing-masing mencapai 23.42% untuk Borreria alata dan 23.38% untuk
Cyrtococcum patens (Tabel 3). Data pada Tabel 3 menunjukan bahwa gulma
dari golongan daun lebar (Borreria alata) lebih dominan dari pada gulma dari
golongan rumput. Berbeda halnya dengan hasil analisis vegetasi sebelum
aplikasi terlihat bahwa gulma dari golongan rumput (Paspalum conjugatum)
yang lebih dominan. Secara keseluruhan terjadi perubahan dominansi gulma
secara signifikan antara sebelum aplikasi herbisida dengan dominansi gulma
setelah aplikasi herbisida (Tabel 3).
Tabel 3 Nisbah jumlah dominansi (NJD) gulma setelah aplikasi herbisida
Nomor
Spesies gulma
Gulma jenis
NJD (%)
1
Borreria alata
daun lebar
23.42
2
Cyrtoccocum patens
rumput
23.38
3
Mikania micrantha
daun lebar
14.24
4
Tetracera indica
daun lebar
16.47
5
Gulma lain
campuran
22.49
Terjadinya perubahan dominansi gulma sebelum dan setelah aplikasi
herbisada dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain pengaruh curah
hujan yang mulai meningkat. Herbisida IPA glifosat 486 SL kurang efektif
untuk mengendalikan gulma Tetracera indica (Gambar 2). Hal ini terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, adanya trikoma pada daun, tajuk
tanaman yang kuat dan berkayu yang sulit ditembus harbisida sistemik (Barus
2003).

11

Gambar 2 Gulma dominan: Ficus septica (kiri atas), Tetracera indica
(kanan atas),
atas Eleusine indica (kiri bawah), Paspalum
conjugatum (kanan bawah)
Adanya perbedaan kepekaan gulma terhadap herbisida sangat
ditentukan oleh faktor dalam dan faktor luar sehingga dapat menyebabkan
adanya perbedaan jenis gulma yang terdapat pada areal pertanaman. Setiap
jenis gulma akan memiliki respon morfologi dan fisiologi
ologi yan
yang berbeda
terhadap efek herbisida yang diberikan merupakan pengaruh dari faktor dalam.
Selain jenis gulma, dosis dan sifat herbisida, faktor luar juga sangat
berpengaruh terhadap efektivitas suatu herbisida. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi efektivitas herbisida yang diaplikasikan adalah cahaya, suhu,
curah hujan, kandungan
ndungan bahan faktor, kelembaban dan pH.
Curah hujan yang terjadi di sekitar areal percobaan disaat awal
awal-awal
penelitian berlangsung sangat rendah (Tabel 4). Pada Bulan September curah
hujan bernilai nol mm/bulan. Keadaan ini sangat baik untuk melakukan
aplikasi herbisida serta dapat memperkecil pengaruh lingkungan. Namun pada
saat di pertengahan hingga akhir pengamatan penelitian curah hujan mulai
tinggi dan terus mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat meningkatkan daya
tumbuh gulma. Akibatnya gulma yang tertanam dalam tanah akan lebih cepat
berkecambah dan tumbuh kepermukaan. Curah hujan yang tin
tinggi dapat
mempengaruhi keefektifan
keefektif
dari herbisida yang diaplikasikan dikarenakan
terjadinya pencucian
ncucian oleh air hujan dan konsentrasi herbisida dalam juga akan
terbawa oleh erosi. Berikut adalah data curah hujan selama percobaan
berlangsung.

12
Tabel 4 Data curah hujan selama percobaan di areal percobaan
Bulan
Curah hujan (mm/bulan)
September
0
Oktober
28
November
153
Desember
217
Sumber: BMKG Dramaga Bogor

Curah hujan merupakan suatu faktor lingkungan yang juga erat
kaitannya dengan tingkat kelembaban tanah. Semakin tinggi curah hujan maka
akan semakin tinggi tingkat kelembaban tanah. Kelembaban tanah nantinya
akan mempengaruhi tingkat proses pengecambahan gulma yang ada dalam
tanah. Semakin tinggi tingkat kelembaban tanah maka akan semakin membantu
proses pengecambahan gulma yang ada dalam tanah.
Bobot Kering Gulma Total
Bobot kering gulma total merupakan jumlah bobot kering gulma secara
keseluruhan pada setiap petak perlakuan dan setiap ulangan. Penentuan berat
kering gulma total dilakukan dengan cara menimbang tiap spesies gulma yang
telah dioven yang merupakan hasil pengambilan sampel gulma setiap
perlakuan dan setiap ulangan. Bobot kering gulma total merupakan jumlah
bobot kering gulma secara keseluruhan pada setiap petak perlakuan dan setiap
ulangan.
Perlakuan herbisida IPA glifosat 486 SL dengan beberapa dosis
berpengaruh nyata pada 4 dan 12 MSA. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam
menekan pertumbuhan gulma total diantara perlakuan dosis 1.5 l ha-1, 2.5 l ha-1
dan 3.0 l ha-1, namun dari setiap perlakuan dapat dilihat bahwa perlakuan
herbisisda IPA glifosat 486 SL dengan dosis 1.5 l ha-1 lebih besar menekan
pertumbuhan gulma secara total. Bobot kering gulma total terendah terdapat
pada perlakuan herbisida dengan perlakuan manual pada 12 MSA, yaitu 0.748
gram (Tabel 5). Hal ini dapat terjadi karena pengendalian manual mulai
dilakukan pada 10 MSA.
Tabel 5 Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma
total
Perlakuan

Dosis

Minggu setelah aplikasi (MSA)

2
4
6
8
10
12
-1
2
.................................................................(g 0.25 m )...................................................................
Kontrol
11.118
24.390 a
15.715
12.718
10.048 19.523 a
Manual
11.008
7.303 b
13.463
11.298
10.550
0.748 b
22.935 a
12.843
21.495
6.420
5.213 b
Glifosat
1.0 l/ha
7.480
Glifosat
1.5 l/ha
11.773
9.578 b
10.940
10.175
7.445
4.683 b
Glifosat
2.0 l/ha
14.413
7.948 b
11.808
10.853
7.430
9.190 b
Glifosat
2.5 l/ha
11.640
13.868 ab
17.610
21.760
15.713
5.918 b
Glifosat
3.0 l/ha
10.850
9.433 b
15.530
21.400
7.965
9.543 b
a
Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5 % uji duncan. Data diatas merupakan data hasil transformasi √(x+4)

13
Dilihat dari hasil perhitungan data tabel bahwa perlakuan herbisida
pada dosis 1.0 l/ha efektif menekan gulma hanya pada 2, 6, 10, dan 12 MSA,
sedangkan pada 4 MSA dan 8 MSA merupakan nilai bobot kering gulma total
tertingi yang artinya tidak efektif menekan gulma. Pada 2, 6, 8, dan 10 MSA
nilai bobot kering gulma total dari perlakuan herbisida dengan dosis 1.0 l/ha
tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan penyiangan manual.
Pengendalian manual dilakukan mulai 10 MSA dikarenakan sebelum
10 MSA pertumbuhan gulma masih kecil dan belum ideal untuk dilakukan
pembabatan karena keberadaan dan kondisi gulma belum merugikan secara
ekonomis. Bobot kering gulma total tertinggi terdapat pada perlakuan Kontrol
pada pengamatan 4 MSA sebesar 22.973 gram. Sastroutomo (1990)
menyatakan bahwa secara umum hampir semua biji gulma yang ada dalam
tanah berkecambah dalam waktu yang relatif singkat (2 minggu). Rata-rata
perkecambahan gulma dimulai setelah 2 minggu dan meningkat jumlahnya
setelah 2 bulan (8 MSA).
Berdasarkan data tabel, secara umum perlakuan herbisida dengan dosis
1.0 l ha-1 lebih efektif dan efisien diaplikasikan dari segi biaya dan toksisitas
bila dibandingkan dengan perlakuan dosis yang lainnya atau yang lebih tinggi.
Karena diantara perlakuan herbisida dengan dosis 1.0 l ha-1 menunjukan hasil
yang cukup baik dalam penurunan kuantitas berat kering gulma secara total.
Selain itu, apabila perlakuan dosis 1.0 l ha-1 dibandingkan dengan perlakuan
manual memang terlihat berbeda nyata, namun jika dibandingkan dengan
faktor biaya HOK diantara keduanya, perlakuan akan dapat menutupi dan
menggantikan perlakuan manual yang jauh lebih mahal. Sehingga diambil
dosis yang paling rendah untuk efisiensi biaya.
Bobot Kering Gulma Daun Lebar
Gulma berdaun lebar cenderung untuk dapat menurunkan hasil panenan
yang lebih besar jika dibandingkan dengan gulma rerumputan atau sejenisnya
(Sastroutomo 1990). Analisis data Tabel 6 menunjukan bahwa secara
keseluruhan aplikasi herbisisda IPA glifosat 486 SL pada gulma berdaun lebar
memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada 2, 4, 6, 8, 10 dan 12
MSA. Hal ini menerangkan bahwa setiap dosis perlakuan herbisida yang
diaplikasikan tidak efektif untuk mengendalikan gulma dari golongan daun
lebar. Perbedaan yang nyata hanya terjadi pada perlakuan 8 MSA dengan dosis
2.5 l ha-1 dan 3.0 l ha-1 terhadap perlakuan kontrol. Nilai bobot kering gulma
daun lebar total pada perlakuan 8 MSA dengan dosis 2.5 l ha-1 dan 3.0 l ha-1
adalah salah satu yang terendah mencapai 0.00 gram. Hal ini menunjukan
bahwa kerja herbisida IPA glifosat 486 SL masih terlihat hingga 8 MSA.
Bobot kering gulma daun lebar total terendah terdapat pada petak
percobaan dengan aplikasi herbisida dengan dosis 1.0 l ha-1 pada 4 MSA, 2.5 l
ha-1 dan 3.0 l ha-1 pada pengamatan 8 MSA, serta perlakuan kontrol pada
pengamatan 6 dan 12 MSA. Bobot kering gulma daun lebar total tertinggi yaitu
dengan dosis 1.5 l ha-1 pada pengamatan 2 MSA. Bobot kering rata-rata gulma
daun lebar total tertinggi adalah 10.845 gram dan yang terendah adalah 0.248
gram (Tabel 6). Secara keseluruhan nilai rata-rata bobot kering gulma daun

14
lebar total pada setiap pengamatan mengalami fluktuasi data akibat sebaran
gulma daun lebar yang tidak merata ada pada setiap petak percobaan.
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa bobot kering gulma daun lebar total
mulai mengalami peningkatan konstan pada 8 MSA pada setiap dosis
perlakuan kecuali untuk perlakuan kontrol dan manual yang mengalami
penurunan. Peningkatan bobot kering tersebut terjadi dikarenakan terjadinya
peningkatan intensitas curah hujan di areal percobaan.
Tabel 6 Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma
daun lebar
Perlakuan

Dosis

Minggu Setelah Aplikasi (MSA)

2
4
6
8
10
12
....................................................................(g/0.25 m2)…………………………………………
Kontrol

-

2.995

4.370

0.000

5.480

2.740

0.000

Manual

-

7.863

1.235

5.155

1.850

5.015

0.640

Glifosat
1.0 l/ha
5.650
0.000
3.765
0.273
5.733
5.230
Glifosat
1.5 l/ha
10.845
0.285
5.168
1.278
3.320
5.518
Glifosat
2.0 l/ha
4.473
1.513
3.183
1.793
1.195
4.383
Glifosat
2.5 l/ha
7.250
7.250
4.305
0.000
2.335
1.405
Glifosat
3.0 l/ha
0.248
2.550
4.353
0.000
3.400
7.693
a
Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5 % uji duncan. Data diatas merupakan data hasil transformasi √(x+4)

Sembodo (2010) menyatakan bahwa gulma dari spesies yang sama pun
kadangkala memberikan respon yang berbeda terhadap herbisida tertentu.
Apalagi antar jenis gulma walaupun dalam satu golongan tertentu, respon
yang ditunjukkan sering berbeda. Fadhly dan Tabri (2004) menambahkan
bahwa setiap golongan gulma memiliki respon yang berbeda atas penerimaan
herbisida. Herbisida memiliki efektivitas yang beragam berdasarkan cara
kerjanya.
Bobot Kering Gulma Rumput
Rumput merupakan suatu golongan gulma yang memiliki ciri-ciri dengan
memiliki batang bulat atau pipih dan berongga. Golongan gulma jenis rumput
memiliki kesamaan dengan golongan teki, yaitu sama-sama memiliki daun
yang sempit, tetapi dari sudut pengendalian terutama responnya terhadap
herbisisda berbeda. Berdasarkan dari bentuk masa pertumbuhannya, gulma
rumput dibedakan menjadi rumput semusim (annual) dan tahunan (perennial).
Dilihat dari segi vegetasi, rumput semusim biasanya tumbuh melimpah tetapi
kurang menimbulkan masalah dibandingkan dengan rumput tahunan. Hasil
analisis vegetasi yang dilakukan pada petak percobaan didapat beberapa jenis
gulma rumput, diantaranya adalah Paspalum conjugatum, Eleusine indica, dan
Cyrtococcum patens.
Hampir semua jenis rerumputan adalah jenis C4, maka pengaruh
kompetisinya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan gulma berdaun lebar,
dapat dijelaskan sebagai akibat dari pertumbuhannya yang menyebar luas
dengan daun yang tumbuh horizontal yang membuatnya semakin kompetitif

15
akan cahaya. Secara keseluruhan dari data dapat dilihat bahwa aplikasi
herbisida IPA glifosat 486 SL tidak memberikan pengaruh yang nyata dari
mulai pengamatan 2 MSA hingga 10 MSA (Tabel 7). Pengaruh yang nyata
terlihat pada perlaukan dengan dosis 2.5 l ha-1 pada pengamatan 4 MSA
terhadap kontrol sedangkan pengaruh yang sangat nyata terlihat pada perlakuan
kontrol terhadap semua perlakuan manual dan dosis lainnya.
Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma
rumput total dapat dilihat pada Tabel 7. Pada pengamatan mulai dari 2 MSA
hingga 4 MSA menunjukan kenaikan jumlah bobot kering gulma rumput yang
begitu besar pada perlakuan kontrol. Perlakuan dengan dosis 1.0 l ha-1, 2.5 l ha1
dan 3.0l ha-1 mengalami peningkatan bobot kering gulma rumput total pada
pengamatan 2 MSA hingga 8 MSA. Namun, pada pengamatan 10 MSA dan 12
MSA mengalami penurunan bobot kering gulma rumput total. Analisis dari
data menunjukan bahwa secara keseluruhan bobot kering gulma rumput total
pada setiap perlakuan seperti menunjukan pergerakan parabola terbalik mulai
dari 2 MSA hingga 12 MSA, kecuali pada perlakuan kontrol yang mengalami
kenaikan yang signifikan pada 12 MSA.
Terjadinya kenaikan bobot kering gulma rumput total yang signifikan
pada perlakuan kontrol pada 12 MSA menunjukan bahwa adanya pengaruh
tingginya intensitas curah hujan yang meningkatkan daya tumbuh gulma.
Selain itu perlakuan kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan apapun juga
menyebabkan cepatnya pertumbuhkembangan gulma rumput. Terjadinya
kenaikan bobot kering gulma rumput pada 2 MSA hingga 4 MSA kemudian
mengalami penurunan secara konstan hingga pengamatan 8 MSA seperti
pergerakan penurunan menunjukan bahwa aplikasi herbisida IPA glifosat 486
SL cukup efektif untuk mengendalikan gulma rumput pada pertanaman karet
belum menghasilkan.
Tabel 7 Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma
rumput
Perlakuan

Dosis

Minggu setelah aplikasi (MSA)

2
4
6
8
10
12
.................................................................(g/0.25 m2)......................................................................
Kontrol
8.123 20.020 a
15.715
7.238
7.308 19.523 a
Manual
5.998 10.850 abc
10.988
9.490
10.323
0.370 b
Glifosat
1.0 l/ha
4.058 22.935 ab
11.603
21.618
2.708
0.285 b
Glifosat
1.5 l/ha
3.928
9.553 abc
7.625
8.898
7.993
1.768 b
Glifosat
2.0 l/ha
9.940
8.540 bc
13.248
11.725
7.175
6.330 b
Glifosat
2.5 l/ha
9.273
9.660 c
18.045
21.760
13.378
5.533 b
Glifosat
3.0 l/ha
6.230
8.850 abc
13.838
21.400
5.453
4.505 b
a
Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5 % uji duncan. Data diatas merupakan data hasil transformasi √(x+4)

Bobot kering gulma rumput total terendah terdapat pada perlakuan
manual pada pengamatan 12 MSA atau pengamatan 2 minggu setelah
pembabatan gulma dengan bobot sebesar 0.26 gram, dan bobot kering gulma
rumput total tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol pada pengamatan 4 MSA
sebesar 24.39 gram. Berdasarkan data yang diperoleh, secara umum perlakuan
herbisida dengan dosis rendah yaitu 1.5 l ha-1 merupakan yang paling efektif
apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Selain itu, perbedaan bobot

16
kering gulma total pada perlakuan dengan dosis 1.5 l ha-1 dengan perlakuan
kontrol perbedaannya sangat terlihat. Bobot kering gulma rumput total
perlakuan kontrol jauh lebih besar dari perlakuan dengan dosis 1.5 l ha-1.
Fitotoksisitas pada Tanaman Karet Belum Menghasilkan
Salah satu pertimbangan yang penting dalam pemakaian herbisida
adalah untuk mendapatkan pengendalian yang selektif, yaitu mematikan gulma,
tetapi tidak merusak tanaman budidaya. Respon beberapa jenis tumbuhan yang
berbeda pada satu jenis herbisida dengan dosis yang sama akan berbeda pula.
Hal ini diakibatkan karena letak kegiatan herbisida itu pada masing-masing
tumbuhan juga berbeda ataupun lama beradanya herbisida itu dalam tumbuhan
yang berbeda (persistensi). Bagian tubuh tumbuhan di bawah dan diatas
permukaan tanah diliputi suatu membran yang disebut dengan kutikula yang
terdiri dari membran benda mati, non-seluler, dan lipoida yang merupakan
penghalang utama masuknya herbisida (Moenandir 1990).
Pengamatan toksisitas herbisida IPA glifosat 486 SL pada tanaman karet
yang dilakukan secara visual tidak menunjukan adanya keracunan pada
tanaman karet dari setiap perlakuan dosis herbisida (Tabel 8). Batang tanaman
karet yang secara langsung terpapar cairan herbisida biasanya akan seperti
terlihat menguning kemudian menghitam seperti terbakar. Namun, tidak terjadi
perubahan dan keracunan pada batang karet setelah dilakukan tiga kali
pengamatan setelah aplikasi. Hal ini menunjukan bahwa tanaman karet mampu
memetabolisme komponen komponen yang terdapat pada herbisida IPA
glifosat 486 SL pada dosis perlakuan yang diberikan pada percobaan ini.
Tanaman karet di lahan percobaan merupakan tanaman karet yang belum
menghasilkan yang telah berumur empat tahun (Gambar 3).
Tabel 8 Data nilai rata-rata tingkat skoring toksisitas pada tanaman karet
belum menghasilkan
Rata-rata tingkat skoring keracunan
Perlakuan
Rata-rata
dosis
2 MSA
4 MSA
6 MSA
1.0 l ha-1
0
0
0
0
1.5 l ha-1
0
0
0
0
-1
0
0
0
0
2.0 l ha
0
0
0
0
2.5 l ha-1
0
0
0
0
3.0 l ha-1
a

MSA: Masa setelah aplikasi

Pada umur 4 tahun kulit batang tanaman karet telah cukup tebal dan
tajuk tanamannya juga tinggi, yaitu lebih dari 3 meter. Kulit tanaman yang
tebal dapat menghalangi masuknya cairan glifosat ke dalam sistim jaringan
simplas tanaman. Selain itu, Menurut Yakup (2002), menyatakan bahwa
penghambatan atau pemacuan pertumbuhan suatu tumbuhan ditentukan oleh
dosis dan konsentrasi herbisida tersebut. Suatu herbisida pada dosis atau
konsentrasi tertentu dapat bersifat selektif, tetapi bila dosis atau konsentrasi
dinaikan atau diturunkan berubah menjadi tidak selektif.

17

Gambar 3 Tidak terlihat adanya keracunan pada batang dan tajuk
tanaman karet (4 MSA kiri), (10 MSA kanan).
Perbandingan dengan Pengendalian Mekanis
Salah satu cara yang efektif dan efesien untuk meningkatkan
pengendalian gulma pada areal pertanian adalah dengan mengkombinasikan
herbisida dengan dosis rendah. Namun, dalam hal pengendalian gulma secara
kimia perlu juga mempertimbangkan aspek dari dampak lingkungan yang
dihasilkan dari pada pengendalian gulma secara mekanis (Mulyati 2004).
Adapun beberapa teknik pengendalian mekanis yang biasa dilakukan
adalah dengan pengolahan tanah, penyiangan, pencabutan, pembabatan,
pembakaran, dan penggenangan. Penyiangan manual yang dilakukan dalam
percobaan ini membutuhkan waktu rata-rata 25 menit 30 m-2. Teknik yang
digunakan adalah babat dempes, yang berarti bila dirata-ratakan untuk 1 ha
membutuhkan waktu sekitar 139 jam ha-1 atau sekitar 20 HOK (1 HOK = 7
jam). Sedangkan untuk perlakuan herbisida menggunakan alat sprayer
knapsack semi otomatis dengan nozel T-jet, yang menggunakan volume
somprot 400 l ha-1, dan memiliki nozel output sebesar 0.8 l menit-1,
memerlukan waktu penyemprotan rata - rata 5 menit 30 m-2 atau sekitar 28 jam
ha-1 (4 HOK).
Pengendalian secara mekanis selain memerlukan waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan pengendalian secara kimia, juga memerlukan tenaga
kerja yang banyak dan biaya yang lebih besar untuk membayar tenaga kerja
tersebut. PTPN VIII Cikumpay memiliki standar upah untuk karyawan harian
lepas yaitu rata-rata Rp 60 000 HOK-1. Sedangkan untuk harga herbisida IPA
glifosat 486 SL yang diujikan dalam percobaan ini diperkirakan mempunyai
harga jual sekitar Rp 100 000 untuk satu liter. Perbandingan biaya yang
dikeluarkan antara perlakuan penyiangan manual dengan perlakuan herbisida
ditunjukan pada Tabel 9.
Perbandingan tingkat kemampuan untuk menekan pertumbuhan gulma
antara perlakuan penyiangan manual dengan perlakuan herbisida juga
menunjukan bahwa perlakuan herbisida atau pengendalian secara kimia
memiliki hasil yang lebih baik untuk menekan pertumbuhan gulma
dibandingkan dengan perlakuan penyiangan manual atau secara mekanis.
Terlihat pada pengamatan 12 MSA setelah dilakukannya penyiangan manual
pada 10 MSA, menunjukan bahwa perlakuan penyiangan manual memiliki

18
nilai bobot kering gulma yang tidak jauh berbeda dibandingkan perlakuan
herbisida pada semua dosis yang diujikan. Namun, dari segi biaya perlakuan
manual terlihat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pelakuan dosis lainnya.
Oleh sebab itu, walaupun perlakuan manual terlihat lebih efektif
dibandingankan perlakuan manual dalam hal data bobot k