Penggunaan Empirical Orthogonal Function (EOF) untuk Identifikasi Karakteristik Curah Hujan (Studi Kasus: DAS Ciujung-Cidurian)

PENGGUNAAN EMPIRICAL ORTHOGONAL FUNCTION
(EOF) UNTUK IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK CURAH
HUJAN (STUDI KASUS: DAS CIUJUNG-CIDURIAN)

NORMI ARDIANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penggunaan Empirical
Orthogonal Function (EOF) untuk Identifikasi Karakteristik Curah Hujan (Studi
Kasus: DAS Ciujung-Cidurian) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Normi Ardiani
NIM G24090058

ABSTRAK
NORMI ARDIANI. Penggunaan Empirical Orthogonal Function (EOF) untuk
Identifikasi Karakteristik Curah Hujan (Studi Kasus: DAS Ciujung-Cidurian).
Dibimbing oleh AHMAD BEY.
Variabilitas curah hujan di Indonesia sangat beragam secara ruang maupun
waktu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola spasial dan pola
temporal curah hujan, mengkaji pengaruh ENSO terhadap variabilitas curah
hujan, dan memperoleh lokasi stasiun yang berpengaruh besar terhadap variasi
curah hujan. Metode yang digunakan adalah Empirical Orthogonal Function
(EOF) dan Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF). Berdasarkan
analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) diperoleh varian tahunan dan
musiman curah hujan yang didominasi oleh sistem monsun. Tipe topografi berupa
pegunungan juga ikut menyumbang varian curah hujan. Pola temporal musiman
EOF berkaitan dengan kejadian ENSO. Hal ini dilihat dari nilai korelasi yang

tinggi antara koefisien EOF dengan nilai SOI yaitu EOF1 dengan periode MAM,
JJA, dan SON dengan nilai korelasi masing-masing sebesar -0.467, 0.413, dan
0.32. EOF2 berkorelasi tinggi dengan periode DJF dan SON dengan korelasi
masing-masing sebesar -0.555 dan -0.588. Metode Rotated Empirical Orthogonal
Function (REOF) digunakan untuk melihat kontribusi setiap stasiun pengamatan
dengan cara merotasi EOF. Rotasi yang digunakan adalah rotasi varimax. Hasil
dari rotasi diperoleh bahwa faktor1 ditentukan oleh dua stasiun yaitu stasiun
Ragas Hilir dan Jongjing sedangkan faktor lainnya hanya ditentukan oleh satu
stasiun saja.
Kata kunci: ENSO, EOF, monsoon, rotasi varimax

ABSTRACT
NORMI ARDIANI. Application of Empirical Orthogonal Function (EOF) to
Identify Rainfall Characteristic (Case Study: Ciujung-Cidurian Watershed).
Supervised by AHMAD BEY.
Rainfall in Indonesia is highly varied in space and time. The purpose of this
research was identify spatial and temporal rainfall pattern, examine impact of
ENSO on rainfall variability, and obtain the location of stations which had great
impact on rainfall variability. The method used Empirical Orthogonal Function
(EOF) and Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF). From EOF obtained

annual and seasonal rainfall variance dominated by monsoon system. Type of
mountain topography also contributed on rainfall variability. EOF seasonal
temporal patterns related with ENSO. It was seen from high value of correlation
between EOF coefficient and SOI. Correlation between EOF1 with MAM, JJA,
and SON period respectively -0.467, 0.413, and 0.32. EOF2 correlated with DJF
and SON period with correlation respectively -0.555 and -0.588. Rotated
Empirical Orthogonal Function (REOF) was used to see the contribution of each
observation station by rotating the EOF. Type of rotation is varimax rotation.The
result of rotation showed factor1 was determined by two station, Ragas Hilir and
Jongjing station whereas other factors were determined by one stasion only.
Keywords: ENSO, EOF, monsoon, varimax rotation

PENGGUNAAN EMPIRICAL ORTHOGONAL FUNCTION
(EOF) UNTUK IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK CURAH
HUJAN (STUDI KASUS: DAS CIUJUNG-CIDURIAN)

NORMI ARDIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Penggunaan Empirical Orthogonal Function (EOF) untuk
Identifikasi Karakteristik Curah Hujan (Studi Kasus: DAS
Ciujung-Cidurian)
Nama
: Normi Ardiani
NIM
: G24090058

Disetujui oleh


Prof Dr Ir Ahmad Bey
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Rini Hidayati, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Empirical
Orthogonal Function (EOF), dengan judul Penggunaan Empirical Orthogonal
Function (EOF) untuk Identifikasi Karakteristik Curah Hujan (Studi Kasus: DAS
Ciujung-Cidurian).
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut
serta berperan dalam penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada:
1 Prof Dr Ir Ahmad Bey selaku dosen pembimbing skripsi
2 Dosen penguji yang telah memberikan saran dalam menyempurnakan

tulisan ini
3 Bapak Akhmad Marwie dan Ibu Basni, orang tua (umak dan bapak)
beserta keluarga besar yang terus memberikan doa dan semangat serta
kasih sayangnya
4 Pemerintah Kabupaten Belitung Timur yang telah memberikan
kesempatan beasiswa bantuan pendidikan hingga bisa menyelesaikan studi
sampai tahap akhir
5 Teman-teman GFM 46, yaitu teman-teman satu bimbingan (Wayan, Icha,
Depe), Cibantengers (Nita, Winda, Dwi, Lidya, Ika Farah), Wengky dan
Sholah yang telah membantu kesulitan dalam pengerjaan skripsi ini, Hifdi,
Alin, Hanifah, Ika Pur, Silvi, Tommy, Rizal, Ima, Santi, Zia, Didi, Iif,
Risa, Jame, Bang Nowa, Noya, Ocha, Dissa, Risna, Eka F, Edo, Abu,
Halimah, Eko, Fahmi, Enda, Dodik, Rini, Dini, Muha, Bambang, Hijjaz,
Ipin, Ian, Syarifah, Umar, Dimas, Rikson, May, Zaenal, Ervan, Khabib,
dan Eka Al yang telah memberikan dukungan dan kebersamaannya selama
tiga tahun ini
6 Teman-teman kosan Satelit 1 (Nita, Santi, Kak Ria, Fitri, Diah, Mba Anik)
yang selalu memberikan canda tawa dan dukungannya
7 Anggota IKPB (Ikatan Keluarga Pelajar Belitung) yaitu Dwi, Dewi,
Fadhil, Akhsanul (alm), Leon, Dea, Kak Dina, Bang Iqbal, Kak Yona, dan

lain-lain
8 Keluarga Besar Departemen Geofisika dan Meteorologi (para dosen, GFM
44, 45, 47, 48, dan seluruh staf GFM)
9 Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu dan memberikan dukungannya selama ini
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Normi Ardiani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Daerah Aliran Sungai


2

Pola Curah Hujan

4

Pengaruh ENSO terhadap Curah Hujan

6

Empirical Orthogonal Function (EOF)

7

Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF)

9

METODE


10

Bahan

10

Alat

11

Prosedur Analisis Data

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF)


12

Analisis Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF)

24

SIMPULAN DAN SARAN

27

Simpulan

27

Saran

27

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

35

DAFTAR TABEL
1 Luas DAS Ciujung berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng
2 Daftar stasiun di DAS Ciujung-Cidurian
3 Hasil analisis tahunan dan musiman EOF, varian masing-masing EOF
dan wilayah yang memiliki varian curah hujan tinggi
4 Nilai korelasi antara koefisien eigenvector-1, eigenvector-2, dan
eigenvector-3 dengan SOI
5 Rotated Factor Loading lima belas stasiun

3
10
23
23
25

DAFTAR GAMBAR
1 Peta DAS Ciujung-Cidurian
2 Pembagian pola curah hujan menurut Aldrian dan Susanto (2003), yaitu
pola monsunal (A), pola ekuatorial (B), dan pola lokal (C)
3 Scree plot proporsi varian kumulatif tahunan
4 Pola distribusi nilai (a) curah hujan bulanan rata-rata (mm) (b) standar
deviasi bulanan (mm)
5 Distribusi eigenvector komponen utama (a) pertama, (b) kedua, dan (c)
ketiga
6 Time series koefisien eigenvector-1, eigenvector-2, eigenvector-3
7 Scree plot proporsi varian kumulatif data musiman
8 Distribusi nilai curah hujan rata-rata masing-masing stasiun pada
periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
9 Distribusi nilai standar deviasi curah hujan masing-masing stasiun pada
periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
10 Distribusi nilai eigenvector pertama masing-masing stasiun pada
periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
11 Distribusi nilai eigenvector kedua masing-masing stasiun pada periode
(a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
12 Distribusi nilai eigenvector ketiga masing-masing stasiun pada periode
(a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
13 Nilai curah hujan persamaan rata-rata DAS Ciujung-Cidurian

5
6
13
14
14
16
17
18
19
20
21
22
26

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai eigenvector masing-masing stasiun DAS Ciujung-Cidurian
2 Rotated factor loading DAS Ciujung-Cidurian seluruh stasiun
3 Curah hujan persamaan rata-rata DAS Ciujung-Cidurian tahun 19982008

30
32
34

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Iklim dapat diartikan sebagai ukuran statistik cuaca untuk jangka waktu
tertentu dan lokasi tertentu yang dipengaruhi berbagai unsur cuaca. Kombinasi
dari berbagai unsur pembentuk iklim menentukan tipe iklim suatu wilayah. Unsur
iklim yang dominan pengaruhnya akan menentukan tipe iklim wilayah tersebut.
Variabilitas iklim tahunan dan antar-tahunan di Indonesia cukup unik karena
tidak sama untuk semua daerah dan berpengaruh pada pola cuaca dan curah
hujannya (Haylock and McBride dalam Aldrian dan Susanto 2003). Menurut
Bruce dan Clark (1966), variabilitas curah hujan secara ruang sangat dipengaruhi
oleh letak geografi (letak terhadap lautan dan benua), topografi, ketinggian
tempat, arah angin umum, dan letak lintang. Menurut Niewolt (1977) dalam
Ruminta (1989) berdasarkan skala waktu, variasi curah hujan dibagi menjadi tipe
harian, musiman (bulanan), dan tahunan. Variasi curah hujan harian dipengaruhi
oleh faktor lokal (topografi, tipe vegetasi, drainase, kelembaban, warna tanah,
albedo, dan lain-lain). Variasi bulanan atau musiman dipengaruhi oleh angin darat
dan angin laut, aktivitas konveksi, arah aliran udara di atas permukaan bumi,
variasi sebaran daratan dan lautan. Variasi tahunan dipengaruhi oleh perilaku
sirkulasi atmosfer global, kejadian badai, dan lain-lain.
Ramage (1968) menyebutkan bahwa wilayah Indonesia melepaskan banyak
panas laten dan sebagai wilayah sumber pembentukan sirkulasi Walker tropis
bersamaan dengan sirkulasi Hadley. Sirkulasi Walker merupakan sirkulasi
atmosfer zonal yang berkaitan erat dengan fenomena El Nino Southern Oscillation
(ENSO) sedangkan sirkulasi Hadley adalah sirkulasi atmosfer meridional. Di
wilayah Indonesia, konvergensi sirkulasi Hadley dari kedua belahan bumi utara
dan selatan berubah menjadi monsun yang menyebabkan terjadi hujan lebat di
Indonesia (Hermawan 2010).
Variasi curah hujan bulanan di Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh monsun
yang menimbulkan adanya periode bulan basah dan bulan kering dalam setahun.
Hal ini disebabkan Pulau Jawa adalah daerah lintasan angin muson Timur Laut
yang berasal dari Laut Cina Selatan. Daerah Aliran Sungai (DAS) CiujungCidurian adalah salah satu wilayah di Pulau Jawa dan merupakan DAS terbesar di
propinsi Banten yang memiliki peran sangat penting sebagai penyedia airbaku di
propinsi Banten. Secara umum, topografi DAS Ciujung-Cidurian terdiri dari
daerah perbukitan, perkebunan, hutan, sawah, pemukiman, industri, dan
sebagainya. DAS ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara. Laut Jawa
merupakan sumber pengangkatan massa uap air pada saat musim basah. Curah
hujan tahunan rata-rata DAS Ciujung-Cidurian berkisar antara 1500 mm pada
daerah dataran pantai utara sampai dengan 2500 mm pada bagian hulu (BBWS
Cidanau-Ciujung-Cidurian 2011).

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan
Mengidentifikasi pola spasial dan temporal curah hujan DAS CiujungCidurian dengan metode Empirical Orthogonal Function (EOF)
2 Mengkaji pengaruh ENSO terhadap variabilitas curah hujan DAS CiujungCidurian
3 Menentukan stasiun-stasiun yang berpengaruh terhadap variasi curah
hujan DAS Ciujung-Cidurian

1

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
Berdasarkan UU RI Nomor 7 Tahun 2004, Daerah Aliran Sungai (DAS)
didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami,
yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
DAS Ciujung
DAS Ciujung terdiri dari sub DAS Ciujung Hulu, Ciujung Tengah dan
Ciujung Hilir. Sub DAS Ciujung Hulu terletak di Kabupaten Lebak, yaitu antara
106°03’-106°16’ BT dan 6°29’-6°42’ LS yang secara geografis dibatasi oleh:
a Sebelah Barat berbatasan dengan Sub DAS Cisimeut
b Sebelah Timur berbatasan dengan DAS Cilaman
c Sebelah Utara berbatasan dengan Sub DAS Ciujung Tengah
d Sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Cimandur
DAS Ciujung Tengah-Hilir terletak antara 106°02’07’’-106°21’36’ BT dan
5°56’05’’-6°18’36’’ LS yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Pandeglang
dan Kabupaten Serang. Adapun batas wilayah Sub DAS Ciujung Tengah-Hilir
adalah
a Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ciruas, Kecamatan Baros,
Kecamatan Pabuaran, Kecamatan Kasemen dan Kecamatan Pontang
Kabupaten Serang
b Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Carenang, Kecamatan
Cikande, dan Kecamatan Kopo Kabupaten Serang
c Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
d Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kopo, Kecamatan Pabuaran,
dan Kecamatan Petir Kabupaten Serang
Luas DAS Ciujung sekitar 1850 km2 dengan panjang sungai 142 km. DAS
Ciujung mengalir dari sumber mata air yang berada di Gunung Endut dan Gunung
Karang ke Laut Jawa dengan melewati Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang.
Sub DAS Ciujung Hulu mempunyai tiga anak sungai utama yaitu sungai Ciujung
Hulu, sungai Ciberang, dan sungai Cisimeut dengan pertemuan di daerah Kota
Rangkasbitung.

3
Topografi DAS Ciujung Hulu sebagian besar terletak pada kemiringan agak
curam yaitu sekitar 30.73% dari total seluruh lahan sedangkan DAS Ciujung
Tengah-Hilir didominasi oleh kemiringan yang datar. Adapun luas DAS Ciujung
berdasarkan kelerengan disajikan oleh Tabel 1.
Tabel 1 Luas DAS Ciujung berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng
Luas Sub DAS
Luas Sub DAS
Ciujung Tengah
Kemiringan
Ciujung Hulu
No Kelas
Hilir
Lereng (%)
Ha
%
Ha
%
I
0-8
2.234
10.514
62005
90.145
II
8-15
4.675
22.003
3444.75
5.008
III
15-25
6.529
30.729
3333.75
4.847
IV
25-45
4.194
19.739
V
>45
3.615
17.014
Jumlah
21.247
100
68783.5
100
Sumber: RTL-RLKT DAS Ciujung tahun 1999
Lahan yang ada di kiri kanan Daerah Aliran Sungai Ciujung secara umum
merupakan daerah perbukitan, perkebunan, hutan, sawah, pemukiman, industri
dan sebagainya. Jenis lahan yang ada sangat dipengaruhi oleh keberadaan tempat
tersebut terhadap topografi sungai yang ada. Secara rinci lahan yang ada di kiri
kanan sungai dapat diuriakan sebagai berikut :
1 Daerah bagian hulu sungai: hutan, kebun, galian golongan C (pasir), dan
persawahan
2 Daerah bagian tengah sungai : kebun, persawahan, pemukiman, galian
golongan C (pasir), dan jaringan irigasi
3 Daerah bagian hilir sungai : kebun, pemukiman, galian golongan C (pasir),
industri, perkotaan dan tambak.
DAS Cidurian
Secara geografis letak DAS Cidurian terletak antara 106°00’-106°30’ BT
dan 5°00’-6°40’ LS. Luas sungai Cidurian kurang lebih 815 km2 dengan panjang
sungai 81.5 km .Wilayah DAS Cidurian ini dibatasi oleh:
a Sebelah Barat berbatasan dengan DAS Ciujung
b Sebelah Timur berbatasan dengan DAS Cisadane-Ciliwung
c Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
d Sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Cibaliung-Cibareno
DAS Cidurian mengalir dari sumber mata air yang berada di sekitar Gunung
Gede ke Laut Jawa dengan melewati Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak,
Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang. DAS Cidurian ini mempunyai tiga
anak sungai utama yaitu sungai Cidurian Hulu, sungai Cibeureum dan sungai
Cipangaur dengan pertemuan sungai yang bervariasi tempat yaitu pertemuan
sungai Cidurian dengan sungai Cipangaur terletak pada daerah Cilaang dan
pertemuan sungai Cidurian dan sungai Cibeureum pada daerah Cikande.
Topografi DAS Cidurian yang merupakan daerah dataran dengan
kemiringan antara 0.00012 – 0.00025 terletak pada daerah muara sungai sampai

4
dengan daerah pertemuan DAS Cibeureum dan DAS Cidurian sedangkan untuk
topografi yang landai ke arah terjal (daerah pegunungan) terletak pada daerah
pertemuan DAS Cidurian dengan DAS Cipangaur sampai ke arah hulu dengan
kemiringan 0.0004 – 0.0007.
Lahan yang ada di kiri kanan DAS Cidurian secara umum merupakan
daerah perbukitan, perkebunan, hutan, sawah, pemukiman, industri dan
sebagainya yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
1 Daerah bagian hulu sungai: hutan, perkebunan, galian golongan C (pasir),
persawahan, perkotaan dan pemukiman
2 Daerah bagian tengah sungai : kebun, persawahan, pemukiman, galian
golongan C (pasir), jaringan irigasi dan industri
3 Daerah bagian hilir sungai : kebun, pemukiman, galian golongan C (pasir),
industri, perkotaan dan tambak.

Pola Curah Hujan
Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah yang diukur
dalam tinggi hujan dengan satuan milimeter (mm) sebelum mengalami aliran
permukaan, evaporasi, dan peresapan ke dalam tanah. Curah hujan memiliki
variabilitas yang tinggi berdasarkan ruang dan waktu.
Menurut Aldrian dan Susanto (2003) dan Hermawan (2010), pola curah
hujan di Indonesia dapat dibedakan menjadi 3 pola, yakni
1 Pola ekuatorial. Pola ekuatorial berhubungan dengan pergerakan zona
konvergensi ke arah utara dan selatan mengikuti pergerakan semu matahari.
Zona konvergensi merupakan pertemuan dua massa udara (angin) yang
berasal dari dua belahan bumi, kemudian udaranya bergerak ke atas. Pola
ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua
puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau
pada saat terjadi equinoks. Daerahnya meliputi pulau Sumatra bagian tengah
dan Utara serta pulau Kalimantan bagian Utara.
2 Pola monsunal. Pola monsunal dipengaruhi oleh sistem monsun yang
ditandai dengan adanya pergerakan dari tekanan tinggi ke tekanan rendah di
benua Asia dan Australia secara bergantian. Pola monsunal ini dicirikan
oleh tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan)
dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi musim kering, sedangkan
untuk bulan Desember, Januari dan Februari merupakan bulan basah. Enam
bulan sisanya merupakan periode peralihan atau pancaroba (tiga bulan
peralihan musim kemarau ke musim hujan dan tiga bulan peralihan musim
hujan ke musim kemarau). Daerah yang didominasi oleh pola monsun ini
berada di daerah Sumatra bagian Selatan, Kalimantan Tengah dan Selatan,
Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Papua.
3 Pola lokal. Pola lokal dicirikan dengan kuatnya pengaruh kondisi setempat.
Faktor yang mempengaruhi antara lain yakni keberadaan pegunungan,
lautan dan bentang perairan lainnya, serta terjadinya pemanasan lokal yang
intensif. Pola lokal daerah curah hujan pola lokal meliputi daerah Maluku,
Sulawesi dan sebagian Papua.

5

Sumber: Keppres RI Nomor 12 Tahun 2012
Gambar 1 Peta DAS Ciujung-Cidurian

6

Gambar 2 Pembagian pola curah hujan menurut Aldrian dan Susanto (2003),
yaitu pola monsunal (A), pola ekuatorial (B), dan pola lokal (C)
Berdasarkan proses terjadinya, tipe hujan dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu:
1 Hujan konveksi yaitu hujan yang terjadi akibat naiknya udara hangat dan
lembab dengan proses penurunan suhu secara adiabatik. Proses naiknya
udara hangat dan lembab ini disebabkan oleh pemanasan permukaan pada
siang hari. Hujan ini biasanya mencakup wilayah yang terbatas karena
hanya dipengaruhi oleh sel-sel lokal. Awan yang terbentuk adalah awan tipe
cumulus dan cumulonimbus yang sering menghasilkan hujan lebat yang
disertai petir dan kilat.
2 Hujan orografik yaitu hujan yang dihasilkan oleh naiknya udara lembab
akibat adanya penghalang topografi berupa pegunungan atau dataran tinggi.
Curah hujan di dataran tinggi biasanya lebih tinggi dibandingkan pada
dataran rendah disekitarnya.
3 Hujan gangguan, dibedakan menjadi dua yaitu hujan siklon dan hujan
frontal. Hujan siklon adalah hujan yang disebabkan oleh gerakan udara naik
yang berasosiasi dengan sistem tekanan rendah dalam skala besar sedangkan
hujan frontal adalah hujan yang terjadi akibat bertemunya dua massa udara
berbeda yaitu massa udara hangat yang lembab dari lintang rendah dengan
massa udara dingin yang kering dari lintang tinggi.
Pengaruh ENSO terhadap Curah Hujan
Curah hujan di Indonesia terkadang dipengaruhi oleh fenomena ENSO yang
menyebabkan anomali atau penyimpangan iklim. Fenomena ENSO merupakan
fenomena interaksi antara fenomena lautan yaitu El Nino dan fenomena daratan
yaitu Southern Oscillation. El Nino ditandai dengan adanya perubahan kondisi
lautan maupun atmosfer. Pada saat El Nino, suhu permukaan laut di Pasifik
Tengah dan Timur meningkat dari keadaan normalnya sedangkan di atmosfer
terjadi pelemahan angin passat Timur Laut di Pasifik Barat sehingga
menyebabkan perpindahan pusat konvergensi udara tropis dari wilayah Indonesia

7
ke arah Timur Pasifik. El Nino menyebabkan penurunan curah hujan, awal musim
kemarau lebih cepat, dan awal musim hujan lebih lambat. Menurut Tjasyono dan
Zadrach (1996), pengaruh El Nino sangat beragam pada wilayah dengan tipe iklim
tertentu. Pengaruh El Nino kuat pada wilayah yang dipengaruhi oleh monsun,
pada daerah dengan tipe ekuatorial pengaruh El Nino cenderung lebih lemah, dan
pengaruhnya tidak jelas pada tipe daerah lokal. Tim Puslittanak (1999)
menyatakan bahwa tidak semua stasiun curah hujan di Indonesia khususnya Jawa
berkaitan erat dengan fenomena ENSO.
Salah satu indikator dalam mengidentifikasi adanya fenomena ENSO yaitu
Southern Oscillation Index (SOI). SOI adalah ukuran kekuatan untuk
mengkuantifikasi driving force pergerakan barat-timur atau sebaliknya. SOI
dihitung menggunakan perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin.
P Tahiti P
arwin
S I
10
SB Perbedaan
dimana PA(Tahiti) adalah tekanan udara permukaan yang dikur di Tahiti,
PA(Darwin) adalah tekanan udara yang diukur di Darwin, dan SB Perbedaan
adalah simpangan baku perbedaan tekanan udara pada kedua stasiun.
Nilai SOI negatif mengindikasikan kejadian El Nino. Nilai SOI negatif
biasanya diikuti oleh peningkatan suhu Pasifik Tengah dan Timur dan penurunan
angin passat Timur Laut yang berdampak pada penurunan curah hujan di
Indonesia.
SOI yang bernilai positif menunjukkan kejadian La Nina. Pada saat La
Nina, suhu di Pasifik Tengah dan Timur menjadi lebih dingin dan angin passat
menjadi lebih kuat pada periode ini.
Berdasarkan Mulyana (2002), pengaruh El Nino di wilayah Indonesia lebih
kuat pada musim transisi dari musim kemarau ke musim hujan. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa curah hujan periode September-OktoberNovember berkorelasi kuat dengan nilai SOI pada daerah Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, maluku Utara, dan Irian Jaya.
Empirical Orthogonal Function (EOF)
Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) merupakan metode untuk
menentukan pola-pola dominan pada data dan berevolusi dalam ruang dan waktu
(Luwahyudin et al 2012). EOF sudah dikenal dalam ilmu atmosfer sejak awal
1950. Beberapa peneliti mengkaji permasalahan ini dalam analisis data
multivariat. Analisis EOF menjadi terkenal dalam paper Lorenz tahun 1956.
Lorenz menganalisis Suhu Permukaan Laut (SPL) di wilayah Amerika Serikat dan
Kanada bagian Utara. Hasil dari penelitiannya adalah sebanyak 91% keragaman
SPL mampu dijelaskan oleh delapan komponen. Lorenz juga mengungkapkan
bahwa EOF akan berguna untuk mengidentifikasi tipe cuaca. Perkembangan
metode EOF dilanjutkan oleh Kutzbach (1967). Kutzbach menggunakan tiga
peubah iklim dalam analisi EOF yaitu SPL, suhu permukaan, dan curah hujan di
wilayah Amerika Utara. Kemudian Lyons (1982) dalam penelitiannya
menggunakan EOF untuk analisis curah hujan Hawaii dan diperoleh bahwa EOF1
hingga EOF3 dipengaruhi oleh angin passat, angin tenggara, dan hujan konvektif

8
pada pola tahunannya. Penelitian terbaru yang mengkaji permasalahan ini adalah
penelitian Nayagam, Janardanan, dan Mohan (2009). Penelitian tersebut
menganalisis curah hujan Northeast Monsoon (NEM) dengan metode EOF dan
kekuatan monsun dengan menggunakan analisis Wavelet. Dalam penelitian ini,
tidak digunakan teknik Wavelet dalam analisis. Untuk daerah Indonesia sudah
dilakukan penelitian oleh Aldrian dan Susanto (2003) dengan menggunakan
teknik EOF sehingga dihasilkan tiga tipe iklim untuk seluruh wilayah Indonesia
yang dikenal saat ini yaitu tipe monsunal, ekuatorial, dan lokal.
Principal Component Analysis (PCA) menggunakan prosedur yang sama
dengan EOF. Tujuan PCA adalah untuk mengurangi sekumpulan data yang
mengandung jumlah variabel yang banyak menjadi kumpulan data yang
mengandung sebagian variabel baru tetapi tetap mewakili fraksi variabilitas yang
besar yang terkandung pada data asli (Wilks 1995). Analisis EOF merupakan
perangkat yang baik untuk kompresi dan reduksi data secara dimensional di dalam
ilmu atmosfer, oseanografi, dan iklim (Monahan 2009).
Biasanya data atmosferik, dan geofisika lainnya tidak memperbolehkan
adanya korelasi yang besar antara variabel bebas dan hasil dari metode EOF atau
PCA lebih banyak merepresentasikan variasi tersebut (Wilks 1995).
Menurut Haan (1967) secara umum, tujuan dari analisis EOF adalah
mentransformasikan p peubah asal yang saling berkorelasi menjadi p buah
komponen ortoghonal (tidak berkorelasi). Transformasi tersebut ditulis dalam
bentuk sebagai berikut:
⃗⃗⃗ ⃗⃗
dimana X adalah matriks n x p yaitu matrik data asli, A adalah matriks p x p
matriks koefisien yang merupakan transformasi linear sedangkan Z adalah matriks
dari komponen utama.
Keragaman total X dibatasi sebagai jumlah dari keragaman p buah peubah
yang tedapat dalam X. Matriks ragam-peragam bagi
dibatasi sebagai Matrik ∑
berukuran p
p dimana ∑
G ij) peragam peubah ke–i dan ke–j dan (G ij)
ragam peubah ke–i ∑ diduga oleh S.
1
T
[S] =
n-1

Var (Zi) = Var (⃗⃗ ai) = ai Var (⃗⃗ ) ai = ⃗ ⃗S ai
Untuk menghasilkan komponen utama yang tidak saling berkorelasi, maka
ragam harus dimaksimumkan. Var (Zi) dimaksimumkan menggunakan pengali
Langrangian i
⃗ ai + i 1-ai ai
ai S
d
dimaksimumkan dengan turunan
0
dai

d
dai

d
dai

⃗ ai +
ai S

i

1-ai ai

0

⃗S ai i ai 0
⃗ i )ai 0
(S
Solusi persamaan di atas agar tidak menghasilkan solusi trivial (ai 0), maka

|S- i | 0. Dari persamaan tersebut akan diperoleh nilai i yang disebut
eigenvalue (akar ciri) sedangkan ai disebut eigenvector (vektor ciri).

9
Banyaknya komponen utama yang digunakan dalam analisis EOF tidak
memiliki kesepakatan yang jelas. Akan tetapi, Afifi dan Clark (1996)
menggunakan jumlah komponen utama yang dianggap dapat mewakili persentase
keragaman total yaitu komponen utama dengan persentase keragaman lebih dari
80%.
Untuk menghitung korelasi antara peubah X dan komponan utama Z
dihitung dengan menentukan factor loading dengan rumus sebagai berikut
Lij 1j 2 aij
Jika menggunakan matriks varian-covarian S maka factor loading dicari
dengan
12
j aij
Lij
sij
Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF)
Hasil dari factor loading sering menghasilkan nilai yang intermediate, oleh
karena itu dilakukan rotasi. Metode ini dikenal dengan rotated EOF. Menurut
Hannachi (2004), Rotated EOF (REOF) adalah teknik sederhana berdasarkan
rotasi E F. RE F sudah diterapkan dalam ilmu atmosfer sejak tahun 80’an dan
dipakai untuk interpretasi proses fisik yang lebih sulit. Teknik ini dikenal juga
sebagai faktor analisis yang bertujuan mendapatkan struktur yang lebih sederhana.
Dalam meteorologi tujuan rotated EOF adalah
1 Mengurangi multikolinearitas dari analisis EOF
2 Menghasilkan struktur yang lebih sederhana
3 Lebih mudah menginterpretasi pola fisik
Menurut Richman (1981), ada dua jenis rotasi yaitu rotasi orthogonal dan
rotasi oblique. Rotasi orthogonal bertujuan merotasi jumlah komponen utama
sebelumnya untuk menginterpretasi data lebih baik dengan tetap mempertahankan
orthogonalitas vektor masing-masing. Sebaliknya, rotasi oblique tidak
mempertahankan orthogonalitas tetapi merotasi vektor secara bebas untuk
mengidentifikasi pengelompokan data.
Rotasi yang paling dikenal adalah rotasi varimax (Kaiser 1958). Rotasi
varimax termasuk ke dalam rotasi orthogonal yang bertujuan untuk menghindari
nilai yang intermediate. Cara untuk menghasilkan nilai yang tidak intermediate
adalah dengan memutar faktor sehingga diharapkan semua peubah akan
mempunyai korelasi mendekati satu dengan sebuah faktor dan mendekati nol
dengan faktor lain. Adapun persamaan yang dipakai adalah
L LT
dimana L = factor loading yang telah dirotasi
L = factor loading yang belum dirotasi
T = matriks orthogonal yang merupakan matriks identitas

10

METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni
2013 di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Udara Departemen Geofisika
dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan metode
Empirical Orthogonal Function (EOF) dan Rotated Empirical Orthogonal
Function (REOF). Metode EOF digunakan untuk melihat pola spasial dan
temporal DAS Ciujung-Cidurian, sedangkan metode REOF digunakan untuk
mengetahui stasiun-stasiun pengamatan yang berpengaruh besar terhadap variasi
curah hujan.
Bahan
Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah
hujan bulanan DAS Ciujung dan Cidurian tahun 1998-2008 yang terdiri dari dua
puluh stasiun. Data ini diperoleh dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Air
Ciujung-Cidanau Provinsi Banten. Adapun informasi lebih rinci mengenai
stasiun-stasiun di DAS Ciujung-Cidurian dijelaskan oleh Tabel 2.
Tabel 2 Daftar stasiun di DAS Ciujung-Cidurian
Nama Stasiun
Lintang Bujur
Nomor Stasiun
Bojong Manik
106.17 -6.588
B.40
Cimarga
106.538 -6.553
B.037e
Ciminyak Cilaki
106.308 -6.54
43B
Ragas Hilir
106.132 -6.208
B.032c
Babadan
106.238 -6.119
B.20b
Citeureup
106.394 -6.086
B.023f
Jongjing
106.274 -6.133
B.032a
Kalen Petung
106.228 -6.144
B.029g
Pamarayan
106.282 -6.259
B.035
Petir
106.38 -6.128
B.024b
Pipitan
106.467 -6.193
B.024a
Ciboleger
106.231 -6.604
CBLGR
Gn. Tunggal
106.231 -6.583
B.038d
Gardu Tanjak
106.181 -6.519
B.026
Pasir Ona
106.449 -6.626
3a
Sampang Peundeuy
106.189 -6.502
38A
Cisalak
106.535 -6.628
B.037 f
Toge
106.503 -6.509
R14
Cikasungka
106.021 -6.446
J. R16
Ranca Sumur
106.105 -6.311
RCSR

11
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan sistem operasi Windows untuk aplikasi Microsoft Office 2007, Minitab
digunakan untuk analisis EOF dan REOF, dan Surfer 8 untuk pemetaan variasi
curah hujan secara spasial.

Prosedur Analisis Data
Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF)
Analisis data dibagi menjadi analisis tahunan dan analisis musiman. Data
untuk analisis tahunan adalah data curah hujan bulanan seluruh stasiun selama
sebelas tahun sedangkan data untuk analisis musiman dibagi menjadi empat
periode yaitu periode musim hujan pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF),
periode musim kemarau pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA), periode musim
peralihan hujan ke kemarau pada bulan Maret-April-Mei (MAM), dan periode
musim peralihan kemarau ke hujan pada bulan September-Oktober-November
(SON).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis EOF adalah
1 Mentransformasikan data curah hujan dalam bentuk matriks X m x p yang
telah dinormalisasi
̅m
m p
m p

s̅m
dimana m p = matriks penyimpangan dari nilai tengah pada stasiun ke-m
dan pengamatan ke-p
m p = data curah hujan bulanan pada stasiun ke-m dan pengamatan
ke-p
̅ m = data curah hujan bulanan rata-rata pada stasiun m
s̅m = standar deviasi curah hujan bulanan pada stasiun m
2 Menghitung matriks varians-kovarians matrik X
3 Menentukan
nilai
eigenvalue
eigenvector
1
2
i 0 dan
a1 a2 .ai . Nilai eigenvalue i menyatakan ragam sedangkan eigenvector ai
merupakan koefisien dari komponen utama ke-i
4 Menentukan factor loading untuk mengetahui korelasi antar data curah hujan
asal dengan komponen utama. Nilai dari komponen utama dikenal juga
dengan koefisien eigenvector.
Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui pengaruh ENSO terhadap
variasi curah hujan. Kejadian ENSO diidentifikasi oleh nilai SOI. Data SOI
diperoleh dari website http://www.cgd.ucar.edu/cas/catalog/climind/SOI dari
tahun 1998-2008. Kemudian data SOI ini dikorelasikan dengan koefisien
eigenvector baik analisis tahunan maupun analisis musiman. Korelasi yang
digunakan adalah korelasi linear antar dua peubah yang dikenal dengan korelasi
Pearson. Adapun rumus perhitungan analisis korelasi adalah sebagai berikut

12
n ∑ni 1 i yi ∑ni 1

r

√ n ∑ni 1

2
i

∑ni 1

i

2

i

∑ni 1 yi

n ∑ni 1 y2i ∑ni 1 yi

2

Analisis Rotated Empirical Orthogonal Function (REOFF)
Rotasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotasi varimax. Dalam
rotasi varimax dicari factor loading baru yang mudah diinterpretasi. Faktor baru
ini disebut rotated factor loading dimana nilainya akan menghasilkan factor
loading yang sangat besar (mendekati
) dan sisanya adalah factor loading
yang sangat kecil (mendekati nol).
Setelah diperoleh rotated factor loading, langkah selanjutnya adalah
menghilangkan stasiun-stasiun yang nilai rotated factor loadingnya kecil pada
semua faktor sehingga diperoleh n stasiun , dengan n