Toksisitas Subkronis Ekstrak Etanol 70% Daun Wungu (Graptophyllum Pictum (Linn) Griff) pada Mencit.

TOKSISITAS SUBKRONIS EKSTRAK ETANOL 70% DAUN
WUNGU (Graptophyllum pictum (L.) Griff) PADA MENCIT

REZANA FALACHI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ii

ABSTRAK
REZANA FALACHI. Toksisitas Subkronis Ekstrak Etanol 70% Daun Wungu
(Graptophyllum Pictum (L.) Griff) pada mencit. Dibimbing oleh EMAN
KUSTAMAN dan DIMAS ANDRIANTO.
Daun wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) merupakan salah satu
tanaman dari famili Acanthaceae. Tanaman ini mengandung senyawa alkaloid,
flavonoid, saponin, tanin, dan steroid, serta memiliki aktivitas antidiabetes.
Namun keamanan pengonsumsian tanaman ini belum diuji, sehingga perlu

dilakukan uji toksisitas subkronis secara in vivo dan pengamatan histopatologi.
Toksisitas subkronis daun wungu dilakukan selama 3 bulan. Selama perlakuan
mencit dicekok ekstrak daun wungu tiap hari dengan dosis 100 mg/kg, 500 mg/kg,
dan 1000 mg/kg, serta akuades sebagai normal. Pengukuran berat badan mencit
dan pengamatan kematian dilakukan selama penelitian. Bobot badan mencit
selama perlakuan mengalami kenaikan. Ekstrak daun wungu pelarut etanol 70%
tidak diperoleh nilai LD50 toksisitas subkronis. Jumlah kematian kelompok normal
sebanyak 4 ekor, kelompok 100 mg/kg 3 ekor, kelompok 500 mg/kg 2 ekor, dan
kelompok 1000 mg/kg 1 ekor. Pemberian ekstrak daun wungu pelarut etanol 70%
dosis 100 mg/kg dan 500 mg/kg memberikan kerusakan yang cukup parah pada
organ ginjal, jantung, dan paru-paru, serta dosis 1000 mg/kg memberikan
kerusakan pada organ ginjal. Pemberian ekstrak daun wungu pelarut etanol 70%
memberikan efek kerusakan pada beberapa organ.
Kata kunci: Daun wungu, Toksisitas subkronis, Ekstrak etanol, Histopatologi

iii

ABSTRACT
REZANA FALACHI. Subchronic Toxicity of 70% Ethanol Extracts
(Graptophyllum Pictum (L.) Griff) leaf in mice. Under the direction of EMAN

KUSTAMAN dan DIMAS ANDRIANTO.
Graptophyllum pictum (L.) Griff is one of the family Acanthaceae. This
plant contains alkaloid compounds, flavonoids, saponins, tannins, and steroids, as
well as having antidiabetic activity. But consume this plant safely has not been
test, so it needs subchronics toxicity test and histopathological observations. The
subchronics toxicity of Graptophyllum pictum (L.) Griff leaf will do for 3 months.
During the treatment of mice give peroral Graptophyllum pictum (L.) Griff
extract daily and divide into 4 doses, they are 100 mg/kg, 500 mg/kg, 1000
mg/kg, and distilled water as control. Measurements of mice body weight and
mortality observations made during the study. Mice body weight has increase
during the study. Graptophyllum pictum (L.) Griff leaf ethanol extract doesn’t
give number of LD50 subchronic toxicity. Number of death mice in normal groups
is 4 mice, 100 mg/kg groups is 3 mice, 500 mg/kg group is 2 mice, and 1000
mg/kg is one mice. Graptophyllum pictum (L.) Griff leaf ethanol extract for dose
100 mg/kg and 500 mg/kg give damage in histopathology of kidney, heart, and
lung, for dose 1000 mg/kg give damage in histopathology of kidney.
Graptophyllum pictum (L.) Griff leaf ethanol extract give damage effect in organs.
Keyword: Graptophyllum pictum (L.) Griff leaf, Subchronic toxicity, Ethanol
extract, Histopathology


iv

TOKSISITAS SUBKRONIS EKSTRAK ETANOL 70% DAUN
WUNGU (Graptophyllum pictum (L.) Griff) PADA MENCIT

REZANA FALACHI

Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

5


Judul : Toksisitas Subkronis Ekstrak Etanol 70% Daun Wungu (Graptophyllum
Pictum (Linn) Griff) pada Mencit.
Nama : Rezana Falachi
NIM : G84070069

Disetujui
Komisi Pembimbing,

Ir. Eman Kustaman
Ketua

Dimas Andrianto, M.Si
Anggota

Diketahui,

Dr. I Made Artika, M. App. Sc
Ketua Departemen Biokimia

Tanggal Lulus:


i

PRAKATA
Puja puji serta syukur penulis ucapkan pada Allah SWT yang telah menjadi
motivasi terbesar penulis untuk menyelesaikan usulan penelitian ini dengan
menciptakan dunia dan semesta alam yang melimpah akan ilmu pengetahuan ini.
Tak lupa pula shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
menjadi panutan serta pemimpin di dunia ini sehingga penulis dapat termotivasi
dan lancar dalam penyelesaian usulan penelitian ini.
Terima kasih juga penulis ucapkan pada Ir. Eman Kustaman dan Dimas
Andrianto, M.Si atas bantuan dan bimbingannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan usulan penelitian ini sebaik mungkin. Penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sangat besar pada kedua orang tua penulis yaitu Bapak
Muhammad Tauchid dan Ibu Sofiatul Hanani atas doa dan motivasinya untuk
kelancaran serta kesuksesan penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada Rama Andhita, Muhammad Taufan, Rezsa Berri, Ganep,
Fitri, Fajri, Ayu dan seluruh sahabat yang telah mendukung dan mendoakan
penelitian penulis, serta Pak Nana, Pak Yadi, Pak Arya, Bu Tini, Bu Tuti, Bu
Merry dan seluruh staf Biokimia IPB yang setia membantu dan memberikan

semangat kepada penulis.

Bogor, Juni 2012

Rezana Falachi

ii

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 12
Juni 1989 sebagai anak sulung dari 3 bersaudara, pasangan Muhammad Tauchid
dan Sofiatul Hanani.
Penulis lulus dari SMA Negeri 6 kota Bogor tahun 2007 dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB lewat jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa
Baru (SPMB). Penulis kemudian memilih Mayor Biokimia, FMIPA IPB pada
tahun berikutnya.
Selama perkuliahan, penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan
sebagai staff komisi 3 Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FMIPA periode
2008-2009 dan staff departemen sosial dan lingkungan Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) FMIPA periode 2009-2010. Penulis pernah pula melakukan

praktik lapangan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumber Daya Genetik Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 3A Bogor. Praktik lapang
dilakukan mulai bulan Juli hingga Agustus 2010 dan membuat karya ilmiah yang
diberi judul Penapisan Padi Transgenik Penanda Aktivasi Varietas Taipei 309
Untuk Toleransi Cekaman Kekeringan.

iii

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ v
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Daun Wungu .................................................................................................... 2
Metode Ekstraksi dan Pelarut ........................................................................... 2
Uji Toksisitas ................................................................................................... 3
Hati .................................................................................................................. 3
Ginjal ............................................................................................................... 4

Histopatologi .................................................................................................... 4
BAHAN DAN METODE
Bahan dan alat .................................................................................................. 5
Metode ............................................................................................................. 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Hewan Coba ...................................................................................... 6
Potensi toksisitas subkronis (LD50) ................................................................... 7
Gambaran Histopatologi Ginjal ........................................................................ 8
Gambaran Histopatologi Hati ........................................................................... 9
Pengamatan Histopatologi Organ Pendukung ................................................. 10
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 14
LAMPIRAN ...................................................................................................... 18

iv

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Klasifikasi toksisitas ......................................................................................... 3
2 Bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi ...................................................... 6

3 Hasil pengamatan histopatologi ginjal ............................................................... 8
4 Hasil pengamatan histopatologi hati ................................................................ 10
5 Hasil Pengamatan histopatologi otak ............................................................... 11
6 Hasil pengamatan histopatologi usus ............................................................... 11
7 Hasil pengamatan histopatologi limpa ............................................................. 13
8 Hasil pengamatan histopatologi jantung .......................................................... 12
9 Hasil pengamatan histopatologi paru-paru ....................................................... 13

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Daun wungu (Graptophyllum pictum (L) Griff) ................................................. 2
2 Bobot badan mencit selama penelitian............................................................... 7
3 Jumlah kematian mencit selama perlakuan ........................................................ 7
4 Histopatologi ginjal mencit bulan pertama ........................................................ 9
5 Histopatologi hati mencit bulan pertama ......................................................... 10
6 Histopatologi otak bulan pertama .................................................................... 11
7 Histopatologi usus bulan pertama .................................................................... 11
8 Histopatologi jantung bulan pertama ............................................................... 12
9 Histopatologi paru-paru bulan pertama ............................................................ 13


v

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Gambaran umum penelitian ............................................................................ 19
2 Diagram alir uji toksisitas subkronis ................................................................ 20
3 Diagram alir histopatologi organ ..................................................................... 21
4 Redemen ekstrak daun wungu pelarut etanol 70% ........................................... 22
5 Nilai LD50 toksisitas subkronis ........................................................................ 22
6 Bobot badan mencit selama perlakuan ............................................................. 23
7 Pembuatan larutan cekok ................................................................................ 29

1

PENDAHULUAN
Pengobatan secara modern dirasa sangat
mahal, efek samping cukup tinggi dan
hasilnya pun belum tentu memuaskan.
Keadaan semacam ini memacu pemanfaatan
bahan alami untuk memperoleh bahan obat

alternatif, salah satunya obat tradisional
(Soedibyo 1998). Tanaman merupakan
sumber utama dalam penemuan obat baru dan
alam Indonesia menyediakan sumber alamiah
yang belum dimanfaatkan. Penggunaan obat
tradisional yang dapat diperoleh dari alam
menjadi alternatif penting dalam mencapai
kualitas kesehatan masyarakat yang lebih baik
(Wahyono 2003). Masyarakat di Indonesia
telah lama mengenal dan menggunakan
tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu
upaya menanggulangi masalah kesehatan.
Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat
berdasarkan
pada
pengalaman
dan
keterampilan yang secara turun temurun telah
diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya (Kumalasari 2006). Indonesia
memiliki sekurang-kurangnya 9600 spesies
tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan kurang
lebih 300 spesies telah digunakan sebagai
bahan obat tradisional oleh industri obat
tradisional (Depkes 2007). Menurut Badan
POM (2006), 283 spesies tanaman telah
diregistrasi
untuk
penggunaan
obat
tradisional/jamu. Kelebihan dari pengobatan
dengan
menggunakan
ramuan
secara
tradisional tersebut ialah mempunyai efek
samping
kecil
dibandingkan
dengan
pengobatan kimiawi, mudah diperoleh, dan
harganya relatif lebih murah (Thomas 1989).
Penyembuhan penyakit menggunakan ramuan
tradisional membutuhkan waktu yang lama,
tetapi efek
yang diberikan bersifat
perlindungan, membangun dan berimplikasi
positif terhadap organ lain yang lemah atau
yang kuat. Hal ini berbeda dengan
penyembuhan menggunakan obat kimia,
proses kerja lebih cepat sehingga bersifat
merusak terhadap organ-organ yang sakit
maupun normal (Soenanto 2005).
Salah satu tanaman yang dapat digunakan
sebagai obat tradisional adalah tanaman
wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).
Tumbuhan wungu merupakan salah satu
tanaman asli Papua. Tumbuhan wungu sering
ditemukan tumbuh liar di pedesaan atau
ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman
pagar. Tumbuh baik pada tempat-tempat
terbuka yang terkena sinar matahari, dengan
iklim kering atau lembab. Tumbuhan wungu
pada bagian daun berkhasiat sebagai peluruh

kencing, mempercepat pemasakan bisul,
pencahar ringan, dan pelembut kulit. Hal ini
dikarenakan daun wungu mengandung
senyawa alkaloid yang tidak beracun,
glikosida, steroid, dan saponin (Dalimartha
1999). Ekstrak daun wungu pelarut etanol
70% memiliki inhibisi α-glukosidase sebesar
66,11%, serta mengandung senyawa alkaloid,
flavonoid, saponin, tanin, dan steroid (Irwan
2011).
Keamanan daun wungu jika digunakan
sebagai pengobatan belum banyak diteliti,
sehingga diperlukan uji toksisitas yang
dibedakan menjadi uji toksisitas akut,
subkronis, dan kronis. Tujuan uji toksisitas
adalah untuk mengetahui spektrum efek
toksik serta hubungan dosis dan toksisitas
pada pemberian berulang dalam jangka waktu
tertentu. Umumnya pengukuran toksisitas
dapat dilakukan secara in vivo yang
menggunakan hewan percobaan. Ekstrapolasi
hasil uji dari hewan percobaan ke manusia
sulit dilakukan namun penggunaan hewan
percobaan mempunyai beberapa keuntungan
antara lain mudah dilakukan, harganya murah,
dan dapat dikontrol (dosis dan lama
percobaan), serta pengamatan lebih rinci
terhadap semua jaringan (melalui operasi).
Pengamatan dapat dilakukan terhadap
kerusakan hati dan ginjal (Ganong 2003).
Pengujian toksisitas akut ekstrak daun wungu
tidak memberikan efek yang berbahaya
hingga dosis 4000 mg/kg (Olagbende-Dada et
al. 2011). Namun pengujian toksisitas
subkronis ekstrak daun wungu belum pernah
dilakukan. Pemeriksaan toksisitas subkronis
penting
dilakukan
terutama
terhadap
pemakaian obat tradisional atau tanaman obat
yang sering digunakan dalam jangka waktu
lama (Wahjoedi et al. 1996).
Evaluasi tidak hanya melalui LD50, tetapi
juga
dilengkapi
dengan
pemeriksaan
laboratorium klinik dan pembuatan preparat
histopatologi dari organ yang dianggap
memperlihatkan kelainan (Darmansjah 1995).
Hati dan ginjal merupakan organ yang rentan
terhadap pengaruh zat kimia. Kerentanan ini
terjadi karena erat fungsinya dalam proses
sirkulasi
darah.
Hati
dapat
mudah
berhubungan dengan zat yang diserap dari
saluran pencernaan dan ginjal melalui vena
porta (Koeman 1987).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
toksisitas
subkronik
serta
mengamati
histopatologi hati dan ginjal, serta organ
pendukung mencit pada ekstrak daun wungu
pelarut etanol 70%. Hipotesis penelitian ini
yaitu daun wungu dengan menggunakan

2

pelarut etanol 70% aman dikonsumsi setelah
melewati uji toksisitas subronik. Hal ini
diharapkan sebagai informasi awal mengenai
keamanan pengonsumsian daun wungu untuk
obat yang berkhasiat.

TINJAUAN PUSTAKA
Daun Wungu
Tanaman wungu memiliki sistematika
taksonomi yang terdiri dari kingdom Plantae,
divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledonae,
ordo Tubiflorae, famili Acanthaceae, genus
Graptophyllum,
spesies
Graptophyllum
pictum (Linn) Griff (Syamsuhidayat dan
Hutapea 1991). Tanaman wungu berasal dari
Irian dan Polynesia, dapat ditemukan dari
dataran rendah sampai pegunungan dengan
ketinggian 1250 meter di atas permukaan laut
(Heyne 1987). Tanaman wungu sering
ditemukan tumbuh liar di pedesaan atau
ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman
pagar. Tumbuh baik pada tempat-tempat
terbuka yang terkena sinar matahari, dengan
iklim kering atau lembab. Tanaman wungu
merupakan tanaman perdu atau pohon kecil,
dengan tinggi 1.5-3 m, batang berkayu. Kulit
dan daun berlendir dan baunya kurang enak.
Wungu memiliki daun yang letaknya
berhadap-hadapan. Perbungaan majemuk dan
tersusun dalam rangkaian berupa tandan yang
berwarna merah tua. Tanaman ini memliki 3
varietas, yaitu yang berdaun ungu, hijau, dan
belang-belang putih. Namun yang digunakan
sebagai obat adalah varietas yang berdaun
ungu (Wijayakusuma et al. 1996).
Secara tradisional daun wungu telah
dimanfaatkan sebagai obat luar untuk
mengobati borok, bisul dan kudis. Air rebusan
daunnya dapat diminum untuk mengobati
penyakit wasir, batu empedu dan penyakit
hati. Bunganya bermanfaat sebagai pelancar
haid (Wijayakusuma et al. 1996). Daun
tumbuhan ini mengandung alkaloida yang
tidak beracun, glikosida, steroida, dan
saponin. Batang daun tumbuhan wungu
mengandung kalsium oksalat, asam format,
dan lemak (Dalimartha 1999).

Gambar 1 Daun wungu (Graptophyllum
pictum (L) Griff)

Metode Ekstraksi dan Pelarut
Ekstraksi merupakan proses pemisahan
senyawa campuran dengan menggunakan
pelarut yang sesuai. Ekstraksi digunakan
untuk mengisolasi produk alam dari jaringan
asli kering tumbuh-tumbuhan. Produk alam
volatil diisolasi dengan cara distilasi uap,
sedangkan produk non volatil diisolasi dengan
cara perendaman atau maserasi dalam satu
pelarut (Kusnaeni 2008). Secara umum
ekstraksi senyawa metabolit sekunder
menggunakan metode maserasi dengan
pelarut polar atau nonpolar.
Maserasi merupakan proses perendaman
sampel pelarut organik yang digunakan pada
temperatur ruangan. Proses ini sangat
menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan
alam karena dengan perendaman sampel
tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan
membran sel akibat perbedaan tekanan antara
di dalam dan di luar sel sehingga metabolit
sekunder yang ada dalam sitoplasma akan
terlarut dalam pelarut organik dan ekstrak
senyawa akan sempurna karena dapat diatur
lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan
pelarut untuk proses maserasi akan
memberikan efektivitas yang tinggi dengan
memperhatikan kelarutan senyawa bahan
alam pelarut tersebut. Prinsip dari ekstraksi
maserasi adalah penyarian zat aktif yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk
dalam cairan penyari yang sesuai selama
sehari atau beberapa hari pada suhu kamar dan
terlindung dari cahaya (Sudjadi 1986).
Keuntungan dari metode ini adalah
peralatannya
yang
sederhana,
sedang
kerugiannya antara lain, waktu yang
diperlukan untuk mengekstrak sampel cukup
lama, cairan penyari yang digunakan lebih
banyak, tidak dapat digunakan untuk bahanbahan yang mempunyai tekstur keras seperti
benzoin, tiraks, dan lilin (Taofik 2010).
Kepolaran suatu pelarut menunjukkan
tingkat kelarutan pelarut air ataupun pelarut
organik terhadap suatu bahan. Kepolaran ini
timbul dari perbedaan dua kutub kelarutan.
Kecenderungan suatu bahan yang lebih larut
dalam air disebut memiliki sifat yang polar
dan sebaliknya yang cenderung lebih larut
dalam pelarut organik disebut nonpolar
(Sudarmadji et al. 2003). Pemilihan pelarut
merupakan salah satu faktor yang dapat
menentukan kesempurnaan proses ekstraksi.
Pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi
harus dapat menarik komponen aktif dari
campuran dalam sampel (Gamse 2002).
Faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam
memilih
pelarut
diantaranya,

3

selektivitas, sifat pelarut dan kemampuan
pelarut untuk mengekstraksi, tidak bersifat
racun, mudah diuapkan, dan relatif murah
(Gamse 2002). Pelarut yang digunakan dalam
proses ekstraksi dapat menembus pori-pori
bahan padat sehingga bahan yang ingin
diekstrak dapat dengan mudah tertarik. Pelarut
yang umum digunakan diantaranya, etil asetat,
heksana, eter, benzena, toluena, etanol,
isopropanol, aseton dan air (Simpen 2008).
Uji Toksisitas
Toksisitas merupakan suatu sifat relatif
dari zat kimia dan sejauh menyangkut diri
manusia secara langsung atau tidak langsung,
mungkin diperlukan atau tidak diperlukan.
Namun, toksisitas selalu menunjuk ke suatu
efek berbahaya atas mekanisme biologi
tertentu (Loomis 1978).
Menurut Loomis (1978), pada umumnya
uji toksisitas dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu uji toksisitas umum dan
toksisitas spesifik. Uji toksisitas umum
meliputi uji toksisitas akut, toksisitas
subkronis, serta toksisitas kronis. Uji
tokisisitas spesifik meliputi uji potensi,
teratogenik, reproduksi, mutagenik, dan uji
prilaku. Sedangkan Lu (1995) menggolongkan
uji toksisitas menjadi tiga jenis berdasarkan
lama masa pajanan dengan toksikan, yakni
toksisitas akut, toksisitas jangka pendek, dan
toksisitas jangka panjang.
Toksisitas subkronik adalah pengaruh
yang merugikan pada hewan percobaan yang
timbul sebagai akibat pemberian takaran
harian berulang dari bahan kimia atau bahan
lain, dengan periode pemaparan selama 3
bulan (Deptan 2007). Sekurang-kurangnya
digunakan tiga kelompok dosis dan satu
kelompok kontrol. Batas uji dosis toksisitas
subkronis sebesar 1000 mg/kg bobot badan
(Harmita
&
Radji
2008).
Menurut
Environmental Protection Agency (EPA
1998), LD50 digunakan untuk mengetahui
kematian 50% hewan percobaan dalam 24-96
jam. Pengaruh LD50 secara umum diukur
menggunakan dosis bertingkat. Kisaran
tingkat dosis yang digunakan yaitu dosis
terendah yang hampir tidak mematikan
seluruh hewan percobaan dan dosis tertinggi
yang dapat menyebabkan kematian seluruh
atau hampir seluruh hewan percobaan. Setiap
hewan percobaan akan memberikan reaksi
yang berbeda pada dosis tertentu. Perbedaan
reaksi akibat pemberian suatu zat diakibatkan
oleh perbedaan tingkat kepekaan setiap
hewan (Guyton dan Hall 1997). Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap LD50 adalah

spesies, strain, jenis kelamin, umur, berat
badan, cara pemberian, faktor lingkungan,
kesehatan hewan, dan diet (Balls et al. 1991)
Tingkat
keracunan
senyawa
kimia
berdasarkan nilai LD50 dapat diklasifikasikan
seperti pada tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi toksisitas
Dosis
Tingkat Keracunan
(mg/kg)
15000
Praktis non toksis
Sumber: (Lu 1995)
Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dan
mempunyai fungsi yang penting bagi
kehidupan. Hati terletak di dalam rongga
abdomen sebelah kanan atas di bawah
diafragma. (Dyce et al. 2002). Organ ini
diselubungi oleh kapsula fibrosa yang
dilindungi peritoneum visceral (Martini 1992).
Hati mencit terdiri dari 4 lobus yang menyatu
pada bagian dorsal, yaitu lobus median yang
dibagi menjadi kiri dan kanan oleh bifukatio,
lobus lateral kiri, lobus lateral kanan yang
dibagi secara horisontal menjadi anterior dan
posterior dan lobus kaudal yang terdiri dari
bagian dorsal dan ventral (Harada et al. 1999).
Secara garis besar, fungsi hati dapat
digolongkan menjadi lima besar, yaitu
detoksifikasi, sekresi, penyimpanan cadangan
makanan, hematologis, proteksi, dan juga
berperan
dalam
proses
metabolisme
biomolekul (karbohidrat, lipid, asam amino,
hormon, dan bilirubin) (Kaplan & Pesce
1998). Hati dapat mensintesis lebih dari 1000
protein plasma, seperti albumin dan globulin
secara de novo dari asam amino esensial dan
non esensial. Hati juga dapat mensintesis
asam
lemak,
trigliserida,
kolesterol,
apolipoprotein, lipoprotein, dan kolesterol
ester dalam fosfolipid. Beberapa bahan hasil
metabolisme ini dapat tersimpan dalam hati,
seperti glikogen, trigliserida, Fe, dan Cu
(Stockham & Scott 2002).
Hati merupakan salah satu organ yang
terlibat dalam metabolisme zat makanan serta
sebagian besar obat dan toksikan. Hepatosit
merupakan sel utama yang bertanggung jawab
terhadap
peran
sentral
hati
dalam
metabolisme. Organ ini paling umum
mengalami kerusakan karena racun. Hal ini
disebabkan hati menerima suplai darah dari
vena porta sekitar 80% yang mengalir dari

4

saluran pencernaan (Maclachlan & Cullen
1995). Sebagian besar toksikan memasuki
tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan
setelah diserap toksikan dibawa oleh vena
porta ke hati. Hati memiliki enzim yang
mampu memetabolisme xenobiotik (terutama
sitokrom P-450). Hal ini menyebabkan
sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik
dan mudah larut air, sehingga lebih mudah
diekskresikan. Toksikan dapat menyebabkan
berbagai perubahan pada berbagai organel sel
hati, sehingga mengakibatkan perlemakan
hati, nekrosis hati, kolestasis, dan sirosis (Lu
1995).
Nekrosis hati adalah kematian sel hati.
Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral,
pertengahan, dan perifer) atau masif. Pada
umumnya
nekrosa
toksopatik
hanya
memerlukan
waktu
singkat
untuk
menimbulkan gejala klinis. Biasanya secara
histopatologi terlihat nekrosa berkelompok,
teratur, dan tersebar di seluruh hati, akan
tetapi bila racun sangat kuat maka akan
terlihat gambaran nekrosa terpencar. Sirosis
hati
adalah
suatu
keadaan
yang
menggambarkan pengerasan hati. Sirosis
dapat disebabkan oleh berbagai hal tetapi
penyebabnya belum diketahui secara pasti.
Pada umumnya bahan-bahan toksik dan
parasit dapat menyebabkan sirosis hati
(Ressang 1984, Price & Wilson 1995).
Ginjal
Ginjal merupakan organ utama yang
berperan terhadap homeostatis air dan
elektrolit. Ginjal juga merupakan organ utama
yang terkena efek toksisitas jika tubuh
terpapar zat toksik. Fungsi utama ginjal adalah
mengeluarkan
limbah
metabolisme,
memusnahkan bahan toksik, mengatur cairan,
garam, keseimbangan asam basa, serta
mengatur tekanan darah (Dellmann & Brown
1992). Selain itu ginjal berfungsi memekatkan
toksikan pada filtrat dan membawa toksikan
melalui tubulus. Ginjal juga memiliki fungsi
sebagai penyingkir buangan metabolisme
normal dan mengekskresikan xenobiotik dan
metabolitnya (Lu 1995). Ginjal juga memiliki
fungsi sebagai organ endokrin yang dapat
menghasilkan hormon-hormon eritropoetin,
renin, dan prostaglandin (Huminto et al.
1995). Ginjal terletak di retroperitoneum
vertebralis lumbalis, dibungkus oleh kapsula
yang normalnya dapat bergerak bebas pada
permukaannya (Maxie 1993), berpasangan
dan berwarna merah kecoklatan. Pada
umumnya ginjal berbentuk seperti kacang
dengan hillus renalis yaitu tempat masuknya

pembuluh darah dan keluarnya ureter
(Hartono 1992). Ginjal terbagi menjadi dua
bagian, yaitu korteks dan medula, dengan
perbandingan rata-rata 1 banding 2 atau 1
banding 3 (Maxie 1993), dan ukuran ginjal
dalam berbagai spesies sangat ditentukan oleh
jumlah nefron (Ganong 2003). Ginjal mencit
bertekstur
lembut,
berwarna
coklat
kemerahan, berada di dorsal dinding tubuh,
dikelilingi jaringan lemak dan termasuk
unilobular dengan papilla tunggal. Ginjal
kanan normalnya berada lebih anterior
daripada ginjal kiri dan pada kelamin jantan
lebih berat dibandingkan pada kelamin betina
(Seely 1999).
Kerusakan yang terjadi pada ginjal dapat
bersifat akut atau kronis karena kerusakan
permanen (Huminto et al. 1995). Gangguan
pada ginjal seperti infeksi ginjal atau
masuknya bahan-bahan racun, polutan, dan
obat-obatan yang merusak ginjal dapat
menyebabkan
terhambatnya
proses
pembentukan urin. Gangguan yang paling
jelas pada kasus gagal fungsi ginjal adalah
kemampuan filtrasi glomerulus menurun.
Akibatnya, jumlah urin berkurang, tekanan
darah meningkat dan timbul racun
metabolisme dalam darah, terutama limbah
metabolisme nitrogen seperti urea dan
kreatinin.
Histopatologi
Histopatologi
adalah
pemeriksaan
morfologi sel atau jaringan pada sediaan
mikroskopik dengan proses pewarnaan untuk
menetapkan diagnosis kelainan degenerasi,
radang atau infeksi dan neoplasma (Rahayu et
al. 2006). Histopatologi merupakan cara
utama untuk diagnosis tumor dan juga
memberikan informasi tentang prognosisnya
dengan cara penilaian tingkat dan stadium
spesimen hasil pembedahan. Diagnosis
histopatologi sebagian besar dilakukan dari
potongan jaringan blok parafin dengan
pewarnaan
hematoksilin
dan
eosin
(Underwood 1999).
Jaringan yang berasal dari hasil biopsi atau
eksisi bedah yang dimasukkan dalam larutan
fiksasi (biasanya formaldehid) dan dikirimkan
ke laboratorium histopatologi untuk ditangani
staf medis yang terlatih dan mengenal dengan
baik bentuk makroskopik anatomi. Sampel
jaringan diproses untuk menyiapkan sediaan
histopatologi sesuai prosedur yang digunakan.
Pewarna hematoksilin dan eosin merupakan
pewarna yang paling sering digunakan tetapi
ada beberapa pewarnaan lain yang dapat
digunakan untuk menemukan gambaran

5

spesifik dari jaringan. Pewarnaan yang
digunakan
pada
histopatologi
seperti
pewarnaan hematoksilin dan eosin untuk
pewarnaan rutin untuk histologi, Masson’s
trikhrom untuk jaringan ikat, Perls’ untuk
hemosiderin, Ziehl-Neelsen untuk basil tahan
asam, Grocott’s silver untuk jamur, dan
sebagainya (Underwood 1999).

BAHAN DAN METODE
Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah daun wungu yang
diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB)IPB Bogor, akuades, etanol 70%, Buffer
Neutral Formaline (BNF) 10%, etanol 80%,
etanol 95%, etanol absolut, xilol, Mayer’s
Haematoxylin, LiCl, pewarna Eosin, dan
permounting medium.
Alat-alat yang dipakai adalah corong kaca,
kertas saring, labu Erlenmeyer, gelas piala,
pipet mikro, pipet volumetrik, pipet tetes,
rotavapour, Tissue Tec, oven,
preparat,
mikroskop cahaya, dan kamera.
Metode
Ekstraksi Daun Wungu (BPOM 2005)
Daun wungu yang telah didapat, diproses
dengan dua tahapan, preparasi dan ekstraksi.
Daun wungu (Graptophyllum pictum (L.)
Griff) dikeringkan dalam oven dengan suhu
40-50°C selama 5 hari. Simplisia daun wungu
yang sudah kering kemudian digiling hingga
berukuran 100 mesh dan berbentuk serbuk
(dengan kadar air ≤ 10 %). Sampel yang
berbentuk serbuk dilanjutkan dengan metode
ekstraksi yang mengacu pada Badan
Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM
(2005) yaitu maserasi. Maserasi sampel
dilakukan dengan merendam sampel dalam
etanol 70% dengan perbandingan 1:10, proses
ini dilakukan dalam maserator selama 6 jam
dan sesekali diaduk. Kemudian
sampel
tersebut didiamkan selama 24 jam, maserat
yang didapat, dipisahkan. Keseluruhan sampel
dihilangkan pelarutnya dalam rotavapour
pada suhu 40°C dan dihasilkan ekstrak kering.
Ekstraksi maserasi penelitian ini (lampiran 4)
diperoleh rendemen rata-rata ekstrak kering
daun wungu pelarut etanol 70% sebesar
5,14% ± 1,31.
Uji Toksisitas Subkronik (Gad 2007)
Toksisitas subkronis dilakukan dengan
menggunakan mencit galur ddY dengan umur
2 bulan, selama 3 bulan yang terdiri dari 4
kelompok. Mencit dikelompokkan secara acak

dengan mempertimbangkan keseragaman
bobot badan. Jumlah ulangan uji toksisitas
subkronik setiap kelompok terdiri atas 10
mencit jantan (Gad 2007). Kelompok normal
yaitu tanpa menerima ekstrak daun wungu dan
hanya diberi akuades. Kelompok perlakuan
memperoleh cekokan ekstrak daun wungu
pelarut etanol 70% dengan dosis 100 mg/kg,
dosis 500 mg/kg, dan dosis 1000 mg/kg
(lampiran 7). Perlakuan tersebut dilakukan
setiap hari. Kerusakan hati, ginjal dan organorgan pendukung akan diuji setiap bulan
terhadap kerusakan secara histopatologi. Air
minum diberikan secara ad libitum dan
dilakukan pengukuran bobot badan dan
konsumsi pakan selama perlakuan diberikan.
Pembuatan Preparat Histopatologi Hati,
Ginjal, Jantung, Otak, Limpa, Paru-paru,
dan Usus (Humason 1972; Kiernan 1990)
Metode yang digunakan adalah metode
Humason (1972) dan Kiernan (1990) yang
terdiri atas 4 tahap, yaitu fiksasi, dehidrasi,
pencetakan (embedding), dan pewarnaan
(staining). Tahap fiksasi dilakukan dengan
memotong organ hati dan ginjal dengan
ukuran 2x2x1 cm, dimasukkan ke dalam
buffer neutral formalin (BNF) 10% selama
3x24 jam, kemudian dipotong lagi dengan
ukuran lebih tipis. Potongan-potongan hati
tersebut dilanjutkan ke tahap dehidrasi, yaitu
dengan perendaman menggunakan etanol
bertingkat (etanol 70%, 80%, 96%, absolut I,
absolut II). Kemudian etanol dihilangkan
dengan xilol I, II, dan III masing-masing
selama 40 menit. Infiltrasi menggunakan
parafin cair dilakukan pada suhu 60°C selama
4 kali masing-masing selama 30 menit.
Sebelum pencetakan cetakan dicuci dengan
campuran etanol 96%, xilol, dan air.
Pencetakan dilakukan dengan penuangan
parafin panas dalam blok cetakan sebanyak
setengah cetakan dengan alat Tissue Tec.
Potongan hati dan ginjal dimasukan ke
dalamnya perlahan agar tidak menyentuh
dasar cetakan lalu ditutup lagi dengan parafin
cair. Setelah beku organ dalam parafin
tersebut dipotong dengan alat mikrotom
setebal 4-5 um. Potongan yang diperoleh
dimasukkan ke dalam air hangat (40°C) untuk
melelehkan parafin, kemudian diletakkan
dalam kaca objek. Potongan tadi dikeringkan
dalam oven inkubator bersuhu 56°C selama
satu malam.
Tahap pewarnaan Haematoxylin Eosin
(HE) dilakukan setelah parafinisasi, yaitu
preparat direndam menggunakan xilol I dan
xilol II masing-masing 2 menit, rehidrasi

6

dengan etanol absolut selama 2 menit,
kemudian dengan etanol 95% dan 80%
masing-masing selama 1 menit, dan dicuci
dengan air mengalir. Kemudian preparat
direndam
dalam
pewarnaan
Mayer’s
Haemotoxylin selama 8 menit, dicuci dengan
air mengalir, dimasukkan ke dalam LiCl
selama 30 detik, dan dicuci kembali dengan
air mengalir. Kemudian irisan preparat diberi
pewarna eosin selama 2-3 menit, lalu dicuci.
Setelah itu, irisan hati dicelupkan dalam
etanol 95% dan absolut I masing-masing
sebanyak 10 kali dan diteruskan dengan etanol
absolut II selama 2 menit, xilol I selama 1
menit dan xilol II selama 2 menit. Setelah
diangin-anginkan beberapa saat, preparat yang
telah diwarnai tersebut kemudian diberi
permounting medium dan ditutup dengan kaca
penutup. Setelah terbentuk sediaan histologi,
kemudian dilakukan analisis dan pengamatan
terhadap perubahan yang terjadi pada sel-sel
hati dengan menggunakan mikroskop cahaya
dan difoto hasil pengamatannya. Pembuatan
dan
pengamatan
histopatologi
organ
dilakukan oleh BALITVET.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Hewan Coba
Selama perlakuan secara in vivo, salah satu
syarat pada perlakuan hewan coba adalah
kondisi hewan harus dalam keadaan sehat.
Beberapa parameter yang mudah diamati
untuk mengetahui kesehatan hewan coba
adalah dengan mengamati peningkatan bobot
badan dan konsumsi pakan
(Lu 1995).
Kondisi tikus yang sehat ini menjadi faktor
yang penting karena dapat memperkecil nilai
galat percobaan yang terukur ketika memasuki
tahap percobaan. Gambar 2 menunjukkan
grafik bobot badan hewan coba pada masa
adaptasi dan masa perlakuan. Selama masa
adaptasi, hewan coba memiliki bobot badan
18 gram hingga 20 gram. Memasuki masa
perlakuan terjadi kenaikan bobot badan
mencit seluruh kelompok. Pada kelompok 500
mg/kg dan 1000 mg/kg mengalami kenaikan
yang signifikan pada bulan kedua. Kenaikan
bobot badan mencit seluruh kelompok selama

masa
perlakuan
merupakan
respon
pertumbuhan, khususnya kelompok perlakuan
yang mengalami kenaikan lebih tinggi
dibandingkan kelompok normal. Hal ini
dipengaruhi pula pada konsumsi pakan dan air
minum. Tabel 2 menunjukkan pertambahan
bobot badan seluruh kelompok mencit per hari
selama masa perlakuan, kelompok dosis 500
mg/kg dan 1000 mg/kg mengalami
pertambahan bobot badan sebesar 0,14 gram/
hari dan 0,16 gram/ hari, hal ini tidak berbeda
nyata dengan kelompok normal yang memiliki
pertambahan bobot badan sebesar 0,15 gram/
hari. Namun kelompok 100 mg/kg mengalami
pertambahan bobot badan paling kecil, hal ini
dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan
kondisi mencit tersebut yang menyebabkan
naik turunnya bobot mencit per hari. Menurut
Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa
rata-rata pertumbuhan bobot mencit sebesar 1
gram/hari. Hasil penelitian Hadian (2004)
menunjukkan rata-rata pertambahan bobot
badan mencit umur 3-8 minggu sebesar 0,49
g/hari.
Kenaikan bobot badan mencit dipengaruhi
oleh konsumsi pakan yang meningkat tiap
bulannya. Pakan yang digunakan adalah
pakan standar tikus berasal dari perusahaan
Indofeed Bogor. Menurut Priambodo (1995),
kebutuhan pakan bagi seekor tikus putih
setiap harinya kurang lebih sebanyak 10%
dari bobot tubuhnya, jika pakan tersebut
merupakan pakan kering. Konsumsi pakan
mencit perhari berdasarkan tabel 2 sebesar 3,8
gram. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo
(1988), bahwa seekor mencit dewasa dapat
mengkonsumsi pakan 3-5 gram/hari. Malole
dan Pramono (1989) menyatakan bahwa
tingkat konsumsi makanan dan minuman pada
seekor mencit akan bervariasi menurut suhu
kandang, kelembaban, kualitas makanan,
kesehatan dan kadar air dalam makanan.
Efisiensi penggunaan pakan merupakan
perbandingan antara pertambahan bobot
badan dengan jumlah konsumsi pakan dalam
jangka waktu tertentu. Semakin tinggi
pertambahan bobot badan dengan konsumsi
pakan yang sedikit akan meningkatkan nilai
efisien pakan tersebut, artinya dengan pakan

Tabel 2 Bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi
Kelompok
Normal
100 mg/kg
500 mg/kg
1000 mg/kg

Pertambahan bobot
badan (gram/har)i
0,15
0,09
0,14
0,16

Konsumsi pakan
(gram/hari)
3,59
3,66
3,69
3,81

Efisiensi (%)
4,17
2,45
3,8
4,2

7

40
35

Bobot Badan (g)

30
25
20
15
10
A

B
5
0

-2

-1

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Minggu Ke-

Gambar 2 Bobot badan mencit selama penelitian, (----) normal, (----) 100 mg/kg, (----) 500 mg/kg, (----)
1000 mg/kg, (A) masa adaptasi, (B) masa perlakuan

Potensi toksisitas subkronis (LD50)
Ekstrak daun wungu pelarut etanol 70%
memiliki kandungan senyawa alkaloid,
flavonoid, saponin, tanin, dan steroid (Irwan
2011). Uji toksisitas akut ekstrak daun wungu
tidak memberikan efek racun hingga dosis
4000 mg/kg. Nilai LD50 toksisitas akut tidak
dapat dihitung, hal ini dikarenakan tidak
adanya kematian hewan coba seluruh
kelompok
selama
masa
perlakuan
(Olagbende-Dada et al. 2011). Sehingga
diperlukan uji toksisitas subkronis untuk
mengetahui efek racun yang terdapat pada
tanaman obat dalam jangka waktu lama.
Gambar 3 menunjukkan jumlah kematian
mencit selama masa perlakuan, kelompok
normal memiliki jumlah kematian lebih
banyak dibandingkan dengan kelompok
perlakuan. Kondisi beberapa organ mencit
kelompok normal pada masa perlakuan
berdasarkan hasil histopatologi mengalami
gangguan yaitu pada organ ginjal, jantung,
dan paru-paru. Organ ginjal mengalami
gangguan kongesti dan nekrosis tubulus.
Organ
jantung
mengalami
gangguan

degenerasi serabut otot dan kongesti. Dan
organ paru-paru mengalami gangguan
bronkopneumonia
dan
infiltrasi
sel
mononuklear. Gangguan yang terjadi pada
organ ginjal dan jantung disebabkan oleh zat
toksik (Lu 1995), sedangkan gangguan pada
organ paru-paru disebabkan oleh virus
(Hunter 2006). Kematian kelompok normal
dapat disebabkan oleh kerusakan yang terjadi
pada organ jantung dan paru-paru. Kerusakan
yang terjadi dapat diakibatkan oleh faktor
lingkungan. Menurut Malole dan Pramono
(1989) bahwa temperatur kandang yang ideal
untuk mencit adalah 18-29oC dengan rataan
22oC dan kelembaban relatif 30-70%.
Kandang tidak boleh ditempatkan pada area

Jumlah kematian mencit (%)

yang sedikit akan dihasilkan pertambahan
bobot badan yang tinggi. Keefisienan pakan
mencit berdasarkan tabel 2, kelompok normal
sebesar 4,17%, kelompok 100 mg/kg memiliki
efisiensi terendah sebesar 2,45% dan
kelompok 1000 mg/kg memiliki efisiensi
tertinggi sebesar 4,2%. Keefisienan pakan
dipengaruhi oleh kondisi mencit, pakan, dan
lingkungan.

40

30
20
10

0
Normal

100

500

1000

Dosis (mg/kg)

Gambar 3 Jumlah kematian mencit selama
perlakuan, ■ bulan ke-1, ■ bulan ke-2,
■ bulan ke-3

8

yang bising dan harus memiliki pertukaran
udara yang baik, kelembaban yang baik serta
bebas dari debu. Mencit lebih menyukai
tempat yang gelap (Rakhmadi 2008). Alas
kandang berupa serbuk kayu merupakan salah
satu faktor berkembang baiknya mencit
selama penelitian karena alas kandang harus
non alergi, bebas debu, nontoksik dan kering
untuk mencegah timbulnya gangguan berupa
bau dan iritasi selaput lendir. Alas kandang
pada mencit berfungsi sebagai tempat untuk
melakukan aktivitas sehari-hari seperti tempat
tidur, tempat beranak dan tempat membuang
kotoran (Malole dan Pramono 1989). Menurut
Rakhmadi (2008), bahwa penyediaan sekat
alas kandang atau roda kawat pada kandang
dapat melatih mencit untuk lebih aktif
bergerak dan bermain. Sebaliknya, kondisi
mencit pada kandang tanpa sekat terlihat tidak
terlalu aktif. Kegiatan mencit lebih banyak
digunakan untuk makan dan tidur. Bulu
terlihat agak kusam karena bersentuhan
langsung dengan alas yang sudah kotor
bahkan ada beberapa mencit yang menjadi
rontok bulu. Menurut Blackley dan David
(1991), kondisi lingkungan yang baik dan
sesuai dengan kebutuhan ternak dapat
menurunkan angka mortalilas. Mortalitas
mencit dipengaruhi oleh kualitas pakan,
kepekaan
terhadap
penyakit,
suhu,
kelembaban, dan manajemen pemeliharaan
mencit.
Gambar 3 juga menunjukkan bahwa
jumlah kematian kelompok dosis 100 mg/kg
lebih banyak dibandingkan dengan kelompok
dosis 1000 mg/kg. Hal ini tidak sesuai dengan
pernyataan Guyton dan Hall (1997) bahwa
kisaran tingkat dosis yang digunakan yaitu
dosis terendah yang hampir tidak mematikan
seluruh hewan percobaan dan dosis tertinggi
yang dapat menyebabkan kematian seluruh
atau hampir seluruh hewan percobaan. Hasil
histopatologi menunjukkan bahwa terdapat
kerusakan pada organ ginjal, paru-paru, dan
jantung khususnya pada kelompok 100 mg/kg
dan 500 mg\/kg, yang menyebabkan jumlah
kematiannya lebih banyak dibandingkan
kelompok 1000 mg/kg. Perhitungan LD50
berdasarkan persamaan garis diperoleh nilai
LD50 toksisitas subkronis ekstrak daun wungu
pelarut etanol 70% sebesar 0,04 mg/kg
(lampiran 5), namun hasil perhitungan ini
tidak dapat dijadikan acuan. Hal ini
dikarenakan jumlah kematian pada kelompok
100 mg/kg lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok 1000 mg/kg, serta kelompok
normal yang memiliki jumlah kematian lebih
banyak dibandingkan kelompok perlakuan.

Sehingga nilai LD50 toksisitas subkronis
ekstrak daun wungu pelarut etanol 70% tidak
dapat diperoleh.
Gambaran Histopatologi Ginjal
Ginjal merupakan organ utama yang
terkena efek toksisitas jika tubuh terpapar zat
toksik. Fungsi utama ginjal adalah
mengeluarkan
limbah
metabolisme,
memusnahkan bahan toksik, mengatur cairan
garam, keseimbangan asam basa, serta
mengatur tekanan darah (Dellmann & Brown
1992). Hasil pengamatan histopatologi ginjal
mencit selama masa perlakuan berdasarkan
tabel 3 menunjukkan bahwa kondisi ginjal
pada kelompok normal mengalami kongesti
dan nekrosis tubulus. Kongesti adalah suatu
keadaan adanya darah yang berlebihan di
dalam pembuluh pada daerah tertentu.
Kongesti pada pembuluh darah dapat
berlangsung sesaat atau kongesti akut, atau
dapat berlangsung lama atau kongesti kronis.
Jika kongesti berlangsung sesaat, maka tidak
ada pengaruh pada jaringan tersebut. Kongesti
kronis, terdapat perubahan-perubahan yang
permanen dalam jaringan. Keadaan tersebut
memungkinkan terjadinya hipoksia jaringan
yang dapat mengakibatkan penyusutan atau
hilangnya sel-sel dari jaringan (Price and
Wilson 1988). Masuknya suatu substansi
toksik ke dalam tubuh dalam waktu yang lama
akan menyebabkan nekrosis tubulus ginjal
(Runnels et al. 1965). Tubulus proksimal
merupakan bagian yang paling mudah
mengalami perlukaan akibat iskemia dan zat
toksik. Hal ini dikarenakan pada tubulus
proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi
(Lu 1995).
Kondisi ginjal pada kelompok perlakuan
tidak berbeda nyata dengan kondisi ginjal
kelompok normal (Gambar 4), terjadi kongesti
dan nekrosis tubulus selama perlakuan.
Kongesti dan nekrosis tubulus dapat
disebabkan oleh perlakuan dengan sediaan uji.
Kelompok 100 mg/kg tidak ada kelainan
spesifik pada organ ginjal hingga bulan kedua
Tabel 3 Hasil pengamatan histopatologi
ginjal untuk berbagai kelompok
Kelompok

1

Normal

Kongesti

100 mg/kg

TAKS

500 mg/kg

Kongesti

1000
mg/kg

Kongesti

Bulan Ke2
Nekrosis
tubulus
TAKS
Nekrosis
tubulus
Nekrosis
tubulus

TAKS: Tak ada kelainan spesifik

3
Kongesti
Kongesti
Kongesti
Kongesti

9

Normal

Gambar 4 Histopatologi ginjal mencit bulan pertama, (1) glomerulus, (2) tubulus proksimal,
() kongesti
masa perlakuan, pada bulan ketiga terjadi
kongesti. Kelompok 500 mg/kg dan 1000
mg/kg mengalami kongesti dan nekrosis
tubulus, nekrosis tubulus organ ginjal
diindikasikan sebagai salah satu faktor
penyebab kematian mencit, hal ini
ditunjukkan pada gambar 3 bahwa jumlah
kematian terbanyak terjadi pada bulan kedua
masa perlakuan. Pada kerusakan sel epitel
tubuli terjadi akibat masuknya toksin yang
menyebabkan kerusakan membran sel, yang
ditandai dengan penurunan ATP untuk
penyediaan energi. Dalam hal ini ATP
dibutuhkan untuk proses reabsorpsi zat-zat
dan cairan dalam tubulus. Kerusakan pada
membran sel akan menurunkan produksi ATP
yang dihasilkan di mitokondria dan
pengurangan pompa sodium, sehingga
keseimbangan pengaturan ion sodiumpotasium intraselular terganggu (Cheville
2006).
Kegagalan
dalam
mengatur
keseimbangan ion sodium intraselular
mengakibatkan masuknya sejumlah cairan
secara berlebih ke dalam sel. Peningkatan
cairan intraselular tersebut menyebabkan

kebengkakan pada sel, termasuk mitokondria
dan retikulum endoplasmik kasar (Jones et al.
2006). Pada sel yang mengalami kerusakan
tersebut dinamakan degenerasi hidropis epitel
tubuli. Adanya gangguan pada tubuli
mengakibatkan daya selektifitas tubuli
menurun
sehingga
mempengaruhi
homeostasis tubuh (Hatzios 2005). Sehingga,
semakin lama pemberian ekstrak daun wungu
dan semakin besar dosis yang digunakan, akan
memberikan efek kerusakan pada organ
ginjal.
Gambaran Histopatologi Hati
Hati merupakan salah satu organ yang
terlibat dalam metabolisme zat makanan serta
sebagian besar obat dan toksikan. Organ ini
paling umum mengalami kerusakan karena
racun. Hal ini disebabkan hati menerima
suplai darah dari vena porta sekitar 80% yang
mengalir dari saluran pencernaan (Maclachlan
& Cullen 1995). Hasil uji histopatologi hati
mencit selama perlakuan berdasarkan tabel 4
menunjukkan bahwa kondisi hati kelompok
normal tidak mengalami kelainan spesifik

10

Gambar 5 Histopatologi hati mencit bulan pertama, (1) polimorfonuklear, (2) vena centralis,
(3) portal tract
selama perlakuan. Kondisi hati pada
kelompok perlakuan tidak memberikan
kerusakan yang berarti terhadap organ, namun
terjadi efek yang diakibatkan pemberian
ekstrak daun wungu, yaitu terdapatnya sel
polimorfonuklear (Gambar 5). Bulan pertama
perlakuan pada seluruh kelompok perlakuan
terdapat sel polimorfonuklear. Sel ini timbul
diakibatkan oleh masuknya zat asing ke dalam
tubuh seperti ekstrak daun wungu yang
menyebabkan terjadinya radang akut hingga
terjadinya luka pada organ hati. Sel
polimorfonuklear termasuk sel neutrofil, yaitu
sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi
mikroba pada peradangan. Fungsi neutrofil
adalah membersihkan daerah luka dari benda
asing, bakteri (Singer dan Clark 1999) fungi,
protozoa, virus dan sel-sel yang rusak atau
mati (McGavin dan Zachary 2007). Neutrofil
dibentuk di dalam sumsum tulang belakang
(Tizard 1988). Bulan kedua dan ketiga seluruh
kelompok perlakuan tidak ada kelainan
spesifik pada organ hati. Pemberian ekstrak
daun wungu pelarut etanol 70% tidak
memberikan kerusakan yang berarti pada
organ hati, hal ini didukung dengan kondisi

Tabel 4 Hasil pengamatan histopatologi
hati untuk berbagai kelompok
Bulan keKelompok
1
2
3
Normal
TAKS TAKS TAKS
100 mg/kg
PMN TAKS PMN
500 mg/kg
PMN TAKS TAKS
1000 mg/kg PMN TAKS TAKS
TAKS : Tak ada kelainan spesifik
PMN : Polimorfonuklear
organ hati kelompok normal yang tidak
mengalami kelainan spesifik.
Pengamatan Histopatologi Organ
Pendukung
Otak adalah bagian dari susunan saraf
pusat yang terletak di dalam cavum cranii
(rongga tengkorak). Berdasarkan strukturnya,
fungsi otak secara umum berkaitan dengan
fungsi vital somatik, otonomik, reflek, dan
suatu fungsi vegetatif agar dapat bertahan
hidup dan memelihara kehidupan (Mardiati
1996). Hasil pengamatan histopatologi otak
mencit berdasarkan tabel 5 menunjukkan
bahwa kondisi otak pada kelompok normal

11

Tabel 5 Hasil Pengamatan histopatologi
otak untuk berbagai kelompok
Bulan keKelompok
1
2
3
Normal
TAKS TAKS
TAKS
100 mg/kg TAKS TAKS
TAKS
500 mg/kg TAKS TAKS
TAKS
1000 mg/kg TAKS TAKS
TAKS
TAKS: Tak ada kelainan spesifik
tidak mengalami kelainan spesifik selama
perlakuan. Kondisi otak pada kelompok
perlakuan tidak berbeda nyata dengan
kelompok normal (gambar 6). Pemberian
ekstrak daun wungu pelarut etanol 70% tidak
memberikan kerusakan yang berarti terhadap
organ otak.
Usus halus merupakan bagian dari sistem
pencernaan yang berfungsi mencerna dan
menyerap zat-zat makanan seperti asam
amino, lipid dan monosakarida (Banks 1993).
Fungsi utama usus halus adalah absorbsi
mikronutrien, mineral dan vitamin. Beda
lokasi usus halus, berbeda pula jenis
mikronutrien yang diabsorbsi (Kandi 2008).
Pengamatan histopatologi organ usus mencit
kelompok
normal
selama
perlakuan
berdasarkan tabel 6, timbulnya sel goblet pada
bulan pertama, dan tidak ada kelainan spesifik
pada bulan kedua dan ketiga.
Kondisi usus pada kelompok perlakuan
tidak mengalami kerusakan yang berarti,
namun terjadi beberapa efek yang diakibatkan
pemberian ekstrak daun wungu pelarut etanol
70% (gambar 7). Efek yang ditimbulkan

Tabel 6 Hasil pengamatan histopatologi
usus untuk berbagai kelompok
Kelompok
Normal

1
Sel
goblet

Bulan ke2

3

TAKS

(-)

100 mg/kg

Sel
goblet

Payer
patches

TAKS

500 mg/kg

Sel
goblet

TAKS

(-)

1000 mg/kg

Sel
goblet

TAKS

Payer
patches

TAKS: Tak ada kelainan spesifik
(-): Tidak dilakukan
seperti terjadinya sel goblet dan payer
patches. Kelompok perlakuan di bulan
pertama terdapat banyak sel goblet. Sel goblet
timbul akibat dari pemberian ekstrak daun
wungu pelarut etanol 70%. Salah satu
komponen pertahanan usus halus dan usus
besar adalah sel goblet, yang menghasilkan
mukus dan berfungsi untuk mengeluarkan
benda atau zat asing yang masuk