Potensi Kitosan, Khamir, Aktinomiset dan Kombinasinya dalam Menghambat Busuk Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Buah Jambu Kristal

POTENSI KITOSAN, KHAMIR, AKTINOMISET DAN
KOMBINASINYA DALAM MENGHAMBAT BUSUK
ANTRAKNOSA (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.)
BUAH JAMBU KRISTAL

DESSY KUSUMAWARDHANY

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ABSTRAK
DESSY KUSUMAWARDHANY. Potensi Kitosan, Khamir, Aktinomiset dan
Kombinasinya dalam Menghambat Busuk Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides
(Penz.) Sacc.) Buah Jambu Kristal. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA.
Busuk antraknosa yang disebabkan C. gloeosporioides merupakan salah satu
penyakit penting pada buah jambu kristal selama di penyimpanan. Pengendalian biologi
dengan menggunakan kitosan, khamir, aktinomiset dan kombinasinya menjadi alternatif
pengendalian yang menjanjikan terhadap penyakit pascapanen pada buah-buahan. Studi

ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi kitosan, khamir, aktinomiset dan kombinasinya
dalam menghambat busuk antraknosa pada buah jambu kristal. Pengujian dilakukan
secara in vitro dengan metode peracunan media dan in vivo dengan pelapisan larutan
kitosan, suspensi khamir, suspensi aktinomiset dan kombinasinya pada buah jambu
kristal. Hasil uji in vitro menunjukkan perlakuan suspensi YP, APS5, dan kombinasinya
lebih efektif menghambat cendawan C. gloeosporioides dibandingkan dengan perlakuan
metabolit saja. Hasil uji in vivo dengan inokulasi patogen menunjukkan tingkat keparahan
penyakit pada perlakuan YP+APS5sus, YPsus, CT, APS5sus, CT+APS5sus, dan
CT+YPsus lebih kecil atau berbeda nyata dibandingkan kontrol. Pelapisan larutan CT,
suspensi APS5 dan CT+APS pada buah jambu kristal paling efektif untuk
mempertahankan ketegaran buah dan memperpanjang daya simpan jambu kristal.
Kata kunci: aktinomiset, busuk antraknosa, Colletotrichum gloeosporioides, jambu
kristal, khamir, kitosan, kombinasi.

ABSTRACT
DESSY KUSUMAWARDHANY. (Potencial of Chitosan, Yeast, Actinomycetes and
Their Combination in Suppressing Crystal Guava Anthracnose (Colletotrichum
gloeosporioides (Penz.) Sacc.). Supervised by MEITY SURADJI SINAGA.
Anthracnose due to C. gloeosporioides is one of important disease on crystal guava
during storage. Biological control using chitosan, yeast, actinomycetes and their

combination are a promising alternative to control postharvest diseases of fruits. The
study has been designed to evaluate the potencial of chitosan, yeast, actinomycetes and
their combination in suppressing crystal guava anthracnose. In vitro evaluated has been
done by poisoning tests methods and in vivo evaluated has been done by coating a
solution of chitosan, suspension of yeast, suspension of actinomycetes and their
combination on the crystal guava. The result of in vitro test showed that suspension of
YP, APS5, and their combination are more effective in suppressing C. gloeosporioides
than experiments with using metabolit only. The result of in vivo test with inoculation
pathogen showed that severity disease of YP+APS5sus, YPsus, CT, APS5sus,
CT+APS5sus, and CT+YPsus are smaller or significantly different with control. The
coating of solution CT, suspension of APS5 and CT+APS5 on crystal guava are most
effective to maintained fruits rigidity and extending the shelf life of crystal guava.
Keywords: actinomycetes, anthracnose, chitosan, Colletotrichum gloeosporioides,
combination, crystal guava, yeast.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

POTENSI KITOSAN, KHAMIR, AKTINOMISET DAN
KOMBINASINYA DALAM MENGHAMBAT BUSUK
ANTRAKNOSA (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.)
BUAH JAMBU KRISTAL

DESSY KUSUMAWARDHANY

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi

: Potensi Kitosan, Khamir, Aktinomiset dan Kombinasinya
dalam Menghambat Busuk Antraknosa (Colletotrichum
gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Buah Jambu Kristal
Nama Mahasiswa: Dessy Kusumawardhany
NIM
: A34090077

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi.
Ketua Departemen

Tanggal lulus :

6

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Potensi Kitosan,
Khamir, Aktinomiset dan Kombinasinya dalam Menghambat Busuk Antraknosa
(Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Buah Jambu Kristal”. Penelitian
dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan,
Departemen Proteksi Tanaman dari bulan Februari hingga Juli 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Keluarga tercinta (ayah, ibu, kakak, serta seluruh keluarga) atas doa,
semangat, dukungan, dan kasih sayangnya.
2. Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang

telah memberikan bimbingan, arahan, saran, serta pengetahuan kepada
penulis selama melaksanakan penelitian hingga penyusunan skripsi.
3. Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si. selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan saran dan masukan.
4. Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA. selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing penulis selama berkuliah di Departemen Proteksi
Tanaman.
5. Teman-teman Departemen Proteksi Tanaman angkatan 46 yang telah
memberikan motivasi dan dukungan yang sangat berharga.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk
perbaikan skripsi ini.

Bogor, September 2013
Dessy Kusumawardhany

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode
Persiapan bahan-bahan
Isolasi Cendawan Patogen dari Bahan Tanaman Sakit
Peremajaan Agens Antagonis
Pembuatan Larutan Kitosan
Penyediaan Metabolit Sekunder Khamir dan Aktinomiset
Penyediaan Suspensi Khamir dan Aktinomiset
Uji Penghambatan In Vitro
Uji Keefektifan In Vivo
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Cendawan Patogen
Uji Penghambatan In Vitro
Uji Keefektifan In Vivo

PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
vii
viii
1
1
3
3
4
4
4
4
4
4
4

4
5
5
5
6
7
7
7
9
13
13
13
14
16

DAFTAR TABEL
1 Hambatan relatif (% HR) masing-masing perlakuan terhadap
pertumbuhan C. gloeosporioides pada media PDA dari 1 hingga
7 HSI
2 Pengaruh pelapisan kitosan, khamir, aktinomiset dan kombinasinya

terhadap keparahan penyakit busuk antraknosa pada buah jambu
kristal dengan pengujian in vivo (inokulasi patogen)
3 Pengaruh pelapisan kitosan, khamir, aktinomiset dan kombinasinya
terhadap keparahan penyakit busuk antraknosa serta ketegaran buah
jambu kristal dengan pengujian in vivo tanpa inokulasi patogen pada
10 HSI

8

10

11

DAFTAR GAMBAR
1 Kultur cendawan C. gloeosporioides 7 HSI pada media PDA (a);
morfologi cendawan C. gloeosporioides dibawah mikroskop dengan
perbesaran 40 x 10 yaitu, seta (b), aservulus (c), dan konidia (d).
2 Perbedaan diameter koloni C. gloeosporioides pada uji in vitro 7 HSI
yaitu perlakuan YP+APS5sus (a), CT (b), YPsus (c), APS5sus (d),
CT+APS5sus (e), CT+YPsus (f), CT+YPmet (g), APS5met (h),

CT+APS5met (i), YP+APS5met (j), YPmet (k), dan kontrol (l).
3 Keparahan penyakit busuk antraknosa pada setiap perlakuan dengan uji
in vivo (inokulasi patogen) pada 10 HSI, yaitu perlakuan YP+APS5sus
(a), YPsus (b), CT (c), APS5sus (d), CT+APS5sus (e), CT+YPsus (f),
dan kontrol (g)
4 Ketegaran buah jambu kristal pada setiap perlakuan dengan uji in vivo
(tanpa inokulasi patogen) pada 10 HSI, yaitu perlakuan CT (a),
APS5sus (b), CT+APS5sus (c), YP+APS5sus (d), YPsus (e),
CT+YPsus (f), dan kontrol (g)

7

8

10

11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kitosan
2 Isolat agens antagonis khamir (YP) dan aktinomiset (APS5)
3 Diameter pertumbuhan C. gloeosporioides pada masing-masing
perlakuan dari 1 hingga 7 HSI secara in vitro
4 Pengaruh pemberian kitosan, khamir, aktinomiset, dan kombinasinya
terhadap keparahan penyakit busuk antraknosa pada buah jambu
kristal dengan pengujian in vivo dengan inokulasi patogen dari 1
hingga 10 HSI
5 Pengaruh pemberian kitosan, khamir, aktinomiset, dan kombinasinya
terhadap keparahan penyakit busuk antraknosa pada buah jambu
kristal dengan pengujian in vivo tanpa inokulasi patogen dari 1
hingga 10 HSI

17
17
17

18

18

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jambu kristal (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan potensi pasar yang baik. Buah ini juga
baik untuk kesehatan jika dikonsumsi karena mengandung vitamin A dan C dalam
jumlah yang tinggi. Namun, produk hortikultura ini tidak terhindar dari masalah
hama dan penyakit tanaman. Salah satu penyakit penting pada buah jambu kristal
selama di lapangan hingga penyimpanan adalah busuk antraknosa yang disebabkan
oleh cendawan Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.). C. gloeosporioides
merupakan bentuk anamorf dari Glomerella cingulata (CAB Internasional 2007).
Adapun nama lain dari cendawan ini adalah Glomerella psidii (Del) Sheld,
Gloeosporium psidii (Del), Gloeosporium fructigenum Berk, dan Colletotrichum
psidii Curzi (Cahyono 2010).
Penyakit busuk antraknosa dapat menyerang semua bagian tanaman, kecuali
akar. Bagian tanaman seperti pucuk, daun muda, dan ranting akan mudah terinfeksi
penyakit ini ketika masih lunak (Cahyono 2010), namun serangan utama penyakit
ini adalah bagian tanaman yang bernilai ekonomis yaitu pada buah (Dickman
1993). Gejala serangan pada buah ditandai dengan adanya bercak-bercak coklat
atau hitam yang agak cekung ke dalam (Amusa et al. 2006). Seringkali bercakbercak tersebut mengumpul pada bagian pangkal buah, sehingga buah yang
terinfeksi tidak dapat dikonsumsi (Indratmi 2009). Pada kondisi yang sesuai untuk
perkembangannya, kerusakan buah akibat penyakit busuk antraknosa dapat
mencapai lebih dari 50% (Hashem dan Alamri 2009). Pada survey yang dilakukan
Amusa et al. (2006) di tiga lokasi penelitian di Ibadan Nigeria, sekitar 80% tanaman
jambu biji terinfeksi oleh penyakit busuk antraknosa dan lebih dari 40% buah yang
diproduksi pada tanaman terinfeksi tersebut menunjukkan infeksi yang parah.
Faktor yang mendukung berkembangnya penyakit busuk antraknosa adalah
kondisi yang lembab dan teduh. Soesanto (2006) menyatakan suhu dan kelembaban
yang tinggi berperan dalam pertumbuhan cendawan ini, disamping tingkat
ketahanan dan kerentanan inangnya. Suhu optimum bagi pertumbuhan cendawan
C. gloeosporioides adalah 26-28.5 0C. Pada kondisi tersebut, cendawan yang telah
menginfeksi buah akan membentuk massa spora berwarna merah salmon dalam
lingkaran-lingkaran sepusat pada permukaan bercak.
Hingga saat ini penggunaan fungisida sintetik masih menjadi langkah andalan
untuk mengurangi kerugian dan kehilangan hasil akibat penyakit busuk antraknosa
(Kefialew dan Ayalew 2008). Penggunaan fungisida secara intensif memberikan
banyak dampak negatif, diantaranya resistensi patogen terhadap fungisida, serta
tertinggalnya residu bahan kimia pada produk pertanian. Untuk mengurangi
intensitas penggunaan fungisida, metode perlindungan tanaman yang lebih lestari
dan aman bagi konsumen perlu dikembangkan (Indratmi 2009), misalnya dengan
pengendalian hayati. Strategi umum pengendalian hayati adalah penggunaan
mikroorganisme antagonis dalam pengendalian penyakit pascapanen dan prapanen.
Beberapa pendekatan biologi termasuk penggunaan mikroorganisme antagonis atau
bahan alami telah dikembangkan sebagai alternatif penggunaan fungisida sintetik
untuk pengelolaan penyakit pascapanen dan mengendalikan pembusukan buah dan
sayuran pascapanen (Janisiewicz dan Korsten 2002). Kitosan, khamir, dan

2
aktinomiset, dan kombinasinya berpotensi baik untuk dikembangkan sebagai
alternatif pengendalian yang aman bagi makhluk hidup dan lingkungan.
Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin yang berbahan baku
limbah kulit udang. Kitosan telah banyak dimanfaatkan diberbagai bidang seperti
medis, kosmetik, makanan, termasuk juga dalam pengendalian penyakit tanaman
dan peningkatan daya simpan produk pascapanen (Aranaz et al. 2009). Kitosan
dapat menginduksi enzim kitinase pada jaringan tanaman. Enzim kitinase
merupakan enzim yang dapat mendegradasi kitin yang merupakan penyusun utama
dinding sel cendawan. Kitosan telah terbukti sebagai agen antimikroba sehingga
dapat diaplikasikan sebagai pelapis pada berbagai jenis makanan, termasuk buahbuahan. Bautista-Banos (2003) melaporkan penggunaan kitosan mampu menekan
pertumbuhan Fusarium oxysporum, Rhizopus stolonifer, Penicillium digitatum dan
C. gloeosporioides. Studi lain melaporkan penambahan kitosan dari kulit udang
pada media PDA mampu menghambat pertumbuhan Colletotrichum musae baik
secara vegetatif maupun reproduktif (Rogis et al. 2007).
Khamir merupakan kelompok mikroorganisme uniseluler yang termasuk
dalam filum Ascomycota dan Basidiomycota (Gandjar et al. 2006). Keuntungan
dari penggunaan khamir antagonis adalah dapat diisolasi dari alam, bersifat non
patogenik terhadap tanaman dan binatang termasuk manusia, mudah dibiakkan,
serta reproduksinya cepat (Payne dan Bruce 2001), selain itu sel khamir juga
mengandung vitamin dan asam amino penting yang telah banyak dimanfaatkan
dalam makanan dan pakan (Hashem dan Alamri 2009). Khamir umumnya
memerlukan nutrisi dengan ikatan rantai C sederhana dan mampu mengkolonisasi
permukaan inang dalam kondisi kering pada waktu yang cukup lama seperti
fungisida yang umum digunakan pada perlakuan pascapanen. Sugiprihatini et al.
(2011) melaporkan penggunaan khamir Cryptococcus albidus var. aerius efektif
menghambat perkembangan penyakit busuk buah (Botryodiplodia theobromae)
pada buah mangga hingga mencapai 70.83%. Payne dan Bruce (2001) menyatakan
khamir Debaryomyces sp. dan Pichia guilliermondii efektif menghambat
perkembangan penyakit antraknosa yang disebabkan cendawan C. gloeosporioides.
Aktinomiset merupakan kelompok besar dari bakteri berbentuk filamen yang
termasuk dalam filum Actinobacteria dan pada umunya bersifat gram positif.
Bakteri ini menghasilkan eksospora yang dapat bertahan dalam kondisi yang tidak
menguntungkan, seperti rendahnya kadar air dan suhu tinggi, serta dapat bertahan
dalam waktu yang lama (Schaad et al. 2000). Aktinomiset mampu mensintesis
berbagai senyawa bioaktif (metabolit) diantaranya antibiotik, antiparasitik,
antibakteri, antifungi, antioksidan, antitumor, antiviral, dan enzim ekstraseluler
seperti selulase dan xylanase yang penting dalam industri, obat-obatan, dan
pertanian (Oskay et al. 2004 dan George et al. 2011). Crawford (1993) melaporkan
penggunaan aktinomiset yang berasal dari rizosfer dan non rizosfer efektif
mengendalikan patogen akar Pythium ultimum pada tanaman selada.
Perlakuan kombinasi memiliki potensi yang besar dalam mengendalikan
suatu patogen apabila kedua agens yang digunakan dapat bekerja secara sinersis.
Kwok et al. (1987) melaporkan kombinasi bakteri antagonis dengan cendawan
Trichoderma hamatum lebih efektif menekan penyakit yang disebabkan
Rhizoctonia solani dibandingkan perlakuan tunggal.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi potensi kitosan, khamir, aktinomiset
dan kombinasinya dalam menghambat busuk antraknosa (C. gloeosporioides) pada
buah jambu kristal.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tambahan
mengenai potensi kitosan, khamir, aktinomiset dan kombinasinya dalam
menghambat busuk antraknosa (C. gloeosporioides) pada buah jambu kristal,
sehingga dapat dikembangkan menjadi salah satu alternatif pengendalian yang
aman dan ramah lingkungan.

4

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari
hingga Juli 2013.
Metode
Persiapan bahan-bahan
Isolasi Cendawan Patogen dari Bahan Tanaman Sakit. Metode yang
digunakan pada saat isolasi cendawan patogen dari bahan tanaman sakit mengacu
pada studi Indratmi (2009). Sampel buah jambu kristal yang menunjukkan gejala
busuk antraknosa diperoleh dari toko buah di sekitar daerah Dramaga, Bogor.
Isolasi patogen dilakukan dengan menggunakan metode pemotongan jaringan,
yaitu memotong jaringan buah jambu kristal diantara bagian sehat dan sakit
sepanjang 0.5 x 0.5 cm. Potongan jaringan buah tersebut disterilisasi permukaan
dengan alkohol 70%, kemudian direndam dalam natrium hipoklorit (NaOCl) 1%
selama 3 menit, dibilas menggunakan air steril sebanyak 3 kali pembilasan, lalu
dikeringanginkan. Setelah kering, potongan jaringan buah jambu kristal
ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasi pada suhu
ruang. Koloni C. gloeosporioides yang tumbuh dimurnikan pada media PDA baru
dan diremajakan sesuai kebutuhan.
Peremajaan Agens Antagonis. Isolat khamir (YP) dan aktinomiset (APS5)
yang digunakan merupakan koleksi Laboratorium Klinik Tanaman dan
Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB.
Peremajaan isolat murni YP dilakukan dengan menumbuhkannya pada media PDA,
sedangkan APS5 pada media Casamino Acids-yeast extract-glucose-agar (YCED)
melalui penggoresan sebanyak satu lup masing-masing agens antagonis dan
diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari.
Pembuatan Larutan Kitosan. Kitosan (CT) diperoleh dari Departemen
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB yang
berasal dari kulit udang. Konsentrasi kitosan yang digunakan dalam uji in vitro dan
in vivo adalah 1%. Larutan kitosan dengan konsentrasi 1% diperoleh dengan
melarutkan sebanyak 1 gram kitosan dengan 30 ml asam asetat 1.5% dan 70 ml
aquades.
Penyediaan Metabolit Sekunder Khamir dan Aktinomiset. Metode yang
digunakan pada saat penyediaan metabolit sekunder YP dan APS5 mengacu pada
studi Sitompul (2013). Sebanyak satu lup YP dan APS5 yang berumur 7 hari
diinokulasikan ke dalam 10 ml media cair Potato Dextrose Broth (PDB) untuk YP,
dan 10 ml media cair Luria Broth (LB) untuk APS5. Selanjutnya kedua biakan
diinkubasi pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm selama 4 hari.
Media cair PDB dan LB yang mengandung biakan YP dan APS5 dimasukkan ke
dalam tabung ependorff masing-masing sebanyak 1 ml, lalu disentrifugasi dengan

5
kecepatan 12000 rpm selama 15 menit hingga diperoleh supernatan yang
mengandung senyawa bioaktif YP dan APS5. Supernatan YP dan APS5 disaring
dengan millipore ukuran 0.22 μm untuk memperoleh senyawa bioaktif dari masingmasing agens antagonis yang steril. Konsentrasi metabolit YP dan APS5 yang
digunakan dalam uji in vitro dan in vivo adalah 10%.
Penyediaan Suspensi Khamir dan Aktinomiset. Sebanyak satu lup YP
dan APS5 yang berumur 7 hari diinokulasikan ke dalam 10 ml media cair PDB
untuk YP, dan 10 ml media cair LB untuk APS5. Selanjutnya kedua biakan
diinkubasi pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm selama 4 hari
hingga diperoleh suspensi dari YP dan APS5. Konsentrasi suspensi YP dan APS5
yang digunakan dalam uji in vitro dan in vivo adalah 10%.
Uji Penghambatan In Vitro
Uji penghambatan in vitro dilakukan dengan metode peracunan media.
Larutan CT serta metabolit dan suspensi dari YP dan APS5 dicampurkan ke dalam
media PDA yang telah dicairkan dengan suhu kurang lebih 50 0C sesuai perlakuan.
Selanjutnya isolat C. gloeosporioides yang berumur 7 hari ditanam di tengah media.
Pengamatan penghambatan tiap perlakuan dilakukan selama 7 hari dengan
mengukur diameter pertumbuhan koloni cendawan C. gloeosporioides.
Perlakuan-perlakuan yang digunakan pada uji penghambatan in vitro
diantaranya:
1. Kitosan tunggal (CT)
2. Metabolit khamir tunggal (YPmet)
3. Suspensi khamir tunggal (YPsus)
4. Metabolit aktinomiset tunggal (APS5met)
5. Suspensi aktinomiset tunggal (APS5sus)
6. Metabolit kombinasi kitosan dan khamir (CT+YPmet)
7. Suspensi kombinasi kitosan dan khamir (CT+YPsus)
8. Metabolit kombinasi kitosan dan aktinomiset (CT+APS5met)
9. Suspensi kombinasi kitosan dan aktinomiset (CT+APS5sus)
10. Metabolit kombinasi khamir dan aktinomiset (YP+APS5met)
11. Suspensi kombinasi khamir dan aktinomiset (YP+APS5sus)
12. Kontrol
Hambatan relatif (% HR) dari perlakuan uji dihitung dengan menggunakan
rumus:
Dk − Dp

%
HR % =
Dk
Keterangan :
Dk = diameter koloni C. gloeosporioides pada kontrol (cm)
Dp = diameter koloni C. gloeosporioides pada perlakuan (cm)
Uji Keefektifan In Vivo
Uji keefektifan in vivo terdiri dari 2 macam pengujian yaitu pengujian dengan
inokulasi patogen dan pengujian tanpa inokulasi patogen. Buah jambu kristal sehat
dicuci bersih dengan air steril, kemudian dikeringanginkan. Selanjutnya buah
tersebut direndam dalam larutan CT, YP, APS5 maupun kombinasinya sesuai
perlakuan. Khusus untuk kontrol perendaman buah jambu kristal dilakukan ke

6
dalam aquades steril. Untuk pengujian in vivo dengan inokulasi patogen, cendawan
C. gloeosporioides yang berumur 7 hari diinokulasikan pada permukaan atas buah
jambu kristal yang telah dilukai sebelumnya dengan jarum steril, sedangkan untuk
pengujian tanpa inokulasi patogen cukup dilakukan perendaman pada setiap
perlakuan yang ditetapkan. Setelah itu, buah jambu kristal (sesuai perlakuan)
disimpan dalam baki steril berukuran 40 cm x 30 cm yang dilapisi kertas yang sudah
dilembabkan. Baki dibungkus dengan menggunakan plastik bening untuk menjaga
kelembaban.
Perlakuan-perlakuan yang digunakan pada uji keefektifan in vivo
diantaranya:
1. Kitosan tunggal (CT)
2. Suspensi khamir tunggal(YPsus)
3. Suspensi aktinomiset tunggal (APS5sus)
4. Suspensi kombinasi kitosan dan khamir (CT+YPsus)
5. Suspensi kombinasi kitosan dan aktinomiset (CT+APS5sus)
6. Suspensi kombinasi khamir dan aktinomiset (YP+APS5sus)
7. Kontrol
Pengamatan uji keefektifan in vivo dilakukan dengan menghitung keparahan
penyakit busuk antraknosa yang muncul pada buah kristal serta mengamati tingkat
ketegaran buah serta selama 10 hari. Keparahan penyakit (% KP) dihitung dengan
menggunakan rumus:
Σ (jumlah sampel per kategori x skor keparahan)
KP =
x 100%
Jumlah sampel yang diamati x skor tertinggi
Skor tiap kategori serangan mengacu pada James (1971) dengan modifikasinya:

0 = tidak ada perkembangan bercak (sehat)
1 = 0 < x ≤ 10% (bercak ringan pada buah)
2 = 10 < x ≤ 20% (bercak sedang pada buah)
3 = 20 < x ≤ 30% (bercak luas disertai busuk sedang pada buah)
4 = x > 30% (bercak luas disertai busuk berat pada buah)
Kriteria ketegaran buah jambu kristal setelah perlakuan adalah:
++++ = sangat tegar; +++ = tegar; ++ = lunak; + = busuk dan lunak.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada uji penghambatan in vitro dan uji
keefektifan in vivo yaitu rancangan acak lengkap (RAL), dengan 4 ulangan. Data
yang diperoleh dianalisis ragam (ANOVA) dengan menggunakan Microsoft Office
Excel 2013 dan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.0. Perlakuan
yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Duncan dengan taraf α=5% (Mattjik
et al. 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Cendawan Patogen
Cendawan patogen diisolasi dari buah jambu kristal yang menunjukkan gejala
busuk antraknosa. Gejala awal penyakit ini adalah adanya bercak-bercak nekrotik
berwarna coklat atau hitam yang agak cekung ke dalam pada kulit buah. Bercakbercak tersebut akan meluas dan bersatu secara cepat, sehingga pada akhirnya
menyebabkan pembusukan. Pada tengah bercak terdapat bagian menghitam yang
merupakan aservuli dari cendawan. Munculnya bercak coklat kehitaman pada buah
dikarenakan cendawan C. gloeosporioides menghasilkan enzim selulase yang dapat
menghidrolisis selulosa kulit buah sehingga kulit buah terdisintegrasi dan lunak.
Selanjutnya akan berubah warna menjadi coklat yang dapat meluas dan akhirnya
membusuk. Proses pembusukan semakin cepat ketika buah mencapai kematangan
puncak (Ippolito dan Nigro 2000).
Kultur C. gloeosporioides hasil isolasi dari jambu kristal terinfeksi memiliki
miselium berwarna putih keabuan, serta massa konidia yang berwarna merah muda
seperti warna salmon (Gambar 1a). Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan
bahwa cendawan ini mempunyai konidia yang berbentuk silinder dengan ujung
yang membulat atau tumpul, hialin, bersel satu, dan terbentuk dalam aservulus,
serta memiliki seta yang berwarna coklat tua (Gambar 1b, c, dan d). Hasil ini sesuai
dengan studi Dickman (1993) yang menyatakan bahwa C. gloeosporioides
mempunyai miselium berwarna putih hingga keabuan, massa konidia berwarna
merah salmon, konidianya berbentuk oval dengan ujung tumpul atau membulat,
hialin, bersel satu, tidak bersekat, terbentuk dalam aservulus, dan berukuran 9-15 x
3-7 µm, memiliki seta dengan konidiofor yang sederhana, pendek, dan tegak. Seta
berwarna coklat tua, panjang 60-160 µm, sering bersekat 1 atau 2 teratur di tepi
aservulus.
c
b
d
.

a

100 μm

Gambar 1 Kultur cendawan C. gloeosporioides 7 HSI pada media PDA (a);
morfologi cendawan C. gloeosporioides dibawah mikroskop dengan
perbesaran 40 x 10 yaitu, seta (b), aservulus (c), dan konidia (d).
Uji Penghambatan In Vitro
Larutan kitosan 1%, khamir 10%, aktinomiset 10% dan kombinasinya pada
media PDA mampu menghambat pertumbuhan C. gloeosporioides secara nyata
dibandingkan dengan kontrol. Pada perlakuan kontrol pertumbuhan cendawan C.
gloeosporioides dapat memenuhi cawan petri pada 7 hari setelah inokulasi (HSI).
Pada media PDA yang diberi perlakuan kitosan 1%, khamir 10%, aktinomiset 10%
dan kombinasinya pertumbuhan cendawan ini tampak terhambat dan tidak sampai
memenuhi cawan petri hingga 7 HSI (Gambar 2).

8

Gambar 2 Perbedaan diameter koloni C. gloeosporioides pada uji in vitro 7 HSI
yaitu perlakuan YP+APS5sus (a), CT (b), YPsus (c), APS5sus (d),
CT+APS5sus (e), CT+YPsus (f), CT+YPmet (g), APS5met (h),
CT+APS5met (i), YP+APS5met (j), YPmet (k), dan kontrol (l).
Pada mulanya, uji penghambatan in vitro dengan perlakuan YP, APS5,
CT+YP, CT+APS5, dan YP+APS5 akan dilakukan dengan metode peracunan
media menggunakan senyawa bioaktif (metabolit) saja. Namun saat pengujian
dilakukan justru perlakuan-perlakuan yang menggunakan suspensi YP atau APS5
yang lebih efektif menghambat pertumbuhan C. gloeosporioides. Tabel 1
menunjukkan bahwa pada akhir pengamatan (7 HSI), perlakuan YP+APS5sus, CT,
YPsus, APS5sus, CT+APS5sus, CT+YPsus, CT+YPmet, dan APS5met mampu
menghambat pertumbuhan koloni C. gloeosporioides dari 64.9-37.8%. Perlakuan
CT+APS5met, YP+APS5met, dan YPmet kurang baik dalam menekan
pertumbuhan cendawan patogen yaitu 25.2-14.7%. Kesinergisan antara agens
antagonis yang diujikan secara kombinasi perlu diperhatikan, jika tidak akan terjadi
efek saling mematikan atau saling mengurangi keefektifan dari masing-masing
agens. Kombinasi agens antagonis yang sinergis ada pada perlakuan suspensi
YP+APS5 yang mampu menekan pertumbuhan C. gloeosporioides paling tinggi
dibanding perlakuan kombinasi lainnya (64.9% pada 7 HSI). Kombinasi yang tepat
dapat meningkatkan daya antagonis dari agens-agens antagonis yang digunakan
(Guetsky et al. 2001).
Tabel 1 Hambatan relatif (% HR) masing-masing perlakuan terhadap pertumbuhan
C. gloeosporioides pada media PDA dari 1 hingga 7 HSI
HSI
Perlakuan
YP+APS5sus
CT
YPsus
APS5sus
CT+APS5sus
CT+YPsus
CT+YPmet
APS5met
CT+APS5met
YP+APS5met
YPmet

1
39.9ab
47.8a
21.4c
16.8cd
35.3b
33.6b
38.4ab
19.9c
46.1a
7.6de
20.1c

Hambatan relatif (%)a
2
3
4
5
59.7a
64.4a
68.9a
68.8a
53.4ab 53.3b 54.3bc 56.0b
33.3e 48.7bc 55.6bc 55.8b
43.4bcd 51.8b
58.4b
58.6b
42.7cde 46.1bc 46.3de 48.3cd
48.0bc 48.2bc 48.3cd 51.6bc
37.1de 40.3c
40.0e
43.9d
17.0f
18.8d
24.4f
33.7e
48.1bc 45.0bc 40.0e
37.2e
6.1g
5.8e
8.5hf
14.7f
18.8f
16.2d
17.0g
15.5f

6
68.6a
56.9b
57.1b
58.1b
51.2bc
51.3bc
44.7cd
39.4de
31.5e
17.2f
18.7f

7
64.9a
56.1ab
55.6ab
55.5ab
48.6bc
45.8bc
42.2c
37.8c
25.2d
15.3d
14.7d

Keterangan : a angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

9
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan penggunaan metabolit dalam
suatu pengujian menjadi kurang efektif, diantaranya rendahnya konsentrasi
metabolit yang dihasilkan oleh suatu agens antagonis atau terurai oleh
mikroorganisme lain. Kemungkinan lainnya adalah ikut tersaringnya metabolit
sekunder yang dihasilkan khamir dan aktinomiset pada saat penyaringan supernatan
dengan menggunakan millipore. Adanya pertumbuhan koloni agens antagonis pada
media PDA juga diduga dapat berpengaruh terhadap kemampuan suatu agens
antagonis dalam menekan pertumbuhan patogen tanaman. Pada perlakuan khamir
dan aktinomiset yang menggunakan suspensi, koloni dari masing-masing agens
antagonis masih tetap tumbuh sehingga produksi metabolit sekunder masih dapat
terus terjadi sedangkan pada perlakuan yang menggunakan metabolit saja, sudah
tidak bisa diproduksi metabolit sekunder lagi.
Kemampuan penghambatan kitosan terhadap pertumbuhan cendawan
penyebab busuk antraknosa (C. gloeosporioides) diduga karena adanya aktivitas
kitinase, glukanase, serta senyawa antifungal lain yang dimiliki kitosan (Vasyukova
et al. 2001). El-Gaouth et al. (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan koloni
cendawan patogen dapat terhambat dikarenakan kitosan mengandung enzim β-1.3
glukanase yang dapat menyebabkan penurunan jumlah kitin pada dinding hifa
cendawan patogen.
Mekanisme kerja khamir dalam menekan patogen tanaman dapat terjadi
melalui kompetisi ruang dan nutrisi, parasitisme, antibiosis, dan lisis (Janisiewicz
dan Korsten 2001). Diduga, kompetisi ruang dan nutrisi merupakan mekanisme
kerja yang terjadi pada perlakuan YP yang menggunakan suspensi dalam
menghambat pertumbuhan C. gloeosporioides, sedangkan mekanisme kerja khamir
pada perlakuan YP yang menggunakan metabolit diduga terjadi karena adanya
kontak langsung antara metabolit sekunder yang dihasilkan YP dengan cendawan
C. gloeosporioides. Indratmi (2009) menyatakan bahwa kejadian antagonis dapat
terjadi karena adanya kontak langsung antara agens antagonis dengan patogen,
maupun antara senyawa/zat yang dihasilkan agens antagonis berupa metabolit
sekunder yang toksik pada patogen atau enzim yang mampu mendegradasi dinding
sel cendawan patogen.
Franco-Gonzales dan Hernandez (2009) menyatakan bahwa mekanisme kerja
aktinomiset dalam menekan pertumbuhan patogen tanaman dapat terjadi melalui
antibiosis, kompetisi ruang dan nutrisi, serta parasitisme. Diduga kompetisi ruang
dan nutrisi merupakan mekanisme kerja yang terjadi pada perlakuan APS5 yang
menggunakan suspensi dalam menghambat pertumbuhan C. gloeosporioides,
sedangkan mekanisme kerja aktinomiset pada perlakuan APS5 metabolit diduga
karena adanya aktivitas antimikroba yang dihasilkan oleh aktinomiset. Berbagai
senyawa antimikrob yang dihasilkan oleh aktinomiset diantaranya tetrasiklin,
streptomisin, eritromisin, kloramfenikol, ivermektin, dan rifampisin (Todar 2008).
Uji Keefektifan In Vivo
Perlakuan yang digunakan dalam uji keefektifan in vivo mengacu pada hasil
uji penghambatan in vitro, yaitu perlakuan-perlakuan yang memiliki potensi baik
dalam menghambat pertumbuhan C. gloeosporioides, diantaranya YP+APS5sus,
CT, YPsus, APS5sus, CT+APS5sus, dan CT+YPsus. Selain perlakuan-perlakuan
tersebut ada pula kontrol yang digunakan sebagai pembanding.

10
Hasil uji keefektifan in vivo dengan penginokulasian patogen menunjukkan
munculnya gejala busuk antraknosa pada semua perlakuan (Gambar 3), namun
tingkat keparahan penyakitnya berbeda-beda (Tabel 2). Keparahan penyakit
terendah ada pada perlakuan YP+APS5sus, diikuti perlakuan YPsus, CT, APS5sus,
CT+APS5sus dan CT+YPsus. Pelapisan buah jambu kristal dengan kitosan,
khamir, aktinomiset dan kombinasinya mampu menekan keparahan penyakit busuk
antraknosa secara berbeda nyata dibanding kontrol.
Masih berkembangnya penyakit busuk antraknosa pada buah jambu kristal
bukan karena agens antagonis yang digunakan tidak efektif, namun selama
penelitian berlangsung kondisi lingkungan diatur sesuai untuk timbulnya infeksi
cendawan C. gloeosporioides, yaitu melalui pelukaan pada permukaan buah jambu
kristal. Pelukaan ini akan menyebabkan hilangnya pertahanan mekanis pada buah.
Selain itu cara pengaplikasian kitosan, khamir, aktinomiset dan kombinasinya yang
bersamaan dengan penginokulasian patogen menyebabkan berkurangnya daya
antagonis semua agens dalam menghambat infeksi patogen. Kitosan akan bekerja
optimum apabila diaplikasikan sebelum penginokulasian patogen (Bautista-Banos
2006). Begitu pula dengan khamir, aktinomiset, dan kombinasinya yang masih
dalam taraf beradaptasi belum berkolonisasi, sedangkan C. gloeosporioides berada
dalam kondisi virulen dan kondisi lingkungan yang sangat mendukung untuk
terjadinya infeksi.
Tabel 2

Pengaruh pelapisan kitosan, khamir, aktinomiset dan kombinasinya
terhadap keparahan penyakit busuk antraknosa pada buah jambu kristal
dengan pengujian in vivo (inokulasi patogen)

HSI
Perlakuan
Kontrol
CT+YPsus
CT+APS5sus
APS5sus
CT
YPsus
YP+APS5sus

2
10.9a
6.2ab
6.2ab
6.2ab
6.2ab
6.2ab
4.7b

Keparahan penyakit (%)a
4
6
8
23.4a
32.8a
40.6a
25.0a
25.0b
39.1ab
25.0a
28.1ab
32.8abc
25.0a
25.0b
31.2bc
23.4a
28.1ab
28.1c
23.4a
26.6b
31.2bc
23.4a
25.0b
28.1c

10
60.9a
42.2b
35.9bc
34.4bc
32.8c
32.8c
29.7c

Keterangan: a angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%

a

b

c

d

e

f

g

Gambar 3 Keparahan penyakit busuk antraknosa pada setiap perlakuan dengan uji
in vivo (inokulasi patogen) pada 10 HSI, yaitu perlakuan YP+APS5sus
(a), YPsus (b), CT (c), APS5sus (d), CT+APS5sus (e), CT+YPsus (f),
dan kontrol (g).

11
Hasil pengujian in vivo tanpa inokulasi patogen menunjukkan tingkat
keparahan penyakit busuk antraknosa yang tidak berbeda nyata untuk semua
perlakuan (Tabel 3). Munculnya gejala busuk antraknosa pada perlakuan
CT+APS5sus bukan karena perlakuan ini tidak efektif, namun diduga terjadi karena
infeksi penyakit busuk antraknosa yang bersifat laten. Secara visual, penampilan
buah jambu kristal yang diberi perlakuan CT, APS5sus, CT+APS5sus,
YP+APS5sus, YPsus, dan CT+YPsus tidak jauh berbeda, kecuali kontrol (Gambar
4). Buah jambu kristal yang diberi perlakuan tampak tetap segar hingga 10 HSI
sedangkan pada kontrol terserang cendawan patogen lain, penampilan buahnya
menjadi busuk dan berair, ketika ditekan teksturnya lunak dan mudah hancur.
Pelapisan buah jambu kristal dengan kitosan, khamir, aktinomiset dan
kombinasinya mampu mempertahankan ketegaran buah jambu kristal hingga 10
HSI dibanding kontrol (Tabel 3).
Tabel 3

Pengaruh pelapisan kitosan, khamir, aktinomiset dan kombinasinya
terhadap keparahan penyakit busuk antraknosa serta ketegaran buah
jambu kristal dengan pengujian in vivo tanpa inokulasi patogen pada 10
HSI
Perlakuan
Keparahan penyakit (%)a
Ketegaran buahb
YP+APS5sus
0.0a
+++
YPsus
0.0a
+++
CT
0.0a
++++
APS5sus
0.0a
++++
CT+APS5sus
2.5a
++++
CT+YPsus
0.0a
++
Kontrol
0.0a
+

Keterangan: a angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
b
keterangan tanda menunjukkan + busuk dan lunak, ++ lunak, +++ tegar, ++++ sangat
tegar.

a

b

c

d

e

f

g

Gambar 4 Ketegaran buah jambu kristal pada setiap perlakuan dengan uji in vivo
(tanpa inokulasi patogen) pada 10 HSI, yaitu perlakuan CT (a),
APS5sus (b), CT+APS5sus (c), YP+APS5sus (d), YPsus (e),
CT+YPsus (f), dan kontrol (g)
Penggunaan kitosan sebagai pelapis dalam buah-buahan dapat menghambat
difusi oksigen ke dalam buah sehingga proses respirasi dapat dihambat (El-Ghaouth
et al. 1992). Respirasi rendah dapat mengakibatkan pemecahan pati termasuk gula
berjalan lambat sehingga proses kematangan buah semakin lambat pula. Khamir
dapat menunda pemasakan buah dengan menghambat produksi etilen dan
menghasilkan enzim yang berpotensi menghambat, menekan, dan merangsang
beberapa jenis respon pertahanan inang (Droby et al. 1997). Aktinomiset

12
mempunyai kapasitas metabolisme yang bersifat antimikroba (Oskay et al. 2004).
Jika proses pematangan buah dapat dihambat, maka ketegaran buah dapat
dipertahankan dalam waktu yang lebih lama, sehingga daya simpan buah jambu
kristal dapat diperpanjang. Begitu pula dengan dihasilkannya senyawa antimikrob
dan enzim tertentu, yang dapat merangsang respon pertahanan buah terhadap
serangan patogen. Penggunaan kitosan, khamir, aktinomiset dan kombinasinya
dapat menjadi alternatif pengendalian penyakit-penyakit pascapanen pada
komoditas pertanian.

13

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji penghambatan in vitro perlakuan-perlakuan yang
menunjukkan potensi baik dalam menghambat pertumbuhan C. gloeosporioides
pada media PDA adalah perlakuan kitosan 1%, suspensi khamir 10%, suspensi
aktinomiset 10% dan kombinasinya. Hasil uji keefektifan in vivo juga
menunjukkan bahwa pelapisan perlakuan-perlakuan tersebut pada buah jambu
kristal mampu menekan tingkat keparahan penyakit busuk antraknosa dan
mempertahankan ketegaran buah jambu kristal hingga 10 HSI. Penggunaan kitosan,
khamir, aktinomiset dan kombinasinya dapat menjadi alternatif pengendalian
penyakit pascapanen pada buah-buahan, khususnya busuk antraknosa pada buah
jambu kristal yang disebabkan cendawan C. gloeosporioides.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengetahui tingkat keparahan
penyakit busuk antraknosa jika kitosan, khamir, aktinomiset dan kombinasinya
diaplikasikan tidak bersamaan dengan penginokulasian patogen, selain itu perlu
dilakukan pengujian tingkat keamanan terhadap penggunaan kitosan, khamir,
aktinomiset dan kombinasinya apabila dikonsumsi manusia.

14

DAFTAR PUSTAKA
Amusa NA, Ashaye OA, Amadi J, Oladapo O. 2006. Guava fruit anthracnose and
the effects on its nutritional and market values in Ibadan, Nigeria. J Appl Sci.
6(3):539-543.
Aranaz I, Mengibar M, Harris R, Panos I, Miralles B, Acosta N, Galed G, Heras A.
2009. Functional characterization of chitin and chitosan. Cur Chem Biol.
3:303-230.
Bautista-Banos S, Hernandez-Lauzardoa AN, Velazquez-del Valle MG,
Hernandez-Lopez M, Barka EA, Bosquez-Molina E, Wilson CL. 2006.
Chitosan as a potential natural compound to control pre and postharvest
diseases of horticultural commodities. Crop Prot. 25:108-118. doi:10.1016.
Bautista-Banos S, Hernandez-Lopez M, Bosquez-Molina E, Wilson CL. 2003.
Effects of chitosan and plant extracts on growth of Colletotrichum
gloeosporioides, anthracnose levels and quality of papaya fruit. Crop Prot.
22:1087-1092. doi:10.1016.
Cahyono B. 2010. Sukses Budi Daya Jambu Biji di Pekarangan dan Perkebunan.
Yogyakarta (ID): Lily Publisher.
[CABI] CAB International. 2007. Crop Protection Compendium (CD-ROM).
Wallingford (GB): CABI.
Crawford DL, Lynch JM, Whipps JM, Qusley MA. 1993. Isolation and
characterization of actinomyceteses antagonists of a fungal root phatogen.
Appl Environ Microbiol. [Internet]. [diunduh 2013 Jan 22]; 59(11):38993905. Tersedia pada:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articel/PMC182547/.
Dickman KB. 1994. Part V. Papaya: Anthracnose. Di dalam: Ploetz RC, Zentmyer
GA, Nishijima WT, Rohrbach KG, Ohr HD, editor. Compendium of Tropical
Fruit Diseases. St Paul (US): APS Press. hlm 58-59.
Droby S, Wisniewski ME, Cohen L, Weiss B, Touitou D, Eilam Y, Chalutz E. 1997.
Influence of CaCl2 on Penicillium digitatum, grape fruit peel tissue, and
biocontrol activity of Pichia guilliermondii. Phytopathology. 87(3):310-315.
El Ghaouth A, Ponnampalan R, Castaigne F, Arul J. 1992. Chitosan coating to
extend the storage life of tomatoes. HortScience. 27(9):1016-1018.
Franco-Gonzalez AC, Hernandez LR. 2009. Actinomycetes as biological control
agents of phytopathogenic fungi. Techno Chih. 3(2):64-73.
Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
George M, Anjumol, George G, Hatha AAM. 2011. Distribution and bioactive
potential of soil actinomycetes from different ecological habitats. Afric J
Microbiol Res. 6(10): 2265-2271. doi: 10.5897/AJMR11.856.
Guetsky R, Shtienberg D, Elad Y, Dinoor A. 2001. Combining biocontrol agents to
reduce the variability of biological control. Phytopathology. 91:621-627.
Hashem M, Alamri S. 2009. The biocontrol of postharvest disease (Botryodiplodia
theobromae) of guava (Psidium guajava L.) by the application of yeast
strains. Postharvest Biol Technol. 53:123-130.
Indratmi D. 2009. Penggunaan Debaryomyces sp. dan Schizosaccharomyces sp.
dengan adjuvant untuk pengendalian penyakit antraknosa pada mangga.
GAMMA. 5(1):13-20.

15
Ippolito A, Nigro F. 2000. Impact of postharvest of biological control agents on
postharvest disease of fresh fruit and vegetables. Crop Prot. 19:715-723
James WC. 1971. An illustrated series of assessment keys for plant diseases, their
preparation and usage. Can Plant Dis Surv. 51 (2):63.
Janisiewicz WJ, Korsten L. 2002. Biological control of postharvest diseases of
fruits. Annu Rev Phytopathol. 40:11-441.
Kefialew Y, Ayalew A. 2008. Postharvest biological control of anthracnose
(Colletotrichum gloeosporioides) on mango (Mangifera indica). Postharvest
Biol Technol. 50:8-11.
Kwok OCH, Fahy PC, Hoitink HAJ, Kuter GA. 1987. Interactions between bacteria
and Trichoderma hamatum in suppression of Rhizoctonia damping-off in
bark compost media. Phytopathology. 77(8):1206-1212.
Mattjik AA, Sumertajaya M. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Press.
Oskay M, Tamer AU, Azeri C. 2004. Antibacterial activity of some actinomycetes
isolated from farming soil of Tukey. African J Biotechnol. [internet].
[diunduh
2013
Apr
8];
3(9):441-446.
Tersedia
pada:
http://www.academicjournals.org/AJB.
Payne C, Bruce A. 2001. The yeast Debaryomyces hansenii as a short term
biological control agent against fungal spoilage of sawn Pinus sylvestris
Timber. Biol Contr. 22:22-28. doi:10.1008.
Rogis A, Pamekas T, Mucharromah. 2007. Karakteristik dan uji efikasi bahan
senyawa alami kitosan terhadap patogen pascapanen antraknosa. JIPI.
9(1):58-63.
Schaad Nw, Jones JB, Chun W. 2000. Laboratory Guide for Identification of Plant
Pathogenic Bacteria. Minnesota: APS Press.
Sitompul SK. 2013. Evaluasi keefektifan penghambatan beberapa agens biokontrol
terhadap pertumbuhan Marasmius palmivorus Sharples [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Soesanto L. 2006. Penyakit Pascapanen. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Sugiprihatini D, Wiyono S, Widodo. 2011. Selection of yeast antagonist as
biocontrol agent of mango fruit rot caused by Botryodiplodia theobromae.
Microbiol Indo. 5(4):154-159.
Todar K. 2008. Antimicrobial agents used in treatment of infection disease
[research report]. Madison (US): University of Wisconsin.
Vasyukova NI, Zinoveva SV, Iiinskaya LI, Perekhod EA, Chalenko GI,
Gerasimova NG, llina AV, Varlamov VP, Ozeretskovskaya OL. 2001.
Modulation of plant resistance ti diseases by water soluble chitosan and
polyphenols. Food Sci Tech Int. 13(4):317-322.

16

LAMPIRAN

17
Lampiran 1 Kitosan

B
A
Keterangan: Kitosan yang belum dilarutkan (A), kitosan yang sudah dilarutkan
dengan konsentrasi 1% (B)
Lampiran 2 Isolat agens antagonis khamir (YP) dan aktinomiset (APS5)

A
B
Keterangan: Biakan YP pada media PDA 7 HSI (A), dan biakan APS5 pada media
YCED 7 HSI (B)
Diameter pertumbuhan C. gloeosporioides pada masing-masing
perlakuan dari 1 hingga 7 HSI secara in vitro
Diameter koloni C. gloeosporioides (cm)
HSI
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
Kontrol
1.6
3.2
4.8
6.4
7.8
8.7
8.8
CT
0.8
1.5
2.2
2.9
3.4
3.8
3.9
YPmet
1.3
2.6
4.0
5.3
6.6
7.1
7.5
YPsus
1.2
2.0
2.4
2.8
3.5
3.7
3.9
APS5met
1.3
2.7
3.9
4.8
5.2
5.3
5.5
APS5sus
1.3
1.8
2.3
2.7
3.2
3.6
3.9
Ct+YPmet
1.0
2.0
2.8
3.8
4.4
4.8
5.1
Ct+YPsus
1.0
1.7
2.5
3.3
3.8
4.2
4.8
Ct+APS5met
0.8
1.7
2.6
3.8
4.9
6.0
6.6
Ct+APS5sm
1.0
1.8
2.6
3.4
4.0
4.2
4.5
YP+APS5met
1.5
3.0
4.5
5.9
6.7
7.2
7.4
YP+APS5sus
0.9
1.3
1.7
2.0
2.4
2.7
3.1

Lampiran 3

18

Lampiran 4 Pengaruh pemberian kitosan, khamir, aktinomiset, dan kombinasinya terhadap keparahan penyakit busuk antraknosa pada
buah jambu kristal dengan pengujian in vivo dengan inokulasi patogen dari 1 hingga 10 HSI
Perlakuan
Kontrol
CT+YP
CT+APS5
APS5
YP
CT
YP+APS5

1
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a

2
10.9a
6.2ab
6.2ab
6.2ab
6.2ab
6.2ab
4.7b

3
23.4a
21.9a
23.4a
20.3a
17.2a
18.7a
20.3a

Keparahan penyakit pada hari ke- (%)
4
5
6
7
8
23.4a
26.6a
32.8a
39.1a
40.6a
25.0a
25.0a
25.0b
31.2b
39.1ab
25.0a
25.0a
28.1ab
29.7b
32.8abc
25.0a
25.0a
25.0b
26.6b
31.2bc
23.4a
25.0a
28.1ab
29.7b
31.2bc
23.4a
25.0a
26.6b
28.1b
28.1c
23.4a
25.0a
25.0b
28.1b
28.1c

9
43.7a
40.6ab
32.8bc
34.4bc
32.8bc
28.1c
29.7c

10
60.9a
42.2b
35.9bc
34.4c
32.8c
32.8c
29.7c

Lampiran 5 Pengaruh pemberian kitosan, khamir, aktinomiset, dan kombinasinya terhadap keparahan penyakit busuk antraknosa pada
buah jambu kristal dengan pengujian in vivo tanpa inokulasi patogen dari 1 hingga 10 HSI
Keparahan penyakit pada hari ke- (%)
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kontrol
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
CT+YP
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
CT+APS5
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
1.2a
1.2a
1.2a
1.2a
2.5a
2.5a
APS5
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
YP
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
CT
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
YP+APS5
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a
0.0a

18

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Desember 1990 dari ayah
Cucun Amir Bakhtiar dan ibu Eti Rohayati. Penulis adalah putri kedua dari dua
bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Sindur II,
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tahun 2003.
Menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Ciwidey,
Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tahun 2006. Tahun
2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Margahayu Bandung dan pada tahun yang
sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Beasiswa Utusan Daerah dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Hama dan Penyakit Tanaman Setahun serta praktikum Dasar-Dasar Proteksi
Tanaman pada tahun ajaran 2012-2013. Penulis juga pernah aktif sebagai anggota
Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman periode 2012-2013 divisi Bisnis dan
Kewirausahaan.