Keefektifan Kitosan dan Aktinomiset dalam Pencegahan Busuk Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) Buah Cabai Merah

KEEFEKTIFAN KITOSAN DAN AKTINOMISET DALAM
PENCEGAHAN BUSUK ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici
(Syd.) Butler & Bisby) BUAH CABAI MERAH

RIZKY AMALLIA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ABSTRAK
RIZKY AMALLIA. Keefektifan Kitosan dan Aktinomiset dalam Pencegahan
Busuk Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) Buah Cabai
Merah. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA.
Antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum capsici merupakan salah
satu penyakit yang dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi cabai di
Indonesia. Kitosan dan aktinomiset kini mulai banyak digunakan untuk
mengendalikan berbagai penyakit tanaman. Studi ini bertujuan untuk
mengevaluasi keefektifan kitosan dan dua isolat aktinomiset dalam mencegah

penyakit busuk antraknosa cabai merah. Pengujian in vitro dilakukan dengan
metode makanan beracun dan pengujian in vivo dengan pelapisan larutan kitosan,
suspensi aktinomiset serta kombinasinya pada cabai merah. Percobaan dilakukan
dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Peubah yang diamati
meliputi pertumbuhan diameter koloni jamur C. capsici, hambatan relatif,
keparahan penyakit, dan ketegaran buah cabai merah. Hasil percobaan in vitro
menunjukkan bahwa suspensi aktinomiset isolat APS12, APS5, dan APS512
konsentrasi 10% efektif dalam menekan pertumbuhan C. capsici dengan tingkat
hambatan relatif mencapai 57%-72%. Pelapisan buah cabai dengan larutan CT,
kombinasi CTAPS5, dan kombinasi CTAPS12 pada uji in vivo efektif dalam
menekan infeksi C. capsici dan dapat memperpanjang daya simpan buah cabai
merah hingga 10 hari.
Kata kunci: kitosan, aktinomiset, C. capsici, pascapanen, cabai merah

ABSTRACT
RIZKY AMALLIA. The effectiveness of Chitosan and Actinomycetes in The
Prevention Anthracnose (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) on Red
Chilli. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA.
Anthracnose due to Colletotrichum capsici is one disease that can decrease
the quantity and quality of chillies production in Indonesia. Chitosan and

actinomycetes are now widely used in controlling various plant diseases. The
objectives of this research have been designed to evaluate the effectiveness of
chitosan and two isolates of actinomycetes in preventing anthracnose on red chilli.
In vitro test was conducted through baiting poisonous methods, while in vivo test
has been done by solution coating of chitosan, isolate actinomycetes of APS5 and
APS12, and their combination on the red chilli. The experiment had been done in
a completely randomized design with 4 replications. The variables observed were
the diameter growth of fungal colonies C. capsici, relative prevention growth,
disease severity, and the rigidity of red chilli. The results of in vitro experiment
showed that the concentration suspension of APS12, APS5, and APS512 (10%)
were effective in suppressing the growth of C. capsici with 57%-72% of relative
prevention growth. In vivo experiment showed that the coating of 1% CT,
CTAPS5, CTAPS12 could reduce disease severity of C. capsici and lengthen the
shelf life of red chilli until 10 days.
Keywords: chitosan, actinomycetes, C. capsici, postharvest, red chilli

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KEEFEKTIFAN KITOSAN DAN AKTINOMISET DALAM
PENCEGAHAN BUSUK ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici
(Syd.) Butler & Bisby) BUAH CABAI MERAH

RIZKY AMALLIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi

: Keefektifan Kitosan dan Aktinomiset dalam Pencegahan
Busuk Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler &
Bisby) Buah Cabai Merah
Nama Mahasiswa : Rizky Amallia
NIM
: A34090079

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
Ketua Departemen

Tanggal disetujui :

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT yang atas kuasa dan kehendak-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Keefektifan Kitosan dan Aktinomiset
dalam Pencegahan Busuk Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler &
Bisby) Buah Cabai Merah, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Mikologi,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari
bulan Februari 2013 sampai Juli 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Meity Suradji
Sinaga,M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi atas
perhatian, bantuan, arahan, dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. Penulis
juga menyampaikan terima kasih kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta temanteman penulis yang senantiasa memberikan perhatian, dorongan semangat, doa
dan kasih sayang selama penulis belajar. Semoga Allah SWT senantiasa
membalas segala amal ibadah dan kebaikan kepadanya. Penulis memohon maaf

bila dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Semoga skripsi ini
bermanfaat.

Bogor, September 2013
Rizky Amallia

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Metode
Penyediaan Isolat Patogen
Penyediaan Suspensi dan Metabolit Sekunder Aktinomiset

Pembuatan Larutan Kitosan
Penghambatan in vitro
Keefektifan in vivo
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Cendawan Patogen
Penghambatan Pertumbuhan C. capsici oleh Kitosan dan Aktinomiset
pada Uji In Vitro
Keefektifan Kitosan dan Aktinomiset dalam Penghambatan Antraknosa
pada Uji In Vivo
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
vii
vii
1

1
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
6
7
7
8
10
13
13
13
14

17

DAFTAR TABEL

1 Diameter koloni C. capsici setiap perlakuan pada uji in vitro dalam media
tumbuh PDA sampai 7 HSI
2 Tingkat hambatan relatif (THR) masing-masing perlakuan terhadap
pertumbuhan C. capsici pada media tumbuh PDA sampai 7 HSI
3 Keparahan penyakit antraknosa dan ketegaran buah cabai pada masingmasing perlakuan

8
9
11

DAFTAR GAMBAR

1 Skor keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai merah
2 Gejala busuk antraknosa pada buah cabai merah besar dan morfologi
koloni C. capsici pada media PDA berumur 7 hari
3 Aservulus cendawan C. capsici dengan seta dan konidia dibawah

mikroskop perbesaran 40x10
4 Perbedaan diameter koloni C. capsici pada uji in vitro 7 HSI pada
perlakuan CT, APS5ssp, APS12ssp, CTAPS5, CTAPS12, APS512ssp,
APS5met, APS512met, dan kontrol
5 Perbedaan ketegaran buah cabai pada uji in vivo yang dilapisi dengan
larutan kitosan, APS5, APS12, CTAPS5, CTAPS12, APS512, dan
kontrol pada 10 HSP

6
7
8

9

12

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diameter koloni C. capsici setiap perlakuan pada uji in vitro dalam media
tumbuh PDA sampai 7 hari setelah inokulasi (HSI)
2 Tingkat hambatan relatif (THR) masing-masing perlakuan terhadap

pertumbuhan C. capsici pada media tumbuh PDA sampai 7 HSI
3 Keparahan penyakit antraknosa buah cabai dengan inokulasi patogen pada
masing-masing perlakuan
4 Hasil transformasi arcsin data keparahan penyakit antraknosa buah cabai
dengan inokulasi patogen pada masing-masing perlakuan
5 Keparahan penyakit antraknosa buah cabai tanpa inokulasi patogen pada
masing-masing perlakuan
6 Ketegaran buah cabai 10 HSP berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis
7 Morfologi koloni aktinomiset APS5 (a) dan APS12 (b)
8 Tepung kitosan (a) dan larutan kitosan konsentrasi 1% (b)

18
19
20
21
22
23
24
24

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk kedalam 4 jenis sayuran
penting dunia dan merupakan salah satu sayuran unggulan yang banyak
dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena memiliki harga jual dan tingkat
konsumsi yang tinggi (FAO 2011, Prajnanta 2011). Konsumsi per kapita cabai di
Indonesia cenderung meningkat dari 1.35 kg pada tahun 2003 menjadi 1.47 kg
pada tahun 2007 (Syukur et al. 2012). Badan Pusat Statistik (2012) melaporkan
bahwa produktivitas cabai di Indonesia pada tahun 2011 baru mencapai 6.19
ton/ha dengan total produksi 1.4 juta ton. Jumlah tersebut masih belum dapat
mencapai jumlah total potensinya yaitu sebesar 12 ton/ha (Purwati et al. 2000).
Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu negara pengekspor cabai kering.
Sampai dekade 1970-an, jumlah ekspor cabai kering mencapai hampir 7000 ton
dengan nilai lebih dari US$3 juta. Namun, sejak 1974 ekspor ini terus merosot
karena ketidakmampuan dalam menjaga mutu cabai kering (Setiadi 2008). Salah
satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia
dan kendala dalam menjaga mutu cabai di Indonesia adalah adanya gangguan
hama dan penyakit dalam pelaksanaan produksi dan pengelolaan pascapanen
(Semangun 2000).
Setiadi (2008) melaporkan bahwa beberapa jenis penyakit yang sering
ditemui pada tanaman cabai antara lain antraknosa yang dikenal dengan penyakit
patek, penyakit tepung, penyakit layu dan berbagai jenis virus yang ditularkan
oleh hama. Namun, penyakit yang lebih sering menyerang buah cabai baik
sebelum panen maupun setelah panen adalah antraknosa. Penyakit antraknosa ini
dapat disebabkan oleh serangan cendawan Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. &
Bisby dan Gloeosporium piperatum Ell. & Ev. Kedua patogen tersebut dapat
menyerang buah yang masih muda. Gejala serangan G. piperatum dapat terlihat
pada buah yang masih mentah maupun yang sudah masak, sedangkan gejala
serangan cendawan C. capsici hanya dapat dijumpai di buah yang sudah masak
saja.
Permukaan buah yang terserang antraknosa biasanya akan terbentuk
lingkaran yang berlapis atau konsentris yang merupakan bentuk dari seta dan
konidia dari cendawan C. capsici. Bila serangan berlanjut, buah cabai cenderung
kering, mengerut, dan akhirnya membusuk (Roberts et al. 2001, Montri et al.
2009). Gejala yang disebabkan oleh penyakit ini sangat merugikan dan secara
langsung dapat menurunkan kualitas buah cabai merah. Oleh karena itu, adanya
patogen ini membuat buah cabai merah yang sudah dipanen tidak dapat bertahan
lama dan membuat buah cabai cepat membusuk. Antraknosa merupakan masalah
yang sering dihadapi dalam produksi cabai di sebagian besar wilayah tropis dan
subtropis dunia dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar (Montri et
al. 2009). Kusandriani (1996) melaporkan bahwa busuk antraknosa ini dapat
menurunkan produksi cabai hingga 75%. Infeksi buah yang menunjukkan gejala
dari antraknosa ini dapat mengurangi daya jual buah.
Saat ini varietas cabai komersial berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap
penyakit busuk antraknosa masih belum ada. Umumnya spesies cabai yang

2
memiliki ketahanan terhadap antraknosa berdaya hasil rendah dan bentuk buahnya
tidak disukai pasar (Syukur et al. 2009). Oleh karena itu, buah cabai yang
terserang antraknosa lebih sering dikendalikan dengan menggunakan berbagai
macam fungisida sintetik, diantaranya fungisida yang mengandung tembaga (Cu)
ataupun karbendazim (Martoredjo 2009). Namun, pengendalian dengan
menggunakan fungisida sintetik akan memberikan dampak yang tidak baik bagi
lingkungan dan kesehatan manusia, sehingga pengendalian secara alami saat ini
sangat dibutuhkan agar produk-produk pascapanen yang langsung dikonsumsi
bebas dari residu yang ditimbulkan dari bahan-bahan kimia berbahaya.
Pengendalian penyakit tanaman yang dilakukan dengan metode-metode alami
dapat menurunkan kejadian dan dampak negatif serta efek samping bagi
kesehatan manusia. Pengendalian hayati menjadi alternatif pengendalian yang
lebih aman terhadap manusia dan juga lingkungan dalam mengendalikan
pembusukan pascapanen (Sharma et al. 2009). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa beberapa jenis penyakit tanaman yang disebabkan oleh
patogen dapat dikendalikan secara alami dengan menggunakan kitosan dan
aktinomiset.
Kitosan adalah poli–(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) dengan
rumus molekul (C6H11NO4)n yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak
di alam setelah selulosa. Kitosan dapat diperoleh dari deasetilasi kitin cangkang
krustasea laut yang banyak dimanfaatkan di berbagai bidang seperti medis dan
farmasi, kosmetik, makanan, pengendalian penyakit tanaman serta meningkatkan
daya simpan produk pascapanen (El Gaouth et al. 1992, Okuzumi dan Fujii 2000,
Aranaz et al. 2009, Holipah 2010). Kitosan memperoleh banyak perhatian di
bidang pertanian karena bentuk dan sifatnya yang khas dalam menghambat
pertumbuhan banyak cendawan patogen dan kemampuannya sebagai elisitor
reaksi ketahanan tanaman (Hirano dan Nagao 1989, El Gaouth et al. 1992). Banos
et al. (2006) juga melaporkan bahwa kitosan merupakan senyawa alami yang
potensial untuk mengendalikan penyakit prapanen dan pascapanen komoditas
hortikultura. Sampai saat ini, kitosan telah terbukti dapat meningkatkan toleransi
tanaman terhadap berbagai patogen, efektif mengendalikan pembusukan produk
pascapanen selama penyimpanan serta menunda dan memperlambat timbulnya
infeksi yang disebabkan oleh patogen. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa pelapisan kitosan dengan konsentrasi 1-1.5% pada buah apel, kiwi, pir, dan
stroberi efektif mengendalikan busuk pada saat penyimpanan (Banos et al. 2006).
Liu et al. (2006) juga menunjukkan bahwa kitosan dapat menghambat
perkecambahan spora cendawan patogen penyebab kapang biru pada buah tomat,
Penicillium expansum dan Botrytis cinerea secara signifikan. Selain itu, penyakit
busuk buah pada kakao, kerdil hampa pada padi, busuk akar Fusarium pada
tomat, Potato Spindle Tuber Viroid pada daun tomat, dan antraknosa pada buah
pepaya juga dapat dikendalikan dengan kitosan (Nawar 2005, Kurzawinka 2007,
Hamdayanti et al. 2012, Simanjuntak 2012).
Kitosan telah disetujui sebagai makanan fungsional di beberapa negara Asia
seperti Jepang dan Korea karena beberapa studi telah menunjukkan bahwa
senyawa dari kitosan ini tidak beracun dan dapat digunakan sebagai bahan
pengawet alami dari kerusakan mikroba dalam industri makanan. Selain itu, dapat
pula digunakan dalam pembentukan produk ramah lingkungan, pemanfaatan
limbah dari pengolahan makanan, serta dapat bertindak sebagai serat makanan

3
dan bahan makanan fungsional. Kitosan juga telah digunakan dalam beberapa
produk suplemen nutrisi karena kemampuannya untuk mengikat lemak cukup
baik.
Selain menggunakan kitosan yang tidak patogenik pada tanaman,
pengendalian penyakit tanaman secara alami adalah menggunakan agens hayati.
Salah satu mikroba yang berpotensi dalam mengendalikan penyakit tanaman
adalah aktinomiset. Aktinomiset termasuk dalam filum Actinobacteria dari bakteri
gram positif berbentuk filamen dengan miselia aerial. Ukuran miselium umumnya
memiliki diameter 0.5-1.0 µm dengan panjang yang tidak tentu dan tidak
memiliki sekat pada fase vegetatif (Madigan et al. 1996). Aktinomiset hidup di
berbagai tempat di alam, membentuk spora, dan tersebar di tanah, air, dan
tanaman (George et al. 2011). Aktinomiset dapat menghasilkan struktur bertahan
berupa spora sebagai cara utama dalam melakukan pemencaran atau dispersal
yang dapat bertahan dalam kondisi yang tidak menguntungkan, seperti rendahnya
kadar air dan suhu tinggi serta dapat bertahan dalam waktu yang lama (Schaad et
al. 2000). Sebagian besar aktinomiset mampu menghasilkan spora dari ujungujung miselium yang terbentuk. Spora aktinomiset dikenal dengan eksospora
karena terbentuk tidak dari dalam sel serta memiliki dinding sel yang tidak terlalu
tebal (Janse 2005).
Aktinomiset memiliki peranan penting pada rizosfer, melindungi perakaran
dari serangan cendawan patogen dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman
(Crawford et al. 1993, Madigan et al. 1996). Aktinomiset juga memiliki
kemampuan untuk mensintesis banyak metabolit sekunder dan senyawa bioaktif
yang memiliki aktivitas biologi seperti antibiotik, antiparasitik, antibakteri,
antifungi, antioksidan, antitumor, antiviral dan enzim ekstraseluler (selulase dan
xylanase) yang penting dalam industri, obat-obatan, dan pertanian (Oskay et al.
2004, George et al. 2011). Sehingga, penggunaan aktinomiset juga dapat
dijadikan alternatif pengendalian penyakit tanaman.
Pemanfaatan beberapa antagonis dalam pengendalian penyakit tanaman
merupakan langkah perbaikan pendekatan pengendalian hayati. Menurut Mari dan
Guizzardi (1998), kombinasi teknik perlakuan efektif digunakan dalam
pengendalian penyakit cendawan pascapanen. Oleh karena itu, kerugian
pascapanen buah cabai akibat penyakit antraknosa pada masa yang akan datang
diharapkan dapat ditekan dengan menggunakan kitosan dan aktinomiset serta
kombinasinya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi keefektifan kitosan, aktinomiset, dan
kombinasinya dalam mencegah penyakit busuk antraknosa yang disebabkan oleh
cendawan C. capsici pada buah cabai merah.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh infomasi tentang potensi
kitosan, aktinomiset, dan kombinasinya sebagai alternatif pengendalian penyakit
tanaman yang ramah lingkungan khususnya penyakit busuk antraknosa buah cabai
merah.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari Februari
2013 hingga Juli 2013.
Metode
Penyediaan Isolat Patogen
C. capsici diisolasi dari buah cabai merah bergejala busuk antraknosa yang
diperoleh dari pasar Dramaga, Bogor. Isolasi patogen dilakukan dengan metode
penanaman jaringan. Bagian buah yang menunjukkan gejala dan tidak
menunjukkan gejala dipotong sepanjang 0.5 cm x 0.5 cm. Potongan jaringan buah
cabai tersebut didisinfeksi dengan alkohol 70% selama 3 menit, kemudian
direndam dalam natrium hipoklorit (NaOCl) 1% selama 3 menit, dibilas
menggunakan air steril sebanyak 3 kali pembilasan selama 3 menit, lalu
dikeringanginkan. Setelah kering, potongan jaringan buah cabai tersebut
ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dalam cawan petri dan
diinkubasi pada suhu ruang. Koloni C. capsici yang tumbuh dimurnikan pada
media PDA yang telah diberi cloramphenicol. Selanjutnya C. capsici berumur 7
hari digunakan untuk uji penghambatan in vitro dan uji keefektifan in vivo. Semua
kegiatan isolasi C. capsici dilakukan dalam kondisi aseptik di laminair flow.
Penyediaan Suspensi dan Metabolit Sekunder Aktinomiset
Isolat aktinomiset yang digunakan adalah jenis APS5 dan APS12 yang
merupakan koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman, IPB. Peremajaan aktinomiset dilakukan dengan menumbuhkan
inokulum melalui penggoresan sebanyak 1 lup pada media Casamino Acids-yeast
extract-glucose-agar (YCED) dan diinkubasi pada suhu ruang. Masing-masing
aktinomiset yang berumur 7 hari diinokulasikan ke dalam 10 ml media cair Luria
Broth (LB) sebanyak 1 lup lalu diinkubasi selama 4 hari pada inkubator
bergoyang dengan kecepatan 100 rpm. Media cair LB yang mengandung biakan
aktinomiset dimasukan ke dalam tabung eppendorf masing-masing sebanyak 1 ml,
lalu disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit pada suhu 25˚C
hingga didapatkan supernatan yang mengandung senyawa bioaktif aktinomiset.
Supernatan disaring dengan millipore ukuran 0.22 μm untuk memperoleh
senyawa metabolit yang steril. Sedangkan suspensi aktinomiset diperoleh dari
isolat aktinomiset yang telah diinkubasi selama 4 hari pada inkubator bergoyang.
Konsentrasi senyawa metabolit dan suspensi aktinomiset yang digunakan dalam
pengujian in vitro dan in vivo adalah 10%.
Pembuatan Larutan Kitosan
Kitosan diperoleh dari Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, yang berasal dari kulit udang. Konsentrasi
kitosan yang digunakan dalam perlakuan adalah 1%. Larutan kitosan sebanyak 1
gram dilarutkan dengan menggunakan 20 ml asam asetat 1.5% dan ditambahkan
dengan 80 ml aquades.

5
Penghambatan in vitro
Uji penghambatan in vitro dilakukan dengan menggunakan metode
makanan beracun pada media PDA yang mengandung kitosan, aktinomiset, dan
kombinasinya didalam cawan petri. Perlakuan yang diuji adalah
1. kitosan (CT),
2. suspensi APS5 (APS5ssp),
3. suspensi APS12 (APS12ssp),
4. kombinasi APS5 dan APS12 (APS512ssp),
5. metabolit APS5 (APS5met),
6. kombinasi metabolit APS5 dan APS12 (APS512met),
7. kombinasi kitosan dan APS5 (CTAPS5),
8. kombinasi kitosan dan APS12 (CTAPS12), dan
9. kontrol.
Isolat C. capsici yang berumur 7 hari dipotong dengan menggunakan cork
borer dengan diameter 7 mm, lalu ditanam di tengah media. Pengamatan
penghambatan kitosan, aktinomiset, dan kombinasinya dilakukan selama 7 hari
dengan mengukur diameter pertumbuhan C. capsici. Tingkat hambatan relatif
(THR) dari perlakuan yang diujikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
D1 – D2
THR =

x 100%
D1

Keterangan:
D1 : Diameter koloni kontrol (cm)
D1 : Diameter koloni perlakuan (cm)
Keefektifan in vivo
Uji keefektifan in vivo dilakukan untuk melihat pengaruh kitosan,
aktinomiset, dan kombinasinya terhadap buah cabai merah dengan inokulasi
patogen dan tanpa inokulasi patogen. Perlakuan tanpa inokulasi patogen bertujuan
melihat pengaruh perlakuan terhadap ketegaran buah cabai dan lamanya daya
simpan buah cabai. Perlakuan yang diuji adalah:
1. kitosan (CT),
2. suspensi APS5 (APS5ssp),
3. suspensi APS12 (APS12ssp),
4. kombinasi APS5 dan APS12 (APS512ssp),
5. kombinasi kitosan dan APS5 (CTAPS5),
6. kombinasi kitosan dan APS12 (CTAPS12), dan
7. kontrol.
Buah cabai yang digunakan adalah jenis cabai merah besar. Sampel buah
cabai dicuci dengan air bersih lalu direndam dalam akuades steril kemudian
dikeringanginkan di atas meja laminar. Pengujian dilakukan dengan perendaman
buah cabai pada larutan CT, APS5ssp, APS12ssp, CTAPS5, CTAPS12,
APS512ssp, dan kontrol selama 5 menit. Perlakuan dengan inokulasi patogen,
permukaan buah cabai terlebih dahulu dilukai dengan jarum steril lalu C. capsici
yang diambil dengan cork borer diameter 7 mm diinokulasikan pada permukaan
buah cabai. Sedangkan pada perlakuan tanpa inokulasi patogen, buah cabai
langsung dimasukkan kedalam nampan yang dialasi dengan kertas lembab dan

6
sedotan. Setiap nampan berisi 5 buah cabai sebagai unit percobaan. Selanjutnya,
nampan tersebut dibungkus dengan menggunakan plastik bening yang sudah
dilubangi dengan jarum untuk menjaga kelembaban.
Keefektifan kitosan, aktinomiset, dan kombinasinya diukur dengan
mengamati gejala yang muncul, mengamati ketegaran buah secara visual, dan
menghitung keparahan penyakit selama 10 hari setelah inokulasi (HSI).
Keparahan penyakit (KP) dihitung dengan menggunakan rumus:
Σ (jumlah sampel per kategori x skor keparahan)
KP =

x 100%
Jumlah sampel yang diamati x skor tertinggi

Skor tiap kategori serangan menurut James (1971) dengan modifikasi:

a

b

c

d

e

f

Gambar 1 Skor keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai merah yaitu skor
0 = 0 ≤ x ≤ 0.05% (a), 1 = 0.05 < x ≤ 1% (b), 2 = 1 < x ≤ 10% (c), 3 =
10 < x ≤ 25% (d), 4 = 25 < x ≤ 50% (e), 5 = > 50% (f)
Kategori ketegaran buah cabai setelah perlakuan adalah: **** = sangat tegar; ***
= tegar; ** = lunak; * = busuk.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada uji penghambatan in vitro dan
uji keefektifan in vivo yaitu rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 ulangan.
Data yang diperoleh dianalisis ragam (ANOVA) dengan menggunakan Microsoft
Office Excel 2013 dan program Statistical Analysis System for Windows (SAS)
versi 9.0. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Duncan
dengan taraf α = 5% (Mattjik et al. 2006). Ketegaran buah cabai diuji secara
nonparametrik dengan uji Kruskal-Wallis α = 1%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Cendawan Patogen
Cendawan patogen C. capsici diperoleh dari buah cabai merah yang
menunjukkan gejala busuk antraknosa. Gejala yang ditemukan berupa bercak
konsentris dengan bintik-bintik hitam dan bagian buah menjadi melekuk ke
dalam. Buah cabai yang seharusnya berwarna merah menjadi berwarna jerami,
mengerut, kering, dan terlihat jelas bintik-bintik hitam di permukaan buah yang
merupakan aservulus dari cendawan patogen tersebut (Gambar 2a). Gejala yang
ditemukan tersebut sesuai dengan pernyataan Roberts et al. (2001) bahwa gejala
antraknosa pada permukaan buah cabai yang disebabkan oleh C. capsici
umumnya ditemukan bercak berbentuk lingkaran yang berlapis atau konsentris
dari aservulus cendawan tersebut. Bila serangan berlanjut, buah cabai cenderung
kering, mengerut, dan membusuk.

a
Gambar 2

b

c

Gejala busuk antraknosa pada buah cabai merah besar (a) dan
morfologi koloni C. capsici pada media PDA berumur 7 hari bagian
permukaan atas (b) dan permukaan bawah (c)

Cendawan C. capsici dari buah cabai bergejala antraknosa yang diisolasi
pada media PDA menghasilkan koloni berwarna putih keabu-abuan pada
permukaan atas, miselium berwarna putih kelabu (Gambar 2b), dan pada dasar
koloni berwarna hitam melingkar seperti cincin (Gambar 2c). Pada 7 hari setelah
inkubasi, diameter koloni C. capsici dapat mencapai 65-80 mm. Menurut Roberts
et al. (2001), koloni miselium C. capsici pada media PDA membentuk lingkaran
konsentris berwarna abu-abu dan putih dengan aservuli hitam dan konidia
berbentuk sabit dengan laju pertumbuhan berkisar antara 5.64-7.28 mm per hari.
Karakteristik yang serupa dari koloni C. capsici pada media PDA juga
dikemukakan oleh Sangdee et al. (2011) yaitu menghasilkan koloni seperti kapas
dengan warna putih keabu-abuan hingga abu-abu gelap pada permukaan ventral
sedangkan kebalikan dari koloni berwarna hitam dan melingkar.
Pengamatan mikroskopis biakan C. capsici pada media PDA menunjukkan
adanya aservuli (Gambar 3) dengan banyak seta yang berwarna coklat, kaku,
bersekat, panjang dan meruncing keatas (Gambar 3a). Selain itu ditemukan pula
konidia hialin tanpa sekat, runcing pada ujungnya membentuk seperti bulan sabit,
bersel tunggal, dan mengelompok (Gambar 3b). Hasil tersebut sesuai dengan yang
pernah dilaporkan Semangun (2000), Martoredjo (2009), dan Sangdee et al.
(2011) bahwa cendawan C. capsici memiliki aservulus berwarna hitam
berdiameter 100 µm dengan seta berwarna cokelat berukuran 75-100 x 2-6.2 µ m
dan konidia berwarna hialin, berbentuk tabung (silindris), ujungnya tumpul atau
bengkok seperti sabit, bersel tunggal, dan bersekat dengan rata-rata panjang dan

8
lebar konidia bervariasi yaitu masing-masing antara 23.5-35.0 µm dan 2.5-3.75
µm. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa isolat
Colletotrichum dari buah cabai merah yang diisolasi adalah C. capsici.
a
b

Gambar 3

Aservulus cendawan C. capsici dengan seta (a) dan konidia (b)
dibawah mikroskop perbesaran 40x10

Penghambatan Pertumbuhan C. capsici oleh Kitosan dan Aktinomiset pada
Uji In Vitro
Berdasarkan hasil uji penghambatan in vitro diketahui bahwa penambahan
kitosan, aktinomiset dan kombinasinya mampu menekan pertumbuhan koloni
patogen C. capsici dibandingkan dengan kontrol. Pada awalnya, perlakuan
aktinomiset hanya akan menggunakan senyawa metabolit sekundernya saja.
Namun, pada saat pengujian ditemukan bahwa adanya pertumbuhan koloni
aktinomiset justru memberi penghambatan yang sangat baik terhadap
pertumbuhan C. capsici. Sedangkan perlakuan senyawa metabolit aktinomiset saja
justru tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan C. capsici. Perlakuan senyawa
metabolit APS12 tidak dilakukan karena senyawa metabolit yang dihasilkan
hanya cukup digunakan dalam kombinasi APS512. Sehingga hanya perlakuan
senyawa metabolit APS5 dan APS512 saja yang dapat dilakukan dalam pengujian
in vitro ini.
Tabel 1 Diameter koloni C. capsici setiap perlakuan pada uji in vitro
media tumbuh PDA sampai 7 HSI
Diameter koloni C. capsici (cm)a
HSI
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
Kontrol
1.05b
2.05b 3.00a
3.93a
4.80a 5.75a
APS5met
1.45a
2.10b 3.30a
4.30a
5.15a 6.00a
APS512met
1.38a
2.45a 3.08a
4.15a
4.90a 5.80a
CT
0.70d
1.18d 1.78c
2.48c
3.30b 4.08b
CTAPS5
0.80cd 1.50c 2.15b
2.88b
3.70b 4.35b
CTAPS12
0.90c
1.50c 2.08bc 2.73bc 3.50b 4.15b
APS5ssp
0.83cd 1.53c 1.83bc 2.08d
2.30c 2.48c
APS12ssp
0.70d
0.95d 1.10d
1.35e
1.48d 1.68d
APS512ssp
0.78cd 1.13d 1.30d
1.75d
1.75d 2.10cd
a

dalam

7
6.43a
6.65a
6.63a
4.80b
4.80b
4.85b
2.75c
1.80d
2.28cd

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.

9
Pada Tabel 1 dan Gambar 4 terlihat bahwa pada media PDA dengan
suspensi APS12, APS512, dan APS5 pada 7 hari setelah inokulasi (HSI), koloni
patogen memiliki diameter paling kecil dibandingkan dengan perlakuan lain,
termasuk terhadap kontrol. Sedangkan perlakuan senyawa metabolit APS5 dan
APS512 menunjukkan diameter koloni patogen yang hampir sama dengan
kontrol.

a

c

b

d

e

g

h
i
Gambar 4 Perbedaan diameter koloni C. capsici pada uji in vitro 7 HSI pada
perlakuan CT (a), APS5 ssp (b), APS12 ssp (c), CTAPS5 (d),
CTAPS12 (e), APS512 ssp (f), APS5 met (g), APS512 met (h), dan
kontrol (i)
f

Tabel 2

Tingkat hambatan relatif (THR) masing-masing perlakuan terhadap
pertumbuhan C. capsici pada media tumbuh PDA sampai 7 HSI
THR (%)a
HSI
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
APS12ssp
33.18a
53.57a 63.34a 65.68a 69.31a 70.91a 72.03a
APS512ssp
25.91ab 45.18a 56.81a 55.47b 63.57a 63.43ab 64.60ab
APS5ssp
21.14ab 25.42b 39.25b 47.29b 52.28b 57.15b 57.30b
CT
33.20a
42.55a 40.78b 36.93c 31.25c 29.13c 25.30c
CTAPS12
13.86b
26.73b 29.16b 30.52c 27.03c 27.75c 25.28c
CTAPS5
23.64ab 26.73b 28.27b 26.69c 22.93c 24.30c 24.50c
APS5met
-38.20c
-2.25c -10.07c -9.60d
-7.28d
-4.35d
-3.48d
APS512met
-31.15c -19.58d
-2.48c -5.75d
-1.38d
-0.88d
-3.13d
a

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5% dan koefisien keragaman = 19.88. Data ditransformasi menggunakan
transformasi arcsin.

Berdasarkan tingkat hambatan relatif (THR) perlakuan terhadap
pertumbuhan C. capsici pada Tabel 2, terlihat bahwa APS12ssp, APS5ssp, dan
APS512ssp memberikan penghambatan yang cukup besar pada 7 HSI yaitu
57.3%-72%. Sedangkan perlakuan CT, CTAPS5, dan CTAPS12 kurang mampu
menghambat pertumbuhan koloni patogen yaitu hanya sebesar 25% saja.
Penggunaan senyawa metabolit APS5 dan APS512 terlihat tidak menunjukkan
penghambatan terhadap pertumbuhan C. capsici (Tabel 2). Pertumbuhan patogen
yang diberi perlakuan tersebut bahkan nampak lebih cepat dibandingkan dengan
kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan senyawa metabolit saja
tanpa disertai dengan adanya pertumbuhan koloni aktinomiset pada media PDA
belum mampu menghambat pertumbuhan koloni C. capsici.

10
Penggunaan senyawa metabolit aktinomiset yang tidak efektif ini diduga
dapat dikarenakan senyawa metabolit ikut tersaring pada saat penyaringan
supernatan dengan millipore dan dimungkinkan pula aktinomiset yang berumur 4
hari dengan pengenceran sampai 10% belum cukup untuk menghasilkan enzim
ataupun senyawa metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan C. capsici.
Selain itu, ada beberapa kelemahan yang membuat senyawa bioaktif dari
aktinomiset menjadi kurang efektif antara lain pertumbuhan dan produksi
senyawa bioaktif antimikrob atau senyawa metabolit yang dihasilkan sangat
lambat pada media agar, konsentrasi senyawa metabolit yang dihasilkan rendah,
atau senyawa metabolit tersebut terurai oleh organisme lain (Sariyanto 2006).
Penggunaan suspensi aktinomiset yang mampu menekan pertumbuhan
patogen C. capsici secara efektif diduga bahwa adanya pertumbuhan koloni
aktinomiset pada media meskipun pertumbuhannya lambat, tetap mampu
memproduksi senyawa metabolit sekunder yang dapat menghambat tumbuhnya
patogen C. capsici. Franco dan Hernandez (2009) melaporkan bahwa mekanisme
penekanan penyakit yang dilakukan oleh aktinomiset terdiri dari antibiosis,
persaingan nutrisi dan ruang, dan parasitisme. Namun, dalam percobaan ini hanya
dapat terlihat mekanisme penghambatan suspensi aktinomiset yaitu
kemampuannya dalam menghasilkan senyawa tertentu dan berkolonisasi pada
ruang atau media untuk memperoleh nutrisi, dapat menghambat atau bahkan
mematikan patogen.
Penghambatan kitosan terhadap pertumbuhan C. capsici diduga dapat terjadi
melalui sifat antifungi dari spektrum luas gugus amino dalam bentuk asetil amino
(HCOCH3) dan glukosamine (C6H9NH2). Gugus amino tersebut dapat berikatan
dengan bagian makromolekul yang bermuatan negatif dari polikationik alami
pada permukaan sel cendawan. Oleh karena itu, pertumbuhan cendawan akan
terhambat (Restuati 2008). Bentuk hifa dari koloni C. capsici pada pemberian CT,
CTAPS5, dan CTAPS12 yang melingkar dan berwarna sangat hitam di bagian
permukaan atas koloni nampak berbeda jika dibandingkan dengan pertumbuhan
koloni pada kontrol (Gambar 4). Hal tersebut diduga dapat dikarenakan adanya
mekanisme kitosan yang tidak hanya mampu menghambat pertumbuhan patogen
tetapi juga menunjukkan perubahan morfologi, struktur, dan susunan molekuler
sel cendawan (Benhamou 1996 dalam Banos et al. 2006). Selain itu, Ratih (2011)
juga melaporkan bahwa pada pemberian kitosan konsentrasi 1-6% dapat
memperkecil pertumbuhan diameter koloni, memperlama masa inkubasi, dan
mengurangi kerapatan sporangium cendawan.
Keefektifan Kitosan dan Aktinomiset dalam Penghambatan Busuk
Antraknosa pada Uji In Vivo
Berdasarkan hasil uji in vivo dengan inokulasi patogen diketahui bahwa
pelapisan kitosan, aktinomiset dan kombinasinya mampu menekan keparahan
penyakit antraknosa oleh patogen C. capsici dibandingkan dengan kontrol (Tabel
3). Keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai mulai terlihat berbeda nyata
dengan kontrol pada 5 HSI, artinya penghambatan kitosan, aktinomiset dan
kombinasinya baru mulai terjadi pada 5 HSI. Pada 10 HSI terlihat bahwa
keparahan penyakit pada kontrol sudah mencapai 60%, sedangkan pada perlakuan
keparahan penyakit baru mencapai 40%. Perkembangan penyakit antraknosa
dengan masih timbulnya gejala pada buah cabai yang diberi perlakuan bukan

11
dikarenakan agens antagonis yang digunakan tidak efektif, namun kondisi
lingkungan memang diatur sesuai untuk timbulnya infeksi patogen C. capsici
melalui pelukaan jaringan pada permukaan buah cabai.
Tabel 3 Keparahan penyakit antraknosa dan ketegaran buah cabai pada masingmasing perlakuan
Keparahan penyakit (%) pada n HSIa
Ketegaran
Perlakuan
Dengan inokulasi patogen
Tanpa inokulasi patogen
buahb
3
5
7
9
10
3
5 7 9
10
Kontrol
18a 37a 47a 52a 60a
0a 0a 0a 0a
0a
*
CT
14a 23b 30b 40b 41b
0a 0a 0a 0a
0a
***
APS5ssp
12a 21b 33b 40b 45b
0a 0a 2a 3a
3a
**
APS12ssp 17a 20b 27b 41b 43b
0a 2a 2a 2a
2a
**
CTAPS5
13a 21b 30b 43b 46b
0a 0a 0a 0a
0a
***
CTAPS12 18a 23b 29b 41b 42b
0a 0a 0a 0a
0a
****
APS512ssp 18a 24b 32b 40b 42b
0a 0a 2a 3a
3a
**
a

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5% dengan koefisien keragaman = 13.71. Data ditransformasi
menggunakan transformasi arcsin. bKeterangan tanda menunjukkan * busuk, ** lunak, *** tegar,
**** sangat tegar dan diuji dengan metode nonparametrik berdasarkan uji Kruskal-Wallis α=1%

Kemampuan kitosan, aktinomiset, dan kombinasinya
menghambat
pertumbuhan C. capsici yang diinokulasikan pada buah cabai diduga terjadi
karena mekanisme yang dapat menghambat aktivitas peroksidase dan merusak
produksi aktivitas virulensi fungi seperti enzim pendegradasi dinding sel
(polygalacturonase, pectate lyase, dan selulase) (Reddy 1998). Kitosan sudah
dilaporkan efektif dalam mengendalikan berbagai penyakit pascapanen saat
penyimpanan pada beberapa komoditas seperti buah apel, kiwi, stroberi, dan pir
dengan cara menunda infeksi dan memperlambat proses infeksi patogen (Banos et
al. 2006). Aktinomiset dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang bersifat
antimikrob maupun enzim. Namun, penggunaan aktinomiset dalam
mengendalikan patogen penyebab penyakit pascapanen dan kemampuannya
dalam menjaga ketegaran buah belum banyak diketahui.
Efek positif yang diharapkan dengan pelapisan kitosan, aktinomiset, dan
kombinasinya berhubungan dengan kemampuan daya simpan buah dan sayur.
Pada pengujian in vivo ini, daya simpan buah cabai dapat ditunjukkan dengan
mengamati ketegaran buah cabai yang diberi perlakuan tanpa inokulasi patogen.
Berdasarkan hasil pengujian, keparahan penyakit antraknosa tidak berbeda nyata
untuk semua perlakuan. Munculnya gejala antraknosa pada beberapa buah cabai
diduga bahwa patogen C. capsici memang sudah berada didalam buah cabai
ketika di pertanaman. Pada kondisi lingkungan yang sesuai pada saat dilakukan
pengujian sangat memungkinkan timbulnya gejala antraknosa tersebut. Hal
tersebut menunjukkan bahwa penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
cendawan C. capsici bersifat laten.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa buah cabai yang direndam dengan CTAPS12
tanpa inokulasi patogen efektif dalam menjaga ketegaran buah cabai. Hal ini
terlihat pada buah cabai yang masih terlihat segar, tidak lunak dan tidak mengerut
sampai 10 hari setelah perlakuan (HSP), sedangkan pada kontrol terlihat sudah
lunak dan busuk (Gambar 5). Kombinasi kitosan dan aktinomiset APS12 sangat

12
baik diduga karena keduanya dapat bekerja secara sinergis. Adanya sinergitas
antara kitosan dan aktinomiset ini dapat menjadi kombinasi teknik perlakuan yang
efektif digunakan dalam pengendalian penyakit cendawan pascapanen. Selain itu,
pelapisan buah cabai dengan CT dan CTAPS5 juga menunjukkan hasil yang
cukup baik, meskipun pada beberapa buah cabai terlihat sudah mengerut. Banos et
al. (2006) melaporkan bahwa kitosan memiliki sifat preventif daripada efek
kuratif. Oleh karena itu, pada buah yang direndam dalam larutan kitosan dan
suspensi aktinomiset 10% mampu menghambat serangan patogen pada buah
cabai.

c

b

a

e

f

d

g

Gambar 5 Perbedaan ketegaran buah cabai pada uji in vivo yang dilapisi dengan
larutan kitosan (a), APS5 (b), APS12 (c), CTAPS5 (d), CTAPS12 (e),
APS512 (f), dan kontrol (g) pada 10 HSP
Buah cabai pada kontrol mulai mengalami perubahan menjadi mengerut dan
lunak pada 4 HSP, sedangkan pada buah cabai yang dilapisi dengan kitosan masih
dalam keadaan tegar, tidak lunak, dan belum mengalami fase maserasi sampai 10
HSP. Oleh karena itu, dengan adanya perlakuan tersebut dapat menunjukkan
peningkatan daya simpan buah cabai. Hal ini mungkin terjadi karena menurut
Banos et al. (2006), kitosan dapat digunakan sebagai elisitor eksogenus respon
ketahanan inang, mengakumulasi kitinase, menginduksi lignin, mensintesis
fitoaleksin oleh jaringan inang yang terinfeksi dan menghambat enzim maserasi
jaringan inang. Kitosan yang digunakan sebagai pelapis umumnya menyebabkan
tingkat respirasi dan kadar air menurun. Bentuk kitosan yang semipermeabel
mengontrol perpindahan gas dan menurunkan kehilangan transpirasi dan
menghambat kematangan buah. Jika proses pematangan buah dapat dihambat,
ketegaran buah cabai dapat dipertahankan dalam waktu yang lebih lama, sehingga
masa simpan buah cabai dapat diperpanjang.

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan in vitro dan in vivo perlakuan kitosan, suspensi
aktinomiset dan kombinasinya mampu menekan pertumbuhan koloni cendawan
patogen C. capsici pada media PDA dan menekan keparahan penyakit antraknosa
pada pascapanen buah cabai, serta dapat memperpanjang umur simpan buah
hingga 10 hari. Kombinasi kitosan (1%) dan suspensi aktinomiset (10%) dapat
menjadi teknik perlakuan yang efektif untuk menghambat busuk antraknosa pada
buah cabai dibandingkan hanya dengan perlakuan tunggal.
Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh, perlu dilakukan penelitian lanjut untuk
mengetahui konsentrasi kitosan, aktinomiset, serta umur aktinomiset yang tepat
dalam menghasilkan enzim atau metabolit sekunder secara optimal dan mampu
menghambat C. capsici tetapi tetap menjaga produk pangan yang aman
dikonsumsi manusia. Selain itu, perlu dikembangkan pula metode yang lebih
sesuai, agar dapat diperoleh senyawa metabolit yang murni dalam jumlah dan
konsentrasi yang efektif dalam menekan aktivitas cendawan patogen.

DAFTAR PUSTAKA
Aranaz I, Mengibar M, Harris R, Panos I, Miralles B, Acosta N, Galed G, Heras
A. 2009. Functional characterization of chitin and chitosan. Cur Chem Biol.
[Internet]. [diunduh 2012 Sept 14]; 3(2009):303-230. Tersedia pada:
http://benthamscience.com/ccb/openacsesarticle/ccb3-2/0009CCB.pdf.
Banos SB, Lauzardoa ANH, Vallea MHL, Barkab EA, Molinac EB, Wilsond CL.
2006. Chitosan as a potential natural compound to control pre and
postharvest diseases of horticultural commodities. Crop Prot. [Internet].
[diunduh 2012 Sept 14]; 25(2006):108-118. Tersedia pada:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0261219405001110.
Crawford DL, Lynch JM, Whipps JM, Ousley MA. 1993. Isolation and
characterization of actinomycete antagonists of a fungal root pathogen. App
Env Microbiol. [Internet]. [diunduh 2013 April 11]; 59(11): 3899-3905.
Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC182547/.
El Gaouth A, Ponnampalam R, Castaigne F, Arul J. 1992. Chitosan coating to
extend the storage life of tomatoes. Hort Sci. [Internet]. [diunduh 2012
Desember 17]; 27(9):1016-1018. Tersedia pada: http://hortsci.
ashspublications.org/content/27/9/1016.abstract.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2011.
Production data. [Internet]. [diunduh 2013 April 11]. Tersedia pada:
http://faostat.fao.org/.
Franco ACG, Hernandez LR. 2009. Actinomycetes as a biological control agents
of phytopathogenic fungi. Techno Chih. [Internet]. [diunduh 2013 April 11];
3(2): 64–73. Tersedia pada: http://tecnociencia.uach.mx/numeros/v3n2/data/Actinomycetes_as_biological_control_agents_of_phytopathogenic_fungi.
pdf.
George M, Anjumol, George G, Hatha AAM. 2011. Distribution and bioactive
potential of soil actinomycetes from different ecological habitats. Afric J
Microbiol Res. [Internet]. [diunduh 2013 April 11]; 6(10): 2265-2271. doi:
10.5897/AJMR11.856.
Hamdayanty, Yunita R, Amin NN, Damayanti TA. 2012. Pemanfaatan kitosan
untuk mengendalikan antraknosa pada pepaya (Colletotrichum
gloeosporioides) dan meningkatkan daya simpan buah. Fitopatol Indo.
[Internet]. [diunduh 2013 April 11]; 8(4): 97-102. Tersedia pada:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jfiti/article/view/6779/5212.
Hirano A, Nagao N. 1989. Effects of chitosan, pectic acid, lysozyme and chitinase
on the growth of several phytopathogens. Agric Biol Chem. [Internet].
[diunduh 2013 April 11]; 11(1989): 3065-3066. Tersedia pada:
http://ci.nii.ac.jp/els/110006324114.pdf?id=ART0008331431&type=pdf&la
ng=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_sw=&no=1365923364&
cp=.
Holipah, SN. 2010. Aplikasi kitosan sebagai pengawet alami dalam meningkatkan
mutu simpan produk pascapanen. [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 2].
Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/ 27828.
James WC. 1971. An illustrated series of assessment keys for plant diseases, their
preparation and usage. Can Plant Dis Surv. 51(2): 63.

15
Janse JD. 2005. Phytobacteriology: Principle and Practice. [Internet].
Wallingford (GB): CAB International Publishing; [diunduh 2013 April 11].
Tersedia pada: http://bookshop.cabi.org/Uploads/Books/PDF/9781845930257/9781845930257.pdf
Kurzawinka H. 2007. Potential use of chitosan in the control of lettuce pathogens.
[Internet]. Poland (PL): Krakow Department of Plant Protection; [diunduh
2012 Sept 14]. Tersedia pada: www.ptchit.lodz.pl/pliki/ PTChit_(otxwq05kc7794z7j). pdf.
Kusandriani Y. 1996. Pembentukan Hibrida Cabai. Bandung (ID): Balai
Penelitian Tanaman Sayuran.
Liu J, Tian S, Meng X, Xu Y. 2006. Effects of chitosan on control of postharvest
diseases and physiological responses of tomato fruit. Postharv Biol Tech.
[Internet]. [diunduh 2012 Sept 14]; 44(2007):300-306. Tersedia pada:
http://tianlab.ibcas.ac.cn/04fbwz/2007/liujia-2007-PBT.pdf.
Madigan MT, John MM, dan Jack P. 1996. Brock Biology of Microorganisms 8th
edition. New Jersey (US): Prentice-Hall.
Mari M, Guizzardi M. 1998. The postharvest phase: emerging technologies for the
control of fungal diseases. Phytoparasitica. 26(1):59-66.
Martoredjo T. 2009. Ilmu Penyakit Pascapanen. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Mattjik AA, Sumertajaya M. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Press.
Montri P, Taylor PWJ, Mongkolporn O. 2009. Pathotypes of Colletotrichum
capsici, the causal agent of chili anthracnose, in Thailand. Plant Dis.
[Internet]. [diunduh 2012 Sept 14]; 93:17-20. doi:10.1094/PDIS-93-1-0017.
Nawar LS. 2005. Chitosan and three Trichoderma spp. to control Fusarium crown
and root rot of tomato in Jeddah, Kingdom Saudi Arabia. Egypt J
Phytopathol. [Internet]. [diunduh 2012 Sept 14]; 33(2005): 45-58. Tersedia
pada:
http://www.onasseef.kau.edu.sa/Files/195/Researches/5620026534.
pdf.
Okuzumi M, Fujii T. 2000. Nutrinional and Functional Properties of Squid and
Cuttlefish. Japan Translation Center, Ltd, penerjemah. Tokyo (JP):
Terjemahan dari: Ika no Eiyo kino Seibun.
Oskay M, Tamer AU, Azeri C. 2004. Antibacterial activity of some actinomycetes
isolated from farming soils of Turkey. Afric J Biotechnol. [Internet].
[diunduh 2013 April 11]; 3(9): 441-446. Tersedia pada:
http://www.academicjournals.org/AJB.
Prajnanta F. 2011. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya.
Purwati E, Jaya B, Duriat AS. 2000. Penampilan beberapa varietas cabai dan uji
resistensi terhadap penyakit virus kerupuk. J Hort. [Internet]. [diunduh 2013
April 11]; 10(2): 88-94. Tersedia pada: http://www.pustaka.litbang.
deptan.go.id/bptpi/lengkap/IPTANA/fullteks/okt05/JHORTI/2000/NO2/1.p
df.
Ratih S. 2011. Uji daya hambat kitosan dalam media pertumbuhan jamur
Phytophthora palmivora Butl. penyebab penyakit busuk buah kakao
(Theobroma cacao L.). Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sains dan
Teknologi IV; 2011 Nov 29-30; Bandar Lampung. Bandar Lampung (ID):
Santek.

16
Restuati M. 2008. Perbandingan chitosan kulit udang dan kulit kepiting dalam
menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus. Di dalam: Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi; 2008 Nov 17; Bandar Lampung.
Bandar Lampung (ID): Satek. hlm 582-590.
Roberts PD, Pernezny KL, Kucharek TA. 2001. Anthracnose on pepper in
Florida. [Internet]. Gainesville (US): University of Florida, IFAS Extension;
[diunduh 2013 April 11]. Tersedia pada: http://edis.ifas.ufl.edu.
Sangdee A, Sachan S, Khankhum S. 2011. Morphological, pathological and
molecular variability of Colletotrichum capsici causing anthracnose of chilli
in the North-east of Thailand. Afric J Microbiol Res [Internet]. [diunduh
2013
April
11];
5(25):4368-4372.
Tersedia
pada:
http://www.academicjournals.org/ajmr/pdf/pdf2011/9Nov/Sangdee%20et%
20al.pdf. DOI: 10.5897/AJMR11.476.
Sariyanto N. 2006. Eksplorasi agens antagonis yang berpotensi menekan penyakit
layu Fusarium pada pisang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2000. Laboratory Guide for Identification of
Plant Pathogenic Bacteria. St. Paul (US): APS Press.
Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Ed
ke-4. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Setiadi. 2008. Bertanam Cabai. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Sharma RR, Dinesh S, Rajbir S. 2009. Biological control of postharvest diseases
of fruits and vegetables by microbial antagonists: A review. Biol Contr.
[Internet]. [diunduh 2012 Desember 17]; 50(2009): 205–221. Tersedia pada:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S10499644090012-36.
Simanjuntak VTA. 2012. Pengaruh kitosan terhadap penyakit kerdil hampa pada
tanaman padi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J, Widodo. 2009. Ketahanan terhadap
antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum pada beberapa
genotipe cabai (Capsicum annuum L.) dan korelasinya dengan kandungan
kapsaicin dan peroksidase. J Agron Indones. [Internet]. [diunduh 2012 Sept
19]; 37(3): 233-239. Tersedia pada: http://journal.ipb.ac.id/index.php/
jurnalagronomi/article/viewFile/1240/346.
Syukur M, Yunianti R, Dermawan R. 2012. Sukses Panen Cabai Tiap Hari.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

LAMPIRAN

18
Lampiran 1 Diameter koloni C. capsici setiap perlakuan pada uji in vitro dalam
media tumbuh PDA sampai 7 hari setelah inokulasi (HSI)
HSI
Diameter koloni C. capsici (cm)a
Perlakuan
ul
1
2
3
4
5
6
7
1
1.0
2.0
2.9
3.9
4.7
5.7
6.4
2
1.0
2.0
3.0
4.0
4.9
5.9
6.5
Kontrol
3
1.1
2.1
3.1
4.0
4.9
5.8
6.5
4
1.1
2.1
3.0
3.8
4.7
5.6
6.3
1
0.7
1.2
1.8
2.5
3.3
4.0
4.9
2
0.7
1.3
1.9
2.6
3.5
4.3
5.0
CT
3
0.7
1.1
1.7
2.4
3.2
4.0
4.7
4
0.7
1.1
1.7
2.4
3.2
4.0
4.6
1
0.7
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
1.9
2
1.0
2.0
2.6
3.0
3.4
3.7
4.1
APS5 ssp
3
0.8
1.5
1.8
2.0
2.2
2.4
2.7
4
0.8
1.3
1.5
1.8
2.0
2.1
2.3
1
0.7
1.0
1.1
1.3
1.4
1.7
1.8
2
0.7
1.0
1.2
1.5
1.6
1.8
2.0
APS12 ssp
3
0.7
1.1
1.2
1.5
1.6
1.8
1.9
4
0.7
0.7
0.9
1.1
1.3
1.4
1.5
1
0.8
1.6
2.2
3.0
3.5
4.0
4.5
2
0.8
1.5
2.2
2.9
3.9
4.5
5.1
CTAPS5
3
0.8
1.5
2.1
2.7
3.7
4.4
4.9
4
0.8
1.4
2.1
2.9
3.7
4.5
4.9
1
1.0
1.6
2.2
2.7
3.4
3.8
4.5
2
0.9
1.5
2.0
2.7
3.4
4.1
4.7
CTAPS12
3
0.8
1.4
2.0
2.7
3.5
4.2
4.8
4
0.9
1.5
2.1
2.8
3.7
4.5
5.2
1
0.7
0.7
0.9
1.8
1.8
2.5
2.9
APS512
2
0.9
1.4
1.5
1.7
1.7
1.8
1.9
ssp
3
0.8
1.3
1.5
2.0
2.0
2.1
2.3
4
0.7
1.1
1.3
1.5
1.5
2.0
2.0
1
1.4
1.9
3.3
4.2
5.0
5.8
6.7
2
1.4
1.9
3.4
4.5
5.5
6.4
7.1
APS5 met
3
1.5
2.3
3.2
4.2
5.1
5.9
6.5
4
1.5
2.3
3.3
4.3
5.0
5.9
6.3
1
1.2
2.4
2.8
3.9
4.6
5.6
6.5
APS512
2
1.5
2.5
3.3
4.4
5.0
6.0
6.9
met
3
1.5
2.4
3.1
4.1
5.0
5.8
6.6
4
1.3
2.5
3.1
4.2
5.0
5.8
6.5

19
Lampiran 2 Tingkat hambatan relatif (THR) masing-masing perlakuan terhadap
pertumbuhan C. capsici pada media tumbuh PDA sampai 7 HSI
HSI
THR (%)
Perlakuan
ul
1
2
3
4
5
6
7
1
30.0
40.0
37.9
35.9
29.8
29.8 23.4
2
30.0
35.0
36.7
35.0
28.6
27.1 23.1
CT
3
36.4
47.6
45.2
40.0
34.7
31.0 27.7
4
36.4
47.6
43.3
36.8
31.9
28.6 27.0
1
30.0
35.0
51.7
61.5
66.0
70.2 70.3
2
0.0
0.0
13.3
25.0
30.6
37.3 36.9
APS5ssp
3
27.3
28.6
41.9
50.0
55.1
58.6 58.5
4
27.3
38

Dokumen yang terkait

Uji Efektifitas Daun Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) Dan Daun Serai (Adropogon nardus L.) Terhadap Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd) Butler dan Bisby) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) Di Lapangan

4 80 94

KETAHANAN KULTIVAR CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

1 20 32

PENGARUH KITOSAN DAN Trichoderma Sp. TERHADAP KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. et Bisby) PADA BUAH CABAI (Capsicum annuum L.)

1 17 25

KETAHANAN KULTIVAR CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

8 110 31

UJI DAYA BIOFUNGISIDA EKSTRAK UMBI KEMBANG SUNGSANG (Gloriosa superba L.) TERHADAP PERKEMBANGAN JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PADA BUAH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)

0 2 18

Uji Laboratoriurn untuk Mengevaluasi Resistensi Cabai Merah (Capsicum annuum L.) terhadap Patogen Antraknosa (Colletotrichum capsici (Sydow) Butler and Bisby): Pengaruh Metode lnokulasi dan Tingkat Kernatangan Buah.

0 10 75

Uji Potensi Minyak Sereh Wangi Dalam Pengendalian Cendawan Patogenik Terbawa Benih Colletotrichum capsici (SYD.) Butler&Bisby Terhadap Tingkat Kontaminasi Dan Kualitas Fisiologi Benih Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

0 13 79

Minyak Nilam sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) pada Buah Cabai

0 3 37

Potensi Kitosan, Khamir, Aktinomiset dan Kombinasinya dalam Menghambat Busuk Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Buah Jambu Kristal

0 7 31

UJI INOKULASI KONIDIUM Colletotrichum capsici (Syd) Butler and Bysby TERHADAP TIGA JENIS BUAH CABAI SETELAH PANEN.

0 0 10