Pencegahan Rebah dan Busuk Kecambah (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pepaya Calina Oleh Beberapa Agens Biokontrol

PENCEGAHAN REBAH DAN BUSUK KECAMBAH
(Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) PADA PEPAYA
CALINA OLEH BEBERAPA AGENS BIOKONTROL

DERRY AULIA BARUS

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pencegahan rebah dan
busuk kecambah (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) pada pepaya
calina oleh beberapa agens biokontrol adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Derry Aulia Barus
NIM A34090015

ABSTRAK
DERRY AULIA BARUS. Pencegahan Rebah dan Busuk Kecambah
(Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pepaya Calina Oleh
Beberapa Agens Biokontrol. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA.
Pepaya Calina (IPB-9) merupakan salah satu varietas pepaya unggul yang
dihasilkan oleh IPB. Varietas IPB-9 termasuk rentan terhadap penyebab
antraknosa. Antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporioides
merupakan penyakit penting pada buah pepaya yang mengakibatkan penurunan
kualitas buah pada saat masa penyimpanan. Selain itu, penyebab antraknosa juga
dapat menyebabkan rebah dan busuk kecambah pada pembibitan. Oleh karena itu,
dilakukan suatu studi yang bertujuan untuk mengevaluasi keefektifan lima agens
biokontrol (Trichoderma harzianum (TH17), Gliocladium fimbriatum (G84),
Bacillus subtilis (B12) and Actinomycetes (APS5 and APS12)) dalam mengurangi
rebah atau busuk kecambah yang disebabkan oleh Colletotrichum gleosporioides

pada pepaya varietas calina (IPB-9). Studi dilakukan dalam pengujian in vitro
dengan metode uji ganda dan umpan beracun serta in vivo dengan metode aplikasi
penyiraman suspensi agens biokontrol pada media tanah. Hasil uji in vitro
menunjukkan bahwa TH17 dan G84 paling efektif untuk menekan pertumbuhan
C. gloeosporioides dengan tingkat penghambatan sebesar 100% pada taraf nyata
(α) 5%. Hasil uji in vivo menunjukkan bahwa penggunaan suspensi B12 dan G84
paling efektif untuk menekan kejadian penyakit rebah dan busuk kecambah
sebesar 66.67% pada taraf nyata (α) 5%.
Kata kunci: Penyakit kecambah, agens biokontrol, penyakit antraknosa,
persemaian pepaya calina

ABSTRACT
DERRY AULIA BARUS. Preventiveness Damping Off and Seedling Rot
(Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Of Calina Papaya Using Several
Biocontrol Agents. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA.
Calina (IPB-9) is one of the superior varieties of papaya that have been
released by IPB. This variety is susceptible to the causal agent of anthracnose.
Anthracnose caused by Colletotrichum gloeosporioides is an impotant disease of
papaya that reduce the quality of papaya in the storage. However, this patogen
also caused damping-off and seedling rot at nursery. Therefore, this study

purposed to evaluate the effectiveness of five biocontrol agents (Trichoderma
harzianum (TH17), Gliocladium fimbriatum (G84), Bacillus subtilis (B12) and
Actinomycetes (APS5 and APS12)) to reduce damping-off or seedling rot caused
by Colletotrichum gloeosporioides on Calina (IPB-9). This study using in vitro
test by dual culture and baiting poisonous methods and in vivo test by pouring
their suspension into polybag. The result of in vitro experiments showed that
TH17 and G84 were most effective to suppressing the growth of C.
gloeosporioides with resistance level reached 100% on α = 5%. In the in vivo
experiments, using the suspension of B12 and G84 were most effective
suppressing incidental disease of damping off with relative resistance level
66.67% on α = 5%.
Key words: Seedling disease, biocontrol agent, antraknosa, seedbed papaya
calina.

PENCEGAHAN REBAH DAN BUSUK KECAMBAH
(Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) PADA PEPAYA
CALINA OLEH BEBERAPA AGENS BIOKONTROL

DERRY AULIA BARUS


Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Judul Usulan

Nama Mahasiswa
NIM

: Pencegahan Rebah dan Busuk Kecambah (Colletotrichum
gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pepaya Calina Oleh
Beberapa Agens Biokontrol
: Derry Aulia Barus
: A34090015

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga MSc.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh,


Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih MSc.
Ketua Departemen

Tanggal lulus :

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang atas kuasa dan kehendak-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pencegahan Rebah dan Busuk
Kecambah pada Pepaya Calina (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.)
oleh Beberapa Agens Biokontrol, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Mikologi,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari
bulan Maret 2013 sampai Agustus 2013. Penulis menyampaikan terima kasih
kepada orang tua dan keluarga penulis yang senantiasa memberikan perhatian,
dorongan semangat dan kasih sayang selama penulis belajar, Dr. Ir. Tri Asmira
Damayanti MAgr. selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan, ajaran
dan didikannya selama ini, Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc. selaku dosen
pembimbing skripsi atas perhatian, bantuan, arahan dan bimbingan kepada penulis
dalam penulisan skripsi ini, Dr. Ir. Idham Sakti Harahap MSi. selaku dosen

penguji tamu atas perhatian, bantuan, arahan, saran dan kritiknya terhadap
penulisan skripsi ini dan semua pihak yang telah memberikan semangat dan
dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala amal ibadah dan kebaikan
kepadanya. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat meskipun dalam
penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan skripsi
ini.

Bogor, April 2013
Derry Aulia Barus

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR


viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian


3

BAHAN DAN METODE

4

Tempat dan Waktu Penelitian

4

Isolasi Patogen dari Bahan Tanaman Sakit

4

Peremajaan Agens Antagonis

4

Uji Antagonisme Secara in vitro


4

Uji Antagonisme Secara in vivo

6

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Isolasi Cendawan Patogen

7

Uji Antagonisme secara In Vitro


8

Uji Antagonisme secara In Vivo

10

SIMPULAN DAN SARAN

14

Kesimpulan

14

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

15

LAMPIRAN

18

DAFTAR TABEL
1. Persentase penghambatan pertumbuhan C. gloeosporioides oleh
agens biokontrol pada media PDA
2. Persentase penghambatan rebah kecambah pada bibit pepaya umur
21 hari setelah tanam (HST) setelah diberi perlakuan agens
biokontrol
3. Rata-rata tinggi tajuk bibit pepaya umur 21 hari setelah tanam (HST)
setelah diberi perlakuan agens biokontrol

8

11
12

DAFTAR GAMBAR
1. Gejala busuk antraknosa berwarna kecoklatan dengan pola
konsentris pada buah pepaya IPB-9.
2. Morfologi cendawan C. gloeosporioides dibawah mikroskop dengan
perbesaran 400x, hifa yang berwarna hialin dan konidia
C. gloeosporioides yang berbentuk seperti basil (b), seta
C. gloeosporioides yang berwarna kehitaman (c).
3. Uji antagonisme dengan metode peracunan media, APS12 (a) dan
APS5 (b) tidak mampu menekan pertumbuhan C. gloeosporioides
(p), koloni TH 17 (c) dan G84 (d) yang menutupi koloni
C. gloeosporioides (p) serta koloni C. gloeosporioides (p) yang tidak
melewati koloni B12 (e).
4. Gejala yang muncul pada perkecambahan pepaya setelah
diinokulasikan C. gloeosporioides, daun seperti terbakar (a dan b),
terdapat bercak kehitaman pada akar (c) dan bercak seperti terbakar
pada batang (d dan e).
5. Morfologi cendawan hasil reisolasi dari tanaman yang bergejala
pada umur 21 hari setelah tanam (HST) pada perbesaran 400x.
6. Keadaan vigor bibit pepaya yang diinokulasikan C. gloeosporioides
pada umur 21 hari setelah tanam (HST) dengan perlakuan (a) TH17,
(b) APS5, (c) APS12, (d) G84 dan (e) B12 yang tidak menunjukkan
adanya gejala antraknosa.

7

7

9

10
11

12

DAFTAR LAMPIRAN
1. Isolat agens biokontrol umur 7 HSI
2. Diameter pertumbuhan koloni C. gloeosporioides pada perlakuan
suspensi dan metabolit aktinomiset
3. Diameter pertumbuhan koloni patogen C. gloeosporioides pada
kontrol
4. Jari-jari pertumbuhan koloni patogen C. gloeosporioides dengan
metode uji ganda pada media PDA
5. Kejadian penyakit pada bibit pepaya berumur 21 HST dengan
berbagai perlakuan agens biokontrol

19
19
20
20
21

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba dari famili Caricaceae yang
berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan sekitar Meksiko
dan Kosta Rika (PKBT 2010). Jenis-jenis pepaya yang banyak dibudidayakan di
Indonesia di antaranya adalah pepaya jingga, pepaya semangka paris, pepaya
dampit, pepaya cibinong, pepaya mini (pepaya hawai, pepaya solo atau pepaya
sun rise) dan pepaya California (Kementan 2011). Indonesia adalah produsen
pepaya terbesar kelima dunia setelah Brazil, Nigeria, India dan Mexico (Budiyanti
dan Sunyoto 2011). Produksi pepaya pada tahun 2011 mencapai 958 ribu ton
(BPS 2011). Sentra pertanaman buah pepaya di Indonesia adalah daerah Jawa
Barat (Kabupaten Sukabumi), Jawa Timur (Kabupaten Malang), Pasar Induk
Kramat Jati DKI Jakarta, Yogyakarta (Sleman), Lampung Tengah, Sulawesi
Selatan (Toraja) dan Sulawesi Utara (Manado) (Kemenristek 2010).
Salah satu varietas pepaya unggul Indonesia yaitu genotype IPB 9 (Calina)
sudah terdaftar dalam SK Pelepasan No. 2 108/Kpts/SR.120/5/2010. Genotipe
IPB 9 memiliki beberapa keunggulan diantaranya bentuk buah silindris seperti
peluru, warna kulit buah hijau terang dan mulus, rasa buah manis, warna daging
buah jingga kemerahan, daging buah tebal dan renyah, daya simpan lama (lebih
dari satu minggu), bobot buah 974.2-1 355 g, dan mempunyai tebal daging buah
lebih besar dari genotipe IPB 1 dan IPB 3 serta memiliki nilai kekerasan daging
buah pada bagian tengah lebih baik dari IPB 1 (Sobir 2009; Suketi et al. 2010).
Umumnya pepaya termasuk tanaman yang rentan terhadap berbagai penyakit
seperti antraknosa, bercak buah Alternaria, busuk kering, busuk Fusarium, bercak
Guignardia, busuk ujung tangkai buah, busuk buah Phytophthora, busuk
Rhizopus, busuk Stemphylium, busuk buah basah dan busuk buah cat ungu
(Martoredjo 2009).
Genotipe IPB-9 termasuk pepaya yang rentan terhadap antraknosa yang
disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. Gejala antraknosa
nampak sebagai bercak bulat basah, bercak agak mengendap pada buah yang
mengalami proses pematangan, bercak dapat meluas hingga berdiameter 5 cm dan
di bagian tengah bercak terdapat massa konidia berwarna jingga keunguan serta
membentuk lingkaran sepusat (Martoredjo 2009). Patogen ini banyak menyerang
buah-buahan, selain menyerang buah, patogen tersebut dapat menyerang daun,
bunga, ranting dan bibit di persemaian (Kalie 2000). Pada persemaian penyakit ini
dapat menyebabkan rebah dan busuk kecambah, bercak atau busuk akar serta
busuk benih. Pada tanaman dewasa dapat menyebabkan mati pucuk (dieback) dan
diikuti infeksi lanjut pada buah (Hakim 2010).
Penyakit ini sukar dikendalikan karena infeksinya dapat bersifat laten,
sistemik serta tular tanah. Patogen ini dapat menyebar melalui percikan air hujan
dan irigasi, pemencaran jarak jauh pun dapat menggunakan askospora benih dan
angin serta dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman yang terinfeksi dalam tanah
(Sinaga et al. 1992). Menurut Rizwan (2011) petani desa Bojong pernah
mengalami kehilangan hasil sebesar 20-50% bahkan petani pepaya Rancabungur
pernah mengalami kehilangan hasil hingga mencapai 100%. Hasil penelitian Rini

2
(2008) menyebutkan bahwa tingkat kerusakan buah pepaya akibat serangan
antraknosa pada masa penyimpanan ini mencapai 80 %.
Upaya pengendalian penyakit antraknosa telah banyak dilakukan meliputi
penyemprotan fungisida dengan interval 14-28 hari, menanam kultivar tahan,
perendaman dengan air panas dan penyemprotan buah dengan fungisida
pascapanen (Kalie 2000; Martoredjo 2009), namun, upaya pengendalian tersebut
masih belum berhasil dengan baik, sedangkan dampak negatif penggunaan
fungisida sintetik terhadap lingkungan hidup termasuk manusia secara langsung
sangat besar.
Agens hayati/biokontrol merupakan mikroorganisme, baik yang terjadi
secara alami seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa
genetik (genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk
mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) (FAO 1988).
Trichoderma spp dan Gliocladium spp merupakan cendawan yang paling
banyak dikembangkan sebagai agens biokontrol. Kedua cendawan ini bersifat
saprofitik dalam tanah, mampu menghambat pertumbuhan patogen dengan
hiperparasitik, kompetisi dalam menyerap nutrisi, modifikasi rhizosfer, antibiosis,
biofertilisator dan stimulus ketahanan tanaman (Sinaga et al. 1992; Benitez et al.
2004). Hasil penelitian Hartal (2010) menunjukkan bahwa Trichoderma sp. dan
Gliocladium pada aplikasi tunggal mampu menekan pertumbuhan Fusarium
oxysporum sebesar 56.4% dan 55.9% bahkan pada aplikasi kombinasi
(Trichoderma+Gliocladium) persentase penghambatan meningkat menjadi 70.1%.
Dua jenis mikroba golongan bakteri yang paling banyak dikembangkan
sebagai pestidida hayati adalah Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp.
Keunikan dari kedua bakteri tersebut adalah bersifat saprofitik (mampu bertahan
dan berkembang biak pada sisa-sisa limbah organik), menghasilkan sifat
antagonisme yang dapat membunuh mikroba patogen tumbuhan, mengkelat ion
Fe, melarutkan fosfat serta kalium Kedua jenis bakteri tersebut juga mampu
menghasilkan senyawa pemicu pertumbuhan tanaman seperti indole acetic acid
(IAA), giberellin, ditambah dengan sifat kitinolitik (mendegradasi kitin) yang
mampu meningkatkan performan bakteri tersebut sebagai agens hayati (Giyanto et
al. 2009).
Aktinomiset adalah kelompok besar dari bakteri berfilamen, umumnya
bersifat gram positif dan membentuk filament yang bercabang. Pertumbuhan
aktinomiset yang sukses mampu menghasilkan jaringan berfilamen yang memiliki
cabang-cabang yang rumit, disebut juga miselium. Aktinomiset menghasilkan
struktur bertahan berupa eksospora yang dapat bertahan dalam kondisi tidak
menguntungkan seperti rendahnya kadar air dan suhu tinggi serta dapat bertahan
dalam waktu yang lama (Putra 2011). Hasil penelitian Sitompul (2013)
menyebutkan bahwa Aktinomiset (APS5 dan APS12) dapat menekan
pertumbuhan Marasmius palmivorus sebesar 100% dengan metode umpan
beracun.
Selain itu, agens hayati dapat berfungsi penyubur tanah, bio-aktivator
mikroba lain dalam tanah, penghambat pertumbuhan patogen, mematikan jaringan
patogen dan menurunkan biaya penggunaan pestisida (Butt, Jackson, Magan
2001) serta berpotensi untuk menjadi produk komersial (Whipps dan Lumsden
2001).

3
Oleh karena itu, studi ini diharapkan mampu menambah informasi
mengenai kegunaan beberapa agens biokontrol dan mengurangi ketergantungan
petani dalam menggunakan pestisida sintetik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keefektifan agens biokontrol
dalam mengurangi rebah kecambah yang disebabkan oleh Colletotrichum
gloeosporioides pada pepaya varietas calina (IPB-9).
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh agens biokontrol
yang berpotensi mengurangi rebah kecambah dan memicu pertumbuhan serta
perkembangan bibit pepaya sehingga dapat dikembangkan sebagai metode
pengendalian rebah kecambah pada tanaman pepaya.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Percobaan ini dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari
Maret sampai Agustus 2013.
Isolasi Patogen dari Bahan Tanaman Sakit
Sampel buah yang menunjukkan gejala terserang patogen C.
gloeosporioides yang diperoleh dari pedagang buah di sekitar Dramaga. Sterilisasi
permukaan dilakukan dengan mencuci buah yang terinfeksi, kemudian
didisinfeksi menggunakan larutan natrium hipoklorit (NaOCl) 1% selama satu
menit, setelah itu direndam pada alkohol 70% selama satu menit, kemudian
dibilas menggunakan air steril sebanyak tiga kali pembilasan, lalu dikering
anginkan. Isolasi patogen dilakukan dengan memotong diantara bagian buah yang
bergejala dan buah yang sehat sepanjang 0.5 cm, kemudian ditanam pada media
PDA yang telah diberi chloramphenicol dan di inkubasi pada suhu ruang.
Selanjutnya isolat C. gloeosporioides yang berumur 6-7 hari dilakukan uji
virulensi dengan metode postulat Koch.
Peremajaan Agens Antagonis
Isolat Bacillus subtilis (B12) dan Aktinomiset (APS5 dan APS12) yang
digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari stok kultur koleksi Laboratorium
Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Isolat aktinomiset
APS5 dan APS12 berasal dari tanah bagian top soil sekitar perakaran sawit (Putra
2011). Peremajaan isolat agens biokontrol bakteri B12 digores pada media PDA
dan NA masing-masing sebanyak satu lup kemudian diinkubasi pada suhu ruang.
Perbanyakan isolat murni aktinomiset dilakukan dengan menggoreskan sebanyak
satu lup yang mengandung isolat pada media YCED dan diinkubasi pada suhu
ruang. Pertumbuhan isolat berhasil apabila terdapat koloni aktinomiset yang
tumbuh dan mengeluarkan spora seperti berdebu (merupakan eksospora yang
terbentuk, mengandung pigmen tertentu dan berbau khas tanah (Sitompul 2013).
Isolat Trichoderma harzianum (TH17) dan Gliocladium fimbriatum (G84)
yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari stok koleksi Laboratorium
Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Peremajaan kedua
isolat ini dilakukan dengan menumbuhkan pada media PDA yang telah diberi
chloramphenicol dan media jagung yang ditambahkan zeolit (dengan
perbandingan berat 3:7) lalu diinkubasi pada suhu ruang.
Uji Antagonisme Secara in vitro
Penghambatan pertumbuhan C. gloeosporioides dilakukan dengan metode
uji ganda dan metode peracunan media. Uji antagonisme dengan metode uji ganda
menggunakan agens biokontrol TH17, G84, B12, suspensi APS5, suspensi
APS12, metabolit APS5 dan metabolit APS12. Koloni C. gloeosporioides
diinokulasikan pada media PDA dengan jarak 3 cm dari koloni agens biokontrol.

5
Diameter masing-masing agens biokontrol (TH17 dan G84) dan patogen sebesar
0.5 cm, sedangkan B12 diinokulasikan dengan cara penggoresan, tiap pengujian
dilakukan tiga kali ulangan.
Keterangan
P
= Koloni patogen
A
= Koloni agens biokontrol
R1 = Jari-jari koloni patogen yang
menjauhi koloni agens biokontrol
R2 = Jari-jari koloni patogen yang
mendekati koloni agens biokontrol
Pengaruh penghambatan agens antagonis terhadap pertumbuhan patogen
menggunakan rumus persentase menurut Skidmore and Dickinson (1976):
=
Keterangan :
R1 : Jari-jari koloni patogen yang menjauhi koloni biokontrol
R2 : Jari-jari koloni patogen yang mendekati koloni biokontrol
PPh : Persentase penghambatan pertumbuhan
Penghambatan pertumbuhan koloni patogen oleh agens biokontrol
aktinomiset menggunakan metode peracunan media. Masing-masing aktinomiset
(APS5 dan APS12) yang berumur 7 hari diinokulasikan ke dalam 10 ml media
cair LB sebanyak satu ose dan diinkubasi pada inkubator bergoyang dengan
kecepatan 100 rpm selama 4 hari. Media cair LB yang mengandung biakan
aktinomiset dimasukkan ke dalam tabung ependorff masing-masing sebanyak 1
ml, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit hingga
didapatkan supernatan yang mengandung senyawa bioaktif aktinomiset.
Supernatan disaring dengan millipore ukuran 0.22 µm untuk memperoleh
senyawa bioaktif yang steril. Senyawa metabolit dan suspensi cair aktinomiset
sebanyak 1 ml tersebut dicampurkan ke dalam 9 ml media PDA yang telah
dicairkan dengan suhu kurang lebih 35˚C, kemudian dimasukkan kedalam cawan
petri. Koloni C. gloeosporioides yang berumur 7 hari diinokulasikan pada titik
pusat cawan petri dengan diameter 0.5 cm, kemudian diinkubasi pada suhu ruang.
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan miselium pada setiap perlakuan
dengan menghitung persentase penghambatan C.gloeosporioides dengan
persamaan:
a a am a

=

k
k

Keterangan :
Dk = diameter koloni C. gloeosporioides pada kontrol
Dp = diameter koloni C. gloeosporioides pada perlakuan.

6
Uji Antagonisme Secara in vivo
Pengujian antagonisme ini dilakukan pada perkecambahan pepaya. Uji
antagonisme ini menggunakan media tanah steril yang ditempatkan pada polibag
dengan tinggi 10 cm, lebar 4 cm. Setiap tanah akan diinokulasikan T. harzianum
(TH17), G. frimbriatum (G84), B. subtilis (B12), APS5 dan APS12, dengan enam
ulangan.
Isolat TH17 dan G84 pada media jagung dilarutkan sebanyak 5 gram
dengan 100 ml air steril. Isolat B12, APS5 dan APS12 pada media cair dilarutkan
sebanyak 5 ml dengan 95 ml air steril. Setiap polibag hanya diberikan satu jenis
agens biokontrol, suspensi tersebut disiram sebanyak 10 ml untuk setiap
polibagnya.
Setelah itu, benih pepaya varietas calina (IPB-9) yang telah direndam
selama semalam, ditanam sebanyak 1 biji pepaya setiap polibagnya. Metode
pemberian patogen dilakukan dengan metode penyiraman. Pemberian patogen C.
gloeosporioides dilakukan semalam setelah ditanam dan disiram dengan suspensi
isolat agens biokontrol. Peubah yang diamati ialah kejadian penyakit dan vigor
tanaman. Pengamatan dilakukan setelah 1 minggu setelah tanam hingga 3 minggu
setelah tanam. Persentase kejadian penyakit dihitung dengan persamaan :
e adian en aki =

n
N

n

: Jumlah tanaman yang bergejala
: Jumlah tanaman dalam perlakuan

Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan ialah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan dua kelompok, lima perlakuan dan 6 ulangan. Data yang diperoleh
dianalisis analisis ragam menggunakan program Statistical Analytical Science for
Windows (SAS versi 9.1) perlakuan pada uji in vitro yang berpengaruh nyata diuji
lanjut dengan uji selang berganda Duncan dan uji in vivo diuji lanjut dengan uji
proporsi dengan selang kepercayaan 95% (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Cendawan Patogen
Cendawan Colletotrichum gloeosporioides diisolasi dari sampel buah
pepaya yang menunjukkan gejala antraknosa. Gejala pada buah berupa bercak
konsentris melekuk ke dalam, berwarna kehitaman dengan koloni acervuli dan
konidia berwarna jingga (Gambar 1). Selain gejala pada buah, penyebab
antraknosa ini dapat menyerang daun, kotiledon dan batang tanaman pepaya
(CABI 2007). Serangan berat menyebabkan buah keriput dan mengering serta
warna kulit buah seperti jerami padi (Deptan 2012).

Gambar 1 Gejala busuk antraknosa berwarna kecoklatan dengan pola konsentris
pada buah pepaya IPB-9.

Pada media PDA, C. gloeosporioides membentuk koloni berwarna putih
keabu-abuan dengan terdapat warna jingga kemudian membentuk acervuli dengan
seta berwarna coklat kehitaman disertai kumpulan konidia berwarna jingga.
Cendawan C. gloeosporioides dibawah mikroskop mempunyai hifa yang
berwarna hialin dan bersepta dengan bentuk konidia seperti basil dengan lapisan
minyak pada bagian tengah serta berwarna hialin (gambar 2a). patogen C.
gloeosporioides memiliki seta yang berwarna coklat kehitaman (gambar 2b)
dengan panjang bervariasi hingga mencapai 200 µm dan lebar 4-8 µm dan
membentuk aservulus pada bagian tanaman yang bergejala, karakteristik ini sesuai
dengan C. gloeosporioides yang dikemukakan oleh CABI (2007).

a

b

Gambar 2 Morfologi cendawan C. gloeosporioides dibawah mikroskop dengan
perbesaran 400x, hifa yang berwarna hialin dan konidia yang
berbentuk seperti batang (b), aservuli dengan seta yang berwarna
coklat kehitaman (c).

8
Uji Antagonisme secara In Vitro
Hasil uji in vitro menunjukkan kemampuan penghambatan pertumbuhan
koloni C. gloeosporioides yang berbeda oleh masing-masing agens biokontrol.
pada hari pertama uji in vitro, pada beberapa perlakuan agens biokontrol belum
terlihat adanya proses penghambatan bahkan koloni patogen ternyata lebih cepat
tumbuh dibandingkan agens biokontrolnya. Hal ini dimungkinkan karena setiap
individu yang baru diinokulasikan pada media buatan akan langsung menyerap
nutrisi dan memanfaatkan ruang kosong untuk perkembangannya tanpa ada
persaingan atau penghambatan (Smith dan Onions 1994).
Pada pengujian secara in vitro 7 hsi (hari setelah inokulasi) nampak terdapat
empat agens biokontrol yaitu TH17, G84, suspensi APS5 dan suspensi APS12
yang berpotensi menghambat pertumbuhan penyebab antraknosa pada pepaya.
Keempat agens biokontrol tersebut menunjukkan persen penghambatan yang
cukup tinggi untuk menghambat patogen tersebut (Tabel 1). Agens biokontrol
yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan penyebab antraknosa pada
pepaya ialah TH17 dan G84 dengan persentase penghambatan mencapai 100%.

Tabel 1 Persentase penghambatan pertumbuhan C. gloeosporioides oleh agens
biokontrol pada media PDA
Persen penghambatan pada hari ke- setelah inokulasi (hsi)a
1
2
3
4
5
6
7
Kontrol
0.00a
0.00 a 0.00a
0.00a
0.00a
0.00 a
0.00a
TH17
17.67a 19.43ab 39.00b 100.00d 100.00d 100.00d 100.00d
G84
-31.33a 6.33 a 34.00b 100.00d 100.00d 100.00d 100.00d
B12
6.00a
-4.37 a 0.37a 19.10b 28.67b 26.00b 24.33b
SuspAPS5b
-16.97a 45.67bc 44.77b 43.90c 40.16bc 40.87bc 45.36c
SuspAPS12b
5.07a
50.5 c 46.23b 51.27c 54.67c 57.63 c 59.60c
MetAPS5c
-3.03a -0.37 a -7.63a -2.53a
-1.53a
1.87 a
4.07a
c
MetAPS12
-15.17a 1.10 a -2.57a -2.57a
-3.30a
0.33 a
2.33a
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. b
Susp = suspensi aktinomiset (APS5 dan APS12). c Met = metabolit aktinomiset
(APS5 dan APS12).
Perlakuan

Suspensi Aktinomiset (APS5 dan APS12) mampu menekan pertumbuhan
patogen sebesar 45.36% dan 59.60% (Tabel 1). Penghambatan dapat terjadi
karena secara umum aktinomiset tergolong dalam bakteri gram positif yang
memiliki perkembangan yang cepat dan dapat menghasilkan antibiotik seperti
azole, terbinafine, amphotricine dan polyene-Nystatin yang mampu merusak
dinding sel cendawan (Zaki 2008; Madigan et al. 2009). Menurut Himmah (2012)
aktinomiset dengan kode isolat (APS5 dan APS12) memiliki kesamaan dengan
aktinomiset dengan genus Streptomyces dengan tingkat kesamaan mencapai 99%.
Penghambatan terhadap pertumbuhan diameter koloni C. gloeosporioides
oleh TH17 dan G84 dilakukan melalui mekanisme penghambatan
hiperparasitisme, antibiosis (toksin), lisis dan kompetisi ruang serta nutrisi.

9
Diketahui bahwa genus Gliocladium dapat memproduksi toksin seperti gliotoxin,
gliovirin dan epidethiodiketopiperszine (Wilhite dan Straney 1996). kedua
cendawan agens biokontrol mampu menutupi pertumbuhan koloni patogen mulai
hari ke-4, koloni TH17 dan G84 sudah dapat tumbuh diatas koloni patogen.
Isolat agens B. subtilis (B12) dengan penggoresan pada media mampu
menekan pertumbuhan koloni patogen sebesar 28.67% (Tabel 1). Mekanisme
antagonisme yang dilakukan oleh B. subtilis ialah dengan antibiosis senyawa
antibiotik. Menurut Awais et al. (2010) B. subtilis dapat menghasilkan senyawa
toksik seperti polymyxin, difficidin, subtilin, mycobacilin dan bacitracin.
Persentase penghambatan dari berbagai agens biokontrol ini dipengaruhi
oleh banyak faktor seperti kemampuan tumbuh, kecepatan tumbuh, umur dari
agens biokontrol tersebut, kemampuan bertahan dari patogen dan mekanisme
penghambatan yang berbeda untuk setiap agens biokontrolnya serta seberapa
besar kemampuan agens biokontrol dalam menghasilkan senyawa antibiotik.

a

b
p

p

c

e

d

p

p

p

Gambar 3 Uji antagonisme dengan metode peracunan media, metabolit APS12
(a) dan metabolit APS5 (b) tidak mampu menekan pertumbuhan C.
gloeosporioides (p), koloni TH 17 (c) dan G84 (d) yang tumbuh
menutupi koloni patogen (p), koloni B12 mampu menghambat koloni
patogen (e).

Hasil yang berbeda ditunjukkan pada metabolit aktinomiset (APS5 dan
APS12) dimana terlihat dalam Tabel 1 bahwa hingga hari kelima agens biokontrol
tersebut tidak mampu menghambat pertumbuhan dari koloni C. gloeosporioides
(gambar 3a dan 3b), hal ini kontradiksi dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sitompul (2013) yang menyebutkan bahwa peracunan media dengan
menggunakan metabolit aktinomiset tersebut mampu menekan pertumbuhan
Marasmius palmivorus. Hal tersebut dapat terjadi karena pada media agar
kemampuan aktinomiset dalam memproduksi antibiotik sangat lambat, proliferasi
yang lambat dan produksi antibiotiknya dipengaruhi oleh media tumbuh dapat
menjadi kendala penggunaan aktinomiset sebagai agens biokontrol (Sariyanto
2006).

10
Penggunaan suspensi aktinomiset (APS5 dan APS12) lebih mampu
menekan pertumbuhan cendawan C. gloeosporioides pada pengujian secara in
vitro (Tabel 1), sehingga pada uji in vivo, perlakuan aktinomiset menggunakan
suspensi APS5 dan APS12.

Uji Antagonisme secara In Vivo
Hasil pengujian in vivo dengan inokulasi patogen dan aplikasi agens
antagonis nampak gejala antraknosa yang terjadi berbeda-beda (Gambar 4). Pada
daun dan batang bibit pepaya bisa terjadi bercak seperti terbakar, sedangkan
gejala pada akar berupa bercak coklat kehitaman. Antraknosa merupakan salah
satu penyakit penting pada pascapanen, namun menurut PKHT (2012) ternyata
penyebab antraknosa juga dapat menimbulkan masalah pada masa pembibitan,
gejala yang muncul pada masa pembibitan ialah mati pucuk (dieback), bercak
nekrosis pada daun dan batang serta rebah kecambah atau busuk benih.

b

a

d

c

e

Gambar 4 Gejala yang muncul pada perkecambahan pepaya setelah
diinokulasikan C. gloeosporioides, daun seperti terbakar (a dan b),
terdapat bercak kehitaman pada akar (c) dan bercak seperti terbakar
pada batang yang merupakan awal dari rebah kecambah (d dan e).

Dari kecambah yang tumbuh dan bergejala seperti pada Gambar 4,
selanjutnya dilakukan reisolasi guna membuktikan bahwa gejala tersebut
disebabkan oleh C. gloeosporioides atau oleh patogen lain. Hasil reisolasi
(Gambar 6) terlihat adanya konidia C. gloeosporioides dengan bentuk seperti
batang dengan terdapat minyak pada bagian tengah.

11

Gambar 5 Konidia cendawan penyebab antraknosa hasil reisolasi dari tanaman
yang bergejala pada umur 21 hari setelah tanam (HST) pada
perbesaran 400x.

Hasil pengujian in vivo menunjukkan bahwa antar perlakuan penambahan
agens biokontrol menunjukkan persentase hasil yang berbeda-beda antar
perlakuan agens biokontrol (Tabel 2). Hasil uji dengan inokulasi patogen, nampak
ada bibit pepaya yang menunjukkan terserang patogen dan menampakkan gejala
antraknosa sebesar 50%.

Tabel 2 Persentase penghambatan rebah kecambah pada bibit pepaya umur 21
hari setelah tanam (HST) setelah diberi perlakuan agens biokontrol
Persentase penghambatan pada umur kecambah 21 HST (%)a
Perlakuan
Patogen
Non patogen
K
0.00
100.00
TH17
50.00
100.00
G84
66.67
66.67
B12
66.67
100.00
APS12
16.67
66.67
APS5
50.00
100.00
a
Angka-angka pada kolom yang sama berdasarkan uji proporsi pada taraf nyata
5%.

12
Tabel 3 Rata-rata tinggi tajuk bibit pepaya umur 21 hari setelah tanam (HST)
setelah diberi perlakuan agens biokontrol
Rata-rata tinggi tajuk pada umur kecambah 21 HST (cm)a
Perlakuan
Patogen
Non patogen
K
8.63ab
8.70ab
TH17
7.75b
8.35b
G84
9.07a
9.02a
B12
9.12a
9.02a
APS12
9.07a
9.15a
APS5
9.35a
9.20a
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Pada pengujian in vivo, agens biokontrol yang mampu menekan kejadian
penyakit dengan baik ialah G84 dan B12 sebesar 66.67% (Tabel 2), berdasarkan
Tabel 2, dapat dikatakan semua agens biokontrol tersebut memiliki potensi untuk
dapat mengurangi kerusakan akibat penyakit antraknosa. Hal ini didukung bahwa
keempat agens biokontrol (G84, B12, APS5 dan APS12) berpotensi memicu
pertumbuhan bibit pepaya (Tabel 3) dengan vigor tanaman yang baik (Gambar 6).
Tinggi tajuk yang rendah terdapat pada perlakuan TH17 meskipun demikian
TH17 diduga memiliki mekanisme pemicu pertahanan dan penguat jaringan
tanaman (Benitez et al. 2004).

b

a

d

c

e

Gambar 6 Keadaan vigor bibit pepaya yang diinokulasikan C. gloeosporioides
pada umur 21 hari setelah tanam (HST) dengan perlakuan (a) TH17,
(b) APS5, (c) APS12, (d) G84 dan (e) B12 yang tidak menunjukkan
adanya gejala antraknosa.

13
Pada perlakuan tanpa inokulasi patogen, nampak ada bibit pepaya yang
menunjukkan gejala antraknosa sebesar 13.33%. Hal ini dapat terjadi karena
penyebab antraknosa dapat terbawa benih dan infeksinya bersifat laten dan
sistemik (Sinaga et al. 1992). Hasil perlakuan agens biokontrol (TH17, G84, B12,
APS5 dan APS12) tanpa inokulasi patogen menunjukkan bahwa kelima agens
tersebut tidak bersifat fitotoksik. Pada pengamatan bibit pepaya pada 21 HST
dengan perlakuan agens biokontrol tanpa inokulasi patogen walaupun ada yang
bergejala antraknosa bibit tetap dapat tumbuh dengan baik.
Mekanisme antagonisme yang dilakukan oleh TH17 dan G84 ialah dengan
hiperparasitisme, lisis dan antibiosis (Syatrawati 2008). Trichoderma harzianum
juga dapat digunakan sebagai biofertilisator dan penstimulus mekanisme
pertahanan tanaman (Benitez et al. 2004). Isolat B12 merupakan bakteri yang
mengkolonisasi akar dan diketahui dapat mengurangi layu bakteri Ralstonia
solanacearum (Chrisnawati 2011). Selain itu, aktinomiset pun mempunyai
mekanisme yang sama dengan B12.

SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Evaluasi antagonisme pada uji secara in vitro pada media PDA
menunjukkan bahwa Trichoderma harzianum (TH17), Gliocladium fimbriatum
(G84), suspensi aktinomiset (APS5) dan (APS12) yang berpotensi menghambat
pertumbuhan koloni C. gloeosporioides dengan persentase penghambatan sebesar
100% (G84 dan TH17), 45.36% (suspensi APS5) dan 59,60% (suspensi APS12).
Pada pembibitan pepaya diketahui bahwa agens biokontrol yang cukup berpotensi
dalam mengendalikan antraknosa ialah TH17, APS5, G84 dan B12 dengan persen
penghambatan yaitu sebesar 50% (TH17 dan APS5) dan 66.67% (G84 dan B12).
Selain itu, diketahui bahwa isolat APS5 dan APS12 berpotensi sebagai pemicu
pertumbuhan pada pembibitan pepaya karena memiliki rata-rata tinggi tajuk yang
tertinggi yaitu sebesar 9.07-9.35 cm Mekanisme penghambatan perkembangan
patogen C. gloeosporioides oleh T. harzianum (TH17) dan G. fimbriatum (G84)
pada pembibitan pepaya diduga melalui mekanisme hiperparasitik, antibiosis dan
persaingan nutrisi dan tempat tumbuh. Mekanisme penghambatan perkembangan
patogen tersebut oleh B. subtilis (B12) dan aktinomiset diduga dengan antibiosis
dan hormon pertumbuhan.
Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh disarankan untuk penelitian lebih lanjut
menggunakan jumlah ulangan yang lebih banyak dan berbagai konsentrasi agar
ditemukan konsentrasi aktinomiset yang tepat untuk menekan perkembangan
penyakit rebah kecambah pada bibit pepaya serta mencari tahu mekanisme
penghambatan agens biokontrol pada bibit pepaya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Awais M, Perves A, Yaqub A, Shah MM. 2010. Production of antimicrobial
metabolits by Bacillus subtilis immobilized in polyacrylamide gel. J Zool.
42(3):267-275.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Produksi buah-buahan menurut provinsi
[Internet]. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Republik Indonesia; [diunduh
2013 April 6]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel
=1&daftar=1&id_sub yek=55¬ab=2.
Benitez T, Rincon AM, Limon MC, Codon AC. 2004. Biocontrol mechanisms of
Trichoderma strains. Int J Microbiol. 7(4):249-260.
Budiyanti T, Sunyoto. 2011 November 2-8. Varietas unggul buah pepaya merah
delima si merah yang manis. Sinar Tani. Agroinovasi:5 (kol. 1-9).
Butt TM, Jackson C, Magan N. 2001. Introduction-fungal biological control
agents: progress, problems and potential. Di dalam: Butt TM, Jackson C,
Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents. Wallingford (GB): CABI.
hlm 1-8.
[CABI] Central for Agricultural and Bioscience International. 2007. Crop
Protection Compendium [CD-ROM]. Wallingford (UK): CAB International.
Chrisnawati. 2011. Pengujian formulasi agensia hayati Bacillus sp. dan
Pseudomonas flourescens untuk mengendalikan penyakit layu bakteri Nilam
[Internet]. Solok (ID): Universitas Mahaputra Muhammad Yamin; [diunduh
2013 Maret 7]. Tersedia pada: http://jurnal.unitas-pdg.ac.id/files/31/4C isnawa i-edi d .
[Deptan] Departemen Pertanian. 2012. Penyakit busuk buah antraknosa [Internet].
Jakarta (ID): Departemen Pertanian RI; [diunduh 2012 Oktober 7]. Tersedia
pada: http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content
&view=article&id=246&Itemid=350.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1998. Guidelines on the registration of
biological pest control agents [Internet]. Rome (IT): Food and Agriculture
of United Nations; [diunduh 2012 Oktober 2]. Tersedia pada:
http://www.fao.org/ag/AGPP/Pesticid/code/Download/BIOPEST.pdf.
Giyanto, Suhendar A, Rustam. 2009. Kajian pembiakan bakteri kitinolitik
Pseudomonas flourescens dan Bacillus sp. pada limbah organik dan
formulasinya sebagai pestisida hayati (bio-pesticide). Di dalam: Prosiding
Seminar Hasil-hasil Penelitian IPB; 2009 Desember 22-23; Bogor. Bogor
(ID): LPPM-IPB. hlm 849-858.
Hakim A. 2010. Evaluasi daya hasil dan ketahanan cabai (Capsicum annuum L.)
terhadap antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hartal, Misnawaty, Budi I. 2010. Efektifitas Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.
dalam pengendalian layu Fusarium pada tanaman krisan. JIPI. 12(1):7-12.
Himmah NIF. 2012. Seleksi dan identifikasi aktinomiset sebagai agens hayati
untuk pengendalian penyakit kresek yang disebabkan oleh Xanthomonas
oryzae pv. oryzae pada padi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kalie MB. 2000. Mengatasi Buah Rontok, Busuk, dan Berulat. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya.

16
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2011. Diversifikasi olahan buah pepaya
[Internet]. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian; [diunduh 2013 April 6].
Tersedia pada: http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/diversifikasi-olahanbuah-pepaya.
[Kemenristek] Kementerian Riset dan Teknologi. 2011. Pepaya (Carica papaya
L.) [Internet]. Jakarta (ID): Kementerian Riset dan Teknologi Republik
Indonesia;
[diunduh
2010
November
13].
Tersedia
pada:
http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/pepaya.pdf.
Madigan MT, John MM, Jack P. 2009. Brock Biology of Microorganisms 12th ed.
New Jersey (US): Prentice-Hall.
Martoredjo T. 2009. Ilmu Penyakit Pascapanen. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Mattjik AA, Sumertajaya M. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Press.
Putra MC. 2011. Kompatibilitas Bacillus spp. dan aktinomiset sebagai agens
hayati Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan pemicu pertumbuhan padi
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[PKBT] Pusat Kajian Buah Tropika. 2010. Sejarah pepaya [Internet]. Bogor (ID):
Pusat Kajian Buah Tropika IPB; [diunduh 2013 April 6]. Tersedia pada:
http://pkbt.ipb.ac.id/media.php?module=Sejarah%20pepaya&konten=pepay
a&db=pepaya&dalam=sejarahpepaya&id=1
[PKHT] Pusat Kajian Hortikulltura Tropika. 2012. Waspada serangan antraknosa
[Internet]. Bogor (ID): Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB; [diunduh
2013 April 16]. Tersedia pada: http://pkht.or.id/seputar-dunia-buah/111waspada-serangan-antraknosa.
Rini P. 2008. Pengaruh sekat dalam kemasan kardus terhadap masa simpan dan
mutu pepaya IPB 9 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rizwan M. 2011. Survei pengetahuan, sikap dan tindakan petani pepaya terhadap
organisme pengganggu tanaman di Kecamatan Rancabungur dan Desa
Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Sariyanto N. 2006. Eksplorasi agens antagonis yang berpotensi menekan penyakit
layu Fusarium pada pisang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sinaga MS, Widodo, Poernomo BWS, Supramana. 1992. Kemungkinan
pengendalian hayati bagi Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. et Bisby
penyebab antraknosa pada cabai. Di dalam: Bappenas, editor. Laporan
akhir penelitian pendukung PHT dalam rangka pelaksanaan program
nasional pengendalian hama terpadu. Kerjasama Prasarana Fisik Bappenas
dengan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hlm 1-29.
Sitompul SK. 2013. Evaluasi keefektifan penghambatan beberapa agens
biokontrol terhadap pertumbuhan Marasmius palmivorus Sharples [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Skidmore AM. and Dickinson CH, 1976. Colony interactions and hyphal
interference between Septoria nodorum and phylloplane fungi. Transactions
of the British Mycological Society 66(1): 57-64.
Smith D, Onions AUS. 1994. The preservations and maintanance of living fungi.
Oxon: Center For Agriculture and Bioscience International (CABI).
Sobir. 2009. Buku Pintar Budidaya Tanaman Buah Unggul Indonesia. Jakarta
(ID): Bumi Aksara.

17
Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010. Studi karakter
mutu buah pepaya IPB. J Hort. 1(1):17-26.
Syatrawati. 2008. Produksi senyawa biofungisida berbahan aktif Gliocladium sp.
pada berbagai medium limbah organik. J Agrisistem. 4(2):121-125.
Whipps JM, Lumsden RD. 2001. Commercial use of fungi as plant disease
biological control agents: status and prospects. Di dalam : Butt TM, Jackson
C, Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents. Wallingford (GB): CABI.
hlm 9-22.
Wilhite SE, Staney DC. 1996. Timing of gliotoxin biosynthesis in the fungal
biocontrol agent Gliocladium virens (Trichoderma virens). J Appl Microbiol
Biotechnol. 45(1996):513-518.
Zaki MES. 2008. Antimicrobial agents used in treatment of infection disease
[research report]. Madison (US): University of Wisconsin.

LAMPIRAN

19
Lampiran 1 Isolat agens biokontrol umur 7 HSI
a

b

d

c

e

Keterangan : Bacillus subtilis (a), APS12 (b), APS5 (c), Trichoderma Harzianum
(d), Gliocladium fimbriatum (e)

Lampiran 2 Diameter pertumbuhan koloni C. gloeosporioides pada perlakuan
suspensi dan metabolit aktinomiset
Diameter Koloni C. gloeosporioides (cm)
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
SuspAPS5
1.1 1.5 2.3 2.7 3.3 3.4 3.5
SuspAPS12
0.9 1.3 2.0 2.2 2.5 2.6 2.8
1
MetAPS5
0.9 2.3 4.5 5.3 6.5 6.9 7.4
MetAPS12
1.5 2.5 4.2 5.5 7.3 8.5 9.0
SuspAPS5
1.2 1.6 2.0 2.6 3.5 3.8 4.3
SuspAPS12
0.9 1.5 2.1 2.2 2.4 2.4 2.5
2
MetAPS5
1.3 2.4 4.2 5.5 6.8 7.3 7.7
MetAPS12
1.0 2.2 3.9 5.3 6.3 7.1 7.6
SuspAPS5
1.0 1.4 2.0 2.2 2.6 3.0 3.2
SuspAPS12
0.9 1.3 2.0 2.2 2.5 2.6 3.2
3
MetAPS5
1.2 2.3 4.1 5.4 7.0 8.7 9.0
MetAPS12
1.3 2.2 4.1 5.4 7.0 7.4 7.7
Keterangan : HSI (Hari Setelah Inokulasi), Susp (Suspensi), Met (Metabolit)
Agens
antagonis

HSI

Lampiran 3 Diameter pertumbuhan koloni patogen C. gloeosporioides pada kontrol
HSI
Ulangan
1
2
3

Kontrol

1
1.1
1.1
1.1

Diameter Koloni C. gloeosporioides (cm)
2
3
4
5
2.3
3.9
5.2
6.3
2.2
4.0
5.3
6.8
2.5
4.0
5.3
6.9

20

Perlakuan

6
7.1
7.7
8.5

7
7.7
8.4
9.0

Keterangan : HSI (Hari Setelah Inokulasi)

Lampiran 4 Jari-jari pertumbuhan koloni patogen C. gloeosporioides dengan metode uji ganda pada media PDA
Jari - jari koloni C.gloeosporioides(cm)
1
2
3
4
5
6
7
Ulangan
R1
R2
R1
R2
R1
R2
R1
R2
R1
R2
R1
R2
R1
R2
TH17
0.70 0.80 1.20 1.40 1.30 1.80 1.30 2.50 1.30 2.50 1.30 2.50 1.40 2.60
1
G84
0.50 0.70 1.00 1.40 1.10 2.00 1.10 2.00 1.10 2.20 1.10 2.20 1.10 2.30
B12
0.40 0.70 1.20 1.40 1.60 2.00 2.00 2.70 2.05 3.00 2.10 3.00 2.15 3.00
TH17
0.40 0.80 0.90 1.50 1.00 2.00 1.00 2.50 1.00 2.60 1.10 2.70 1.20 2.70
2
G84
0.70 0.50 1.40 1.10 1.40 1.90 1.40 2.50 1.40 2.50 1.40 2.50 1.40 2.50
B12
0.50 0.40 1.30 1.10 1.80 1.60 2.20 2.40 2.20 3.00 2.25 3.00 2.25 3.00
TH17
0.55 0.50 1.10 1.15 1.10 1.80 1.10 2.30 1.20 2.40 1.30 2.50 1.30 2.80
3
G84
0.55 0.30 1.00 1.20 1.10 1.60 1.10 2.00 1.10 2.30 1.10 2.30 1.15 2.30
B12
0.35 0.35 1.20 1.10 1.80 1.70 2.00 2.60 2.20 3.00 2.30 3.00 2.40 3.00
Keterangan : HSI (Hari Setelah Inokulasi), R1 (Jari-jari yang mendekati agens biokontrol), R2 (Jari-jari yang menjauhi agens biokontrol)
Agens
biokontrol

HIS

21
Lampiran 5

Kejadian penyakit pada bibit pepaya berumur 21 HST dengan
berbagai perlakuan agens biokontrol

Agens biokontrol
Kontrol
TH17
APS5
APS12
G84
B12
Kontrol
TH17
APS5
APS12
G84
B12
Kontrol
TH17
APS5
APS12
G84
B12
Kontrol
TH17
APS5
APS12
G84
B12
Kontrol
TH17
APS5
APS12
G84
B12
Kontrol
TH17
APS5
APS12
G84
B12

Ulangan

1

2

3

4

5

6

Kejadian Penyakit
Diberi patogen
Tanpa patogen
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala
Tidak Bergejala

22

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Medan pada tanggal 14 Juli 1992 sebagai anak kedua dari
empat bersaudara dari pasangan Bapak M. Taufik S. Barus dan Ibu Rosmawaty.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Cikuya 2 pada tahun
2003. menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 1 Cisoka
pada tahun 2006. Penulis juga menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA
Mandiri Balaraja pada tahun 2009.
Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis
aktif sebagai anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian (DPM-A)
periode 2010-2011, anggota Badan Pekerja Konstitusi Majelis Permusyawaratan
Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (MPM KM IPB) pada periode 2010-2011,
dan anggota Organik Farming Club periode 2010-2012. Penulis mengikuti
mengikuti Kuliah Kerja Profesi Faperta FEMA 2012 di Desa Danaraja,
Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal. Penulis juga mendapatkan beasiswa
Djarum Beasiswa Plus periode 2011-2012 dan beasiswa Pelayanan Kasih A&A
Rachmat periode 2011-2012.

Dokumen yang terkait

Penghambatan Serangan Sclerotium Rolfsii Penyebab Rebah Kecambah Pada Kedelai Dengan Bakteri

2 48 50

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum Gloeosporioides Penz. Sacc.) Di Laboratorium

0 48 59

Uji Ketahanan Klon IRR Seri 200 Terhadap Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum gloeosporioides Penz. et Sacc.) Pada Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.) Di Laboratorium

0 38 63

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Pengaruh Pupuk Organik Cair Dan Agensia Hayati Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)

3 88 50

Uji Resistensi Klon IRR Seri 400 Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc Pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Di Laboratorium

1 54 88

Potensi Kitosan, Khamir, Aktinomiset dan Kombinasinya dalam Menghambat Busuk Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Buah Jambu Kristal

0 7 31

Inhibition of Colletotrichum Gloeosporioides (Penz.) Penz. and Sacc. cause anthtracnose Disease in Lime Citrus Aurantifolia (Christm.) Swingle Plant Using Endorphytic and Exophytic Fungi In Vitro.

0 0 1

Inhibition of Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Penz..

0 0 10

Fusarium Nonpatogen sebagai Agens Hayati Penyakit Rebah Kecambah pada Tanaman Terung

0 0 8