Kondisi Fisiologis (Hematologi, Denyut Jantung, Frekuensi Respirasi, dan Suhu Tubuh) Sapi Perah Kering Kandang di KPBS Pangalengan

KONDISI FISIOLOGIS (HEMATOLOGI, DENYUT JANTUNG,
FREKUENSI RESPIRASI, DAN SUHU TUBUH) SAPI PERAH
KERING KANDANG DI KPBS PANGALENGAN

KHAIRUL IHSAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kondisi Fisiologis
(Hematologi, Denyut jantung, Frekuensi Respirasi, dan Suhu Tubuh) Sapi Perah
Kering Kandang di KPBS Pangalengan adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Khairul Ihsan
NIM B04090142

ABSTRAK
KHAIRUL IHSAN. Kondisi Fisiologis (Hematologi, Denyut jantung, Frekuensi
Respirasi dan Suhu Tubuh) Sapi Perah Kering Kandang di KPBS Pangalengan.
Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan ASEP YAYAN RUHYANA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi fisiologis sapi perah
Friesian Holstein (FH) kering kandang di KPBS Pangalengan. KPBS Pangalengan
berada pada ketinggian 1 000 ̶ 1 400 meter diatas permukaan laut dengan suhu
pertahun berkisar 12 ̶ 28 °C dan kelembapan pertahun 60 ̶ 70%. Kondisi lingkungan
di KPBS Pangalengan ini dapat memengaruhi kondisi fisiologis sapi perah kering
kandang. Kondisi fisiologis ini penting untuk mengetahui kesehatan sapi perah.
Penelitian ini menggunakan 46 ekor sapi perah kering kandang yang sehat secara
klinis. Pengukuran parameter fisiologis dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari,
kemudian hasil yang didapat dihitung rataannya. Kisaran denyut jantung, respirasi,
dan suhu tubuh berturut-turut sebesar 52.8−70.2 kali/menit, 18.9−36.6 kali/menit,
dan 37.6−38.6 °C. Kisaran hemoglobin, hematokrit, eritrosit, dan leukosit adalah

9.3−11.3 g/dl, 30.4−36.6%, 6.5−8.70 juta/µl, dan 7.4−12.8 ribu/µl. Kisaran
diferensial leukosit meliputi limfosit, neutrofil, monosit, eosinofil, dan basophil,
berturut-turut sebesar 29.60 ̶ 55.60%, 28.80 ̶ 56.20%, 0.30 ̶ 4.30%, 5.50 ̶ 19.7%, dan
0.00 ̶ 0.00%. Rasio neutrofil/limfosit didapatkan berkisar 0.45 ̶1.91. Secara umum
hasil pengukuran kondisi fisiologis sapi perah kering kandang berada pada kondisi
normal berdasarkan iklim di wilayah tersebut. Nilai tersebut diharapkan dapat
dijadikan acuan kondisi fisiologis sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan.
Kata kunci: Friesian Holstein, KPBS Pangalengan, periode kering kandang , respon
fisiologis

ABSTRACT
KHAIRUL IHSAN. Physiological Condition (Hematology, Heart Rate, Respiration
Frequency, and Body Temperature) of Dairy Cattle in KPBS Pangalengan.
Supervised by AGIK SUPRAYOGI and ASEP YAYAN RUHYANA.
The objective of this research was aimed to study the physiological condition
of Friesian Holstein (FH) dairy cattle during dry period in KPBS Pangalengan.
KPBS Pangalengan is located at 1 000–1 420 meters above sea level with
temperature about 12-28 °C per year and humidity 60-70% per year.
Environmental condition in KPBS Pangalengan will affect physiologic of dairy
cattle during dry period. Physiological condition is very important to know the

health condition of dairy cattle. This research used 46 dairy cattle during dry period
are clinically healthy. Measurement parameter fisiological was done at morning,
noon, and evening, then the result obtained calculated average. The range of heart
rate, respiration frequency, and body temperature were 52.8−70.2 times/min,
18.9−36.6 times/min, and 37.6−38.6 °C. The range of hemoglobin, hematocrit,
erythrocytes, and leukocytes were 9.3−11.3 g/dl, 30.4−36.6%, 6.5−8.70 million/µl,
and 7.4−12.8 thousand/µl. The range of differential leukocyte covering lymphocyte,

neutrophils, monocytes, eosinophils, and, basophils, were 29.60 ̶ 55.60%, 28.80 ̶
56.20%, 0.30 ̶ 4.30%, 5.50 ̶ 19.7%, and 0.00 ̶ 0.00%. The ratio of
neutrophils/lymphocytes obtained ranges 0.45 ̶1.91. In general, measurements of
physiologic condition of dairy cattle during dry period is at normal conditions
based on the climate in the region. The value is expected can be used as reference
physiological of dairy cattle during dry period in KPBS Pangalengan.
Keywords: dry period, Friesian Holstein, , KPBS Pangalengan, physiological
response

KONDISI FISIOLOGIS (HEMATOLOGI, DENYUT JANTUNG,
FREKUENSI RESPIRASI, DAN SUHU TUBUH) SAPI PERAH
KERING KANDANG DI KPBS PANGALENGAN


KHAIRUL IHSAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Kondisi Fisiologis (Hematologi, Denyut Jantung, Frekuensi
Respirasi, dan Suhu Tubuh) Sapi Perah Kering Kandang di KPBS
Pangalengan
Nama
: Khairul Ihsan
NIM
: B04090142


Disetujui oleh

Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc AIF
Pembimbing I

drh Asep Yayan Ruhyana
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis sampaikam kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini adalah fisiologis sapi

perah kering kandang di daerah tropis, dengan judul Kondisi Fisiologis
(Hematologi, Denyut Jantug, Frekuensi Respirasi, dan Suhu Tubuh) Sapi Perah
Kering Kandang di KPBS Pangalengan. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat
mendapatkan gelar sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan Terima kasih dan
penghargaan kepada bapak Prof Dr drh Agik Suprayogi MSc AIF, sebagai dosen
pembimbing pertama dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan
dan masukannya hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Bapak drh Asep Yayan
Ruhyana selaku pembimbing kedua, atas masukan serta bimbingannya dalam
pengambilan data di Pangalengan. Ayah dan bunda yang selalu memberikan
motivasi, doa, dan kesabaran. Kementrian Agama RI, bapak Imam, bapak
Ruchman, selaku pembina CSS MoRA yang telah memberikan beasiswa kepada
penulis. Sahabat-sahabat CSS MoRA IPB dan Zerlinda Amelia yang memberikan
motivasi dan semangatnya. Rekan-rekan satu tim Pangalengan, yang telah
membantu selama proses penelitian, Bagus, Ganjar, Risnia, Putra, dan Budi serta
warga Pangalengan, Bapak Warsa, Bu Sri dan Bapak Sofyan yang telah banyak
membantu selama proses pengambilan data di Pangalengan.
Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan bermanfaat untuk penulis sendiri, pembaca, dan instansi terkait. Kritik

dan sarannya dapat disampaikan kepada penulis agar semakin baik kedepannya.
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya “ilmu
bermanfaat”.

Bogor, Februari 2014
Khairul Ihsan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


Ruang Lingkup Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Sapi Friesian Holstein (FH) di Pangalengan

3

Periode Kering Kandang

3

Kondisi Fisiologis Sapi Friesian Holstain (FH)

4


Denyut jantung

4

Frekuensi Respirasi

5

Suhu Rektal

5

Profil Darah dan Komponennya

6

Sel darah merah (eritosit)

7


Sel darah putih (leukosit)

7

METODE

7

Waktu dan Tempat

9

Bahan

9

Alat

9

Prosedur Analisis Data

10

Metode Penelitian

10

Denyut Jantung

10

Frekuensi Respirasi

10

Suhu Rektal

10

Suhu dan Kelembapan

10

Profil Hematologi dan Komponennya

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Kondisi Lingkungan KPBS Pangalengan

11

Kondisi Fisiologis Sapi FH Kering Kandang

12

Profil HematologiTernak Sapi Perah Kering kandang

14

Hemoglobin

14

Hematokrit

15

Jumlah eritrosit

15

Jumlah leukosit

15

Indeks Stres
SIMPULAN DAN SARAN

18
17

Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL

1. Pengamatan denyut jantung, frekuensi respirasi, dan suhu rektal ternak 12
sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan dibandingkan dengan
peternakan sapi FH pada daerah lain di Pulau Jawa
2. Gambaran parameter fisiologis ternak sapi perah kering kandang di
12
KPBS Pangalengan berdasarkan pembagian waktu
3. Profil hematologi ternak sapi FH kering kandang di KPBS
Pangalengan dibandingkan dengan peternakan sapi FH di daerah
subtropis
4. Diferensial leukosit pada sapi perah kering kandang di Pangalengan
dibandingkan dengan peternakan sapi FH di daerah subtropis

14

16

DAFTAR GAMBAR
1. Pembagian sel darah mamalia

7

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi menjanjikan dalam
pengembangan sapi perah. Pertumbuhan perekonomian yang semakin baik,
berkorelasi positif dengan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi protein asal
hewan. Kebutuhan susu di Indonesia pada tahun 2001 sebesar 883 758 ton,
meningkat sebesar 1 758 243 ton pada tahun 2007. Nilai tersebut menunjukkan
peningkatan kebutuhan susu sebesar 98.9% (Ditjennak 2008). Menurut Yusdja
(2005), laju produksi susu hanya dapat memenuhi 30% dari permintaan dalam
negeri. Keadaan ini disebabkan produksi peternakan sapi perah di Indonesia belum
optimal.
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan merupakan salah
satu wilayah peternakan sapi perah di Jawa Barat yang berpotensi menghasilkan
produksi susu yang cukup tinggi. Pangalengan termasuk daerah dataran tinggi
dengan ketinggian di atas permukaan laut antara 1 000–1 400 m dengan suhu
pertahun berkisar 12–28 °C dan kelembapan pertahun berkisar 60–70% (KPBS
2011). Kondisi alam tersebut menunjang keberadaan peternakan sapi perah di
Pangalengan, sehingga sebagian besar masyarakat setempat bekerja sebagai
peternak dan petani, dengan populasi sapi perah di KPBS pada tahun 2012
berjumlah 16 952 ekor (KPBS 2012). Peternakan sapi perah Pangalengan
merupakan peternakan rakyat, dengan jumlah ternak berkisar 2–5 ekor/kepala
keluarga. Jenis sapi perah yang diternakkan di Pangalengan adalah Friesian
Holstein (FH).
Yusdja (2005) menyatakan, untuk saat ini di Indonesia skala usaha sapi perah
tidak diimbangi dengan produktifitasnya. Sudono et al. (2003) menjelaskan bahwa
sapi FH memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan dengan sapi perah lainnya.
Tetapi di Indonesia sapi perah jenis ini hanya mampu memproduksi susu sebanyak
10 L/hari. Keadaan tersebut diakibatkan karena masih lemahnya manajemen
peternakan yang diterapkan, terutama manajemen kesehatan.
Kering kandang merupakan salah satu periode produksi pada sapi perah yang
dapat memengaruhi produktifitas dan dan kualitas produksi susu. Pentingnya
manajemen pada masa kering kandang sapi perah dilakukan sebagai upaya untuk
mencapai produksi optimal. Pada masa ini alveolus pada kelenjar mamae
mengalami restorasi dan proliferasi untuk siap produksi pada saat laktasi berikutnya
(Anggraeni et al. 2010).
Maraknya isu pemanasan global (Global warming) saat ini, diduga menjadi
penyebab penurunan produktifitas akibat pergeseran kondisi fisiologis pada ternak.
Pemanasan global dapat memberikan dampak negatif terhadap produktifitas yang
mengakibatkan stres cekaman panas dan pertumbuhan penyakit pada sapi perah FH
(Bahri dan Syafriati 2011). Pengaruh langsung akibat pemanasan global adalah
pertumbuhan yang tidak optimal dan stres, sedangkan pengaruh tidak langsung
akibat perubahan iklim tersebut berupa berkurangnya ketersediaan pakan alami
yang dipengaruhi oleh curah hujan (Balitbang 2011).
Anggraeni (2000) memaparkan kemampuan produksi susu sapi perah
merupakan interaksi antara faktor genetik dan lingkungannya. Faktor lingkungan

2
berpengaruh 70 % terhadap produksi susu, yang meliputi faktor eksternal dan
internal. Lingkungan eksternal meliputi iklim, pemberian pakan, dan manajemen
pemeliharaan, sedangkan lingkungan internal meliputi aspek biologis yaitu lama
laktasi, kering kandang, periode kosong dan selang beranak. Global warming
merupakan faktor eksternal yang mampu untuk memengaruhi fisiologi ternak,
namun sulit untuk diprediksi dan dikendalikan. Sampai saat ini belum banyak orang
yang menyadari bahwa kondisi fisiologi sapi perah yang ada di wilayah peternakan
telah dan akan bergeser akibat pemanasan global. Oleh sebab itu, perlu adanya
kajian disetiap wilayah peternakan tentang kondisi fisiologis terutama sapi perah di
KPBS Pangalengan. Sangat penting dilakukan kajian tersebut mengingat peran
penting pada periode kering kandang terhadap produksi susu dan kesehatan sapi
perah. Kajian ini dilakukan sebagai upaya untuk menilai kondisi fisiologis (denyut
jantung, frekuensi repirasi, dan suhu rektal) sapi perah kering kandang berdasarkan
iklim di wilayah tersebut.
Penelitian ini mengkaji kondisi fisiologis sapi FH kering kandang di daerah
Pangalengan, dengan melakukan pengukuran hematologi, denyut jantung,
frekuensi respirasi, dan suhu rektal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
acuan terhadap kondisi kesehatan fisiologis sapi FH kering kandang untuk wilayah
Indonesia khususnya Pangalengan.

Perumusan Masalah
Masa kering kandang merupakan periode yang memengaruhi produksi susu,
sehingga manajemen pemeliharaan sapi Friesian Holstein (FH) pada masa ini perlu
diperhatikan. Salah satu acuan manajemen pemeliharaan adalah kesehatan ternak
yang dapat diketahui dari kondisi fisiologisnya. Kondisi lingkungan di Pangalengan
dapat memengaruhi kondisi fisiologis ternak sapi perah, sehingga diperlukan
pemantauan kondisi fisiologis sapi FH kering kandang di wilayah tersebut. Kondisi
fisiologis tersebut penting dilakukan sebagai indikator kesehatan dan produktifitas
sapi perah di wilayah tersebut.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi fisiologis sapi perah kering
kandang (denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, dan hematologi) di
peternakan rakyat KPBS Pangalengan terkait dengan kondisi iklim di wilayah
tersebut.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat mengetahui kondisi fisiologis sapi perah
kering kandang di Pangalengan, sehingga kondisi umum sapi perah kering kandang
normal dan abnormal dapat ditentukan. Kemudian dapat digunakan untuk
memetakan kondisi kesehatan dan produktifitas ternak, sebagai informasi dasar
kondisi fisiologis normal sapi Friesian Holstein (FH) di daerah tropis terutama di
Pangalengan. Pengetahuan tersebut bertujuan memaksimalkan manajemen

3
pemeliharaan kesehatan pada masa kering kandang untuk mencapai produksi
optimal.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah kondisi fisiologis sapi FH kering kandang,
di daerah tropis seperti Indonesia, terutama Pangalengan. Kondisi fisiologis yang
diamati antara lain, hematologi, denyut jantung, frekuensi respirasi, dan suhu tubuh.

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Friesian Holstein (FH)
Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari Provinsi Belanda Utara dan
Friesland Barat. Sapi jenis ini telah tersebar ke berbagai wilayah di dunia, karena
memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan dengan jenis sapi perah lainnya dan
memiliki kandungan lemak rendah. Sapi FH memiliki bobot badan ideal untuk
betina 628 kg dan jantan 1 000 kg. Bobot anak sapi FH yang baru lahir mencapai
43 kg (Sudono et al. 2003). Sapi FH memiliki corak putih hitam, terkadang merah
dan putih. Menurut Santoso (2008), sapi FH yang baik memiliki tubuh luas ke
belakang seperti gergaji, bentuk ambing baik dan simetris, rasio pakan terhadap
produksi susu baik, dan memiliki temperamen yang jinak.
Produksi susu sapi FH di Amerika mencapai 7 245 kg/periode laktasi, dengan
kandungan lemak 3.65%, sedangkan di Indonesia rata-rata memproduksi
10 liter/ekor/hari atau lebih kurang 3 050 kg/periode laktasi. Menurut Sudono et al.
(2003), keadaan ini akibat kondisi lingkungan di Indonesia berada diluar zona
nyaman ternak sapi perah, sehingga sapi FH harus menyesuaikan fisiologis
tubuhnya.
Yani dan Purwanto (2006) menyatakan, terdapat empat unsur mikro yang
memengaruhi produktifitas ternak yaitu suhu, kelembapan, radiasi, dan kecepatan
angin. Selain itu, produktifitas ternak juga dipengaruhi unsur tidak langsung, yaitu
evaporasi dan curah hujan.

Periode Kering Kandang
Periode kering kandang merupakan salah satu periode produksi dari sapi
perah, berkisar 2 bulan sebelum partus saat sapi mulai berhenti produksi susu.
Sudono (2003) dalam penelitiannya menyatakan, rata-rata masa kering kandang
sapi perah di Pangalengan adalah 60-70 hari. Anggraeni et al. (2010) menyatakan,
Periode ini merupakan fase saat indukan sapi melakukan perbaikan pada tubuh
terutama pada ambing untuk beregresi, berproliferasi, dan berdiferensiasi, sehingga
ambing siap untuk memproduksi susu secara optimal sesudah partus. Apabila sapi
diberikan kesempatan untuk menjalani masa kering kandang yang optimal, akan
mendapatkan kompensasi produksi susu yang lebih banyak pada periode laktasi.

4
Penelitian pada negara beriklim sedang seperti Zimbabwe dan Carolina Utara,
menunjukkan periode kering kandang selama 50-70 hari, dapat membuat sapi
berproduksi secara optimal pada priode berikutnya (laktasi) (Makuza dan Mcdaniel
1996). Hal ini menunjukkan lama periode kering kandang yang optimal dapat
menghasilkan produksi susu yang maksimal.
Yafizham (2006) mengatakan, masa kering kandang menjadi masa istirahat
induk kering kandang untuk menjaga keseimbangan kalsium (Ca) dalam darah pada
proses produksi susu dan pengaturan fisiologis tubuh induk sendiri. Pada periode
akhir kebuntingan sekresi hormon paratiroid meningkat, sehingga mobilisasi Ca
dari tulang meningkat, absorbsi Ca dalam usus dan reabsorbsi Ca dalam ginjal juga
meningkat. Hal ini mengakibatkan kadar Ca dalam darah meningkat, namun akan
kembali normal setelah 2 minggu postpartus. Kekurangan Ca pada masa kering
kandang dapat menyebabkan kelainan pada fetus, dan gangguan penyakit pada
induk sapi seperti milk fever dan downer cow syndrome.
Fase kering kandang menjadi periode istirahat dan perbaikan fungsi laktasi
ambing, sehingga secara keseluruhan fungsi fisiologis tubuh ternak dapat berubah
dari kondisi laktasinya. Pengamatan kondisi fisiologis ini menjadi penting
mengingat kondisi ini merupakan indikator kondisi kesehatan dan produktifitas sapi
perah di wilayah tersebut.
Menurut Anggraini et al. (2010), masa kering kandang dapat memengaruhi
produksi susu pada periode laktasi berikutnya, namun masih ada beberapa faktor
lain yang berpengaruh terhadap produksi susu. Komponen tersebut seperti
reproduksi, kondisi kesehatan, pemberian pakan, dan kejadian penyakit. Kejadian
aborsi juga dapat berpengaruh cukup besar terhadap produksi susu pada sapi FH.

Kondisi Fisiologis Sapi Friesian Holstain (FH)
Kondisi fisiologis merupakan respon fungsional tubuh dan reaksi dari
metabolisme tubuh secara sistematis yang bertujuan mencapai homeostatis tubuh
atau keseimbangan tubuh terhadap lingkungan. Fisiologis tubuh ternak dapat
menggambarkan kondisi kesehatan dan produktifitasnya sebagai akibat respon
terhadap lingkungan. Sudono et al. (2003) menjelaskan produksi susu sapi FH pada
daerah tropis tidak berbeda jauh dengan daerah subtropis apabila berada pada
kondisi lingkungan 18.3 °C dengan kelembapan udara 55%. Produksi akan relatif
cukup baik hingga suhu 21.1 °C dan akan mengalami penurunan pada suhu
lingkungan 27 °C.

Denyut jantung
Sistem kardiovaskular merupakan suatu sistem sirkulasi atau alat transport
darah yang yang terdiri atas jantung dan pembuluh darah. Sistem kardiovaskular
berperan mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Jantung merupakan struktur otot
berbentuk kerucut yang bekerja otonom, memiliki basis pada bagian dorsalnya dan
berongga. Jantung berfungsi untuk memompa darah keseluruh tubuh, sedangkan
pembuluh darah berperan untuk mendistribusikan darah ke seluruh tubuh. Kualitas
kardiovaskular dapat digambarkan berdasarkan banyaknya jantung berdenyut

5
setiap ukuran waktu (menit), yang disebut dengan denyut jantung (Cunningham
2002).
Faktor yang memengaruhi denyut jantung antara lain, jenis hewan, ras, jenis
kelamin, ukuran tubuh, umur, kebuntingan, aktifitas tubuh, stres, cekaman
lingkungan, dan kesehatan (Kelly 1984). Pengamatan denyut jantung bertujuan
mengetahui respon fisiologis dan kesehatan ternak terhadap lingkungan di
Pangalengan.
Frekuensi denyut jantung normal sapi dewasa berkisar antara
60−80 kali/menit (Kelly 1984). Suherman (2013) melaporkan, denyut jantung sapi
perah berkisar 67−84 kali/menit, Rakhman (2008) melaporkan berkisar
77−89 kali/menit, hasil penilitian dari Utomo et al. (2009) dan Sudrajad dan Adiarto
(2012) kisaran denyut jantung sapi perah laktasi adalah 67.48−73.52 dan
46−84 kali/menit.
Kekuatan kontraksi jantung dipengaruhi oleh sistem saraf otonom. Saraf
vagus bekerja sebagai penghambat kerja jantung dengan menurunkan kontraksi otot
jantung, kecepatan kontraksi dan kecepatan konduksi impuls di dalam jantung.
Rangsangan simpatis berfungsi meningkatkan kerja jantung, kontraksi otot dan
konduksi impuls. Pada saat sapi perah mengalami peningkatan aktivitas atau
mengalami stres, stimulasi simpatis akan meningkatkan aktivitas jantung untuk
menyuplai banyak darah ke hati dan otak (Frandson 1992).

Frekuensi Respirasi
Sistem pernafasan memiliki fungsi utama untuk menyuplai oksigen (O2) ke
seluruh tubuh dan mengeluarkan karbon dioksida (CO2) dari tubuh. Oksigen
berfungsi pada proses metabolisme dan pengatur konsentrasi ion hidrogen dalam
cairan tubuh sehingga proses metabolisme di dalam tubuh dapat berjalan baik. Pusat
pernafasan diatur oleh medulla oblongata dan pons. Medulla oblongata memiliki
substansi retikularis berfungsi sebagai pengaturan inspirasi dan ekspirasi dalam
mengatur irama dasar pernafasan. Pons berfungsi sebagai pusat pneumotaksik dan
pusat apneumotaksik yang dapat memengaruhi kecepatan dan irama pernafasan
(Frandson 1992).
Repiratory rate adalah jumlah frekuensi inspirasi dan ekspirasi yang
dilakukan dalam setiap menit. Proses inspirasi dan ekspirasi terjadi akibat selisih
tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus disebabkan kerja mekanik otototot di wilayah rongga thoraks (Frandson 1992). Menurut laporan Suherman et al.
(2013) dan Rakhman (2008) frekuensi respirasi sapi perah berkisar 27−38 dan
28−40 kali/menit. Utomo et al. (2009) dan Sudrajad dan Adiarto (2012)
memaparkan kisaran frekuensi respirasi sapi perah adalah 25.1−28.5 kali/menit dan
25.3−80 kali/menit.
Peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan merupakan respon
fisiologis tubuh untuk menyesuaikan perubahan suhu tubuhnya terhadap keadaan
lingkungan, sehingga dengan mengetahui perubahan frekuensi respirasi dari
normalnya, dapat diketahui bahwa ternak sapi perah berada pada kondisi tidak
nyaman. Keadaan ini akan mengakibatkan produksi tidak optimal (Mantodang et
al. 2012). Kelembapan yang tinggi dan suhu yang terlalu panas dapat meningkatkan
laju respirasi pada ternak.

6
Suhu Tubuh
Suhu tubuh merupakan ekspresi kemampuan tubuh melepaskan dan
menerima panas. Hewan dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan suhu
tubuhnya, yaitu hewan berdarah dingin (poikilotermik) dan berdarah panas
(homeotermik). Hewan berdarah dingin akan menyesuaikan suhu tubuh dengan
suhu lingkungannya, sedangkan hewan berdarah panas cenderung mempertahankan
suhu tubuh nomalnya (Frandson 1992). Sapi perah termasuk jenis hewan yang
homeotermik. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat
memengaruhi produksi optimal dari sapi perah.
Menurut Kelly (1984), suhu tubuh yang terukur dengan termometer
merupakan dampak keseimbangan antara suhu yang diproduksi tubuh dan suhu
lingkungan. Pengukuran dilakukan melalui suhu rektal. Menurut laporan Utumo et
al. (2009) dan Sudrajad dan Adiarto (2012), suhu rektal sapi perah berkisar
26.8−1.7 °C dan 35.6−39.1 °C. Rakhman (2008) pada penelitiannya juga
menyebutkan kisaran suhu rektal yaitu 38.3–38.8 °C.
Penyeimbang suhu tubuh diatur oleh termoregulator dengan mekanisme
umpan balik positif dan negatif (Frandson 1992). Pusat termoregulator tubuh
terletak di hipotalamus, sedangkan sensor panas tubuh terdapat diseluruh
permukaan kulit (Kelly 1984). Pada saat pusat suhu mendapatkan informasi tubuh
terlalu panas atau dingin maka tubuh akan memberikan respon dengan
meningkatkan atau menurunkan suhu. Mekanisme penurunan suhu adalah dengan
cara berkeringat, vasodilatasi, dan penurunan pembentukan panas tubuh, sedangkan
untuk meningkatkan suhu tubuh adalah dengan vasokontriksi, meningkatkan
produksi panas tubuh. Pengukuran suhu rektal merupakan salah satu refleksi
terhadap suhu yang diproduksi oleh tubuh (Frandson 1992).

Profil Hematologi dan Komponennya
Darah dalam tubuh ternak berfungsi sebagai pengangkut oksigen,
karbondioksida, nutrisi, dan sisa-sisa metabolisme tubuh. Darah tersusun atas
plasma dan sel darah. Sel darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Plasma darah mengandung 90% air
dan dilengkapi dengan zat terlarut didalamnya seperti, protein plasma dan zat
makanan (Isnaeni 2006). Frandson (1992) menjelaskan bahwa, volume darah pada
sapi 7.7% dari berat tubuhya dengan kandungan sel darah merah berjumlah
7 juta/mm3 dan sel darah putih 7−10 ribu/mm3. Pembagian sel-sel darah pada
mamalia menurut Wardhani (2008) dapat dilihat pada Gambar 1.
.

7

Gambar 1 Pembagian sel darah mamalia (Wardhani 2008)
Sel darah merah (eritosit)
Eritrosit berfungsi sebagai transport oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2),
serta penyuplai nutrisi untuk tubuh. Persentase eritrosit yang ada dalam darah
disebut dengan nilai hematokrit atau dikenal dengan packed cell volume (PCV).
Menurut Frandson (1992), hematokrit merupakan perbandingan antara eritrosit dan
plasma darah. Jumlah eritrosit normal dalam darah berkisar 4.86‒5.32 juta/µl
(Sattar dan Mirza 2009), dan 4.72‒5.88 juta/µl (Mirzadeh et al. 2010). Sattar dan
Mirza (2009) dalam penelitiannya melaporkan nilai hematokrit normal berkisar
23.17‒31.67%, rentang kisaran normal hematokrit yang lebih pendek dilaporkan
oleh Mirzadeh et al. (2010) yaitu 27.95‒31.55%. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh
aktivitas tubuh, ketinggian tempat, dan anemia.
Hemoglobin merupakan senyawa kompleks yang memiliki empat pigmen
porfirin merah (heme) masing-masing memiliki Fe dan globin. Hemoglobin
terdapat didalam eritrosit yang berfungsi mengikat oksigen dan memberi warna
merah pada darah. Oksigen yang berikatan dengan hemoglobin akan membentuk
oksihemoglobin yang kemudian akan dilepas ke jaringan didalam tubuh. Dengan
adanya hemoglobin darah dapat mengangkut oksigen 60 kali lebih banyak
dibandingkan dengan air dalam volume yang sama. Sehingga semakin tinggi
jumlah hemoglobin akan meningkatkan jumlah oksigen yang dapat diikat oleh
darah (Frandson 1992).
Jumlah hemoglobin normal dalam darah adalah 7.69‒10.99 g/dl (Sattar dan
Mirza 2009), dan 8.89‒9.59 g/dl (Mirzadeh et al. 2010). Menurut Frandson (1992),
jumlah eritrosit dalam darah berkorelasi positif dengan persentase hematokrit dan
hemoglobin.
Sel darah putih (leukosit)
Gambaran darah terutama leukosit merupakan salah satu parameter dari
pertahanan tubuh. Leukosit bersifat non aktif bila kondisi normal, namun akan
meningkat dan dibawa ke jaringan apabila mengalami gangguan dan kerusakan
(Frandson 1992). Bila terjadi invasi dari benda asing, leukosit akan menuju benda

8
asing tersebut (khemotaksis) dan melakukan fagositosis apabila organisme tersebut
menyerang tubuh.
Jumlah leukosit pada sapi perah berkisar 5.83‒12.23 ribu/µl (Sattar dan Mirza
2009), dan 6.78‒8.52 ribu/µl (Mirzadeh et al. 2010). Leukosit dibagi menjadi dua
kelompok sel, yaitu agranulosit (monosit dan limfosit) dan granulosit (eosinofil,
neutrofil, dan basofil). Setiap jenis sel leukosit memiliki fungsinya masing-masing
(Frandson 1992). Leukosit dibentuk di sumsum tulang dan sebagian dibentuk di
jaringan limfe (Akers dan Denbow 2008).
Limfosit berfungsi sebagai respon kehadiran antigen atau benda asing dengan
membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam kekebalan seluler
(Frandson 1992). Limfosit merupakan jenis leukosit agranulosit dan bersifat
basofilik lemah. Limfosit dibentuk di dalam limpa, kelenjar limfe, sumsum tulang
belakang, tonsil, dan bursa fabrisius (Frandson 1992). Limfosit berdasarkan
fungsinya dibagi menjadi sel limfosit B dan T. Sel B berperan sebagai kekebalan
humoral dengan memproduksi antibodi dan sel memori. Sel T berfungsi sebagai
respon kekebalan perantara seluler (Ganong 2008). Nilai limfosit normal pada sapi
perah berkisar 45.9−52.3% (O’Driscol et al. 2009) dan 62.2−68.2% (Sattar dan
Mirza 2009).
Monosit merupakan calon makrofag yang belum matang yang bekerja
sebagai pertahanan saat terjadinya infeksi. Saat masuk ke jaringan, ukuran monosit
dapat membesar menjadi 5 kali lipat yang disebut dengan makrofag dan sangat
ampuh menyerang agen penyakit (Akers dan Denbow 2008). Monosit memiliki
sitoplasma yang banyak, memiliki inti di tengah, dan berbentuk kacang atau
melekuk. Peran utamanya adalah melakukan fagositosis dan menghancurkan
partikel-partikel asing serta jaringan mati. Kemudian, monosit juga dapat mengolah
bahan asing untuk dapat membangkitkan tanggap kebal dan memiliki kerja
fagositik seperti neutrofil (Frandson 1992). Nilai monosit pada sapi perah berkisar
2.5‒3.5% (O’Driscol et al. 2009) dan 5.62‒7.18% (Sattar dan Mirza 2009).
Neutrofil adalah leukosit yang dibentuk di dalam sumsum tulang, kemudian
masuk ke dalam peredaran darah dan tinggal di dalam pembuluh darah selama 12
jam sebelum berpindah ke dalam pembuluh darah. Neutrofil berperan sebagai garda
pertahanan pertama tubuh memiliki fungsi sebagai penghancur benda asing melalui
proses fagositosis, kemudian neutrofil mencerna benda asing tersebut dengan
melepaskan enzim lisosom. Jumlah neutrofil dalam darah akan meningkat apabila
terjadi infeksi akut. (Frandson 1992). Nilai neutrofil normal pada sapi perah
berkisar 41.2−47.4% (O’Driscol et al. 2009) dan 20.33−26.27% (Sattar dan Mirza
2009).
Eosinofil diproduksi pada sumsum tulang belakang dan termasuk jenis
leukosit bergranula. Eosinofil memiliki inti berlobus 2, dengan persentase 2‒3%
dari seluruh jumlah leukosit dalam darah. Eosinofil banyak diproduksi apabila
terjadi invasi oleh parasit, dengan mekanisme menempel pada pada parasit dan
melepaskan bahan-bahan yang dapat mematikan parasit tersebut (Frandson 1992).
Nilai eosinofil pada sapi perah berkisar 1.5‒2.9% (O’Driscol et al. 2009) dan
3.76‒4.84% (Sattar dan Mirza 2009).
Basofil termasuk leukosit bergranul dan berinti dua. Butir basofil
mengandung heparin, histamin, asam hialuronat, serotonin dan beberapa faktor
kemotaksis, sehingga dapat menimbulkan reaksi alergi (Akers dan Denbow 2008).
Basofil jarang dijumpai pada sirkulasi darah sapi perah, namun basofil berperan

9
penting saat terjadi reaksi inflamasi dan memiliki kecenderungan untuk menempel
pada sel mast (Frandson 1992). Nilai basofil pada sapi perah berkisar 0.6‒1%
(Sattar dan Mirza 2009).
Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L)
Stres merupakan respon tubuh terhadap lingkungan akibat adanya cekaman.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan penurunan produktifitas dan kesehatan pada
ternak bahkan kematian. Perubahan pada perilaku dan fisiologis pada ternak dapat
dijadikan acuan terhadap adanya cekaman yang mengakibatkan stres (Borell 2001).
Kondisi kandang dan manajemen pada peternakan merupakan faktor yang dapat
memengaruhi stres, terutama pada proses transportasi, penggiringan ternak, dan
saat isolasi (Borell 2001). Menurut Kannan (2000), gambaran leukosit dapat
dijadikan indikator terhadap stres dengan menggunakan rasio jumlah
neutrofil : limfosit (N/L) untuk mengukur indeks stres pada ternak. Pada kondisi
stres hormon kortisol akan meningkat mengakibatkan pelepasan jumlah neutrofil
dan perpanjangan umur neutrofil, sedangkan limfosit akan mengalami penurunan
jumlah, (Kannan 2000). Menurut O’Driscol et al. (2009), nilai rasio N/L pada sapi
perah kering kandang di daerah subtropis berkisar 0.76 ̶1.2.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2012. Pengambilan
sampel darah bertempat di peternakan rakyat Koperasi Peternakan Bandung Selatan
(KPBS), Pangalengan, Jawa Barat. Analisis darah dilakukan di Laboratorium
Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan
Sampel yang digunakan adalah sapi perah kering kandang sehat secara klinis
pada periode laktasi 2 dan 3. Jumlah sampel sebanyak 24 ekor untuk pengukuran
denyut jantung, frekuensi respirasi dan suhu tubuh dan 22 ekor untuk pengamatan
gambaran darah, dipilih secara tak acak dari 13 peternak di KPBS Pangalengan.
Bahan yang digunakan antara lain, sampel darah, metanol, larutan pewarna giemsa
10%, alkohol 70%, akuades, ethylene diamine tetra acid (EDTA), asam
hidroklorida 0.1 N, larutan turk, dan larutan hayem.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, termometer, stetoskop,
stopwatch, pipet tetes, hemoglobinometer sahli (pipet hemoglobin 20 mm3, tabung
sahli, dan warna standar pembanding), mikroskop, kamar hitung (hemositometer),

10
sentrifus 10 000-20 000 rpm, alat pembaca mikrohematokrit, tabung kapiler, alat
penyumbat tabung kapiler, pipet pengencer, kertas saring, dan kaca preparat.

Prosedur Analisis Data
Parameter fisiologis meliputi denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal,
dan nilai hematologi dianalisis secara deskriptif. Pengukuran parameter fisiologis
meliputi denyut jantung, frekuensi respirasi dan suhu tubuh pada 3 (pagi, siang, dan
sore) waktu yang berbeda dianalisis menggunakan metode analyse of variance
(Anova) kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan untuk membandingkan
perbedaan antar waktu.

Metode Penelitian
Denyut Jantung
Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan merasakan pulsus tiap menit
pada arteri coxygea, selain itu, dapat pula dilakukan pengukuran dengan mengukur
jumlah denyut jantung pada daerah intercostae 2 sampai 5 dengan menggunakan
stetoskop. Penghitungan diulang sebanyak 2 kali dalam setiap pengambilan data
denyut jantung pada pagi (06.00–08.00), siang (12.00–14.00), dan sore (16.00–18.00).
Frekuensi Respirasi
Pengukuran frekuensi respirasi dilakukan dengan mengamati gerakan daerah
thoraks atau kembang kempisnya daerah abdomen tiap menit. Penghitungan
diulang sebanyak 2 kali dalam setiap pengambilan data frekuensi respirasi, pada
pagi (06.00–08.00), siang (12.00–14.00), dan sore (16.00–18.00).
Suhu Rektal
Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan memasukkan termometer klinik ke
dalam rektum sapi perah. Penghitungan diulang sebanyak 2 kali dalam setiap
pengambilan data suhu tubuh ternak, pada pagi (06.00–08.00), siang (12.00–14.00),
dan sore (16.00–18.00).
Suhu dan Kelembapan
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat termohigrometer pada
daerah sekitar kandang. Pengukuran dilakukan setiap jam selama 3 hari berturutturut, hasil yang didapat merupakan rata-rata perhari.
Profil Darah
Sampel darah dari ternak sapi perah diambil sebanyak 20 ml dari vena
coxygea ventralis. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam tabung darah yang telah
ditambahkan antikoagulan EDTA dan disimpan di dalam termos es. Satu tetes darah
diambil untuk pembuatan preparat ulas darah, kemudian difiksasi menggunakan
metanol selama 5 menit.
Preparat ulas digunakan untuk menghitung jumlah diferensial leukosit
sedangkan darah yang ditambahkan EDTA digunakan untuk menganalisis

11
komponen darah meliputi butir darah merah (BDM), hemoglobin, hematokrit, dan
butir darah putih (BDP). Analisis dilakukan di laboratorium Fisiologi, Departemen
Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi fisiologis ternak dapat dijadikan indikator kesehatan ternak. Semakin
baik kesehatan ternak maka akan berpengaruh positif terhadap produksi ternak.
Sapi perah dapat hidup dengan nyaman jika faktor internal dan eksternalnya berada
pada batas yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Suhu dan kelembapan merupakan
faktor eksternal yang dapat memengaruhi kenyamanan dan produktifitas sapi perah.
Sapi perah yang mengalami cekaman panas dapat mengakibatkan produksi yang
tidak optimal. Cekaman panas akan menyebabkan sapi FH membutuhkan energi
yang lebih besar untuk melepaskan panas tubuh ke lingkungan, sehingga produksi
sapi perah tidak maksimal (Suherman et al. 2013). Kondisi cekaman tersebut dapat
diketahui melalui hasil pengukuran parameter fisiologis meliputi denyut jantung,
frekuensi respirasi, suhu tubuh, dan hematologi pada sapi perah.

Kondisi Lingkungan KPBS Pangalengan
Hasil pengamatan didapatkan suhu lingkungan 17.8±1.46 °C dengan
kelembapan 63.99±2.74%. Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan
di KPBS Pangalengan berada pada kisaran zona termonetral, sehingga mampu
memengaruhi kesehatan dan produktifitas sapi perah. Lingkungan dengan suhu dan
kelembapan tersebut dapat memberikan kenyamanan pada sapi perah, karena tidak
membutuhkan energi berlebih untuk menyeimbangkan kondisi tubuh dalam proses
metabolisme pelepasan dan penyimpanan panas tubuh. Menurut McNeilly (2001),
sapi FH akan nyaman apabila kondisi lingkungan berada pada Thermo Neutral Zone
(ZTN), dengan kisaran suhu 13–25 °C dan kelembapan 50–60%. Di luar kondisi
tersebut sapi akan mudah mengalami stres cekaman suhu, terutama panas. Hal
tersebut mengakibatkan tubuh tidak dapat mengeluarkan lagi panas yang diterima
dari lingkungan, sehingga tubuh dipaksa untuk meningkatkan laju metabolisme
dalam proses pelepasan panas. Keadaan tersebut akan meningkatkan kebutuhan
energi dan berdampak pada menurunnya produksi.
Kelembapan yang tinggi akan mengakibatkan persentase molekul oksigen di
dalam udara berkurang akibat tingginya kadar air diudara, sehingga kandungan
oksigen lebih sedikit dan sapi FH harus menyesuaikan secara fisiologis dan secara
tingkah laku. Menurut Yani dan Purwanto (2006), pengaruh akibat cekaman panas
adalah: 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3)
peningkatan katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas dari tubuh; 5)
peningkatan suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan.

12
Kondisi Fisiologis: Denyut Jantung, Respirasi, dan suhu tubuh Sapi FH
Kering Kandang
Periode kering kandang dapat memengaruhi respon fisiologis tubuh dan
produktifitas ternak, namun hingga saat ini masih belum banyak dilakukan kajian
mengenai hal tersebut, sehingga masih sulit menemukan pustaka fisiologis sapi FH
pada periode kering kandang terutama di Indonesia. Hasil pengukuran denyut
jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal sapi perah kering kandang di KPBS
Pangalengan dibandingkan dengan peternakan sapi FH dengan kondisi laktasi dan
dara pada daerah lain di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 1 Kisaran nilai parameter
fisiologis sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan pada waktu pagi, siang,
dan sore hari disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Pengamatan denyut jantung, frekuensi respirasi, dan suhu rektal ternak sapi
perah kering kandang di KPBS Pangalengan dibandingkan dengan
peternakan sapi FH pada daerah lain di Pulau Jawa.

Parameter
Denyut jantung
(Kali/menit)
Frekuensi respirasi
(Kali/menit)
Suhu rektal (°C)
Suhu
Lingkungan (°C)
Kelembapan
lingkungan (%)

Suherman Utomo et al. Sudrajad
(2010) dan Adiarto
et al.
(2013)
Boyolali
(2012)
Bogor
Baturaden

Hasil
Pengamatan

Rakhman
(2008)
Lembang

52.8−70.2

77–89

67-84

67.5−73

18.9−36.6

28–40

27-38

25.1−28.5

25.3-80

37.6−38.6

38.3–38.8

-

35.6−37.0

35.6-39.1

16.4−19.2

18–27

22.8-32

22.7−25.1

22-31

61.2−66.6

75–80.5

60-86.6

81.8−85.2

68-100

46-84

Tabel 2 Gambaran parameter fisiologis ternak sapi perah kering kandang di KPBS
Pangalengan berdasarkan pembagian waktu
Waktu
Siang
Pagi
a
14
63.4±7.9
59.1±8.8a
Denyut jantung (Kali/menit)
14
28.3±8.4a
34.6±8.4a
Frekuensi Respirasi (Kali/menit)
14
37.6±0.8a
38.3±0.5b
Suhu Rektal (°C)
Keterangan: Superscript huruf yang berbeda pada baris yang sama
perbedaan yang nyata pada taraf p< 0.05
Respons Fisiologis

N

Sore
57.1±7.1a
32.6±4.7a
38.2±0.5b
menunjukkan

Pengamatan kondisi fisiologis sapi FH kering kandang di KPBS Pangalengan
menunjukkan kisaran denyut jantung 52.8−70.2 kali/menit. Secara umum nilai
tersebut tidak menunjukkan perbedaan dengan pustaka yang ada. Hasil pengamatan
yang didapat masih dalam kisaran yang sama dengan hasil penelitian sapi FH laktasi
yang dilakukan oleh Utomo et al. (2010) di Boyolali yaitu, 67.5−73 kali/menit,

13
Sudrajad dan Adiarto (2012) pada sapi FH laktasi 46−84 kali/menit di wilayah Balai
Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Baturraden, dan Suherman et al. (2013)
pada sapi FH dara adalah 67−84 kali/menit di daerah Bogor. Namun sedikit ada
perbedaan dengan data yang dilaporkan oleh Rakhman (2008) pada sapi FH laktasi
di Lembang, yaitu 77–89 kali/menit. Hal ini kemungkinan karena dilaporkannya
keadaan manajemen perkandangan dan pakan yang buruk pada peternakan dilokasi
tersebut, sehingga kondisi ternak tidak nyaman.
Lingkungan yang tidak nyaman dapat direspon oleh ternak dengan pelepasan
panas tubuh ke lingkungan sebagai mekanisme termoregulasi. Salah satu upaya
ternak adalah dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung untuk mempercepat
pelepasan panas metabolisme tubuh melalui sirkulasi perifer (Suprayogi et al.
2013). Selain lingkungan, kualitas pakan dapat memengaruhi peningkatan
frekuensi denyut jantung. Hasil penelitian Utomo et al. (2010) menunjukkan, sapi
FH yang diberikan kandungan protein 12% pada pakannya, memiliki denyut
jantung yang lebih tinggi dibandingkan pemberian protein 10%. Hal ini
dikarenakan pakan berkualitas baik akan menghasilkan panas fermentasi yang lebih
cepat di rumen, yang berkolerasi positif dengan denyut jantung.
Pengamatan kisaran frekuensi respirasi sapi perah di Pangalengan adalah
18.9−36.6 kali/ menit. Secara umum nilai tersebut tidak menunjukkan perbedaan
dengan pustaka yang ada. Nilai yang didapatkan masih dalam kisaran yang sama
dengan yang dilaporkan pada daerah Bogor oleh Suherman et al. (2013)
melaporkan frekuensi respirasi sapi perah berkisar antara 27-38 kali/menit. Laporan
Rakhman (2008) pada daerah Lembang berkisar antara 28-40 kali/menit dan Utomo
et al. (2010) pada daerah Boyolali 25.1−28.5 kali/menit. Namun nilai tersebut
sedikit berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Sudrajad dan Adiarto (2012),
yaitu frekuensi respirasi memiliki kisaran 25.3−80 kali/menit. Perbedaan nilai
frekuensi respirasi dengan pustaka, diduga akibat perbedaan suhu dan kelembapan
lingkungan dari Pangalengan. Frekuensi respirasi merupakan gambaran kebutuhan
tingkat metabolisme gas dan pembuangan hasil metabolisme gas dan panas tubuh.
Peningkatan frekuensi respirasi salah satu upaya adaptasi ternak dalam melepas
panas tubuh ke lingkungan saat heat stress dan mendapatkan O2 yang lebih sedikit
di udara akibat kelembapan yang tinggi (Utomo et al. 2010). Menurut Suherman et
al. (2013), sistem respirasi pada alveolus dapat mengatur suhu dan kelembapan
udara yang masuk ke dalam tubuh agar sesuai dengan suhu tubuh.
Peningkatan suhu rektal terjadi apabila tubuh tidak dapat menjaga
keseimbangan panas dengan peningkatan frekuensi respirasi dan denyut jantung
saat terjadi cekaman panas dari suhu dan kelembapan lingkungan (Sudrajad dan
Adiarto 2012). Hasil pengukuran kisaran suhu rektal sapi perah kering kandang
adalah 37.6−38.6 °C, nilai tersebut masih berada dalam kisaran yang sama dengan
yang dilaporkan Sudrajad dan Adiarto (2012) kisaran suhu rektal pada sapi perah
di Baturraden adalah 35.6−39.1 °C dan Utomo et al. (2010) di Boyolali adalah
35.6−37.0 °C.
Pengamatan fisiologis sapi perah pada Tabel 2 menunjukkan frekuensi
jantung dan respirasi tidak berbeda nyata (P>0.05) pada periode waktu pagi, siang
dan sore hari. Hal ini menunjukkan bahwa denyut jantung dan frekuensi respirasi
pada sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan secara umum telah
beradaptasi terhadap iklim di wilayah tersebut. Namun perbedaan suhu rektal
terlihat pada siang dan sore hari, menunjukkan peningkatan dibanding dengan pagi

14
hari. Hal ini diduga akibat perubahan suhu dan kelembapan lingkungan pada siang
dan sore hari. Kondisi tersebut merupakan mekanisme homeotermi pada sapi perah
yang cenderung mempertahankan panas tubuhnya. Panas yang tersimpan di dalam
tubuh akan dilepas secara bertahap sebagai dampak peningkatan suhu dan
kelembapan lingkungan pada siang dan sore hari(Frandson 1992).
Kondisi fisiologis (denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan suhu rektal)
sapi perah berdasarkan iklim di wilayah tersebut, masih berada pada toleransi
homeostatis fisiologis sapi perah. Perbedaan suhu dan kelembapan di wilayah
KPBS Pangalengan pada pagi, siang, dan sore hari masih dalam kisaran zona
termonetral, sehingga tidak berdampak signifikan terhadap perubahan denyut
jantung, frekuensi respirasi dan suhu tubuh sapi perah kering kandang pada periode
waktu tersebut.

Kondisi Fisiologis: Profil Hematologi Sapi Perah Kering kandang
Kondisi fisiologis sapi perah dapat diamati melalui parameter hematologi,
walaupun sampai saat ini masih sulit ditemukan nilai hematologi sapi perah kering
kandang di Indonesia, khususnya di Pangalengan. profil hematologi sapi perah
kering kandang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Profil hematologi ternak sapi FH kering kandang di KPBS Pangalengan
dibandingkan dengan sapi FH kering kandang di daerah subtropis.
Nilai
Komponen Darah

Hemoglobin (g/dl)
Hematokrit (%)
Eritrosit (juta/µl)
Leukosit (ribu/µl)
*

T: 16.4−19.2 °C
RH: 61.2−66.6%
9.3−11.3
30.4−36.6
6.5−8.70
7.4−12.8

Sattar dan
Mirza (2009)
Pakistan
T: 11−28 °C*
RH: 30−75%*
9.95−11.81
28.14−30.32
4.29−4.81
7.34−8.86

Mirzadeh et al.
(2010)
Iran
T: 18−30 °C*
RH: 21−57%*
8.25−11.97
25.89−36.01
5.02−5.54
6.5−11.50

Sumber: World Weather and Climate Information (2013)
Hemoglobin
Hasil pengamatan sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan
didapatkan kisaran nilai hemoglobin adalah 9.3−11.3 g/dl, nilai ini berada dalam
kisaran sama dengan yang dilaporkan Sattar dan Mirza (2009) di daerah Pakistan
yaitu sekitar 9.95−11.81 g/dl dan juga Mirzadeh et al. (2010) yaitu sekitar
8.25−11.97 g/dl di daerah Iran. Menurut Santosa et al. (2012), kebutuhan O2
meningkat ketika ternak mengalami stres, sehingga berdampak pada peningkatan
hemoglobin. Kondisi tersebut mengakibatkan meningkatnya laju metabolisme dari
tubuh saat cekaman panas. Selain itu kadar O2 yang tipis di udara sebagai akibat
relatif tingginya kelembapan udara juga dapat meningkatkan kadar hemoglobin
dalam darah. Penelitian ini tidak menunjukkan tanda-tanda adanya peningkatan
hemoglobin.

15
Hematokrit
Hematokrit atau packed cell volume (PCV) merupakan persentase volume
darah yang terdiri dari sel-sel darah merah (Frandson 1992). Hasil perhitungan PCV
pada sapi perah kering kandang di Pangalengan adalah 30.4−36.6%, nilai tersebut
masih berada dalam kisaran sama dengan yang dilaporkan Sattar dan Mirza (2009)
yaitu 28.14−30.32%, dan Mirzadeh et al. (2010), yaitu 25.89−36.01%. Cekaman
panas dapat mengakibatkan peningkatan nilai hematokrit, hal tersebut diakibatkan
oleh meningkatnya produksi eritrosit dan penurunan plasma darah (Santosa et al.
2012). Peningkatan eritrosit memang terlihat dalam penelitian ini seperti yang
disajikan pada tabel 3.
Jumlah eritrosit
Hasil perhitungan menunjukkan nilai eritrosit pada sapi perah kering kandang
Pangalengan adalah 6.5−8.70 juta/µl. Nilai tersebut sedikit lebih tinggi apabila di
bandingkan dengan laporan Sattar dan Mirza (2009) berkisar 4.29−4.81 juta/µl, dan
Mirzadeh et al. (2010) berkisar 5.02−5.54 juta/µl. Jumlah eritrosit yang tinggi inilah
kemungkinan dapat meningkatkan nilai PCV. Tingginya jumlah eritrosit pada sapi
perah kering kandang di Pangalengan, diduga merupakan mekanisme adaptasi
fisiologis tubuh terhadap kelembapan yang memang relatif lebih tinggi di
Pangalengan (63.99±2.74%) dibandingkan dengan kelembapan di Pakistan
(30−75%) dan Iran (21−70%) Kondisi tersebut mengakibatkan kadar O2 lebih
sedikit di udara. Menurut Ganong (2008) keadaan hipoksia dan berada pada
ketinggian tertentu dapat mengakibatkan produksi dari sel darah merah meningkat
juga diakibatkan oleh peningkatan laju metabolisme dalam tubuh, salah satunya
akibat adanya stres.
Jumlah leukosit
Menurut Akers dan Denbow (2008) leukosit memiliki perbedaan dengan
adanya nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Leukosit
memiliki proporsi 1% dari total darah di dalam tubuh, namun memiliki fungsi yang
sangat penting dalam sistem imun. Hasil perhitungan leukosit pada sapi perah di
Pangalengan adalah 7.4−12.8 ribu/µl. Jumlah tersebut masih dalam rentang yang
sama dengan laporan Sattar dan Mirza (2009) berkisar 7.34−8.86 ribu/µl, dan
Mirzadeh et al. (2010) 6.5−11.50 ribu/µl. Secara umum gambaran leukosit ini tidak
menunjukkan adanya gangguan (infeksi atau peradangan) pada sapi perah kering
kandang di KPBS Pangalengan. Profil diferensial leukosit ini dapat dilihat pada
tabel 4.

16

Tabel 4. Diferensial leukosit pada sapi perah kering kandang di Pangalengan
dibandingkan dengan sapi FH kering kandang di daerah subtropis.

Parameter
Leukosit
Limfosit (%)
Neutrofil (%)
Monosit (%)
Eosinofil (%)
Basofil (%)
Rasio N/L

Nilai
T: 16.4−19.2 °C
RH: 61.2−66.6%
29.60 ̶ 55.60
28.80 ̶ 56.20
0.30 ̶ 4.30
5.50 ̶ 19.7
0.00 ̶ 0.00
0.45 ̶ 1.91

Sattar dan Mirza
(2009)
Pakistan
T: 11−28 °C*
RH: 30−75%*
61.39 ̶ 67.21
20.70 ̶ 25.10
5.42 ̶ 15.10
4.16 ̶ 6.64
0.75 ̶ 1.45
-

O’Driscol et al.
(2009)
Indiana
T: 5−28 °C*
RH: 43−93%*
45.9 ̶ 52.3
41.2 ̶ 47.4
2.5 ̶ 3.5
1.5 ̶ 2.9
0.76 ̶1.2

*

Sumber: World Weather and Climate Information (2013).

Tabel 4 menunjukkan hasil perhitungan diferensiasi leukosit. Pengamatan
terhadap nilai limfosit sapi perah kering kandan