Pengaruh Curah Hujan terhadap Frekuensi Kejadian Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

PENGARUH CURAH HUJAN TERHADAP FREKUENSI
KEJADIAN PENYAKIT REPRODUKSI PADA SAPI PERAH :
Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

RISNIA BUATAMA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Curah Hujan
terhadap Frekuensi Kejadian Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus
di KPBS Pangalengan, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Risnia Buatama
NIM B04090199

 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

ABSTRAK
RISNIA BUATAMA. Pengaruh Curah Hujan terhadap Frekuensi Kejadian
Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa
Barat. Dibimbing oleh YUDI dan ASEP YAYAN RUHYANA.
Penelitian ini bertujuan menjelaskan korelasi curah hujan terhadap frekuensi
kejadian penyakit reproduksi pada sapi perah di Koperasi Peternakan Bandung
Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat. Variabel penelitian meliputi data curah
hujan dan penyakit reproduksi tahun 2010-2012 yang dianalisis menggunakan
metode analisis korelasi dan regresi. Penyakit reproduksi yang memiliki frekuensi
kejadian paling tinggi selama tahun 2010-2012 adalah hipokalsemia, retensio
sekundinae, abortus, mastitis, dan endometritis. Kejadian penyakit reproduksi
yang memiliki korelasi dengan nilai curah hujan (mm/bulan) adalah mastitis,

ketosis, kelahiran prematur, dan milk let down failure. Mastitis dan milk let down
failure masing-masing sebanyak 14% dan 12.8% dipengaruhi oleh curah hujan
yang tinggi (musim hujan) pada periode Januari-April, dan November-Desember,
sedangkan kejadian penyakit ketosis dan kasus kelahiran prematur masing-masing
sebanyak 13.3% dan 11.7% disebabkan oleh pengaruh curah hujan yang rendah
(musim kemarau) pada periode Mei-Oktober. Penyakit reproduksi yang tinggi
kejadiannya namun tidak dipengaruhi oleh curah hujan dapat disebabkan oleh
pengaruh lain seperti tidak tertanganinya kasus penyakit, terlambatnya pelaporan
kejadian penyakit, keterampilan peternak dalam perawatan sapi, serta ketersediaan
dokter hewan dan paramedis.
Kata kunci: curah hujan, KPBS Pangalengan, penyakit reproduksi, sapi perah

ABSTRACT
RISNIA BUATAMA. Effect of Rainfall to Incident Frequency of Dairy Cattle
Reproduction Disease: Case Study in KPBS Pangalengan, West Java. Supervised
by YUDI and ASEP YAYAN RUHYANA.
This research was aimed to explain the rainfall correlation to incident
frequency of the dairy cattle reproduction disease in Koperasi Peternakan
Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, West Java. Research variables are data of
rainfall and reproduction disease on 2010-2012 that analysed using correlation

and regretion analysis. The highest reproduction disease incidents that happened
on 2010-2012 were hypocalsemia, retained placenta, abortus, mastitis, and
endometritis. Reproduction disease incidents that have correlation to rainfall value
(mm/month) are mastitis, ketosis, premature, and milk let down failure. Mastitis
and milk let down failure which are 14% and 12.8% effected by high rainfall (rain
season) on January-April, and November-December, while ketosis and premature
which are 13.3% and 11.7% effected by low rainfall (dry season) on MayOctober. The high incidents of reproduction diseases that have not effected by
rainfall may effected by other factors, like disease case that not treated, late report
of disease case, incompetency farmer in cattle treatment, also paramedic and
veterinarian availability.
Keywords: dairy cattle, KPBS Pangalengan, rainfall, reproduction disease

PENGARUH CURAH HUJAN TERHADAP FREKUENSI
KEJADIAN PENYAKIT REPRODUKSI PADA SAPI PERAH :
Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pengaruh Curah Hujan terhadap Frekuensi Kejadian Penyakit
Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan,
Jawa Barat
Nama
: Risnia Buatama
NIM
: B04090199

Disetujui oleh

Dr drh Yudi, MSi
Pembimbing I


drh Asep Yayan Ruhyana
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah untuk tugas akhir (skripsi)
berjudul “Pengaruh Curah Hujan terhadap Frekuensi Kejadian Penyakit
Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat”
berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini mengangkat tema perubahan iklim dan
lingkungan yang telah memberikan banyak tantangan bagi manusia beberapa
dekade terakhir.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr drh Yudi, MSi dan drh Asep
Yayan Ruhyana selaku pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu,

tenaga, dan pikiran dalam proses penelitian hingga penulisan karya ilmiah, serta
Prof Dr drh Agik Suprayogi yang telah banyak memberi semangat dan saran
selama proses penelitian. Kepada Dr drh Damiana RE, MS sebagai dosen
pembimbing akademik, penulis haturkan terima kasih atas motivasi dan
bimbingannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Keluarga
Bapak Warsa dan Keluarga Bapak Sopyan, beserta kelompok peternak di
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan yang membantu
selama penelitian, serta Ibu Dwiati dan staf Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor yang telah membantu
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Ayahanda Cakir, SSos, Ibunda Gustiana, SPd, Horis, Cia, Nanda, Afsa, beserta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga tidak
lupa penulis sampaikan kepada kawan-kawan penelitian, Bagus, Putra, Budi, Ruli,
dan Ganjar atas segala semangat, bantuan, dan kerjasamanya selama penelitian
dan proses penulisan, serta kawan-kawan Geochelone FKH 46, Korps Sukarela
Palang Merah Indonesia Unit 1 IPB, Organisasi Mahasiswa Daerah Sulawesi
Selatan, dan Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar FKH IPB yang selama ini
telah bersama-sama menempuh suka dan duka demi mendapatkan ilmu di
almamater tercinta.
Semoga karya ilmiah ini memberi manfaat bagi kita semua.


Bogor, November 2013
Risnia Buatama

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

METODE PENELITIAN

3

Waktu dan Tempat Penelitian

3


Variabel Penelitian

3

Prosedur Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Keadaan Umum KPBS Pangalengan

4

Curah Hujan di Wilayah Kerja KPBS Pangalengan

5


Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah di KPBS Pangalengan

6

Korelasi Curah Hujan terhadap Penyakit Reproduksi

7

SIMPULAN DAN SARAN

13

Simpulan

13

Saran

13


DAFTAR PUSTAKA

14

LAMPIRAN

16

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1
2

3
4

Nilai curah hujan (mm) di wilayah KPBS Pangalengan, Jawa Barat
Tahun 2010-2012
Jumlah kasus dan rata-rata penyakit reproduksi pada musim hujan
dan musim kemarau di KPBS Pangalengan, Jawa Barat selama
Tahun 2010-2012
Korelasi curah hujan dengan penyakit reproduksi pada sapi perah di
KPBS Pangalengan, Jawa Barat Tahun 2010-2012
Persentase kejadian penyakit reproduksi pada sapi perah yang
dipengaruhi oleh curah hujan (r2%) di KPBS Pangalengan, Jawa
Barat Tahun 2010-2012

5

6
8

9

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Frekuensi curah hujan dan mastitis di KPBS Pangalengan, Jawa
Barat tahun 2010-2012
Frekuensi curah hujan dan ketosis di KPBS Pangalengan, Jawa Barat
tahun 2010-2012
Frekuensi curah hujan dan kelahiran prematur di KPBS
Pangalengan, Jawa Barat tahun 2010-2012
Frekuensi curah hujan dan milk let down failure di KPBS
Pangalengan, Jawa Barat tahun 2010-2012

9
10
11
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Peta wilayah kerja KPBS Pangalengan, Jawa Barat
Rekapitulasi jumlah kasus penyakit reproduksi
Pangalengan, Jawa Barat tahun 2010-2012

16
di

KPBS
17

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah Indonesia berada di antara 6oLU-11oLS dan dari 95oBT-141oBT
sehingga merupakan salah satu negara dengan iklim tropis yang dilewati oleh
garis khatulistiwa. Indonesia hanya memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Hal tersebut menyebabkan Indonesia memiliki curah hujan yang
cukup tinggi. Curah hujan rata-rata pada daerah beriklim tropis berada di atas
1800 mm/tahun. Curah hujan di wilayah Indonesia yang diamati dari satelit
TRMM 3B-43 pada tahun 1998-2003 memberikan gambaran level presipitasi
(curah hujan) di Indonesia mencapai 2000-3800 mm/tahun, dan berbeda pada tiap
daerah (Subarna 2006). Daerah dengan iklim tropis cenderung memiliki suhu
lingkungan yang tinggi, namun beberapa daerah di Indonesia khususnya pada
daerah yang berada pada dataran tinggi seperti Pangalengan, Jawa Barat memiliki
suhu yang rendah sehingga secara agroklimatis cocok untuk dijadikan sebagai
kawasan peternakan sapi perah. Wilayah Pangalengan memiliki ketinggian 10501600 m di atas permukaan laut (dpl) dan selama tahun 2012 memiliki temperatur
rata-rata bulanan antara 19.6-21.5 oC dengan kelembapan rata-rata bulanan
berkisar 72-87 % (BMKG 2013).
Sapi friesian holstein (FH) adalah salah satu jenis sapi perah yang banyak
dikembangkan di Indonesia. Keberadaan sapi FH di Indonesia bermula dari
periode pemerintahan Hindia Belanda yang memasukkan sapi-sapi perah dari
Australia dan Belanda dalam rangka memenuhi kebutuhan susu warga Belanda
yang tinggal di Indonesia. Sapi ini merupakan hasil perkembangbiakan dari sapi
liar spesies Bos taurus (Hardjosworo & Levine 1987). Sapi FH memiliki ciri-ciri
rambut dominan berwarna belang hitam putih dengan batas warna yang jelas,
corak warna putih berbentuk segitiga di dahi, warna putih pada bagian bawah
persendian siku dan lutut, dan rambut berwarna putih di bagian ekor (Bappenas
2000).
Sapi FH merupakan sapi yang berasal dari daerah subtropis dengan iklim
yang sedang. Sapi FH dapat berproduksi maksimal dengan kondisi lingkungan
yang memiliki kisaran suhu 13-18oC dengan kelembapan 55% (Yani & Purwanto
2006). Keadaan tersebut membuat jenis sapi ini sangat peka terhadap perubahan
kondisi lingkungan, khususnya terhadap iklim di negara tropis. Namun demikian,
sapi FH memiliki adaptasi lingkungan yang cukup baik di daerah dataran tinggi
(minimal berada pada 700 m dpl) dengan temperatur antara 16-24oC serta curah
hujan sekitar 2000 mm/tahun (Yani & Purwanto 2006). Sapi FH yang sudah
beradaptasi di Indonesia umumnya dikembangkan di daerah dengan ketinggian
800 m dpl atau lebih. Sapi FH yang dikawinkan dan beranak memiliki periode
laktasi sekitar 305 hari, dengan kemampuan produksi susu rata-rata 7.245 kg
untuk setiap periode laktasi di Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia rata-rata
3.050 kg/laktasi atau sekitar 10 liter/ekor/hari (Sudono et al. 2003).
Sektor peternakan sapi perah menjadi bentuk usaha yang sangat penting
(Seo & Mendelsohn 2006) terkait dengan kebutuhan susu di Indonesia yang
meningkat. Tingkat konsumsi susu di Indonesia tahun 2010 sebesar 11.95 liter
susu per kapita per tahun, dan meningkat pada tahun selanjutnya sebesar 12.85

2
liter susu per kapita per tahun (Purwanto 2012). Pada sisi lain, pertumbuhan
produksi susu nasional menurun dari 6.5% pada tahun 2011 menjadi 4.44% pada
tahun 2012 (Ditjennak 2012). Hal ini mengakibatkan produksi susu dalam negeri
belum dapat memenuhi permintaan masyarakat sehingga mengharuskan
pemerintah melakukan impor dari negara lain. Kondisi tersebut dikarenakan
rendahnya populasi dan produktivitas, serta wilayah pengembangan sapi perah
yang terbatas.
Perkembangan populasi sapi perah dipengaruhi oleh berbagai hal, antara
lain manajemen pemeliharaan, kesehatan ternak, dan lingkungan. Iklim
merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh dalam
peternakan sapi perah. Iklim dapat secara langsung mempengaruhi kondisi tubuh
ternak, namun dapat juga secara tidak langsung melalui faktor lingkungan yang
lain. Perubahan iklim global membuat peternakan sapi perah lebih waspada
terhadap kemungkinan terjadinya kondisi iklim yang ekstrim. Unsur-unsur iklim
yang digunakan untuk mendeteksi perubahan iklim antara lain adalah suhu udara,
kelembapan, dan curah hujan (Williamson & Payne 1993).
Pada beberapa negara dengan periode (musim) hujan pendek, hujan secara
signifikan berkorelasi dengan jumlah sapi yaitu ketika terjadi peningkatan curah
hujan maka terjadi peningkatan jumlah sapi (Lunde & Lindtjørn 2013). Namun,
perubahan iklim yang ekstrim pada beberapa tahun ini sangat mempengaruhi
musim hujan hampir di semua wilayah Indonesia, termasuk wilayah peternakan
sapi perah di Jawa Barat (Hanifah & Endarwin 2011). Keadaan tersebut dapat
berdampak pada penurunan kondisi tubuh dan timbulnya berbagai penyakit pada
sapi perah karena adaptasi yang kurang terhadap perubahan iklim dan curah
hujan.
Penyakit reproduksi merupakan penyakit yang paling berpengaruh pada
usaha peternakan sapi perah karena akan berakibat pada rendahnya efisiensi
reproduksi, yang selanjutnya akan berdampak pada pertumbuhan populasi dan
produksi susu. Penyakit reproduksi yang sering terjadi pada peternakan sapi perah
antara lain mastitis, hipokalsemia, ketosis, abortus, endometritis, metritis,
mumifikasi fetus, piometra, vulvovaginitis, dan retensio sekundinae (Blakely &
Blade 1991). Kejadian penyakit reproduksi dapat disebabkan oleh berbagai faktor
yaitu lingkungan, pakan, perkandangan, dan pemeliharaan kesehatan ternak
(Blakely & Blade 1991). Perubahan pada iklim di lingkungan peternakan dapat
mempengaruhi ternak dari aspek produksi pakan (efek langsung CO2, temperatur,
dan curah hujan), kesehatan hewan (efek langsung dari pakan, suhu yang tinggi,
dan basah karena hujan), dan penyakit (secara tidak langsung dari stres, parasit,
dan penyakit yang dibawa oleh serangga) (R¨otter & van de Geijn 1999). Adanya
dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh perubahan iklim dan curah hujan
harus menjadi perhatian bagi seluruh pihak, karena kondisi tersebut dapat
menurunkan jumlah produksi susu nasional. Oleh karena itu, studi tentang
hubungan curah hujan terhadap frekuensi kejadian penyakit reproduksi pada sapi
perah penting dilakukan.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menerangkan hubungan antara curah hujan dengan
frekuensi kejadian penyakit reproduksi yang sering terjadi pada sapi perah di
peternakan rakyat dengan mengambil kasus di wilayah Koperasi Peternakan
Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan gambaran hubungan curah hujan dengan kejadian
penyakit reproduksi pada sapi perah di wilayah dengan iklim tropis. Hasilnya
diharapkan dapat menjadi acuan dalam manajemen sapi perah dan mengantisipasi
perubahan musim (curah hujan) melalui upaya pemeliharaan lingkungan dan
ternak yang baik dan upaya penanganan penyakit reproduksi.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)
Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor, Jawa
Barat pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Juni 2013. Wilayah kerja KPBS
Pangalengan yang diamati meliputi Kecamatan Pangalengan, Kertasari, dan Pacet
(Lampiran 1).

Variabel Penelitian
Curah Hujan
Data curah hujan bulanan tahun 2010-2012 untuk wilayah Pangalengan
diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Curah
hujan dinilai dengan mengukur jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar
selama periode tertentu dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan datar yang
terkumpul, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir (Slamet & Berliana
2006). Curah hujan diamati melalui stasiun pengamatan BMKG, untuk data
bulanan wilayah Pangalengan berasal dari stasiun di daerah perkebunan Malabar,
Pangalengan. Permulaan musim hujan dapat ditetapkan dengan melihat jumlah
curah hujan dalam rentang waktu 10 hari (dasarian) yang mencapai lebih dari 50
mm kemudian diikuti oleh beberapa dasarian berikutnya (BMKG 2013).
Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah
Data kasus penyakit reproduksi sapi perah diperoleh dari dokumendokumen koperasi dan rekap data kasus dari KPBS Pangalengan selama tahun
2010-2012 (Lampiran 2). Penyakit reproduksi yang dijadikan sebagai variabel

4
yang diuji merupakan penyakit-penyakit reproduksi yang sering terjadi di
peternakan rakyat KPBS Pangalengan selama tahun 2010-2012.

Prosedur Analisis Data
Variabel penelitian yang telah terkumpul dianalisis menggunakan program
SPSS 16.0 dan MS. Excel. Curah hujan dalam penelitian ini dimasukkan ke dalam
variabel bebas (X) dan penyakit reproduksi merupakan variabel yang tak bebas
(Y) dengan jumlah data tiap bulan selama tahun 2010-2012 (N = 36). Analisis
korelasi menggunakan SPSS 16.0 diawali dengan melakukan uji normalitas (onesample Kolmogorov-Smirnov Tes) untuk mengetahui data terdistribusi normal
atau tidak (P > 0.05). Selanjutnya dilakukan analisis korelasi (korelasi sederhana
pearson) untuk melihat korelasi variabel curah hujan dengan masing-masing
penyakit reproduksi selama tahun 2010-2012. Analisis korelasi menghasilkan
nilai koefisien korelasi (r) dari setiap penyakit yang dikorelasikan dengan curah
hujan (r hitung > r tabel, P < 0.05). Nilai koefisien korelasi (r) dapat pula dihitung
menggunakan rumus (Sudjana 2005) sebagai berikut :

r=



Penyakit reproduksi yang menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap
curah hujan kemudian dilakukan analisis lanjut menggunakan analisis regresi
linear yang akan menghasilkan koefisien determinan (r2) untuk melihat sejauh
mana pengaruh curah hujan terhadap penyakit reproduksi setelah diketahui ada
hubungan antara variabel tersebut (P < 0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum KPBS Pangalengan
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat
merupakan salah satu koperasi peternakan yang terbesar di Indonesia. KPBS
Pangalengan yang didirikan pada tanggal 22 Maret 1969 terletak di Kecamatan
Pangalengan dengan jarak sekitar 51 km dari ibukota provinsi Jawa Barat,
Bandung dan 23 km dari ibukota Kabupaten Bandung, Soreang. Kecamatan
Pangalengan berbatasan dengan Kecamatan Pasir Jambu di sebelah Barat,
Kecamatan Cimaung di sebelah Utara, Kecamatan Kertasari dan Kabupaten Garut
di sebelah Selatan, dan Kecamatan Pacet di Sebelah Timur. Wilayah kerja KPBS
Pangalengan meliputi tiga kecamatan yaitu Kecamatan Pangalengan, Kertasari,
dan Pacet (Lampiran 1). KPBS Pangalengan memiliki jumlah petugas kesehatan
hewan pada tahun 2013 sebanyak 30 orang yang terdiri dari 5 dokter hewan, 22
paramedik veteriner, dan 3 petugas recording. Jumlah anggota KPBS
Pangalengan berdasarkan data tahun 2012 adalah sebanyak 6521 orang dengan

5
total jumlah sapi perah sebanyak 16952 ekor. Jumlah ini tercatat menurun dari
tahun sebelumnya dikarenakan tingginya angka pemotongan sapi perah dan tidak
sebanding dengan angka kelahiran pedet.
Kegiatan KPBS Pangalengan menerapkan pola agribisnis dan agroindustri yang meliputi pra-produksi, proses produksi, pemasaran hasil produksi,
dan penunjang usaha. Kegiatan pra-produksi merupakan kegiatan pelayanan dan
usaha koperasi yang berhubungan dengan pihak ketiga di luar koperasi seperti
penyediaan bibit sapi perah, pakan ternak, peralatan, dan obat-obatan. Proses
produksi adalah proses yang melibatkan usaha anggota dan koperasi seperti
manajemen koperasi dan manajemen beternak sapi perah, penyediaan hijauan,
penyetoran susu, penampungan susu, transportasi, pengolahan susu, dan pelaporan
sapi yang sakit, berahi, lahir, atau mutasi. Pemasaran hasil produksi dilakukan
dengan melakukan pemasaran ke industri pengolahan susu (IPS) atau non-IPS.
Kegiatan penunjang usaha meliputi kegiatan yang melibatkan pihak luar untuk
meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan anggota yaitu pendidikan dan
latihan, penyuluhan dan pendampingan, pelayanan dan usaha kesehatan anggota,
pelayanan dan usaha kesehatan ternak, pelayanan dan usaha kebutuhan anggota,
asuransi, kredit, dan pelayanan apotik.

Curah Hujan di Wilayah Kerja KPBS Pangalengan
Curah hujan di wilayah KPBS Pangalengan yang diamati dari stasiun
pengamatan BMKG di perkebunan Malabar Pangalengan menunjukkan curah
hujan yang cukup tinggi selama tahun 2010-2012 yaitu berada di atas 2000
mm/tahun (Tabel 1). Rata-rata curah hujan tertinggi tiap tahun berada pada
periode Januari-April, dan berlanjut pada periode November-Desember,
sedangkan curah hujan rendah atau permulaan musim kemarau dimulai pada
bulan Mei selanjutnya akan semakin menurun atau konstan hingga bulan Oktober.
Curah hujan yang terlalu tinggi dan berlangsung lama dapat menjadi predisposisi
kemunculan berbagai penyakit pada sapi perah, khususnya penyakit yang
disebabkan oleh agen infeksi seperti bakteri, kapang, dan virus, serta penyakit
yang berhubungan dengan ketersediaan nutrisi dalam pakan. Selain itu, curah
hujan yang sangat rendah juga dapat mempengaruhi kesehatan sapi berhubungan
dengan ketersediaan air bersih dan pakan hijauan yang kurang, serta kemungkinan
timbulnya cekaman panas akibat suhu lingkungan yang tinggi (Yani & Purwanto
2006).
Tabel 1 Nilai Curah Hujan (mm/bulan) di Pangalengan, Jawa Barat Tahun 20102012a(Lokasi: Perkebunan Malabar, lintang -7.14718, bujur 107.495)
Tahun

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agust

Sep

Okt

Nov

Des

Curah Hujan
(mm/tahun)

2010
2011
2012

377
188
302

468
359
412

326
285
323

213
410
353

341
183*
130*

167*
131*
4*

69*
7*
13*

211
6*
0*

366
0*
22*

209
113*
128*

495
313
439

548
347
311

3790
2342
2437

a

Tanda (*) menandakan bulan-bulan dengan curah hujan rendah (musim kemarau)
Sumber: Data curah hujan bulanan daerah Pangalengan dari Stasiun Pengamatan BMKG 2013

6
Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah di KPBS Pangalengan
Penyakit reproduksi di KPBS Pangalengan yang memiliki frekuensi tinggi
selama tahun 2010-2012 adalah hipokalsemia atau milk fever 3744 kasus, retensio
sekundinae sebanyak 3482 kasus, abortus sebanyak 3136 kasus, mastitis sebanyak
3019 kasus, dan endometritis sebanyak 2820 kasus (Tabel 2). Penyakit yang
frekuensi kejadiannya lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan dengan musim
kemarau sebagian besar merupakan penyakit dan gangguan yang disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme dan kegagalan fungsi hormon. Penyakit dan gangguan
reproduksi tersebut yaitu retensio secundinae, abortus, mastitis, endometritis,
hipofungsi dan aplasia ovari, anestrus, mumifikasi fetus, piometra, kista ovari,
corpus luteum persistent, torsio uteri, vulvovaginitis, milk let down failure, dan
repeat breeding. Sedangkan penyakit dan gangguan yang memiliki kejadian lebih
tinggi pada musim kemarau dibandingkan pada musim hujan umumnya
diakibatkan oleh kekurangan asupan pakan dan nutrisi yaitu hipokalsemia, ketosis,
distokia, kelahiran prematur, metritis, prolapsus uteri, dan ruptura uteri.
Tabel 2 Jumlah kasus dan rata-rata penyakit reproduksi pada musim hujan dan
musim kemarau di KPBS Pangalengan, Jawa Barat selama tahun 20102012
Penyakit
Hipokalsemia/Milk Fever
Retensio Sekundinae
Abortus
Mastitis
Endometritis
Ketosis/Hipoglikemia
Hypo et Aplasia Ovary
Distokia
Anestrus
Mumifikasi
Kelahiran prematur
Metritis
Piometra
Kista ovari
Prolapsus Uteri
Corpus luteum persisten
Torsio Uteri
Vulvovaginitis
Milk let down failure
Repeat breeding
Ruptura uteri

Jumlah Kasus

Rata-rata (kasus/bulan)
Musim Hujan
Musim Kemarau
103.14 ± 27.19
105.36 ± 29.37b
a
111.05 ± 52.23
74.21 ± 29.19
89.64 ± 29.16a
83.14 ± 17.67
91.41 ± 22.46a
72.00 ± 19.21
a
89.95 ± 44.97
60.07 ± 29.88
23.73 ± 9.85
33.64 ± 21.55b
21.32 ± 12.13a
16.21 ± 10.45
18.18 ± 10.15
18.93 ± 11.24b
17.59 ± 8.08a
16.71 ± 6.03
a
11.45 ± 6.71
10.79 ± 6.58
8.45 ± 5.47
11.43 ± 5.64b
2.59 ± 3.98
3.86 ± 3.46b
a
2.95 ± 3.53
3.07 ± 3.47
2.82 ± 3.29a
2.79 ± 3.85
2.09 ± 2.29
3.57 ± 2.93b
2.91 ± 4.78a
2.00 ± 3.51
2.32 ± 1.91a
1.50 ± 1.56
2.14 ± 2.62a
0.64 ± 1.22
1.86 ± 3.31a
0.43 ± 0.76
1.09 ± 1.48a
0.57 ± 0.94
0.18 ± 0.50
0.43 ± 0.85b

3744
3482
3136
3019
2820
993
696
665
621
403
346
119
108
101
96
92
72
56
47
32
10
a
Kasus tinggi pada musim hujan, bKasus tinggi pada musim kemarau.

Keberhasilan reproduksi sangat menentukan keuntungan usaha peternakan
sapi perah. Gangguan reproduksi menimbulkan banyak kerugian bagi peternak,
antara lain menurunkan produksi susu dan kelahiran pedet, meningkatkan angka
pengafkiran ternak, memperlambat perbaikan genetik, serta meningkatkan biaya
penggantian ternak dan biaya inseminasi buatan (Anggraeni 2008). Gangguan

7
reproduksi pada sapi perah disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal penyebab gangguan reproduksi antara lain kelainan anatomi organ
reproduksi atau kelainan fungsi hormonal dapat mengakibatkan hipoplasia ovari,
freemartin, dan atresia vulva. Sedangkan faktor eksternal dari ternak seperti
infeksi mikroorganisme pada organ reproduksi dapat menyebabkan mastitis,
endometritis, mumifikasi fetus, maserasi fetus, brucellosis, dan piometra;
manajemen pakan yang buruk antara lain mengakibatkan hipofungsi ovari,
hipoglikemia, abortus, dan milk fever; serta perkandangan yang buruk dan
kecelakaan (accidental) dapat menyebabkan distokia, retensio sekundinae, ruptura
uteri, dan torsio uteri (Ratnawati et al. 2007).
Kemampuan reproduksi ternak merupakan suatu proses kompleks yang
dipengaruhi oleh faktor genetik, fisiologi, nutrisi, manajemen, lingkungan
pemeliharaan, dan iklim (Anggraeni 2008). Curah hujan sebagai salah satu faktor
lingkungan dan iklim berpengaruh besar terhadap kondisi nutrisi pakan dan stres
lingkungan. Pada awal musim hujan, cuaca akan terus menerus mendung sehingga
pertumbuhan hijauan berkurang, tetapi akan meningkat dengan cepat saat terkena
sinar matahari. Nutrisi pada pakan hijauan akan lebih rendah dan kandungan air
pada hijauan akan lebih tinggi pada musim hujan dan sebaliknya pada musim
kemarau (Williamson & Payne 1993). Iklim di Indonesia membuat perlunya
adaptasi lingkungan bagi ternak domestik yang berasal dari daerah dengan iklim
dingin untuk menghasilkan ternak produktif yang sesuai dengan iklim tropis.
Peternakan sapi perah di KPBS Pangalengan merupakan peternakan rakyat
yang hanya melakukan perawatan ternak seadanya, berbeda dengan peternakan
komersil yang melakukan perawatan intensif kepada ternaknya. Kondisi kandang
dan perawatan kesehatan hewan beserta iklim yang tidak menentu membuat sapi
perah rentan terhadap penyakit. Tingginya kasus penyakit reproduksi di KPBS
Pangalengan mengindikasikan perlunya perbaikan manajemen perawatan dan
kesehatan ternak pada wilayah tersebut.

Korelasi Curah Hujan terhadap Penyakit Reproduksi
Hasil analisis korelasi antara curah hujan dengan berbagai penyakit
reproduksi yang muncul di KPBS Pangalengan disajikan pada Tabel 3. Koefisien
korelasi (r) menunjukkan adanya hubungan antara variabel X (curah hujan) dan Y
(penyakit reproduksi). Nilai r hitung yang menunjukkan adanya korelasi yang
signifikan (P < 0.05) adalah pada penyakit mastitis (r = 0.374), ketosis (r = 0.364), kelahiran prematur (r = -0.342), dan milk let down failure (r = 0.358).
Koefisien korelasi (r) yang bernilai 1 atau -1 menunjukkan korelasi yang
sempurna, sedangkan yang bernilai 0 menunjukkan korelasi yang nihil atau tidak
ada. Nilai r yang mendekati 1 atau -1 menggambarkan korelasi yang kuat,
sedangkan nilai r yang mendekati angka 0 menggambarkan korelasi yang lemah
antar-variabel.
Pengujian lanjut menggunakan analisis regresi linear akan menghasilkan
koefisien determinan (r2) yang menjadi penentu dalam persamaan regresi untuk
data yang linear (P < 0.05). Koefisien determinan menggambarkan seberapa besar
pengaruh variabel X (curah hujan) terhadap variabel Y (penyakit) setelah
diketahui bahwa kedua variabel berhubungan (r2%). Hasil analisis regresi linear

8
curah hujan dan penyakit reproduksi yang berkorelasi (mastitis, ketosis, kelahiran
prematur, dan milk let down failure) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3 Korelasi curah hujan dengan penyakit reproduksi pada sapi perah di
KPBS Pangalengan, Jawa Barat Tahun 2010-2012
Penyakita
Hipokalsemia/Milk Fever
Retensio Sekundinae
Abortus
Mastitis
Endometritis
Ketosis/Hipoglikemia
Hypo et Aplasia Ovary
Distokia
Anestrus
Mumifikasi
Kelahiran prematur
Metritis
Piometra
Kista ovari
Prolapsus Uteri
Corpus luteum persisten
Torsio Uteri
Vulvovaginitis
Milk let down failure
Repeat breeding
Ruptura uteri

r hitungb
-0.134
0.217
0.176
0.374*
0.274
-0.364*
0.141
-0.053
0.053
0.004
-0.342*
-0.010
-0.126
-0.074
-0.117
0.052
0.140
0.289
0.358*
0.159
-0.216

P
0.436
0.203
0.304
0.025*
0.105
0.029*
0.411
0.760
0.760
0.982
0.041*
0.954
0.464
0.667
0.498
0.763
0.416
0.087
0.032*
0.354
0.206

a

Tanda (*) pada baris yang sama menandakan adanya korelasi yang signifikan
antar variabel (r hitung > r tabel (r tabel = 0.329, N = 36), P < 0.05), bTanda (-)
menandakan apabila variabel X (curah hujan) tinggi maka variabel Y (penyakit)
rendah, tidak ada tanda (-) menggambarkan kedua variabel bernilai searah.

Kejadian mastitis di KPBS Pangalengan termasuk ke dalam lima penyakit
reproduksi yang paling sering terjadi selama tahun 2010-2012. Koefisien korelasi
penyakit mastitis dengan curah hujan (r = 0.374) menggambarkan adanya
hubungan yang searah dari kedua variabel, yang berarti semakin tinggi curah
hujan maka semakin tinggi kejadian penyakit mastitis (Gambar 1). Penghitungan
lanjut menunjukkan bahwa kejadian mastitis di KPBS Pangalengan 14%
dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi (Tabel 4), sedangkan 86% lainnya
merupakan pengaruh dari faktor lain seperti kekurangan asupan mineral,
pemerahan yang salah, kebersihan tangan pemerah, dan kebersihan kandang.
Berdasarkan rata-rata kasus bulanan, kasus mastitis pada musim hujan
(91.41±22.46/bulan) lebih tinggi dibandingkan dengan kejadiannya pada musim
kemarau (72.00±19.21/bulan) (Tabel 2). Hal ini menguatkan hipotesis bahwa pada
musim hujan lingkungan menjadi kotor dan bakteri penyebab mastitis seperti
Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae lebih mudah berkembang
dan menginfeksi sapi-sapi perah di peternakan (Hameed et al. 2006). Pada musim
hujan, suhu lingkungan menjadi rendah dan kelembapan meningkat, sehingga
perkembangan bakteri menjadi semakin meningkat. Sedangkan ketika curah hujan

9
rendah, suplai air yang kurang dalam peternakan dapat mengurangi tingkat
kebersihan ambing-puting sehingga dapat menyebabkan terjadinya mastitis pada
musim kemarau.
Tabel 4 Persentase kejadian penyakit reproduksi pada sapi perah yang dipengaruhi
oleh curah hujan (r2%) di KPBS Pangalengan, Jawa Barat Tahun 20102012
Penyakit
Mastitis
Ketosis/Hipoglikemia
Kelahiran prematur
Milk let down failure

rc
0.374
-0.364
-0.342
0.358

r2
0.140
0.133
0.117
0.128

r2% (%)b
14
13.3
11.7
12.8

Pa
0.025
0.029
0.041
0.032

a

Korelasi signifikan variabel X (curah hujan) dengan variabel Y (penyakit) (r hitung > r
tabel (r tabel = 0.329, N = 36), P < 0.05), bPersentase kejadian penyakit yang dipengaruhi
oleh curah hujan, cTanda (-) menandakan hubungan yang terbalik antar variabel, tidak ada
tanda menandakan hubungan searah antar-variabel.

Gambar 1 Frekuensi curah hujan (a) dan mastitis (b) di KPBS Pangalengan, Jawa
Barat tahun 2010-2012.
Mastitis merupakan penyakit yang kompleks yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor seperti pola dan jenis pakan, genetik sapi, periode laktasi, periode
kering kandang, sanitasi lingkungan kandang, iklim, dan mikroorganisme
(Anggraeni 2000). Pada curah hujan yang tinggi dengan kondisi kandang yang
lembap dan temperatur yang rendah membuat mikroorganisme dapat berkembang
dengan baik. Kandungan nutrisi termasuk mineral dalam pakan juga perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya mastitis. Pada musim hujan, hijauan akan
mengandung lebih banyak air dibandingkan dengan nutrisi di dalamnya, sehingga
nutrisi perlu ditambahkan dari sumber pakan yang lain (Blakely & Blade 1991).
Sedangkan ketika curah hujan rendah, suplai air yang kurang dalam peternakan
dapat mengurangi tingkat kebersihan ambing-puting sehingga dapat menyebabkan
terjadinya mastitis pada musim kemarau.
Kasus ketosis yang terjadi di wilayah KPBS Pangalengan memiliki
koefisien korelasi yang negatif (r = -0.364) yang berarti tingginya kejadian ketosis
diakibatkan oleh rendahnya curah hujan di wilayah Pangalengan (Gambar 2).

10
Koefisien determinan menunjukkan bahwa 13.3% (Tabel 4) penyebab kasus
ketosis di KPBS Pangalengan adalah curah hujan yang rendah, sedangkan 86.7%
lainnya dipengaruhi oleh konsumsi pakan yang rendah dari ternak maupun dari
gangguan metabolisme lemak dalam tubuh (Leslie et al.2003). Rata-rata bulanan
kasus ketosis pada musim hujan (23.73±9.85/bulan) lebih rendah dibanding pada
musim kemarau (33.64±21.55/bulan) (Tabel 2). Ketosis terjadi akibat kurangnya
glukosa dalam tubuh sehingga terjadi perombakan lemak di hati untuk memenuhi
kebutuhan energi ternak yang kemudian akan menyebabkan peningkatan badanbadan keton yang beredar dalam darah (Leslie et al. 2003). Peristiwa ini biasanya
sering terjadi pada sapi yang bunting tua (masa kering) atau sapi-sapi yang baru
melahirkan (masa awal laktasi) dengan produksi susu yang tinggi.

Gambar 2 Frekuensi curah hujan (a) dan ketosis (b) di KPBS
Pangalengan, Jawa Barat tahun 2010-2012.
Ketosis yang banyak terjadi pada musim kemarau atau pada curah hujan
yang rendah diduga akibat nutrisi yang kurang dari pakan. Lamy et al. (2012)
menjelaskan bahwa pada musim hujan jumlah hijauan sangat banyak dan
memiliki kandungan nutrisi yang baik, sedangkan pada musim kemarau hijauan
memiliki nutrisi yang tidak begitu baik dengan kandungan serat yang tinggi dan
rendah protein. Pada musim kemarau saat hijauan sulit didapatkan, sapi-sapi di
peternakan KPBS Pangalengan sebagian besar diberi pakan dari limbah pertanian
seperti sayur-sayuran dan tambahan konsentrat. Kandungan nutrisi dari limbah
pertanian umumnya rendah karbohidrat (Lamy et al. 2012), sehingga dapat
menjadi penyebab terjadinya ketosis yang tinggi pada musim kemarau.
Rendahnya karbohidrat dalam pakan akan menyebabkan rendahnya glukosa
dalam darah sehingga terjadi perombakan lemak dari jaringan adiposa untuk
memenuhi kebutuhan energi ternak (Leslie et al. 2003). Kondisi ini akan
menyebabkan terjadinya ketosis pada ternak. Pemberian konsentrat dan tanaman
kacang-kacangan yang sesuai dengan kebutuhan ternak dapat menjadi solusi
dalam mencegah terjadinya penyakit tersebut.
Kelahiran prematur merupakan proses kelahiran yang terjadi sebelum
saatnya dengan kondisi pedet dalam keadaan hidup (Putro 2008). Kelahiran
sebelum saatnya dapat terjadi akibat berbagai faktor antara lain genetik, jenis
kelamin, umur saat kebuntingan pertama, musim, dan nutrisi pakan (Szucs et al.

11
2009). Kasus kelahiran prematur di KPBS Pangalengan dalam tiga tahun terakhir
cukup tinggi yaitu rata-rata tiap tahun mencapai lebih dari 100 kasus.
Berdasarkan analisis korelasi curah hujan dengan kejadian kelahiran prematur di
KPBS Pangalengan juga menunjukkan koefisien korelasi yang negatif (r = 0.342). Rata-rata kasus kelahiran prematur lebih tinggi pada musim kemarau
(11.43±5.64/bulan) dibanding pada musim hujan (8.45±5.47/bulan) (Tabel 2).
Berdasarkan analisis koefisien determinan, sebanyak 11.7% penyebab terjadinya
kelahiran prematur di KPBS Pangalengan selama tahun 2010-2012 adalah curah
hujan yang rendah, sedangkan 88.3% lainnya disebabkan oleh faktor lain.
Kelahiran sebelum saatnya dapat terjadi akibat berbagai faktor antara lain genetik,
jenis kelamin, umur saat kebuntingan pertama, musim, dan nutrisi pakan (Szucs et
al. 2009). Kelahiran prematur yang terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan
rendah (kemarau), dapat berhubungan dengan asupan nutrisi yang tidak
mencukupi kebutuhan induk dan anak selama masa kebuntingan.

Gambar 3 Frekuensi curah hujan (a) dan kelahiran prematur (b) di
KPBS Pangalengan, Jawa Barat tahun 2010-2012.
Kasus milk let down failure atau kegagalan proses pengeluaran susu
merupakan suatu gangguan reproduksi yang terjadi akibat rendahnya pelepasan
hormon oksitosin (Bruckmaier 2005). Edward (2003) mengatakan bahwa proses
pemerahan dan pengeluaran susu dari ambing sapi dipengaruhi oleh hormon
oksitosin yang dilepaskan oleh kelenjar pituitari anterior ke peredaran darah
terutama menuju ambing. Hormon oksitosin juga berpengaruh pada perasaan
nyaman pada hewan. Rata-rata bulanan kasus milk let down failure pada musim
hujan (1.86±3.31/bulan) lebih tinggi dibanding pada musim kemarau
(0.43±0.76/bulan) (Tabel 2). Analisis korelasi dan regresi milk let down failure
dengan curah hujan (r = 0.358) menunjukkan bahwa 12.8% (Tabel 4) penyebab
kegagalan proses pengeluaran susu di KPBS Pangalengan adalah curah hujan
yang tinggi, sedangkan 87.2% merupakan pengaruh dari faktor lain seperti
tingginya hormon adrenalin di dalam tubuh yang dapat diakibatkan oleh cara
pemerahan yang salah.
Kegagalan proses pengeluaran susu dapat terjadi akibat tingginya hormon
adrenalin yang bersifat antagonis terhadap hormon oksitosin (FAO 2013). Selain
itu, adrenalin yang beredar dalam tubuh dapat menyebabkan vasokonstriksi buluh

12
darah yang dapat menghambat produksi susu dari ambing (FAO 2013). Hormon
adrenalin dapat muncul ketika hewan merasa dalam bahaya atau dalam kondisi
tidak nyaman seperti stres karena hujan, petir, kandang yang basah, atau
pemerahan yang salah. Curah hujan yang tinggi dapat menjadi kondisi lingkungan
yang nyaman bagi ternak subtropis berhubungan dengan nilai temperatur yang
rendah dan kelembapan yang tinggi pada musim hujan. Namun, hal ini ternyata
bertolak belakang dengan kenyataan di peternakan. Keadaan ini dapat diakibatkan
adaptasi hewan yang tidak baik terhadap curah hujan yang terlalu tinggi atau
berubah-ubah. Kondisi ini perlu diperhatikan karena kegagalan dalam pengeluaran
susu dapat meningkatkan resiko infeksi pada ambing dan bisa menjadi
predisposisi kejadian mastitis (Bruckmaier 2005).

Gambar 4 Frekuensi curah hujan (a) dan milk let down failure (b) di
KPBS Pangalengan, Jawa Barat tahun 2010-2012.
Penyakit yang memiliki jumlah rata-rata tinggi pada musim hujan atau
musim kemarau tidak semuanya berkorelasi dengan curah hujan. Penyakit yang
tinggi jumlahnya pada musim hujan namun tidak berkorelasi yaitu retensio
secundinae, abortus, endometritis, hypo et aplasia ovary, anestrus, mumifikasi
fetus, piometra, kista ovari, corpus luteum persistent, torsio uteri, vulvovaginitis,
dan repeat breeding, sedangkan penyakit yang tinggi jumlahnya pada musim
kemarau namun tidak berkorelasi yaitu hipokalsemia, distokia, metritis, prolapsus
uteri, dan ruptura uteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan bukan
merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit-penyakit
tersebut. Kasus penyakit reproduksi yang jumlah kejadiannya tinggi namun tidak
berkorelasi dengan curah hujan perlu diperhatikan, karena penyebabnya mungkin
dikarenakan oleh faktor lain seperti tidak tertanganinya kasus penyakit,
terlambatnya pelaporan kejadian penyakit, keterampilan peternak dalam
perawatan sapi, maupun ketersediaan dokter hewan dan paramedis. Prihatini
(2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sebanyak 0.72% retensio
sekundinae dan 3.92% endometritis dipengaruhi oleh curah hujan di wilayah kerja
Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang. Hal ini
menjelaskan bahwa terdapat kondisi yang berbeda antara kejadian di KPBS
Pangalengan dan KPSBU Lembang yang dapat diakibatkan oleh faktor-faktor lain
seperti yang telah disebutkan dan faktor curah hujan yang berbeda di tiap daerah.

13
Beberapa kejadian penyakit reproduksi dapat terjadi pada periode curah
hujan yang rendah atau tinggi tergantung pada kondisi metabolik hewan. Kondisi
keseimbangan metabolik dalam tubuh hewan perlu dijaga untuk mempertahankan
imunitas tubuh terhadap perubahan lingkungan dan agen penyakit. Hal tersebut
dapat diusahakan dengan melakukan perbaikan pada manajemen pakan dan
konstruksi bangunan kandang yang menyesuaikan lingkungan nyaman dari ternak
(Yani & Purwanto 2006). Kondisi lingkungan yang nyaman dan pakan yang baik
membuat hewan lebih baik dalam reproduksi dan produktivitasnya. Selain itu,
pelayanan kesehatan hewan yang baik juga merupakan suatu usaha yang
menunjang perbaikan kesehatan ternak (Lamy et al. 2012). Kondisi lingkungan di
Pangalengan, Jawa Barat sudah cukup baik untuk kawasan pengembangan sapi
perah. Namun, perlu diperhatikan manajemen dan perawatan sapi perah agar sapi
perah di daerah Pangalengan dapat lebih baik dalam adaptasi lingkungan,
reproduksi, dan produktivitasnya.
Pemecahan analisis dan pola hubungan antara kondisi lingkungan dengan
respon fisiologis ternak menggunakan analisis regresi memiliki kelemahan, yaitu
belum mampu memberikan umpan balik atau prediksi untuk masa yang akan
datang. Pada penelitian Suherman et al. (2013) digunakan artificial neural
network (ANN) yang merupakan unit pemrosesan yang dimodelkan berdasarkan
jaringan saraf manusia dengan sistem yang adaptif untuk memecahkan masalah
dari informasi internal maupun eksternal yang mengalir melalui jaringan. Sistem
ANN memiliki kemampuan memberikan informasi atau keputusan bahkan
terhadap data yang belum pernah dipelajari sehingga sangat membantu dalam
mengetahui respon hewan terhadap suatu kondisi tertentu. Kemajuan teknologi
dalam ilmu peternakan dan kedokteran hewan seperti ini akan sangat membantu
dalam mendukung perbaikan manajemen dan kesehatan ternak di Indonesia.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penyakit-penyakit reproduksi yang tinggi kejadiannya selama tahun 20102012 di KPBS Pangalengan adalah hipokalsemia, retensio sekundinae, abortus,
mastitis, dan endometritis. Berdasarkan analisis statistik diketahui curah hujan
mempengaruhi kejadian penyakit mastitis (14%), ketosis (13.3%), kelahiran
prematur (11.7%), dan milk let down failure (12.8%) di KPBS Pangalengan
selama tahun 2010-2012, sedangkan penyakit reproduksi lainnya tidak
dipengaruhi oleh curah hujan.

Saran
Kejadian penyakit reproduksi khususnya mastitis, ketosis, kelahiran
prematur, dan milk let down failure di KPBS Pangalengan perlu dicegah dengan
melakukan manajemen peternakan yang baik dalam aspek perkandangan, sanitasi,
manajemen pakan, dan kesehatan hewan sebagai usaha perbaikan reproduksi
ternak. Penyakit-penyakit reproduksi yang kejadiannya tinggi namun tidak

14
dipengaruhi oleh curah hujan juga perlu diperhatikan untuk melihat faktor lain
yang mengakibatkan tingginya kejadian penyakit-penyakit tersebut. Perlunya
dilakukan penelitian lebih mendalam dengan metode lain untuk mengetahui
prediksi iklim terhadap kejadian penyakit reproduksi pada masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni A. 2000. Keragaman Produksi Susu Sapi Perah: Kajian pada Faktor
Koreksi Pengaruh Lingkungan Internal. Wartazoa. 9(2): 41-49.
Anggraeni A. 2008. Indeks Reproduksi sebagai Faktor Penentu Efisiensi
Reproduksi Sapi Perah: Fokus Kajian pada Sapi Perah Bos taurus. Di
dalam: Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju
Perdagangan Bebas 2020; 2008 April 21; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID):
Puslitbang Peternakan. hlm 61-74.
Blakely J, Blade DH. 1991. Ilmu Peternakan. Srigandono B, penerjemah;
Sudarsono, editor. Yogyakarta(ID): UGM. Terjemahan dari: The Science of
Animal Husbandry. Ed ke-4.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2000. Budidaya Ternak
Sapi Perah [Internet]. Jakarta (ID): BPP Teknologi. Hlm 1-10; [diunduh
2013 Mei 25]. Tersedia pada: http://www.warintek. ristek.go.id/ peternakan/
budidaya/ sapi_perah.pdf.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Curah Hujan,
Temperatur, dan Kelembapan di Wilayah Kecamatan Pangalengan,
Kabupaten Bandung Jawa Barat. Bogor (ID): BMKG Stasiun Klimatologi
Dramaga.
Bruckmaier RM. 2005. Normal and Disturbed Milk Ejection in Dairy Cows. J
Dom Anim End. 68:369–76. doi:10.1016/j.domaniend.2005.02.023
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2012. Total Produksi Susu di
Indonesia menurut Provinsi. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan.
Edward P. 2003. Understanding The Mammary System. J Dairy Cattle. 3:81- 83.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2013. Diseases of Calving Cow. Italia
(IT): FAO.
Hameed KGA, Sender G, Korwin-Kossakowska A. 2006. Public Health Hazard
due to Mastitis in Dairy Cows. Anim Sci Papers Report.25(2): 73-85.
Hanifah A, Endarwin. 2011. Analisis Intensitas Curah Hujan Wilayah Bandung
pada Awal 2010. J Met Geo. 12(2): 145-149.
Hardjosworo PS, Levine JM. 1987. Pengembangan Peternakan di Indonesia.
Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.
Lamy E, Harten SV, Baptista ES, Manuela M, Guerra M, Almeida AM.
2012.Factors Influencing Livestock Productivity. Di dalam: Sejian V, Naqvi
SMK, Ezeji T, Lakritz J, Lal R, editor. Environmental Stress and
Amelioratioin Livestock Production. Belgia (BE): Springer-Verlag. doi:
10.1007/978-3-642-29205-7_2.
Leslie K, Duffield T, LeBlanc S. 2003. Monitoring and Managing Energy Balance
in the Transition Dairy Cow. J Dairy Sci. 2003: 101-107.

15
Lunde TM, Lindtjørn B. 2013. Cattle and Climate in Africa: How Climate
Variability has Influenced National Cattle Holdings from 1961–2008.
PeerJ.1(55):1-18. doi: 10.7717/peerj.55.
Prihatini R. 2011. Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan
Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Purwanto D. 2012 September 9. Konsumsi Susu di Indonesia Terendah se-Asia.
Kompas.
Putro P. 2008. Dampak Crossbreeding terhadap Reproduksi ternak Induk
Turunannya: Hasil Studi Klinis. Lokakarya Lustrum VIII Peternakan UGM,
Yogyakarta 8 Agustus 2009. Yogyakarta (ID): UGM.
Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy S. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Grati Pasuruan (ID): Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
R¨otter R, van de Geijn SC. 1999. Climate Change Effects on Plant Growth, Crop
Yield and Livestock. Clim Change. 43:651–681. doi: 10.1023/A:
1005541132734.
Seo S,Mendelsohn R. 2006. The Impact of Climate Change on Livestock
Management in Africa: a Structural Ricardian Analysis. CEEPA Discussion
Paper. 23:1–48.
Slamet LS, Berliana SS. 2006. Analisis Statistik Intensitas Curah Hujan di
Indonesia untuk Evaluasi Perubahan Iklim. Di dalam: Tarsilowati L, Susanti
I, Aditya E, editor. Seminar Nasional Perubahan Iklim dan Lingkungan di
Indonesia; 2006 Nov 9; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): LAPAN. hlm
129-140.
Subarna D. 2006. Telekoneksi antara Hujan Monsun di India dan Curah Hujan di
Indonesia dari data TRMM. Di dalam: Tarsilowati L, Susanti I, Aditya E,
editor. Seminar Nasional Perubahan Iklim dan Lingkungan di Indonesia;
2006 Nov 9; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): LAPAN.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung (ID): Tarsito.
Sudono A, Rosdiana RF, SetiawanBS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Suherman D, Purwanto BP, Manalu W, Permana IG. 2013. Artificial Neural
Networks simulation to define critical temperature ofFries Holland based on
physiological responses. JITV. 18(1): 70-80.
Szucs E, Gulyas L, Cziszter LT, Demirkan I. 2009. Stillbirth in Dairy Cattle:
Review. Zoo Biot. 42 (2): 622-636.
Wiliamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Ed ke3. Darmadja SGND, penerjemah. Yogyakarta (ID): UGM
Press.
Terjemahan dari: An Introduction to Animal Husbandry in The Tropics
Third Edition.
Yani A, Purwanto BP. 2006. Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis
Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk
Meningkatkan Produktivitasnya (Ulasan). Media Petern. 29(1): 35-46.

16
Lampiran 1 Peta wilayah kerja KPBS Pangalengan, Jawa Barat

Sumber: Dokumen KPBS Pangalengan Tahun 2012

17
Lampiran 2 Rekapitulasi jumlah kasus penyakit reproduksi di KPBS Pangalengan tahun
2010-2012
No
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Penyakit
Hipokalsemia/
Milk Fever

Retensio
Secundinae

Abortus

Mastitis

Endometritis

Ketosis/
Hipoglikemia

Hypo et
Aplasia Ovary

Distokia

Anestrus

Mumifikasi

Prematu

Metritis

Piometra

Kista Ovari

Prolapsus
Uteri

CLP

Tahun/Bulan

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

Nop

Des

2010

132

104

96

152

155

106

126

120

137

120

123

86

2011

116

83

92

98

135

88

143

122

150

129

76

107

2012

117

71

62

73

65

63

93

104

74

77

85

64

2010

141

114

101

146

181

93

89

154

183

120

103

116

2011

220

155

151

132

82

109

138

91

84

34

55

70

2012

47

46

50

51

52

38

55

69

49

56

57

50

2010

125

94

100

82

91

95

82

96

97

59

88

70

2011

92

89

179

142

110

99

99

108

70

70

50

82

2012

65

71

59

96

86

63

63

58

69

92

80

65

2010

91

109

100

109

87

66

86

79

78

98

69

135

2011

131

87

81

98

95

57

91

90

77

87

66

126

2012

118

87

70

59

87

66

69

27

56

54

71

62

2010

153

157

184

159

147

118

121

81

73

105

77

63

2011

130

74

66

89

59

65

60

32

51

58

60

76

2012

48

55

24

35

43

87

31

26

36

54

53

70

2010

28

14

12

39

33

4

32

24

31

8

18

14

2011

32

28

42

37

25

29

37

30

61

19

25

20

2012

31

19

11

10

24

12

23

27

67

81

22

24

2010

12

26

29

38

23

25

35

16

17

36

20

18

2011

38

54

32

17

28

32

8

14

8

9

9

11

2012

11

22

9

8

9

22

8

2

18

9

11

12

2010

28

20

16

17

24

22

18

12

17

14

10

26

2011

47

28

28

24

24

26

34

46

20

7

7

21

2012

8

4

11

5

14

7

9

6

15

17

24

9

2010

12

23

18

41

30

23

13

6

11

18

18

22

2011

17