Efektifitas Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum Frutescens L) Terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes Spp.Pada Ovitrap

(1)

EFEKTIFITAS EKSTRAK CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L) TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes spp.

PADA OVITRAP

SKRIPSI

Oleh:

SONNY MARIA SIMANJUNTAK 081000245

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

EFEKTIFITAS EKSTRAK CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L) TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes spp.

PADA OVITRAP

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

SONNY MARIA SIMANJUNTAK 081000245

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

i

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judul:

EFEKTIFITAS EKSTRAK CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L)

TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes spp.

PADA OVITRAP

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

SONNY MARIA SIMANJUNTAK NIM. 081000245

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 14 Januari 2011 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS dr. Surya Dharma, MPH

NIP. 1965.0109.1994.03.2002 NIP. 1958.0404.1987.02.1001

Penguji II Penguji III

Ir. Indra Chahaya S, M.Si. Ir. Evi Naria, M.Kes.

NIP. 1968.1101.1993.03.2005 NIP. 1968.0320.1993.03.2001

Medan, 14 Januari 2011 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara, Dekan,

Dr. Drs. Surya Utama, MS


(4)

ii

ABSTRAK

Tanaman buah cabai rawit (Capsicum frutescens L) merupakan tanaman obat yang memiliki berbagai macam kegunaan. Salah satu kegunaannya sebagai biopestisida (larvasida). Daya larvasida cabai rawit berasal dari kandungan aktifnya yaitu flavanoid, saponin,tannin, ascorbic acid, dan capsaicin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menegetahui efektifitas ekstrak cabai rawit dalam membunuh larva nyamuk Aedes spp.

Penelitian ini bersifat eksperimen murni (True Experiment) yaitu untuk melihat pengaruh beberapa konsentrasi dari ekstrak cabai rawit terhadap kematian larva nyamuk Aedes spp. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan konsentrasi ekstrak cabai rawit (0%, 0,1%, 0,2%, dan 0,3%) dengan 3 kali pengulangan. Digunakan 360 ekor larva nyamuk Aedes spp., masing - masing kelompok berisi 30 ekor larva dalam 250 ml larutan ekstrak cabai rawit. Data yang diperoleh dari pengamatan waktu kematian larva nyamuk Aedes spp. setiap 4 jam selama 20 jam. Jenis cabai rawit yang digunakan pada penelitian ini adalah cabai rawit jemprit.

Hasil penelitian menunjukkan pada konsentrasi ekstrak cabai rawit 0% tidak terjadi kematian larva nyamuk Aedes spp. Kematian larva mulai terlihat pada konsentrasi 0,1% sebesar 78,89%; konsentrasi 0,2% sebesar 90%; dan 0,3% sebesar 100%. Berdasarkan hasil uji statistik Anova Satu Arah dengan taraf nyata 5% dengan hasil probabilitas 0,000 < 0,05, maka Ho ditolak, yang berarti bahwa ada perbedaan rata – rata kematian larva nyamuk Aedes spp. yang bermakna pada setiap konsentrasi ekstrak cabai rawit dalam membunuh larva nyamuk Aedes spp. Konsentrasi ekstrak cabai rawit yang efektif terhadap kematian larva larva nyamuk Aedes spp. adalah pada konsentrasi 0,3%.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak cabai rawit mengandung zat biopestisida yang dapat digunakan untuk membunuh larva nyamuk Aedes spp. dengan konsentrasi yang efektif pada konsentrasi 0,3%. Diharapkan buah cabai rawit dapat menjadi alternatif untuk mengendalikan larva seperti larva nyamuk Aedes spp.


(5)

iii ABSTRACT

The plant of cayenne pepper is a medical plant which has all kinds of purpose. One of them is as biopesticide (larvasida). The power of larvasida cayenne pepper is from inside it’s energetic, like flavanoid, saponin, tannin, ascorbic acid, and capsaicin. The goal of research is for knowing effectiviness of cayenne pepper to kill mosquito Aedes spp.

This research is a true experiment is to look at the influence of amount concentration of cayenne pepper to the death of mosquito Aedes spp. The method of research use Completely Randomized Design which consist of 4 treatment (0%, 0.1%, 0.2% and 0.3%) by 3 times replication. It is used 360 larva of mosquito in 250 ml solution of cayenne pepper extract. The data is of obtained on the observation of death mosquito larva Aedes spp. at 4 hours for 20 hours.

The result of research refers to concentration of cayenne pepper extract 0% is not happened death mosquito larva Aedes spp. The death of larva is seen on concentration 0.1% in the amount of 78.89%, 0.2% in the amount of 90% and 0.3% in the amount of 100%. According to result of statistics with standard 5% and probability 0.000 < 0.005, so Ho is refused and it means there is a different of the death mosquito larva Aedes spp. on average on each concentration of cayenne pepper in killing mosquito larva Aedes spp. Concentration of cayenne pepper which effective to death mosquito larva Aedes spp. is on concentration 0.3%.

The concentration of this research is cayenne pepper extract contain biopesticide which can be used for killing mosquito larva Aedes spp. by effective concentration at 0.3%. It is expected on cayenne pepper as an alternative to restrain larva as mosquito larva Aedes spp.

The Key Words : Cayenne Pepper (Capsicum frutescens L), Mosquito Larva Aedes spp.


(6)

iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Sonny Maria Simanjuntak

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 11 September 1985

Agama : Kristen Protestan

Jumlah Anggota Keluarga : 5 (lima) orang

Alamat Rumah : Jl. Pintu Air Gg. Gabe Tua No. 25 S.M.Raja - Medan

Riwayat Pendidikan : 1. TK St. Antonius V Medan (1990 – 1991)

2. SD St. Antonius V Medan (1991 – 1997)

3. SMP St. Maria Medan (1997 - 2000)

4. SMA Methodist 1 Hang Tuah Medan (2000 - 2003)

5. Akademi Perawat Gleneagles Medan (2003 – 2006)

6. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU (2008 – 2011)


(7)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan kasih dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul Efektifitas Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) Terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Ovitrap. Adapun skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan guna mendapatkan gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini banyak mengalami kesulitan dan hambatan, tetapi

berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya dapat terselesaikan. Oleh karena itu

penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Jumirah, Apt. M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik.

3. Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS selaku Pembimbing I dan dr. Surya

Dharma, MPH selaku Pembimbing II.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU

dan seluruh dosen dan staff pengajar di FKM USU serta seluruh pegawai di FKM

USU serta kepada Dian selaku admin Kesling yang telah banyak membantu


(8)

vi

6. Bapak Drs. Awaluddin Saragih, M.Si, Apt. selaku Kepala Laboratorium dan

seluruh asisten Laboratorium Obat Tradisional Fakultas Farmasi USU, khususnya

kepada Naomi dan Sri (Mahasiswa Farmasi USU) sebagai teman seperjuangan

yang sudah mendukung dan memberi masukan kepada penulis.

7. Orang Tua tercinta AKP. H. Simanjuntak dan H. br. Hutahaean yang senantiasa

memberikan kasih sayang, dukungan moril dan material kepada penulis, serta

abangku Bobby Simanjuntak, SP, adik – adikku Meylin Simanjuntak, AMd.,

Sartika Simanjuntak dan Surya Simanjuntak, edaku Dewi Sitorus, SE dan terkasih

Anthony Silalahi, SE terimakasih buat doa dan juga dukungan moril selama ini

kepada penulis.

8. Seluruh teman- teman kesling terutama ekstensi ’08, Sofia, SKM., Mulverawaty

Sinaga, Wiwiek (reguler ’05) dan teman – teman yang lainnya.

9. Semua pihak yang turut membantu kelancaran skripsi ini yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu

penulis dengan rendah hati menerima saran dan kritik yang bersifat membangun dari

semua pihak dalam rangka kesempurnaan skripsi ini. Hasil yang dituangkan dalam

skripsi ini semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa

yang akan datang.

Medan, Januari 2011


(9)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Umum ... 5

1.3.2. Tujuan Khusus ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Tinjauan tentang Nyamuk Aedes spp. ... 7

2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp. ... 8

2.1.2. Morfologi Nyamuk Aedes spp. ... 9

2.1.3. Tata Hidup Nyamuk Aedes spp. ... 12

2.1.4. Kebiasaan Hidup (Bionomik) Aedes spp. ... 12

2.1.5. Pengendalian Vektor Nyamuk ... 15

2.1.6. Suhu ... 18

2.1.7. Kelembaban ... 19

2.1.8. Derajat Keasaman Air (pH) ... 19

2.2. Tinjauan Tentang Insektisida Nabati ... 19

2.2.1. Pengertian Insektisida Nabati ... 19

2.2.2. Pembuatan Insektisida Nabati ... 20

2.2.3. Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati ... 21

2.2.4. Cara Masuk Insektisida ... 22

2.3. Tinjauan Tentang Cabai Rawit ... 23

2.3.1. Deskripsi Cabai Rawit ... 23

2.3.2. Klasifikasi ... 24

2.3.3. Karakteristik ... 24

2.3.4. Jenis dan Varietas ... 25

2.3.5. Habitat ... 27

2.3.6. Kandungan Kimia ... 27

2.3.7. Manfaat ... 28

2.4. Kerangka Konsep ... 29


(10)

viii

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 30

3.1.1. Jenis Penelitian ... 30

3.1.2. Rancangan Penelitian ... 30

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 31

3.2.2. Waktu Penelitian ... 31

3.3. Sampel Penelitian ... 31

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.4.1. Data Primer ... 31

3.4.2. Data Sekunder ... 31

3.5. Alat dan Bahan Penelitian ... 32

3.5.1. Alat ... 32

3.5.2. Bahan ... 33

3.6. Pelaksanaan Penelitian ... 33

3.6.1. Cara Mendapatkan Larva Nyamuk Aedes spp. ... 33

3.6.2. Pemasangan ovitrap ... 34

3.6.3. Proses Pembuatan Ekstrak Cabai Rawit ... 34

3.6.3.1. Penyediaan Bahan Tumbuhan ... 34

3.6.3.2. Cara Membuat Ekstrak Cabai Rawit ... 35

3.6.4. Cara Melakukan Pengenceran Konsentrasi Larutan Ekstrak Cabai Rawit ... 36

3.7. Prosedur Penelitian ... 36

3.8. Definisi Operasional ... 38

3.9. Analisa Data ... 39

3.9.1. Tes Homogenitas Varian (Test Homogeneity of Variance) ... 39

3.9.2. Uji Anova (Uji F) ... 40

3.9.3. Test Post Hoc (Post Hoc Test) ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 43

4.1. Pengaruh Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. ... 43

4.1.1. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 0% (Kontrol) Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) ... 43

4.1.2. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 0,1% Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) ... 44

4.1.3. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 0,2% Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) ... 45

4.1.4. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 0,3% Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) ... 46

4.1.5. Rata-Rata Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada 4 Konsentrasi Setiap 4 Jam Selama 20 Jam Pemberian Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) ... 47


(11)

ix

4.2. Analisa Statistik ... 47

4.3. Pengukuran Suhu, Kelembaban Udara, dan Keasaman Air ... 51

4.3.1. Pengukuran Suhu ... 51

4.3.2. Pengukuran Kelembaban Udara ... 52

4.3.3. Pengukuran Keasaman Air (pH) ... 53

BAB V PEMBAHASAN ... 54

5.1. Pengaruh Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) Terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Ovitrap ... 54

5.2. Suhu, Kelembaban, dan Keasaman Air ... 56

5.2.1. Suhu ... 56

5.2.2. Kelembaban Udara ... 57

5.2.3. Keasaman Air (pH) ... 57

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

6.1. Kesimpulan ... 58

6.2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Keterangan Penelitian ... 63

Lampiran 2 : Surat Keterangan Telah Selesai Penelitian ... 65

Lampiran 3 : Tabel Rancangan Acak Lengkap (RAL) ... 66

Lampiran 4 : Tabel Hasil Pengamatan Jumlah Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Empat Konsentrasi dengan Tiga Kali Ulangan Setiap 4 Jam Selama 20 Jam ... 67

Lampiran 5 : Perhitungan Pengenceran Konsentrasi Larutan Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) ... 68

Lampiran 6 : Perhitungan Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) sebagai Aplikasi di Tingkat Rumah Tangga ... 70

Lampiran 7 : Perhitungan Koefisien Keragaman ... 72

Lampiran 8 : Hasil Uji Anova Satu Arah ... 73

Lampiran 9 : Hasil Uji Normalitas Data Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Cabai Rawit ... 75

Lampiran 10 : Siklus Hidup Nyamuk ... 76

Lampiran 11 : Dokumentasi Penelitian Efektifitas Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L)Terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Ovitrap ... 77


(12)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp.Setiap 4 Jam dan Pengamatan selama 20 Jam pada Konsentrasi 0% (Kontrol) ... 43 Tabel 4.2. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp.Setiap 4 Jam dan Pengamatan

selama 20 Jam pada Konsentrasi 0,1% ... 44 Tabel 4.3. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp.Setiap 4 Jam dan Pengamatan

selama 20 Jam pada Konsentrasi 0,2% ... 45 Tabel 4.4. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp.Setiap 4 Jam dan Pengamatan

selama 20 Jam pada Konsentrasi 0,3% ... 46 Tabel 4.5. Rata – Rata Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada 4 Konsentrasi

Setiap 4 Jam Selama 20 Jam Waktu Pengamatan dengan Beberapa Konsentrasi Ekstrak Cabai Rawit (Capsicumfrutescens L) ... 47 Tabel 4.6. Hasil Uji Persamaan Varians (Levene Test hitung) Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. dengan Berbagai Konsentrasi Ekstrak Cabai

Rawit (Capsicum frutescens L) pada Ovitrap ... 48 Tabel 4.7. Hasil Uji Anova Rata – Rata Kematian Larva Nyamuk Aedes spp.

dengan Berbagai Konsentrasi Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum

frutescens L) pada Ovitrap menurut RAL ... 48 Tabel 4.8. Hasil Uji BNJ terhadap Rata - Rata Kematian Larva Nyamuk

Aedes spp. dengan 4 konsentrasi Ekstrak Cabai Rawit

(Capsicum frutescens L) pada Ovitrap menurut RAL ... 49 Tabel 4.9. Hasil Uji BNJ terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. dengan

4 Konsentrasi Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) dalam Subset Homogenitas ... 51 Tabel 4.10. Hasil Pengukuran Suhu pada saat Pemberian Ekstrak Cabai Rawit

dengan Konsentrasi 0%, 0,1%, 0,2%, dan 0,3% dalam Setiap

Pengulangan ... 52 Tabel 4.11. Hasil Pengukuran Kelembaban Udara pada saat Pemberian Ekstrak

Cabai Rawit dengan Konsentrasi 0%, 0,1%, 0,2%, dan 0,3% dalam Setiap Pengulangan ... 52 Tabel 4.12. Hasil Pengukuran Keasaman Air pada saat Pemberian Ekstrak

Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) dengan Konsentrasi 0%,


(13)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Ovitrap ... 18

Gambar 2.2. Cabai Rawit Jemprit ... 25

Gambar 2.3. Cabai Rawit Cengek ... 26


(14)

ii

ABSTRAK

Tanaman buah cabai rawit (Capsicum frutescens L) merupakan tanaman obat yang memiliki berbagai macam kegunaan. Salah satu kegunaannya sebagai biopestisida (larvasida). Daya larvasida cabai rawit berasal dari kandungan aktifnya yaitu flavanoid, saponin,tannin, ascorbic acid, dan capsaicin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menegetahui efektifitas ekstrak cabai rawit dalam membunuh larva nyamuk Aedes spp.

Penelitian ini bersifat eksperimen murni (True Experiment) yaitu untuk melihat pengaruh beberapa konsentrasi dari ekstrak cabai rawit terhadap kematian larva nyamuk Aedes spp. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan konsentrasi ekstrak cabai rawit (0%, 0,1%, 0,2%, dan 0,3%) dengan 3 kali pengulangan. Digunakan 360 ekor larva nyamuk Aedes spp., masing - masing kelompok berisi 30 ekor larva dalam 250 ml larutan ekstrak cabai rawit. Data yang diperoleh dari pengamatan waktu kematian larva nyamuk Aedes spp. setiap 4 jam selama 20 jam. Jenis cabai rawit yang digunakan pada penelitian ini adalah cabai rawit jemprit.

Hasil penelitian menunjukkan pada konsentrasi ekstrak cabai rawit 0% tidak terjadi kematian larva nyamuk Aedes spp. Kematian larva mulai terlihat pada konsentrasi 0,1% sebesar 78,89%; konsentrasi 0,2% sebesar 90%; dan 0,3% sebesar 100%. Berdasarkan hasil uji statistik Anova Satu Arah dengan taraf nyata 5% dengan hasil probabilitas 0,000 < 0,05, maka Ho ditolak, yang berarti bahwa ada perbedaan rata – rata kematian larva nyamuk Aedes spp. yang bermakna pada setiap konsentrasi ekstrak cabai rawit dalam membunuh larva nyamuk Aedes spp. Konsentrasi ekstrak cabai rawit yang efektif terhadap kematian larva larva nyamuk Aedes spp. adalah pada konsentrasi 0,3%.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak cabai rawit mengandung zat biopestisida yang dapat digunakan untuk membunuh larva nyamuk Aedes spp. dengan konsentrasi yang efektif pada konsentrasi 0,3%. Diharapkan buah cabai rawit dapat menjadi alternatif untuk mengendalikan larva seperti larva nyamuk Aedes spp.


(15)

iii ABSTRACT

The plant of cayenne pepper is a medical plant which has all kinds of purpose. One of them is as biopesticide (larvasida). The power of larvasida cayenne pepper is from inside it’s energetic, like flavanoid, saponin, tannin, ascorbic acid, and capsaicin. The goal of research is for knowing effectiviness of cayenne pepper to kill mosquito Aedes spp.

This research is a true experiment is to look at the influence of amount concentration of cayenne pepper to the death of mosquito Aedes spp. The method of research use Completely Randomized Design which consist of 4 treatment (0%, 0.1%, 0.2% and 0.3%) by 3 times replication. It is used 360 larva of mosquito in 250 ml solution of cayenne pepper extract. The data is of obtained on the observation of death mosquito larva Aedes spp. at 4 hours for 20 hours.

The result of research refers to concentration of cayenne pepper extract 0% is not happened death mosquito larva Aedes spp. The death of larva is seen on concentration 0.1% in the amount of 78.89%, 0.2% in the amount of 90% and 0.3% in the amount of 100%. According to result of statistics with standard 5% and probability 0.000 < 0.005, so Ho is refused and it means there is a different of the death mosquito larva Aedes spp. on average on each concentration of cayenne pepper in killing mosquito larva Aedes spp. Concentration of cayenne pepper which effective to death mosquito larva Aedes spp. is on concentration 0.3%.

The concentration of this research is cayenne pepper extract contain biopesticide which can be used for killing mosquito larva Aedes spp. by effective concentration at 0.3%. It is expected on cayenne pepper as an alternative to restrain larva as mosquito larva Aedes spp.

The Key Words : Cayenne Pepper (Capsicum frutescens L), Mosquito Larva Aedes spp.


(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Nyamuk termasuk dalam subfamili Culicinae, family Culicidae (Nematocera:

Diptera) merupakan vektor atau penular utama dari penyakit arbovirus atau

arthropod-borne viruses. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk

meskipun sebagian besar dari spesies - spesies nyamuk ini tidak berasosiasi dengan

penyakit virus (arbovirus) dan penyakit - penyakit lainnya. Jenis - jenis nyamuk yang

menjadi vektor utama, biasanya adalah Aedes sp., Culex sp., Anopheles sp., dan

Mansonia sp.(Sembel, 2009) .

Serangga yang diketahui menjadi vektor utama adalah nyamuk Aedes aegypti

dan nyamuk kebun Aedes albopictus. Kedua spesies nyamuk itu ditemukan

di seluruh wilayah Indonesia kecuali pada ketinggian lebih dari 1000 meter di atas

permukaan laut (Kristina, 2004).

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue, ditularkan ke tubuh manusia

melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti yang terinfeksi dan karenanya dianggap sebagai

arbovirus (virus yang ditularkan melalui arthropoda). Bila terinfeksi, nyamuk tetap

akan terinfeksi sepanjang hidupnya, menularkan virus ke individu rentan selama

menggigit dan menghisap darah. Nyamuk jantan akan menyimpan virus pada nyamuk

betina saat melakukan kontak seksual. Selanjutnya, nyamuk betina tersebut akan

menularkan virus ke manusia melalui gigitan (WHO, 1999).

Di musim hujan, hampir tidak ada daerah di Indonesia yang terbebas dari


(17)

2

menunjukkan bahwa DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia. Dua

ratus kota melaporkan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB). Angka kejadian

meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 dan secara drastis

melonjak menjadi 627 per 100.000 penduduk. Biasanya, jumlah penderita semakin

meningkat saat memasuki bulan April. Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan kasus

DBD di semua negara Asia. Salah satu penyebabnya, yaitu pengaruh globalisasi dan

mobilisasi yang semakin tinggi (Satari, 2004).

Kasus yang dilaporkan selama tahun 2009, tercatat 10 provinsi yang

menunjukkan kasus terbanyak, yaitu Jawa Barat (29.334 kasus 244 meninggal), DKI

Jakarta (26.326 kasus 33 meninggal), Jawa Timur (15.362 kasus 147 meninggal),

Jawa Tengah (15.328 kasus, 202 meninggal), Kalimantan Barat (5.619 kasus, 114

meninggal), Bali (5.334 kasus, 8 meninggal), Banten (3.527 kasus, 50 meninggal),

Kalimantan Timur (2.758 kasus, 34 meninggal), Sumatera Utara (2.299 kasus, 31

meninggal), dan Sulawesi Selatan (2.296 kasus, 20 meninggal), ujar Prof. Tjandra

(Depkes, 2009).

Adanya populasi Ae. aegypti, yakni populasi di Sungai Jingah,

memperlihatkan tingkat mortalitas larva yang lebih rendah dan konsentrasi letal

temefos yang lebih tinggi. Berdasarkan wawancara dengan petugas kesehatan

lingkungan dan informasi dari Dinkes Kota Banjarmasin di Kel. Sungai Jingah lebih

sering terjadi kasus demam berdarah, sehingga abatisasi lebih sering dilaksanakan

sendiri oleh masyarakat untuk mengendalikan larva nyamuk dan dosis yang dipakai

cenderung lebih rendah dengan alasan air yang ditaburi abate berbau kurang sedap,


(18)

3

tingginya frekuensi abatisasi ini dapat lebih mendorong terjadinya resistensi pada

populasi Ae. aegypti di Sungai Jingah. Selain itu, pemakaian abate selama 30 tahun

memang memungkinkan berkembangnya resistensi (Mulla et al., 2004).

Sehubungan dengan hal di atas maka perlu dilakukan suatu usaha

mendapatkan insektisida alternatif yaitu menggunakan insektisida alami, yakni

insektisida yang dihasilkan oleh tanaman beracun terhadap serangga tetapi tidak

mempunyai efek samping terhadap lingkungan dan tidak berbahaya bagi manusia.

Senyawa yang terkandung dalam tumbuhan dan diduga berfungsi sebagai insektisida

di antaranya adalah golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, steroid dan

minyak atsiri (Kardinan, 2000).

Insektisida nabati terdapat pada bahan-bahan nabati seperti buah, daun,

batang, ataupun akar dari tanaman. Salah satu tanaman yang mengandung insektisida

nabati adalah cabai rawit (German Commission E, 1990).

Cabai rawit apabila dihaluskan akan mengeluarkan aroma yang khas. Aroma

ini disebabkan oleh fraksi minyak esensial. Minyak tersebut merupakan metabolit

sekunder yang kaya akan senyawa dengan struktur isopren. Mereka disebut terpen,

bila senyawa tersebut mengandung elemen tambahan oksigen, maka disebut

terpenoid. Terpenoid aktif terhadap bakteri, fungi, virus, dan protozoa. Contoh

terpenoid adalah artemisin, yang telah digunakan oleh WHO sebagai antimalaria.

Senyawa terpenoid pada cabai rawit, capsaicin, bersifat bakterisida terhadap

Helicobacter pylori. Cara kerja capsaicin adalah ikut terlibat dalam perusakan


(19)

4

Penelitian Wakhyulianto (2005) mengenai ”Uji Daya Bunuh Ekstrak Cabai

Rawit (Capsicum frutescens L) terhadap Nyamuk Aedes aegypti” dengan melakukan

penyemprotan (space spraying) dengan konsentrasi yang berbeda, pada konsentrasi

10% dapat membunuh nyamuk Ae. aegypti sebanyak 6,25%, konsentrasi 50% dapat

membunuh nyamuk Ae. aegypti sebanyak 13,75%, konsentrasi 90% dapat membunuh

nyamuk Ae. aegypti 18,75% dan konsentrasi 100% dalam waktu 24 jam setelah

perlakuan dapat membunuh 31,25% dari populasi nyamuk. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa tingkat kematian nyamuk dalam penelitian tidak mencapai 50%

dari seluruh jumlah sampel yang digunakan. Peneliti menyarankan perlunya

penelitian lain untuk membuktikan daya bunuh ekstrak cabai rawit yaitu terhadap

larva nyamuk Ae. aegypti.

Penelitian Najmi (2010) mengenai pemasangan ovitrap yang telah

dimodifikasi dengan pemberian abate (temephos) dapat menurunkan angka Container

Index (CI) sebesar 33,33% dan angka House Index (HI) sebesar 60%. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa modifikasi ovitrap ini dapat menurunkan angka larva

vektor DBD.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai efektifitas ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens L) terhadap kematian

larva nyamuk Aedes spp.pada ovitrap.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan penelitian adalah

bagaimana pengaruh ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens L) terhadap kematian


(20)

5

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap

kematian larva nyamuk Aedes spp. pada ovitrap.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui jumlah larva nyamuk Aedes spp. yang mati setelah diberi

larutan ekstrak cabai rawit pada ovitrap dengan konsentrasi 0% yang diamati

selama 20 jam perlakuan.

2. Untuk mengetahui jumlah larva nyamuk Aedes spp. yang mati setelah diberi

larutan ekstrak cabai rawit pada ovitrap dengan konsentrasi 0,1% yang

diamati selama 20 jam perlakuan.

3. Untuk mengetahui jumlah larva nyamuk Aedes spp. yang mati setelah diberi

larutan ekstrak cabai rawit pada ovitrap dengan konsentrasi 0,2% yang

diamati selama 20 jam perlakuan.

4. Untuk mengetahui jumlah larva nyamuk Aedes spp. yang mati setelah diberi

larutan ekstrak cabai rawit pada ovitrap dengan konsentrasi 0,3% yang

diamati selama 20 jam perlakuan.

5. Untuk mengetahui konsentrasi paling efektif dari ekstrak cabai rawit untuk

membunuh larva nyamuk Aedes spp. pada ovitrap.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat dapat sebagai informasi dalam memanfaatkan larvasida

nabati yang aman dan mudah di dapat dalam upaya pengendalian larva


(21)

6

2. Sebagai bahan masukan kepada para produsen dalam pemanfaatan cabai

rawit sebagai insektisida nabati.

3. Bagi peneliti dapat berguna dalam penambahan wawasan dan ilmu

pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa kesehatan lingkungan tentang


(22)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan tentang Nyamuk Aedes spp.

Nyamuk Aedes spp. adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis di seluruh

dunia dalam garis lintang 35°LU dan 35°LS. Namanya diperoleh dari perkataan

Yunani yaitu aedes, yang berarti "tidak menyenangkan", karena nyamuk ini

menyebarkan beberapa penyakit berbahaya seperti demam berdarah dan demam

kuning. Ae. albopictus merupakan spesies yang sering ditemui di Asia. Distribusi

Aedes dibatasi dengan ketinggian wilayah kurang dari 1000 meter di atas permukaan

air laut.

Di Indonesia nyamuk penular (vektor) penyakit demam berdarah dengue

(DBD) yang paling penting adalah Ae. aegypti, Ae. albopictus, dan Ae. scutellaris,

tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Ae.

aegypti. Demikian juga halnya di Kotamadya Surabaya spesies utama vektor penyakit

DBD adalah Ae. aegypti.

Nyamuk Ae. aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger

mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas yaitu adanya garis - garis dan

bercak - bercak putih keperakan diatas dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi

ciri khas utamanya adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di

kedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari punggungnya

yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking).

Ae. aegypti tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara, dan


(23)

8

akhir - akhir ini relatif sering terjadi yang dikaitkan dengan pembangunan sistem

persediaan air pedesaan dan perbaikan sistem transportasi. Di wilayah yang agak

kering, mis: India, Ae. aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara

khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain

di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 cm pertahun, populasi Ae.

aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota dan

daerah pedesaan. Karena, kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia,

Myanmar, dan Thailand, kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran

kota daripada di daerah perkotaan (WHO, 2004).

Nyamuk Ae. aegypti betina menggigit dan menularkan virus dengue.

Umumnya, nyamuk ini menggigit di siang hari (pukul 09.00 – 10.00) atau sore hari

pukul (16.00 - 17.00). Nyamuk jenis itu senang berada di tempat yang gelap dan

lembap. Penampilan nyamuk ini sangat khas, yaitu memiliki bintik - bintik putih dan

ukurannya lebih kecil dibandingkan nyamuk biasa. Pada malam hari, nyamuk ini

bersembunyi di tempat gelap atau di antara benda-benda yang tergantung, seperti baju

atau tirai (Satari, 2004).

2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp.

Nyamuk Aedes spp., secara umum mempunyai klasifikasi (Womack, 1993),

sebagai berikut :

Kerajaan : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta


(24)

9

Famili : Culicidae

Subfamili : Culicinae

Tribus : Culicini

Genus : Aedes

2.1.2. Morfologi Nyamuk Aedes spp.

Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Ae. aegypti dapat dibagi

menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa, sehingga termasuk

metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu (Soegijanto, 2006):

1. Telur

Telur nyamuk Ae. aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna

hitam, ukuran 0,5 – 0,8 mm, jumlah telur (sekali bertelur) 100 – 300 butir, rata – rata

150 butir, permukaan poligonal, tidak memiliki alat penampung, dan diletakkan satu

persatu pada benda - benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat

penampungan air (TPA) yang berbatasan dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa

dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15%

lainnya jatuh ke permukaan air.

2. Larva

Larva nyamuk Ae. aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu

sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan

perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), larva yang terbentuk

berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat

kecil, warna transparan, panjang 1 - 2 mm, duri - duri (spinae) pada dada (thorax)


(25)

10

bertambah besar, ukuran 2,5 - 3,9 mm, duri dada belum jelas, corong pernapasan

sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas

tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut

(abdomen).

Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa

duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling

besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut

ke-8, ada alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong pernapasan

tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu (tulf). Ruas ke-8 juga

dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi

sisir (comb) yang berjumlah 15 – 19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigi - gigi sisir

dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan

bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk

sudut hampit tegak lurus dengan bidang permukaan air.

3. Pupa

Pupa nyamuk Ae. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala

-dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya,

sehingga tampak seperti tanda baca ”koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada

terdapat alat bernapas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat

pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang

dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Gerakan pupa tampak

lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar


(26)

11 4. Dewasa

Nyamuk Ae. aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada

dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang

berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk - pengisap (piercing - sucking) dan

termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan

bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu

tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina

mempunyai antena tipe-pilose sedangkan nyamuk jantan tipe plumose.

Dada nyamuk ini tersusun dari 3 rias, porothorax, mesothorax dan

metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia

(betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih, tetapi pada

bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat

sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Bagian punggung (mesontum) ada gambaran

garis-garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran

punggung nyamuk Ae. aegypti berupa sepasang garis lengkung putih (bentuk: lyre)

pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya. Perut terdiri dari 8 ruas dan

pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk

Ae. aegypti ini tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya.

Ciri Ae. albopictus hampir sama dengan Ae. aegypti, yaitu bercak-bercak

putih di badan. Bila dilihat dengan kaca pembesar tampak di median punggungnya


(27)

12

2.1.3. Tata Hidup Nyamuk Aedes spp.

Telur nyamuk Ae. aegypti di dalam air dengan suhu 20 - 40O C akan menetas

menjadi larva dalam waktu 1 – 2 hari kecepatan pertumbuhan dan perkembangan

larva dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan

kandungan zat makanan yang ada di dalam tempat perindukan. Stadium larva

berlangsung selama 6 - 8 hari, pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi

pupa dalam waktu 4 - 9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu

2 - 3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa

memerlukan waktu kurang lebih 7 - 14 hari (Soegijanto, 2006).

Ae. aegypti bersifat aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit

dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah.

Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk

memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh

energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap

dan benda - benda berwarna hitam atau merah (Wikipedia, 2008).

Ae. albopictus pun bersifat aktif sama dengan Ae. aegypti, yaitu di pagi dan

sore hari. Bertelurnya di air tergenang, misalnya pada kaleng-kaleng bekas yang

menampung air hujan di halaman rumah. Pada musim penghujan, nyamuk ini banyak

terdapat di kebun atau halaman rumah karena di situ terdapat banyak tempat yang

terisi air (Wikipedia, 2010).

2.1.4. Kebiasaan Hidup (Bionomik) Aedes spp.

Jarak terbang Ae. aegypti per hari sekitar 30 – 50 meter, berarti berada pada


(28)

13

betina menghisap darah pada umumnya tiga hari setelah kawin dan mulai bertelur

pada hari keenam. Dengan bertambahnya darah yang diisap, bertambah pula telur

yang diproduksi. Kesenangan menggigit ini menurut pengamatan di Trinidad agak

khas.

Kebiasaan hidup/ bionomik dari nyamuk Ae. aegypti tersebut, terdiri dari:

1. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)

Nyamuk Ae. aegypti betina bersifat anthropofilik, karenanya lebih menyukai

darah manusia daripada darah binatang. Nyamuk Ae. aegypti betina menghisap darah

dengan tujuan mematangkan telur dalam tubuhnya.

Nyamuk Ae. aegypti hidup di dalam dan sekitar rumah sehingga makanan

yang diperoleh semuanya sudah tersedia. Boleh dikatakan bahwa nyamuk betina

sangat menyukai darah manusia (anthropofilik) dari pada darah binatang. Kebiasaan

menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00 – 12.00 dan sore hari jam 15.00 –

17.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah - pindah

berkali - kali dari satu indiviu ke individu yang lain (Soegijanto, 2006).

Hal ini disebabkan pada siang hari orang sedang aktif, sehingga nyamuk yang

menggigit seseorang belum tentu kenyang. Orang tersebut sudah bergerak, nyamuk

terbang menggigit orang lagi sampai cukup darah untuk pertumbuhan dan

perkembangan telurnya. Pada nyamuk perkotaan lebih suka menggigit pada waktu

siang hari (90%) dan waktu malam (10%). Nyamuk desa hanya menggigit siang saja.

Kejadian tersebut kemungkinan juga sinar lampu di perkotaan ikut mempengaruhi


(29)

14

2. Kebiasaan/ perilaku Istirahat (Resting Habit)

Ae. aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi

di dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil,

maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau

di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang mereka

suka adalah di bawah furnitur, benda yang tergantung seperti baju dan korden, serta

di dinding.

Kebiasaan hinggap istirahat, lebih banyak di dalam rumah, yaitu benda-benda

yang bergantungan, berwarna gelap, dan tempat-tempat lain yang terlindung, juga di

dalam sepatu. Keadaan inilah yang menyebabkan penyakit DBD menjadi lebih

mudah terjadi (Ditjen PPM&PL. 2001).

3. Kebiasaan Berkembangbiak (Breeding Habit)

Tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti adalah penampungan air

bersih di dalam rumah ataupun berdekatan dengan rumah, dan air bersih tersebut

tidak bersentuhan langsung dengan tanah (Ditjen PPM&PL, 2002).

Tempat perkembangbiakan tersebut berupa:

a. Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat menampung air guna keperluan

sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC dan ember.

b. Bukan tempat penampungan air (non TPA) yaitu tempat - tempat yang biasa

digunakan untuk menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari

seperti tempat minum hewan piaraan, kaleng bekas, ban bekas, botol, pecahan


(30)

15

c. Tempat penampungan air alami (TPA alami/ natural) seperti lubang pohon,

lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon

pisang dan potongan bambu.

2.1.5. Pengendalian Vektor Nyamuk

Beberapa usaha pencegahan dan pengendalian terhadap serangan nyamuk

demam berdarah dengue tidak akan berjalan jika dilakukan secara simultan dan

terpadu. Jika salah satu lingkungan saja tidak ikut berpatisipasi, lingkungan tersebut

bisa menjadi sumber infeksi serangan nyamuk demam berdarah. Usaha-usaha

pencegahan dan pengendalian yang bisa dilakukan sebagai berikut (Kardinan, 2007):

1. Pencegahan

Usaha ini dilakukan dengan menggunakan repellent atau pengusir, misalnya

lotion yang digosokkan ke kulit sehingga nyamuk takut mendekat. Banyak bahan

tanaman yang bisa dijadikan lotion anti nyamuk. Hal ini yang dapat dilakukan untuk

mengusir nyamuk adalah menanam tanaman yang tidak disukai serangga, termasuk

nyamuk Ae. aegypti. Tanaman ini bisa diletakkan di sekitar rumah atau di dalam.

2. Pengendalian

Pengendalian vektor adalah semua usaha yang dilakukan untuk menurunkan

atau menekan populasi vektor pada tingkat yang tidak membahayakan kesehatan

masyarakat (Kusnoputranto, 2000). Menurut data dari Direktorat Pemberantasan

Penyakit Menular, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, keberhasilan

pencegahan penyakit DBD sangat bergantung pada pengendalian vektornya, yaitu


(31)

16

Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan

beberapa metode yang tepat, yaitu :

a. Secara Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), misalnya sarang nyamuk dengan cara

mengeringkan genangan air yang menjadi tempat berkembangbiaknya, membakar

sampah yang menjadi tempat lalat bertelur dan tempat-tempat persembunyian

serangga pengganggu. Termasuk dalam pengendalian serangga adalah mencegah

terjadinya kontak antara serangga dengan manusia, misalnya dengan memasang

kawat kasa atau kawat nyamuk (insect-screen) di jalan angin, pintu atau jendela

rumah (Soedarto, 1992).

Cara yang hingga saat ini masih dianggap paling tepat untuk mengendalikan

penyebaran penyakit demam berdarah adalah dengan mengendalikan populasi dan

penyebaran vektor.

Program yang sering dikampanyekan di Indonesia adalah 3M+1T (Wikipedia,

2008), yaitu:

 Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada dinding bak

mandi.

 Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk yang memiliki akses ke tempat itu unutk bertelur.

 Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.


(32)

17

 Telungkupkan barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.

b. Secara Biologi

Pengendalian secara biologi adalah pengendalian serangga dengan

menggunakan predator (binatang pemangsa serangga), menyebarkan parasit

penyebab penyakit pada serangga dengan tujuan untuk menurunkan populasinya

secara alami tanpa mengganggu ekologi (Soedarto, 1992). Contoh Predator tersebut

terdiri dari Ikan pemakan larva yaitu ikan kepala timah, cupang dan gambus yang

sudah semakin banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk Ae. aegypti di

kumpulan air yang banyak atau di kontainer air yang besar, bakteri penghasil

endotoksin yaitu Bacillus Thuringies serotipe H-14 (Bt: H-14) dan Bacillus

sphaericus(Bs) adalah efektif untuk mengendalikan nyamuk.

c. Secara Kimia

Bahan kimia yang banyak digunakan dalam pemberantasan Ae. aegypti ialah

golongan organophospat. Malathion digunakan untuk memberantas nyamuk dewasa,

sedangkan temephos digunakan untuk jentiknya.

Malathion digunakan dengan cara pengasapan (fogging), karena kebiasaan

beristirahat Ae. aegypti ialah pada benda yang bergantungan. Temephos yang biasa

digunakan berebentuk butiran pasir (sandgranules) dan ditaburkan di tempat

penampungan air. Penggunaan larvasida ini dalam posisi 1 ppm mampu mencegah

infestasi jentik Ae. aegypti selama 2 - 3 bulan. Pengaruh residu temephos ini

disebabkan karena bahan aktifnya dilepas secara perlahan (slow release) dan


(33)

18

Upaya lain dalam memutus mata rantai kehidupan nyamuk yakni dengan

perangkap telur (ovitrap). Ovitrap adalah alat pemancing nyamuk untuk bertelur di

dalamnya. Ketika telur berkembang menjadi nyamuk dewasa, nyamuk akan

terperangkap di dalam ovitrap, dan akhirnya mati (Anonimous, 2008).

Ovitrap dapat berupa bejana, misalnya, cangkir (cup) kaleng (seperti bekas

kaleng susu atau gelas plastik) yang dinding sebelah dalamnya di cat hitam, dan

ember kemudian diberi air secukupnya. Ke dalam bejana tersebut dimasukkan paddle

berupa potongan kayu, bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar dan berwarna

gelap sebagai tempat meletakkan telur bagi nyamuk. Dapat dilihat pada gambar 2.1.

berikut ini :

Gambar 2.1. Ovitrap (Wikimedia, 2008)

2.1.6. Suhu

Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi

kelangsungan hidup serta populasi nyamuk di lingkungan. Rata-rata suhu optimum

untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25°-27°C. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti


(34)

19

2.1.7. Kelembaban

Kelembaban udara sangat mendukung dalam kelangsungan hidup nyamuk

mulai dari telur, larva, pupa hingga dewasa. Kelembaban yang sesuai adalah sekitar

70% - 89% (Jumar, 2000).

2.1.8. Derajat Keasaman Air (pH)

Derajat keasaman dengan kertas lakmus, untuk menunjukkan keasaman air.

yang disenangi pada tempat perkembangbiakan nyamuk. Larva aedes dapat hidup

pada air dengan pH antara 5,8 – 8,6 (Hidayat, 1997).

2.2. Tinjauan Tentang Insektisida Nabati 2.2.1. Pengertian Insektisida Nabati

Secara umum, insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang

bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan

kemampuan dan pengetahuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami/ nabati

maka jenis insektisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga

tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan

karena residunya mudah hilang. Insektisida nabati bersifat “pukul dan lari” (hit and

run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh serangga pada waktu itu dan

setelah serangganya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam

(Kardinan, 2004).

Senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman dapat dimanfaatkan seperti

layaknya insektisida sintetik. Perbedaannya adalah bahan aktif pada insektisida nabati

disintesa oleh tumbuhan dan jenisnya dapat lebih dari satu macam (campuran).


(35)

20

digunakan dalam bentuk utuh, ekstraksi (dengan air atau senyawa pelarut organik),

ataupun bubuk (Naria, 2005).

2.2.2. Pembuatan Insektisida Nabati

Pembuatan insektisida nabati dapat dilakukan secara sederhana atau secara

laboratorium. Cara sederhana (jangka pendek) dapat dilakukan dengan penggunaan

ekstrak sesegera mungkin setelah pembuatan ekstrak dilakukan. Cara laboratorium

(jangka panjang) biasanya dilakukan oleh tenaga ahli yang sudah terlatih. Hal

tersebut menyebabkan produk insektisida nabati menjadi mahal. Hasil kemasannya

memungkinkan untuk disimpan relatif lama.

Untuk menghasilkan bahan insektisida nabati dapat dilakukan dengan teknik

sebagai berikut (Kardinan, 2004):

1. Penggerusan, penumbukan, atau pengepresan untuk menghasilkan produk

berupa tepung, abu, atau pasta.

2. Rendaman untuk produk ekstrak

3. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus

oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus.

Untuk mengendalikan serangga-serangga yang terbang (seperti nyamuk Ae.

aegypti), insektisida yang diperlukan untuk menyemprot adalah insektisida yang

mengandung racun perut atau racun kontak. Penyemprotan dengan hand spray harus

diarahkan pada sasaran yang akan disemprot pada jarak 30 - 50 cm. Untuk

mendapatkan distribusi semprotan yang sama harus dilakukan secara merata baik dari


(36)

21

Untuk menjauhkan serangga atau gangguan oleh serangga terhadap manusia

dengan bahan-bahan kimia adalah Repellent yang digunakan dengan cara

menggosokkannya pada tubuh atau menyemprotkannya pada pakaian. Oleh karena itu

repellent harus memenuhi syarat yaitu tidak mengganggu pemakainya, tidak melekat

atau lengket, baunya menyenangkan pemakainya dan orang sekitarnya, tidak

menimbulkan iritasi pada kulit, tidak beracun, tidak merusak pakaian, dan daya

pengusir terhadap serangga hendaknya bertahan cukup lama. DEET

(N,N-diethyl-m-toluamide) adalah salah satu contoh repellent yang tidak berbau, akan tetapi repellent

ini menimbulkan rasa terbakar jika mengenai mata, luka atau jaringan membranous.

Repellent digunakan dalam berbagai bentuk, misalnya berbentuk cairan, pasta atau

semprotan yang ditujukan pada pakaian (Soedarto, 1992).

Interval (jarak taraf) perlakuan harus memberi peluang kepada peneliti untuk

mendapatkan perlakuan terbaik yang memberikan pengaruh maksimum. Semakin

tinggi derajat ketelitian yang diinginkan dan semakin heterogen lingkungan/ kondisi

percobaan, jumlah ulangan harus lebih banyak. Secara umum, ulangan minimal untuk

percobaan harus 3 (tiga) kali ( Hanafiah, 2008).

2.2.3. Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati

Penggunaan insektisida nabati memiliki keunggulan dan kelemahan, yaitu

(Naria, 2005):

1. Keunggulan

a. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada

komponen lingkungan dan bahan makanan sehingga dianggap lebih aman


(37)

22

b. Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam sehingga

tidak menimbulkan resistensi pada sasaran.

c. Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana.

d. Bahan pembuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar rumah.

e. Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian insektisida.

2. Kelemahan

a. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan dengan

insektisida sintetis. Tingginya frekuensi penggunaan insektisida botani

adalah karena sifatnya yang mudah terurai di lingkungan sehingga harus

lebih sering diaplikasikan.

b. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple active

ingredient) dan kadang kala tidak semua bahan aktif dapat dideteksi.

c. Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang

berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda, umur tanaman berbeda, dan

waktu panen yang berbeda mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat

bervariasi.

2.2.4. Cara Masuk Insektisida

Untuk membunuh serangga, insektisida masuk dalam tuguh serangga melalui

lambung, kontak, dan alat pernapasan (Wudianto, 2004), yaitu:

1. Insektisida dapat meracuni lambung (stomach poisons) bila insektisida masuk

dalam tubuh bersama bagian tanaman yang dimakannya. Akibatnya alat

pencernaan akan terganggu. Insektisida seperti ini sangat efektif untuk


(38)

23

2. Insektisida kontak (contact poisons) akan masuk ke dalam tubuh serangga

melalui kutikulanya.

3. Insektisida masuk ke tubuhnya melalui pernapasan, misalnya fumigasi hama

gudang dapat mematikan hama yang mengisap gas beracun dari fumigan.

Sedangkan dilihat dari cara kerjanya, insektisida dibedakan atas peracun fisik,

peracun protoplasma, dan peracun pernapasan, yaitu:

1. Insektisida peracun fisik akan menyebabkan dehidrasi, yaitu keluarnya cairan

tubuh dari dalam tubuh serangga.

2. Insektisi peracun protoplasma dapat mengendapkan protein dalam tubuh

serangga.

3. Insektisida peracun pernapasan dapat menghambat aktifitas enzim

pernapasan.

2.3. Tinjauan Tentang Cabai Rawit 2.3.1. Deskripsi Cabai Rawit

Tanaman cabai berasal dari daratan Benua Amerika, tepatnya di Amerika

Latin dengan garis lintang 0 - 30o LU dan 0 - 30o LS, mempunyai nama ilmiah

Capsicum frutescens, C. penulum, C. baccatum, C. chinense. Karena ukuran buahnya

yang kecil, di Indonesia cabai ini dikenal dengan nama cabai rawit (Setiadi, 2000).

Cabai rawit kadang ditanam orang di pekarangan sebagai tanaman sayur atau

tumbuh liar di tegalan dan tanah kosong yang telantar, lebih suka tumbuh di daerah

kering, serta ditemukan pada ketinggian 0,5 - 1.250 m di atas permukaan laut


(39)

24

2.3.2. Klasifikasi

Klasifikasi cabai rawit adalah sebagai berikut (Rukmana, 2002):

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Subsidi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua)

Subkelas : Metachlamidae

Ordo : Tubiflorae

Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum frutescens Linn.

2.3.3. Karakteristik

Tanaman cabai rawit biasanya tumbuh setahun, tetapi dapat juga tumbuh

2 - 3 tahun (Rukmana, 2002). Karakteristik cabai rawit adalah sebagai berikut

(Setiadi, 2000):

Tinggi : 50 – 150 cm

Batang : Berbuku-buku, bersudut

Daun : Tidak berbulu, bundar telur sampai lonjong, panjangnya 1-12

cm

Bunga : Keluar dari ketiak daun; tunggal atau 2–3 bunga

(berdekatan); mahkota bebentuk bintang berwarna putih,

putih kehijau-hijauan, atau ungu; garis tengah 1,75 mm


(40)

25

Buah : Buah tegak (pada hibrida merunduk); bentuk bulat telur atau

jorong; panjang 1-3 cm; lebar 2,5 mm-12 mm.

Warna Buah :

- Buah Muda : Hijau tua; putih; putih kehijau-hijauan

- Buah Tua : Dari hijau kemerah-merahan, lalu merah; dari putih menjadi

kuning kemerah-merahan, lalu berubah merah menyala

(jingga); dari putih kehijau-hijaun menjadi kemerah-merahan,

lalu menjadi merah.

2.3.4. Jenis dan Varietas

Berdasarkan tampilan buahnya, cabai rawit dibedakan menjadi tiga jenis

(Rukmana, 2002) , sebagai berikut:

1. Cabai Rawit Jemprit

Ciri - ciri buah cabai rawit jemprit adalah kecil dan pendek, berdiri tegak pada

ketiak-ketiak daun. Buah memiliki panjang 1 cm – 2 cm dan lebar atau diameter

0,5 cm – 1 cm. Buah yang masih muda berwarna hijau dan setelah tua (masak)

berubah menjadi merah tua. Rasa sangat pedas, hingga dapat merangsang selaput

gendang telinga.

Gambar 2.2

Cabai Rawit Jemprit


(41)

26 2. Cabai Rawit Cengek

Ciri-ciri buah cabai rawit cengek adalah panjang dan langsing, lebih besar

daripada cabai rawit jemprit, berdiri tegak pada ketiak - ketiak daun. Buah memiliki

panjang 4 cm – 6 cm dan lebar (diameter) 1 cm – 1,5 cm. Buah muda berwarna putih,

tetapi setelah tua (matang) berubah menjadi merah kekuning - kuningan. Rasanya

pedas, tetapi tidak sepedas cabai jemprit.

Gambar 2.3 Cabai Rawit Cengek

Sumber: Pusat Data dan Informasi PERSI (2003)

3. Cabai Rawit Ceplik

Ciri-ciri buah cabai rawit ceplik adalah agak besar dan gemuk. Berukuran

panjang 3 cm – 4 cm, lebih besar daripada cabai jemprit. Buah muda berwarna hijau,

tetapi setelah tua berubah menjadi merah tua. Rasanya cukup pedas, tetapi tidak

sepedas cabai jemprit.

Gambar 2.4 Cabai Rawit Ceplik


(42)

27

2.3.5. Habitat

Tanaman cabai rawit mempunyai daya adaptasi luas terhadap lingkungan

tumbuh (agroekologi) di daerah subtropis dan tropis. Di Indonesia, tanaman cabai

rawit dapat dibudidayakan di daratan rendah sampai dataran tinggi (pegunungan)

(Rukmana, 2002).

Daerah tumbuh cabai rawit yang paling cocok yaitu dataran dengan

ketinggian antara 0 - 500 m dari permukaan laut, suhu yang paling ideal untuk

perkecambahan benih cabai adalah 25 - 30o C, sedangkan untuk pertumbuhannya

adalah 24 - 28o C. Jika suhunya terlalu rendah pertumbuhan tanaman terhambat.

Intensitas cahaya matahari sekurang-kurangnya selama 10 - 12 jam untuk

fotosintesis, pembentukan bunga dan buah, serta pemasakan buah. Kelembapan

relatif yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 80%. Pada musim

hujan, kelemabapan akan tinggi, sehingga menanam cabai pada musim ini akan

menghadapi risiko terkena serangan bakteri dan cendawan. Derajat keasaman tanah

(pH) yang paling ideal untuk tanaman cabai adalah 6 - 7 (Wiryanta, 2002).

2.3.6. Kandungan Kimia

Cabai rawit mengandung zat capsaicin, minyak atsiri capsitol dan

bioflavonoids serta nutrisi (gizi) yang cukup tinggi (Rukmana, 2002). Kapsaikin yang

merupakan unsur aktif dan pokok yang berkhasiat terdiri dari empat komponen

kapsaikinoid, yaitu dihydrocapsaicin, nordihydrocapsaicin, homocapsaicin, dan


(43)

28

Cabai rawit juga mengandung senyawa ascorbic acid. Menurut

Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) dikutip oleh Wakhyulianto (2005) bahwa di

dalam cabai rawit terkandung senyawa saponin, flavonoida dan tannin.

2.3.7. Manfaat

Cabai rawit banyak digunakan untuk terapi kesehatan. Berbagai hasil

penelitian membuktikan bahwa buah cabai dapat membantu menyembuhkan kejang

otot, rematik, sakit tenggorokan, dan alergi (Wiryanta, 2002).

Cabai rawit rasanya pedas, sifatnya panas, tumbuhan ini berkhasiat tonik

stimultan kuat untuk jantung dan aliran darah membantu menghancurkan bekuan

darah (antikoagulan), dan meningkatkan nafsu makan. Minyak atsiri capsitol dapat

dimanfaatkan sebagai pengganti minyak kayu putih untuk mengurangi/ meringankan

rasa pegal-pegal, sesak napas, gatal-gatal dan encok karena bersifat analgesik.

(Rukmana, 2002).

Data hasil penelitian Tyas Ekowati Prasetyoningsih (1987) yang dikutip oleh

Setiawan Dalimartha (2004), menunjukkan bahwa ekstrak cabai rawit dapat

menghambat pertumbuhan Candida albicans. Candida albicans adalah spesies dari

candida yang menyebabkan infeksi pada membran mukosa mulut (thrush def 1), dan


(44)

29

2.4. Kerangka Konsep

2.5. Hipotesa Penelitian

Ho: Tidak ada perbedaan efektifitas ektrak cabai rawit (Capsicum frutescens L)

terhadap kematian larva Aedes spp.pada ovitrap.

Ha: Ada perbedaan efektifitas ektrak cabai rawit (Capsicum frutescens L) terhadap

kematian larva Aedes spp. pada ovitrap.

Pemberian larutan ekstrak cabai rawit jemprit terhadap larva Aedes

spp. dengan konsentrasi 0% (sebagai kontrol), 0,1%, 0,2%, dan

0,3% pada ovitrap Hasil ekstrak cabai rawit jemprit dengan konsentrasi

0% (sebagai kontrol), 0,1%, 0,2%, dan 0,3%

Jumlah larva Aedes spp. yang mati pada

ovitrap Cabai Rawit

Jemprit

Suhu, Kelembaban dan


(45)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian 3.1.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen murni yaitu untuk mengetahui konsentrasi

ekstrak cabai rawit terhadap kematian larva nyamuk Aedes spp. pada ovitrap.

Penelitian ini disebut eksperimen murni karena pada penelitian ini memungkinkan

peneliti untuk melakukan kontrol terhadap variabel-variabel yang berpengaruh

terhadap eksperimen serta adanya randomisasi (pengacakan) pada kelompok

eksperimen dan kontrol (Notoadmodjo, 2005).

Ciri khas yang menjadi kriteria esensial rancangan eksperimental murni

adalah pengelompokan subyek dilakukan dengan teknik random (random

assignment), sehingga apabila jumlah subyek memenuhi syarat, secara metodologik

semua variabel luar terdistribusi secara merata pada kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol (Praktiknya, 2001).

3.1.2. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan

Acak Lengkap (RAL). Rancangan ini umumnya cocok digunakan untuk kondisi

lingkungan, alat, bahan dan media yang homogen (Hanafiah, 2008).

Percobaan dilakukan dengan 4 konsentrasi ekstrak cabai rawit yaitu 0%

sebagai kontrol, 0,1%, 0,2%, dan 0,3% setiap konsentrasi dilakukan replikasi


(46)

31

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dalam pembuatan ekstrak cabai rawit dilakukan di Laboratorium

Obat Tradisional Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan penelitian

efektifitas ekstrak cabai rawit terhadap kematian larva nyamuk Aedes spp. pada

ovitrap dilakukan di rumah peneliti.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus - November Tahun 2010.

3.3. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah larva Aedes spp. yang diambil (diciduk) dari ovitrap,

kemudian dimakukkan ke dalam ovitrap yang baru berisi 250 ml air sumur, masing –

masing 30 ekor larva. Maka jumlah seluruh larva yang digunakan dalam penelitian

sebanyak 360 ekor larva.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang di dapat dari hasil eksperimen yang akan

dilakukan berupa data - data jumlah larva nyamuk Aedes spp. yang mati setelah di

beri larutan ekstrak cabai rawit 10 ml dengan konsentrasi 0% (sebagai kontrol), 0,1%,

0,2%, dan 0,3% setiap 4 jam dan mencatat hingga waktu pengamatan selama 20 jam

perlakuan.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku - buku dan jurnal serta


(47)

32

3.5. Alat dan Bahan Penelitian 3.5.1. Alat

Alat yang digunakan dalam pembuatan ekstrak cabai rawit adalah sebagai

berikut:

1. Pisau, untuk mengiris cabai rawit.

2. Lemari pengering, untuk mengeringkan cabai rawit dengan menggunakan

lampu pijar.

3. Alat blender, untuk menghaluskan cabai rawit.

4. Alumunium foil, untuk menutup botol – botol alat perkolasi.

5. Alat perkolasi, untuk mendapatkan ekstrak kasar.

6. Rotary evaporator, untuk medapatkan ekstrak kental.

7. Freez dryer, untuk mendapatkan ekstrak pekat.

8. Botol/ cup transparan, sebagai wadah untuk menyimpan ekstrak.

9. Timbangan, untuk menimbang berat ekstrak cabai rawit yang diperlukan

setiap kali perlakuan.

10.Cawan, untuk tempat menimbang ekstrak.

11.Gelas ukur 50 ml, untuk mengukur volume Etanol 96% dan ekstrak cabai

rawit.

12.Gelas ukur 10 ml, untuk mengukur volume ekstrak cabai rawit dengan

berbagai konsentrasi.

13.Hygrometer, untuk mengukur kelembaban ruangan selama penelitian.


(48)

33 15.Jam, untuk mengukur waktu pengamatan.

16.Ovitrap, sebagai perangkap larva nyamuk Aedes spp. dan wadah perlakuan

pada larva nyamuk Aedes spp.

17.Peciduk jentik, untuk mengambil (ciduk) larva nyamuk Aedes spp.

18.Daftar isian, untuk mencatat hasil pengamatan.

3.5.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan ekstrak cabai rawit adalah sebagai

berikut:

1. Buah cabai rawit jenis cabai kecil (jemprit) segar.

2. Etanol 96% digunakan sebagai pelarut dalam pembuatan ekstrak dan untuk

mengencerkan ekstrak cabai rawit.

3. Larva nyamuk Aedes spp.

3.6. Pelaksanaan Penelitian

3.6.1. Cara Mendapatkan Larva Nyamuk Aedes spp.

Untuk mendapatkan larva nyamuk Aedes spp.dilakukan dengan pemasangan

ovitrap, dengan ukuran sebagai berikut:

a. Ember kecil berwarna hitam dengan diameter 15 cm dan tinggi 12 cm.

b. Beri tanda batas air pada permukaan dalam ember (± 7 cm).

c. Beri lubang pada ember dengan tinggi ± 9 cm dari dasar ember, untuk

mencegah meluapnya air hujan.

d. Paddle sebagai tempat peletakan telur nyamuk dibuat dari potongan bambu

dengan panjang 15 cm dan lebar 3 cm, masukkan paddle ke dalam ember


(49)

34

e. Isi air sumur kedalam ovitrap sebanyak 0,5 liter atau setinggi batas air.

3.6.2. Pemasangan Ovitrap

a. Letakkan ovitrap di luar rumah, berdasarkan penelitian Hasyimi (1998)

jumlah telur Aedes spp.yang ditangkap dengan perangkap telur di luar rumah

lebih banyak daripada yang di dalam rumah.

b. Lakukan pengamatan terhadap ovitrap, lihat pada paddle apakah terdapat telur

nyamuk atau terdapat larva nyamuk Aedes spp. di dalam ember.

c. Setelah larva sudah ada pada ovitrap, kemudian larva di ciduk dan di letakkan

pada ovitrap yang berisi air sebanyak 250 ml, masing – masing 30 ekor larva.

d. Pengamatan pertama jumlah larva nyamuk Aedes spp. yang mati dilakukan

setiap 4 jam dan mencatat hingga waktu pengamatan 20 jam setelah perlakuan

dengan penambahan larutan ekstrak cabai rawit 10 ml pada konsentrasi 0%,

0,1%, 0,2%, dan 0,3%.

e. Suhu, kelembaban udara dan keasamaan air (pH) di sekitar tempat percobaan

diukur.

f. Catat pada tabel pengamatan.

g. Demikian untuk pengamatan ataupun pengulangan berikutnya sebanyak

3 kali.

3.6.3. Proses Pembuatan Ekstrak Cabai Rawit 3.6.3.1. Penyediaan Bahan Tumbuhan

Penyediaan bahan tumbuhan meliputi pengambilan bahan tumbuhan dan


(50)

35 1. Pengambilan Bahan Tumbuhan

Bahan tumbuhan yang digunakan adalah cabai rawit jemprit segar yang di

dapat dari pasar Deli Tua Medan.

2. Pengolahan Tumbuhan

Ekstrak cabai rawit dikumpulkan, dicuci bersih kemudian ditiriskan setelah itu

ditimbang berat seluruhnya yaitu berat basah sebanyak 2 kg, kemudian diiris

menjadi 3 - 4 irisan, setelah itu dikeringkan dilemari pengering selama 5 hari.

Cara mengetahui simplisia benar – benar kering yaitu dengan meremasnya

hingga hancur dan kemudian ditimbang sebagai berat kering sebanyak 320 g.

3.6.3.2. Cara Membuat Ekstrak Cabai Rawit

Langkah - langkah dalam pembuatan ekstrak cabai rawit adalah sebagai

berikut:

1. Cabai rawit yang telah kering (simplisia) kemudian dihaluskan dengan

menggunakan blender sampai menjadi bentuk serbuk.

2. Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam sebuah bejana dan direndam dengan 1

liter etanol 96% selama kurang lebih 3 jam (maserasi antara).

3. Serbuk dimasukkan ke dalam perkolator dan direndam selama 24 jam.

4. Ekstrak di perkolasi selama 3 minggu.

5. Ekstrak kasar etanol (8 L) dipekatkan dengan rotary evaporator membentuk

ekstrak pekat etanol.

6. Ekstrak pekat etanol disempurnakan dengan menggunakan freez dryer untuk

menghasilkan ekstrak kental (86,5 g).


(51)

36

3.6.4. Cara Melakukan Pengenceran Konsentrasi Larutan Ekstrak Cabai Rawit

Untuk mendapatkan konsentrasi larutan hasil ekstraksi cabai rawit menjadi

beberapa konsentrasi yaitu mulai dari konsentrasi 0%, 0,1%, 0,2%, dan 0,3% yang

dibuat dalam 10 ml pada tiap-tiap konsentrasi, dengan menggunakan rumus sebagai

berikut (perhitungan pada lampiran):

Keterangan: N1= konsentrasi awal

1

V = volume dari zat awal yabg dibutuhkan

2

N = konsentrasi yang diinginkan

2

V = volume yang diinginkan

3.7. Prosedur Penelitian

Sebelum melakukan percobaan terlebih dahulu dipersiapkan seluruh peralatan

dan bahan – bahan yang diperlukan. Pada saat penelitian suhu dan kelembaban

diukur, kemudian dilakukan langkah – langkah sebagai berikut:

a. Meletakkan ovitrap sebanyak 2 buah di luar rumah, nyamuk Aedes spp.

menyukai tempat - tempat penampungan air yang bersih, tidak beralaskan

tanah, dan permukaan airnya tenang.

b. Pada ovitrap masing – masing diberi tanda yaitu pada ulangan pertama A1,

B1, C1, dan D1. Ulangan kedua dengan tanda A2, B2, C2, dan D2. Ulangan 2

2 1

1 N V N


(52)

37

ketiga dengan tanda A3, B3, C3, dan D3, dimana posisi acak (Tabel

rancangan ada pada lampiran).

c. Setelah larva muncul pada ovitrap, selanjutnya di beri ekstrak cabai rawit 10

ml dengan konsentrasi yang berbeda sesuai dengan perlakuan yaitu 0,1%,

0,2%, dan 0,3%, khusus untuk 0% (kontrol) hanya berisi air sumur saja pada

ovitrap. Setiap konsentrasi dari kelompok percobaan direplikasi tiga kali.

d. Amati dan hitung jumlah kematian larva pada ovitrap yang sudah diberi

larutan ekstrak cabai rawit 10 ml setiap 4 jam dan mencatat hingga waktu

pengamatan selama 20 jam perlakuan. Larva yang mati merupakan larva yang

tenggelam ke dasar ovitrap, tidak bergerak, meninggalkan larva lain yang

dapat bergerak dengan jelas dan tidak berespon terhadap rangsang. Persentase

kematian larva dengan menggunakan rumus (Adriyansyah, dkk., 2002), yaitu:

Keterangan:

Po = Persentase kematian larva teramati

R = Jumlah larva yang mati pada perlakuan

n = Jumlah larva yang diuji

e. Tabulasi hasil data yang di dapat kemudian dianalisa dengan metode statistik. Po =

n R


(53)

38

3.8. Definisi Operasional

1. Cabai Rawit Jemprit adalah cabai yang buahnya kecil dan paling pedas

diantara jenis cabai rawit lainnya, memiliki kandungan bahan kimia berupa

capsaicin, minyak atsiri capsitol, bioflavonoid, saponin, isopren, flavonoida

dan tannin, dimana bahan-bahan kimia tersebut merupakan bahan alami

dalam pembuatan insektisida nabati.

2. Ekstrak cabai rawit

Ekstrak cabai rawit adalah buah cabai rawit yang telah diekstraksi dengan

penambahan pelarut dan diencerkan dengan etanol 96% untuk mendapatkan

konsentrasi 0% (kontrol), 0,1%, 0,2%, dan 0,3% kemudian digunakan sebagai

insektisida nabati terhadap kematian larva nyamuk Aedes spp.pada ovitrap.

3. Larva

Larva adalah larva Aedes spp. yang telah berumur sekitar 4 – 6 hari setelah

menetas.

4. Suhu ruangan

Suhu ruangan adalah keadaan suhu udara disekitar ruangan dimana penelitian

dilakukan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan thermometer yang

dinyatakan dalam derajat Celcius.

5. Kelembaban

Kelembaban adalah kadar uap air disekitar ruangan yang diukur dengan


(54)

39 6. Keasaman Air

Keasaman Air adalah derajat keasaman air yang mempengaruhi kehidupan

larva yang diukur dengan menggunakan Kertas Lakmus Universalindikator

pH 0 – 14.

3.9. Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan di analisis secara statistik dengan

menggunakan uji statistik ANOVA (Analysis of Variance).Prosedur yang digunakan

dalam analisis Anova ini adalah prosedur One Way Anova atau sering disebut dengan

perancangan sebuah faktor, yang merupakan salah satu alat analisis statistik Anova

yang bersifat satu arah (satu jalur). Alat uji ini untuk menguji apakah dua populasi

atau lebih yang independent, memiliki rata-rata yang dianggap sama atau tidak sama.

Teknik Anova akan menguji variabilitas dari observasi masing-masing kelompok dan

variabilitas antar mean kelompok. Melalui kedua variabilitas tersebut, akan dapat

ditarik kesimpulan mengenai mean populasi. Adapun langkah – langkah dalam

prosedur One-Way Anova adalah sebagai berikut:

3.9.1. Tes Homogenitas Varian (Test Homogeneity of Variance)

Uji ini bertujuan untuk menguji berlaku atau tidaknya asumsi untuk

dilakukannya uji Anova yaitu untuk menguji kesamaan (homogenitas) varians

populasi. Apabila hasil uji menunjukkan varians populasi homogen, maka dapat

langsung dilanjutkan dengan uji Anova. Untuk menguji asumsi dasar ini dapat dilihat


(55)

40 Hipotesis yang akan diuji adalah:

Ho : Keempat varians populasi adalah identik (sama).

Hi : Keempat varians populasi adalah tidak identik (berbeda).

Dasar dari pengambilan keputusan:

- Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima

- Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak

3.9.2. Uji Anova (Uji F)

Uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis nol bahwa semua

kelompok mempunyai mean populasi yang sama adalah Uji F. Anova menggunakan

table F untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata – rata kematian larva nyamuk

Aedes spp. pada berbagai ekstrak cabai rawit. Jika hasil uji Anova menunjukkan adanya perbedaan rata – rata kematian larva yang bermakna dilanjutkan dengan uji

komparasi ganda (uji beda rerata).

Hipotesis yang akan diuji adalah:

Ho : Tidak ada perbedaan rata – rata kematian larva dengan berbagai konsentrasi

ekstrak cabai rawit.

Hi : Ada perbedaan rata – rata kematian larva dengan berbagai konsentrasi

ekstrak cabai rawit.

Dasar pengambilan keputusan:

1. Berdasar perbandingan F hitung dengan F tabel:

Dasar pengambilan keputusan yang sama dengan uji F (Anova):

- Jika Statistik Hitung (angka F output) > Statistik Tabel (tabel F), maka Ho


(56)

41

- Jika Statistik Hitung (angka F output) < Statistik Tabel (tabel F), maka Ho

diterima.

2. Berdasar nilai Probabilitas

- Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima

- Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak

3.9.3. Test Post Hoc (Post Hoc Test)

Dari pengujian Anova (Uji F) setelah diketahui bahwa secara umum seluruh

kelompok memiliki perbedaan yang signifikan maka digunakan Test Post Hoc

dengan menggunakan salah satu prosedur Tukey atau metode Uji Beda Nyata Jujur

(Honestly Significant Difference Method). Uji BNJ merupakan salah satu teknik uji

beda rerata yang digunakan untuk mengetahui perbandingan perbedaan rata – rata

pasangan konsentrasi secara signifikan. Uji BNJ dapat dilakukan jika besar nilai KK (Koefisien Keragaman) yang diperoleh kecil yaitu maksimal 5% pada kondisi

homogen (Hanafiah, 2008).

Koefisien keragaman ini dinyatakan sebagai persen rerata dari rerata umum

percobaan sebagai berikut:

y KTG

KK  x 100%

Keterangan: KTG = Kuadrat Tengah Galat


(57)

42 Hipotesis yang digunakan dalam uji ini adalah:

Ho : Perbandingan rata – rata kematian larva antar pasangan konsentrasi ekstrak

cabai rawit tidak berbeda nyata.

Hi : Perbandingan rata – rata kematian larva antar pasangan konsentrasi ekstrak

cabai rawit berbeda nyata.

Dasar dari pengambilan keputusan:

- Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima

- Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak


(58)

43

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1. Pengaruh Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes spp.

Peneltian ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi yang paling efektif dari

ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens L)terhadap kematian larva nyamuk Aedes

spp. Hasil penelitian menggunakan berbagai konsentrasi yang terdiri dari 0% (sebagai

kontrol), 0,1%, 0,2% dan 0,3% dengan 3 kali pengulangan pada setiap perlakuan

(konsentrasi), dilakukan setiap 4 jam serta mencatat waktu pengamatan 20 jam

setelah perlakuan. Pada penelitian ini menggunakan larva nyamuk Aedes spp.

sebanyak 30 ekor dalam masing – masing perlakuan. Hasil penelitian dapat dilihat

sebagai berikut:

4.1.1. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 0% (Kontrol) Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L)

Pada konsentrasi 0% (kontrol) dengan waktu pengamatan setiap 4 jam selama

20 jam dengan 3 kali pengulangan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. Setiap 4 Jam dengan

Pengamatan selama 20 Jam pada Konsentrasi 0%(Kontrol)

Waktu Pengamatan

(Jam)

Jumlah larva Aedes spp. yang mati pada

kontrol (ekor) Rata - rata

Ulangan

Total Jumlah

Kematian

% Kematian I II III

4 0 0 0 0 0 0

8 0 0 0 0 0 0

12 0 0 0 0 0 0

16 0 0 0 0 0 0

20 0 0 0 0 0 0

24 0 0 0 0 0 0


(59)

44

Dari tabel 4.1. pada konsentrasi 0% (kontrol) menunjukkan bahwa tidak

terdapat kematian larva nyamuk Aedes spp. pada setiap ulangan perlakuan selama 20

jam waktu pengamatan.

4.1.2. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 0,1% Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L)

Hasil pengamatan kematian larva nyamuk Aedes spp. setelah diberi larutan

ekstrak cabai rawit pada konsentrasi 0,1 % setiap 4 jam selama 20 jam dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 4.2. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. Setiap 4 Jam dan Pengamatan selama 20 Jam pada Konsentrasi 0,1%

Waktu Pengamatan

(Jam)

Jumlah larva Aedes spp. yang mati pada

konsentrasi 0,1% ekstrak cabai rawit (ekor)

Rata – rata Ulangan

Total Jumlah

Kematian

% Kematian I II III

4 2 3 3 8 2,67 8,89

8 3 4 3 10 3,33 11,11

12 4 3 4 11 3,67 12,22

16 4 4 5 13 4,33 14,44

20 5 5 5 15 5,00 16,66

Total 18 19 20 57 19,00 63,33

Dari tabel 4.2. pada konsentrasi 0,1% menunjukkan bahwa kematian larva

nyamuk Aedes spp. dengan waktu pengamatan setiap 4 jam selama 20 jam setelah

perlakuan yaitu pada jam ke 4 sudah menunjukkan kematian larva sebanyak 8 ekor

(8,89%) dan kematian larva tertinggi pada jam ke 20 sebanyak 15 ekor (16,66%).

Jadi, jumlah kematian larva Aedes spp. pada konsentrasi 0,1 % ekstrak cabai rawit


(60)

45

4.1.3. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 0,2% Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L)

Hasil pengamatan kematian larva nyamuk Aedes spp. setelah diberi larutan

ekstrak cabai rawit pada konsentrasi 0,2% setiap 4 jam selama 20 jam dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 4.3. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. Setiap 4 Jam dan Pengamatan selama 20 Jam pada Konsentrasi 0,2%

Waktu Pengamatan

(Jam)

Jumlah larva Aedes spp. yang mati pada

konsentrasi 0,2% ekstrak cabai rawit (ekor)

Rata – rata Ulangan

Total Jumlah

Kematian

% Kematian I II III

4 3 3 4 10 3,33 11,11

8 4 5 4 13 4,33 14,44

12 5 4 4 13 4,33 14,44

16 6 6 6 18 6,00 20,00

20 7 7 8 22 7,33 24,44

Total 25 25 26 76 25,33 84,44

Dari tabel 4.3. pada konsentrasi 0,2% menunjukkan bahwa kematian larva

nyamuk Aedes spp. dengan waktu pengamatan setiap 4 jam selama 20 jam setelah

perlakuan yaitu pada jam ke 4 sudah menunjukkan kematian larva sebanyak 10 ekor

(11,11%) dan kematian larva tertinggi pada jam ke 20 sebanyak 22 ekor (24,44%).

Jadi, jumlah kematian larva Aedes spp. pada konsentrasi 0,2 % ekstrak cabai rawit


(61)

46

4.1.4. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 0,3% Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L)

Hasil pengamatan kematian larva nyamuk Aedes spp. setelah diberi larutan

ekstrak cabai rawit pada konsentrasi 0,3% setiap 4 jam selama 20 jam dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 4.4. Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. Setiap 4 Jam dan Pengamatan selama 20 Jam pada Konsentrasi 0,3%

Waktu Pengamatan

(Jam)

Jumlah larva Aedes spp. yang mati pada

konsentrasi 0,3% ekstrak cabai rawit (ekor)

Rata-rata Ulangan

Total Jumlah

Kematian

% Kematian

I II III

4 4 5 4 13 4,33 14,44

8 5 4 5 14 4,67 15,56

12 5 6 6 17 5,67 18,89

16 7 7 8 22 7,33 24,44

20 9 8 7 24 8,00 26,67

Total 30 30 30 90 30 100

Keterangan :

Tanda ( - ) = semua nyamuk Aedes spp. mengalami kematian

Dari tabel 4.4. pada konsentrasi 0,3% menunjukkan bahwa kematian larva

nyamuk Aedes spp. dengan waktu pengamatan setiap 4 jam selama 20 jam setelah

perlakuan yaitu pada jam ke 4 sudah menunjukkan kematian larva sebanyak 13 ekor

(14,44%) dan kematian larva tertinggi pada jam ke 20 sebanyak 24 ekor (26,67%).

Jadi, jumlah kematian larva Aedes spp. pada konsentrasi 0,3% ekstrak cabai rawit


(1)

76 Lampiran 10

SIKLUS HIDUP NYAMUK


(2)

77

Dokumentasi Penelitian

Efektifitas Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) Terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Ovitrap

Gambar Lampiran 1. Ovitrap dengan diameter 15 cm dan tinggi 12 cm.


(3)

78

Gambar Lampiran 3. Cabai Rawit Jemprit Segar


(4)

79

Gambar Lampiran 5. Proses Perkolasi


(5)

80

Gambar Lampiran 7. Ekstrak Cabai Rawit

Gambar Lampiran 8. Larutan Ekstak Cabai Rawit


(6)

81

Gambar Lampiran 9. Pemberian Larutan Ekstrak Cabai Rawit pada Larva Nyamuk Aedes spp. di Ovitrap