Study on the resistance of hot pepper (Capsicum annuum L) to anthracnose disease

KAJIAN TINGKAT KETAHANAN
CABAI MERAH (Capsicum annuum L)
TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA

Oleh :

BAMBANG SURYOTOMO

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

" Barang siapa yang 6ertaqwa @ p d a g f i h , niscaya

~a k n

mengda&n 6aginyajahn &liar (dbri ksulitan) dun gllirh a b n
mem6erinya rezee hri arah yang tiada 6iang&-sangknya. Barang
siapa yang menyerahkn diri kpada gllirh, niscaya gllirh a b n
mencu&-upkn
(&perCuan)nya "

(QS. Ath ThaIbaq: 2 - 3)

m

a ini &persem6ah&n untuk
Mamati, Mita dungmy.

Kajian Tingkat Ketahanan Cabai Merah (Capsicum anmum L) terhadap
Penyakit Antraknosa.
[ Study on the resistance of hot pepper (Capsicumannuum L)
to anthracnose disease ]

by
Bambang Suryotomo
Abstract

The research was conducted in the greenhouse of The Department of
Agronomy and Laboraty of The Department of Plant Pest and Disease, Faculty of
Agriculture, Bogor Agricultural University from April 2000 to March 2001. The
objective of this research was to evaluate the best method and time of inoculation,

and the resistance of four hot pepper genotypes to anthracnose on pre and post
harvested fruits. Resistance evaluation on pre-harvested fruits was done in the
greenhouse with "spray" inoculation method of

lo6 sporedml Colletotrzchum

gloeosporzoides suspension at flowering stage and fruit-set stage. Resistance study
on post-harvested fruits was done in the laboratory with "paste" method of
inoculation on mature green and mature red stage fruits. Both experiments were
set in a factorial and completely randomized design with four replications and five
plants per experimental unit. The genotypes evaluated were UPM, Titsuper,
Yogya, and Jatilaba. Observations were done on disease severity, disease incidence
and percentage of fruit damage.
The results showed that resistance level of all genotypes tested were lower
when inoculated at fruit set stage compared to at flowering stage. The best method
of evaluation for resistance to anthracnose on hot pepper was the greenhouse test
inoculation at hit-set stage with variable of disease incidence was considered as
the best method of evaluation on the resistance to C. gloeosporioides. All
genotypes tested were considered very susceptible to C. gloeosporioides. There
was no significant different between inoculation on green and red mature fruits in

the laboratory.

Surat Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul :
"

Kajian Tingkat Ketahanan Cabai Merah (Capsicum annuum L.)
Terhadap Penyakit Antrakuosa "

adalah benar hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua
sumber data clan informasi telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperksi
kebenarannya

Bogor, April 2002

Bambang Suryotomo
NRP. 98050

KAJIAN TINGKAT KETAHANAN
CABAI MERAH (Capsicum annuum L)

TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA

Oleh :

BAMBANG SURYOTOMO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada Program Studi Agronomi

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis

: KAJIAN TINGKAT KETAHANAN CABAI MERAH
(Capsicum annuum L.) TERHADAP PENYAKIT


ANTRAKNOSA
Nama Mahasiswa

: Bambang Suryotomo

Nomor Pokok

: 98050

Program Studi

: Agronomi

1. Komisi Pembimbing

-

Prof. Dr. Ir. Sarsidi Sastrosumario
Ketua


2. Dr. Ir. Sriani Suii~rihati.MS.

2. Ketua Program Studi Agronomi

a-

Dr. Ir. Sudirman Yahva, MSc.

Tanggal Lulus :

3 April

2002

3. Dr. Ir. Meitv S. ginaea, MSc.

RJWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pati, Jawa tengah pada tanggal 9 Februari 1959,
sebagai putera kedua dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Soejoto (Alm)

dengan Ibu Oemi Laeli.
Pada tahun 1971 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar
Kebondalem V di Pemalang. Lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri I di
Pemalang pada tahun 1974, dan pada tahun 1977 lulus Sekolah Menengah Atas
Negeri di kota yang sama. Pada tahun 1985 penulis menyelesaikan pendidikan di
program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, di
Punvokerto - Jawa Tengah.
Pada tahun 1988 penulis menikah dengan Dra. Hayati Soeprapto, hingga
saat ini dikaruniai dua orang puteri yang diberi nama Masita Wulandari
Suryoputri dan Zahra Tamami Suryahardini.
Sejak tanggal 1 April 1990, penulis diterima sebagai staf pengajar
Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah dan dipekerjakan pada Akademi Pertanian
Muhammadiyah (APM) di Pemalang hingga sekarang. Mulai tahun akademik
199811999 penulis mendapatkan beasiswa BPPS dari Dirjen DIKTI, Departemen
Pendidikan Nasional untuk melanjutkan studi pada progran Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, pada Sub program Studi Pemuliaan Tanaman.

Bogor, Maret 2002
Penulis


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan penelitian ini.
Tesis ini disusus berdasarkan penelitian yang dilakukan di Instalasi Rumah
Kaca Jurusan Budidaya Pertanian, Kebun Percobaan Jurusan Budidaya Pertanian
di Tajur serta Laboratorium Mikologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian Institiut Pertanian Bogor.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari metode yang
terbaik dan waktu inokulasi yang tepat dalam penentuan tingkat ketahanan cabai
merah (Capsicum annuum L) terhadap antraknosa, pada saat buah-buah masih di
pohon (di rumah kaca) dan telah dipetik (di laboratorium).
Penelitian ini dapat terlaksana berkat bantuan dari berbagai fihak, terutama
Pusat Studi Pemuliaan Tanaman (PSPT) melalui proyek RUT VIII.l tahun
anggaran 2000/2001.

Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah

penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1 . Bapak Prof Dr. Ir. Sarsidi Sastrosumarjo, Ibu Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS,

dan Ibu Dr. Ir. Meity S. Sinaga, M.Sc., atas bimbingan, dorongan serta
arahannya sejak merencanakan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini.
2. Kepala Laboratorium Mikologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan

Institut Pertanian Bogor beserta staf, atas segala fasilitas serta pelayanannya
sehingga telah mendukung keberhasilan penelitian.
3. Kepala Pusat Studi Pemuliaan Tanaman (PSPT) Fakultas Pertanian Institut

Pertanian Bogor berserta jajarannya, atas segala bantuan fasilitas yang
memungkinkan dilaksanakannya penelitian ini.

4. Rekan-rekan sesama staf pengajar dari APM Pemalang, Universitas Bengkulu,

Halo-oleo, Brawijaya dan Universitas Darusalam dan Sriwijaya, atas segala
saran, masukan dan bantuan selama penelitian.
5. Pengelola Kebun percobaan Jurusan Budidaya Pertanian

IPB, di Tajur


berserta staf atas dukungan dan bantuannya sehingga penelitan berjalan lancar.
6. Pimpinan Jurusan Tanah dan Agrometeorologi Fakultas Pertanian IPB, atas

fasilitas yang diberikan selama penelitian berlangsung.
7. Ibu Hj. Oerni Laeli, Bapak Drs. H. Kartono sekeluarga dan Bapak H.

Soeprapto sekeluarga atas segala bantuan, dukungan moral maupun do'a
restunya yang selalu menyertai penulis selama menyelesaikan studi.
8. Istri dan Anak tercinta atas pengorbanan, dorongan moril maupun meteriil

serta dengan penuh kesabaran dan pengertian telah mendampingi penulis
menyelesaikan studi.
9. Bapak Catur dan Ibu Tika yang telah banyak sekali membantu terwujutnya

tesis ini.
10. Semua fihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu

baik dalam pelaksanaan penelitian maupun penyelesaian tesis, mudahmudahan kesemuanya menjadikan rangkaian tambahan amal yang berlipat
ganda.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna,
namun demikian mudah-mudahan masih ada manfmtnya baik bagi pembaca
maupun peneliti lainnya, serta d e q p iringan do'a semoga seluruh studi ini dapat
bernilai ibadah dihadapan Allah SWT.

Bogor, Maret 2002
Penulis

DAFTAR IS1

Hal

DAFTAR IS1

................................................................................

DAFTAR TABEL ............................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................
DAFTAR GAMBAR ........................................................................
PENDAIWLUAN ................................................................................
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

.............................................................................

........................................................................

Manfaat Penelitian ...........................................................................
Hipotesis .........................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
Sejarah Perkembangan ....................................................................
Botani dan Ekologi Tanaman Cabai ...............................................
Syarat Tumbuh ............................................................................
Budidaya ....................................................................................
Penyakit Antraknosa .....................................................................
Gejala. Siklus dan Ekologi Patogen Antraknosa ..........................
Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Antraknosa ..........................
Pengendalian Penyakit Antraknosa ...............................................
BAHAN DAN METODE ....................................................................
Waktu dan Tempat ........................................................................

xii

Bahan dan Alat

...........................................................................

Metode Penelitian ..........................................................................
Pelaksanaan Percobaan ..................................................................
Andisis Data ..............................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
1 . Keadaan Umum Percobaan ........................................................
2. Hasil uji ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada buah

rnasih di pohon (di Rumah Kaca) ............................
3 . Hasil uji ketahanan terhadap antraknosa pada buah

pada buah setelah dipetik .............................................
4 . Evaluasi metode penentuan tingkat ketahanan terhadap antraknosa

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
1. Kesimpulan ...............................................................................

2. S a r a n ...................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................

DAFTAR TABEL
Tabei
1

2

Teks

Halaman

Nilai rataan keparahan penyakit, kejadian penyakit, tingkat
kerusakan dan laju infeksi serta kategori ketahanan dari
empat Genotipa Cabai hasil uji di Rumah kaca ...................

27

Pengaruh inokulasi pada saat berbunga terhadap persentase
gugur bunga .....................................................................

30

Nilai rataan keparahan penyakit, kejadian penyakit, tingkat
kerusakan dan laju infeksi serta kategori ketahanan dari
empat genotipe hasil uji di laboratorium ...............................

33

Hasil uji Koefisien korelasi (r) antara parameter ketahanan
dalam uji di Laboratorium dengan di Rumah kaca ................

35

DAFTAR LAMPIRAN

Lam~iran
1

2

3

Teks

Halaman

ANOVA data percobaan Sebelum Panen (di Rumah
Kaca) ...................................................................

44

ANOVA data percobaan Sesudah Panen (di
Laboratorium) .......................................................

45

Hasil pengamatan suhu dan kelembaban di Rumah kaca
selama pelaksanaan penelitian ...................................

46

xii

DAFTAR GAMBAR

Tabel

Teks
-

Siklus penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
Colletotiichum sp. (Agrios, 1997) .......................
Kondisi pertanaman setelah inokulasi pada pengujian di rumah
kaca. Pertumbuhan vegetatif tanaman tidak terganggu oleh
penyemprotan inokulum C. gloeosporioides.........................
Inkubasi buah cabai setelah diinokulasi di laboratorium.
Alas tisu basah di dalam bak serta tutup plastik wrap
untuk menjaga kelembaban ..............................................
Gejala yang muncul pada buah akibat inokulasi saat
berbunga (A) dan inokulasi saat berbuah (B) ...................
Respon ketahanan empat genotipa terhadap waktu inokulasi
buah hijau dan buah merah di laboratorium. Masing-masing
genotipa tersebut menunjukkan respon yang sama terhadap
inokulasi ketika buah hijau maupun merah .........................
Penampakan gejala antraknosa pada Genotipa UPM (A),
Titsuper (B), Yogya dan Jatilaba @) pada pengujian di
laboratorium .....................................................................

Halaman

PENDAHULUAN

Cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah komoditas sayuran yang sangat
penting di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan areal pertanaman cabai merah
yang terluas diantara tanaman sayuran yang diusahakan di Indonesia (Dirjen Bina
Produksi Hortikultura, 2001). Pada tahun 1997 luas pertanaman cabai sekitar
161.602 ha (BPS, 1997), dan pada tahun 2000 mencapai 174.708 ha atau sekitar
20,39% dari total areal pertanaman sayuran @*en Bina Produksi Hortikultura,
2001). Bertambahnya luas areal ini disebabkan oleh permintaan cabai merah
untuk konsumsi segar, bumbu, kosmetik, dan obat-obatan yang meningkat dan
nilai ekonomis yang tinggi dalam perdagangan komoditas tanaman hortikultura.
Meningkatnya jumlah penduduk, dan berkembangnya industri makanan
olahan serta obat-obatan dengan bahan baku pendamping cabai merah,
menyebabkan perrnintaan komoditas ini setiap tahun akan terus meningkat.
Dengan tingkat konsumsi cabai merah yang telah mencapai 3,16 kg perkapita per
tahun pada tahun 1993 (BPS, 1993), dan perkiraan jumlah penduduk 210 juta,
maka total kebutuhan cabai diperkirakan mencapai 663.600 ton/tahun (BPS,
1996).
Produksi cabai merah di dalam negeri termasuk masih rendah, yaitu ratarata sekitar 4,17 tonha @irjen Bina Produksi Hortikultura, 2001). Kurangnya
produksi cabai dalam negeri menyebabkan pemerintah hams melakukan impor
cabai merah dari negara tetangga. Pada tahun 1997 impor cabai merah mencapai
3.382 ton (senilai US $ 2,8 juta) karena produksi nasional belum mencukupi
(BPS, 1997).

Tingkat produksi cabai merah di Indonesia jauh lebih rendah bila
dibandingkan dengan negara lain, seperti Cina yang rata-rata telah mencapai 14,5

tonha serta Spanyol 31,l tonlha (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh jenis yang ditanam umumnya varietas lokal, jarang
yang menggunakan varietas hibrida. Menurut Permadi dan Kusandriani (1999),
daya hasil varietas hibrida bila dibudidayakan dapat mencapai 20-30 tonha,
sedangkan varietas lokal hanya sekitar 12 tonha.
Sebagaimana diketahui, pertanaman cabai merah di Indonesia hampir selalu
terserang berbagai macam penyakit.

Dari sekian banyak macam penyakit,

antraknosa adalah penyakit yang paling penting dan merugikan (Suhardi, 1987).
Antraknosa adalah penyakit yang disebabkan oleh cendawan Gloeosporium

piperaturn (Semangun, 1989), Collefotrichurn gloeosporioides dan C. capsici
(Mordue, 1967). Hasil penelitian di beberapa sentra produksi cabai dilaporkan
bahwa antraknosa yang disebabkan oleh patogen C. gloeosporioides mempunyai
tingkat kejadian penyakit @I) yang lebih tinggi dibanding dengan C. capsici
(Hartman dan Wang, 1992; Sanjaya, 1998). Hal ini kemungkinan disebabkan C.

gloeosporioides mempunyai inang yang lebih beragam.
Penyakit ini terutama menyerang buah baik pada waktu di lapangan
maupun sebagai penyakit pascapanen. Gejala yang terlihat adalah adanya lesio
pada permukaan buah yang disertai dengan bercak melingkar konsentrik

(AVRDC, 1988) dan menyebabkan buah tidak dapat dipasarkan. Di Indonesia,
penyakit antraknosa sudah sangat meluas, baik pada pertanaman cabai di dataran
rendah maupun dataran tinggi, dan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Di
daerah Brebes (Jawa Tengah) sekalipun dengan pengendalian yang intensif,
dilaporkan masih menyebabkan kerugian hingga 45% (Sanjaya, 1997). Di
Sumatra Barat, kerugian yang ditimbulkan mencapai 35% (Vos, 1994). Sedangkan di Segunung (dataran tinggi) dan Rlampok (dataran rendah), masing-masing
menyebabkan kehilangan hasil 20,3% dan 42,1%. Penyakit antraknosa juga

pernah menyerang pertanaman cabai di daerah Demak,

dan dilaporkan

intensitasnya mencapai 5 - 65% (Suhardi, 1989). Penanaman cabai yang terus
menerus dalam areal yang sama merupakan faktor yang memudahkan tersebarnya
patogen tersebut. Tanpa pengendalian yang efektif, penyakit antraknosa akan
berkembang sangat capat.
Penyakit antraknosa sulit dikendalikan karena infeksi patogennya bersifat
laten dan sistemik serta menyerang semua fase pertumbuhan tanaman (Meity
Sinaga et al., 1992). Upaya pengendalian penyakit antraknosa yang biasa
dilakukan ialah dengan hngisida. Akan tetapi cara ini seringkali kurang efisien
dan bersifat sementara (Wijaya, 1991). Selain itu, pengendalian secara kimiawi
diketahui dapat menyebabkan pencemaran produk dan lingkungan, biaya relatif
mahal, berbahaya bagi petani, dan menyebabkan tekanan seleksi yang dapat
menimbulkan ras-ras patogen baru yang resisten (Suhardi, 1991; Suryaningsih dan
Suhardi, 1993; Vos, 1994). Oleh karena itu, metode yang paling dianjurkan
adalah menggunakan varietas yang resisten terhadap antraknosa. Penggunaan
tanaman resisten akan lebih ekonomis, mudah aplikasinya, murah, dan ramah
lingkungan dibandingkan dengan pengendalian secara kimiawi (Fraser, 1985).
Perakitan varietas cabai yang resisten memerlukan seleksi plasma nutfah
yang intensif untuk mendapatkan genotipa donor gen ketahanan. Pengujian
resistensi terhadap antraknosa pada beberapa spesies cabai telah dilakukan di
beberapa negara (Hartman dan Wang, 1992). Namun demikian hingga saat ini
belum diketahui varietas cabai yang tahan terhadap antraknosa. Hal ini antara lain
disebabkan oleh hasil pengujian resistensi seringkali tidak konsisten, sekalipun
pada materi genotipa yang sama (Sanjaya, 1997). Tidak konsistennya hasil
pengujian tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor
genetik bahan yang diuji yang belum stabil, gen ketahanan bersifat poligenik

parsial, ras patogen yang beragam, interaksi antara inang dan patogen berbedabeda, atau metode dan lingkungan pengujian yang tidak sama (Sanjaya, 1998).
Tidak konsistennya hasil pengujian ketahanan suatu varietas tanaman cabai
terhadap antraknosa merupakan masalah bagi pemulia tanaman dalam rangka
memilih tetua donor. Hal ini terjadi mungkin disebabkan oleh metode seleksi
yang diterapkan, yaitu umumnya dilakukan terhadap buah yang telah dipetik dari
pohonnya. Metode ini sangat artifisial dan mengabaikan faktor interaksi inangpatogen dan lingkungan, sehingga tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Padahal
proses terjadinya penyakit sangat ditentukan oleh interaksi inang-patogen dan
lingkungannya.
Tanaman yang tahan terhadap penyakit adalah tanaman yang mampu menghambat perkembangan patogen sehingga patogen tersebut tidak dapat berkembang
dan menyebar. Sebaliknya, tanaman rentan adalah tanaman yang tidak mampu
menghambat perkembangan patogen penyebab penyakit (Black ef al., 1991).
Respon tanaman terhadap patogen dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan. Oleh karena itu bervariasinya tingkat ketahanan antar varietas
bergantung kepada respon interaksi inang-patogen maupun lingkungannya.
Pengujian ketahanan tanaman terhadap antraknosa umumnya dilakukan
dengan inokulasi buatan. Buah yang telah dipetik selanjutnya diinokulasi dengan
cara menempelkan inokulum pada permukaan buah yang telah terlebih dahulu
dilukai (Sanjaya, 1998; Park, et al., 1990; Setiamihardja dan Qosim, 1991).
Metode tersebut sebenarnya mengabaikan mekanisme yang kemunglunan
berperan dalam ketahanan terhadap antraknosa. Inokulasi yang dilakukan secara
buatan dengan terlebih dahulu melukai buah adalah telah mengabaikan aspek
ketahanan struktural seperti lapisan lilin, serta keras dan tebalnya lapisan
epidermis. Selain itu, inokulasi yang dilakukan terhadap buah yang telah dipetik

secara tidak langsung juga telah mengabaikan aspek ketahanan hngsional, karena
proses pembentukan protein dan metabolit lain yang kemungkinan berperan dalam
ketahanan terhadap antraknosa menjadi berkurang atau terhenti pada buah yang
telah dipetik. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu studi untuk menetapkan
metode pengujian ketahanan yang tidak mengabaikan aspek ketahanan struktural
maupun hngsional.

Salah satu metode pengujian adalah dengan melakukan

inokulasi terhadap tanaman atau buah yang masih di pohon. Metode ini lebih
mendekati kondisi alami di lapangan.

Akan tetapi belum banyak laporan

mengenai metode tersebut dalam seleksi terhadap antraknosa.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. mengevaluasi tingkat ketahanan empat genotipa cabai terhadap antraknosa

berdasarkan pengujian di rumah kaca (sebelum panen) dan di laboratorium
(sesudah panen).
2. mengetahui waktu inokulasi yang tepat untuk keperluan evaluasi tingkat

ketahanan terhadap antraknosa di rumah kaca,
3. mengevaluasi tingkat ketahanan terhadap antraknosa pada buah cabai masak
fisiologis (hijau) dan buah masak penuh (merah) di laboratorium.
4. Mendapatkan metode terbaik dalam pengujian ketahanan cabai terhadap

penyakit antraknosa.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat merupakan informasi yang berharga, terutama
mengenai metode yang tepat dan praktis dalam penentuan tingkat ketahanan
tanaman terhadap antraknosa sehingga diperoleh metode seleksi yang akurat.

SeIain itu dapat pula memberikan informasi tentang tingkat ketahanan empat
genotipa cabai terhadap antraknosa di rumah kaca maupun di laboratorium.
Kerangka Pemikiran dan Peogajuan Hipotesis

Pengujian ketahanan tanaman terhadap antraknosa umumnya dilakukan di
laboratorium terhadap buah-buah yang telah dipetik (Park, et al., 1990;
Setiamihardja dan Qosim, 1991; Sanjaya, 1998).

Metode ini nampaknya

mengabaikan kemungkman terjadinya mekanisme pertahanan fbngsional yang
terdapat dalam tubuh tanaman. Karena dengan buah telah dipetik, maka semua
proses pembentukan protein dan metabolit lain yang dapat berperan dalam
pertahanan tersebut menjadi terhenti. Oleh karena itu untuk mengetahui tingkat
ketahanan terhadap antraknosa, pengujian tidak hanya dilakukan di laboratorium,
tetapi inolculasi perlu juga dilakukan terhadap buah-buah yang rnasih terdapat di
pohon (di lapang).
Namun demikian peristiwa terjadinya infeksi tentunya tidak akan
menunggu tamman membentuk buah. Sehingga kernungkinan infeksi dapat
terjadi kapan saja. Seperti diketahui, proses infeksi penyakit antraknosa diawali
dengan masuknya spora melalui ruang antar sel epidermis, atau malalui luka pada
buah. Bagian luar dari spora tersebut mengandung perekat yang dapat dengm
mudah menempel sasaran infeksi lewat percikan air siraman atau air hujan.
Setelah spora m m p u berkembang, maka gejala yang timbul dicirikan oleh
adanya bercak &at

kehitarnan pada permulcaan buah, pada serangan lanjut buah

akan mengering dan keriput seperti jerami. (Semangun, 1994; Suryaningsih,et al.,.
1996). Infeksi patogennya bersifat laten dan sistemik serta menyerang pada semua

fase pertumbuhan (Meity Sinaga et al., 1992).
Sejauh ini belum diternukan informasi fase pertumbuhan tanaman cabai
yang kritis terhadap infeksi antraknosa. Walaupun terdapat kecenderungan bahwa

buah merah lebih rentan dibanding buah hijau. Hal ini diduga karena pada buah
merah senyawa antimikrobial (phytoalexin, Capsidiol) sudah mengalami
degradasi menjadi Capsenon yang toksisitasnya lebih rendah, sehingga tidak
mampu menghambat perkembangan spora maupun perturnbuhan miselia
cendawan (Adikaram, Brown dan Swinburne, 1982). Sementara itu dari hasil
penelitian menunjukan bahwa genotipa UPM tergolong relatif tahan (Hidayat,
2000)'. Sedsagkan Titsuper, Jogya dan Jatilaba t e m s u k dalam kategori rentan

(Setiamihardja dan Qosim, 1991). Berdasarkan uraian di atas, maka dalarn
penelitian ini dikemukaan hipotesis sebagai berikut:
1. Genotipa UPM Iebih tahsn dibanding dengan genotipa Titsuper, Jogya,

maupun Jatilaba.
2. Waktu inokulasi yang berbeda di rumah kaca, akan memberikan respon

ketahanan terhadap antraknosa sama.
3. Bush rnasak penuh (merah) lebih rentan terhadap penyakit antraknosa

dibanding buah masak fisiologis (hijau).

TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah dan penyebaran

Rubatzky dan Yamaguchi (1997) mengemukakan bahwa tanaman cabai
besar (Capsicum annum L.) berasal dari dunia baru (Mexico, Amerika Tengah,
dan pegunungan Andes di Amerika Selatan).

Thompson dan Kelly (1957)

menyatakan bahwa tanaman cabai telah diketahui sebelum zaman prasejarah di
Peru dan telah dibudidayakan di Amerika Tengah dan Amerika Selatan sebelum
diperkenalkan di Eropa.

Pada tahun 1493 Columbus membawa dan

memperkenalkan benih cabai ke Spanyol yang selanjutnya menyebar dengan
cepat di Benua Eropa. Tanaman cabai dibawa ke Asia dan menyebar ke Asia
Tenggara termasuk Indonesia oleh bangsa Portugis dan Spanyol dari Amerika
Selatan pada abad ke-16 (Suwandi, 1996).
Botani dan Ekologi Tanaman Cabai

Tanaman cabai besar dikenal dengan nama botani Capsicum annuum L.,
digolongkan ke dalam genus Capsicum, famili Solanaceae, sub klas Dycotyledone
dan klas Angiospermae (Van Steenis, 1988). Beberapa spesies Capsicum antara
lain C. anmum L., C. frutescens L., C. chinense Jacquin, C. pendulum
Willdenow dan C. pubescens Ruiz dan Pavon. Spesies Capsicum pendulum
Willd. mempunyai hubungan tertutup dengan C. microcarpum Cavanilles yang
kemudian diklasifikasikan secara botani merupakan varietas dari C. baccatum
dan dideskripsikan oleh Linneaus (Greenleaf, 1986).
Jumlah bunga pada setiap nodus merupakan salah satu sifat morfologi yang
membedakan spesies Capsicum, dimana pada spesies C. annuum biasanya hanya
terdapat satu bunga per nodus, dan C. frutescens mempunyai dua sampai tiga

bunga per nodus, sedang pada spesies C. chinense terdapat tiga sampai lima
bunga per nodus (Subramanya, 1983).
Menurut Permadi dan Kusandriani (1996) tanaman cabai termasuk
tanaman dikotil berbentuk semak, batangnya berkayu, tipe percabangannya tegak
atau menyebar. Struktur perakarannya diawali dari akar tunggang yang sangat
kuat dan bercabang ke samping dengan akar-akar rambut. Pola pertumbuhan
vegetatif berupa percabangan-percabangan dikotomi dari batang utama dan tunastunas lateralnya. Berumur satu tahun atau menahun dengan tinggi 1-2,5 meter.
Mempunyai bunga menunduk dengan bunga mahkota berbentuk roda. Bunga
tanaman cabai akan muncul dari ketiak daun dengan jumlah bervariasi antara 1 8 bunga per mas tergantung spesiesnya. Bunga terdiri dari lima stamen dan

sebuah pistil. Memiliki mahkota berwarna putih sampai ungu, anther berwarna
biru keunguan dan kelopak daun bergerigi (Permadi dan Kunsandriani, 1994).
Bunga pada tanaman cabai umumnya mengalami penyerbukan sendiri
(Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Hal ini disebabkan pada tanaman cabai
penyerbukan terjadi setelah bunga mekar (Cha;mnogami), yaitu polen pecah
beberapa saat setelah bunga mekar. Tetapi karena bobot polen yang relatif berat
sehingga tidak mudah diterbangkan oleh angin, oleh karena itu polen akan jatuh
pada putik dari bunganya sendiri. Namun menurut Greenleaf (1986) penyerbukan
silang secara alami dapat terjadi terutama dengan bantuan lebah. Persentase
persilangan alami pada cabai berkisar antara 7.6 - 36,8% dengan rata-rata 16,5%
tergantung pada populasi lebah penyerbuk.
Thompson dan Kelly (1957) menerangkan bahwa C. annum L. merupakan
spesies yang mempunyai bentuk buah ramping dengan panjang berkisar antara 130 cm dan memiliki daging buah yang tebal. Buah yang belum masak berwarna
antara hijau sampai kuning, sedangkan buah yang masak berwarna merah, kuning,

coklat atau tetap benvarna hijau. Buah cabai memiliki panjang berkisar antara 0,8
- 30 cm dan diameter lebih dari 8 mm dengan bentuk buah ramping sampai yang

mempunyai diameter lebih dari 10 mm. Buah cabai memiliki bentuk kerucut
kecil, langsing, dengan panjang buah 1-30 cm (Greenleaf, 1986; Nonnecke,
1989).
Cabai merah merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi
karena banyak diperlukan, terutarna untuk konsumsi segar, dan bahan baku
industri makanan olahan, kosmetik maupun obat-obatan. Kualitas buah yang
dipanen sangat menentukan nilai dan tingkat permintaannya. Kualitas buah,
secara biokimiawi ditentukan oleh rasa pedas (kandungan Capsaisin), kandungan
gula, protein, dan vitamin A. Sedangkan secara fisik ditentukan oleh ukuran buah,
jumlah biji, tebal daging buah, dan warna buah (Kalloo, 1988; Pujiati, 1993).
Kualitas buah sangat dipengaruhi oleh kadar air buah dan ada tidaknya penyakit
yang menyerang buah tersebut. Di pasaran, kualitas kesehatan dan kesegaran
buah bahkan secara langsung menentukan tinggi rendahnya harga.
Syarat Tumbuh

Tanaman cabai merah dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan
mempunyai drainase dan aerasi cukup baik. Tingkat kemasaman tanah (pH tanah)
antara 5.5 - 6.8 merupakan kondisi yang baik untuk tanaman cabai merah
(Sumarni, 1996). Menurut Ashari (1995), tanaman cabai dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah, dengan struktur yang remah, kaya bahan organik dan
memiliki drainase baik.
Untuk dapat tumbuh optimal, tanaman cabai merah memerlukan kisaran
suhu udara 18" - 27" C. Suhu udara yang optimum untuk pertumbuhan dan
pembungaannya adalah 21" - 27" C dan untuk pembuahanya antara 16" - 23" C.
Suhu malam kurang dari 16" C dan suhu siang lebih dari 23" C akan menghambat

pembungaan. Suhu optimum untuk pertumbuhan vegetatif adalah 15" - 20" C
(Sumarni, 1996).
Sementara itu Rubatzky dan Yamaguchi (1997), menyatakan bahwa
intensitas curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 600 1.200 mdtahun. Tanaman cabai kurang tahan terhadap curah hujan yang tinggi,
terutama pada saat berbunga, karena bunga akan gugur. Curah hujan yang merata
sepanjang tahun

berpengaruh baik, karena tidak terjadi kekurangan ataupun

kelebihan air selama pertumbuhannya.
Budidaya

Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman cabai yang baik, mutu bibit
sangat menentukan. Bibit yang baik diperoleh dari benih yang sehat, yaitu diambil
dari tanaman berbuah lebat, seragam, serta bebas dari serangan hama dan penyakit
(Sumarni, 1996).
Penanaman cabai dapat dilakukan dengan cara pindah tanaman
(transplanting) ataupun dengan cara sebar langsung tanpa penyemaian. Untuk
mempercepat perkecambahan, biji dapat diiendam dalam air panas (50" C).
Media persemaian yang baik adalah campuran antara pupuk kandang dan tanah
dengan perbandingan 1:1 (Surnarni, 1996; Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Ashari (1995) menyatakan bahwa 2-3 minggu setelah biji disemai, dapat
dilakukan pembumbungan.

Pada 5-7 rninggu setelah semai, bibit dapat

dipindahkan ke lapang. Jarak tanam yang biasa digunakanyaitu 60-80 cm untuk
jarak antar baris, dan 40-50 cm untuk jarak dalam baris. Jarak tanam yang terlalu
rapat mengakibatkan tanaman tumbuh terlalu tinggi, sehingga mudah patah oleh
angin.
Kebutuhan pupuk untuk tanaman di lapang dan rumah kaca akan berbeda,
karena tanaman di lapang selain memperoleh hara dari pemupukan, juga

mendapatkan hara dari dalam tanah, sehingga daerah perakarannya menjadi luas.
Sedangkan tanaman yang ditanam dalam polibag di dalam rumah kaca, hanya
memperoleh hara dari pemupukan, sehingga pupuk yang diberikan lebih banyak
daripada pemupukan untuk tanaman di lapang.

Tanaman cabai di lapang

memerlukan pupuk kurang lebih 170-220 kg Nlha, dan 22 kg P h a serta
potassium

ditambahkan

apabila

ketersediannya

kurang

(Rubatzky

dan

Yamaguchi, 1997). Hasil temuan Santika (1999) menunjukkan bahwa, pada
tanaman cabai di lahan bekas sawah memerlukan 1.660 kg pupuk
buatanlha/musim. Sedang pada lahan bekas tanaman tebu dalam satu musim
dibutuhkan 1.070 Kg N/ha (setara 2,3 ton UreaJha), 90 kg P205/ha (setara 200 kg
TSP/ha) dan 68 kg K20/ha (setara 125 kg KCVha yang diberikan 3-4 kali.
Penyakit Antraknosa
Penyakit antraknosa disebabkan oleh serangan cendawan patogen,
merupakan kendala biologis yang paling besar dalam usahatani cabai merah,
terutama karena menyerang buah yang terbentuk maupun setelah buah dipanen.
Patogen yang menyerang buah merupakan kendala terbesar dalam peningkatan
produksi cabai merah, karena buah dapat gugur sebelum dipanen atau buah
menjadi busuk sebelum dan setelah dipanen, sehingga mengurangi produksi buah
yang dapat dipasarkan. Penyakit antraknosa dapat berlanjut menyerang buah
dalam penyimpanan di tingkat konsumen. Oleh karena itu penyakit ini dianggap
sebagai yang paling merugikan dibandingkan dengan penyakit lain. (Suhardi,
1989).
Penyebab penyakit antraknosa pada cabai adalah Colletotrichum piperaturn
dan C. q s i c i Syd and Bisb. (Chupp dan She< 1960; Black et al., 1991).
Patogen lain yang dapat menyebabkan antraknosa pada cabai merah adalah
cendawan Colletotrichum gloeosporides (Penz) Sacc., C. accutatum Simm dan C.

coccodes (Wailr.) Huges.

Dari kelima patogen tersebut yang paling banyak

menyerang tanaman cabai merah adalah , C. capsici (Syd.) Butler and Bisb. dan

C. gloeosporioides Penz. Sacc. (Hadden dan Black, 1989). Di Indonesia, spesies
C. capsici Sydow dan C. gloeosporioides Penz. Sacc adalah yang paling banyak
dijumpai. Dari hasil penelitian diketahui bahwa Spesies C. capsici lebih banyak
menyerang pertanaman cabai di dataran tinggi dan C. gloeosporides pada dataran
rendah (Suryaningsih et al., 1996).
Serangan penyakit antraknosa sangat berfluktuasi bergantung pada kondisi
lingkungan. Tingkat serangan terberat terjadi pada musim penghujan, atau pada
lingkungan pertanaman dengan kelembaban lebih dari 90%, dengan suhu di atas
30' C (AVRDC, 1988; Baoli; 1991; Wijaya, 1991). Di Indonesia, penyakit

antraknosa sudah sangat meluas, baik pada pertanaman di dataran rendah maupun
dataran tinggi, dan menyebabkan kerugian yang sangat besar karena menyerang
buah pada berbagai fase pertumbuhan, baik yang baru terbentuk maupun yang
telah siap dipanen.

Di daerah Brebes (Jawa Tengah) sekalipun dengan

pengendalian yang sangat intensif dilaporkan masih menyebabkan kerugian
hingga 45% (Sanjaya, 1997), sedangkan di Sumatera Barat mencapai 35% (Vos,
1994).
Gejala, Siklus dan Ekologi Patogen Antraknosa
Penyakit antraknosa menimbulkan gejala busuk buah yang dicirikan oleh
adanya bercak coklat kehitaman pada permukaan buah yang lalu meluas manjadi
busuk lunak, pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang
terdiri dari kelompok setae dan konidium jamur. Pada serangan yang berat dapat
menyebabkan buah mengering dan keriput sehingga buah yang seharusnya
berwarna merah menjadi seperti jerami (Semangun, 1994). Serangan yang terjadi
pada biji akan menyebabkan kegagalan biji untuk berkecambah, pada kecambah

dapat menimbulkan rebah kecambah serta pada tanaman dewasa dapat
menimbulkan mati pucuk dan infeksi lebih lanjut dapat menyebabkan busuk
kering pada batang (Suryaningsih, et al., 1996). Cendawan ini dapat menyebabkan
infeksi ringan pada daun dan batang muda yang mungkin tidak terdeteksi, namun
cendawan mampu bertahan dan berkembang biak sampai tahap tertentu hingga
buah mulai masak dan menjadi rentan terhadap infeksi (Agrios, 1997). Cendawan
tersebut bereproduksi dengan membentuk massa konidia

dalam aservulus

(Gambar 1).

infeksi pada buah

infeksi awal dan invasi ke
jaringan buah

Perkecarnbahankonidia dan
penernbusan ke jaringan buah
konidia

-

Uematian jaringan yang
terserang dan membentuk
bercek bcrlekuk hitam

miselium

1-

Cendawan bettahan sebagai

misttiurn atau konidia pada buah.
benih. sisa tanaman dan batang

Aservulus pada daerah
serangan di buah

Aservulus dengan rnassa

konidia yang berkembang
pada daerah terinfeksi

Gambar 1. Siklus penyakit antraknosa yang disebabkan oleh CoZletotrichum sp.
(Agrios, 1997).

Kondisi yang sesuai untuk perkembang-an penyakit antraknosa adalah
pada kelembaban relatif

95%, yang akan rnem-bantu inisiasi infeksi dan

perkembangan penyakit selanjutnya (Suryaningsih et al., 1996). Suhu optimum
untuk perkembangan C. capsici adalah 28-36'

C (AVRDC, 1989). Hal ini

menyebabkan serangan penyakit di musim hujan lebih tinggi dari pada dimusim
kemarau.

Suhu, kelembaban relatif dan curah hujan yang tinggi pada saat

terjadinya proses pernasakan buah akan memacu infeksi dan sering menyebabkan
epidemi yang merusak (Agrios, 1997).
Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Antraknosa

Tanaman yang tahan terhadap penyakit adalah tanaman yang secara
hngsional mampu menghambat perkembangan patogen sehingga patogen tersebut
tidak dapat berkembang dan menyebar. Sebaliknya, tanaman rentan adalah
tanaman yang tidak mampu menghambat perkembangan patogen penyebab
penyakit. Ketahanan terhadap penyakit ini dapat dikelompokkan ke dalam
ketahanan struktural dan ketahanan hngsional.

Ketahanan struktural adalah

ketahanan terhadap penyakit yang disebabkan oleh karena struktur tanaman itu
sendiri yang menyebabkan patogen tidak menyukai atau tidak dapat melakukan
invasi ke dalam tanaman tersebut. Ketahanan struktural ini juga disebut ketahanan pasif atau ketahanan prainfeksi karena tanaman tidak melakukan reaksi
terhadap patogen. Contoh ketahanan struktural ini antara lain tebal dan kerasnya
lapisan epidermis, adanya lignin pada dinding sel, adanya pubescens (duri-duri
halus) pada permukaan organ vegetatif, atau adanya lapisan lilin pada permukaan
buah. Sedangkan ketahanan hngsional atau ketahanan aktif adalah ketahanan
yang disebabkan oleh adanya reaksi biokimiawi tanaman sehingga perkembangan
patogen dapat terhambat. Ketahanan ini disebut juga ketahanan pascainfeksi.
Ketahanan kngsional dapat berupa antara lain meningkatnya aktivitas enzim

tertenty atau terbentuknya senyawa toksik tertentu seperti fitoaleksin yang dapat
mematikan patogen (Agrios, 1997).

Oleh karena itu tampilan struktural

(morfologi) tanaman maupun aktivitas biokimiawi kemungkinan dapat digunakan
sebagai penanda ada tidaknya gen pengendali ketahanan.
Seperti diketahui, proses infeksi penyakit antraknosa diawali dengan
masuknya spora ke dalam buah melalui celah antar sel epidermis, atau melalui
luka buah. Bagian luar dari spora tersebut mengadung perekat yang dapat dengan
mudah menempel sasaran infeksi lewat percikan air siraman atau air hujan
(Suryaningsih, et al. 1996). Oleh karena itu tarnpaknya masih perlu dikaji lebih
jauh tentang fase pertumbuhan pada tanaman cabai yang kritis terhadap infeksi
antraknosa serta pengaruhnya terhadap ketahanan.
Pengendalian Penyakit Antraknosa
Usaha mengatasi penyakit antraknosa pada cabai merah hingga saat ini
masih didorninasi dengan penggunaan bahan kimiawi. Usaha tersebut mampu
memberikan hasil yang cukup memuaskan, meskipun pengendalian dengan bahan
kimia dinilai kurang efisien dan bersifat sementara (Wijaya, 1991). Selain itu,
pengendalian secara kimiawi diketahui dapat menyebabkan pencemaran, baik
terhadap lingkungan maupun produk yang dihasilkan, disamping harganya relatif
mahal dan membahayakan petani. Pengendalian secara kimiawi juga diketahui
dapat menyebabkan kekebalan pada patogen penyebab penyakit, karena akan
terjadi seleksi pada populasi patogen itu sendiri sehingga akan muncul biotipe
yang lebih kebal (Suhardi, 1991; Suryaningsih dan Suhardi, 1993; Vos, 1994).
Usaha pengendalian yang lebih mudah, murah, dan tidak membahayakan
lingkungan adalah pengendalian secara biologis dengan kultivar yang resisten
(tahan). (Setiamiharja dan Qosim, 1991; Wijaya, 1991; Amalia et al., 1994).
Namun hingga saat ini belum ada kultivar komersial yang dianggap tahan

17

terhadap penyakit antraknosa. Hasil pengujian Setiamihardja dan Qosim (1991) di
Lembang dengan menggunakan 36 kultivar yang beredar di Jawa Barat
menunjukkan bahwa tidak ditemukan hltivar yang benar-benar tahan terhadap
penyakit antraknosa. Akan tetapi hasil pengujian di tempat lain, seperti di
AVRDC ditemukan ada genotipa yang tahan terhadap penyakit ini (AVRDC,
1 988).

Dengan demikian secara alarni sebenarnya ada gen-gen ketahanan

terhadap penyakit antraknosa pada plasma nutfah cabai merah.
Ketahanan tanaman terhadap penyakit antraknosa dikendalikan secara
genetik. Laporan tentang gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa pada
cabai adalah bervariasi. Cheema (1984) dan Ahmad et al. (1991) melaporkan
bahwa ketahanan terhadap antraknosa adalah bersifat aditif dan resesif.
Sedangkan menurut Park et aL (1990), ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan secara kuantitatif oleh gen dominan. Perbedaan kesimpulan tentang gen
pengendali tersebut disebabkan oleh sumber gen ketahanan yang diteliti berbedabeda, dan tersebar di beberapa spesies yang berbeda.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan di rumah kaca Baranangsiang Jurusan Budidaya
Pertanian dengan menggunakan polibag dan jenis tanah Latosol coklat (Tajur) serta
di laboratorium Mikologi Tumbuhan, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Studi ini berlangsung selama 12 (duabelas) bulan,
yaitu mulai bulan April 2000 hingga Maret 2001.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah 4 genotipa cabai yang merupakan koleksi
Pusat Studi Pemuliaan Tanaman (PSPT), IPB. Inokulum yang digunakan adalah
isolat cendawan C. gloeosporiodes yang diperbanyak dari biakan murni berumur 1
rninggu dan diperoleh dari Laboratorium Mikologi Tumbuhan Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB Bogor. Alat-alat yang digunakan
meliputi hemytometer, Sprayer volume 10 liter dan hand-sprayer plastik volume
1 liter, timbangan elektrik OHAUS tipe GT 2100 dengan ketelitian 0,01 g, bak
plastik ukuran (40 x 20) cm sebagai inkubator dan alat ukur lainnya.
Metode Penelitian
1. Uii Ketahanan di Rumah Kaca.

Percobaan di rumah kaca disusun mengikuti rancangan faktorial dengan 2
(dua) faktor (genotipa dan saat inokulasi) dalam rancangan lingkungan Acak
Lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 5 tanaman, sehingga
terdapat 320 tanaman (polibag).

Faktor genotipa cabai yang diteliti meliputi: genotipa UPM, Titsuper,
Yogya, dan Jatilaba. Sedangkan faktor waktu inokulasi antara lain: inokulasi pada
periode 75% tanaman telah berbunga (anthesis) dan saat berbuah.
Adapun model matematik dari rancangan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Yijk = p + a i + pj + (ap)ij + ~ i j k
Keterangan :
1
= 1,2,3,4 (genotipe); j

=

1,2, (inokulasi);

k

= 1,2,3 4

(ulangan).

Yijk

=

nilai pengamatan genotipe ke-i, inokulasi ke-j, ulangan ke-k

p

=

rataan umum

ai

=

pengaruh varietas ke-i

= pengaruh saat inokulasi ke-j
pj
(aP)ij = pengaruh interaksi genotipe ke-i dan saat inokulasi ke-j

~ i j k = galat percobaan
2. Uii Ketahanan di laboratorium

Percobaan disusun dengan menggunakan rancangan faktorial dalam
lingkungan Acak Lengkap yang diulang empat kali. Faktor pertama adalah 4
genotipa yaitu: genotipe UPM, Titsuper, Yogya dan Jatilaba. Sedangkan faktor
yang kedua adalah waktu inokulasi buah meliputi: inokulasi saat buah masak
fisiologis (hijau) dan masak penuh (merah). Buah yang diiiokulasi didapat dari
tanaman kontrol (sehat, yang tidak diinokulasi). Buah masak fisiologis (hijau)
adalah buah yang telah mencapai ukuran maksimum dan masih benvarna hijau.
Buah cabai telah masak penuh ditandai dengan 75% telah berwarna merah. Sebagai
unit percobaan adalah bak plastik, dalam penelitian ini terdapat 32 unit percobaan.
Setiap blak plastik masing-masing diisi 6 buah cabai yang sebelumnya dialasi
plastik sedotan limun. Buah-buah cabai yang sehat yang telah masak fisiologis

(hijau) dan mas& penuh (merah) diambil kemudian dinokulasi dengan inokulum
cendawan C. gloeosporiodes di laboratorium.
Sedangkan model matematik ddam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Yijk = p + a i + pj + (ap)ij + ~ i j k
Keterangan :
1
= 1,2,3,4 (genotipe); j

=

1,2, (inokulasi);

k

=

1,2,3 4 (ulangan)

Yijk

=

nilai pengamatan genotipe ke-i, inokulasi ke-j, ulangan ke-k

p

=

rataan umum

ai

=

pengaruh genotipe ke-i

= pengaruh saat inokulasi ke-j
f3j
(af3)ij= pengaruh interaksi genotipe ke-i dan saat inokulasi ke-j

~ ik j = galat percobaan

Petaksanaan Percobaan
1.Percobaan di Rumah Kaca:

Dalam percobaan ini inokulum yang digunakan berasal dari biakan murni
cendawan C. gloeosporiodes yang telah berumur 1 minggu.

Isolat kultur

ditumbuhkan dalam medium PDA (Potato Dextro Agar) pada petridish. Suspensi
diperoleh dengan menambahkan air aquadest ke medium kultur, kemudian digesek
dengan penggores gelas. Selanjutnya suspensi diencerkan hingga konsentrasi 1o6
spora/ml air. Konsentrasi spora dihitung dengan metode pengenceran.
Penghitungan spora dilakukan dengan menggunakan alat haemocytometer.
Inokulasi dilakukan dengan metode semprot merata ke seluruh permukaan tanaman
pada waktu sesuai dengan perlakuan (periode berbunga dan berbuah).
Variabel tingkat ketahanan yang diamati adalah: persen keparahan penyakit,
persentase kejadian penyakit, tingkat kerusakan dan laju infeksi. Penentuan
keparahan penyakit dilakukan berdasarkan nilai skor persen bagian buah yang

terinfeksi dibanding bagian yang sehat. Pengelompokan skor dilakukan mengikuti
cara yang digunakan Meity Sinaga et. al. (1992), yaitu sebagai berikut:
Skor

Gejala Antraknosa

Skor 0 : tidak ada perkembangan bercak
1 : O