Pengaruh Media Tanam Organik Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Buncis Tegak (Phaseolus Vulgaris L.)

PENGARUH MEDIA TANAM ORGANIK
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI
BUNCIS TEGAK (Phaseolus vulgaris L.)

MEILYA RAMADHIANA SAFITRY
A24070052

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

The Effect of Organic Plant Growth Media to The Growth and Production of
Erected Kidney Bean (Phaseolus vulgaris L.)
Meilya Ramadhiana Safitry1 and Juang Gema Kartika2
Student of Agronomy and Horticulture Department, Faculty of Agriculture, IPB
2
Lecturer of Agronomy and Horticulture Department, Faculty of Agriculture, IPB
1

Abstract


Media choising is one of important factor for the growth and production of
erected kidney bean (Phaseolus vulgaris L.). Utilization the waste media of white
oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) and waste media of paddy straw
mushroom (Volvariella volvaceae), cow manure, and rice husk as plant growth
media for kidney bean can be used for optimizing the utilization of existing local
resources and minimizing environmental damage as well as to support the
codification of GAP (Good Agricultural Practices) of kidney bean. The research
was done from February until October 2011 in experiment field at Leuwikopo,
IPB, Bogor. The experiment arranged in one factor Randomized Complete Design
with thirteen combinations from five kinds of organic media component, there
were soil, waste media of white oyster mushroom, waste media of paddy straw
mushroom, cow manure, and rice husk with 1:1 ratio (v/v). The kidney bean
showed good responses to the combination media treatment, which were cow
manure, combination of soil and waste media of paddy straw mushroom,
combination of soil, waste media of paddy straw mushroom, and cow manure, and
combination of soil, waste media of paddy straw mushroom, cow manure, and
rice husk, but the best result of kidney bean production was given from waste
media of paddy straw mushroom treatment.


Keyword: erected kidney bean (Phaseolus vulgaris L.), plant growth media, waste
media of paddy straw mushroom, and cow manure.

ii

RINGKASAN
MEILYA RAMADHIANA SAFITRY. Pengaruh Media Tanam Organik
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Buncis Tegak (Phaseolus vulgaris L.).
(Dibimbing oleh JUANG GEMA KARTIKA).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kombinasi media
tanam organik terhadap peningkatan pertumbuhan dan produksi buncis tegak dan
untuk mengetahui korelasi sifat fisik dan kimia media tanam terhadap produksi
buncis tegak. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo
pada bulan Februari hingga Oktober 2011.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) faktor tunggal, yaitu kombinasi media tanam dengan 13 taraf perlakuan
yang diulang sebanyak tiga kali. Taraf perlakuan yang digunakan pada penelitian
ini yaitu : tanah (P1), limbah media jamur tiram (P2), limbah media jamur merang
(P3), pupuk kandang sapi (P4), tanah + limbah media jamur tiram (P5), tanah +
limbah media jamur merang (P6), tanah + limbah media jamur tiram + pupuk

kandang sapi (P7), tanah + limbah media jamur tiram + arang sekam (P8), tanah +
limbah media jamur tiram + pupuk kandang sapi + arang sekam (P9), tanah +
limbah media jamur merang + pupuk kandang sapi (P10), tanah + limbah media
jamur merang + arang sekam (P11), tanah + limbah media jamur merang + pupuk
kandang sapi + arang sekam (P12), dan tanah + limbah media jamur tiram +
limbah media jamur merang + pupuk kandang sapi + arang sekam (P13). Setiap
taraf perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 39 satuan percobaan.
Setiap satuan percobaan terdiri dari 10 polibag (disebut petak percobaan). Masingmasing polibag ditanami 2 benih. Total populasi tanaman buncis tegak adalah 780
tanaman. Tanaman contoh yang diamati sebanyak 5 polibag yang dipilih secara
acak setiap satuan percobaan, sehingga total ada 195 polibag tanaman contoh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pertumbuhan buncis
tegak terbaik terdapat pada perlakuan media tanam pupuk kandang sapi (P4),
disusul oleh tanah + limbah media jamur merang (P6), tanah + limbah media
jamur merang + pupuk kandang sapi (P10), dan tanah + limbah media jamur
merang + pupuk kandang sapi + arang sekam (P12). Produksi buncis tegak yang

iii

baik juga terdapat pada keempat perlakuan tersebut, namun produksi terbaik
terdapat pada perlakuan media tanam limbah media jamur merang (P3). Rasio

C/N berkorelasi negatif dengan produksi buncis tegak. Penambahan limbah media
jamur merang sebagai komponen media tanam mampu meningkatkan produksi
buncis tegak hingga 600 % dibandingkan dengan media tanam tanah, namun
belum dapat mencapai potensi produksi buncis nasional.

iv

PENGARUH MEDIA TANAM ORGANIK
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI
BUNCIS TEGAK (Phaseolus vulgaris L.)

Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

MEILYA RAMADHIANA SAFITRY
A24070052

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

v

Judul : PENGARUH MEDIA TANAM ORGANIK
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI
BUNCIS TEGAK (Phaseolus vulgaris L.)
Nama : MEILYA RAMADHIANA SAFITRY
NIM : A24070052

Menyetujui,
Pembimbing

Juang Gema Kartika, SP., MSi.
NIP 19810701 200501 2 005

Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB


Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr
NIP 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus: …………..

vi

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Panigoran, Provinsi Sumatra Utara, pada tanggal 6
Mei 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan Bapak
Untung Suswoyo dan Ibu Widyaningsih.
Pendidikan pertama penulis tempuh di TK Aisiyah Bustanul Athfal selama
satu tahun (1994 – 1995). Selanjutnya penulis menempuh pendidikan sekolah
dasar di SD Negeri 3 Brebes (1995 – 2001). Pendidikan menengah penulis
tempuh di SLTP Negeri 2 Brebes (2001 – 2004), kemudian pada tahun 2004
penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Brebes dan lulus pada tahun
2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor pada program studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis

pernah menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Dasar Hortikultura pada tahun
2011.

vii

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu
wata’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian ini
dapat diselesaikan dengan baik. Salawat serta salam semoga tercurahkan kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam serta keluarganya, para
sahabatnya, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penelitian dengan judul “Pengaruh Media Tanam Organik terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Buncis Tegak (Phaseolus vulgaris L.)” yang telah
dilaksanakan ini termotivasi oleh keinginan penulis untuk mengetahui pengaruh
media tanam organik untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi buncis
tegak (Phaseolus vulgaris L.) dan untuk mengetahui korelasi sifat fisik dan kimia
media tanam terhadap produksi buncis tegak.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Juang Gema Kartika, SP., MSi
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan
penulisan skripsi ini, serta terima kasih kepada kedua orang tua dan keluarga besar

penulis yang telah memberikan dukungan moril dan materi. Tidak lupa penulis
juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama
kegiatan penelitian dan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Jazakumullahu khairan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas segala kekeliruan dalam skripsi ini.
Semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi penulis dan pihak – pihak yang
berkepentingan.

Bogor, Februari 2012
Penulis

viii

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...............................................................................

ix


DAFTAR GAMBAR ...........................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................

xi

PENDAHULUAN ...............................................................................
Latar Belakang .........................................................................
Tujuan ......................................................................................
Hipotesis ..................................................................................

1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................
Bahan Organik .........................................................................

Media Tanam ...........................................................................
Tanah .....................................................................................
Media Tanam Jamur ...............................................................
Pupuk Kandang Sapi ..............................................................
Arang Sekam..........................................................................
Sifat Fisik, Kimia, dan Biologi Komponen Media Tanam .........
Kapasitas Memegang Air (Water Holding Capacity, WHC) ...
pH Media Tanam ...................................................................
Rasio C/N (Rasio Karbon : Nitrogen) .....................................
Buncis (Phaseolus vulgaris L.) .................................................

3
3
4
5
6
7
8
9
10

11
12
13

BAHAN DAN METODE ....................................................................
Tempat dan Waktu ...................................................................
Bahan dan Alat .........................................................................
Metode Penelitian .....................................................................
Pelaksanaan ..............................................................................
Pengamatan ..............................................................................

15
15
15
16
17
19

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
Kondisi Umum .........................................................................
Sifat Fisik dan Kimia Media Tanam .........................................
Pertumbuhan Buncis Tegak ......................................................
Produksi Buncis Tegak .............................................................

21
21
23
26
32

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
Kesimpulan ..............................................................................
Saran ........................................................................................

42
42
42

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................

43

LAMPIRAN ........................................................................................

46

ix

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Sifat Fisik dan Kimia Media
Tanam Organik ........................................................................

23

2. Hasil Analisis Sifat Fisik dan Kimia Media Tanam Organik .....

24

3. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Media Tanam
Organik terhadap Pertumbuhan Buncis Tegak ..........................

27

4. Tinggi Tanaman Buncis Tegak pada Media Tanam Organik .....

28

5. Jumlah Cabang Buncis Tegak pada Media Tanam Organik .......

29

6. Jumlah Daun Buncis Tegak pada Media Tanam Organik ..........

30

7. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Media Tanam
Organik terhadap Produksi Buncis Tegak .................................

32

8. Jumlah Polong Buncis Tegak pada Media Tanam Organik .......

33

9. Bobot Polong Buncis Tegak pada Media Tanam Organik dan
Persentase Peningkatan Bobot dibandingkan dengan Media
Tanam Tanah ...........................................................................

34

10. Panjang Polong Buncis Tegak pada Media Tanam Organik .......

36

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Grafik Curah Hujan Rata-rata Wilayah Dramaga Bulan Maret
sampai dengan April 2011 ........................................................

21

2. Grafik Suhu Udara Rata-rata Wilayah Dramaga Bulan Maret
sampai dengan April 2011 ........................................................

22

3. Kondisi Umum Pertanaman Buncis Tegak (a); Tanaman
Buncis Tegak yang Rebah (b); Serangan Penyakit Layu
Fusarium (c) .............................................................................

22

4. Tanaman Buncis Tegak Mulai Berbunga Umur 6 MST (a);
Tanaman Buncis Tegak Mulai Berbuah Umur 7 MST (b) .........

23

5. Grafik Hubungan antara Rasio C/N Media Tanam dan Jumlah
Polong Buncis Tegak................................................................

38

6. Grafik Hubungan antara Rasio C/N Media Tanam dan Bobot
Polong Buncis Tegak................................................................

39

7. Grafik Hubungan antara Rasio C/N Media Tanam dan Panjang
Polong Buncis Tegak................................................................

39

xi

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Data Iklim Wilayah Dramaga pada Bulan Februari hingga Mei
2011 .........................................................................................

47

2. Hasil Uji Substansial BUSS pada Tanaman Buncis Tegak
LE02 ........................................................................................

48

3. Deskripsi Calon Varietas Unggul Buncis Tegak .......................

49

4. Analisis Kapasitas Memegang Air (Water Holding Capacity)
Metode Alhricks .......................................................................

50

5. Analisis pH Media Tanam Metode pH H2O (1 : 5)....................

51

6. Analisis Kadar C-organik Metode Walkley & Black (untuk P1)

52

7. Analisis Kadar C-organik Metode Pengabuan 700 oC (untuk P2
– P13).......................................................................................

53

8. Analisis Kadar N-total Metode Kjehdal ....................................

54

1

PENDAHULUAN
Latar belakang
Usaha tani sayuran pada saat ini telah banyak menggunakan input bahan
kimia sintetik, baik pupuk maupun pestisida anorganik. Salah satu alternatif usaha
pertanian yang ramah lingkungan adalah LEISA (Low External Input Sustainable
Agriculture).

LEISA

merupakan

suatu

acuan

bentuk

pertanian

untuk

mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan kombinasi komponen
sistem usaha tani yang sinergistik serta pemanfaatan input luar sebagai pelengkap
untuk meningkatkan efektivitas sumber daya dan meminimalkan kerusakan
lingkungan (Asandhi et al., 2005). Karakteristik fisik dan kimia media tanam
menjadi salah satu penentu produktivitas dan mutu hasil panen dalam usaha tani
LEISA sayuran. Hal tersebut berkaitan dengan pengaruh sifat dan ciri jenis input
produksi yang dipakai dalam proses produksi. Ciri-ciri media tanam dan jenis
input produksi ini perlu dikarakterisasi untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan
produksi

tanaman

sebagai

bentuk

kegiatan

usaha

tani

LEISA

yang

menguntungkan.
Media tanam merupakan salah satu faktor penting dalam lingkungan hidup
tanaman yang menjadi tempat tumbuhnya. Media tanam yang sesuai, baik media
tanam tunggal maupun campuran, sangat menunjang pertumbuhan dan produksi
tanaman karena dapat menyediakan air dan unsur hara serta menyangga
keseluruhan tanaman. Tanaman yang tumbuh dalam wadah memiliki ketersediaan
air yang kurang dan unsur hara serta drainase yang terbatas (Dole dan Wilkins,
2005).
Usaha pemanfaatan limbah pertanian dapat dilakukan sebagai bentuk
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal dan untuk meminimalkan kerusakan
lingkungan. Salah satu bentuk usaha tersebut yaitu dengan memanfaatkan limbah
media tanam jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dan limbah media tanam
jamur merang (Volvariella volvaceae) sebagai media tanam. Selama ini limbah
media tanam jamur tiram baru dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Yuliastuti dan
Susilo, 2003), media budidaya cacing Pheretima sp. (Nurwati, 2011), bahan baku
etanol, dan didaur ulang menjadi media tanam jamur tiram kembali, sedangkan

2
limbah media tanam jamur merang belum dimanfaatkan secara intensif. Beberapa
limbah pertanian lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai media tanam organik
adalah arang sekam dan kotoran sapi.
Salah satu sayuran sumber protein nabati yang banyak dikonsumsi
masyarakat Indonesia adalah buncis. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia (2011), pada tahun 2008 produktivitas buncis mencapai 8.52
ton/ha. Kemudian pada tahun 2009 produktivitas buncis mengalami peningkatan
menjadi 9.48 ton/ha, namun pada tahun 2010 produktivitas buncis mengalami
sedikit penurunan menjadi 9.22 ton/ha. Kondisi tersebut mendorong perlunya
usaha peningkatan produktivitas buncis melalui budidaya pertanian dengan
mengoptimalkan sumberdaya lokal yang ada.
Buncis tegak (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman sayuran varietas
unggul dari Balai Peneltian Tanaman Sayuran (Balitsa). Buncis tegak memiliki
habitus tanaman yang tegak, tidak seperti buncis rambat yang memiliki habitus
merambat. Media tanam terbaik untuk budidaya buncis tegak masih perlu dicari
guna mencapai potensi produksi yang optimal. Penelitian ini dilakukan untuk
menunjang penyusunan GAP (Good Agricultural Practices) buncis tegak.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. mengetahui pengaruh kombinasi media tanam organik untuk meningkatkan
pertumbuhan dan produksi buncis tegak, dan
2. mengetahui korelasi sifat fisik dan kimia media tanam organik terhadap
produksi buncis tegak.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. minimal terdapat satu kombinasi media tanam yang memberi pengaruh terbaik
pada pertumbuhan dan produksi buncis tegak, dan
2. terdapat korelasi sifat fisik dan kimia media tanam organik terhadap produksi
buncis tegak.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Organik
Bahan organik merupakan bahan penting dalam membentuk kesuburan
tanah. Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman berupa akar, batang,
ranting, daun, bunga, dan buah. Jaringan tanaman ini akan mengalami
dekomposisi dan akan terangkut ke lapisan bawah serta diinkorporasikan dengan
tanah. Sumber sekunder bahan organik adalah binatang. Perbedaan sumber bahan
organik mengakibatkan perbedaan susunan dalam bahan organik. Pada umumnya
jaringan binatang lebih cepat hancur daripada jaringan tumbuhan (Hakim et al.,
1986).
Bahan organik tanah biasanya menyusun sekitar 5 % bobot total tanah.
Meskipun hanya sedikit, akan tetapi bahan organik memegang peranan penting
dalam menentukan kesuburan tanah. Sebagai media tumbuh, bahan organik juga
berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman
serta mikrobia tanah, yaitu sebagai sumber energi, hormon, vitamin, dan senyawa
perangsang tumbuh lainnya (Hanafiah, 2005).
Tanah yang kaya akan bahan organik bersifat lebih terbuka (sarang)
sehingga aerasi tanah menjadi lebih baik, tidak mudah mengalami pemadatan, dan
mempunyai warna yang lebih kelam daripada tanah yang mengandung bahan
organik rendah. Tanah yang berwarna lebih kelam akan menyerap sinar lebih
banyak sehingga perakaran tanaman akan lebih banyak menyerap hara, air, dan
oksigen. Hara yang digunakan oleh mikrooragnisme tanah bermanfaat dalam
mempercepat aktivitas dekomposisi bahan organik dan pelepasan hara. Bahan
organik tidak hanya penting secara langsung sebagai sumber hara, tetapi juga
sebagai agen untuk meningkatkan nilai hara yang diberikan kepada tanaman
(Sutanto, 2002).
Bahan organik mempunyai peranan penting terhadap sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah. Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisik tanah di antaranya
adalah : (1) mempengaruhi warna tanah menjadi coklat sampai hitam; (2)
merangsang granulasi agregat dan memantapkannya; (3) menurunkan plastisitas
dan kohesi tanah; (4) memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah; dan (5)

4
meningkatkan kapasitas memegang air sehingga drainase tidak berlebihan,
kelembaban dan temperatur tanah menjadi stabil (Soepardi, 1983; Hakim et al.,
1986; Hanafiah, 2005). Adapun pengaruh bahan organik terhadap sifat kimia
tanah di antaranya adalah : (1) bagian yang mudah terurai dari proses mineralisasi
bahan organik akan menyumbangkan sejumlah ion – ion hara tersedia bagi
tanaman; (2) selama proses dekomposisi, sejumlah hara tersedia akan
diakumulasikan ke dalam sel – sel mikrobia yang apabila mikrobia ini mati maka
hara tersebut akan mudah dimineralisasikan kembali sehingga menghindari
pelindian ion hara oleh aliran air; dan (3) dapat meningkatkan kapasitas tukar
kation (KTK) tanah 30 kali lebih besar daripada koloidal anorganik. Bahan
organik juga berpengaruh terhadap sifat biologi tanah, yaitu : (1) sebagai sumber
energi dan hara bagi jasad biologis tanah, terutama heterotrofik; (2) meningkatkan
jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah; dan (3) meningkatkan kegiatan
jasad mikro dalam membantu dekomposisi bahan organik (Hakim et al., 1986;
Hanafiah, 2005).
Media Tanam
Media tanam adalah media tumbuh bagi tanaman yang dapat memasok
sebagian unsur - unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Media tanam dalam
wadah harus memenuhi empat persyaratan, antara lain : (1) harus memberikan
tunjangan mekanik bagi tanaman; (2) mampu menahan air tersedia; (3) dapat
ditembus oleh udara untuk mempermudah pertukaran gas (aerasi yang baik); dan
(4) menyimpan hara bagi pertumbuhan tanaman (Flegmann dan George, 1975).
Baudendistel (1982) menambahkan bahwa syarat media tanam yang baik adalah :
(1) memiliki sifat fisik remah karena media yang remah akan bersifat tidak padat
sehingga akar tanaman mudah berkembang dan menembus tanah serta dapat
memudahkan aerasi dan drainase; (2) tidak mengandung bahan-bahan toksik yang
dapat menghambat pertumbuhan tanaman; (3) tingkat kemasaman baik; (4) tidak
mengandung hama dan penyakit; dan (5) memiliki kapasitas memegang air yang
cukup.
Fungsi pertama media tanam adalah sebagai tempat akar berpenetrasi (sifat
fisik). Selama cadangan hara masih tersedia di dalam benih, hanya air yang

5
diserap oleh akar – akar muda. Semakin berkembangnya perakaran, cadangan
makanan ini semakin menipis, sehingga untuk melengkapi kebutuhannya maka
akar – akar ini mulai menyerap hara. Indikator kecukupan air dan hara yang dapat
disediakan oleh media tanam dicerminkan oleh kualitas pertumbuhan dan
produksi tanaman yang tumbuh di atasnya (Hanafiah, 2005).
Dole dan Wilkins (2005) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dalam
wadah kurang memiliki ketersediaan air dan hara serta drainase yang terbatas. Air
dan hara harus selalu dipasok agar dapat tersedia untuk tanaman. Media tanam
yang berbeda dibutuhkan pada tingkat produksi tanaman yang berbeda. Media
tanam yang termasuk dalam kategori bahan organik umumnya berasal dari
komponen organisme hidup, misalnya bagian dari tanaman seperti daun, batang,
bunga, buah, atau kulit kayu.
Media tanam dapat berupa media tunggal dan media campuran. Media
tanam tunggal merupakan penggunaan satu jenis bahan baku media tanam tanpa
dicampur dengan media tanam lain, misalnya tanah, arang sekam, pupuk kandang,
limbah pertanian. Media campuran merupakan gabungan dari beberapa media
tanam tunggal.
Tanah
Tanah mineral yang dapat berfungsi sebagai media tumbuh ideal secara
material tersusun oleh tiga komponen, yaitu bahan padatan (mineral dan bahan
organik), air, dan udara (oksigen). Berdasarkan volumenya, maka tanah rata - rata
terdiri dari : (1) 50 % padatan, berupa 45 % bahan mineral dan 5 % bahan
organik, dan (2) 50 % ruang pori, berisi 25 % air dan 25 % udara. Masing-masing
komponen tanah tersebut berperan penting dalam menunjang fungsi tanah sebagai
media tumbuh, sehingga variabilitas ketiga komponen tanah ini akan berdampak
terhadap variabilitas fungsi tanah sebagai media tumbuh tanaman (Hanafiah,
2005).
Dole dan Wilkins (2005) menambahkan bahwa umumnya tanah mineral
mengandung sedikit bahan organik (1.5 %) dan dapat bervariasi tergantung
kandungan mineral, rasio lempung : lumpur : pasir, dan kandungan pestisida serta
herbisida.

6
Pada bidang pertanian, tanah merupakan media tumbuh tanaman. media
yang baik bagi pertumbuhan tanaman harus mampu menyediakan kebutuhan
tanaman seperti air, udara, unsur hara, dan terbebas dari bahan – bahan toksik
dengan konsentrasi yang berlebihan (Suganda, et al., 2006).
Jenis tanah yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah latosol. Salah
satu sifat tanah latosol yang menonjol yaitu berbentuk granular. Keadaan tersebut
merangsang drainase yang sangat baik. Akan tetapi kapasitas tukar kation tanah
latosol rendah. Hal ini sebagian disebabkan oleh kadar bahan organik yang kurang
dan sebagian lagi oleh sifat liat hidro-oksida. Namun demikian, tanah latosol
tergolong subur jika dibandingkan dengan tanah lain di Indonesia. Tanah ini
menempati area seluas 9 % dari daratan Indonesia (Soepardi, 1983).
Media Tanam Jamur
Media tanam jamur tiram (Pleurotus ostreatus) menggunakan bahanbahan dasar berupa jerami padi dengan bahan tambahan bekatul, kapur, gips
(CaSO4), kalsium karbonat (CaCO3), dan urea (Yuliastuti dan Susilo, 2003). Akan
tetapi, media tanam jamur tiram yang biasa digunakan berupa serbuk kayu gergaji
yang dicampur dengan dedak atau bekatul. Serbuk kayu gergaji termasuk bahan
yang dapat dijadikan media tanam organik. Menurut Harjadi (1989) serbuk gergaji
biasa digunakan untuk menggantikan gambut dalam campuran tanah karena
harganya murah. Serbuk gergaji harus dilapukan dulu untuk mencuci bahan
toksik. Nitrogen harus ditambahkan untuk mengkompensasi pengikatan nitrogen
oleh mikroorganisme selama dekomposisi. Dole dan Wilkins (2005) juga
menambahkan bahwa serbuk gergaji paling baik digunakan setelah dikomposkan.
Serbuk gergaji mengandung banyak serat (selulosa 40 %, hemiselulosa 23
%, dan lignin ± 34 %). Adanya kandungan lignin akan menghambat proses
dekomposisi (Hartutik et al, 2008). Hasil penelitian Hartutik et al (2008)
menunjukkan bahwa rasio C/N dari kompos + EM 4 + serbuk gergaji
menghasilkan nilai 43.85, lebih tinggi jika dibandingkan dengan kompos kontrol
(16.18) dan kompos + EM 4 (11.61).
Media tanam utama jamur merang biasanya menggunakan limbah industri
pertanian, seperti merang (jerami), daun pisang, kulit buah kopi. Media tanam

7
jamur merang dapat juga menggunakan serbuk gergaji kayu, namun hasilnya
kurang baik (Mayun, 2007). Selain limbah industri pertanian, media tanam jamur
merang dapat juga menggunakan limbah kardus sebagai komponen media utama
(Arzy et al., 2010). Jerami padi mengandung kalium (K) berkisar antara 1.1 % 3.7 %. Unsur K yang berasal dari jerami bersifat larut air dan siap tersedia bagi
tanaman (Sutanto, 2002). Hasil penelitian Suhartini (2007) menyatakan bahwa
vermikompos limbah budidaya jamur merang mempengaruhi kuantitas hasil
panen tanaman selada (Lactuca sativa L.). Semakin tinggi tingkat kematangan
kompos maka semakin tinggi kuantitas hasil panen tanaman selada.
Pupuk Kandang Sapi
Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang
peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik
dan biologi tanah. Apabila dalam memelihara ternak tersebut diberi alas seperti
jerami pada sapi, kerbau, dan kuda serta sekam pada ayam, maka alas tersebut
akan dicampur menjadi satu kesatuan dan juga disebut pupuk kandang. Beberapa
petani di beberapa daerah memisahkan antara pupuk kandang padat dan cair.
Pupuk kandang padat yaitu kotoran ternak yang berupa padatan, baik belum
dikomposkan maupun sudah dikomposkan sebagai sumber hara (terutama
nitrogen) bagi tanaman dan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah. Pupuk kandang cair merupakan pupuk kandang berbentuk cair yang berasal
dari kotoran hewan yang masih segar dan bercampur dengan urin hewan atau
kotoran hewan yang dilarutkan dalam air dengan perbandingan tertentu (Hartatik
dan Widowati, 2006).
Pupuk kandang atau kotoran hewan yang berasal dari usaha tani pertanian
antara lain adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, dan kambing. Komposisi hara pada
masing-masing kotoran hewan berbeda, tergantung pada jumlah dan jenis
makanannya. Secara umum, kandungan hara dalam kotoran hewan lebih rendah
per satuan bobot daripada pupuk anorganik. Oleh karena itu, biaya aplikasi
pemberian pupuk kandang ini lebih besar daripada pupuk anorganik.
Hara dalam pupuk kandang tidak mudah tersedia bagi tanaman.
Ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi atau mineralisasi

8
dari bahan-bahan tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang
antara lain disebabkan karena bentuk nitrogen, fosfor, serta unsur lain terdapat
dalam bentuk senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat atau
lignin yang sulit terdekomposisi (Hartatik dan Widowati, 2006).
Salah satu jenis pupuk kandang adalah pupuk kandang sapi. Pada
umumnya pupuk kandang sapi mengandung nitrogen (N) 2 - 8 %, fosfor (P2O5)
0.2 - 1 %, kalium (K2O) 1 - 3 %, magnesium (Mg) 1.0 - 1.5 %, dan unsur mikro
(Donahue et al., 1977). Pupuk kandang sapi juga mempunyai kadar selulosa yang
tinggi. Hal ini terbukti dari hasil pengukuran parameter rasio C/N yang cukup
tinggi, yakni > 40. Tingginya kadar karbon dalam pupuk kandang sapi
menghambat penggunaan langsung ke lahan pertanian karena akan menekan
pertumbuhan tanaman utama. Penekanan pertumbuhan terjadi karena mikroba
dekomposer akan menggunakan nitrogen yang tersedia untuk mendekomposisi
bahan organik tersebut sehingga tanaman utama akan kekurangan nitrogen. Untuk
memaksimalkan penggunaan, pupuk kandang sapi harus dikomposkan agar
menjadi kompos pupuk kandang sapi dengan rasio C/N di bawah 20 (Hartatik dan
Widowati, 2006). Pemanfaatan pupuk kandang sapi secara langsung juga
berkaitan dengan kadar air yang tinggi. Bila pupuk kandang sapi dengan kadar air
yang tinggi diaplikasikan secara langsung, maka akan memerlukan tenaga
pengangkutan yang lebih banyak serta proses pelepasan amoniak masih
berlangsung.
Arang Sekam
Penggilingan gabah menghasilkan sekitar 25 % sekam, 8 % dedak, 2 %
bekatul, dan 65 % beras giling. Sekam terutama tersusun dari jaringan serat - serat
selulosa dan mengandung banyak silika. Silika terutama terdapat pada bagian luar
kerak bergigi dalam bentuk serabut-serabut yang sangat keras sebagai kutikula
yang tebal dan rambut permukaan. Bagian dalam sekam juga beralur dan berserat,
tersusun atas serabut hipodermal memanjang. Kandungan silika pada bagian
tengah sekam rendah (Haryadi, 2008).
Arang sekam biasanya dibuat dengan cara dibakar atau disangrai.
Pembuatan arang sekam dengan cara dibakar dapat dilakukan dengan berbagai

9
cara, salah satunya dengan sistem drum statis. Drum statis diisi penuh dengan
sekam kering, kemudian ditutup, dan dipasang cerobong asap. Proses selanjutnya
adalah disemprotkan minyak tanah pada lapisan sekam paling atas kemudian
dibakar. Cara lain yaitu pembakaran dengan sistem cerobong asap. Pembuatan
arang sekam dengan sistem cerobong asap dilakukan dengan cara meletakkan bara
api di lantai kemudian ditutup dengan rumah cerobong. Sekam kering
ditumpukkan di sekitar cerobong sehingga terjadi perambatan panas dalam
tumpukkan sekam. Sekam yang telah menjadi bara selanjutnya didinginkan
sehingga terbentuk arang sekam (Setiawati dan Nugraha, 2010).
Berdasarkan analisis Japanese Society for Examining Fertilizer and
Fodders, komposisi arang sekam paling banyak mengandung senyawa SiO 2
sebanyak 52 % dan unsur karbon (C) sebanyak 31 %. Komposisi lainnya
adalah Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO, dan Cu dalam jumlah yang sangat kecil,
juga mengandung bahan-bahan organik. Karakteristik lainnya dari arang sekam
yaitu ringan (berat jenis 0.2 kg/L) dan kasar sehingga sirkulasi udara tinggi karena
banyak pori, kapasitas memegang air tinggi, berwarna hitam sehingga dapat
mengabsorbsi sinar matahari secara efektif. Rongganya banyak sehingga aerasi
dan drainasenya baik sehingga akar tanaman akan mudah bergerak di antara
butiran arang sekam tersebut. Arang sekam telah steril, karena saat pembuatannya
melalui panas yang tinggi dari proses pembakaran sehingga tidak memerlukan
bahan desinfektan, mempunyai daya melapuk lambat, dan dianggap dapat
bertahan sampai satu tahun (Wuryaningsih dan Darliah, 1994).
Sifat Fisik, Kimia, dan Biologi Komponen Media Tanam
Komponen media tanam secara spesifik memiliki sifat fisik, kimia, dan
biologi yang berbeda. Sifat fisik tersebut terdiri dari kelembaban, aerasi, stabilitas,
bulk density, infiltrasi, dan water holding capacity. Adapun sifat kimia media
tanam terdiri dari kapasitas tukar kation (KTK), pH, dan rasio C/N ( Dole dan
Wilkins, 2005). Sifat biologi media tanam, khususnya media tanam yang

mengandung bahan organik, dapat disifatkan dengan keberadaan dan peran jasad
hidup dalam tanah atau media tanam (Hakim et al., 1986).

10
Kapasitas Memegang Air (Water Holding Capacity, WHC)
Air diperlukan oleh tanaman antara lain untuk memenuhi transpirasi,
pembentukan karbohidrat dalam proses asimilasi, serta sebagai pengangkut hasil –
hasil fotosintesis ke seluruh jaringan tanaman. Selain itu, air juga merupakan
bagian penyusun tubuh tanaman. Air tanah berfungsi sebagai pelarut unsur hara
dalam tanah dan berfungsi membawa unsur hara ke permukaan akar tanaman serta
mengangkut unsur hara yang diserap akar ke seluruh tubuh tanaman (Hakim et al.,
1986)
Air mengendalikan hampir seluruh proses fisik, kimia, dan biologi yang
terjadi di dalam tanah. Kadar air tanah dinyatakan sebagai perbandingan antara
bobot air yang ada dalam contoh sebelum pengeringan dan bobot contoh setelah
dikeringkan sampai mencapai bobot yang tetap pada 105 oC (Abdurachman et al.,
2006).
Kapasitas memegang air adalah volume air yang dapat ditahan oleh media
setelah irigasi dan drainase atau pada kondisi kapasitas lapang. Nilai kapasitas
memegang air suatu media tanam ditunjukkan oleh kadar air media tanam
tersebut. Untuk mengetahui keadaan air tanah dalam hubungannya dengan
pertumbuhan tanaman, maka perlu ditetapkan kadar air tanah dalam beberapa
keadaan, seperti : (1) kadar air total, yaitu kadar air tanah yang diperoleh dengan
jalan pengeringan tanah kering udara di dalam oven pada suhu 105 oC sampai
bobotnya tetap; (2) kapasitas lapang, yaitu jumlah air yang ditahan oleh tanah
setelah kelebihan air gravitasi meresap ke bawah karena gaya gravitasi; dan (3)
titik layu permanen, yaitu kandungan air tanah pada saat tanaman yang ditanam di
atasnya telah mengalami layu permanen, dalam arti sulit dipulihkan kembali
meskipun telah ditambahkan sejumlah air yang mencukupi (Hanafiah, 2005).
Kemampuan tanah untuk memegang air tergantung pada tekstur tanah.
Tanah berpasir mempunyai kemampuan memegang air yang rendah dibandingkan
tanah liat. Akan tetapi aerasi tanah pasir lebih baik daripada tanah liat.
Kemampuan tanah berpasir untuk memegang air dapat ditambah dengan bahan
organik (Jumin, 2008).
Hanafiah (2005) menyatakan bahwa air yang diserap tanaman di samping
berfungsi sebagai komponen sel-selnya, juga berfungsi sebagai media reaksi pada

11
hampir seluruh proses metabolismenya. Ion – ion hara larut dalam air dan dibawa
ke dalam akar kemudian ke daun tanaman. Air juga menjadi pemicu reaksi
kimiawi penyediaan unsur hara yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman.
Zulkarnain (2010) menambahkan bahwa tanaman yang ditanam pada kadar air
mendekati kapasitas lapang akan mampu tumbuh dengan cepat bila unsur hara dan
faktor lingkungan lainnya berada dalam kondisi optimal.
pH Media Tanam
Soepardi (1983) menyatakan bahwa kemasaman tanah mempengaruhi
serapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman melalui dua cara : (1) pengaruh
langsung ion hidrogen; atau (2) pengaruh tidak langsung, yaitu melalui pengaruh
terhadap ketersediaan unsur hara dan adanya unsur-unsur toksik. Dalam tanah,
pengaruh ketersediaan unsur hara dan adanya unsur-unsur toksik adalah yang
terpenting. Ketersediaan unsur hara sangat dipengaruhi oleh pH. Beberapa unsur
hara dalam keadaan pH tertentu dapat mencapai tingkat beracun. Pada nilai pH
kurang dari 5.0 atau 5.5 alumunium, besi, dan mangan menjadi larut dalam jumlah
cukup banyak yang dapat menyebabkan tanaman menderita keracunan. Pada pH
yang sangat tinggi terdapat ion bikarbonat dalam jumlah banyak sehingga akan
mengganggu serapan unsur lain dan sangat merugikan pertumbuhan tanaman.
Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi
tanah karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Nilai
pH optimal untuk ketersediaan unsur hara tanah adalah sekitar 7.0 karena pada pH
ini semua unsur makro tersedia secara optimal, sedangkan unsur hara mikro pada
umumnya tidak tersedia secara optimal, kecuali Mo, sehingga kemungkinan
terjadinya toksisitas unsur mikro tertekan. Pada pH di bawah 6.5 dapat terjadi
defisiensi P, Ca, dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, Zn, dan Fe; sedangkan pada
pH di atas 7.5 dapat terjadi defisiensi P, B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca, dan Mg serta
toksisitas B dan Mo (Hanafiah, 2005).
Pengaruh pH cukup besar terhadap ketersediaan unsur hara dalam tanah.
Kondisi tanah yang baik (tidak mengandung bahan toksik) terjadi pada kondisi
agak masam sampai netral (pH 5.0 – 7.5), akan tetapi perbedaan jenis tanaman
maupun pola tanam menghendaki kondisi tertentu (Sutanto, 2005).

12
Rasio C/N (Rasio Karbon : Nitrogen)
Soepardi (1983) menyatakan bahwa rasio C/N mempunyai arti penting
bagi tanah, di antaranya adalah : (1) terjadinya persaingan antara tanaman dengan
mikroba dekomposer bila bahan organik yang mempunyai rasio C/N tinggi
langsung dimasukkan dalam tanah; dan (2) karena sifat mantap rasio ini dalam
tanah maka untuk mempertahankan jumlah karbon atau bahan organik dalam
tanah sedikit banyak tergantung dari kandungan nitrogen yang terdapat dalam
tanah. Rasio C/N juga bukan hanya ditentukan oleh kandungan nitrogen tanah,
melainkan ditentukan juga oleh jumlah kandungan bahan organik yang terdapat
dalam tanah.
Setyorini et al. (2006) menambahkan bahwa bahan organik tidak dapat
digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N
dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan
perbandingan antara karbon (C) dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara
10 - 12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama
dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun
pada umumnya bahan organik segar mempunyai C/N rasio tinggi (jerami 50 - 70;
dedaunan tanaman 50 - 60; kayu-kayuan > 400).
Hanafiah (2005) menyatakan bahwa rasio C/N merupakan indikator yang
menunjukkan proses mineralisasi-imobilisasi nitrogen oleh mikroba dekomposer
bahan organik. Rasio C/N bahan organik tanah berkisar antara 8 : 1 - 15 : 1
(umumnya 10 : 1 - 12 : 1), terkait dengan curah hujan dan suhu, mikrobia yang
terlibat, dan rasio C/N vegetasi di atasnya. Rasio C/N di daerah kering lebih
rendah dibandingkan di daerah dingin. Apabila rasio C/N lebih kecil dari 20
menunjukkan terjadinya mineralisasi N, sedangkan apabila rasio C/N antara 20 –
30 berarti mineralisasi seimbang dengan immobilisasi. Pada rasio C/N di atas 20
(awal dekomposisi), N-tersedia yang ada segera diimmobilisasikan ke dalam sel sel mikrobia untuk memperbanyak diri. Aktivitas mikrobia yang meningkat
semakin meningkatkan proses mineralisasi N, selaras dengan kebutuhan N untuk
perbanyakan mikrobia. Pada tahap akhir, cadangan bahan organik yang mudah
dirombak semakin menipis sehingga sebagian mikrobia mati dan N penyusun sel -

13
selnya segera mengalami mineralisasi melepaskan N dan hara-hara lain. Dengan
demikian ketersediaan N semakin meningkat pada kondisi rasio C/N di bawah 30.
Nilai rasio C/N yang terlalu tinggi tidak cocok untuk pertumbuhan
tanaman. Tingginya nilai rasio C/N mengindikasikan bahwa proses dekomposisi
belum terjadi dengan sempurna. Akibatnya pertumbuhan tanaman di atasnya akan
terhambat karena mikroba dekomposer akan menggunakan nitrogen yang tersedia
untuk mendekomposisi bahan organik tersebut sehingga tanaman utama akan
kekurangan nitrogen (Hartatik dan Widowati, 2006). Karbon digunakan oleh
mikroorganisme sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen digunakan untuk
sintesis protein. Banyaknya sumber energi yang tersedia karena tingginya jumlah
karbon menyebabkan mikroorganisme lebih berkembang dan menggunakan
nitrogen yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organik, sehingga tanaman
utama akan kekurangan nitrogen dan mengakibatkan pertumbuhan tanaman
terganggu.
Soepardi (1983) menyatakan bahwa nitrogen terutama merangsang
pertumbuhan di atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun. Pada serealia
memperbesar butir-butir (biji serealia) dan kandungan protein. Tanaman yang
kekurangan nitrogen tumbuh kerdil dan sistem perakarannya terbatas. Daun
menjadi kuning atau hijau kekuning-kuningan dan cenderung cepat rontok.
Buncis (Phaseolus vulgaris L.)
Tanaman buncis (Phaseolus vulgaris L.) berasal dari Amerika Utara, akan
tetapi kemampuan beradaptasinya sangat luas, mulai dari daerah sub tropika
sampai dengan daerah tropika. Secara umum terdapat dua tipe buncis, yaitu tipe
merambat (climbing bean/pole) dan tipe tidak merambat atau dikenal dengan tipe
tegak (dwarf bean). Oleh karena itu, buncis memiliki beberapa nama dalam
Bahasa Inggris, seperti “bean”, “snap bean”, “reen bean”, “kidney bean”, “haricot
bean”, dan “dwarf bean” (Sofiari dan Djuariah, 2004).
Berbagai kultivar Phaseolus vulgaris adalah tanaman musim panas yang
membelit dan merambat. Selain bentuk merambat indeterminate dan tidak
merambat, ada bentuk kerdil (tegak) determinate dan indeterminate. Kultivar
bentuk tegak determinate yang saat ini berbeda dengan bentuk merambat

14
indeterminate yang dahulu memiliki dominansi apikal yang lebih rendah dan
sedikit atau tidak tanggap terhadap fotoperiod hari pendek. Kultivar indeterminate
merambat dan tegak memiliki percabangan yang lebih banyak dan memiliki
potensi hasil yang lebih besar karena jumlah buku pembungannya lebih banyak.
Panjang batang tipe merambat dapat mencapai 3 m dengan lebih dari 25 buku
pembungaan. Bentuk ini sangat mudah rebah sehingga umumnya ditopang dengan
lanjaran (ajir). Bentuk tegak determinate memang pendek, beberapa jenis tidak
lebih dari 60 cm, memiliki jumlah buku sedikit, dan pembungaannya terbentuk di
ujung batang tanaman. Kultivar determinate juga tidak dapat memperoleh
nitrogen yang terfiksasi rhizobium sehingga diperlukan pemupukan untuk
perkembangan tanaman yang jagur. Pada kondisi pertumbuhan yang sesuai,
buncis tipe tegak dapat dipanen pada umur 60 - 70 hari setelah tanam, sedangkan
buncis tipe merambat umumnya memerlukan waktu panen 10 - 20 hari lebih lama
daripada buncis tipe tegak. Kultivar determinate lebih peka terhadap cekaman
yang mengganggu pembentukan polong sehingga menyebabkan hasil panen
menjadi rendah. Meskipun demikian, pada kondisi pertumbuhan yang sesuai
tanaman determinate unggul dalam menghasilkan polong yang sangat seragam
(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Buncis lebih peka terhadap kondisi tanah daripada kacang panjang dan
memerlukan tanah dengan pH di atas 5 untuk memberikan hasil yang baik. Akar
buncis membentuk bintil akar yang lebih sedikit daripada jenis tanaman kacang kacangan lainnya di dataran rendah tropika dan memerlukan lebih banyak
nitrogen daripada kacang panjang (William et al., 1993).
Rata - rata suhu udara 20 – 25 oC sudah optimum untuk pertumbuhan
buncis dan berdaya hasil tinggi. Buncis tipe merambat cenderung tumbuh lebih
baik pada suhu lebih rendah dan lebih peka terhadap suhu tinggi pada saat
pembungaan daripada buncis tipe tegak. Buncis peka terhadap kekeringan dan
genangan. Perkecambahan, pembungaan, dan perkembangan polong paling peka
terhadap kekurangan air. Tanah lempung liat yang berdrainase baik, remah, dan
bertekstur medium sangat sesuai untuk produksi buncis (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1998).

15

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Institut
Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor. Lokasi ini memiliki ketinggian tempat 240 m
di atas permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai
Oktober 2011. Analisis tanah dan media tanam dilakukan di Laboratorium Tanah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1.

benih buncis tegak (Phaseolus vulgaris L.) nomor introduksi Le 02 yang
diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa);

2.

limbah media tanam jamur tiram yang diperoleh dari Laboratorium Teknologi
Sumberdaya Mineral, Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral, Deputi Bidang
Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) yang beralamat di Jalan Tegalwaru 1 Ciampea,
Kabupaten Bogor. Limbah media jamur tiram terdiri dari komponen serbuk
gergaji kayu sengon, dedak, jagung beras, kapur, dan gipsum dengan
perbandingan 20 : 2 : 2 : 1 : 1. Limbah tersebut diambil dari baglog tua yang
sudah tidak produktif lagi (berumur lebih dari 3 bulan);

3.

limbah media tanam jamur merang yang diperoleh dari CV Mitra Usaha,
Dusun Krajan 1, Desa Panyingkiran, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten
Karawang, Jawa Barat. Limbah tersebut terdiri dari komponen jerami, kapas,
dedak, dan kapur dengan perbandingan 40 : 4 : 4 : 1;

4.

pupuk kandang sapi yang diperoleh dari Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor berupa kotoran sapi yang telah dingin dan siap digunakan
untuk pupuk atau media tanam;

5.

arang sekam yang diperoleh dari Desa Situgede, Bogor;

16
6.

tanah berjenis latosol yang didapatkan dari kebun percobaan Leuwikopo,
Dramaga, IPB; dan

7.

bahan-bahan untuk pemeliharaan tanaman (pupuk urea 62 kg/ha, pupuk SP36
250 kg/ha, pupuk KCl 90 kg/ha, pupuk NPK Mutiara) serta bahan-bahan
untuk analisis media tanam.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah polibag ukuran 40 cm x 40

cm, ember ukuran 8 L, peralatan pengamatan, peralatan analisis media tanam, dan
peralatan budidaya pertanian.
Metode Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal, yaitu kombinasi
media tanam dengan 13 taraf perlakuan berdasarkan volume per volume (v/v).
Model linier aditif RKLT yang akan digunakan adalah:
Yij = µ + τi + βj + εij
dengan keterangan sebagai berikut:
Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = rataan umum
τi = pengaruh perlakuan media tanam ke-i
βj = pengaruh ulangan ke-j
εij = pengaruh galat percobaan
i = 1, 2, 3, …, 13 dan j = 1, 2, 3
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam. Hasil yang
berbeda nyata diujilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf 5 %.
Perlakuan percobaan terdiri atas 13 taraf perlakuan kombinasi media
tanam berdasarkan volume, yaitu:
P1 = tanah (100 %)
P2 = limbah media jamur tiram (100 %)
P3 = limbah media jamur merang (100 %)
P4 = pupuk kandang sapi (100 %)
P5 = tanah + limbah media jamur tiram (1 : 1)

17
P6 = tanah + limbah media jamur merang (1 : 1)
P7 = tanah + limbah media jamur tiram + pupuk kandang sapi (1 : 1 : 1)
P8 = tanah + limbah media jamur tiram + arang sekam (1 : 1 : 1)
P9 = tanah + limbah media jamur tiram + pupuk kandang sapi + arang sekam
(1 : 1 : 1 : 1)
P10 = tanah + limbah media jamur merang + pupuk kandang sapi (1 : 1 : 1)
P11 = tanah + limbah media jamur merang + arang sekam (1 : 1 : 1)
P12 = tanah + limbah media jamur merang + pupuk kandang sapi + arang sekam
(1 : 1 : 1 : 1)
P13 = tanah + limbah media jamur tiram + limbah media jamur merang + pupuk
kandang sapi + arang sekam (1 : 1 : 1 : 1 : 1)
Perlakuan P1 hingga P4 merupakan komponen media tanam tunggal,
sedangkan perlakuan P5 hingga P13 merupakan komponen media tanam
campuran dari berbagai macam media tanam tunggal.
Setiap taraf perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 39 satuan
percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 10 polibag (disebut petak
percobaan). Masing – masing polibag ditanami 2 benih. Dengan demikian total
populasi tanaman buncis tegak adalah 780 tanaman. Tanaman contoh yang
diamati sebanyak 5 polibag yang dipilih secara acak setiap perlakuan, sehingga
total ada 195 polibag tanaman contoh.
Pelaksanaan
Media tanam yang telah diperoleh sebelumnya dikeringanginkan terlebih
dahulu kemudian diayak agar mudah digunakan sebagai media tanam. Pada
perlakuan media tanam tunggal, komponen media tanam yang telah diayak
langsung dimasukkan ke dalam masing-masing polibag dengan ukuran 1 polibag
= 1 volume ember (ember berukuran 8 L). Pada perlakuan media tanam
campuran, masing - masing komponen media tanam dicampur rata terlebih dahulu
sesuai dengan perbandingan media tanam pada setiap perlakuan kemudian
dimasukkan ke dalam polibag. Setiap perlakuan terdapat 30 polibag, sehingga
media tanam yang diperlukan tiap perlakuan sebanyak 30 volume ember.

18
Penanaman benih buncis tegak (Phaseolus vulgaris L.) dilakukan pada
bulan Maret 2011. Jarak tanam yang digunakan adalah 20 cm x 40 cm.
Pemeliharaan yang dilakukan berupa penyulaman, pemberian pupuk, penyiraman,
dan penyiangan gulma. Penyulaman dilakukan sebelum tanaman berumur 10 HST
(Hari Setelah Tanam). Pemberian pupuk dilakukan pada saat sebelum tanam dan
setiap minggu saat tanaman mulai berumur 2 MST (Minggu Setelah Tanam).
Pupuk yang diberikan pada saat dua minggu sebelum tanam adalah urea 0.31
g/polibag, SP-36 1.25 g/polibag, dan KCl 0.45 g/polibag. Pupuk tersebut
diaplikasikan dengan cara ditabur. Pupuk yang diberikan saat tanaman mulai
berumur 2 MST adalah NPK Mutiara dengan konsentrasi 2 g/L dan diaplikasikan
dengan cara dikocor dengan dosis 250 mL/polibag tiap minggunya.
Pemanenan pertama dilakukan saat tanaman berusia 53 hari pada bulan
April 2011 dan berakhir pada bulan Mei 2011 setelah 9 kali pemanenan. Polong
yang dipanen berdasarkan kriteria warna polong agak muda dan suram,
permukaan kulitnya agak kasar, biji dan polong belum menonjol, serta polong
mengeluarkan bunyi letupan jika dipatahkan (Susila, 2006). Bunc