Hubungan antara penggunaan metode breed dengan uji mastitis ipb-1 untuk diagnosa mastitis subklinis

2

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED
DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA
MASTITIS SUBKLINIS

FITRIAN WINATA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

4

ABSTRACT

FITRIAN WINATA. The Relationship Between Using Breed Method with
IPB-1 Mastitis Test for Sub-clinical Mastitis Detection. Under direction of
MIRNAWATI BACHRUM SUDARWANTO and HERWIN PISESTYANI.
The objective of this study was to measure the relationship between Breed

method and IPB-1 mastitis test for sub-clinical mastitis detection. Two hundreds
five of quarter milk samples were used in this study and the tests (Breed method
and IPB-1 mastitis test) were done in paralel way. The result showed that 143
samples from 205 samples (69.76%) tested with Breed method came from the
herds which suffered from sub-clinical mastitis and with IPB-1 mastitis test
showed that 129 (62.93%) samples have positive reaction. This research also
showed that IPB-1 mastitis test has sensitivity 85.31% and specitivity 88.71% and
Kappa test reach 0.696 respectively.
Keywords: sub-clinical mastitis, Breed method, IPB-1 mastitis test, somatic cell
count (SCC).

5

RINGKASAN
FITRIAN WINATA. Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji
Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis. Dibimbing oleh MIRNAWATI
BACHRUM SUDARWANTO dan HERWIN PISESTYANI.
Mastitis merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing
yang ditandai dengan perubahan kualitas maupun perubahan produksi susu.
Kasus mastitis terbesar adalah mastitis subklinis, karena pada kejadian mastitis

subklinis tidak ditandai perubahan fisik ambing dan susu sehingga menyulitkan
dalam deteksi. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik deteksi mastitis lebih dini, terutama untuk mastitis subklinis. Deteksi
mastitis subklinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologi dan
penghitungan jumlah sel somatis dalam susu. Pemeriksaan sampel susu untuk
menghitung jumlah sel somatis dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Pemeriksaan secara langsung menggunakan metode Breed dan pemeriksaan tidak
langsung dengan menggunakan uji mastitis IPB-1. Kedua metode tersebut
digunakan untuk mendiagnosa mastitis subklinis. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara penggunaan metode Breed dengan uji mastitis IPB-1
untuk diagnosa mastitis subklinis berdasarkan jumlah sel somatis.
Metode dalam penelitian ini meliputi pengambilan sampel susu di Kawasan
Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor sebanyak 205 sampel dari 54
ekor sapi. Pengambilan sampel disesuaikan dengan jadwal pemerahan di
peternakan. Pengambilan sampel susu dilakukan secara aseptis, dan volume yang
diambil ±10 ml. Pengujian sampel susu dilakukan di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Sampel susu diuji menggunakan metode Breed sebagai golden standard dan uji
mastitis IPB-1. Pengambilan data dengan kuisioner juga dilakukan terhadap

peternak yang diambil sampel susunya. Pengambilan data dengan kuisioner ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang tata laksana peternakan sapi perah
yang diterapkan oleh peternak. Data dianalisis dengan melihat tingkat spesifisitas
dan sensitivitas dari setiap uji berdasarkan pada jumlah sel somatis dengan
menggunakan metode Breed sebagai metode baku uji. Semua data yang
dan pengukuran
diperoleh diolah dan dianalisis menggunakan uji asosiasi
kesesuaian menggunakan uji Kappa.
Berdasarkan hasil penelitian menggunakan metode Breed diperoleh 62
(30.24%) sampel mengandung jumlah sel somatis kurang dari 400 000 sel/ml dan
143 (69.76%) sampel mengandung jumlah sel somatis lebih dari 400 000 sel/ml.
Sebanyak 69.76% dari susu sampel yang diperiksa berasal dari sapi yang sedang
menderita mastitis subklinis. Dari hasil penelitian menggunakan uji mastitis
IPB-1 diperoleh 76 (37.07%) sampel memberikan reaksi negatif mastitis subklinis
dan 129 (62.93%) sampel memberikan reaksi positif dengan perincian 52
(25.37%) sampel memberikan reaksi positif satu (1+), 30 (14.63%) sampel
memberikan reaksi posistif dua (2+) dan 47 (22.93%) sampel memberikan reaksi
positif tiga (3+).

6


Hasil uji mastitis IPB-1 dibandingkan dengan metode Breed untuk melihat
kesesuaian hasil uji. Diperoleh sensitivitas dan spesifisitas uji mastitis IPB-1
masing-masing adalah 85.31% dan 88.71%. Nilai uji Kappa uji mastitis IPB-1
adalah 0.696 yang menunjukkan adanya kesesuaian hasil pengujian yang baik.
Hasil sensitivitas, spesifisitas dan nilai uji Kappa yang baik dari uji mastitis IPB-1
menandakan bahwa uji mastitis IPB-1 merupakan uji yang baik untuk deteksi
mastitis subklinis lebih dini sehingga kejadian mastitis subklinis pada peternakan
sapi perah dapat diketahui dari awal dan tindakan pencegahan dapat dilakukan.
Kata kunci : mastitis subklinis, metode Breed, uji mastitis IPB-1, jumlah sel
somatis (JSS).

8

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED
DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA
MASTITIS SUBKLINIS

FITRIAN WINATA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Hubungan antara
Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis
Subklinis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011

Fitrian Winata
NRP. B04070137

7

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang - Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9


Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok

: Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji
Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis
: Fitrian Winata
: B04070137

Disetujui

Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Bachrum Sudarwanto
Ketua

drh. Herwin Pisestyani, M.Si
Anggota

Mengetahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus :

10

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga skripsi berhasil diselesaikan dengan baik. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Desember 2010 dengan judul Hubungan
antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa
Mastitis Subklinis.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati
Bachrum Sudarwanto dan Ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si selaku pembimbing
yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam penelitian dan penulisan
skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh. Abdul Zahid Ilyas,
M.Si selaku pembimbing akademik. Disamping itu, ucapan terima kasih juga
saya sampaikan kepada bapak Hendra dan bapak Teddy yang telah banyak
membantu pelaksanaan penelitian ini. Terimakasih juga disampaikan kepada
Krisnia Virgihani dan Siska Aryana sebagai teman penelitian dan kepada temanteman Gianuzzi FKH 44.

Penghargaan dan ungkapan terimakasih juga
disampaikan kepada ayah dan ibu tercinta atas doa, dukungan dan kasih
sayangnya serta Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Barat yang telah
membantu dalam penyelesaian studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2011

Fitrian Winata

11

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 7 Mei 1989 dari Ayah
Dadang Irianto dan Ibu Sarien. Penulis merupakan putra kedua dari tiga
bersaudara. Pada tahun 2004 - 2007 penulis menyelesaikan pendidikan di
Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Jebus, Bangka Belitung. Tahun 2007
penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di program studi sarjana
Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Barat.
Studi diselesaikan di Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor,

penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Hubungan antara Penggunaan
Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis”.

12

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………………………........

xi

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………

xii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………

xiii

PENDAHULUAN………...…………………………………………………..

Latar Belakang…………………………………………………………
Tujuan Penelitian ……………...……………………………...……….
Manfaat ………………………………………………………………..

1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………..................
Anatomi dan Fisiologi Ambing ……………...………………………..
Susu ………...……………………………………………………........
Mastitis ………………………………………………………………..
Sel Somatis …….…...…………………………………………………
Pengujian Mastitis Menggunakan IPB-1 dan Breed ……………….....

4
4
5
6
7
8

BAHAN DAN METODE …………………...……………………………….
Tempat dan Waktu Penelitian ………...……………………………….
Bahan dan Alat Penelitian …………...………………………………..
Metode Penelitian ……...……………………………………………...
Sampel Susu ………………………………………………………
Cara Pengambilan Sampel Susu...………...………………………
Pemeriksaan Sampel Susu ………..………………………………
Metode Breed ……..……………………………………………...
Uji IPB-1 …………………………………………………………
Kuisioner ……………………………………………………...…
Analisis data .................................................................................

10
10
10
10
10
10
11
11
12
12
12

HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………
Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan
Cibungbulang berdasarkan Uji Mastitis IPB-1 dan Metode Breed ….
Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Mastitis IPB-1 terhadap Jumlah Sel
Somatis Menggunakan Metode Breed ……...………………………..
Kondisi Peternakan Sapi Perah di Kawasan Usaha Peternakan
(KUNAK) berdasarkan Hasil Kuisioner ……………………………..

14
14
17
18

SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………….

21

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..

22

LAMPIRAN ………………………………………………………………….

25

13

DAFTAR TABEL

Halaman
1.

Komposisi susu (Tyler & Ensminger 1993) ……………………...

6

2.

Pengaruh jumlah sel somatis terhadap produksi susu (Lukman et
al. 2009) …………………………………………………………..

8

Pengaruh jumlah sel somatis terhadap kualitas susu (Tolle et al.
1977, diacu dalam Sudarwanto et al. 1984) ……………………...

8

Hubungan tingkat kekentalan terhadap perkiraan jumlah sel
somatis/ml (Foley et al. 1972) ……………………………………

9

Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis
(Breed) (n=250) …………………………………………………..

14

Nilai minimum, kuartil satu, dua, tiga, dan nilai maksimum dari
jumlah sel somatis yang dihubungkan dengan tingkat reaksi uji
mastitis IPB-1……………………………………………………..

15

Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah
sel somatis ………………………………………………………...

16

Penentuan mastitis subklinis berdasarkan uji mastitis IPB-1 dan
jumlah sel somatis (n=205) ……………………............................

17

Kondisi sanitasi peternakan sapi perah di Kawasan Usaha
Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner ………………

18

10. Manajemen pemerahan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan
(KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner …………………………...

19

3.
4.
5.
6.

7.
8.
9.

14

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1.

Gambar skematik anatomi ambing sapi (DeLaval 2011) ...………...

5

2.

Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah
sel somatis metode Breed ……………………………………..…...

15

15

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1.
2.

Hasil pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan
uji mastitis IPB-1 …………..………………………...………………….

26

Kuisioner pemeriksaan mastitis ……………..…………….…………….

32

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah,
dengan kondisi geografis yang sangat mendukung untuk pertumbuhan hewan
ternak seperti sapi perah. Luas lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk
tanaman rumput seluas 188. 20 juta ha (Mulyani & Las 2008). Lahan seluas itu
dapat mencukupi kebutuhan pakan untuk sapi perah.
Produksi yang mencirikan dari usaha sapi perah adalah susu.

Susu

merupakan bahan pangan yang bermanfaat bagi manusia dan dibutuhkan oleh
hampir semua tingkatan umur terutama bagi balita. Bahan penyusun susu terdiri
dari air, karbohidrat (laktosa), lemak, protein, mineral, dan vitamin. Susu segar
merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh
dengan cara pemerahan yang benar, kandungan alaminya tidak dikurangi atau
ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali
pendinginan (SNI 3141.1:2011, tentang Susu Segar).
Produksi susu untuk setiap jenis sapi perah berbeda-beda dan produksi
tersebut bergantung pada jenis sapi perah, bangsa dan umur sapi, tingkat laktasi,
pakan, penyakit, interval dan waktu pemerahan, serta temperatur lingkungan.
Berdasarkan laporan dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2002), yang diacu
dalam Sugandi et al. (2005) bahwa target produksi harian ternak sapi perah
adalah 15 liter/ekor/hari, sementara dari beberapa peternakan di Kabupaten
Bandung dan Garut diperoleh gambaran rataan produksi susu sapi perah kurang
dari 10 liter/ekor/hari.
Kondisi turunnya produksi susu sapi antara lain diakibatkan infeksi pada
jaringan internal ambing atau yang disebut dengan mastitis (Damron 2003).
Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu mastitis klinis, mastitis subklinis dan mastitis
non-spesifik. Mastitis klinis merupakan peradangan pada ambing yang ditandai
dengan gejala panca radang (merah, bengkak, panas, rasa sakit, fungsiolesa) dan
terjadi perubahan fisik pada susu. Pada mastitis subklinis tidak menampakkan
terjadinya perubahan pada organ interna ambing, namun dapat diketahui dari

2

terjadinya penurunan produksi susu, ditemukannya kuman patogen serta
terjadinya perubahan komponen susu.
Kejadian terbesar dari kasus mastitis adalah mastitis subklinis dengan
tingkat kejadian dapat mencapai 90% dan disertai penurunan produksi susu
hingga 30% (Taylor & Field 2004). Kejadian mastitis subklinis yang tidak segera
ditangani akan berlanjut menjadi mastitis klinis karena merugikan secara
ekonomi,

terjadi

perubahan

komposisi

susu,

penurunan

produksi,

dan

mengakibatkan penyingkiran sapi lebih awal.
Deteksi terhadap kasus mastitis subklinis perlu dilakukan sejak awal,
kondisi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan jumlah sel somatis dalam susu.
Sel somatis merupakan sel yang selalu berdegenerasi dalam tubuh dan selalu ada,
antara lain sel leukosit dan sel epitel.

Keberadaan sel leukosit yang banyak

menandakan telah terjadinya suatu infeksi atau peradangan.

Deteksi mastitis

subklinis yang dilakukan sejak awal merupakan upaya pencegahan dan
pengobatan yang tepat sehingga kejadian mastitis subklinis ini dapat ditangani
lebih awal.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan
metode Breed dengan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis
berdasarkan jumlah sel somatis.
Manfaat
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan manfaat kepada pengurus
Koperasi Pengolah Susu (KPS) di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK)
Cibungbulang, Bogor sebagai pertimbangan untuk dilakukan peningkatan
penyuluhan dan pelatihan kepada peternak sehingga dapat mengurangi kejadian
mastitis subklinis serta pencegahan lebih dini kejadian mastitis subklinis dengan
menerapkan tatalaksana peternakan yang baik.

Penelitian ini juga dapat

digunakan mahasiswa dan pembaca untuk melihat tingkat kejadian mastitis
subklinis di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor, serta
memberikan informasi mengenai hubungan antara penggunaan metode Breed

3

dengan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis berdasarkan jumlah
sel somatis.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi dan Fisiologi Ambing
Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang
terdiri dari empat perempatan kuartir.

Setiap kuartir memiliki satu puting,

keempat perempatan ambing di bagian medial dipisahkan oleh suatu lekuk yang
disebut lekuk longitudinal atau sulcus intermamaria. Pada bagian ujung puting
terdapat saluran pendek yang disebut saluran ujung puting, ductus papillaris atau
streak canal.

Streak canal berperan dalam pengaturan keluarnya susu dan

mencegah masuknya bakteri luar ke dalam ambing (Schalm et al. 1971).
Ambing yang kosong pada sapi yang sedang laktasi memiliki berat
6.5-75.3 kg dengan berat rata-rata 22.7 kg (Subronto 2003). Setiap kuartir sapi
mampu mensekresikan 60% susu, dan ambing sapi akan mencapai berat dan
kapasitas yang maksimal pada sapi berumur enam tahun (Tyler & Ensminger
1993). Struktur pendukung utama ambing adalah kulit, ligamentum suspensorium
mediale, dan ligamentum suspensorium laterale.

Penyangga utama ambing

adalah ligamentum suspensorium laterale et mediale, sedangkan kulit luar hanya
bersifat pelindung daripada sebagai penyangga ambing.

Ambing memiliki

beberapa sistem yang mendukung dalam strukturnya, antara lain terdapat sistem
peredaran darah, limfe, saraf, dan sistem saluran yang berperan dalam
penyimpanan dan sekresi susu ke dalam sel epitel yang disebut juga dengan
alveoli (Foley et al. 1972).
Produksi susu pada sapi tergantung pada aktifitas alveoli. Masing-masing
alveol ini dihubungkan oleh pembuluh darah kapiler yang membawa nutrisi
sebagai bahan pembawa susu dan sensitif terhadap hormon oksitosin. Oksitosin
disekresikan ke dalam darah, maka akan timbul kontraksi sel otot yang mampu
merangsang untuk ekskresi susu.

5

Gambar 1 Gambar skematik anatomi ambing sapi (DeLaval 2011).

Susu
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 3141.1:2011 tentang Susu Segar,
susu didefinisikan sebagai cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih
yang diperoleh dengan cara pemerahan benar, yang kandungan alamiahnya tidak
dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun
kecuali pendinginan. Bagian terbesar susu adalah air. Air dalam susu diperoleh
langsung dari cairan dalam darah melalui suatu proses selektif permeabel oleh sel
epitel selapis alveolus. Faktor fisiologis yang mampu mempengaruhi jumlah dan
komposisi susu antara lain; bangsa dan genetik, periode laktasi, keberadaan folikel
yang tidak ovulasi, estrus, kebuntingan, jarak kelahiran, pengeluaran susu yang
pertama dan terakhir, usia, dan ukuran ambing (Diggins & Bundy 1961;
Ensminger 1991). Komposisi kimia susu diperlihatkan dalam Tabel 1.

6

Tabel 1 Komposisi susu (Tyler & Ensminger 1993)
Bahan penyusun
Jumlah (%) Variasi normal
87.2
82.4-90.7
Air
3.7
2.5-6
Lemak
9.1
6.8-11.6
Bahan kering tanpa
lemak
3.5
2.7-4.8
Protein
2.8
2.3-4
Kasein
0.7
0.4-0.8
Laktalbumins dan
Laktoglobulins
4.9
3.5-6
Laktosa
0.7
0.6-0.8
Mineral
12.8
9.3-17.6
Bahan kering

Mastitis
Mastitis merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing
yang dapat ditandai dengan perubahan kualitas maupun perubahan produksi susu
(Tyler & Ensminger 1993). Mastitis merupakan reaksi peradangan pada jaringan
ambing terhadap infeksi bakteri, kimia, panas, ataupun karena perlukaan (Schmidt
et al. 1988). Respon peradangan ditandai dengan peningkatan protein darah dan
sel darah putih pada jaringan ambing dan susu. Tujuan dari peradangan adalah
untuk netralisasi terhadap penyebab iritasi, perbaikan jaringan yang rusak, dan
pengembalian fungsi normal ambing (Foley et al. 1972).
Susu pada sapi yang menderita mastitis akan mengalami perubahan secara
fisik dan kimia. Perubahan secara fisik antara lain terjadinya perubahan warna,
bau, rasa, dan konsistensi. Perubahan secara kimiawi meliputi penurunan jumlah
kasein dan laktosa (Subronto 2003). Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu mastitis
klinis, mastitis subklinis dan mastitis non-spesifik (Sudarwanto 1999). Mastitis
klinis dapat ditandai dengan terjadinya perubahan kualitas susu dan ditemukan
reaksi peradangan pada ambing berupa panas, merah, bengkak, fungsi abnormal,
serta timbul rasa sakit bila dipalpasi.

Keadaan ini berbeda dengan kejadian

mastitis subklinis yang tanpa adanya perubahan secara fisik pada eksternal
ambing. Perubahan yang terjadi hanya dapat ditemukan pada jaringan interna
ambing. Susu mengalami perubahan berupa perubahan kualitas dan kuantitas

7

serta ditemukannya kuman patogen pada susu. Mastitis non-spesifik merupakan
kejadian mastitis yang dapat diakibatkan oleh trauma pada ambing.
Kejadian terbesar dari kasus mastitis adalah mastitis subklinis, karena pada
kejadian mastitis subklinis tidak ditandai dengan perubahan fisik ambing sehingga
menyulitkan dalam deteksi. Kejadian mastitis dapat disebabkan karena kausa
infeksius dan non-infeksius. Kausa infeksius disebabkan oleh mikroorganisme
patogen masuk melalui saluran puting susu ke dalam kelenjar ambing. Kausa
non-infeksius berkaitan dengan kondisi hewan/ternak dan kondisi lingkungan.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan mastitis antara lain; terjadinya penurunan
produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan kualitas susu yang
mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% dan penurunan kualitas hasil
olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran
ternak lebih awal (Sudarwanto & Sudarnika 2008a).

Sel Somatis
Sel somatis merupakan kumpulan sel yang terdiri dari sel epitel, sel
neutrofil, eosinofil, limfosit, eritrosit, sel plasma, colostrum corpuscle.
Keberadaan sel somatis dalam susu dapat dijadikan indikator dalam penilaian
kualitas susu segar. Normalnya sel somatis dapat ditemukan dalam susu segar
dalam batasan tertentu.

Sel somatis dapat dijadikan penilaian kualitas susu.

Peningkatan jumlah sel somatis dapat menandakan telah terjadinya infeksi pada
ambing.
Sel leukosit termasuk kedalam sel somatis, berperan dalam pertahanan
tubuh untuk menyerang agen dari luar. Keberadaan leukosit yang tinggi pada
susu menandakan telah terjadinya peradangan ataupun infeksi pada ambing.
Keberadaan sel somatis dapat menentukan produksi dan kualitas susu, jumlah sel
somatis yang tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan
kualitas susu. Jumlah sel somatis yang meningkat menyebabkan kualitas produk
susu menjadi menurun sebagai akibat dari aktifitas enzimatis, yaitu protease dan
lipase. Aktifitas enzimatis menyebabkan penurunan produk keju, menurunnya
daya tahan susu pasteurisasi, perubahan produksi asam pada produk-produk susu
fermentasi, produk mentega menjadi tengik dan adanya perubahan rasa pada

8

sebagian produk olahan (Lukman et al. 2009). Hubungan keberadaan jumlah sel
somatis terhadap produksi dan kualitas susu diperlihatkan dalam Tabel 2 dan 3.
Tabel 2 Pengaruh jumlah sel somatis terhadap produksi susu (Lukman et al.
2009)
Jumlah sel somatis/ml
5 × 10³ - 1 × 106
1 × 106 – 5 × 106
> 5 × 106

Penurunan produksi susu
10%
24.6%
37.5%

Tabel 3 Pengaruh jumlah sel somatis terhadap kualitas susu (Tolle et al. 1977,
diacu dalam Sudarwanto et al. 1984)
Jumlah sel somatis/ml
< 1.25 × 105
1.25 × 105 – 2.5 × 105
2.5 × 105 – 3.75 × 105
3.75 × 105 – 5 × 105
> 5 × 105

Penilaian
Baik sekali
Baik
Cukup
Kurang
Jelek

Pengujian Mastitis Menggunakan Uji Mastitis IPB-1 dan Breed
Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik deteksi
mastitis lebih dini, terutama untuk mastitis subklinis (Sudarwanto 1998). Deteksi
mastitis

subklinis

dilakukan

melalui

pemeriksaan

mikrobiologik

dan

penghitungan jumlah sel somatis dalam susu. Sel somatis dapat dihitung dengan
menggunakan metode Breed yaitu dengan menghitung secara langsung jumlah sel
somatis.

Secara tidak langsung sel somatis dapat dihitung berdasarkan pada

intensitas reaksi, metode yang sering dipakai antara lain Aulendorfer Mastitis
Probe (AMP), California Mastitis Test (CMT), Milk Quality Test (MQT),
Michigan Mastitis Test (MMT), Whiteside Test (WST) (Foley et al. 1972;
Sudarwanto 1998). Sudarwanto (1993) melakukan pengembangan lebih lanjut
dari pereaksi AMP dan pengembangan ini menghasilkan uji mastitis IPB-1.
Prinsip kerja uji mastitis IPB-1 berdasarkan pada reaksi reagen yang berikatan
dengan inti DNA dari sel somatis sehingga terbentuk masa kental seperti gelatin.
Masa yang terbentuk semakin kental maka makin tinggi tingkat reaksinya dan
makin tinggi jumlah sel somatis dalam susu. Penelitian Sudarwanto (1993) dan
penelitian Sukada (1996) yang menggunakan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa
mastitis subklinis, ternyata uji mastitis IPB-1 memiliki spesifisitas dan sensitivitas

9

yang tinggi untuk mendiagnosa mastitis subklinis, mudah pengerjaannya dan
murah harganya. Kelemahan pereaksi yang digunakan untuk mendeteksi mastitis
subklinis memiliki pH yang tidak stabil, perubahan pH menyebabkan pereaksi
tidak bekerja secara optimal (Sudarwanto & Sudarnika 2008a).
Kelebihan pengujian secara tidak langsung diantaranya adalah hasil lebih
cepat diperoleh dengan tenaga dan waktu yang lebih sedikit. Pengujian secara
tidak langsung sangat baik untuk pemeriksaan contoh susu dalam jumlah besar
dan pemeriksaan teratur di lapangan (Sukada 1996).

Kelemahannya adalah

jumlah sel somatis yang didapatkan hanyalah dugaan dan dapat dikatakan sebagai
diagnosa pendahuluan (Sudarwanto 1982). Pemeriksaan secara tidak langsung
pada susu sapi yang diduga terinfeksi mastitis dapat diukur berdasarkan pada
tingkat kekentalan bahan pereaksi setelah dicampur dengan susu.
kekentalan menunjukkan tingkat keparahan infeksi pada ambing.

Tingkat
Hubungan

tingkat kekentalan pereaksi terhadap susu dengan jumlah sel somatis diperlihatkan
dalam Tabel 4.
Tabel 4 Hubungan tingkat kekentalan terhadap perkiraan jumlah sel somatis/ml
(Foley et al. 1972)
Nilai
Negatif
1
2
3
4

Deskripsi reaksi
Tidak ada gel
Gel yang terbentuk sangat tipis
Gel yang terbentuk agak tebal
Gel yang terbentuk tebal
Gel yang terbentuk sangat kental

Perkiraan jumlah sel/ml
< 2 × 105
5 × 105
1.5 × 105
5 × 106
>5 × 106

10

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian berlangsung dari bulan Oktober sampai Desember 2010.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel susu kuartir
berjumlah 205 sampel yang berasal dari 54 ekor sapi perah dalam periode laktasi
normal, alkohol 70%, alkohol 96%, eter alkohol, larutan methylen blue Löeffler,
Pereaksi IPB-1 dan minyak emersi. Alat yang digunakan dalam penelitian antara
lain tabung sampel susu, pipet Breed 0.1 ml, kertas cetakan Breed seluas

1×1

cm2, gelas objek, ose siku, mikroskop, paddle, pemanas Bunsen, kapas dan kertas
tisu, cool box, ice box, dan rak tabung sampel.

Metode Penelitian
Sampel Susu
Sampel susu yang digunakan dalam penelitian merupakan sampel susu
kuartir.

Pengambilan sampel disesuaikan dengan jadwal pemerahan di

peternakan. Sampel susu yang diambil dari sapi laktasi yang berada di area
Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor. Jumlah sampel
ditentukan dengan metode purposif, dimana jumlah dan jenis sampel ditentukan
oleh peneliti berdasarkan pada kondisi peternakan. Jumlah sampel yang diambil
sebanyak 205 sampel yang berasal dari 54 ekor sapi perah dalam periode laktasi
normal.

Cara Pengambilan Sampel Susu

11

Pengambilan sampel susu dilakukan secara aseptis dengan cara seluruh
permukaan ambing sapi dibersihkan menggunakan lap yang telah direndam
larutan NaClO 1.5 - 2 ppm.

Kertas tisu digunakan untuk mengeringkan

permukaan ambing kemudian bagian puting dibersihkan menggunakan kapas
yang telah dibasahi alkohol 70%. Sampel susu kuartir diambil setelah proses
pembersihan puting selesai. Sampel susu dimasukkan ke dalam tabung sampel
sebanyak ±10 ml.

Pemeriksaan Sampel Susu
Pemeriksaan jumlah sel somatis dalam susu dilakukan secara langsung dan
tidak langsung.

Pemeriksaan secara langsung dengan menggunakan metode

Breed dan pemeriksaan tidak langsung dengan menggunakan uji mastitis IPB-1.
Kedua metode tersebut digunakan untuk mendiagnosa mastitis subklinis.

Metode Breed
Metode Breed yang digunakan mengacu pada Sudarwanto (2009). Gelas
objek dibersihkan menggunakan larutan eter alkohol dan diletakkan diatas kertas
cetakan atau pola bujur sangkar seluas 1 x 1 cm2 (kertas Breed).

Susu

dihomogenkan terlebih dahulu, kemudian pipet susu dengan pipet Breed dan
diteteskan sebanyak 0.01 ml susu tepat di atas kotak 1 cm2. Sampel susu di atas
permukaan seluas 1 cm2 disebar menggunakan kawat ose berujung siku. Gelas
objek dikering udarakan selama 5-10 menit selanjutnya difiksasi dengan nyala api
bunsen.
Pewarnaan Breed dilakukan dengan cara gelas objek direndam dalam
larutan eter alkohol selama 2 menit.

Gelas objek diwarnai dengan cara

dimasukkan ke dalam larutan methylen blue Löeffler selama 1-2 menit. Gelas
objek dimasukkan ke dalam larutan alkohol 96%, setelah proses pewarnaan
selesai preparat dikeringkan.
Penghitungan jumlah sel somatis dilakukan setelah preparat kering dengan
menggunakan mikroskop (100X) dan diteteskan minyak emersi pada permukaan
kotak yang diwarnai.

Jumlah sel somatis dihitung dengan menggunakan 10

lapang pandang kemudian dijumlah dan dibagi dengan jumlah lapang pandang

12

yang digunakan untuk mendapatkan rata-rata jumlah sel somatis. Luas lapang
penglihatan dihitung dengan cara menghitung diameter lapang penglihatan dari
mikroskop yang digunakan dengan rumus:

2

.

Sebanyak 0.01 ml susu

disebarkan pada bidang lapang pandang 1 cm2, maka jumlah sel somatis pada luas
lapang pandang penglihatan adalah

× 0.01 ml (SNI 01-2782-1998/Rev. 1992-

tentang Penghitungan Jumlah Sel Somatis).
Penghitungan dengan menggunakan rumus dilakukan setelah diperoleh ratarata jumlah sel somatis:
jumlah sel somatis = rataan jumlah sel somatis x 400 000 (faktor mikroskop).

Uji IPB-1
Metode uji mastitis IPB-1 yang digunakan mengacu pada Sudarwanto
(2009). Sebanyak 2 ml sampel susu dimasukkan ke dalam paddle, ditambahkan
2 ml pereaksi IPB-1.

Campuran tersebut dihomogenkan selama 15-20 detik

dengan cara memutar paddle secara horizontal dan hati-hati.

Hasil dibaca

berdasarkan perubahan kekentalan yang terjadi; negatif (-) tetap homogen, positif
(+,++,+++) terbentuk lendir/kental.

Kuisioner
Pengisian kuisioner dilakukan terhadap peternak yang dikunjungi dan
diambil sampelnya. Pertanyaan yang diajukan kepada peternak berjumlah tujuh,
dua pertanyaan berkaitan dengan manajemen pemeliharaan ternak dan lima
pertanyaan berkaitan dengan manajemen pemerahan. Data kuisioner digunakan
untuk mendapatkan informasi tentang tata laksana peternakan sapi perah yang
dijalankan oleh peternak. Data kuisioner juga digunakan sebagai data pendukung
terhadap kejadian mastitis subklinis di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK)
Cibungbulang, Bogor.

Analisis Data
Data dianalisis dengan melihat tingkat spesifisitas dan sensitivitas dari
setiap uji berdasarkan pada jumlah sel somatis dengan menggunakan metode
Breed sebagai metode uji baku. Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisis

13

menggunakan uji asosiasi

, pengukuran kesesuaian menggunakan uji Kappa.

Hasil kuisioner yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk melihat tingkat
kejadian

mastitis

subklinis

Cibungbulang, Bogor.

di

Kawasan

Usaha

Peternakan

(KUNAK)

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu kuartir yang berasal dari
Kawasan

Usaha

Peternakan

(KUNAK)

yang

berlokasi

di

Kecamatan

Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel yang digunakan berjumlah 205
sampel yang berasal dari 54 ekor sapi.

Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan
Cibungbulang berdasarkan Uji Mastitis IPB-1 dan Metode Breed
Menurut data International Dairy Federation (IDF) (1999) bahwa sapi yang
menderita mastitis subklinis memiliki jumlah sel somatis lebih dari 400 000 sel/ml
ditemukan bakteri patogen, serta berada pada laktasi normal. Berdasarkan hasil
penelitian diperoleh 62 (30.24%) sampel mengandung jumlah sel somatis kurang
dari 400 000 sel/ml dan 143 (69.76%) sampel mengandung jumlah sel somatis
lebih dari 400 000 sel/ml.
Berdasarkan hasil penelitian menggunakan uji mastitis IPB-1 diperoleh 76
(37.07%) sampel memberikan reaksi negatif mastitis subklinis dan 129 (62.93%)
sampel memberikan reaksi positif dengan perincian 52 (25.37%) sampel
memberikan reaksi positif satu (1+), 30 (14.63%) sampel memberikan reaksi
posistif dua (2+) dan 47 (22.93%) sampel memberikan reaksi positif tiga (3+).
Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dapat dihubungkan dengan metode Breed
berdasarkan pada pengelompokkan batas jumlah sel somatis. Hubungan jumlah
tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis dapat ditunjukkan pada
Tabel 5.

Tabel 5 Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis (Breed)
(n=205)
Tingkat reaksi
+
++
+++

IPB-1
76
52
30
47

Breed
40 000 – 4 633 333
160 000 – 4 120 000
560 000 – 11 840 000
1 080 000 – 34 400 000

15

Tabel 6 Nilai minimum, kuartil satu, dua, tiga, dan nilai maksimum dari jumlah
sel somatis yang dihubungkan dengan tingkat reaksi uji mastitis IPB-1
IPB-1
+
++
+++

Minimum
40 000
160 000
560 000
1 080 000

Q1
120 000
520 000
1 126 666 5
2 160 000

Sel somatis/ml
Q2
200 000
720 000
1 840 000
3 640 000

Q3
410 000
1 010 000
2 766 000
5 260 000

Maksimum
4 633 333
4 120 000
11 840 000
34 400 000

Pada Tabel 6 terlihat hubungan antara uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel
somatis yang dihitung menggunakan metode Breed. Pada hasil uji mastitis IPB-1
negatif (-) diperoleh nilai kuartil kedua sebesar 200 000, sedangkan pada positif
satu (1+), positif dua (2+), dan positif tiga (3+) diperoleh nilai kuartil kedua
masing-masing sebesar 720 000, 1 840 000, dan 3 640 000. Peningkatan nilai
kuartil kedua menandakan bahwa peningkatan reaksi pada uji mastitis IPB-1
diikuti dengan peningkatan jumlah sel somatis. Dari grafik boxplot dapat dilihat
bahwa tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 berbanding lurus terhadap jumlah sel

Jumlah sel somatis

somatis yang dihitung menggunakan metode Breed (Gambar 1).

Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1

Gambar 2

16

Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel
somatis metode Breed.
Tabel 7 Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel
somatis
Metode Breed
Jumlah sel somatis (x1
000)
0-250
251-500
501-750
751-1 000
1 001-5 000
>5 000
jumlah

Pemeriksaan menggunakan uji mastitis IPB-1
+
++
+++
45
21
6
2
2
0
76

2
9
18
10
13
0
52

0
0
1
3
22
4
30

0
0
0
0
33
14
47

Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis
metode Breed ditunjukkan pada Tabel 7 dengan pengelompokkan batas jumlah sel
somatis mengacu pada Sudarwanto (1998). Hasil uji mastitis IPB-1 yang
menunjukkan reaksi negatif (-) terdapat

pada rentang jumlah sel somatis

0-250 000 sebanyak 45 (59.21%) sampel dan 21 (27.63%) sampel berada pada
rentang 251 000-500 000, hal ini menunjukkan bahwa uji mastitis IPB-1 dapat
memberikan hasil reaksi negatif (-) pada sapi yang tidak menderita mastitis
subklinis. Berdasarkan IDF (1999) jumlah sel somatis kurang dari 400 000
sel/ml maka susu tersebut bukan berasal dari sapi yang menderita mastitis
subklinis. Pada reaksi positif satu (1+) diperoleh hasil 18 (34.62%) sampel berada
pada rentang nilai 501 000-750 000. Pada reaksi positif dua (2+) dan positif tiga
(3+) diperoleh hasil 22 (73.33%) sampel dan 33 (70.21%) sampel berada pada
rentang nilai 1 001 000-5 000 000. Hasil reaksi positif dua (2+) dan positif tiga
(3+) berada pada rentang nilai yang sama, tetapi pada reaksi positif tiga (3+)
masih ditemukan 14 (29.79%)

sampel pada rentang >5 000 000.

Hal ini

memperlihatkan bahwa uji mastitis IPB-1 dapat mendiagnosa mastitis subklinis
dengan tingkat jumlah sel somatis hingga >5 000 000.
Uji mastitis IPB-1 merupakan uji semi kuantitatif, karena semakin tinggi
intensitas reaksi yang dihasilkan menggunakan pereaksi IPB-1 diikuti dengan
peningkatan jumlah sel somatis pada susu yang berasal dari sapi yang menderita
mastitis subklinis. Reagen uji mastitis IPB-1 akan berikatan dengan inti DNA
dari sel somatis sehingga terbentuk masa kental, masa yang terbentuk semakin

17

kental maka makin tinggi tingkat reaksinya dan makin tinggi jumlah sel somatis
dalam susu (Sudarwanto 1993).
Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Mastitis IPB-1 terhadap Jumlah Sel Somatis
Menggunakan Metode Breed
Pengukuran sensitivitas dan spesifisitas uji mastitis IPB-1 sampel susu
dilakukan dengan membandingkan hasil uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel
somatis (Breed) sebagai uji baku (golden standard).

Berdasarkan Tabel 8,

sebanyak 129 (62.9%) sampel berasal dari kuartir sapi yang menderita mastitis
subklinis dan 76 (37.1%) sampel memperlihatkan reaksi negatif (-) dengan
menggunakan uji mastitis IPB-1. Perhitungan jumlah sel somatis secara langsung
menggunakan metode Breed (golden standard) diperoleh 143 (69.8%) sampel
berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis dan 62 (30.2%) sampel
memperlihatkan hasil reaksi negatif (-).

Tabel 8 Penentuan mastitis subklinis berdasarkan uji mastitis IPB-1 dan jumlah
sel somatis (n=205)
IPB-1

Jumlah sel somatis (JSS)
+ (≥4×
sel/ml)
- (≤4×
sel/ml)
122 (59.5%)
7 (3.4%)
+
21 (10.24%)
55 (26.8%)
143 (69.8%)
62 (30.2%)
Jumlah
= 101.587(signifikan pada tingkat kepercayaan 95%)
Sensitivitas = 85.31%
Spesifisitas = 88.71%
Predictive value :
Positif Uji = 11.29%
Negatif Uji = 14.69%
Measure of agreement Kappa = 0.696

Jumlah
129 (62.9%)
76 (37.1%)
205 (100%)

Uji mastitis IPB-1 menunjukkan hasil pengujian yang hampir sama dengan
jumlah sel somatis (Breed) yang bisa dilihat dari nilai sensitivitasnya yang tinggi,
yaitu sebesar 85.31% dan nilai spesifisitasnya sebesar 88.71%. Uji sensitivitas
menunjukkan kemampuan uji mastitis IPB-1 untuk memperlihatkan hasil positif
pada sapi yang menderita mastitis subklinis. Uji mastitis IPB-1 yang makin
sensitif maka mampu mendeteksi mastitis subklinis meskipun jumlah sel somatis
masih sangat rendah dalam susu. Uji spesifisitas menunjukkan kemampuan uji
mastitis IPB-1 untuk memperlihatkan hasil yang negatif pada sapi yang tidak

18

menderita mastitis subklinis. Semakin spesifik suatu uji maka uji tersebut hanya
mampu mendeteksi agen tertentu saja.
Uji Kappa merupakan uji untuk menilai reliabilitas atau kesesuaian
berdasarkan pada skala kategorikal. Hasil uji Kappa menunjukkan nilai 0.696,
yang artinya uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis (metode Breed) memiliki
kesesuaian yang baik diantara kedua uji tersebut. Fleiss (1981), yang diacu
dalam Goldstein (2011) memberi nilai Kappa sebagai berikut: > 0.75 berarti ada
kesesuaian yang sangat baik (excellent), 0.4-0.75 berarti ada kesesuaian yang baik
(fair to good), < 0.4 berarti kesesuaian yang jelek (poor).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarwanto dan Sudarnika (2008b)
diperoleh nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 91.7% dan
96.8% serta nilai uji Kappa sebesar 0.874. Hasil nilai uji yang berbeda terkait
dengan jumlah sampel yang diuji dan teknik pengujian yang berbeda. Semua uji
kualitatif merupakan uji yang dilakukan langsung di kandang, sementara pada
penelitian ini pengujian susu dilakukan di laboratorium dan dengan kondisi susu
sampel relatif dingin. Kondisi susu sampel yang relatif dingin mengakibatkan
penggumpalan lemak susu sehingga akan mempengaruhi dalam pemeriksaan.

Kondisi Peternakan Sapi Perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK)
berdasarkan Hasil Kuisioner
Kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah dapat disebabkan
karena kondisi sanitasi kandang dan tata laksana pemerahan yang dijalankan oleh
peternak masih kurang baik. Berdasarkan hasil kuisioner seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 9 diperoleh 42.86% peternak yang membersihkan kandangnya
sebanyak tiga kali sehari, sisanya 57.13% membersihkan kandangnya dua kali
sehari.

Tabel 9

Kondisi sanitasi peternakan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan
(KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner

No Variabel
1. Frekuensi pembersihan kandang (hari)
2.

Jarak pembuangan limbah dari kandang

Deskripsi
2x
3x