G
P L
A N
L O
BULETIN
Halaman
20
Analisis Simulasi Tekanan Internasional
Oleh: Bambang Widyantoro
Tujuan paper ini adalah untuk menganalisis tekanan internasional berupa aksi boikot ekspor pulp dan kertas Indonesia. Dengan menggunakan analisis ekonometrik persamaan simultan. Model disusun dengan 40 persamaan, diolah dengan SAS metode 2-SLS.
Hasilnya, industri pulp Indonesia akan defisit sekitar Rp300 miliar per tahun. Devisa pulp dan kertas turun rata-rata US83 juta, provisi dan pajak juga turun Rp120 miliar per tahun. Produsen BBS dan kertas masih mendapatkan surplus. Secara keseluruhan tidak menurunkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Untuk menghindari aksi boikot, Indonesia perlu berbenah dalam pengelolaan hutan, kilangpulp dan kertas. Sudah saatnya diperlukan sertifikasi yang mencerminkan adanya kelola ekonomi, sosial dan lingkungan.
I. Pendahuluan
II. Metoda
III. Hasil-hasil Kajian
3.1. Perubahan dalam Sektor Bahan Baku Serpih
Indonesia saat ini berturut-turut menempati posisi ke-9 dan ke-12 sebagai negara pengekspor pulp dan kertas terbesar dunia. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata ekspor pulp dan kertas mencapai berturut-turut sebesar 1.6 juta ton dan 1.7 juta ton
APPI, 2005 Negara pengimpor pulp Indonesia terbesar adalah China, disusul Jepang dan Korea Selatan. Industri pulp dan kertas Indonesia akan menjadi andalan ekspor di masa mendatang Ibnusantoso, 1999. Namun, hingga saat ini terdapat
ganjalan adanya isu boikot ekspor pulp dan kertas yang dimotori oleh Jepang, negara-negara Eropa dan Amerika Utara ADB, 2000. Perkembangan kini bahwa negara-negara Amerika Utara sedang mengalami penurunan yang drastis akibat kurangnya
ketersediaan BBS untuk input kilangpulp.
Ancaman boikot bisa saja menjadi kenyataan yang akhirnya akan merugikan industri pulp dan kertas Indonesia. Masalah ini harus diantisipasi oleh perusahaan-perusahaan dan Pemerintah agar tidak memperoleh dampak negatif.
Kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan akan dianalisa dengan menggunakan ekonometrik. Analisa selanjutnya adalah pada perubahan-perubahan ukuran kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia, meliputi perubahan-perubahan terhadap
surplus produsen dan surplus konsumen. Perubahan lainnya juga diukur terhadap penerimaan negara devisa, provisi
sumberdaya hutan PSDH dan pajak-pajak pemerintah.
Data seri diperoleh dari berbagai sumber, seperti BPS, Departemen Kehutanan dan FAO, sejak tahun 1984-2005 selama 22 tahun. Metoda analisa yang digunakan adalah ekonometrik dengan persamaan dinamis dan simultan. Terdapat 40
persamaan struktural yang terdiri dari 25 persamaan perilaku,10 persamaan identitas, 5 persamaan instrumen kebijakan. Pengolahan data dengan menggunakan
2-SLS untuk mengurangi bias nilai residualnya Sinaga, 1985. Program software SAS
digunakan untuk mempermudah operasi pengolahan data. Hipotesis diuji dengan uji statistik yang meliputi uji heteroskedastisitas, multikolinieritas, auto-korelasi dan bentuk fungsi
persamaan-persamaan dalam konstruksi model Koutsoyiannis, 1977. Untuk menganalisis perubahan kesejahteraan digunakan analisis surplus produsen dan konsumen setiap sektor.
Perubahan diukur menurut naik-turunnya indikator tersebut dibanding dengan nilai dasar sebelum dilakukan simulasi. Hasilnya dituangkan dalam tabel-tabel yang merupakan hasil kajian setiap sektor dan produk pulp dan kertas.
Jika aksi boikot ekspor pulp bubur kertas Indonesia yang dimotori oleh Jepang benar-benar terjadi, maka Indonesia akan merugi
: surplus produsen dan penerimaan total industri pulp menurun berturut-turut sebesar Rp302 miliar dan Rp710 miliar per tahun. Jumlah ini mewakili transfer pendapatan implisit dari konsumen bahan baku serpih pengolah domestik
terhadap produsen bahan baku serpih perusahaan atau HTI-pulp.
Tidak saja industri pulp yang terkena dampak negatif dari aksi boikot tersebut, namun juga penerimaan negara berupa devisa yang berasal dari ekspor pulp dan pajakprovisi sumberdaya hutan turun berturut-turut sekitar US12.35 juta = Rp110
miliar, kurs 1 US = Rp9000,- dan Rp120.31 miliar per tahun. Sektor BBS dan kertas masih memperoleh surplus, hanya karena konsumsi domestik BBS dan kertas yang meningkat.
Dampak negatif terbesar tampaknya pada industri pulp. Di Indonesia terdapat 10 unit kilangpulp dengan kapasitas produksi yang bervariasi, yaitu antara 40 ribu ton hingga 1 juta ton pulp per tahun. Jadi, rata-rata setiap perusahaan pulp di
Indonesia akan menderita penurunan surplus produsen dan penerimaan total berturut-turut Rp30 miliar dan Rp70 miliar. Jika nilai ini 1 saja dapat ditransfer ke unit HTI-pulp sebagai sumber bahan-bakunya, maka hanya Rp300 juta untuk menghindari
kemungkinan aksi boikot tersebut. Kerugian ini tidak main-main karena andalan ekspor hasil olah kayu kecil dari Indonesia di masa depan tertumpu pada komoditas ini.
Pemboikotan tersebut tidak merubah Indonesia dalam memproduksi bahan baku serpih dari HTI-pulp dan HA, bahkan naik, yaitu pada produksi rata-rata 15.5 juta ton, walaupun harga bahan baku serpih mencapai US30ton f.o.b dan sejumlah
produksi ini disuplai untuk kilangpulp. two-stage least squares
Statistical Analysis System
losses small logs
G P
L O
Halaman
21
Perubahan pada kuantitas BBS yang diproduksi tidak menyebabkan perubahan konsumsi BBS untuk kilangpulp, yaitu sebesar 14.8 juta ton, namun untuk penggunaan lain naik menjadi 700 ribu ton 2.75. Pemboikotan mengakibatkan perubahan
kebijakan produksi dan suplai di dalam negeri karena kebutuhan akan pulp dan kertas domestik relatif besar dan belum seluruhnya dapat dipenuhi, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Perubahan yang ada adalah menurunkan produksi pulp menjadi sebesar 4.5 juta ton 7.1. Ini disebabkan terutama oleh keterpaksaan perusahaan untuk menurunkan produksi pulp yang sebagian besar diekspor. Di lain pihak, produksi kertas
naik menjadi sebesar 6.4 juta ton 21.25 karena tuntutan pabrik yang harus tetap berproduksi. Tambahan pulp sebagai input, terutama dari impor pulp meningkat menjadi 2.1 juta ton 167.92 dan impor kertas bekas turun menjadi 1.58 juta ton 3.70.
Volume suplai pulp dalam pasar domestik turun menjadi 2.7 juta ton 10.10 dan ekspor pulp dari Indonesia turun sedikit, yaitu menjadi sebesar 1.5 juta ton ton 2.57. Di lain pihak, suplai kertas dalam pasar domestik tetap, yaitu 4.8 juta ton
dan ekspor kertas dari Indonesia turun, yaitu menjadi 1.6 juta ton ton 9.87. Hasil-hasil tersebut memberikan sinyal yang kuat bahwa dengan adanya pemboikotan, maka baik suplai pulp maupun kertas lebih ditujukan untuk pasar domestik.
Tabel 1. Perubahan Rata-rata yang Disebabkan oleh Pemboikotan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia, Tahun Simulasi 1995-2005
3.2. Perubahan dalam Sektor Pulp dan Kertas
Tabel 2. Perubahan Rata-rata pada Surplus Produsen, Penerimaan Total, Penerimaan Pemerintah, Dan Devisa akibat Pemboikotan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia, Tahun Simulasi 1995-2005.
Tabel 3. Perubahan Rata-rata dalam Surplus Konsumen dan Pengeluaran Konsumen akibat Pemboikotan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia, Tahun Simulasi 1995-2005
PRODUK U R A I A N
Unit BBS
Pulp Kertas
Bekas Kertas
Harga ekspor USton 454
680 Harga domestik 1000 Rpton
279 3 520
50 5 570
Intervensi harga Domestik 30
-5 -12
Produksi 1000 ton 15 500
4 500 1 650
6 408 Kuantitas ekspor 1000 ton
1 120 1 610
Suplai domestik 1000 ton 15 500
2 380 1 650
3 798 Konsumsi 1000 ton
Kilangpulp Kilangkertas
Lainnya Akhir
14 800 700
2 380 4 230
840 2 958
Impor 1000 ton 2 130
1 580
PERUBAHAN DALAM Surplus
Produsen Penerimaan
Total Penerimaan
Provisi dan Pajak
Penerimaan Devisa
PRODUK ----------------- Miliar Rp ---------------
Juta US Bahan Baku Serpih
891.38 693.49
120.31 Pulp
-302.55 -710.95
-61.19 -12.35
Kertas 48.31
851.86 385.19
-71.63 Kertas Bekas
-5.75 -2.79
-0.08 J u m l a h
631.39 831.61
404.22 -83.98
PERUBAHAN DALAM Surplus
Konsumen Pengeluaran
Konsumsi PRODUK
----------------- Miliar Rp ---------------- BBS untuk kilangpulp
-661.26 665.38
Pulp untuk kilangkertas 173.75
1 514.70 Kertas
21.65 -543.09
Kertas Bekas untuk kilang-kertas -3.18
-1.48 J u m l a h
-469.04 2 721.70
G
P L
A N
L O
BULETIN
Halaman
22
3.3. Perubahan Harga
3.4. Provisi Sumberdaya Hutan dan Pajak
3.5. Perolehan Devisa
3.6. Manfaat dan Kerugian
I 4.1.
Kesimpulan
Harga ekspor pulp dan kertas turun tajam, yaitu menjadi berturut-turut sebesar sekitar US454ton dan US680ton, karena bergesernya suplai ekspor pulp dan kertas Indonesia. Dalam pasar domestik, harga pulp turun hampir sebesar Rp120
000ton sebagai akibat perluasan atau ekspansi dalam suplai pulp yang diikuti oleh kontraksi permintaan pulp. Konsekuensinya adalah dengan meningkatkan konsumsi pulp sebesar 1.4 juta ton 41.63, atau menjadi 2 380 ribu ton. Harga kertas domestik
naik sebesar Rp15 000ton, hal ini diakibatkan oleh adanya pergeseranekspansi permintaan kertas domestik. Konsekuensinya adalah dengan meningkatkan konsumsi kertas rata-rata sebesar 520 ribu ton, sehingga konsumsi kertas naik menjadi sebesar 2
958 ribu ton 15.9.
Seperti halnya pada pasar BBS, perubahan harga pulp dalam pasar domestik dan dunia direfleksikan oleh kenaikan dalam tingkat intervensi harga sekitar Rp120 000ton. Turunnya harga ekspor pulp yang diukur dalam nilai uang domestik tidak
secara penuh dikompensasikan oleh tingkat intervensi dalam pasar pulp seperti yang diindikasikan oleh turunnya harga pulp domestik. Turunnya harga ekspor kertas yang diukur dalam nilai uang domestik dikompensasikan dengan kenaikan konsumsi
domestik yang lebih tinggi.
Penerimaan provisi sumberdaya hutan dan pajak pada periode simulasi naik rata-rata sebesar Rp404.22 miliar per tahun, yang terdiri atas sektor BBS naik sebesarRp120.31 miliar, dari sektor pulp turun sebesar Rp61.19 miliar, kertas naik
sebesar Rp385.19 miliar, dan dari sektor kertas bekas turun sebesar Rp0.08 miliar per tahun. Ini mengindikasikan bahwa penurunan pajak dan provisi sumberdaya hutan dari sektor pulp dan kertas dikompensasikan oleh penerimaan pajak dari sektor
BBS dan kertas bekas.
Tampak bahwa tekanan internasional ini tidak merugikan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Namun diperkirakan lambat laun akan memperoleh dampak negatif, ketika konsumsi domestik pulp dan kertas mengalami
kejenuhan. Memang, kondisi saat ini permintaan di pasar domestik masih besar.
Kontraksi dalam suplai pulp dan kertas ekspor menghasilkan penurunan devisa dari ekspor produk olahan pulp dan kertas sebesar US79.98 juta, yang terdiri dari ekspor pulp yang turun sebesar US12.35 juta dan dari ekspor kertas naik
sebesar US71.63 juta per tahun. Turunnya penerimaan devisa dari sektor kertas diakibatkan oleh kontraksi suplai kertas ekspor dan kenaikan harga eskpor. Di sini tampak bahwa tekanan internasional sangat merugikan terutama pada sektor ekspor pulp dan
kertas.
Produksi bahan baku serpih menjadi lebih tinggi setelah adanya pemboikotan pulp dan kertas, dengan tetap mendasarkan pada penetapan kenaikan harga bahan baku serpih sebesar 30 dan penurunan harga pulp sebesar 5. Jadi,
perusahaan bahan baku serpih memperoleh manfaat
dari kondisi ini, diindikasikan oleh naiknya produsen surplus dan penerimaan total rata-rata berturut-turut sebesar Rp691.38 miliar dan Rp693.49 miliar per tahun. Sebaliknya,
kilangpulp domestik menderita kerugian, diindikasikan oleh turunnya surplus produsen dan penerimaan total berturut-turut sebesar Rp252.55 miliar dan Rp611.95 miliar per tahun. Di pihak lain, kilang-kertas memperoleh manfaat dengan memperoleh
tambahan produsen surplus dan penerimaan total berturut-turut sebesar Rp28.31 miliar dan sebesar Rp2 851.86 miliar per tahun. Di sisi lain, sektor kertas bekas menderita kerugian
, diindikasikan dengan turunnya produsen surplus yaitu sebesar Rp1.75, sedangkan penerimaan total naik sebesar Rp0.79 miliar per tahun.
Pada sisi konsumen, kilangpulp menderita kerugian yang diindikasikan dengan turunnya surplus konsumen rata-rata sebesar Rp661.26 miliar per tahun, yang dihasilkan dari kombinasi harga dan tingkat konsumsi yang lebih tinggi pada bahan baku
serpih. Jumlah ini mewakili transfer pendapatan implisit dari konsumen bahan baku serpih pengolah domestik terhadap produsen bahan baku serpih perusahaan
. Kilangkertas memperoleh manfaat, yaitu dengan naiknya surplus
konsumen kertas sebesar Rp173.75 miliar, sedangkan dari sektor kertas bekas menderita kerugian, yaitu surplus konsumen turun sebesar Rp3.18 miliar per tahun. Di lain pihak, konsumen kertas domestik masih memperoleh manfaat dengan naiknya
surplus konsumen sebesar Rp21.65 miliar. Dengan demikian, manfaat bersih dari kondisi ini turun rata-rata sebesar Rp469.04 miliar per tahun, berarti bahwa kerugian yang diderita oleh kilangpulp dan konsumen kertas bekas kilangkertas tidak
terkompensasikan oleh naiknya surplus konsumen yang diperoleh dari sektor lain.
Pemboikotan ekspor pulp dan kertas yang dimotori oleh secara umum mengkasilkan gambaran ekonomi domestik yang masih baik. Produksi BBS belum sesuai yang diharapkan, karena tidak seluruh hasil produksi dapat dikonsumsi oleh
kilangpulp dan masih ada untuk penggunaan lain yang cukup besar. Dalam kondisi ini, kilangpulp adalah yang paling menderita; terjadi penurunan surplus konsumen dan penerimaan total yang cukup besar.
Gains Losses
small logs gains
losses
small logs
V. Kesimpulan dan Saran