yang saling berdekatan. Cara lain yang dilakukan PKL adalah dengan mematuhi perintah atau ancaman dari pihak yang memiliki wewenang resmi untuk mengelola lahan. Kasus yang terakhir ini
misalnya, terjadi pada PKL yang berjualan di terminal bis yang patuh untuk tidak masuk anggota FMPKL karena diancam tidak boleh berjualan lagi di lokasi tersebut oleh aparat pengelola terminal.
3. Persoalan Pungutan dan Mekanisme Penyelesaiannya
PKL memandang pungutan dari dua sisi; pertama, sebagai hal yang wajar, tidak dianggap persoalan yang mengganggu kegiatan usaha dan kedua, pungutan dianggap tidak wajar jika tidak
jelas penggunaannya dan tidak jelas pihak mana yang memungut. Pungutan kebersihan misalnya, pedagang menganggap bahwa pungutan itu untuk pelayanan kebersihan. Jika warga mengeluh
bahwa pedaganglah yang menyebabkan kotornya kota, hal itu dianggap tidak adil karena sudah dipungut retribusi setiap hari yang besarnya berkisar antara Rp. 300,00 sd Rp. 500,00.
4. Persoalan pasokan barang dan mekanisme penyelesaiannya
Hambatan yang dirasakan oleh pedagang berkaitan dengan pasokan barang adalah sulitnya mendapatkan barang tersebut saat diperlukan. Hal ini disebabkan oleh kelangkaan barang, adanya
sistem kualifikasi pedagang yang diterapkan oleh pemasok, dan kenaikan harga barang. Jika pasokan barang tidak ada, pedagang mencari pemasok lain dengan risiko barang tidak sesuai
dengan kebutuhan pasar. Pada kasus harga barang naik, pedagang mampu menjalankan boikot terhadap pemasok barang.
5. Persoalan menyimpan barang dagangan dan mekanisme pemecahannya
Pedagang pakaian membayar Rp. 4.000,00 setiap hari kepada para tukang becak dan pedagang-pedagang makanan di malam hari untuk menjaga barangnya yang disimpan di depan
toko. Pedagang sayur membayar sejumlah uang untuk menyimpan bangku-bangku dagangan. Pedagang mengontrak tempat umum dan membayar para penjaganya. Mekanisme ini tidak hanya
berkaitan dengan penyimpanan saja tetapi juga pekerjaan-pekerjaan menyiapkan bangku saat akan berdagang dan membereskannya saat selesai dagang. Mekanisme ini berkaitan pula dengan
upaya mempertahankan tempat berjualan, terutama bagi para pedagang yang berjualan sayuran pada malam sampai pagi hari.
Selain itu, dua persoalan lain yang mempengaruhi pola pencarian nafkah PKL sebagai pedagang adalah kenaikan harga dan keamanan penyimpanan barang.
Persoalan Elite dan Persoalan Akar Rumput: Perbandingan Pelaku Komisi B FM2S bukan PKL. Ini menunjukkan bahwa tidak ada keterwakilan personal. Berbeda
dengan FMPKL dan Koperasi Citra Wangi, para pengurus dipilih oleh PKL yang menghadiri pertemuan-pertemuan di masa pembentukan.
Persoalan PKL yang disampaikan pelaku Komisi B FM2S berbeda dengan persoalan yang dihadapi PKL. Persoalan yang diajukan Komisi B didasari akibat yang ditimbulkan oleh keberadaan PKL,
sedangkan persoalan yang dihadapi PKL didasari oleh gangguan yang dihadapi PKL dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pelaku Komisi B mengakui bahwa mereka peduli terhadap PKL tetapi
pengakuan ini tidak cukup untuk menjadikan mereka wakil PKL di dalam forum. Kepedulian tadi perlu ditambah dengan pengetahuan yang cukup tentang persoalan-persoalan yang sesungguhnya dihadapi
PKL.
Tabel 4. Persoalan PKL dan Persoalan Komisi B FM2S
Persoalan yang Dihadapi PKL Persoalan yang Diajukan Komisi B
Persoalan kebutuhan uang
untuk modal
Tempat berjualan
Pungutan
Gangguan dari pihak lain
Pasokan barang
Kenaikan harga-harga
barang
Keamanan penyimpanan
Jumlah
PKL bertambah
banyak
Ukuran dan bentuk kios tidak merata
Menempati
lokasi sembarangan
Ada oknum yang memperjual-
belikan trotoar
Adanya pungutan ilegal
barang
Ada pihak-pihak pendukung PKL
Perlindungan dari toko
Pemerintah tidak tegas
Perebutan tempat di kalangan
PKL Terdapat perbedaan yang cukup signifikan ketika diperbandingkan antara pandangan-pandangan PKL
terhadap persoalan-persoalannya dengan pandangan para pelaku terhadap persoalan-persoalan PKL lihat tabel 3.6. Perbedaan cara pandang ini berimplikasi kepada mekanisme penyelesaian persoalan.
Komisi B memandang bahwa persoalan PKL dapat selesai dengan menertibkan PKL agar tidak mengganggu lalu lintas. Mekanisme ini jauh berbeda dari yang dilakukan PKL untuk menyelesaikan
persoalan yang dihadapinya. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa forum belum mengembangkan mekanisme partisipasi yang dapat menjamin tersalurkannya kepentingan kelompok PKL.
Pembentukan FMPKL memberi peluang kepada PKL untuk menyalurkan kepentingannya. Pembentukan koperasi misalnya, mencerminkan langkah-langkah yang diambil dalam rangka
memecahkan persoalan ekonomi PKL. Sayangnya, pengelolaan FMPKL dihadapkan pada hambatan komunikasi antara pengurus dan anggota. Hambatan komunikasi ini dicerminkan oleh tidak adanya
arus informasi dari para pengurus FMPKL kepada PKL tentang keputusan-keputusan yang terjadi di FM2S. Hambatan ini diindikasikan pula oleh adanya kelompok PKL yang merasa tidak termasuk ke
dalam FMPKL. Salah satu sebab yang menimbulkan hambatan ini adalah ketidakpercayaan PKL kepada pengurus akibat program konsolidasi yang memberi beban kepada PKL kasus kartu anggota.
Pada kasus yang spesifik, terdapat perbedaan kepentingan antara PKL dengan para pengurus FMPKL di dalam cara menata kegiatan usaha PKL yang berkaitan dengan kebijakan desa dan kecamatan
kasus pasar murah. Pengelolaan koperasi dihadapkan pula pada sejumlah hambatan; anggota koperasi berkurang dan
sampai pada pergantian pengurus masih ada kewajiban koperasi kepada anggota, dan sebaliknya. Hambatan timbul karena tidak adanya mekanisme yang disepakati tentang bagaimana mengelola
koperasi. Ketergantungan PKL terhadap pendamping tampak ketika mengevaluasi jalannya koperasi. Dikatakan bahwa sejak awal semestinya pengelolaan diserahkan kepada pendamping dan bukan
kepada PKL karena PKL tidak memiliki waktu untuk mengurusi pencatatan dan penagihan. Akibat tidak terkelolanya urusan teknis administrasi tadi, ada kecenderungan turunnya kepercayaan PKL kepada
pendamping. Selain itu, timbul sedikit perselisihan antara pelaku yang bersedia mengurus dengan pengurus lama. Hal ini terlihat misalnya, dari upaya pembenahan pengelolaan dengan cara mengganti
pengurus dan meminta pertanggungjawaban pada pengurus lama. Pelaku yang terakhir mengabaikan upaya itu dengan cara menghindari pertanggungjawaban yang di- minta oleh pengurus baru.
Masalah-masalah di atas seperti perbedaan persoalan kepentingan, perbedaan cara melihat persoalan, serta perpecahan antara PKL dan pengurus FMPKL, merupakan tantangan dalam
membangun mekanisme keterwakilan sebuah forum.
Sekarang ini banyak yang sok mewakili, tapi tidak bertanggungjawab. Dia mencontohkan perwakilan PKL. Apakah mereka selalu datang pada rapat forum? Terus kalau datang,
apakah hasil rapat selalu disampaikan kepada anggota? Sekarang seperti hare-hare tidak peduli saja. Bahkan tanggapan PKL lainnya terhadap forum kurang. Bahkan jauh-jauh ada
anggapan bahwa ada PKL yang tidak mengakui keberadaan forum, padahal katanya ada perwakilan, tapi masih banyak yang tidak mengakui forum AN,JW271001,hlm.13
Proses Pengambilan Keputusan dan Hubungan Kekuatan Pada tingkatan kolektif, proses pengambilan keputusan merupakan interaksi antarpelaku sedangkan
keputusan merupakan agregasi dan negosiasi para pelaku tersebut. Berbeda dengan proses pengambilan keputusan yang terjadi secara individual, perwujudan proses pengambilan keputusan
kolektif dapat diikuti dan diamati melalui persoalan-persoalan dan solusi-solusi yang disampaikan pelaku. Kalkulasi rasional dapat diamati dalam perwujudan negosiasi, perdebatan, dan penyampaian
argumentasi antarpelaku. Keputusan-keputusan merupakan kesepakatan tentang persoalan dan solusi yang dianggap representasi kepentingan semua pelaku. Keputusan kolektif adalah konsensus dari
hasil kompromi, hegemoni, dominasi atau suara mayoritas. Oleh karena itu, dalam proses pengambilan