Penegakan Hukum terhadap Cyber Crime di

(1)

Penegakan Hukum terhadap Cyber Crime

di Indonesia

Disusun oleh : Anis Istiqomah 11010114140572

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO


(2)

Penegakan Hukum terhadap Cyber Crime

di Indonesia

1. Pendahuluan

Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi. Fenomena kecepatan perkembangan teknologi informasi ini telah merebak di seluruh belahan dunia. Tidak hanya negara maju saja, namun negara berkembang juga telah memacu perkembangan teknologi informasi pada masyarakatnya masing-masing, sehingga teknologi informasi mendapatkan kedudukan yang penting bagi kemajuan bangsa.

Di era globalisasi informasi ini sudah bisa atau sedang kita rasakan akibat buruknya bagi kehidupan dan peradaban manusia, di samping ada manfaat yang bisa diperoleh manusia. Manusia memang sudah banyak mendapatkan keuntungan dengan globalisasi informasi, karena manusia diberi kemudahan mendapatkan atau mengakses informasi sebanyak-banyaknya, sehingga manusia dapat menguasai dinamika sains dan teknologi. Akan tetapi sisi buruk telah benar-benar hadir secara


(3)

riil dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia semakin akrab dengan berbagai bentuk kejahatan alam maya (cyber crime), yang tidak bisa dipungkiri sebagai akibat dan bahkan sasaran dari globalisasi informasi. Berbagai produk teknologi seperti computer misalnya telah dijadikan sebagai media untuk kepentingan informasi global, dan produk teknologi inilah yang sekaligus memperlancar maraknya cyber crime.

Muhammad Kusnardi dan Bintan Saragih berpendapat, bahwa negara hokum menentukan alat – alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan – peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat – alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan – peraturan itu.1 Tindakan yang dilakukan aparat inilah yang dikategorikan sebagai implementasi hukum.

Alat negara itu yang bertanggung jawab untuk menggunakan hukum sebagai senjata guna melawan berbagai bentuk kejahatan yang akan, sedang atau telah mengancam bangsa Indonesia. Alat negara (penegak hukum) dituntut bekerja keras seiring dengan perkembangan dunia kejahatan, khususnya perkembangan cyber crime yang semakin mengkhawatirkan. Alat

1 Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime), (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 142.


(4)

negara ini menjadi subjek utama yang berperang melawan cyber crime.

2. Permasalahan

Makalah ini akan membahas tiga permasalahan yang terdiri dari :

A. Bagaimana bentuk dan karakteristik kejahatan cyber crime?

B. Bagaimana penegakan hukum terhadap cyber crime di Indonesia?

C. Bagaimana sanksi pidana bagi pelaku kejahatan cyber crime?


(5)

3. Pembahasan Masalah

Dalam makalah ini akan dibahas masalah – masalah mengenai :

A. Bentuk dan karateristik kejahatan cyber crime 1) Bentuk kejahatan cyber crime

Sesungguhnya banyak perbedaan di antara para ahli dalam mengklasifikasikan kejahatan computer (computer crime). Ternyata dari klasifikasi tersebut terdapat kesamaan dalam beberapa hal. Untuk memudahkan klasifikasi kejahatan computer (computer crime) tersebut, maka dari beberapa klasifikasi dapat disimpulkan :2


(6)

Secara umum terdapat beberapa bentuk kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi informasi yang berbasis utama komputer dan jaringan telekomunikasi ini, dalam beberapa literatur dan praktiknya dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:

a. Unauthorized acces to computer system and servis Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya.

b. Illegal contents

Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

c. Data forgery

Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen – dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet.

d.Cyber espionage

Merupakan kejahatan yang menfaatakan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata – mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan computer (computer network system) pihak sasaran.

e.Cyber sabotage and extortion

Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau peghancuran terhadap suatu data, program


(7)

komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.

f. Offense against intellectual property

Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Sebagai contoh adalah peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara illegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain dan sebagainya.

g.Infrengments of privacy

Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan seseorang pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain akan dapat merugikan korbannya secara materiil maupun immaterial seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.

2) Karakteristik cyber crime

Arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini menyebabkan perubahan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terutama pada negara – negara berkembang, termasuk Indonesia. Perubahan yang terjadi itu dengan sendirinya terjadi pula pada perubahan hukum karena kebutuhan masyarakat akan berubah secara kuantitatif dan kualitatif.


(8)

Berdasarkan beberapa literatur serta praktiknya, cyber crime memiliki beberapa karakteristik, yaitu :3

a. Perbuatan yang dilakukan secara illegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi dalam ruang atau wilayah siber atau cyber (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi negara mana yang berlaku terhdapnya.

b. Perbuatan tersebut dilakukan degan menggunakan peralatan apa pun yang terhubung dengan internet. c. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materiil

maupun immaterial (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional.

d. Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan

internet beserta aplikasinya.

e. Perbuatan tersebut sering dilakukan secara

transnasional atau melintasi batas negara.

B.Penegakan hukum terhadap cyber crime di Indonesia Penyalahgunaan TI telah menjadi salah satu agenda dari kejahatan di tingkat global. Kejahatan di tingkat global ini menjadi ujian berat bagi masing – masing negara untuk 3 Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime), Op. Cit, hlm. 76.


(9)

memeranginya. Alat yang digunakan oleh negara untuk memerangi cyber crime ini adalah hukum. Hukum difungsikan, salah satunya untuk mencegah terjadinya dan menyebarnya cyber crime, serta menindak jika cyber crime terbukti telah menyerang atau merugikan masyarakat dan negara.

Faktanya, tersedianya Teknologi Informasi tentu tidak dengan sendirinya muncul begitu saja ke permukaan, melainkan sudah barang tentu ada pihak yang menyediakan jasa internet yang disebut ISP (Internet Service Provider) termasuk di dalamnya penyedia jaringan akses (connection provider), penyedia content (information provider) dan penyedia search engine yang lazim disebut portal serta pihak yang lain disebut sebagai pemilik informasi. Pemilik ini telah menjadi pemegang hak yang tentu saja nilainya mahal. Ada hak asasi di bidang intelektual yang melekat dalam diri seseorang. Namanya juga hak, tentulah hal ini tergolong asasi (fundamental) yang tidak boleh dipermainkan atau dirugikan oleh siapapun.

Jika sudah sampai pada aspek pencegahan dan pengayoman terhadap pemilik informasi dari cyber crime, maka upaya yang dilakukan untuk mewujudkan tahapan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap kreasi – kreasi


(10)

intelektual. 4Jika selama ini di Indonesia dikenal sebagai Negara yang kurang serius menangani masalah cyber crime, maka hal ini menunjukkan kalau masalah perlindungan hak di bidang ini belum sebaik perlindungan di bidang lainnya.

Kalau kita sepakat mengakui esensi hak, tentulah kita dapat merefleksi makna hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dam dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

UU HAM tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan umum supaya kita mau menghormati eksistensi hak asasi manusia, di antaranya hak – hak di bidang intelektual. Penghormatan yang bisa diberikan, jika itu aparat negara, adalah melindungi hak – haknya dari perbuatan – perbuatan yang melanggar hukum dan merugikannya. Salah satu bentuk kejahatan yang mengancam hak intelektual adalah cyber crime.


(11)

Yang terbaru di Indonesia, untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan cyber crime yang semakin maraknya seiring perkembangan zaman, pemerintah telah mengundangkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang – undang ini dapat dijadikan sebagai rujukan khusus apabila terjadi kasus kejahatan cyber crime.

Salah satu contoh kasus kejahatan cyber crime adalah pemblokiran ISP Indonesia oleh komunitas Merchants International di tahun 2004. Sebagai pembenarannya, banyak ISP Indonesia diblokir oleh komunitas tersebut dan semua pengguna (user) di Indonesia termasuk warga negara asing yang memegang kartu kredit tidak boleh melakukan transaksi secara online. Jadi yang diblokir bukan kartu kredit di Indonesia melainkan IP (Internet Provider) negara Indonesia, yang mana penolakan transaksi online lewat kartu kredit melalui IP Indonesia seperti Netzo.com, Amazone.com dan beberapa lainnya, praktis tidak dapat diterima oleh jaringan jual beli secara online. Hal ini disebabkan prosesnya yang telah atau sedang menghadapi kerentanan akibat kriminalitas.

Kasus lainnya yang sempat menjadi sensasi di dalam negeri adalah ketika seorang bocah berusia 15 tahun menjadi


(12)

hacker saat berlibur di Singapura. Ia dituduh melanggar cyberlaw di Singapura sehubungan dengan aktivitasnya di IRC (Internet Relay Chat). Ia langsung ditahan oleh Kepolisian Singapura dan dijerat dengan Undang – Undang Penyalahgunaan Komputer (Computer Misuse Act).

Beberapa kasus serius tersebut jelas menimbulkan implikasi negatif terhadap perkembangan dunia usaha Teknologi Informasi Indonesia. Dunia TI dinilai menyimpan potensi kerawanan yang membahayakan dan merugikan masyarakat, negara, dan konsumen.

Oleh karena itu, upaya perlindungan hukum terhadap kegiatan yang dilakukan di internet, baik yang meupakan kegiatan bisnis (e-business), birokrasi pemerintahan, pengguna pribadi diperlukan perpanjangan jangkauan “rule of the law” ke dalam dunia cyber. Hal tersebut sedang dalam proses penanganan di berbagai negara yang menunjukkan geliatnya di bidang teknologi, khususnya Indonesia dengan menggunakan pengembangan perlindungan secara teknis dengan berbagai sistem yang diciptakan oleh para ahli bidang komputer dan network, di samping adanya implementasi penegakan hukum (law enforcement) yang konsisten dan benar – benar ditujukan untuk memerangi cyber law.


(13)

C.Sanksi pidana pelaku cyber crime dalam UU ITE

Seperti telah diketahui, kebijakan legislasi hampir selalu menggunakan hukum pidana untuk menakut – nakuti atau mengamankan bermacam – macam kejahatan yang mungkin timbul dari berbagai bidang. Fenomena semacam ini memberikan kesan seolah – olah dirasakan kurang sempurna atau hambar bila suatu produk perundang – undangan tidak ada ketentuan pidananya. Oleh karena itu, sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional, karena jika tidak, akan menimbulkan “the crisis of over criminalization” (krisis kelebihan kriminalisasi) dan “the crisis of ovverech of the criminal law” (krisis pelampauan batas dari hukum pidana).5

Sanksi pidana yang ditetapkan dalam UU ITE ini berupa pidana penjara dan pidana denda. Kedua macam pidana tersebut ditetapkan secara maksimum khusus saja. Hal ini perlu mendapat perhatian karena terdapat kelemahan jika hanya diberlakukan maksimum khusus saja tanpa minimum

5 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime):Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 152.


(14)

khusus, karena dalam praktiknya nanti dimungkinkan terjadi disparatis. Oleh karenanya sebaiknya sanksi minimum khusus perlu diakumulasikan juga mengingat kejahatan cyber crime ini bukanlah kejahatan biasa yang menimbulkan kerugian yang tidak sederhana.

Selain itu, dengan penetapan dua macam pidana tadi tanpa ada tambahan variasi berupa pidana lain, misalnya saja pidana tindakan bagi korporasi dan juga tidak kalah penting sangat perlu diatur mengenai pidana ganti kerugian bagi korbannya melalui sarana hukum pidana. Karena sebagaimana perkembangan dalam hukum ekonomi telah dianut ganti kerugian bagi korban dalam hal pidana sebagaimana dalam undang – undang perlindungan konsumen maupun undang – undang yang mengatur tindak pidana ekonomi lainnya. Kedudukan korban perlu diperhatikan mengingat jika kerugian yang ditimbulkan aibat kejahatan tidak sedikit.

Pada kenyataan yang ada, tidak terlihat secara nyata korban dari kejahatan cyber dibandingkam korban dari kejahatan konvensional, tetapi selain korban dari kejahatan cyber lebih besar jumlahnya, juga dampak yang ditimbulkan bila diperhatikan justru lebih berbahaya dari kejahatan konvensional. Berarti kondisi tersebut tidak dapat dibiarkan


(15)

begitu saja, khususnya dalam praktik penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut.

Sejauh ini perkembangan hukum pidana di luar Indonesia, umpamanya Belanda, ganti kerugian adalah salah satu bentuk pidana. Akhirnya, Indonesia pun melakukan hal serupa terhadap kejahatan bisnin dimana ganti kerugian adalah salah satu yang dapat dijatuhkan sebagai jenis pidana baru. Ganti kerugian ini dapat berupa ganti kerugian kepada korban, dapat pula mengganti kerusakan yang telah ditimbulkan. Bila timbulnya pertanyaan apakah semua korban dalam kejahatan bisnis mendapat perhatian atau kepedulian dalam bentuk perlindungan hukum.

Tampaknya apabila dalam hal kejahatan cyber juga digunakan sarana berupa ganti kerugian sebagaimana dalam hal kejahatan bisnis, maka penanggulangan kejahatan cyber akan lebih efektif. Dikatakan lebih efektif karena korban tidak akan segan – segan untuk melaporkan kepada penegak hukum, selain dapat memberi jera pelaku juga member rasa keadilan bagi korban. Bukankah hak korban itu sendiri, pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep hak asasi manusia. Bahkan prinsip hukum acara pidana


(16)

dalam penegakan hukum, menerapkan prinsip pemberian bantuan hukum sebagai salah satu hak asasi manusia.

Mengenai ganti kerugian dimasukkan dalam sanksi pidana untuk cyber crime perlu diakomodasi sebagai bentuik perkembangan penanggulangan kriminalitas, yaitu adanya kesimbangan perlindungan antara pelaku dan korban. Hal ini sangat penting karena apabila seperangkat sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan hasil pilihan yang kurang tepat atau sudah tidak sesui lagi dengan perkembangan kriminalitas, maka adalah wajae apabila penanggulangan perkembangan kriminalitas agak “terganggu”. Hubungan antara gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan perkembangan kriminalitas di satu pihak dengan keterbatasan jumlah sanksi pidana yang tersedia bagi hakim dan jaksa di lain pihak, merupakan salah satu masalah di bidang kebijakan pemidanaan (centecing polity) yang cukup sulit.6

6 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime):Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya,Loc.cit., hlm. 155.


(17)

4. Kesimpulan

Kejahatan cyber crime timbul dikarenakan

ketidakmampuan hokum (termasuk aparat) dalam menjangkaunya. Hal ini dikarenakan cyber crime merupakan kejahatan yang baru. Di Indonesia penegakan hukum terhadap kejahatan cyber crime telah diwujudkan dalam bentuk Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).


(18)

DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo, Agus. 2002. Cybercrime-Pemahaman dan Upaya

Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Suhariyanto, Budi. 2013. Tindak Pidana Teknologi Informasi

(Cybercrime):Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. 2005. Kejahatan Mayantara (Cybercrime). Bandung: PT Refika Aditama.

http://www.reskrimsus.metro.polri.go.id

http://www.lemhannas.go.id/portal/daftar-artikel/1555-cyber-crimes.html


(1)

C.Sanksi pidana pelaku cyber crime dalam UU ITE

Seperti telah diketahui, kebijakan legislasi hampir selalu menggunakan hukum pidana untuk menakut – nakuti atau mengamankan bermacam – macam kejahatan yang mungkin timbul dari berbagai bidang. Fenomena semacam ini memberikan kesan seolah – olah dirasakan kurang sempurna atau hambar bila suatu produk perundang – undangan tidak ada ketentuan pidananya. Oleh karena itu, sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional, karena jika tidak, akan menimbulkan “the crisis of over criminalization” (krisis kelebihan kriminalisasi) dan “the crisis of ovverech of the criminal law” (krisis pelampauan batas dari hukum pidana).5

Sanksi pidana yang ditetapkan dalam UU ITE ini berupa pidana penjara dan pidana denda. Kedua macam pidana tersebut ditetapkan secara maksimum khusus saja. Hal ini perlu mendapat perhatian karena terdapat kelemahan jika hanya diberlakukan maksimum khusus saja tanpa minimum 5 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime):Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 152.


(2)

khusus, karena dalam praktiknya nanti dimungkinkan terjadi disparatis. Oleh karenanya sebaiknya sanksi minimum khusus perlu diakumulasikan juga mengingat kejahatan cyber crime ini bukanlah kejahatan biasa yang menimbulkan kerugian yang tidak sederhana.

Selain itu, dengan penetapan dua macam pidana tadi tanpa ada tambahan variasi berupa pidana lain, misalnya saja pidana tindakan bagi korporasi dan juga tidak kalah penting sangat perlu diatur mengenai pidana ganti kerugian bagi korbannya melalui sarana hukum pidana. Karena sebagaimana perkembangan dalam hukum ekonomi telah dianut ganti kerugian bagi korban dalam hal pidana sebagaimana dalam undang – undang perlindungan konsumen maupun undang – undang yang mengatur tindak pidana ekonomi lainnya. Kedudukan korban perlu diperhatikan mengingat jika kerugian yang ditimbulkan aibat kejahatan tidak sedikit.

Pada kenyataan yang ada, tidak terlihat secara nyata korban dari kejahatan cyber dibandingkam korban dari kejahatan konvensional, tetapi selain korban dari kejahatan cyber lebih besar jumlahnya, juga dampak yang ditimbulkan bila diperhatikan justru lebih berbahaya dari kejahatan konvensional. Berarti kondisi tersebut tidak dapat dibiarkan


(3)

begitu saja, khususnya dalam praktik penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut.

Sejauh ini perkembangan hukum pidana di luar Indonesia, umpamanya Belanda, ganti kerugian adalah salah satu bentuk pidana. Akhirnya, Indonesia pun melakukan hal serupa terhadap kejahatan bisnin dimana ganti kerugian adalah salah satu yang dapat dijatuhkan sebagai jenis pidana baru. Ganti kerugian ini dapat berupa ganti kerugian kepada korban, dapat pula mengganti kerusakan yang telah ditimbulkan. Bila timbulnya pertanyaan apakah semua korban dalam kejahatan bisnis mendapat perhatian atau kepedulian dalam bentuk perlindungan hukum.

Tampaknya apabila dalam hal kejahatan cyber juga digunakan sarana berupa ganti kerugian sebagaimana dalam hal kejahatan bisnis, maka penanggulangan kejahatan cyber akan lebih efektif. Dikatakan lebih efektif karena korban tidak akan segan – segan untuk melaporkan kepada penegak hukum, selain dapat memberi jera pelaku juga member rasa keadilan bagi korban. Bukankah hak korban itu sendiri, pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep hak asasi manusia. Bahkan prinsip hukum acara pidana


(4)

dalam penegakan hukum, menerapkan prinsip pemberian bantuan hukum sebagai salah satu hak asasi manusia.

Mengenai ganti kerugian dimasukkan dalam sanksi pidana untuk cyber crime perlu diakomodasi sebagai bentuik perkembangan penanggulangan kriminalitas, yaitu adanya kesimbangan perlindungan antara pelaku dan korban. Hal ini sangat penting karena apabila seperangkat sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan hasil pilihan yang kurang tepat atau sudah tidak sesui lagi dengan perkembangan kriminalitas, maka adalah wajae apabila penanggulangan perkembangan kriminalitas agak “terganggu”. Hubungan antara gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan perkembangan kriminalitas di satu pihak dengan keterbatasan jumlah sanksi pidana yang tersedia bagi hakim dan jaksa di lain pihak, merupakan salah satu masalah di bidang kebijakan pemidanaan (centecing polity) yang cukup sulit.6

6 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime):Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya,Loc.cit., hlm. 155.


(5)

4. Kesimpulan

Kejahatan cyber crime timbul dikarenakan ketidakmampuan hokum (termasuk aparat) dalam menjangkaunya. Hal ini dikarenakan cyber crime merupakan kejahatan yang baru. Di Indonesia penegakan hukum terhadap kejahatan cyber crime telah diwujudkan dalam bentuk Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo, Agus. 2002. Cybercrime-Pemahaman dan Upaya

Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Suhariyanto, Budi. 2013. Tindak Pidana Teknologi Informasi

(Cybercrime):Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. 2005. Kejahatan Mayantara (Cybercrime). Bandung: PT Refika Aditama.

http://www.reskrimsus.metro.polri.go.id

http://www.lemhannas.go.id/portal/daftar-artikel/1555-cyber-crimes.html