Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

(1)

GAMBARAN KESEDERHANAAN DALAM NOVEL AYAHKU

(BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE: SUATU

TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

OLEH

ROIYANI BR MARBUN

110701013

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

Gambaran Kesederhanaan dalam Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong Karya Tere Liye: Suatu

Tinjauan Psikologi Sastra

Oleh

Roiyani Br Marbun 110701013

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Dra. Yulizar Yunas, M.Hum.

NIP 19620925 198903 1 017 NIP 19500411 198102 2 001

Departemen Sastra Indonesia

Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. NIP 19620925 198903 1 017


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan dalam memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Oktober 2015

Roiyani Br Marbun NIM 110701013


(4)

ABSTRAK

Gambaran Kesederhanaan dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu

Tinjauan Psikologi Sastra

Oleh:

Roiyani Br Marbun

Sastra merupakan wakil jiwa melalui bahasa.Sastra juga memiliki fungsi bagi kehidupan, karena dalam setiap karya sastra terdapat gagasan-gagasan yang berupa ajaran, pengetahuan dan petuah-petuah yang bisa memberikan pengetahuan baru terhadap pembacanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong. Dalam mencapai tujuan tersebut, pengumpulan data dilakukan dengan mempergunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik.Landasan teori pada penelitian ini adalah psikologi sastra dengan mempergunakan teori kepribadian oleh Sigmun Freud. Melalui teori tersebut akan dipaparkan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam dengan melihat dari gejala id, ego, dan superego. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan melalui wujud-wujud kesederhanaan yang terdapat dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong, bahwa kesederhanaan adalah sikap seseorang yang tidak menonjolkan diri, mampu bergaul dengan banyak orang dengan ramah, dan tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, tidak makan minum dengan berlebihan dan tidak memakai barang yang menunjukan kemewahan dan kesombongan.


(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena berkat rahmat, karunia dan kebaikan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Kesederhanaan dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye.Begitu banyak proses yang penulis lalui dalam penulisan skripsi ini, mulai dari pembuatan draf, ujian proposal hingga akhir penulisan skripsi, tetapi berkat dukungan dari beberapa pihak, pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Maka penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara, karena telah memfasilitasi penulis selama proses perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya. 2. Dekan dan Pembantu Dekan dan semua staf administrasi di Fakultas Ilmu

Budaya USU.

3. Bapak Prof. Dr. Ikhwanudin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia, sekaligus sebagai pembimbing I penulis, yang telah membantu, membimbing dan memberi arahan kepada penulis dalam menyelesaikan sripsi ini, juga kepada Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.Sp. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia yang telah memberi saran pada saat ujian seminar proposal.


(6)

4. Ibu Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. selaku dosen pembimbing II penulis yang begitu baik dan sabar dalam membimbing penulis serta membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum dan Ibu Dra.Kristiani, M.Hum., selaku dosen penguji I dan II yang telah memberikan saran pada saat ujian seminar proposal.

6. Orang tua tercinta, Ayahanda Lion Marbun dan Ibunda Warni Simbolon yang penulis cintai, yang telah bersusah payah sampai detik ini dan tidak pernah kehabisan cinta dan doa untuk penulis. Skripsi ini Ananda persembahkan untuk Ayahanda dan Ibunda. Terima kasih untuk keringat yang sangat berharga itu. Ananda bangga menjadi putri kalian.

7. Kakak penulis, Ririn Lioni Marbun, S.E yang juga sangat memperhatikan penulis dan tidak bosan memberi dorongan kepada penulis supaya tidak malas mengerjakan skripsi agar cepat wisuda, juga kepada Adinda Fine Marbun, Fungsen Marluga Marbun dan Rizki Marbun yang selalu cerewet jika melihat penulis sedang malas mengerjakan skripsi.

8. Teman-teman penulis stambuk 2011, khususnya kepada 7 dara cantik, Elina, Melisa, Natalia, Herti, Jumpa Riama, Bonita, Devi yang berjuang bersama-sama, selalu berbagi informasi dan saling membantu dari awal semester sampai akhir semester.

9. Sahabat penulis Loviana Larashati Marpaung, Michael Alfian Grey, Ayank, Denny, Iren, Vika, Dayanti, dan Andhini yang setia mendoakan dan memberi dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis.


(7)

Skripsi ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.

Medan, Oktober 2015

Roiyani Br Marbun NIM 110701013


(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN……….…..i

ABSTRAK………..ii

PRAKATA……….iii

DAFTAR ISI………...……….………..vi

BAB I PENDAHULUAN………1

1.1 Latar belakang masalah………....1

1.2 Rumusan masalah………..…..5

1.3 Batasan masalah………..….5

1.4 Tujuan dan manfaat penelitian……….6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA………7

2.1 Konsep………...……….….7

2.1.1 Gambaran………..………7

2.1.2 Kesederhanaan………..7

2.1.3 Kepribadian……….…10

2.1.4 Psikologi Sastra………..…….11

2.2 Landasan Teori………..13

2.3 Tinjauan Pustaka………....16

BAB III METODE PENELITIAN………21

3.1Sumber Data………...……….21

3.2 Teknik Pengumpulan Data ……….22


(9)

BAB IV GAMBARAN KESEDERHANAAN DALAM NOVEL AYAHKU

(BUKAN) PEMBOHONG……….24

4.1 Sederhana Niat dan Tujuan………28

4.2 Sederhana Berpikir………...30

4.3 Sederhana Keperluan Hidup………...32

4.4 Sederhana dalam Sukacita………..34

4.5 Sederhana dalam Kegigihan Berusaha………...35

4.6 Sederhana Mencari Nama…………...39

BAB V KESEDERHANAAN AYAH DAN DAM DITINJAU DARI SUDUT PADANG PSIKOLOGI SASTRA………...42

5.1 Kesederhanaan Tokoh Ayah...42

5.2 Kesederhanaan Tokoh Dam………..44

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN………..…...50

6.1 Simpulan….……….50

6.2 Saran……….………...51

DAFTAR PUSTAKA………...……52

LAMPIRAN I Sinopsis………...…....55


(10)

ABSTRAK

Gambaran Kesederhanaan dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu

Tinjauan Psikologi Sastra

Oleh:

Roiyani Br Marbun

Sastra merupakan wakil jiwa melalui bahasa.Sastra juga memiliki fungsi bagi kehidupan, karena dalam setiap karya sastra terdapat gagasan-gagasan yang berupa ajaran, pengetahuan dan petuah-petuah yang bisa memberikan pengetahuan baru terhadap pembacanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong. Dalam mencapai tujuan tersebut, pengumpulan data dilakukan dengan mempergunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik.Landasan teori pada penelitian ini adalah psikologi sastra dengan mempergunakan teori kepribadian oleh Sigmun Freud. Melalui teori tersebut akan dipaparkan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam dengan melihat dari gejala id, ego, dan superego. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan melalui wujud-wujud kesederhanaan yang terdapat dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong, bahwa kesederhanaan adalah sikap seseorang yang tidak menonjolkan diri, mampu bergaul dengan banyak orang dengan ramah, dan tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, tidak makan minum dengan berlebihan dan tidak memakai barang yang menunjukan kemewahan dan kesombongan.


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra adalah ungkapan jiwa.Sastra merupakan wakil jiwa melalui bahasa.Luxemburg dkk. (1989:23) mengatakan, ”Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu.”Di dalam karya sastra, pengarang menyampaikan pesan-pesan moral melalui bahasa, dengan bahasa itulah pesan disampaikan sehingga terlihat nyata bagi para penikmat sastra. Jiwa manusia akan semakin arif jika menyatu dengan karya sastra. Sastra memang fenomena berharga. Sastra menghadirkan karya dengan berbagai persoalan kehidupan yang menyertainya.Sastra memiliki fungsi bagi kehidupan, karena dalam setiap karya sastra terdapat gagasan-gagasan yang berupa ajaran, pengetahuan dan petuah-petuah yang bisa memberikan pengetahuan baru terhadap pembacanya. Pengetahuan baru yang didapat tentu sangat bermanfaat bagi pembaca untuk menghadapi dan menjalani kehidupan bila menemukan situasi yang sama dengan masalah dalam karya sastra tersebut.

Damono (1984:8) mengatakan, ”Karya sastra adalah ungkapan kesadaran pengarang, jadi bersifat subjektif. Karya sastra mengandung penilaian kehidupan nyata dalam bentuk pemikiran tertentu.”

Prabowo (2010:iii) mengatakan, ”Sebuah karya sastra yang lahir dari pengarang yang menciptakannya, adalah sesuatu yang dibuat dengan tujuan


(12)

tertentu. Sebuah karya sastra bisa dikatakan karya fiksi dan dengan proses kreativitas dari pengarang, membuat karya sastra itu menjadi lebih hidup.”

Manusia sebagai objek selalu menghadapi masalah-masalah yang kemudian dituangkan menjadi karya sastra baik secara lisan maupun tulisan sehingga penciptaan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia itu sendiri.Bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra berbeda dengan bahasa kehidupan sehari-hari, karena bahasa yang dipergunakan memiliki nilai estetis.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan estetis adalah mengenai keindahan, menyangkut apresiasi keindahan (alam, seni, dan sastra).

Atmazaki (2005:31) mengatakan,

”Sebuah karya sastra yang lahir dari pengarang yang menciptakannya, adalah sesuatu yang dibuat dengan tujuan tertentu. ”Bagi seorang sastrawan sastra tidak sekedar bahasa yang dituliskan atau diucapkan; ia tidak sekedar permainan bahasa, tetapi bahasa yang mengandung “makna lebih”. Ia menawarkan nilai-nilai yang dapat memperkaya rohani dan meningkatkan mutu kehidupan. Ia juga memberi peluang kepada manusia untuk mempersalahkan kehidupan sehingga dapat memunculkan gagasan-gagasan yang bermakna. Tidak hanya itu, ia juga mampu memenuhi hasrat manusia untuk berkontemplasi.”

Salah satu karya sastra yang diminati masyarakat adalah novel, karena novel hadir dengan cerita-cerita menarik.Nurgiyantoro (dalam Mariani, 2012:524) menjelaskan,

”Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang secara harfiah berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.Dalam istilah Indonesianya, novella yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang cakupannya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.Novel merupakan salah satu dari karya sastra bersifat kreatif imajinatif yang mengemas persoalan kehidupan


(13)

manusia secara kompleks dengan berbagai konflik, sehingga pembaca memperoleh pengalaman-pengalaman baru tentang kehidupan.”

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong memiliki jalan cerita sekaligus kasus-kasus yang sangat menarik untuk diteliti terlepas dari pandangan tokoh-tokoh di dalam novel tersebut dalam menjalani kehidupannya, pertentangan batin, menilai tentang yang baik atau buruk, kekecewaan dan penyesalan, nilai-nilai keluarga, dan kuatnya karakter tokoh tergambar dalam novel ini, dan yang akan menjadi objek kajian dalam penelitian ini, adalah gambaran kesederhanaan tokoh yang ada di dalam novel tersebut.

Kesederhanaan tidak selalu diidentikkan dengan arti serba hemat atau serba kekurangan, namun makna dari kesederhanaan di sini adalah bijak dalam mempergunakan rezeki (harta) yang kita miliki dengan tidak hidup bermewah-mewah dan bijak menjalani hidup dengan lebih mempunyai rasa empati terhadap orang lain dan novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye ini menggambarkan sebuah kehidupan keluarga yang sederhana.

Ahmadi (1990:239) menjelaskan,

”Keluarga merupakan sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan mana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak.Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum dewasa.”

Soelaeman (dalam Shochib, 1998:17) menjelaskan ”Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri.”

Di dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong juga digambarkan karakter Ayah dengan pola pikir yang unik dalam menjalani kehidupannya. Ayah selalu


(14)

memberi petuah-petuah kepada Dam agar selalu rendah hati, tidak sombong, hidup secara sederhana tanpa kemewahan dan tidak menilai segala sesuatunya dengan materi, menjalani hidup seperti air mengalir, dan bersahaja. Dam dibesarkan dengan petuah dan cerita-cerita hebat ayahnya, sehingga Dam tumbuh menjadi anak yang berbeda dan juga sederhana. Berikut kutipan yang menunjukkan bahwa Ayah adalah pribadi yang sederhana: ”Ayah tidak menjadi hakim agung. Ayah memilih jalan hidup sederhana. Berprasangka baik ke semua orang…” (Liye, 2011:294)

Sastra adalah fenomena yang tepat didekati secara psikologis.Dalam hal ini, contohnya adalah novel, karena di dalamnya terdapat fenomena-fenomena kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya.Ilmu psikologi diperlukan untuk melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih jauh.Dengan demikian psikologi dan karya sastra memiliki hubungan yang fungsional.Jika berbicara tentang kepribadian, maka sangat erat kaitannya dengan psikologi.

Pengertian ilmu psikologi secara ringkas menurut Encyclopedia Britannica

(dalam Taniputera, 2005:17) dijelaskan sebagai berikut:

”Psikologi merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang mempelajari proses mental, seperti kebiasaan pada manusia dan binatang. Kata psikologi sendiri terbentuk dari dua kata, yakni psyche dan logos. Psyche memiliki banyak arti, yakni pikiran atau jiwa; sedangkan logos berarti ilmu. Jadi secara etimologis, psikologi berarti ilmu tentang pikiran atau jiwa. Dengan demikian psikologi sastra bertujuan memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung di dalam suatu karya.”

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong dipilih sebagai objek penelitian dilatarbelakangi oleh pertimbangan, bahwa novel Ayahku (Bukan)Pembohong


(15)

terdapat dalam novel tersebut menceritakan dan menampilkan berbagai kepribadian serta perilaku yang berkaitan dengan kejiwaan dan pengalaman psikologis, sehingga penulis memilih kajian psikologi sastra sebagai teori yang dipergunakan dalam menganalisis novel tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah gambaran kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong?

2. Bagaimanakah kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam ditinjau dari sudut pandang psikologi sastra?

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah diperlukan agar penelitian ini tidak meluas dan menyimpang dari hal-hal yang direncanakan. Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah tersebut, penelitian ini hanya mendeskripsikan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong

tersebut. Pada akhirnya ruang lingkup pembahasan ini merupakan sebuah deskripsi yang disertai analisis untuk memberikan pemahaman kepada pembaca terhadap novel Ayahku (Bukan) Pembohong. Penelitian ini dilakukan dengan meninjau dari sudut padang psikologi sastra dengan mempergunakan teori kepribadian dari Sigmun Freud.


(16)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mendeskripsikan gambaran kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong.

b. Untuk mendeskripsikan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam ditinjau dari sudut pandang psikologi sastra.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah mampu memberikan manfaat baik secara teoretis maupun manfaat praktis, sebagai berikut:

a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu berperan serta dalam mengembangkan pengkajian psikologis tokoh dalam karya sastra.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat berperan serta dalam mengungkapkan hal-hal yang menarik untuk memperkaya rohani dan meningkatkan mutu kehidupan serta menambah wawasan pembaca.


(17)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Dalam penelitian ini melibatkan beberapa konsep sebagai berikut:

2.1.1 Gambaran

Dalam KBBI (2007:329) Gambaran berarti lukisan. Dalam hal ini lukisan yang dimaksud bukan benda atau sesuatu yang kongkrit.Lukisan merupakan cerita atau uraian yang melukiskan sesuatu (hal atau kejadian) dengan kata-kata. Lebih lanjut defenisi gambaran dikemukakan Kusmiyati (dalam http:smartconsultingbandung.blogspot.co.id/2010/pengertian-ilustrasi-gambar.html?m=l: Diakses tanggal 15 September 2015, Pukul 21:45 WIB) yang mengatakan ”Gambaran berarti ilustarasi yang merupakan pelukisan suatu adegan atau alur cerita guna lebih menjelaskan suatu adegan.”

2.1.2 Kesederhanaan

Dalam KBBI (2007:1008) Kesederhanaan adalah hal (keadaan, sifat). Kesederhanaan kata dasarnya adalah sederhana, yang berarti bersahaja; tidak berlebih-lebihan. Rahmanto (t.t:2) menjelaskan,

“Kesederhanaan merupakan pola pikir dan pola hidup yang proporsional, tidak berlebihan dan mampu memprioritaskan


(18)

sesuatu yang lebih dibutuhkan.Kemampuan untuk ikhlas menerima yang ada, berusaha untuk berlaku adil dan bersyukur atas setiap rezeki yang diberikan dengan tetap menggunakannya pada hal-hal yang bermanfaat dan berarti.Kemampuan itulah yang memberikan manfaat dan menjadi energi dalam kehidupan kita.”

Hidayati (dala WIB) juga menjelaskan,

”Hidup sederhana tidak berarti hidup dalam kesengsaraan, kemiskinan, kemelaratan dan serba kekurangan dan secara psikologis, kesederhanaan bermanfaat dalam menyeimbangkan energi positif dan negatif dalam diri dan kehidupan kita.Energi syukur dan ikhlas dalam kesederhanaan merupakan nutrisi untuk mencapai kebahagiaan, sehingga hati kita senantiasa dipenuhi perasaan-perasaan positif dan pikiran pun lebih jernih dan tenang. Ketenangan psikis akan bersinergi dengan kematangan spiritual. Dalam tataran spiritual, kesederhanaan dapat memberikan energi untuk membuat kita fokus dalam menjalankan sesuatu.”

Kesederhanaan merupakan sikap yang menolak keterlaluan, dalam arti harus bersikap sewajarnya. Hamka (1984:152) mengatakan bahwa orang yang sederhana akan jujur, karena kejujuran itulah sederhana yang lurus. Adapun wujud-wujud kesederhanaan itu adalah:

1.Sederhana Niat dan Tujuan

Sederhana niat, sederhana tujuan, ialah tujuan manusia yang berakal, dalam arti tidak usah berniat hendak jadi raja, tidak perlu bercita-cita jadi orang berpangkat dengan gaji besar, yang perlu adalah meluruskan niat.Sebagai makhluk hidup, kita harus berjasa kepada kehidupan.


(19)

2.Sederhana Berpikir

Pikiran yang matang dapat membedakan yang gelap dan yang terang, dapat membuang jauh-jauh pendapat yang salah dan pendirian yang curang.Satu kegilaan yang menghilangkan sederhana ialah merasa kagum pada diri sendiri.Mempergunakan akal dengan seksama, adalah sadar bahwa kita datang ke dunia bukanlah untuk melihat-lihat dan menilik-nilik diri di depan kaca sambil membusungkan dada.

3.Sederhana Keperluan Hidup

Dapat makan dua kali sehari, pakaian dua kali berganti, rumah yang cukup udaranya untuk tempat diam, dapat menghisap udara dan bergerak, kita sudah dapat hidup. Hanya nafsulah yang meminta lebih dari itu, sehingga di dalam memenuhi keperluan hidup kerapkali manusia lupa akan kesederhanan, membeli sesuatu yang bahkan tidak diperlukan, hanya untuk memenuhi hasrat.

4.Sederhana dalam Sukacita

Manusia berebut memenuhi kepuasan, berusaha menghibur diri melalui berbagai cara, namun rasa sukacita itu tidak kunjung diperoleh. Perasaan sukacita, gembira, bukanlah sifat lahir dan bukan pula dari kediaman.Kadang orang-orang kaya yang memakan berbagai makanan di dalamnya, dan tidur di atas kasur yang empuk lebih banyak mengeluh dari si miskin yang hanya tinggal di dalam sebuah gubuk dan yang


(20)

hanya tidur beralaskan tikar rombeng. Sebab itu maka perasaan sukacita bukan dari lahir atau dari kemewahan, melainkan dari batin.

5.Sederhana dalam Kegigihan Berusaha

Hidup sederhana adalah hidupnya orang gigih berusaha.Ia dapat meletakkan usahanya pada tempat sebagaimana mestinya.

6.Sederhana Mencari Nama

Sederhana mencari nama adalah ketika berbuat kebaikan ia tidak menyorakkan dan mengumandangkannya sampai membumbung ke langit untuk mendapatkan nama dan kemasyhuran.

2.1.3 Kepribadian

Semua manusia memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Dalam

KBBI (2007:895) Kepribadian adalah ”Sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dengan orang atau bangsa lain.”

Dorland (dalam Sumarna, 2015:8) mendefinisikan, ”Kepribadian merupakan pola khas seseorang dalam berpikir, merasakan, dan berperilaku yang terlatif stabil dan dapat diperkirakan.”

Feist dan Gregory J. Feist (2010:4) mengatakan, ”Kepribadian adalah pola sifat dan karakteristik tertentu, yang relatif permanen dan memberikan, baik konsistensi maupun individualitas pada perilaku seseorang.”

Allport dkk (dalam Sujanto, 1980:94) secara singkat juga mendefinisikan kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu


(21)

sebagai sistem psychophysis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap sekitar.

Sujanto dkk (1980:3) mengatakan sejak dahulu memang sudah disepakati bahwa pribadi tiap orang itu tumbuh atas dua kekuatan, yaitu kekuatan dari dalam dan kekuatan dari luar.Kekuatan dari dalam yang sudah dibawa sejak lahir, berwujud benih, bibit, atau sering juga disebut kemampuan-kemampuan dasar.”Adapun yang termasuk faktor dalam atau faktor pembawaan, ialah segala sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak lahir, baik yang bersifat kejiwaan maupun yang bersifat ketubuhan.Kejiwaan yang berwujud pikiran, perasaan, kemauan, fantasi, ingatan, dan sebagainya, yang dibawa sejak lahir, ikut menentukan pribadi seseorang.Kekuatan yang kedua yaitu faktor luar yang berasal dari lingkungan.Adapun yang termasuk faktor lingkungan ialah segala sesuatu yang ada di luar manusia, baik yang hidup maupun yang mati, misalnya jenis makanan pokok, pekerjaan orangtua, hasil-hasil budaya yang bersifat material maupun spiritual.”

2.1.4 Psikologi Sastra

Menurut Ratna (dalam Endraswara, 2008:91) ”Psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis.” Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Endraswara (2008:88) menjelaskan:


(22)

”Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan jiwa orang lain. Hanya perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada di dalam karya sastra adalah gejala-gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil. Namun keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia, karena terdapat kemungkinan apa yang tertangkap oleh sang pengarang tak mampu diamati oleh psikolog, atau sebaliknya.”

2.2 Landasan Teori

Psikologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu psyche yang artinya jiwa dan

logos artinya ilmu pengetahuan. Menurut Walgito (dalam Endraswara, 2008:93) ”Psikologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang objek studinya adalah manusia karena psyche atau psicho mengandung pengertian ”jiwa”. Dengan demikian, psikologi mengandung makna ”ilmu pengetahuan jiwa.” Walgito (dalam Wiyatmi, 2011:7) mengatakan, ”Psikologi merupakan suatu ilmu yang meneliti serta mempelajari tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas yang dipandang sebagai manifestasi dari kehidupan psikis manusia.”

Wiyatmi (2011:7) mengemukakan, ”Dalam psikologi, perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme dianggap tidak muncul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsang yang mengenai individu atau organisme itu.”

Hubungan antara psikologi dan sastra sangat berkaitan.Menurut Semi (dalam Endraswara, 2008:7) ”Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar


(23)

(subconcius) setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar (concious) dalam bentuk penciptaan karya sastra.”

Psikologi sastra hadir untuk melengkapi pemahaman sastra. Tanpa kehadiran psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra akan timpang. Daya tarik psikologi sastra adalah terletak pada aneka ungkapan jiwa.

Banyak hal unik dan menarik ketika mengkaji psikologi sastra. Menurut Semi dalam (Endraswara, 2008:12) ada beberapa kelebihan penggunaan psikologi sastra, yaitu:

(1) sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan, (2) dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada penulis tentang masalah perwatakan yang dikembangkannya, dan (3) sangat membantu dalam menganalisis karya sastra surcalis, abstrak, dan absurd, dan akhirnya dapat membantu pembaca memahami karya-karya semacam itu.

Sigmund Freud merupakan tokoh pencetus ide psikologi sastra.Penelitian ini juga menggunakan teori psikoanalisis dari Freud.Dalam teori psikoanalisis, kepribadian dipandang sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga unsur atau sistem, yakni id, ego, dan superego. Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki fungsi, kelengkapan, dinamisme dan mekanisme masing-masing, ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas.

Koswara (1986:32) mengemukakan,

”Id (istilah Freud: das Es) adalah sistem kepribadian yang paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Untuk dua sistem lainnya, id adalah sistem yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur energi yang dibutuhkan oleh sistem-sistem tersebut untuk operasi-operasi atau kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.


(24)

Freud (dalam Taniputera, 2005:44) mengatakan ”Id adalah sistem kepribadian bawaan atau yang paling asli dari manusia. Pada saat dilahirkan, seseorang hanya memiliki id saja.Unsur-unsur kepribadian ini merupakan tempat bersemayamnya naluri-naluri yang sifatnya buta dan tidak terkendali”.

Taniputera (2005:45) mengatakan ”Asas yang mengatur kerjanya id

adalah asas kesenangan guna mencapai kepuasan atau kebahagiaan nurani. Seseorang bayi yang menangis keras-keras saat lapar atau saat merasa tidak nyaman adalah karena di dorong oleh id, bahwa dengan dia menangis maka ia bisa lepas dari ketidaknyamanannya untuk mencapai keinginannya.”

Sistem kepribadian yang kedua adalah Ego.Feist dan Gregory J. Feist (2010:32-33) menjelaskan, “Ego atau saya, adalah satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak dengan realita.Ego berkembang dari id semasa bayi dan menjadi satu-satunya sumber seseorang dalam berkomunikasi dengan dunia luar.Ego dikendalikan oleh prinsip kenyataan (reality principle).Sarwono (2000:156-157) juga mengatakan, ”Ego dapat pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya.”

Koswara (1986:34) mengemukakan,

”Sekilas akan tampak bahwa antara id dan ego hampir selalu terjadi konflik atau pertentangan. Tetapi bagaimana pun, menurut Freud, ego dalam menjalankan fungsinya tidaklah ditujukan untuk menghambat pemuasan kebutuhan-kebutuhan atau naluri-naluri yang berasal dari id, melainkan justru bertindak sebagai perantara dari tuntutan-tuntutan naluriah organisme di satu pihak dengan keadaan lingkungan di pihak lain. Yang dihambat oleh ego adalah pengungkapan naluri-naluri yang tidak layak atau tidak bisa diterima oleh lingkungan. Jadi, fungsi yang paling dasar dari ego ini tidak lain sebagai pemelihara kelangsungan hidup individu.”


(25)

Sistem kepribadian yang ketiga adalah Superego.Taniputera (2005:45) mengatakan, ”Superego merupakan unsur moral atau hukum dari kepribadian manusia. Ia merupakan aspek moral dari seseorang yang menentukan benar dan salahnya perbuatan yang dilakukan”.

Superego adalah suatu sistem yang merupakan kebalikan dari id.Sistem ini sepenuhnya dibentuk oleh kebudayaan. Seorang anak pada waktu kecil mendapat pendidikan dari orangtua dan melalui pendidikan itulah ia mengetahui mana yang baik, mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang, mana yang sesuai dengan norma masyarakat, mana yang melanggar norma. Pada waktu anak itu menjadi dewasa, segala norma-norma yang diperoleh melalui pendidikan itu menjadi pengisi dari sistem superego, sehingga superego berisi dorongan-dorongan untuk berbuat kebaikan, dorongan untuk mengikuti norma-norma masyarakat dan sebagainya.

Koswara (1986:34-35) mengemukakan, ”Superego (istilah Freud: das Ueberich) adalah sistem kepribadian berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik-buruk). Menurut Freud, superego terbentuk melalui internalisasi nilai-nilai atau aturan-aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh, atau bararti bagi individu tersebut seperti orang tua dan guru.”

Feist dan Gregory J. Feist (2010:34) menjelaskan superego memiliki dua subsistem, suara hati (conscience) dan ego ideal. Freud tidak membedakan kedua fungsi ini secara jelas, tetapi secara umum, suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman mendapatkan hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari


(26)

kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal berkembang dari pengalaman mendapat imbalan atas perilaku yang tepat dan mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan.”

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pertama, novel ini diteliti oleh Fepi Mariani (Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Padang) dalam jurnalnya yang berjudul ”Profil Ayah dalam Novel Ayahku(Bukan) Pembohong karya Tere Liye: Tinjauan Sosiologi Sastra.”

Mariani mencoba menerapkan teori sosiologi sastra dalam penelitiannya dan profil Ayah dengan objek penelitian Ayah dari tokoh utama dalam novel

Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye. Mariani mengatakan.profil yang dialami tokoh cerita dipengaruhi oleh hubungannya dengan tokoh lain dan dirinya sendiri dalam cerita tersebut. Sikap atau perilaku atau karakter tokoh dalam berbicara atau bertindak dan berinteraksi dengan orang lain disebut profil.

Berdasarkan hasil penelitian Mariani profil Ayah yang tergambar dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong adalah ayah sebagai orang tua, ayah sebagai suami, ayah sebagai mertua, ayah sebagai kakek, ayah sebagai teman, ayah sebagai pelindung, ayah sebagai guru, ayah sebagai pendongeng, dan semua itu dia perankan dengan sangat baik. Aspek nilai budaya dasar yang terdapat dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong adalah; pandangan hidup, tanggung jawab, cinta kasih, keadilan, kegelisahan, dan penderitaan.


(27)

Kedua diteliti oleh Maria Sulastri Jeharu (Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra, tanpa diketahui asal universitas) dengan artikel yang berjudul ”Konflik Batin Tokoh Utama Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye. Jeharu menggunakan analisis psikologi sastra dengan teori struktur kepribadian dalam menganalisis artikelnya. Jeharu menjelaskan bahwa watak atau kepribadian tokoh Dam berhubungan erat dengan id, ego, dan superego,

kecemasan (anxitas), serta pertahanan ego. Elemen ego Damyang merasa terancam karena kecemasan dari alam bawah sadar yang terkadang bertentangan dengan rasio, menimbulkan beragam perilaku psikologis dan konflik batin dalam dirinya kepada Ayah.

Penelitian yang dilakukan oleh Jeharu menggunakan dua teori, yaitu teori struktural dan teori kepribadian. Teori struktural digunakan untuk mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antara unsur bersangkutan, yang bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antara berbagai unsur karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh.

Jeharu menuliskan bahwa, dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong

pengarang melukiskan konflik batin antara ayah dan anaknya yang disebabkan oleh cerita dongeng.Dongeng tersebut secara tak sadar memengaruhi tingkah laku anaknya.Ketika anaknya menyadari cerita dongeng tersebut tidak masuk di akal, timbul kebencian terhadap ayahnya. Pengarang memberikan solusi dalam penyelesain konflik dengan cara menyuguhkan bagian yang menggambarkan rasa penyesalan anaknya mengenai cerita dongeng. Cerita dongeng ayahnya ternyata benar dan bukan kebohongan.Jeharu mengatakan dalam novel Ayahku (Bukan)


(28)

Pembohong ada tiga solusi yang dilakukan tokoh utama untuk mengatasi konflik batinnya, yaitu sublimasi, proyeksi, dan rasionalisasi.

Peneliti ketiga Mabruroh (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah) dalam skripsinya yang berjudul ”Karakter Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA.”

Mabruroh menguraikan karakteristik Ayah melalui 3 cara, yaitu karakteristik Ayah melalui tingkah laku, karakteristik Ayah melalui ekspresi wajah, dan karakteristik Ayah melalui motivasi yang melandasi. Karakteristik Ayah melalui tingkah laku bahwa ia begitu tegas, penuh kasih, penuh percaya diri, dan penuh tanggung jawab. Ayah sangat gemar bercerita tentang pertualangan masa mudanya. Sosoknya begitu menarik perhatian saat bercerita, begitu meyakinkan dengan intonasi suaranya.Ayah juga pribadi yang selalu menyempatkan diri untuk menemani dan mendukung aktivitas anaknya. Ayah berwatak teguh dalam memegang prinsip. Karakteristik Ayah melalui ekspresi wajah, Ayah memasang ekspresi wajah aneh dan cengiran jahil dengan memasang tangan tanda tanduk di kepala mengungkapkan watak Ayah yang riang gembira dan sedikit jahil, serta ekspresi wajah menahan amarah dan rasa ketakutan mengungkapkan wataknya yang mencoba untuk bersabar. Karakteristik Ayah melalui motivasi yang melandasi, Ayah yang ingin melindungi serta Ayah yang mengalah karena dilandasi oleh motivasi cintanya terhadap keluarga. Impilikasi novel Ayahku (Bukan) Pembohong pada pembelajaran di SMA sebagai salah satu cara untuk menambah minat baca siswa. Selain untuk mengetahui unsur-unsur


(29)

apasaja yang membangun peristiwa dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong,

novel tersebut juga kaya akan nilai-nilai moral dan pesan-pesan yang dapat diambil dan di contoh dalam kehidupan.

Peneliti keempat oleh Nadia Agralana (Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Bung Hatta) dengan jurnal yang berjudul ”Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye.”

Agralana menguraikan data yang ia temukan tentang nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Ayahku (Bukan)Pembohong Karya Tere Liye adalah jujur ditemukan sebanyak 2 data, disiplin, tanggung jawab, mandiri ditemukan data sebanyak 18 data, toleransi, cinta damai, demokratis, cinta tanah air, dan kesatuan ditemukan sebanyak 1 data, percaya diri, kerja keras, kreatif, dan semangat ke bangsaan ditemukan sebanyak 35 data, rasa ingin tahu, dan gemar membaca ditemukan sebanyak 23 data, menghargai prestasi, hormat dan santun di temukan sebanyak 10 data, baik dan rendah hati ditemukan sebanyak 21 data, kepemimpinan dan adil ditemukan sebanyak 3 data, dermawan, suka menolong, gotong royong, peduli sosial, peduli lingkungan ditemukan sebanyak 5 data bersahabat/komunikatif ditemukan sebanyak 3 data.

Setelah diuraikan tentang penelitian yang telah dilakukan terhadap novel

Ayahku (Bukan)Pembohong Karya Tere Liye, beberapa penelitian sudah menyinggung dan membahas tentang karakter tokoh dalam novel, maka tampak bahwa novel tersebut dapat dipandang dan diteliti dengan sudut pandang yang berbeda-beda, dan dapat disimpulkan bahwa novel Ayahku


(30)

(Bukan)Pembohongmemiliki gambaran karakter-karakter yang sangat kuat, terutama pada karakter tokoh utama Ayah dan tokoh Dam. Jika peneliti-peneliti sebelumnya menganalisis karakter tokoh secara garis besar, maka pada kesempatan ini penulis mencoba mengkaji dengan fokus kepada kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dan diungkapkan oleh pengarang lewat perilaku tokoh sehari-hari yang digambarkan lewat dialog-dialog dalam novel tersebut, dengan menguraikan bagaimana mereka tetap bahagia dengan pilihan hidup sederhana kemudian meninjau kesederhanaan Ayah dan Dam tersebut melalui sudut pandang psikologi sastra dengan mempergunakan teori kepribadian psikoanalisis oleh Sigmun Freud.


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian kualitatif. Tantawi (2014:61) mengatakan, ”Data kualitatif adalah data yang berhubungan dengan nilai atau kesan dari objek.” Penelitian kualitatif bertujuan memeroleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti.Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti dan kesemuannya tidak dapat diukur dengan angka.

3.1. Sumber Data

Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah: Judul : Ayahku (Bukan) Pembohong

Pengarang : Tere Liye

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Jumlah Halaman : 304 halaman

Tahun Terbit : April 2011

Warna Sampul : Biru bercampur ungu dan kuning

Gambar Sampul : Gambar apel emas di atas awan, beberapa orang memakai pakaian bola memegang piala, serta dua orang menaiki layang-layang.


(32)

Desain Sampul : Lambok Hutabarat

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research (studi pustaka).Library research bertujuan untuk mengumpulkan datadan informasi dengan bantuan macam-macam materi yang terdapat di ruangperpustakaan, misalnya berupa buku-buku, majalah, naskah, catatan sejarah,dokumen, dan lain-lain. Teknik ini dipakai untuk pengumpulan data utama dan tulisan lain yang berkaitan dengan cerita dan pengarangnya. Adapun cara kerjanya yaitu, membaca dan memahami teks novel Ayahku (Bukan) Pembohong secara berulang-ulang, menemukan kesederhanaan-kesederhanaan dari tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dalam noveltersebut, selanjutnya mencatat data yang penting dan menarik (fakta-fakta empiris mengenai kepribadian tokoh/fakta-fakta bahasa yang berwujud gambaran dialog tokoh-tokohnya) kemudian data dikumpulkan dengan menggunakan metode heuristik dan hermeneutik.

Pradopo (2003:80) menjelaskan,

”Metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan metode pembacaan berdasarkan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai dengan akhir cerita secara berurutan, cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus.Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut.”

Tantawi (2014:62) mengemukakan,

”Hermeneutik yaitu membaca novel objek penelitian dengan cara memahami konvensi-konvensi yang berlaku terhadap sebuah karya sastra, terutama konvensi sastra dan budaya. Konvensi sastra yang menyangkut kepada tema, alur, gaya bahasa, dan tokoh.”


(33)

3.4 Teknik Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Menurut Nazir (dalam Tantawi, 2014:66) ”Metode deskriptif adalah mendeskripsikan tentang situasi atau kejadian, gambaran, lukisan, secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena dengan fenomena pada objek yang diteliti.” Data yang sudah dicatat dan dikumpulkan pada kartu data kemudian dideskripsikan dan dianalisis dengan teori yang digunakan. Pendeskripsian dimulai dengan mendata dan menggambarkan kesederhanaan-kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam yang ada dalam novel

Ayahku (Bukan) Pembohong dengan menganalisisnya melalui tinjauan psikologi sastra dan melihat gejala-gejala kepribadian (id, ego, dan superego)pada tokoh Ayah dan Dam.


(34)

BAB IV

GAMBARAN KESEDERHANAAN DALAM NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong menceritakan tentang seorang Ayah yang memiliki satu anak bernama Dam, yang dididik dengan cara yang berbeda, dalam tingkah laku, dalam berpikir, dalam bertindak dan dengan kesederhanaan, lewat cerita-cerita ayahnya.

”Cerita-cerita Ayah adalah cara ia mendidikku agar tumbuh menjadi anak yang baik, memiliki pemahaman hidup yang berbeda. Cerita Ayah adalah hadiah, hiburan, dan permainan terbaik yang bisa diberikan Ayah, karena hidup kami sederhana, apa adanya.” (Liye, 2011:192-193)

Bahkan sejak kecil Ayah sudah menanamkan pemahaman hidup lewat dongeng dan cerita tentang pertualangan hebat di masa mudanya,

”Sejak kecil, bahkan sejak aku belum bisa diajak bicara, Ayah sudah bercerita. Ia menghabiskan banyak waktu menemaniku, membacakan buku-buku. Ketika halaman buku-buku itu habis, meski sudah membeli buku-buku terbaru dari toko dan meminjam seluruh tumpukan buku di perpustakaan, Ayah mulai mencomot begitu saja dongeng dari langit-langit kamar. Ia pendongeng yang hebat. Sepotong benda atau satu kata bisa berubah menjadi dongeng yang menakjubkan. Entah sejak kapan, Ayah mulai menceritakan masa kecilnya, masa mudanya.” (Liye, 2011:12)

Ayah membesarkan Dam dengan dongeng dan petuah-petuah tersebut, agar cerita itu tertanam di otak dan memengaruhi pemahaman hidup dan perilaku Dam. Hingga pada akhirnya cerita tersebut berhasil membentuk karakter Dam, sehingga Dam menjadi orang yang pintar, dan berhasil menjadi seorang arsitektur berbakat. Digambarkan dalam kutipan berikut:


(35)

”Sebelum beranjak berdiri, aku menyeringai lebar melihat desain setengah jadi di layar laptop.Ini ide yang hebat, fantastis.Aku menggabungkan imajinasiku tentang arsitektur Lembah Bukhara dan perkampungan suku Penguasa Angin.Sejatinya aku tidak pernah membenci cerita-cerita Ayah, aku bahkan menggunakannya dalam hidupku, mulai dari yang terlihat seperti desain-desain yang kubuat, hingga yang tidak terlihat seperti pemahaman hidup dan perangaiku.” (Liye, 2011:164-165)

Bahkan cerita-cerita ayahnya membuat Dam tumbuh menjadi sosok dan pribadi yang istimewa dan berbeda dari teman-teman sebayanya dengan segala kebaikan hatinya. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut:

”Kau pasti Dam.Gadis itu sudah tertawa. ”Tidak ada mahasiswa yang akan ringan hati memberikan antrean pada selusin perempuan yang ketawa-ketiwi, hanya tersenyum saat petugas kantin bilang tidak ada kembalian, atau sekedar menyeringai datar ketika mejanya diserobot. Tidak ada orang dengan kebaikan sedetail itu. Kau pasti Dam….” (Liye, 2011:245)

”Kau lupa, kau mewarisi tabiat baik dari cerita-cerita itu. Seluruh penghuni kompleks ini mengenal kau.Dam yang ramah, baik hati, dan ringan tangan membantu.Dam yang ramah, baik hati, dan ringan tangan membantu.Dam selalu menyapa, Dam pandai mendamaikan pertengkaran. Coba kau Tanya sopir angkutan umum di terminal, mereka tahu rumah Dam sang arsitek tidak? Mereka bahkan dengan senang hati mengantar tamu yang bertanya ke rumah kita.” (Liye, 2011:273)

Novel Ayahku (Bukan) Pembohongmenggambarkan sebuah keluarga yang hidup dalam kesederhanaan, tentang seorang ayah yang memilih jalan hidupnya untuk hidup secara sederhana bersama istri dan anak tunggalnya, meskipun ia adalah lulusan master hukum universitas ternama di Eropa, namun ia memilih untuk menjadi seorang pegawai negeri biasa.Penggambaran kesederhanaan Ayah dapat dilihat dalam kutipan berikut:


(36)

”Ayah hidup sederhana karena itu pilihannya, Dam.” Suara Taani mulai serak.”Astaga, Dam. Ayah lulusan terbaik dari sekolah hukum terbaik di Eropa. Saat pulang dia bisa jadi hakim agung, bisa jadi pejabat tinggi.Dia bisa amat kaya dan berkuasa. Dia memilih sendiri untuk hidup sederhana…” (Liye, 2011:274)

Meski hidup tanpa kemewahan, tanpa rumah yang indah, tanpa sebuah mobil yang terparkir di garasi, bahkan tanpa sepeda motor mereka tetap bahagia, karena bagi ayahnya kebahagiaan bukanlah hal yang dapat diukur dari seberapa banyak memiliki barang-barang mewah. Baginya kebahagiaan adalah bagaimana kita masih tetap mensyukuri apa yang kita miliki, karena kebahagian lahir dari dalam hati bukan dari orang lain atau barang apapun. Sebagaimana terlihat dalam kutipan ini:

”Keluarga kami tidak kekurangan, meski juga tidak kaya (jangan bandingkan dengan keluarga Jarjit). Walau lulusan master hukum luar negeri, Ayah hanya menjadi pegawai negeri golongan menengah, bukan hakim, jaksa, atau pejabat penting seperti teman-temannya yang bahkan lulusan sekolah hukum terbaik dalam negeri pun tidak. Lebih tepatnya, hidup kami apa adanya.” (Liye, 2011:51)

”Dari percakapan yang aku kuping dari kepala sekolah, pelatih, tetangga, atau orangtua di sekitarku, mereka sering menyimpulkan: Ayah terlalu jujur dan terlalu sederhana. Dari ibuku, karena aku sekali-dua sering bertanya kenapa kami kemana-mana harus menaiki kendaraan umum, aku hanya mendapat jawaban ”Bukankah itu lebih keren? Kita jadi punya mobil banyak sekali, bukan?”Lantas ibu tertawa—meski Ibu jarang sekali terlihat tertawa.” (Liye, 2011:51-52)

Meski keluarga mereka bukan keluarga kaya dan terpandang tetapi keluarga mereka adalah keluarga yang dihormati karena Ayah suka membantu tetangga, juga keramahan sikap, santun, dan tutur kata Ayah, sehingga keluarga mereka sangat disegani masyarakat sekitarnya. Bahkan ketika keluarga Jarjit tahu


(37)

bahwa ia menghina keluarga Dam. Hal ini setara dengan pernyataan Rahmanto (t.t:7) ”Sikap sederhana juga tidak akan membuat darajat seseorang menjadi rendah, malah ia akan dihormati dan dihargai.” Terlihat dalam kutipan berikut:

”Kau bilang apa? Keluarga mereka amat terhormat meski tidak memiliki bola bertanda tangan sialan itu.Keluarga mereka bahkan lebih terhormat dibandingkan kolega bisnis paling kaya papa. Sekali lagi kau menghina keluarga mereka miskin, menghina ayah Dam hanya pegawai negeri rendahan, Papa hukum kau berangkat sekolah jalan kaki,” (Liye, 2011:63)

Penggambaran kesederhanaan keluarga mereka yang dipenuhi kebahagiaan juga terlihat saat mereka bertiga merayakan ulang tahun Ibu.Meski tanpa perayaan yang mewah namun mereka merasakan kebahagiaan yang tiada taranya. Berikut kutipannya:

”Aku dan Ayah merayakan ulang tahun Ibu, menghabiskan waktu di teras rumah. Meski tanpa kado istimewa, tanpa kue tar dan lilin, hanya kami bertiga, acara itu menyenangkan.Aku memberikan gambar Ibu yang kugambar sendiri.”Kau berbakat, Dam.”Ibu berkaca-kaca menerimanya.Ayah, sambil bergaya memetik gitar, terdengar fals dan berantakan. Kami tertawa menyuruh Ayah berhenti. Hanya seperti itulah perayaan ulang tahun Ibu yang ke-40.Di atas segalanya, Ibu terlihat sehat.Itu hadiah paling istimewa.” (Liye, 2011:121)

Kebahagiaan itu dibuktikan dalam kalimat meski tanpa kado istimewa, tanpa kue tar dan lilin, hanya kami bertiga, acara itu menyenangkan. Gambaran kesederhanaan yang ditampilkan dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohongini dapat diuraikan lebih terperinci dari beberapa wujud kesederhanaan, seperti sederhana niat dan tujuan, sederhana berpikir, sederhana keperluan hidup, sederhana dalam sukacita, sederhana dalam kegigihan berusaha dan sederhana


(38)

mencari nama. Keenam wujud inilah yang akan diuraikan secara terperinci, yaitu bagaimana kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dalam novel

Ayahku (Bukan) Pembohong dan kemudian penulis akan meninjau dari sudut padang psikologi sastra dengan melihat gejala id, ego, dan superego

menggunakan teori kepribadian oleh Sigmun Freud.

4.1 Sederhana Niat dan Tujuan

Banyak orang menyangka, karena seseorang berpakaian koyak dan murah atau rumahnya kurang indah orang itu dikatakan sederhana. Jika dari sana hendak diukur kesederhanaan, kita tidak akan bertemu hakikat yang sebenarnya. Hamka (1984:153) mengatakan, ”Sederhana niat, sederhana tujuan, ialah tujuan manusia yang berakal, dalam arti tidak usah berniat hendak jadi raja, tidak perlu bercita-cita jadi orang berpangkat dengan gaji besar, yang perlu adalah meluruskan niat.”

Dalam novel Ayahku (Bukan) PembohongAyah adalah sosok yang sederhana secara niat dan tujuan. Ia tidak tergila-gila ingin menjadi masyhur dan kaya, ia tidak mengejar pangkat yang tinggi dengan tujuan mendapatkan gaji yang besar, tetapi ia meluruskan niatnya agar ia berjasa bagi kehidupan. Seperti yang tertulis dalam (Liye, 2011:274) Padahal Ayah merupakan lulusan dari sekolah hukum terbaik di Eropa, maka saat pulang dia bisa jadi hakim agung, bisa jadi pejabat tinggi dan dia bisa amat kaya dan berkuasa tetapi Dia memilih untuk hidup sederhana dalam kesederhanaan. Ayah memahami hakikat hidup bukan tentang kekayaan atau termasyhur, karena kekayaan adalah warna hidup belaka bukan hakikat hidup. Hal tersebut setara dengan pendapat Hamka (1984:154)


(39)

yang mengatakan ”Hakikat hidup ialah tujuan, niat suci, dan sederhana itu sendiri.”

Hamka (1984:154) juga mengatakan, ”Sederhana niat dan tujuan berarti ikhlas dengan pemberian Tuhan.” Ayah memiliki kepribadian yang ikhlas, karena ia menerima apa saja yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Ia tidak tergiur dan sakit hati bila orang lain menerima nikmat yang melebihi apa yang ada padanya. Ia sudah merasa cukup dengan apa yang ada padanya, bukan karena pasrah tetapi karena dia memahami hakikat kehidupan. Dia termasuk kategori orang yang kaya hati, karena pada hakikatnya kekayaan itu bukanlah tergantung pada banyaknya harta dan fasilitas melainkan sifat menerima dan merasa cukup dengan apa yang ada.

Begitu juga dengan Dam, ia memiliki aktivitas lain selain sekolah yaitu membantu masyarakat kampung, bukan hanya untuk mengharapkan uang atau bintang yang akan dihiaskan di dada, tetapi ia sadar sebagai makhluk hidup kita harus berjasa pada kehidupan, sebagai laki-laki ia harus tegak pada garis laki-laki, yaitu memiliki hati kemanusiaan, dengan niat dan tujuan mulia. Berikut kutipannya:

”Ideku sederhana.Aku ingin bekerja di luar, membantu perkampungan dekat Akademi Gajah. Setiap sore, lepas jadwal di kelas, aku bisa membantu mereka mengurus lading, menangkap ikan, dan jenis pekerjaan yang tersedia. Mereka butuh lelaki dewasa untuk membantu,..” (Liye, 2011:204-205)

Kesederhanaan niat dan tujuan Dam adalah ketika ia tidak berpikir bahwa aktivitas membantu masyarakat itu akan membebankannya, akan tetapi pekerjaan


(40)

itu menjadi aktivitas yang menyenangkan untuknya. Seperti dalam kutipan berikut:

”Itu menjadi pengalaman yang seru, belajar sekaligus bekerja yang sebenarnya.Teman-teman juga membutuhkan bersosialisasi dengan penduduk, bisa menjadi bagian mengisi waktu senggang.Aku pikir itu tidak akan mengganggu aktivitas belajar.” (Liye, 2011:205)

4.2 Sederhana Berpikir

Hamka (1984:154) mengatakan, ”Pikiran yang matang dapat membedakan yang gelap dan yang terang, dapat membuang jauh-jauh pendapat yang salah dan pendirian yang curang. Satu kegilaan yang menghilangkan sederhana ialah merasa kagum pada diri sendiri.Pongah dengan nama dan turunan.”Mempergunakan akal dengan seksama adalah sadar bahwa kita datang ke dunia bukanlah untuk melihat-lihat dan menilik-nilik diri di depan kaca sambil membusungkan dada. Kita datang ke dunia untuk bekerja, dan apa yang kita kerjakan itu pada hakikatnya bukan jasa seperti yang disangka kebanyakan orang, tetapi kewajiban yang sudah semestinya dilakukan oleh tiap-tiap orang hidup, seperti Ayah yang sederhana dalam berpikir, bahwa membantu orang lain adalah wujud kewajibannya sebagai sesama manusia, bukan menganggapnya sebagai jasa, dan tidak merasa kagum akan dirinya sendiri atau membusungkan dadanya karena merasa ia orang hebat sehingga ia pun menjadi pribadi yang disenangi banyak orang. Terlihat dalam kutipan berikut:

”Ayah kau pastilah tidak pernah bilang itu.” Sang Kapten seperti tahu apa yang kupikirkan. ”Tentu saja, karena sejatinya tanpa bertemu dengan ayah kau saat aku menjadi pengantar sup jamur, aku tidak akan pernah menjadi pemain hebat. Dam, tanpa itu keponakanku yang pemalas ini juga


(41)

tidak akan pernah menjadi pemain hebat, karena aku tidak punya inspirasi mendidiknya. Ayah kaulah yang datang ke klub itu, bilang aku berhak mendapatkan kesempatan. Dia mengancam akan melaporkan klub itu ke komite olahraga karena menolakku ikut seleksi hanya gara-gara tinggi badan.” (Liye, 2011:297-298)

Meskipun Ayah sudah membantu sang Kapten, tetapi ia tidak membusungkan dadanya, ini terbukti pada kalimat Ayah kau pastilah tidak pernah bilang itu, yang menandakan ia tidak merasa hebat karena pernah membantu seseorang yang kini sudah menjadi orang berhasil dan mendunia. Orang yang sederhana dalam berpikir akan rendah hati. Rendah hati jauh dari sifat membeda-bedakan golongan dan status sosial, dan rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain dan tidak mau menonjolkan diri dalam pergaulan (dalam arti negatif) sekalipun ia mempunyai kelebihan dan kemampuan. Ayah adalah seorang pribadi yang rendah hati, karena meskipun ia memiliki pendidikan tinggi sebagai master hukum luar negeri, ia tidak pernah menonjolkan dirinya, telah dibuktikan dalam dialog yang terdapat dalam (Liye, 2011:274)

Begitu pula dengan Dam, ia juga adalah seorang pribadi sederhana. Ia menggunakan akalnya dengan seksama dengan tidak memikirkan dirinya sendiri. Seperti yang terlihat dalam kutipan, ”Tidak ada waktu untuk berpikir soal kemenangan.Jarjit mengalami masalah, maka aku segera membalik badan.” (Liye, 2011:17). Lewat apa yang dilakukan Jarjit selama ini kepada Dam, dan mengingat mereka adalah musuh, seperti layaknya Anjing dan Kucing, maka Dam punya alasan yang kuat untuk tidak menolong Jarjit apalagi mereka sedang


(42)

bertanding, dan Dam sudah mendekati kemenangannya, dengan itu ia dapat membuktikan diri atas kehebatannya tetapi Dam melupakan itu semua. Ia tidak berpikir soal kemenangannya, dengan merendahkan hati ia berusaha menolong Jarjit.

”Aku memukul dada Jarjit keras-keras---teknik yang diajarkan pelatih sebagai pertolongan pertama keadaan darurat.Jarjit bergeming.Tubuh tinggi besarnya terkulai lemah.Aku memukul lebih keras.Ayolah, Kawan kau bisa melakukannya.Aku berseru cemas.Tetap tidak ada reaksi.Beruntung, sebelum aku panik, Jarjit tersendak memuntahkan air.Ia siuman. Aku membantunya bersandar.” (Liye, 2011:17)

4.3 Sederhana Keperluan Hidup

Sederhana keperluan hidup adalah bersikaprealistis dan proposional, artinya menyelaraskan antara kebutuhan atau keinginan dengan kemampuan secara proporsional. Ada pepatah yang mengatakan: “Jangan lebih besar pasak daripada tiang”. Bersikaplah yang sedang-sedang saja, tidak boros dan juga tidak kikir.Seseorang yang hidup proporsional menyeimbangkan antara keinginan, dan hidupnya senantiasa terarah.Ia mampu membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang hanya sekedar keinginan. Ayah sadar betul akan hal ini, sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya ia tidak pernah berfoya-foya. Ia tahu memilah-milah mana yang penting dan mana yang tidak. Seperti yang digambarkan oleh pernyataan Dam berikut ini:

”Ayah, sejak aku mengerti apa itu uang, tidak pernah mau membelikan sesuatu di luar buku, keperluan sekolah, dan pengeluaran penting lainnya--- jangan Tanya uang saku harian, tidak ada. Dan jelas tiket sepak bola di luar itu semua.Aku tahu peraturan itu.” (Liye, 2011:86)


(43)

Bukan karena Ayah adalah orang yang kikir, ini terbukti saat ia akhirnya membeli tiket VIP untuk menonton pertandingan sepak bola di stadion, semua itu karena ia ingin menyenangkan hati Dam, karena ia sayang kepada Dam. Seperti yang terlihat dalam kutipan ”Ayah memutuskan menelepon call center

pemesanan, membeli tiga tiket VIP sekaligus, untukku, Ayah, dan Ibu. Itu benda paling mahal yang dibeli Ayah seumur hidupnya…” (Liye, 2011:87)

Ayah juga tidak membeli sepeda motor, bukan karena ia enggan, namun ia berpikir selagisepeda motor tidak terlalu menjadi kebutuhan utama, ia masih bersedia naik angkutan umum. Terlihat dalam kutipan berikut, ”Pulang sekolah, dengan menumpang angkutan umum, Ayah menjemputku.” (Liye, 2011:22)

Sama halnya seperti Ayah, Dam juga mewarisi kesederhanaan dari beliau. Saat ia ditawari akan diberi hadiah jika menang lomba renang estafet, ia tidak menginginkan hadiah mewah layaknya seperti anak-anak lain, yang terbiasa diberi hadiah mainan atau barang-barang mahal. Seperti yang digambarkan dalam dialog berikut ini:

”Kau ingin hadiah apa jika menang?” Ayah bertanya.

”Aku menggeleng, tidak ingin hadiah apa-apa.Tepatnya sejak kecil aku terbiasa dibesarkan tanpa hadiah, kejutan, dan sejenisnya.Bagiku hadiah hanya berbentuk cerita-cerita Ayah, masakan special Ibu, dan jenis hadiah yang tidak lazim kalian bayangkan.” (Liye, 2011:97)

Bahkan hingga menjadi seorang mahasiswa ia hanya menggunakan motor vespa sebagai kendaraannya disaat teman-teman sebayanya menggunakan motor mewah bahkan menggunakan mobil pergi ke kampus. Seperti dalam kutipan berikut, ”Hari itu gerimis membasuh kota. Aku memperlambat laju motor vespa, berbelok ke gedung jurusan ilmu pasti.” (Liye, 2011:243)


(44)

4.4 Sederhana dalam Sukacita

Hamka (1984:170) mengatakan, ”Perasaan sukacita, gembira, bukanlah sifat lahir dan bukan pula dari kediaman. Kadang orang kaya yang memakan berbagai makanan di dalamnya, dan tidur di atas kasur yang empuk lebih banyak mengeluh dari si miskin yang hanya tinggal di dalam sebuah gubuk dan yang hanya tidur beralaskan tikar rombeng.”Sebab itu maka perasaan sukacita bukan dibawa saat lahir atau karena kemewahan.

Di saat orang lain mencintai dunia dengan segala isinya dan berlomba-lomba mencari kebahagiaan lewat kemewahan yang ada, Ayah sibuk memikirkan filsafat hidup, mencari makna kehidupan, dan prinsip-prinsip hidup yang agung. Ia berpikir mengapa manusia bisa tiba-tiba merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan, tetapi dengan cepat kesenangan itu hilang saat menerima sesuatu yang buruk, seolah-olah manusia dikendalikan oleh situasi, hingga Ayah memutuskan melakukan pertualangan saat ia masih muda, hingga akhirnya ia mendapat pemahaman hidup yang benar, kini baginya kebahagiaan itu lahir dari batin, dari hati dengan mata air yang bening. Sosok Ayah penuh dengan sukacita, kebahagiaan meski tanpa kemewahan. Seperti yang tersirat di pikirannya dalam kutipan berikut:

”Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam.Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.” (Liye, 2011:292)


(45)

Itulah sebabnya Ayah tidak kekurangan dalam kebahagiaan, meskipun ia harus menjalani hidupnya tanpa kemewahan dan uang yang banyak. Kesederhanaan dalam sukacita Dam digambarkan dalam kutipan berikut:

”Sungguh, aku tidak suka dengan hadiah-hadiah itu. Aku hanya ingin hadiah Ibu lekas sembuh. Jadi, jika Ibu tidak bisa menontonku memenangkan piala ini, setidaknya dengan kondisi sehat Ibu bisa melihat langsung sang Kapten bersama kami minggu depan. Itu hadiah terindah.” (Liye, 2011:102)

Penggambaran lain adalah saat ia meminta hadiah dari ayahnya digantikan agar ia diizinkan untuk bersalaman dengan sang Kapten dan berfoto bersamanya. Hanya dengan hal itu Dam sudah merasa sukacita, ia tidak memerlukan hadiah yang lain. Terlihat dalam kutipan berikut, “Aku ingin hadiah, eh, minggu depan pas tur sepak bola itu, aku ingin bersalaman dengan sang Kapten, berfoto bersamanya. Aku ingin hadiah itu.”(Liye, 2011:98) karena sejak kecil Dam sudah dididik dalam hal kesederhanaan. Seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut, ”Dam sejak kecil tidak pernah mendapatkan kesenangan, berlebihan, bukan? Bahkan keluarga kita tidak pernah mendapatkan kesenangan berlebihan.” (Liye, 2011:87)

4.5 Sederhana dalam Kegigihan Berusaha

Hidup sederhana adalah hidupnya orang yang gigih berusaha.Ia dapat meletakkan usahanya pada tempat sebagaimana mestinya. Dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohongsosok Ayah juga menggambarkan pribadi yang gigih berusaha.


(46)

Mulai dari kegigihannya melakukan pertualangan di masa mudanya, saat melakukan perjalanan yang jauh ia tidak merasa lelah. Terlihat dalam kutipan berikut:

”Setelah lewat tiga tahun membawa ransel berat di punggung, Ayah tiba di penghujung perjalanan. Sudah puluhan ribu mil dilewati, tidak terhitung sepatu dan sandal yang rusak, setidaknya tiga kali Ayah kehabisan bekal dan harus menetap dua-tiga bulan, bekerja serabutan, mengumpulkan uang untuk melanjutkan perjalanan.” (Liye, 2011:150)

Ayah begitu bersemangat dan tidak mengenal lelah walau ia hanya berjalan kaki berpuluh ribu mil. Penggambaran kegigihan Ayah juga terlihat dalam kutipan berikut: ”Sang Guru menatap Ayah lamat-lamat, berpikir sejenak. Seberapa tangguh Ayah berusaha mencari tahu? Ayah berkata mantap, apa pun akan Ayah lakukan.” (Liye, 2011:289) Kutipan tersebut membuktikan bahwa sosok Ayah tidak pantang menyerah dan selalu berusaha untuk mewujudkan keinginannya, dalam hal ini Ayah begitu gigih untuk mencari tahu hakikat kebahagiaan sejati dan berkata bahwa ia akan melakukan apapun untuk mencari tahu.

Dalam mencari tahu hakikat kebahagiaan sejati Ayah bekerja begitu keras, karena sang Guru menyuruhnya untuk membuat sebuah danau di tanah yang luas. Kegigihan Ayah digambarkan dalam kutipan berikut:

”Kau tahu, Dam, tidak terbilang tanah yang harus Ayah pindahkan. Berkubang licak setiap hari, mulai bekerja saat matahari terbit, baru berhenti ketika matahari tenggelam. Ayah baru berhenti saat galian itu memiliki kedalaman tiga meter, luasnya sebesar lapangan bola. Pekerjaan Ayah baru selesai. Ayah kemudian membuat parit-parit dari mata air yang ada di hutan, mengalirkannya ke lubang danau.


(47)

Setahun berlalu, danau itu jadi. Ayah tersenyum senang. Tidak lama lagi jawaban pertanyaan itu akan datang. Lihatlah, danau yang Ayah buat sebening air mata.”(Liye, 2011:289-290)

Malam sebelum sang Guru datang hujan pun turun dan danau yang Ayah gali menjadi kotor dan keruh sehingga Ayah harus bekerja lagi dengan membuat saringan di setiap parit agar air keruh dan kotor dari mata air ketika hujan turun tetap bening saat tiba di danau. Ayah mengerjakannya dengan senang hati. Ayah juga memperbaiki seluruh parit yang bermuara ke danau, memastikan tidak ada sumbernya yang bermasalah. Setahun berlalu lagi namun ketika sang Guru menusuk-nusuk dasar danau dengan sepotong bambu, lantai danau yang terbuat dari tanah langsung mengeluarkan kepul lumpur kotor kecokelatan. Semua usaha Ayah terlihat sia-sia namun pada akhirnya Ayah berhasil membuat danau sempurna sebening air mata. Semua pencapaian usaha dan kegigihan Ayah tergambar dalam kutipan berikut:

”Kau tahu, Dam. Ayah seperti dipermainkan. Apa lagi yang kurang dari danau Ayah? Dua tahun sia-sia. Baiklah, Ayah tahu apa yang harus Ayah kerjakan. Ayah memutuskan menggali danau sedalam mungkin hingga menyentuh dasar bebatuan, menyentuh mata airnya. Setahun berlalu, Ayah masih berkutat menyingkirkan tanah-tanah, kedalaman danau sudah sepuluh meter. Sang Guru datang, melihat dengan takzim Ayah yang sibuk bekerja. Dua tahun berlalu, Ayah masih berkutat mengeduk tanah. Tiga tahun berlalu, setelah kerja keras siang-malam, akhirnya Ayah berhasil menyentuh dasar bebatuan. Air keluar deras dari sela-sela batunya. Ayah tertawa senang. Semua parit Ayah tutup. Danau itu sempurna hanya digenangi air dari mata airnya sendiri.” (Liye, 2011:291)


(48)

Semua usaha dan kegigihan Ayah mendapatkan hasil yang baik, karena ketika gagal satu kali Ayah tidak menyerah dan patah semangat, dan ketika gagal kedua kalinya Ayah tetap tidak putus asa dan berusaha memperbaiki semua kegagalannya. Begitu pula dengan Dam, ia juga merupakan seorang anak yang gigih dalam berusaha, baik dalam pendidikannya maupun dalam memenuhi keinginannya. Seperti dalam kutipan, ”Aku berlatih dua kali lebih semangat dibanding anggota klub lain---datang lebih awal; pulang paling akhir.” (Liye, 2011:51). Juga untuk mengejar peringkat, Dam begitu gigih berusaha, seperti dalam kutipan, ”Untuk masuk sepuluh besar pun aku harus belajar habis-habisan.” (Liye, 2011:67). Hal ini menandakan meskipun Dam bukan orang yang pintar tetapi ia berusaha gigih untuk meraih peringkat sepuluh besar.

Penggambaran kegigihan Dam lainnya adalah saat ia begitu gigih bekerja di perkampungan penduduk, dengan mengumpulkan gaji serta bonus yang ia terima selama bekerja untuk biaya pengobatan ibunya. Dalam kutipan berikut: ”Aku bisa membantu mengurus ternak sapi, mulai dari memberi makan, memandikan, memeras, hingga menjual hasil perasan susu ke pedagang dari kota.” (Liye, 2011:205) Gaji yang ia kumpulkan akan ia gunakan untuk perawatan Ibu dibuktikan dalam kutipan berikut,

”Aku tersenyum riang.Catatanku semakin panjang. Jumlahnya semakin banyak. Sudah sepuluh kali lipat dibandingkan harga tiket kelas VIP saat menonton sang Kapten dulu. Semoga persis saat meninggalkan asrama, menyelesaikan masa SMA-ku, uang ini cukup untuk biaya perawatan Ibu.” (Liye, 2011:208-209)


(49)

Semua hasil usaha dan kegigihan Dam bukan hanya untuk dinikmatinya sendiri, itu membuktikan bahwa Dam berusaha bukan untuk mewujudkan obsesinya saja, tetapi ia gigih bekerja dan membantu orang lain untuk Ibunya.

4.6 Sederhana Mencari Nama

Salah satu perangai kegila-gilaan di zaman ini, ialah mencari nama dan kemasyuran. Misalnya seseorang mengeluarkan uang untuk sumbangan maka disorakkan sampai membumbung ke langit bahwa ia telah menyumbang, atau pemimpin yang mengumandangkan kepada rakyat bahwa dialah pemimpin sejati, juga menonjolkan dirinya karena tittle dan lulusannya, namun berbeda dengan sosok Ayah, ia merupakan pribadi yang sederhana dalam mencari nama karena meskipun ia adalah lulusan sekolah hukum ternama di Eropa ia tidak mengumandangkannya ke semua orang untuk memasyhurkan namanya. Bahkan Ayah berteman dan mengenal begitu dekat dengan sosok sang Kapten yang merupakan bintang dunia, namun ia menyembunyikan hal itu dan tidak membeberkannya kepada orang lain kecuali kepada anaknya, Dam. Dapat dilihat dalam kutipan berikut:

”Mulutku membuka separuh, ternganga.Sungguh? Ayah tidak bergurau, bukan? Baru tadi siang teman-temanku sibuk pamer poster keren sang Kapten, kaus sang Kapten, syal klub, dan topi klub. Bahkan Jarjit, yang orangtuanya kaya raya, memperlihatkan bola yang ditandatangani sendiri sang Kapten waktu ia sekeluarga pelesir ke luar negeri menonton langsung. Sombong sekali Jarjit memamerkannya, lantas bilang, ”Dan kau, Pengecut, mana koleksi kau? Atau jangan-jangan ayah kau yang miskin itu bahkan tidak mampu membelikan kartu bergambar.” (Liye, 2011:15)


(50)

”Sekarang, apa aku tidak salah dengar? Ayah bilang dia mengenal langsung sang Kapten? Ini jelas beribu kali lebih keren dibanding bola Jarjit.” (Liye, 2011:15)

Karena kesederhanaannya, Ayah tidak sibuk membesarkan namanya setelah semua yang ia lakukan kepada sang Kapten. Ayah tidak menganggap bahwa apa yang ia lakukan sudah besar, sehingga ayah menyembunyikan diri dari sang Kapten padahal sang Kapten merasa bahwa Ayah adalah orang yang sangat berjasa dan berarti bagi sang Kapten. Berikut kutipannya:

”Senang akhirnya bisa bertemu dengan keluarga kau, Dam.Satu-satunya penyesalanku adalah aku tidak pernah tahu di mana ayah kau tinggal. Dia raib begitu saja setelah lulus sekolah masternya. Aku bertahun-tahun menyuruh agen ku mencari tahu. Saat tur ke kota kau tiga puluh tahun silam, aku berharap ayah kau menyapa, ternyata tidak. Aku bertanya ke panitia pertandingan, tidak ada yang tahu.Untunglah keponakanku yang pemalas ini ikut mencari.Dia berhasil mendapatkan nomor telepon ayah kau beberapa bulan lalu, dan pernah menghubungi ayah kau.Kami merencanakan datang saat libur musim kompetisi.Lihat, aku datang amat terlambat. Ayah kau sudah pergi.” (Liye, 2011:298)

Kutipan tersebut di atas membuktikan bahwa ayah adalah pribadi yang begitu sederhana dalam mencari nama. Ia tidak memamerkan kepada khalayak umum jika ia pernah membantu sang Kapten yang sudah berhasil dan menjadi bintang dunia. Dapat dibuktikan dalam kutipan berikut ini:

”Jarjit yang dulu bangga sekali punya bola bertanda tangan itu mengacungkan jempol, tersenyum.Sang Kapten sudah memelukku erat-erat.”Aku turut berdukacita, Dam.Ayah Kau adalah segalanya bagi kapten tua ini. Ayah kau terlalu sederhana untuk mengakuinya.” (Liye, 2011:298)


(51)

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesederhanaan bukan berarti melambangkan orang yang serba kekurangan. Sikap sederhana tidak akan membuat darajat seseorang menjadi rendah, tetapi ia akan dihormati dan dihargai. Dengan kepribadian Ayah yang begitu sederhana keluarga mereka menjadi keluarga yang terhormat.Berikut kutipannya: ”Sampaikan salamku padanya, Dam. Aku senang sekali saat tahu putra ayah kau yang datang makan malam bersama kami.Ini kehormatan.” (Liye, 2011:251)


(52)

BAB V

KESEDERHANAAN AYAH DAN DAM DITINJAU DARI SUDUT PADANG PSIKOLOGI SASTRA

Setelah penggambaran kesederhanaan Ayah dan Dam yang telah diuraikan di atas, selanjutnya kesederhanaan Ayah dan Dam akan ditinjau dari sudut padang psikologi sastra dengan melihat gejala id, ego, dan superego

menggunakan teori kepribadian Sigmun Freud. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Sigmund Freud merupakan tokoh pencetus ide psikologi sastra, ia membagi kepribadian atas tiga unsur atau sistem, yakni id, ego, dan superego.

Sudah diuraikan pula bahwa Dorland (dalam Sumarna, 2015:8) mendefinisikan, ”Kepribadian merupakan pola khas seseorang dalam berpikir, merasakan, dan berperilaku yang terlatif stabil dan dapat diperkirakan.”Kesederhanaan merupakan sebuah pola perilaku atau sifat. Berikut ini adalah kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam dengan melihat gejala id, ego, dan superego.

5.1 Kesederhanaan Tokoh Ayah

Gejala id tokoh Ayah adalah ketika ia memilih hidup dalam kesederhanaan meskipun ia adalah seorang lulusan master hukum ternama dari luar negeri, karena id disebut prinsip kesenangan, dan kederhanaan dalam memeroleh kepuasannya tersebut terlihat dalam (Liye, 2011:274) yang telah dikutip sebelumnya. Menjadi sederhana adalah pilihan Ayah sendiri, karena sebenarnya Ayah bisa menjadi orang kaya dan termasyhur dengan lulusan yang ia


(53)

miliki, namun kebahagiaan dan kepuasan hatinya bukan terletak pada kedudukan, harta dan kemewahan sehingga ia memilih untuk menjadi seorang pegawai negeri biasa. Seperti yang diungkapkan dalam kutipan berikut:

”Walau lulusan master hukum luar negeri, Ayah hanya menjadi pegawai negeri golongan menengah, bukan hakim, jaksa, atau pejabat penting seperti teman-temannya yang bahkan lulusan sekolah hukum terbaik dalam negeri pun tidak. Lebih tepatnya, hidup kami apa adanya.” (Liye, 2011:51)

Gejala id kesederhanaan Ayah juga terlihat saat ia menggunakan angkutan kemana-mana, bahkan untuk menjemput Dam. Seperti dalam kutipan berikut: ”Pulang sekolah, dengan menumpang angkutan umum, Ayah menjemputku. Ia langsung mengantarku ke klub renang kota kami.” (Liye, 2011:22). Menggunakan angkutan umum adalah kesenangan bagi Ayah, bahkan ia tidak merasa malu dan rendah diri akan hal tersebut.

Ego mengambil peran eksekutif atau pengambil keputusan dari kepribadian.Mengontrol jalan-jalan yang ditempuh. Ketika Ayah memilih untuk hidup dalam kesederhanaan, keputusannya tersebut tidak membuat hidupnya serabutan dan tidak menentu. Ayah dapat menjalani dan mengontrol hidupnya dengan baik. Seperti yang sudah dikutip sebelumnya dalam (Liye, 2011:294). Ayah menjalani hidupnya dengan berprasangka baik ke semua orang, berbuat baik, bahkan pada orang yang baru ia kenal, menghargai orang lain, kehidupan, dan alam sekitar.

Gejala superego Ayah adalah saat ia belajar dari pengalamannya menggali danau Sufi atas perintah dari sang Guru, sehingga ia memahami arti dari sebuah kebijaksanaan hidup sederhana. Berikut kutipannya:


(54)

”Guru datang pada hari yang dijanjikan. Dia tertawa renyah melihat danau yang bagai kristal air mata. Tetap bening meski ada yang menusuk-nusuk dasarnya, tetap dengan cepat kembali bening meski ada air dari parit yang bocor dan sejenak membuat keruh. Sang Guru menatap Ayah, bertanya apakah Ayah masih butuh penjelasan atas pertanyaan itu. Ayah menggeleng. Hari itu Ayah sudah tahu jawabannya, Dam. Setelah lima tahun bekerja keras, hanya untuk memahami sebuah kebijaksanaan hidup sederhana, Ayah tahu jawabannya.” (Liye, 2011:291)

Hal tersebut setara dengan superego yang berisikan tentang nilai baik-buruk, dan superego yang memiliki sistem ego ideal. Pengalaman-pengalaman tersebut mengajari dan mengarahkan tokoh Ayah kepada hal-hal yang sebaiknya dilakukan. Setelah Ayah memahami arti dari sebuah kebijaksanaan hidup sederhana, hingga akhir hidupnya Ayah memilih untuk menjalani hidup dengan sederhana dan menjadi menjadi pribadi yang sederhana. Hal tersebut setara dengan Wiyatmi (2011:7) yang mengemukakan, ”Dalam psikologi, perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme dianggap tidak muncul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsang yang mengenai individu atau organisme itu.” Pengalaman-pengalaman itulah sebagai stimulus yang merangsang perubahan perilaku Ayah menjadi pribadi yang sederhana.

5.2 Kesederhanaan Tokoh Dam

Telah dijelaskan sebelumnya definisi id dalam Koswara (1986:32) yang mengemukakan, ”Id (istilah Freud: das Es) adalah sistem kepribadian yang paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan.” Gejala id tokoh


(55)

Dam dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong adalah ketika ia menolong Jarjit yang akan tenggelam saat mereka berdua bersepakat untuk lomba renang. Dam merendahkan hatinya untuk menolong Jarjit, meskipun selama ini Jarjit sudah begitu banyak menyakiti hatinya. Berikut ini kutipannya:

”Tidak ada waktu untuk berpikir soal kemenangan.Jarjit mengalami masalah, maka aku segera membalik badan.Jarjit berseru-seru panik, tersedak, meminum air lebih banyak. Jarakku tinggal lima meter. Kepala Jarjit mulai tenggelam.Tubuhnya sudah tenggelam saat aku berhasil menyambar tangannya, bergegas menyeretnya ke pinggir kolam.” (Liye, 2011:17)

Kebaikan hati Dam untuk menolong Jarjit adalah berasal dari hati nuraninya, ia melakukannya dengan spontan dan tidak berpikir tentang hal-hal yang lain, seperti perlakuan buruk Jarjit maupun permusuhan mereka. Hal tersebut setara dengan pernyataan Freud (dalam Taniputera, 2005:44) mengatakan ”Id

adalah sistem kepribadian bawaan atau yang paling asli dari manusia. Pada saat dilahirkan, seseorang hanya memiliki id saja.Unsur-unsur kepribadian ini merupakan tempat bersemayamnya naluri-naluri yang sifatnya buta dan tidak terkendali”. Wujud kesederhanaan Dam tersebut adalah kepribadiannya yang asli, apalagi saat ia begitu berusaha menyelamatkan Jarjit, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut:

”Tubuh tinggi besarnya terkulai lemah.Aku memukul lebih keras.Ayolah, Kawan kau bisa melakukannya.Aku berseru cemas.Tetap tidak ada reaksi.Beruntung, sebelum aku panik, Jarjit tersendak memuntahkan air.Ia siuman. Aku membantunya bersandar.” (Liye, 2011:17)


(56)

Id berfungsi memeroleh kepuasan, sehingga ia disebut prinsip kesenangan, dan kederhanaan dalam memeroleh kepuasannya terlihat dalam kutipan berikut:

”Dengan cara inilah aku menghabiskan libur selama sebulan. Malam bercerita pada Ibu, siang harinya dengan sepeda tua, aku berkeliling kota, melihat kembali tempat-tempat lama, menyapa dan bertemu banyak orang.” (Liye, 2011:121)

Dalam memeroleh kepuasan dan kesenangannya Dam hanya butuh sesuatu yang sederhana, tidak perlu aktivitas liburan yang muluk-muluk seperti kebiasaan remaja zaman sekarang yang menghabiskan waktu liburan bersama teman-temannya ke taman bermain atau ke tempat wisata. Dia hanya menghabiskan liburannya bersama Ibu dan menyempatkan diri berjalan dengan sepeda tua miliknya, hanya dengan kegiatan itu ia sudah mendapat kepuasan tersendiri. Kesederhanaan Dam juga terlihat saat Ia mendapat tawaran makanan dari Jarjit, namun ia merasa puas dengan makanannya sendiri, dan ia menunjukkan sarapannya yang dipersiapkan Ibu dari rumah, yaitu roti dan irisan pisang. Seperti dalam kutipan berikut: ”Sarapan, Dam.” Jarjit mengulurkan kotak makanan.”Terima kasih.”Aku menunjukkan roti dan irisan pisang yang disiapkan Ibu tadi siang.” (Liye, 2011:75)

Gejala ego Dam adalah saat ia berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri dengan menabung, dan hasilnya ia pakai untuk menonton pertandingan ”Sang Kapten” seorang idolanya. Berikut kutipannya:

”Aku menarik keluar celengan berbentuk bola di dalam lemari.Ini harta karunku. Semua hasil kerjaku pagi-pagi buta mengantar koran setahun terakhir ada disini. Aku membanting celengan itu di atas tempat tidur.Uang kertas dan uang logam berserakan.Aku tertawa senang. Aku akan


(57)

menonton langsung sang Kapten beraksi.” (Liye, 2011:83-84)

Hal tersebut setara dengan ego yang merupakan satu-satunya sistem kepribadian yang memiliki kontak dengan realita.Ego mengontrol jalan-jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara memenuhinya. Dam berpikir jika sekadar membeli tiket untuk menonton pertandingan ia masih dapat menempuh hal itu, sehingga Dam berusaha memenuhi keinginannya menonton pertandingan dengan cara menabung dari hasil ia bekerja sebagai loper Koran. Di saat ia melihat Ibunya sakit, Dam juga bekerja dan mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan Ibu. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut:

”Aku tersenyum riang.Catatanku semakin panjang. Jumlahnya semakin banyak. Sudah sepuluh kali lipat dibandingkan harga tiket kelas VIP saat menonton sang Kapten dulu. Semoga persis saat meninggalkan asrama, menyelesaikan masa SMA-ku, uang ini cukup untuk biaya perawatan Ibu.” (Liye, 2011:208-209)

Superego adalah suatu sistem yang merupakan kebalikan dari id.Jika saat menolong Jarjit dengan kerendahan hatinya yang berasal dari hati nuraninya.Maka berikut adalah kesederhanaan Dam yang dibentuk oleh kebudayaan, yaitu

superego. Ketika ia mendengar cerita ayahnya tentang perjuangan sang Kapten yang luar biasa, maka cerita tersebut memberikan inspirasi baginya sehingga kepribadiannya yang sederhana muncul. Berikut kutipannya:

”Dalam sekejap, saat udara pagi menerpa wajah, rasa kantukku hilang. Apa yang dini hari Ayah bilang? Sang Kapten pernah menjadi tukang antar sup jamur dengan sepeda? Itu kabar hebat , sama denganku yang setiap hari harus mengayuh sepeda ke sekolah. Aku tidak


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aglarana, Nadia. Tanpa Tahun. ”Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni.Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Bung Hatta. Padang.

Ahmadi, Abu. 1990. Psikologi Sosial. Semarang: Rineka Cipta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Preesindo.

Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.

Hamka. 1984. Falsafah Hidup. Jakarta: Pustaka Panji Mas.

Hidayati, Nia. (Tanpa Tahun) ”Arti dan Manfaat Kesederhanaan Sebagai Energi Kehidupan” Jeharu, Maria Sulastri. Tanpa Tahun. ”Konflik Batin Tokoh Utama Novel Ayahku

(Bukan) Pembohong Karya Tere Liye” (Artikel).Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra.

Koewara, E. 1986.Teori Teori Kepribadian. Bandung: Eresco.

Luxemburg, Jan Van dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (Diterjemahkan oleh Dick Hartoko) Jakarta: Gramedia.


(2)

Mabroroh. 2015. ”Karakter Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye dan Impilikasinya Terhadap Pembelajaran di SMA” (Skripsi). Jakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Mariani, Fepi, Nurizzati, dan Afnita. ”Profil Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Tinjauan Sosiologi”.Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. FBS Universitas Negeri Padang: Volume 1, Nomor 1, September 2012.

Prabowo, Wahyu Tri. 2010. ”Aspek Psikologis Tokoh dalam Cerita Bersambung Endahe Tresna Njareme Rasa Karya Mbah Brintik (Suatu Tinjauan Psikologi Sastra)” (Skripsi). Surakarta: Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Rahmanto.Febri.Tanpa Tahun. ”Nilai Kesederhanaan dan Kejujuran Tokoh Utama Novel Pak Guru Karya Awang Surya dan Langkah Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra Di Sma Dengan Pendekatan Saintifik” (Jurnal). Purwokerto: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Ratna, Kutha Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Smartconsulting. 2010. ”Pengertian Ilustrasi Gambar”.


(3)

Sujanto, Agus, Halem Lubis, Taufik Hadi. 1980. Psikologi Kepribadian. Surabaya: Bumi Aksara.

Sumarna, Saleem Hardja. 2015. 108 Kepribadian yang Paling Dicari dan Disukai. Jogjakarta: Galmas Publisher.

Taniputera, Ivan. 2005. Psikologi Kepribadian. Jogjakarta: AR-RUZZ.

Tantawi, Isma. 2014. Bahasa Indonesia Akademik. Bandung: Citapustaka Media. Widisuseno, Iriyanto. Tanpa Tahun. ”Etika Natural Taoisme dan Kemungkinan

Penerapannya di Indonesia” (Makalah). Semarang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.

Wiyatmi. 2011. ”Psikologi Sastra Teori dan Aplikasinya” (Buku Ajar). Yogyakarta: Kanwa Publisher.


(4)

LAMPIRAN I

Sinopsis Novel Ayahku (Bukan) Pembohong

Dam adalah seorang anak yang dididik dan dibesarkan dengan segala cerita hebatmasa muda ayahnya.Pengajaran yang sederhana, namun berdampak sangat besar, karena dengan semua cerita itulah, tumbuh kepribadian yang baik dalam diri Dam.Iasangat mengidolakan ayahnya karena cerita-cerita itu.

Ayahnya merupakan seorang lulusan master hukum dari luar negeri, namun ia memilih untuk hidup sebagai pegawai negeri biasa tetapi Ayah memilih menjadi pegawai negeri biasa dan menjalani hidup dengan sederhana,

Ketika Dam lulus SMP,Ayah mendaftarkannya di sekolah asrama bernama Akademi Gajah. Suatu hari, Dam melakukan kesalahan karena mengundang teman-temannya ke kamarnya untuk merayakan ulang tahun Retro.Mereka berdua dihukum membersihkan perpustakaan.Beberapa hari menjelang pembebasan hukuman, Dam dikagetkan dengan judul buku yang sedang dibaca Retro, ”Apel Emas Lembah Bukhara”. Dam ingat karena itu adalah salah satu cerita petualangan ayahnya tentang keindahan lembah Bukhara.Karena hal itu berhari-hari Dam mencari buku lain, dan akhirnya Dam menemukan buku berjudul ”Suku Penguasa Angin”. Hal itu membuat Dam semakin penasaran dengan keaslian cerita ayahnya. Sampai pertanyaan itupun dilontarkan kepada Ayah yang membuat ayahnya tersinggung.

Suatu hari, Dam mendapatkan kabar bahwa ibunya sakit parah.Hari itu juga Ia segera pulang. Sampai disana, Dam sangat marah pada ayahnya karena berbohong tentang keadaan ibunya setahun lalu yang mengatakan Ibu hanya sakit


(5)

biasa.Melalui penanganan dokter, Ibu Dam tetap tidak dapat diselamatkan.Malam itu Dam memutuskan untuk berhenti memercayai semua cerita ayahnya.

Sehari setelah pemakaman ibunya, Dam kembali ke Akademi Gajah. Dam menemui kepala sekolah, ia terkejut karena meski ia tidak sempat mengikuti ujian kelulusan, ia mendapatkan ijazah beserta sertifikat penghargaannya, Dam juga mendapatkan surat pengantar masuk universitas, karena ternyata nilai sempurna di Akademi Gajah bukan terletak pada ujian tertulis di atas kertas namun pada proses pendidikan itu sendiri.

Beberapa tahun kemudian, Dam bertemu kembali dengan Taani (teman SMP Dam), mereka mengobrol dan jadi sering bertemu. Semakin lama mereka menjadi dekat dan memutuskan untuk menikah dengan syarat dari Taani, bahwa kelak Ayah bisa tinggal dengan mereka.

Selama Ayah tinggal dengan merekaDam begitu kesal karena Ayah selalu menceritakan hal yang sama dengan yang diceritakannya pada Dam dahulu. Sampai suatu hari Dam mengetahui kalau anaknya membolos, ternyata karena mencari tahu cerita kakeknya di perpustakaan kota. Dam marah dan menghukum mereka dan melarang ayahnya bercerita. Saat Dam pergi dinas, Ayah kembali bercerita. Dam yang mengetahuinya marah dan pada malam itu Ayah memutuskan pergi dari rumah. Di ruang kerjanya Dam mencari artikel tentang Akademi Gajah di internet namun tidak ditemukan, ini membuat Dam bingung, sehingga Dam menuliskan nama ibunya di kolom pencarian dan keluarlah semua berita tentang ibunya, ternyata Ibu adalah seorang artis terkenal saat Ibu masih


(6)

muda, hal itu seperti yang pernah diberitahukan semua orang kepadanya selama ini, namun ia tidak percaya.

Esok harinya Ayah dibawa ke rumah sakit karena ditemukan pingsan di pemakaman kota. Setelah ditangani Ayah sempat siuman dan memanggil Dam. Ayah meminta Dam mendengarkan cerita terakhirnya, iamenceritakan bagaimana ia bertemu dengan Ibu. Wajah Ibu pucat dan kehilangan gairah hidup, karena Dokter memvonis usianya tidak lebih dari dua tahun, saat itu ia jatuh saat menghadiri pesta besar, ia merupakan bintang televisi pada masanya. Ibu begitu antusias dan tertarik dengan cerita petualangan Ayah. Enam bulan kemudian mereka menikah, ketika Dam lahir energi kebahagiaan Ibu mampu membuatnya bertahan hidup enam tahun, sampai Dam masuk SMP ia bertahan tiga tahun lagi, dan akhirnya Dam masuk ke Akademi Gajah.Setelah bercerita, akhirnya Ayah pergi untuk selama-lamanya, dan hari itu Dam tahu bahwa selama ini ibunya bahagia walau ibunya tidak pernah memakai perhiasan dan baju mahal.

Pada hari pemakaman Ayah, tempat itu dipenuhi oleh hampir seluruh warga kota, langit pun dipenuhi dengan adanya formasi layang-layang suku Penguasa Angin, dan yang membuat Dam merasa lebih kaget, merasa bersalah sekaligus terharu adalah ketika ”Sang Kapten” dan ”Si Nomor 10” datang dan mengucapkan rasa sedihnya karena tidak sempat bertemu dengan ayahnya. Dam hanya bisa terisak mendengarnya.Pagi itu Dam tahu, Ayah bukan pembohong.


Dokumen yang terkait

Karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

1 19 113

Karakter Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

4 45 113

ASPEK MOTIVASI DALAM NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN Aspek Motivasi Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 14

ASPEK MOTIVASI DALAM NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN Aspek Motivasi Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 1 17

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

0 0 9

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

0 0 1

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

0 1 6

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

0 0 14

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

0 0 3

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

0 1 3