TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE SKRIPSI

Disusun Oleh : NAFI WAHYU SAFITRI (K1208104) FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE

Disusun Oleh : NAFI WAHYU SAFITRI (K1208104)

SKRIPSI

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

ABSTRAK NAFI WAHYU SAFITRI. K1208104. Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai

Pendidikan pada Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye.

Skripsi . Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Februari 2012

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : (1) Struktur dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye ; (2) Kritik sosial dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye ;dan (3) Nilai- nilai pendidikan dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye.

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Sumber data utama penelitian ini adalah novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta pada tahun 2011 dengan jumlah halaman 298 Pengumpulan data dilakukan dengan analisis dokumen berupa novel. Uji validitas dilalukan dengan triangulasi teori. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis) yang meliputi : reduksi data, penyajian, dan pemeriksaan. Prosedur penelitian ini terdiri dari lima tahap, yaitu: (1) pengumpulan data ; (2) menyeleksi serta memilah data ; (3) menganalisis data ; (4) menarik kesimpulan ; (5) membuat laporan penelitian.

Simpulan penelitian ini adalah: (1) Unsur struktural yang membangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong meliputi: plot/alur yang digunakan pada novel ini adalah alur mundur, tema pada novel ini tentang seorang anak yang dibesarkan dengan cerita-cerita dongeng, penokohan terdapat 7 tokoh dalam novel yaitu Dam sebagai tokoh utama dan ayah,ibu, raisa, zas dan qon, jarjit, pak pelatih sebagai tokoh tambahan, latar yang terdapat pada novel ini adalah latar tempat, waktu dan sosial, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama; (2) Kritik sosial yang terdapat pada novel Ayahku (Bukan) Pembohong meliputi: cerita tentang Lembah Bukhara yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang tidak bisa memanfaatkan hasil bumi dengan baik, cerita tentang Suku Penguasa Angin yang berkaitan dengan penjajah yang merusak penduduk dengan candu, cerita Si Raja Tidur yang berkaitan dengan penegakan hukum suatu Negara, dan ; (3) Nilai pendidikan yang terdapat pada novel Ayahku (Bukan) Pembohong meliputi : Nilai agama, Nilai moral, Nilai sosial.

MOTTO

Tak seorang pun tahu sejauh mana batas kesanggupannya jika ia belum mencoba (Publilius Syrus)

Niscaya Allah akan meninggikan orang yang beriman di antara kamu dan orang- orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Al – Mujadalah, ayat 11)

Pada saat sebuah pintu sukses tertutup Pintu sukses yang lain akan terbuka. Maka janganlah terlampau lama terpaku di depan pintu yang tertutup Sehingga lupa melihat pintu sukses yang telah terbuka ( Watik M.)

PERSEMBAHAN

Teriring syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk :

1. Bapak dan Ibu tercinta Doamu yang tiada terputus, yang telah memberikan cinta, perhatian, kasih sayang yang tak berujung, kerja keras yang tiada henti, pengorbanan yang tak terbatas pula. Semuanya membuatku bangga memiliki kalian. Tiada kasih sayang yang seindah dan seabadi kasih sayangmu;

2. Mas Mario Terima kasih karena senantiasa mendorong langkahku dengan perhatian dan semangat dan selalu ada di sampingku baik di saat kutegar berdiri maupun saat kujatuh dan terluka; dan

3. Aprilianasari, Fitri Wijayanti, Miranti Andansari, Teman-teman Bastid’ 08 Terima kasih atas semangat, perjuangan, dan kerjasamanya.

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia- Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Banyak hambatan yang muncul dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Namun, berkat bantuan dari berbagai pihak hambatan tersebut dapat diatasi. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan izin untuk penulisan skripsi;

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi;

3. Dr. Kundharu Saddhono, M. Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi;

4. Drs. Edy Suryanto, M.Pd.,selaku pembimbing skripsi I, yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

5. Dr. Budhi Setiawan, M.Pd., selaku pembimbing skripsi II, yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

7. Dra. Sumarwati, M.Pd., selaku pembimbing akademik, yang selalu memberikan pengarahan dan motivasi dalam menyusun skripsi ini;

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universiatas Sebelas Maret Surakarta, khususnya Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada penulis;

7. Keluarga besar mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2008 yang menjadi teman seperjuangan penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta;

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Surakarta, 30 Mei 2012

Penulis,

C. Saran ........................................................................................ 72

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 73

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ....................................................................... 31

2. Model Analisis Mengalir ............................................................. 35

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tabel Rincian dan Jenis Kegiatan Penelitian .................................. 32

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Sinopsis Novel Ayahku (Bukan) Pembohong ............................ 76

2. Surat Izin Penyusunan Skripsi…………………………………. 78

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan pengungkapan kehidupan nyata menjadi sebuah karya imajinatif yang indah untuk dinikmati. Karya sastra sebenarnya memiliki banyak pesona bila kita mau membacanya. Sayangnya karya sastra Indonesia belum merupakan kebutuhan primer masyarakat luas. Sebagai produk budaya, karya sastra belum dibaca oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Para cendikiawan di berbagai strata pun tidak menempatkan karya sastra Indonesia sebagai sarana pengasah kepekaan dan estetika. Padahal pengasahan khasanah humaniora untuk menghasilkan manusia yang humanis, manusiawi, bermoral, dan berperasaan halus dapat diperoleh melalui bacaan sastra.

Karya sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipadu dengan gaya imajinasi dan kreasi yang didukung oleh pengalaman dan pengamatan atas kehidupan tersebut. Hakikat karya sastra adalah bercerita dan bercerita ini adalah bentuk dari hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian, kesusasteraan sebagai karya kreatif harus mampu melahirkan satu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan menusia. Sastra harus pula mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia.

Karya sastra adalah dokumen sosial yang di dalamnya dikisahkan manusia dengan berbagai problema. Dengan membaca karya sastra dapat dikaji hal-hal, seperti : sosiologi, psikologi, adat istiadat, moral, budi pekerti, agama tuntunan masyarakat, dan tingkah laku manusia di suatu masa. Banyak pengetahuan yang dapat diperoleh melalui karya sastra.

Karya sastra hadir sebagai kegiatan mencipta sastrawan yang didasarkan daya imajinatif kreatif. Proses penciptaan cerita fiksi bersifat individual. Artinya, cara yang digunakan oleh pengarang yang satu dapat berbeda dengan pengarang Karya sastra hadir sebagai kegiatan mencipta sastrawan yang didasarkan daya imajinatif kreatif. Proses penciptaan cerita fiksi bersifat individual. Artinya, cara yang digunakan oleh pengarang yang satu dapat berbeda dengan pengarang

Sesuai dengan fungsi karya sastra ialah dulce et utile (indah dan berguna) maka sebuah karya sastra harus memberikan kontribusi terkait karya sastra yang

dijadikan pembelajaran masyarakat. Beberapa karya sastra yang dapat dijadikan pembelajaran masyarakat adalah karya sastra berdasarkan pada fakta. Adapun karya sastra yang didasarkan fakta, antara lain: fiksi historis ialah jika dasar penulisannya fakta sejarah, fiksi biografi ialah jika yang menjadi dasar penulisannya fakta biografis, dan fiksi sains jika yang menjadi dasar penulisan ilmu pengetahuan (Nurgiyantoro, 2005: 4).

Dalam sastra Indonesia ada beberapa bentuk cipta sastra, yaitu puisi, prosa dan drama. Bentuk cipta karya seperti puisi banyak diciptakan, antara lain : Balada Orang-orang Tercinta karya W.S. Rendra, Tirani karya Taufik Ismail, Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar dan sebagainya. Begitu juga karya prosa Indonesia yang dapat dibedakan menjadi roman, novel, dan cerpen, ketiganya biasa disebut cerita rekaan atau fiksi.

Sejak tahun dua puluhan, karya sastra yang berbentuk novel selalu menyertai perkembangan kesusasteraan Indonesia. Dibandingkan dengan karya sastra puisi dan drama, novel mempunyai daya tarik tersendiri dengan bahasanya yang lugas dan mudah dipahami.

Dalam perkembangannya media masa seperti media cetak, baik yang terbit mingguan maupun bulanan banyak memuat cerita reakaan seperti novel. Di media elektronik bidang perfileman juga tidak ketinggalan mengangkat cerita dari sebuah novel. Sinetron juga banyak mengangkat cerita-cerita dari novel-novel yang pernah ada, baik yang muncul pada tahun dua puluhan maupun novel-novel yang digemari oleh masyarakat luas, seperti Cintaku di Kampus Biru, Ayat Ayat Cinta.

Sebagai bahan bacaan novel mampu menghibur pembacanya maupun menyeret pembaca menyelami suatu kehidupan yang belum atau tidak pernah dialaminya. Novel yang memuat cerita tentang kehidupan manusia yang beraneka ragam watak dan gaya hidupnya, dapat memberikan wawasan berpikir yang lebih Sebagai bahan bacaan novel mampu menghibur pembacanya maupun menyeret pembaca menyelami suatu kehidupan yang belum atau tidak pernah dialaminya. Novel yang memuat cerita tentang kehidupan manusia yang beraneka ragam watak dan gaya hidupnya, dapat memberikan wawasan berpikir yang lebih

Dalam berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, novel sering menjadi kajian pembuatan makalah. Dalam dunia pendidikan, khususnya pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam standar kompetensi di SMP dan SMA novel digunakan sebagai salah satu materi pengajaran. Hal tersebut menunjukkan bahwa novel bukan hanya sebagai bahan bacaan hiburan saja, melainkan juga merupakan salah satu karya sastra yang perlu dikaji dan dikembangkan.

Seiring dengan perkembang zaman, kini banyak bermuculan pengarang- pengarang muda berbakat yang menghasilkan karya gemilang seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Ahmad Fuadi, Tere Liye, dan lain-lainnya. Salah satu novel karya Tere Liye Ayahku (Bukan) Pembohong adalah novel yang menjadi objek penelitian ini. Dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong pengarang banyak memberikan nilai-nilai kehidupan yang sederhana namun sangat bermakna jika hal tersebut dijadikan prinsip dalam kehidupan ini.

Hal yang menarik dalam novel ini adalah pengarang banyak memberikan contoh kesederhanaan dalam menjalani hidup ini. Selain itu, pengarang juga mengambarkan kehidupan sosial seorang yang memiliki gelar kesarjanaan yang didapat dari luar negeri namun tetap berpegang pada prinsip kesederhanaan dalam membangun sebuah kehidupan yang bahagia. Di dalam novel ini pengarang menampilkan masalah-masalah kehidupan sosial yang di dalamnya sarat dengan kesederhanaan dan kejujuran seorang ayah dalam mendidik anaknya menjadi orang yang tumbuh hebat, dengan memberikan cerita-cerita yang sederhana namun di dalamnya terkandung banyak kearifan yang dapat dijadikan teladan sekaligus prinsip hidup yang hebat.

Dalam novel ini terdapat hal yang menarik yang jarang sekali ditemukan dalam novel lainnya, yaitu adanya cerita berbingkai di dalamnya. Cerita tersebut dikemas dalam sebuah dogeng yang memiliki nilai kritik sosial yang membangun dan dikemas secara ringan. Cerita berbingkai merupakan cerita di dalam cerita, Dalam novel ini terdapat hal yang menarik yang jarang sekali ditemukan dalam novel lainnya, yaitu adanya cerita berbingkai di dalamnya. Cerita tersebut dikemas dalam sebuah dogeng yang memiliki nilai kritik sosial yang membangun dan dikemas secara ringan. Cerita berbingkai merupakan cerita di dalam cerita,

Dalam novel ini terdapat banyak nilai pendidikan yang dapat dijadikan teladan bagi anak-anak bangsa. Pengarang menampilkan sebuah cerita yang di dalamnya menceritakan sebuah perjuangan seorang anak yang selalu ingin mengapai semua impiannya. Anak tersebut menjadikan seorang tokoh panutan dalam dunia sepak bola sebagai inspirasi untuk mengapai semua impiannya. Selain itu, pengarang juga menampilkan nilai pendidikan moral yang orang tuanya, karena apa pun yang di katakana orang tua merupakan nasihat yang baik bagi seorang anak.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan di lakukan penelitian mengenai “ Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan Pada Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana struktur yang membangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye ?

2. Bagaimana kritik sosial yang terdapat dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye ?

3. Bagaimana nilai pendidikan dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan :

1. Struktur dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye

2. Kritik sosial yang ada dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye

3. Nilai- nilai pendidikan novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teroretis penelitian ini, antara lain :

a. memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang sastra

b. menambah khasanah pustaka Indonesia agar nantinya dapat digunakan sebagai penunjang kajian sastra dan dijadikan bandingan bagi penelitian yang sejenis

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain :

a. Bagi peneliti

Peneliti dapat mengetahui jawaban dari masalah yang dirumuskan

b. Bagi pembaca Pembaca diharapkan dapat memahami pesan-pesan moral yang

disampaikan oleh pengarang lewat novel yang berjudul Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye. Selain itu, diharapkan pembaca semakin jeli memilih bahan bacaan yang mengandung nilai-nilai pendidikan.

c. Bagi pendidik Dapat dijadikan sebagai materi tambahan pembelajaran mengenai

apresiasi novel khususnya yang membahas tentang sosiologi sastra, yang meliputi unsur intrinsik, kritik sosial, dan nilai-nilai pedidikan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teoretis

1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel Novel termasuk fiksi karena novel merupakan hasil khayalan atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Selain novel ada pula roman dan cerita pendek ( Waluyo, 2002: 2). Nurgiyantoro (2005: 9) berpendapat bahwa istilah novella dan novella, yang berarti mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novellet (Inggris : novellet) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya sedang, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Senada dengan pendapat itu, Abrams ( dalam Nurgiyantoro, 2005: 9) menyatakan bahwa sebutan novel dalam bahasa Inggris dan kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle).

Goldman (dalam Faruk, 2003: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita tentang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi. Hal senada juga dijelaskan Semi (1993:2) bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi pada suatu saat tegangan dan pemusatan kehidupan yang tegas. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek kehidupan menusia yang lebih mendalam dan disajikan halus. Selanjutnya, Tarigan (1993:164) juga mengatakan bahwa novel adalah suatu cerita dengan alur yang cukup panjang mengisi satu buku atau lebih yang menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif.

Nurgiyantoro (2005: 4) mengungkapkan bahwa novel sebagai suatu karya sastra fiksi yang menawarkan suatu dunia, yaitu dunia yang berisi suatu model yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibandingkan melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajiner.

Bebagai salah satu karya sastra, novel, mengandung nilai-nilai moral yang berguna bagi pembacanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Waluyo (2002: 37), yakni novel bukan hanya alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan kepada pembaca tentang pekerti yang baik dan budi luhur. Pengarang novel meneliti tentang rahasia hidup di masa lalu maupun masa yang akan datang

Simpulan yang dapat diambil dari beberapa teori di atas bahwa novel merupakan karya prosa fiksi yang mengisahkan sebagian kehidupan manusia yang dianggap penting dalam beberapa episode kehidupan manusia dan di dalamnya terjadi perubahan kehidupan pelaku dan memasukkan berbagai unsur intrinsik di dalam dan bersifat imajinatif.

b. Unsur Pembangun Novel Sebuah novel dibangun atas karangka-kerangka yang saling terpadu.

Unsur - unsur yang terbangun dalam novel banyak sekali dirumuskan oleh para ahli. Namun pada intinya ada dua unsur pembangun novel yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik (Nurgiyantoro, 2005: 23) adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur- unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.

Unsur dalam sebuah karya sastra baik itu intrinsik maupun ekstrinsik dalam novel, cerpen, puisi, dan drama adalah suatu keharusan untuk dimasukkan dalam karya-karya tersebut. Dalam hal ini unsur intrinsiklah yang paling sering dimasukkan dalam karya sastra, karena unsur intrinsik adalah hal utama dalam membangun sebuah cerita.

Menurut Nurgiyantoro (2005: 23) ada lima unsur intrinsik, yaitu : plot/alur cerita, tema, penokohan, latar/setting, sudut pandang. Kelima unsur intrinsik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Plot/Alur cerita Plot merupakan bagian yang penting dari cerita rekaan. Cerita rekaan

mutakhir yang biasa disebut dengan nonkonvensional sering kali dinyatakan tanpa plot, namun jika ditelusuri memiliki plot juga. Waluyo (2002: 145) berpendapat alur cerita adalah struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi.

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau meyebabkan terjadinya peristiwa lain. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113-114) mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan strukur peristiwa- peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.

Waluyo (2002: 147-148) mengemukakan bahwa alur cerita meliputi tujuh aspek. Ketujuh alur cerita tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Eksposisi, artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman. Inciting moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Rising action adalah perjalanan konflik, selanjutnya terus terjadi peningkatan konfik. Complication adalah konfik yang semakin ruwet. Climax adalah puncak penggawatan, klimaks cerita yang harus merupakan puncak dari seluruh cerita itu dan semua kisah/peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut. Falling action , artinya konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang. Denovement, artinya penyelesaian. Unsur ini dapat dipaparkan oleh pengarang dapat juga oleh Waluyo (2002: 147-148) mengemukakan bahwa alur cerita meliputi tujuh aspek. Ketujuh alur cerita tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Eksposisi, artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman. Inciting moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Rising action adalah perjalanan konflik, selanjutnya terus terjadi peningkatan konfik. Complication adalah konfik yang semakin ruwet. Climax adalah puncak penggawatan, klimaks cerita yang harus merupakan puncak dari seluruh cerita itu dan semua kisah/peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut. Falling action , artinya konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang. Denovement, artinya penyelesaian. Unsur ini dapat dipaparkan oleh pengarang dapat juga oleh

Plot sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik itu dikemukakan secara ekspilisit maupun implisit. Sebuah cerita atau sebuah teks naratif, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya dan barangkali ada pula akhirnya. Namun, plot sebuah karya fiksi sering tak menjanjikan urutan peristiwa secara kronologis dan runtut, melainkan penyanjian yang dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang mana pun juga tanpa adanya keharusan untuk memulai dan mengahkiri dengan kejadian awal dan kejadian terahkir. Dengan demikian, tahap awal cerita tak harus berada di awal cerita atau bagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian mana pun.

Nurgiyantoro (2005: 142-146) berpendapat secara teoretis plot dapat diurutkan atau dikembangkan ke dalam tahap-tahap tertentu secara kronologis. Tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Tahap awal biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahap awal (atau: pembukaan) sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.

Tahap tengah cerita dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik eksternal, konflik pertentangan yang terjadi antara tokoh-tokoh cerita.

Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adengan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah ahkir sebuah cerita.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa plot adalah urutan atau rangkaian kejadian dan peristiwa dalam suatu karya fiksi yang memiliki tahapan-tahapan tertentu secara kronologis.

2) Tema Hartoko dan Ramanto (dalam Nurgiyantoro, 2005:68) mengemukakan

bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan bukan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.

Brooks, Puser, dan Waren (dalam Tarigan, 1993: 125) mengemukakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan dari suatu karya sastra.

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Untuk menemukan tema sebuah karya sastra fiksi haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti ia bukanlah makna yang “disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya sastra fiksi tidak secara sengaja disembunyikan karena inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.

Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel secara lebih khusus dan rinci, Stanton ( dalam Nurgiyantoro, 2005: 87) mengemukakan adanya sejumlah kriteria. Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Dengan kata lain, tokoh- masalah-konflik utama merupakan tempat paling strategis untuk mengungkapkan tema utama sebuah novel. Kedua, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. Novel sebagai salah satu genre sastra merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap, dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur sisi dan sebagai sesuatu yang ini disampaikan. Tentunya pengarang tak akan “menjatuhkan” sendiri sikap dan keyakinannya yang diungkapkan dalam detail- detail tertentu cerita yang lainnya. Ketiga, penafsiran tema sebuah novel Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel secara lebih khusus dan rinci, Stanton ( dalam Nurgiyantoro, 2005: 87) mengemukakan adanya sejumlah kriteria. Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Dengan kata lain, tokoh- masalah-konflik utama merupakan tempat paling strategis untuk mengungkapkan tema utama sebuah novel. Kedua, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. Novel sebagai salah satu genre sastra merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap, dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur sisi dan sebagai sesuatu yang ini disampaikan. Tentunya pengarang tak akan “menjatuhkan” sendiri sikap dan keyakinannya yang diungkapkan dalam detail- detail tertentu cerita yang lainnya. Ketiga, penafsiran tema sebuah novel

Bertolak dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan utama atau gagasan pokok yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya sastra.

3) Penokohan Waluyo (2002: 164) mengatakan bahwa perwatakan berhubungan dengan

karateristik atau bagian watak tokoh-tokoh itu, sedangkan penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokoh serta memberi nama okoh itu. prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokohnya, yaitu :

a) Metode analitis Dalam metode ini pengarang langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu

dengan terinci. Deskripsi tentang ciri tokoh itu dapat secara fisik, psikis dan keadaan sosial.

b) Metode tidak langsung Penokohan secara dramatik ini biasanya berkenaan dengan penampilan

fisik, hubungan dengan orang lain, cara hidup sehari-hari, dan sebagainya. Lukisan watak tokoh dalam metode ini tidak diberikan langsung oleh pengarang, tetapi harus disimpulkan sendiri oleh pembaca.

c) Metode kontekstual Merupakan metode yang menggambarkan watak tokoh melalui konteks

bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut.

Dalam metode ini penggambaran watak digambarkan secara panjang lebar melalui tingkah laku dari tokoh-tokohnya.

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165) menjelaskan tokoh cerita ialah individu orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Tokoh cerita, walaupun hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan tokoh yang hidup dengan wajar, seperti bagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya.

Menurut Nurgiyantoro (2005: 176-194), tokoh-tokoh dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut pandang penamaan itu dilakukan. Adapun beberapa tokoh cerita tersebut, antara lain :

a) Tokoh utama dan tokoh tambahan Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah

cerita, ada tokoh yang tergolong penting ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun bisa terjadi dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

b) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis Menurut Altenberd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2005: 178), protagonis

adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara popular disebut adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara popular disebut

c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya

memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh sederhana boleh saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang diformulakan itu.

Tokoh bulat, kompleks, berbeda haknya dengan tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiandan jati dirinya. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 183), dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan.

d) Tokoh statis dan tokoh berkembang Alterbernd dan lewis (dalam Nurgiyantoro, 2005: 188), tokoh statis adalah

tokoh cerita yang esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lainnya, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.

e) Tokoh tipikal dan tokoh netral Menurut Altenbernd dan lewis (dalam Nurgiyantoro, 2005: 190), tokoh

tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya,

Tokoh netral merupakan tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan berinteraksi dalam dunia fiksi. Tokoh netral (atau dihadirkan) semata-mata demi cerita, atau bahkan tokoh inilah yang sebenarnya mempunyai cerita, pelaku cerita dan diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya, seorang yang berasal dari dunia nyata.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter/ penokohan merupakan penentuan bagaimana watak yang dimiliki tokoh-tokoh dalam suatu cerita yang terlibat berbagai peristiwa yang ada di dalam cerita tersebut atau disebut juga karya naratif.

4) Latar/setting Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 216) menyatakan bahwa latar atau

setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa- peristiwa yang akan diceritakan.

Menurut Hudson (dalam Waluyo, 2002: 198), setting adalah keseluruhan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan dan pandangan hidup. Montaque dan Henshaw (dalam Waluyo, 2002: 198) menyatakan tiga fungsi setting , yaitu : mempertegas watak para pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita, memperjelas tema yang disampaikan.

Menurut Nurgiyantoro (2005: 227), unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut, walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataanya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.

a) Latar tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki karateristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain.

b) Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu dan sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain.

c) Latar sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.

Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dikemukakan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa latar/setting adalah keseluruhan lingkungan Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dikemukakan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa latar/setting adalah keseluruhan lingkungan

5) Point Of View/sudut pandang/pusat pengisahan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 248), menyatakan bahwa sudut

padang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Hal ini merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Waluyo ( 2002: 184-185) mengemukakan ada tiga jenis point of view, yaitu : (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku” dan disebut teknik aku-an; (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia” teknik ini disebut teknik dia-an; (3) teknik yang disebut ommiscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya tokoh dalam ceritanya, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan.

Menurut Gennte (dalam Nurgiyantoro, 2005: 250), pemilihan sudut pandang menjadi penting karena hal itu tak hanya berhubungan dengan masalah gaya saja, waktu tak disangkal bahwa pemilihan bentuk-bentuk gramatika dan retorika juga penting dan berpengaruh. Namun, biasanya pemilihan bentuk-bentuk tersebut bersifat sederhana, di samping hal itu merupakan konsekuensi otomatis dari pemilihan sudut pandang tertentu.

Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas dapat disimpukan bahwa point of view/ sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan oleh pengarang untuk menyajikan tokoh dalam berbagai peristiwa dalam suatu karya fiksi.

2. Hakikat Sosiologi

a. Pengertian Sosiologi Kata sosiologi secara etimologi berasal dari bahasa Latin socius, yang

berarti “kawan” dan dari kata Yunani logos, yang berarti “kata” atau “berbicara”. Jadi, sosiologi berarti “ berbicara mengenai masyarakat” (Soekanto, 2005: 4).

Lebih lanjut Soekanto (2005:15) mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tadi. Masyarakat yang menjadi objek ilmu-ilmu sosial dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari beberapa segi, yaitu segi ekonomi, ada pula segi kehidupan politik yang antara lain berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dalam masyrakat, dan lain-lain segi kehidupan.

Soemardjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 2005: 20) menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Swingewood (dalam Faruk, 2003: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.

Dalam ilmu sosial perilaku kehidupan manusia telah dilihat sebagai keterlibatan dalam usaha mendorong perubahan struktural, ekonomi dan politik yang mengacu pada perubahan globalisasi atau sebagai hasil dari perubahan tersebut dibayangkan sebagai keutamaan yang terjadi di tempat lain (Jamieson .2011).

Senada dengan pendapat di atas, Yudiono (2000: 4) mengatakan bahwa sosiologi itu telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat. Telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba memahami bagaimana masyarakat dimungkinkan hidup, tumbuh dan berkembang. Telaah sosiologi menyangkut masalah-masalah seperti struktur perekonomian, agama (religi), politik, dan sosialisasi individu di tengah lingkungannya.

Simpulan dari penjelasan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah studi yang ilmiah dan objektif yang mempelajari manusia dalam masyarakat yang menyangkut masalah-masalah seperti struktur perekonomian, agama, politik dan sosialisasi individu di tengah lingkungannya hingga perubahan-perubahan sosial di tengah masyarakat.

b. Lapisan Sosial

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakatnya sendiri. Kedudukan-kedudukan ini dinilai oleh masyarakat umun berkenaan dengan suatu skala tinggi rendah, sehingga ada kedudukan yang dianggap tinggi dan ada kedudukan yang diangap rendah. Kalau suatu masyarakat yang lebih menghargai kekuasaan berupa materi daripada kehormatan dan harga diri, misalnya, maka mereka yang lebih banyak memiliki kekayaan berupa materi akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak- pihak lain yang kekayaan materinya berada di bawahnya. Gejala seperti ini menimbulkan lapisan sosial dalam masyarakat yang merupakan pembeda posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.

Pengertian lapisan sosial menurut Sorokin (dalam Soekanto, 2005: 228) adalah pembeda penduduk dalam masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas rendah. Ia juga mengatakan bahwa dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.

Senada dengan pendapat di atas, Mahmud (1989: 32) mengemukakan lapisan sosial mempunyai dua pengertian,yaitu ; (1) lapisan sosial, yaitu tataran/atau tingkatan status dan peranan yang relatif bersifat tetap di dalam suatu sistem lapisan sosial, tataran di sini menunjuk adanya perbedaan hak, kehormatan pengaruh dan kekuasaan; (2) lapisan sosial adalah kelas sosial atau sistem kasta.

Bentuk-bentuk lapisan sosial dalam masyarakat berbeda-beda, juga bentuk-bentuk konkrit lapisan masyarakat tersebut banyak. Semakin rumit dan semakin maju teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan masyarakat, akan tetapi secara prinsip bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu ekonomis, politis, dan jabatan. Ketiganya saling berhubungan dan saling mempengaruhi.

Soekanto (2005: 255) membagi masyarakat menjadi tiga lapisan sosial, yaitu : (1) lapisan atas ; (2) lapisan menengah ; (3) lapisan bawah (lower class). Lapisan-lapisan atau kelas-kelas tersebuat mempuyai prestise symbol (status Soekanto (2005: 255) membagi masyarakat menjadi tiga lapisan sosial, yaitu : (1) lapisan atas ; (2) lapisan menengah ; (3) lapisan bawah (lower class). Lapisan-lapisan atau kelas-kelas tersebuat mempuyai prestise symbol (status

Menurut Soekanto (2005: 237-238), ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan sosial adalah :

1) Ukuran kekayaan. Anggota masyarakat yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan atas. Kekayaan suatu anggota masyarakat dapat dilihat dari bentuk rumah, kendaraan yang dimiliki, cara menggunakan pakaian dan bahan pakaiannya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan sebagainya.

2) Ukuran kekuasaan. Anggota masyarakat yang memiliki kekuasaan

atau wewenang terbesar, menempati lapisan atas.

3) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tidak dipengaruhi oleh ukuran kekayaan atau kekuasaan. Seseorang yang paling disegani adan dihormati mendapat tempat teratas. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat yang masih memegang nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Biasanya orang yang dihormati adalah golongan tua dan mereka telah berjasa.

4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ini dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan, akan tetapi ukuran ini terkadang menyebabkan akibat-akibat negatif. Hal ini dikarenakan ternyata bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, tetapi gelar kesarjanaannya, sehingga memacu seseorang untuk mendapat gelar walau tidak halal

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa setiap lapisan sosial masyarakat memiliki kriteria yang hampir sama, yaitu yang memiliki kekayaan, pangkat dan kedudukan yang tinggi akan lebih dihormati dibandingan dengan orang yang tidak begitu kaya, tidak begitu tinggi pangkat dan kedudukan yang dimiliki.

3. Hakikat Pendekatan Sosiologi Sastra

a. Pengertian Sosiologi Sastra Masalah-masalah sastra tidak dapat diselesaikan dengan kriteria objektif

berdasarkan hakikat (seni) sastra saja bila masalah itu menyangkut masyarakat secara langsung (Pradopo, 2002: 403). Masalah di sini adalah masalah penerima masyarakat. Artinya, bila penerimaan itu baik maka ada kecocokan antara karya sastra dengan nilai-nilai di masyarakat. Oleh karena itu, perlu suatu pendekatan untuk memetakan hubungan karya sastra dengan lingkungan sosial masyarakatnya dan juga untuk memahami nilai apa saja yang bermanfaat dari karya tersebut.

Damono (dalam Faruk, 2003:4) mengemukakan beberapa pendapat mengenai aneka ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti yang dikemukakan oleh Wallek dan Warren. Damono menemukan tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu : (1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra, (2) sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, dan (3) sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Endraswara (2003: 77) menjelaskan sosiologi sastra adalah cabang penelitian yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak dinikmati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial yang berhasil memicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang suskes adalah yang mampu merefleksi zamannya.

Laurenson (dalam Fananie, 2000: 132) menyebutkan tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (a) perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra itu diciptakan; (b) perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisanya, dan (c) model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah suatu pendekatan pada karya sastra untuk menganalisis segi-segi kehidupan sosial masyarakat baik itu dilihat dari sisi pengarang, pembaca ataupun keadaan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut.

b. Kritik Sosial Kritik sosial digolongkan menjadi dua, yakni “pengecaman” dan

“pengupasan”. Kritik dapat didefinisikan sebagai “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb.” Kritik yang cenderung pada pengecaman adalah pengertian kritik wilayah umun (pragmatik), sedangkan kritik yang cendenrung pada pengupasan adalah kritik-kritik yang berada di wilayah khusus (diskursif) ( Mulyana, 2012: 1).