BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil
dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para
pelakunya meliputi baik pihak pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan badan hukum, meningkat juga keperluan akan tersedianya
dana yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan.
1
Dalam transaksi perkeditan atau peminjaman uang, terdapat dua jenis perikatan ditinjau dari segi pemenuhan pembayaran kembali uang yang
dipinjam. Pertama, transaksi kredit tanpa jaminan unsecured transaction yaitu tidak ada sebuah perlindungan not protected atas pemenuhan
pembayaran kembali utang. Dalam hal pelunasan kembali utang tidak dijamin dengan sesuatu barang yang mempunyai nilai atau harga yang sama atau
melebihi jumlah pinjaman. Kedua, transaksi kredit yang dilindungi jaminan secured transaction yaitu terhadap utang atau pinjaman debitur memberi
1
Penjelasan umum point 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah
barang jaminan sebagai perlindungan pemenuhan pembayaran kepada kreditur.
2
Walaupun terjadi pemisahan antara perikatan yang menggunakan jaminan dan perikatan dengan tidak mengunakan jaminan, namun pada prinsip
yang telah tertuang dalam Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa: Segala harta kekayaan Debitur, baik yang bergerak atau yang tidak
bergerak, baik yang sekarang ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan jaminan atas hutang-hutangnya
Dengan ada atau tidaknya jaminan sebagai bagian dari sebuah perikatan
secara tidak langsung telah menyebabkan harta kekayaan seorang debitur menjadi jaminan bagi hutang-hutangnya. Jaminan yang dimaksudkan dalam
hal ini adalah bersifat umum artinya benda jaminan tidak ditunjuk secara khusus dan tidak diperuntukkan bagi seorang kreditur tertentu, sehingga
apabila benda jaminan tersebut dijual maka hasilnya dibagi secara seimbang sesuai besarnya piutang masing-masing kreditur.
Dalam praktek perbankan di Indonesia, pemberian kredit umumnya diikuti penyediaan jaminan khusus oleh pemohon kredit, sehingga pemohon
kredit yang tidak bisa memberikan jaminan sulit untuk memperoleh kredit dari bank.
3
Ini tidak lepas dari prinsip di dunia perbankan yang sering dikenal dengan istilah
the five c’s of credit analysis. Jaminan berupa benda tidak bergerak khususnya tanah adalah yang banyak digunakan dalam praktek
2
M Yahya Harahap, Ruang Ligkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi kedua , Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Hal 179
3
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2004, Hal140
perbankan didasarkan pada pertimbangan tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi.
4
Dasar hukum terhadap jaminan atas tanah adalah Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah atau biasa disebut dengan UUHT. Dalam Pasal 1 butir 1 UUHT telah dijelaskan pengertian Hak
Tanggungan yaitu : Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana tersebut
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur
tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dari pengertian tersebut maka dapat diuraikan elemen atau unsur - unsur
pokok Hak Tanggungan yaitu Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang, hutang yang dijamin jumlahnya tertentu, obyek Hak
Tanggungan adalah hak – hak atas tanah sesuai Undang–undang Pokok Agraria
yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai, Hak Tanggungan dapat dibebankan terhadap tanah berikut benda
– benda yang berkaitan dengan tanah atau hanya tanahnya saja, Hak Tanggungan
memberikan hak preferen atau hak diutamakan kepada kreditur terhadap kreditur lain.
5
4
Agus Yudha Hernoko, Lembaga Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Penunjang Kegiatan Perkreditas Perbankan Nasional Surabaya: Tesis, Pascasarjana, UNAIR, 1998, Hal 7
5
Sutarno, Op.cit, Hal 153
Suatu harapan baru bagi pelaku ekonomi dengan disahkanya Undang- undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sebagai lembaga
jaminan atas tanah untuk menganti ketentuan hypotheek dan creditverband. Tentunya UUHT ini diposisikan lebih baik dari pada saat berlakunya hypotheek
dan creditverband, dalam arti bahwa UUHT mempunyai kemudahan dan kepastian pada eksekusi atas obyek Hak Tanggungan.
6
Kemudahan yang disediakan oleh UUHT bagi para kreditur pemegang Hak Tanggungan adalah apabila debitur cidera janji, berdasarkan Pasal 20 ayat
1 huruf a dan b UUHT eksekusi atas benda jaminan Hak Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 tiga cara yaitu Parate executie, Penjualan dibawah tangan
dan Titel Eksekutorial.
7
Parate executie pada dasarnya merupakan sebuah kemudahan yang diberikan oleh undang-undang agar kreditur dapat sesegera mungkin
mendapatkan haknya dengan cara yang praktis dan tidak memakan waktu yang lama dengan tidak melibatkan peran pengadilan atau pertolongan hakim dalam
pelaksanaanya. Dicantumkanya Title Eksekutorial dalam sertifikat Hak Tangungan merupakan dasar bahwa akta tersebut mempunyai kekuatan yang
sama dengan putusan pengadilan. Sehingga pemegang akta dapat secara langsung melakukan eksekusi ke Kantor Lelang Negara.
Pelaksanaan parate executie yang terjadi dalam kurun waktu sejak diberlakukanya UU No. 5 Tahun 1960 sampai dengan berlakunya UU No. 4
Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang
6
Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan Inkonsistensi Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dala UUHT , laksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2007, Hal 308
7
Ibid , Hal 4
berkaitan dengan tanah disingkat UUHT, tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan oleh Bank selaku kreditur karena adanya
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia MARI No. 3210 KPdt1984, tanggal 30 Januari 1986, yang salah satu ratio decidendi putusan MA dalam
perkara tesebut, jika pelaksanaan pelelangan dilaksanakan sendiri oleh Kepala Kantor lelang Negara Bandung atas perintah tergugat asal I Bank-Kreditor
dan tidak atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, maka menurut MARI lelang umum tersebut bertentangan dengan Pasal 224 HIR., sehingga
pelelangan tersebut adalah tidak sah.
8
Ketentuan mengenai parate executie diatas memiliki kesamaan dengan eksekusi melalui penjualan dibawah tangan yaitu tidak melibatkan peran
pengadilan atau hakim dalam proses eksekusi. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam eksekusi ini adalah adanya kesepakatan antara pemberi
Hak Tanggungan dengan penerima Hak Tanggungan dalam rangka mendapatkan harga tertinggi dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan.
Berbeda halnya dengan eksekusi yang menggunakan Titel Eksekutorial berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan sebelumnya menggunakan Grosse
Acte Hipotik, pelaksanaan penjualan benda jaminan tunduk pada Hukum Acara Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR258 RBg.
9
Hal ini secara jelas tertuang dalam Pasal 14 ayat 1 UUHT yang menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi berdasarkan title eksekutorial yang terdapat dalam
sertifikat Hak Tanggungan bahwa obyek Hak Tanggungan dijual melalui
8
Ibid, Hal 6.
9
Ibid, Hal. 5.
pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan. Dan apabila mencermati ketentuan pada Pasal 26 UUHT yang
dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi ini adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 HIR258 RBg.
Akta yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti halnya putusan pengadilan maka pelaksanaan eksekusinya harus mengikuti prosedur
yang telah ditentukan pengadilan melalui peraturan perundang-undangan. Artinya dalam eksekusi ini ada keterlibatan pengadilan dalam proses eksekusi
dengan mekanisme yang telah ditentukan oleh perturan perundang-undangan. Berdasarkan pasal 224 HIR258 RBG bahwa grosse akta hipotik oleh
undang-undang diberikan kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang tetap, sehingga atas dasar grose akta hipotik dapat digunakan untuk
melakukan penjualan atau eksekusi jaminan hipotik secara langsung tanpa perlu mengajukan gugatan kepada debitur.
10
Maka berdasarkan hal tersebut kiranya perlu dilakukan pengkajian yang komprehensif berkaitan dengan peran pengadilan dalam melakukan proses
eksekusi terhadap obyek Hak Tanggungan yang didasarkan pada pasal 224 HIR258 RBG, yang harapanya dapat digunakan sebagai pijakan bagi
masyarakat dalam melakukan eksekusi terhadap obyek Hak Tanggungan dengan mengunakan bantuan pengadilan, dimana pada saat ini masih
digunakan masyarakat kreditur dalam upaya memperoleh kembali haknya yang telah diciderai oleh debitur. Berdasarkan latarbelakang diatas, penulis
10
Ibid, Hal. 185.
tertarik mengadakan penelitian dengan judul :
“EKSEKUSI TERHADAP OBYEK HAK TANGGUNGAN DENGAN BANTUAN PENGADILAN
Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sragen ”.
B. Rumusan Masalah