Metode Pengarang Menyampaikan Kritik

23 Terkait dengan hal tersebut, segala urusan pribadi tokoh dalam karya sastra dapat dijadikan sebagai obyek pesan moral. Persoalan yang bersifat individu itu antara lain seperti: harga diri, kemampuan dan kepercayaan diri, maut, rindu, kesepian, dendam, keraguan dalam menentukan pilihan dan lain-lainnya. Persoalan hubungan manusia dengan manusia lainnya juga menjadi sebuah sumber inspirasi seperti: persahabatan, penghianatan, kekeluargaan, hubungan buruh-majikan, atasan-bawahan, dan hubungan lain yang melibatkan interaksi antarsesama. Lebih lanjut, hubungan manusia dengan Tuhannya lebih merupakan hubungan bersifat vertikal dan batiniah. Hubungan ini tergantung kepercayaan yang diyakini oleh setiap manusia. Kepercayaan tersebut akan memunculkan perasaan cinta, rindu, kasih, bahkan takut terhadap dosa yang akan diperoleh.

2.2.3 Metode Pengarang Menyampaikan Kritik

Setiap individu memiliki karakteristik tersendiri sebagai pembeda dari individu lainnya. Karakteristik inilah yang membedakan hasil sebuah karya seorang sastrawan dengan sastrawan yang lain. Bukan itu saja, seorang pengarang dalam menciptakan sebuah karya satu pasti berbeda dengan yang lainnya. Terkait dengan hal tersebut, seorang pengarang sering menggunakan metode tertentu untuk melontarkan gagasannya. Gagasan yang bisa ditengarai sebagai kritik ini, tentunya memiliki cara penyampaian secara tersendiri. Sumardjo 1979: 78 mengemukakan bahwa kritik hanya berlaku bagi orang-orang urakan, orang-orang “biadab”, seperti digambarkan oleh tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong dalam pertunjukan wayang. Punakawan merupakan simbol dari orang-orang yang merdeka ditengah-tengah masyarakat 24 tradisional yang masih mengenal kepatuhan terhadap lingkungan dan atasannya. Cara mereka melontarkan kritik pun terbilang aman yaitu dengan cara canda gurau. Kritik di dalam masyarakat tradisional terkadang juga muncul terutama di dalam masyarakat yang mengenal feodalisme. Kritik dilontarakan secara langsung tetapi dibungkus dengan bahasa pragmatik atau berupa ”pasemon”, yakni kritik yang dibungkus dengan kata-kata pujian. Senada dengan pendapat tersebut, Nurgiyantoro 1994: 335 mengemukakan bahwa pesan moral yang terdapat dalam sebuah karya sastra bisa disampaikan secara langsung. Penyampaian ini dilakukan dengan cara melukiskan watak tokoh dalam bentuk uraian, menyebutkan, dan menjelaskan kritikan yang terkait dengan perwatakan tokoh cerita. Penyampaian kritikan secara langsung ini berfungsi untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi cerita. Pembaca tidak akan kesulitan dalam menafsirkan maksud pengarang. Bentuk penyampaian kritik sosial dapat pula dilakukan secara tidak langsung. Nurgiyantoro 1994: 339 menyebutkan tentang penyampaian kritik secara tidak langsung atau tersirat, tidak dilakukan dengan serta merta atau vulgar. Pengarang menyampaikan kritik secara tersirat dengan cara menampilkan peristiwa, konflik, dan sikap tokoh dalam menghadapi konflik. Penyampaian kritik dengan model secara tersirat ini biasanya menggunakan simbol-simbol atau perlambangan dan menggunakan permajasan. Pembaca terkadang harus merenung untuk menangkap maksud pengarang mengenai isi ceritanya. Interpretasi bisa saja berbeda antara pembaca yang satu dengan pembaca yang lain, tergantung sejauh mana kemampuan pembaca untuk menerjemahkannya. Kesalahan penafsiran 25 sering pula terjadi karena pembacaan yang kurang menyeluruh. Terkait dengan hal tersebut, sangat penting kiranya mengetahui cara pengarang melontarkan gagasannya sehingga pembaca akan mudah menentukan kandungan kritik di dalam kumpulan esai budaya Wong Jawa Kok Ora Ngapusi. 26

BAB III METODE PENELITIAN