Uji Efektifitas Insektisida Nabati Terhadap Mortalitas Leptocorisa acuta Thunberg Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Di Rumah Kaca

(1)

UJI EFEKTIFITAS INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS

Leptocorisa acuta Thunberg PADA TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) DI RUMAH KACA

SKRIPSI

OLEH :

AHMAD FAUZI SITOMPUL 080302007

HPT

DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN


(2)

UJI EFEKTIFITAS INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS

Leptocorisa acuta Thunberg PADA TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) DI RUMAH KACA

SKRIPSI OLEH :

AHMAD FAUZI SITOMPUL 080302007

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan. .

DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Skripsi : Uji Efektifitas Insektisida Nabati Terhadap Mortalitas Leptocorisa acuta Thunberg Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Di Rumah Kaca.

Nama : Ahmad Fauzi Sitompul

NIM : 080302007

Program Studi : Agroekoteknologi

Minat : Hama dan Penyakit Tumbuhan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

(Ir. Syahrial Oemry, MS) (Ir. Yuswani Pangestiningsih, MS) Ketua Anggota

Mengetahui,

(Ir. T. Sabrina, M.Agr, Sc.,Ph.D) Ketua Program Studi Agroekoteknologi


(4)

ABSTRACT

Ahmad Fauzi Sitompul “The Effectiveness of Botanical Insecticides Test to Mortality the Leptocorisa acuta Thunberg. on rice plant in Greenhouse”. It was under supervised by Ir. Syahrial Oemry, MS. and Ir. Yuswani Pangestiningsih, MS. This Research was to study the effectiveness of botanical insecticides to mortality Leptocorisa acuta Thunberg. The research was held at the Greenhouse Of Agriculture Faculty University of North Sumatera, Medan since June – August 2013. The method of this research was Completely Randomized Design Non Factorial with eight treatments. K0 (control), A1 (25 ml tuba root extracts/litre of water), A2 (50 ml tuba root extracts/litre of water), A3 (75 ml tuba root extracts/litre of water), T1 (25 ml tobacco extracts/litre of water), T2 (50 ml tobacco extracts/litre of water), T3 (75 ml tobacco extracts/litre of water), dan AT (50 ml tuba root extracts/litre of water + 50 tobacco extracts/litre of water) with three replication. The parameters include the percentage of mortality pest and the death of imago.

The result showed that the most effective of botanical insecticides was found in treatment AT (100%) at 3 days after application, followed by T3 (100%) at 4 days after application and T2 (96,67%) and A3 (95%) at 5 days after application, and less effective was found in A1 (81,67%) and T1 (88,33%) at 5 days after application, and on the 6 days after application all botanical insecticides treatmens has show 100% mortality. The death of imago is the fastest in treatments AT, T3, T2, A3, A2 and T1 occurred at 1 day after planting, and longest are on treatments A1 occurred at 2 day after planting.


(5)

ABSTRAK

Ahmad Fauzi Sitompul “Uji Efektifitas Insektisida Nabati Terhadap Mortalitas Leptocorisa acuta Thunberg. Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) di Rumah Kaca” dibawah bimbingan Bapak Ir. Syahrial Oemry, MS dan Ibu Ir. Yuswani Pangestiningsih, MS. Penelitian ini bertujuan untuk menguji

efektivitas insektisida nabati terhadap mortalitas Leptocorisa acuta Thunberg. Pada tanaman padi (Oryza sativa L.) di rumah kaca. Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Non Faktorial, dengan delapan perlakuan. K0 (kontrol), A1 (25 ml ekstrak akar tuba/L air), A2 (50 ml ekstrak akar tuba/L air), A3 (75 ml ekstrak akar tuba/L air), T1 (25 ml ekstrak tembakau/L air), T2 (50 ml ekstrak tembakau/L air), T3 (75 ml ekstrak tembakau/L air), dan AT (50 ml ekstrak akar tuba + 50 ekstrak tembakau/L air) dengan tiga ulangan. Parameter yang diamati meliputi persentase mortalitas dan waktu kematian imago.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa insektisida nabati paling efektif terdapat pada perlakuan AT (100%) pada 3 hsa, diikuti T3 (100%) pada 4 hsa, dan T2 (96,67%) dan A3 (95%) pada 5 hsa, dan terendah pada A1 (81,67%) dan T1 (88,33%) pada 5 hsa, dan pada 6 hsa semua perlakuan insektisida nabati telah menunjukkan mortalitas 100%. Waktu kematian imago tercepat terdapat pada perlakuan AT, T3, T2, A3, A2 dan T1 terjadi pada 1 hsa, dan paling lama terdapat pada perlakuan A1 terjadi pada 2 hsa.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini tepat pada waktunya.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Uji Efektifitas Insektisida Nabati Terhadap Mortalitas Leptocorisa acuta Thunberg. Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) di Rumah Kaca”, yang merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana pertanian di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

Komisi Pembimbing Bapak Ir. Syahrial Oemry, MS selaku Ketua dan Ir. Yuswani Pangestiningsih, MS selaku Anggota yang telah membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan tulissan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Oktober 2013


(7)

RIWAYAT HIDUP

Ahmad Fauzi Sitompul lahir pada tanggal 3 Maret 1990 di Medan, sebagai

anak kedua dari tiga bersaudara, putra dari Ayahanda Drs. Zaharuddin Sitompul dan Ibunda Dra. Maimunnah Sitorus.

Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut : - Tahun 2002 lulus dari Sekolah Dasar (SD) Swasta Budisatrya Medan - Tahun 2005 lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri

17 Medan

- Tahun 2008 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 11 Medan - Tahun 2008 lulus dan diterima di Departemen Hama dan Penyakit

Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur PMP/PMDK

Penulis pernah aktif dalam organisai kemahasiswaan yaitu:

- Anggota IMAPTAN (Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman) tahun 2008-2012

- Penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PTP Nusantara III Kebun Bangun, pada Juni - Juli 2011.

- Melaksanakan penelitian di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan pada Juni - Agustus 2013


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi(Oryza sativa L.) ... 4

Syarat Tumbuh Iklim ... 8

Tanah ... 9

Biologi L. acuta ... 10

Gejala Serangan L. acuta ... 12

Metode Pengendalian L. acuta ... 14

Insektisida Nabati ... 15

Tembakau(Nicotiana tabaccum L.) ... 18

Akar Tuba(Derris eliptica) ... 20

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Metode Penelitian ... 22

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media Tanam ... 24


(9)

Persiapan Tanaman Padi ... 24

Penyediaan Imago L. acuta. ... 24

Pembuatan Ekstrak Daun Tembakau dan Akar Tuba ... 24

Pengaplikasian ... 25

Perameter Pengamatan Persentase Mortalitas L. acutta ... 25

Waktu Kematian L. acutta ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Mortalitas L. acutta ... 26

Waktu Kematian L. acutta ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 31

Saran ... 32 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

No Judul Hlm

1. Rataan Persentase Mortalitas L. acuta Untuk Setiap 26 Perlakuan Pada 6 Kali Pengamatan

2. Pengaruh Pemberian Insektisida Nabati Terhadap Waktu 30 Kematian L. acuta


(11)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Telur L. acuta 10

2. Nimfa L. acuta 11

3. Imago L. acuta 12

4. Gejala Serangan L. acuta 13

5. Daun Tembakau (Nicotiana tabaccum L.) 20

6. Akar Tuba (Derris eliptica) 21

7. Histogram Rataan Persentase Mortalitas Imago L. acuta 29 Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 1 sampai 6 hsa


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hlm

1. Bagan Penelitian 36

2. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap 37 Perlakuan Pada Pengamatan 1 hsa

3. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap 39 Perlakuan Pada Pengamatan 2 hsa

4. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap 41 Perlakuan Pada Pengamatan 3 hsa

5. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap 43 Perlakuan Pada Pengamatan 4 hsa

6. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap 45 Perlakuan Pada Pengamatan 5 hsa

7. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap 47 Perlakuan Pada Pengamatan 6 hsa


(13)

ABSTRACT

Ahmad Fauzi Sitompul “The Effectiveness of Botanical Insecticides Test to Mortality the Leptocorisa acuta Thunberg. on rice plant in Greenhouse”. It was under supervised by Ir. Syahrial Oemry, MS. and Ir. Yuswani Pangestiningsih, MS. This Research was to study the effectiveness of botanical insecticides to mortality Leptocorisa acuta Thunberg. The research was held at the Greenhouse Of Agriculture Faculty University of North Sumatera, Medan since June – August 2013. The method of this research was Completely Randomized Design Non Factorial with eight treatments. K0 (control), A1 (25 ml tuba root extracts/litre of water), A2 (50 ml tuba root extracts/litre of water), A3 (75 ml tuba root extracts/litre of water), T1 (25 ml tobacco extracts/litre of water), T2 (50 ml tobacco extracts/litre of water), T3 (75 ml tobacco extracts/litre of water), dan AT (50 ml tuba root extracts/litre of water + 50 tobacco extracts/litre of water) with three replication. The parameters include the percentage of mortality pest and the death of imago.

The result showed that the most effective of botanical insecticides was found in treatment AT (100%) at 3 days after application, followed by T3 (100%) at 4 days after application and T2 (96,67%) and A3 (95%) at 5 days after application, and less effective was found in A1 (81,67%) and T1 (88,33%) at 5 days after application, and on the 6 days after application all botanical insecticides treatmens has show 100% mortality. The death of imago is the fastest in treatments AT, T3, T2, A3, A2 and T1 occurred at 1 day after planting, and longest are on treatments A1 occurred at 2 day after planting.


(14)

ABSTRAK

Ahmad Fauzi Sitompul “Uji Efektifitas Insektisida Nabati Terhadap Mortalitas Leptocorisa acuta Thunberg. Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) di Rumah Kaca” dibawah bimbingan Bapak Ir. Syahrial Oemry, MS dan Ibu Ir. Yuswani Pangestiningsih, MS. Penelitian ini bertujuan untuk menguji

efektivitas insektisida nabati terhadap mortalitas Leptocorisa acuta Thunberg. Pada tanaman padi (Oryza sativa L.) di rumah kaca. Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Non Faktorial, dengan delapan perlakuan. K0 (kontrol), A1 (25 ml ekstrak akar tuba/L air), A2 (50 ml ekstrak akar tuba/L air), A3 (75 ml ekstrak akar tuba/L air), T1 (25 ml ekstrak tembakau/L air), T2 (50 ml ekstrak tembakau/L air), T3 (75 ml ekstrak tembakau/L air), dan AT (50 ml ekstrak akar tuba + 50 ekstrak tembakau/L air) dengan tiga ulangan. Parameter yang diamati meliputi persentase mortalitas dan waktu kematian imago.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa insektisida nabati paling efektif terdapat pada perlakuan AT (100%) pada 3 hsa, diikuti T3 (100%) pada 4 hsa, dan T2 (96,67%) dan A3 (95%) pada 5 hsa, dan terendah pada A1 (81,67%) dan T1 (88,33%) pada 5 hsa, dan pada 6 hsa semua perlakuan insektisida nabati telah menunjukkan mortalitas 100%. Waktu kematian imago tercepat terdapat pada perlakuan AT, T3, T2, A3, A2 dan T1 terjadi pada 1 hsa, dan paling lama terdapat pada perlakuan A1 terjadi pada 2 hsa.


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi beras masyarakat Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2008 mencapai 139 kg per kapita per tahun atau merupakan tertinggi di dunia. Kemudian BPS merilis lagi angka produksi padi 2010 sebanyak 66,4 juta ton. Angka ini merupakan angka sementara dan diramalkan untuk tahun 2011 angka produksi bisa mencapai 67,3 juta ton. Dengan demikian untuk mencapai angka tersebut parlu adanya usaha dalam produksi pertanian (Nizar, 2011).

Pentingnya padi sebagai sumber utama makanan pokok dan dalam perekonomian bangsa indonesia tidak seorangpun yang menyangsikannya. Oleh karena itu setiap faktor yang mempengaruhi tingkat produksinya sangat penting diperhatikan. Salah satu faktor itu adalah hama dan penyakit (Harahap, 1988).

Di Indonesia walang sangit merupakan hama potensial yang pada waktu-waktu tertentu menjadi hama penting dan dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 50%. Diduga bahwa populasi 100.000 ekor per hektar dapat menurunkan hasil sampai 25%. Hasil penelitian menunjukkan populasi walang sangit 5 ekor per 9 rumpun padi akan menurunkan hasil 15%. Hubungan antara kepadatan populasi walang sangit dengan penurunan hasil menunjukkan bahwa serangan satu ekor walang sangit per malai dalam satu minggu dapat menurunkan hasil 27% (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009).


(16)

dari bahan kimia pada organisme bukan target, perkembangan resistensi serangga terhadap pestisida kimia dan efek berbahaya terhadap manusia dan lingkungan merangsang minat para ilmuwan untuk mengukur kontrol alternatif melalui kontrol bio berarti untuk menghancurkan serangga hama untuk meningkatkan produktivitas pertanian(Tabassum dan Shahina, 2004).

Pestisida nabati diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan karena terbuat dari bahan-bahan alami maka jenis pestisida ini mudah terurai di alam sehingga relatif aman bagi manusia. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida botani antara lain mimba, tembakau, mindi, srikaya, mahoni, sirsak, tuba, dan juga berbagai jenis gulma seperti babandotan (Samsudin, 2008).

Tembakau merupakan salah satu tumbuhan yang dapat menghasilkan pestisida nabati. Tembakau banyak menghasilkan bahan beracun yang disebut Nikotine. Konsentrasi nikotine tertinggi terdapat pada ranting dan tulang daun. Nikotine ini sudah dikenal sejak tahun 1670-1770 dimana masyarakat menggunakan insektisida sebagai insektisida kontak dan fumigant (Sudarmo Subiakto, 1995).

Tanaman tuba merupakan flora Indonesia yang cukup berpotensi dan

diketahui berkhasiat untuk pengendalian hama pada berbagai tanaman Senyawa alami yang terdapat pada akar tanaman ini yaitu rotenon, merupakan


(17)

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui efektifitas insektisida nabati ekstrak akar tuba dan tembakau pada beberapa tingkat konsentrasi terhadap mortalitas L. acuta pada tanaman padi (O. sativa) di rumah kaca.

Hipotesis Penelitian

Insektisida nabati dari gabungan 50 ml ekstrak akar tuba + 50 ml ekstrak tembakau/liter air lebih efektif dari pada insektisida dari ekstrak akar tuba 25 ml/liter air, 50 ml/liter air, dan 75 ml/liter air, dan ekstrak tembakau 25 ml/liter air, 50 ml/liter air, dan 75 ml/liter air terhadap mortalitas L. acuta.

Kegunaan Penelitian

− Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Padi (Oryza sativa L.)

Menurut Sugeng (2003) tanaman padi diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdovio : Angiospermae Kelas : Monokotiledoneae Ordo : Gramineales Famili : Gramineaceae Genus : Oryza

Spesies : Oryza sativa L.

Tumbuhan padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tanaman padi membentuk rumpun dengan anakannya, biasanya anakan akan tumbuh pada dasar batang. Pembentukan anakan terjadi secara tersusun yaitu pada batang pokok atau batang batang utama akan tumbuh anakan pertama, anakan kedua tumbuh pada batang bawah anakan pertama, anakan ketiga tumbuh pada buku pertama pada batang anakan kedua dan seterusnya. Semua anakan memiliki bentuk yang serupa dan membentuk perakaran sendiri (Luh, 1991).

Akar tanaman padi merupakan akar tumbuhan graminae. Tumbuhan golongan ini memiliki akar serabut yang merupakan akar halus yang berfungsi untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah. Akar – akar tanaman akan membentuk batang – batang tanaman padi dan akan membentuk rumpun tanaman


(19)

padi. Meskipun akar tanaman ini akar serabut tetapi pada bagian pangkal batang terdapat akar tunggang yang mengeras (Sugeng, 2003).

Tanaman padi mempunyai batang yang beruas-ruas. Panjang batang tergantung pada jenisnya. Padi jenis unggul biasanya berbatang pendek atau lebih pendek daripada jenis lokal, sedangkan jenis padi yang tumbuh di tanah rawa dapat lebih panjang lagi, yaitu antara 2-6 meter (AAK, 1990).

Daun yang muncul pada saat terjadi perkecambahan dinamakan coleoptil. Coleoptil keluar dari benih yang disebar dan akan memanjang terus sampai permukaan air. Coleoptil baru membuka, kemudian diikuti keluarnya daun pertama, daun kedua dan seterusnya, hingga yang disebut daun bendera, sedangkan daun terpanjang biasanya pada daun ketiga . Daun bendera merupakan daun yang lebih pendek daripada daun-daun dibawahnya, namun lebih lebar daripada daun sebelumnya. Daun bendera ini terletak di bawah malai padi (AAK, 1990).

Sekumpulan bunga padi yang keluar dari buku paling atas dinamakan malai. Bulir-bulir padi terletak pada cabang pertama dan cabang kedua, sedangkan sumbu utama malai adalah ruas buku yang terakhir pada batang. Panjang malai tergantung pada varietas padi yang ditanam cara bercocok tanam. Dari sumbu utama pada ruas buku yang terakhir pada batang. Bunga padi merupakan bunga telanjang yang mempunyai satu bakal buah, 6 buah benang sari, serta dua tangkai putik. Bakal buah mengandung air (cairan) untuk kebutuhan lodicula, warnanya keunguan/ungu tua. Benang sari terdiri dari tangkai sari, kepala sari dan kandung serbuk (AAK,1990).


(20)

Gabah atau buah padi adalah ovary yang telah masak, bersatu dengan lemma dan palea. Buah ini merupakan hasil penyerbukan dan pembuahan yang mempunyai bagian-bagian sebagai berikut : Embrio, endosperm, bekatul. Jadi, sebenarnya gabah/biji padi ini adalah buah padi yang diselubungi oleh sekam/kulit gabah (AAK,1990).

Secara umum pemasakan bulir pada tanaman padi terbagi atas empat stadia, yaitu :

 Stadia matang susu (8-10 hari setelah berbunga merata)  Stadia matang kuning (7 hari setelah masak susu)  Stadia matang penuh (7 hari setelah masak kuning)  Stadia matang mati (6 hari setelah masak penuh) (AAK, 1990).

Secara umum ada tiga stadia proses pertumbuhan tanaman padi dari awal penyemaian hingga pemanenan :

1. Stadia vegetatif ; dari perkecambahan sampai terbentuknya bulir. Pada varietas padi yang berumur pendek (120 hari) stadia ini lamanya sekitar 55 hari, sedangkan pada varietas padi berumur panjang (150 hari) lamanya sekitar 85 hari.

2. Stadia reproduktif ; dari terbentuknya bulir sampai pembungaan. Pada varietas berumur pendek lamanya sekitar 35 hari, dan pada varietas berumur panjang sekitar 35 hari juga.

3. Stadia pembentukan gabah atau biji ; dari pembungaan sampai pemasakan biji. Lamanya stadia sekitar 30 hari, baik untuk varietas padi berumur pendek maupun berumur panjang (Sudarmo, 1991).


(21)

Masing-masing stadia mempunyai ciri dan nama tersendiri. Stadia tersebut adalah:

• Stadia 0 ; dari perkecambahan sampai timbulnya daun pertama, biasanya memakan waktu eskitar 3 hari.

• Stadia 1 ; stadia bibit, stadia ini lepas dari terbentuknya duan pertama sampai terbentuk anakan pertama, lamanya sekitar 3 minggu, atau sampai pada umur 24 hari.

• Stadia 2 ; stadia anakan, ketika jumlah anakan semakin bertambah sampai batas maksimum, lamanya sampai 2 minggu, atau saat padi berumur 40 hari.

• Stadia 3 ; stadia perpanjangan batang, lamanya sekitar 10 hari, yaitu sampai terbentuknya bulir, saat padi berumur 52 hari.

• Stadia 4 ; stadia saat mulai terbentuknya bulir, lamanya sekitar 10 hari, atau sampai padi berumur 62 hari.

• Stadia 5 ; perkembangan bulir, lamanya sekitar 2 minggu, saat padi sampai berumur 72 hari. Bulir tumbuh sempurna sampai terbentuknya biji.

• Stadia 6 ; pembungaan, lamanya 10 hari, saat mulai muncul bunga, polinasi, dan fertilisasi.

• Stadia 7 ; stadia biji berisi cairan menyerupai susu, bulir kelihatan berwarna hijau, lamanya sekitar 2 minggu, yaitu padi berumur 94 hari.


(22)

• Stadia 8 ; ketika biji yang lembek mulai mengeras dan berwarna kuning, sehingga seluruh pertanaman kelihatan kekuning-kuningan. Lama stadia ini sekitar 2 minggu, saat tanaman berumur 102 hari. • Stadia 9 ; stadia pemasakan biji, biji berukuran sempurna, keras

dan berwarna kuning, bulir mulai merunduk, lama stadia ini sekitar 2 minggu, sampai padi berumur 116 hari

(Sudarmo, 1991).

Syarat Tumbuh Iklim

Batasan suhu yang lebih rendah untuk perkecambahan sulit diestimasikan dan sangat bervariasi, tetapi proses perkecambahan hanya lambat pada suhu 10 0C (50 0F). Perkecambahan optinum antara 180C – 33 0C dengan gizi dari kebanyakan perkecambahan varietas lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi dari yang lain. Pada suhu 42 0C perkecambahan tertahan, pada suhu 50 0c dan benih mati. Suhu kritis antara 15 – 15,5 0C dan benih mati. Untuk penyesuaian dataran tinggi 25 0C sampai 28 0C suhu optimum dengan menghambat akar pada suhu dibawah 16 0C dan diatas 35 0C (Noor, 1996).

Tanaman padi membutuhkan curah hujan yang baik, rata-rata 200 mm/bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan. Sedangkan curah hujan yang dikehendaki pertahun sekitar 1500-2000 mm. Curah hujan yang baik akan membawa dampak positif dalam pengairan, sehingga genangan yang diperlukan tanaman padi di sawah dapat tercukupi (AAK, 1990)


(23)

Tanah

Tanah sawah yang mempunyai persentasi fraksi pasir dalam jumlah besar, kurang baik untuk tanaman padi, sebab tekstur ini mudah meloloskan air. Pada tanah sawah dituntut adanya lumpur, terutama untuk tanaman padi yang membutuhkan tanah subur, dengan kandungan ketiga fraksi dalam perbandingan tertentu. Lumpur adalah butir-butir tanah halus yang seluruhnya diselubungi oleh air, sehingga pada tanah sawah diperlukan air dalam jumlah yang cukup dan butir tanah dapat mengikatnya (AAK, 1990).

Tidak semua jenis tanah cocok dengan areal persawahan karena tidak semua tanah dapat tergenang air. Padahal dalam sistem tanah sawah lahan harus tetap tergenang air agar kebutuhan air tanaman padi tercukupi sepanjang musim tanam. Oleh karena itu jenis tanah yang sulit menahan air (tanah dengan kandungan pasir tinggi) kurang cocok untuk lahan persawahan. Sebaliknya tanah yang sulit dilewati air tanah dengan kandungan lempung tinggi cocok dibuat lahan persawahan (Noor, 1996).


(24)

Biologi L. acuta

Klasifikasi walang sangit menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Hemiptera Family : Alydidae Genus : Leptocorisa

Spesies : Leptocorisa acuta Thunberg.

Imago walang sangit meletakan telur pada bagian atas daun tanaman. Pada tanaman padi daun bendera lebih disukai. Telur berbentuk oval dan pipih berwarna coklat kehitaman, diletakan satu persatu dalam 1-2 baris sebanyak 12-16 butir. Lama periode bertelur 57 hari dengan total produksi terlur per induk + 200 butir. Lama stadia telur 7 hari (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009).

Gambar 1. Telur L. acuta Sumber: http://www.cbit.uqy.edu.au


(25)

Terdapat lima instar pertumbuhan nimfa yang total lamanya + 19 hari. Lama

preoviposition + 21 hari, sehingga lama satu siklus hidup hama walang sangit + 46 hari. Nimpa setelah menetas bergerak ke malai mencari bulir

padi yang masih stadia masak susu, bulir yang sudah keras tidak disukai. Nimpa ini aktif bergerak untuk mencari bulir baru yang cocok sebagai makanannya. Nimfa-nimfa dan dewasa pada siang hari yang panas bersembunyi dibawah kanopi tanaman (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009).

Nimfa berukuran lebih kecil dari dewasa dan tidak bersayap. Lama periode nimfa rata-rata 17,1 hari. Pada umumnya nimfa berwarna hijau muda dan menjadi coklat kekuning-kuningan pada bagian abdomen dan sayap coklat saat dewasa. Walaupun demikian warna walang sangit ini lebih ditentukan oleh makanan pada periode nimfa. Bagian ventral abdomen walang sangit berwarna coklat kekuning-kuningan jika dipelihara pada padi, tetapi hijau keputihan bila dipelihara pada rumput-rumputan (Suharto dan Damardjati, 1988).

Gambar 2. Nimfa L. acuta Sumber: www.google.com

Serangga dewasa berbentuk ramping dan berwarna coklat, berukuran panjang sekitar 14-17 mm dan lebar 3-4 mm dengan tungkai dan antenna yang


(26)

imago serangga ini baru dapat kawin setelah 4-6 hari, dengan masa pra peneluran 8,1 dan daur hidup walang sangit antara 32-43 hari. Lama periode

bertelur rata rata 57 hari (berkisar antara 6-108 hari, sedangkan serangga

dapat hidup selama rata-rata 80 hari (antara 16-134 hari) (Siwi et al., 1981).

Gambar 3. Imago L. acuta Sumber: http://www.ces.csiro.au

Gejala Serangan L. acuta

Serangga dewasa pada pagi hari aktif terbang dari rumpun ke rumpun sedangkan penerbangan yang relatif jauh terjadi pada sore atau malam hari. Pada masa tidak ada pertanaman padi atau tanaman padi masih stadia vegetatif, dewasa walang sangit bertahan hidup/berlindung pada barbagai tanaman yang terdapat pada sekitar sawah. Setelah tanaman padi berbunga dewasa walang sangit pindah ke pertanaman padi dan berkembang biak satu generasi sebelum tanaman padi tersebut dipanen. (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009).

Gejala serangan yang ditimbulkan antara lain bulir padi yang sedang matang susu menjadi hampa karena disiap cairannya, kulit pada bekas tusukan


(27)

terdapat bercak titik berwarna putih kemudian berubah menjadi coklat kehitaman (Kalshoven, 1981).

Kerusakan yang hebat disebabkan oleh imago yang menyerang tepat pada masa berbunga, sedangkan nimpa terlihat merusak secara nyata setelah pada instar ketiga dan seterusnya (Kalshoven, 1981).

Tingkat serangan dan menurunnya hasil akibat serangga dewasa lebih besar dibandingkan nimfa. Suharto dan Damardjati (1988) melaporkan bahwa 5 ekor walang sangit pada tiap 9 rumpun tanaman akan merugikan hasil sebesar 15%, sedangkan 10 ekor pada 9 rumpun tanaman akan mengurangi hasil sampai 25%. Kerusakan yang tinggi biasanya terjadi pada tanaman di lahan yang sebelumnya banyak ditumbuhi rumput-rumputan serta pada tanaman yang berbunga paling akhir (Willis, 2001 dalam Asikin dan Thamrin, 2009).

Bulir hampa karena serangan walang sangit

Gambar 4. Gejala Serangan L. acuta Sumber: www.google.com


(28)

Metode Pengendalian L. acuta

Pengendalian secara kultur teknik

o Sampai sekarang belum ada varietas padi yang tahan terhadap hama walang sangit.

o Berdasarkan cara hidup walang sangit, tanam serempak dalam satu hamparan merupakan cara pengendalian yang sangat dianjurkan.

Pengendalian secara biologis

o Parasitoid untuk L. acuta adalah O. malayensis sedangkan jenis jamurnya adalan Beauveria sp dan Metharizum sp.

Pengendalian dengan menggunakan perilaku serangga

o Walang sangit tertarik oleh senyawa (bebauan) yang dikandung tanaman Lycopodium sp dan Ceratophylum sp.

o Bau bangkai binatang terutama bangkai kepiting juga efektif untuk menarik hama walang sangit.

Pengendalian kimiawi

o Pengendalian kimiawi dilakukan pada padi setelah berbunga sampai masak susu, ambang kendali untuk walang sangit adalah enam ekor /m2. (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009).


(29)

Insektisida Nabati

Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang, biji atau buah. Bahan-bahan ini diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain Bahan-bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil pengambilan cairan metabolit sekunder dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya dan digunakan sebagai pestisida (Thamrin et al., 2007). Insektisida alami mencakup semua bahan insektisida yang berasal dari alam, baik senyawa organik maupun anorganik (Prijono,1999).

Kecenderungan masyarakat menggunakan bahan-bahan yang berasal dari tanaman obat terus meningkat. Produk berbahan baku yang berasal dari tanaman dinilai relatif lebih aman dan ramah lingkungan dibanding dengan produk berbahan aktif kimia sintetik. Sampai saat ini ketersediaan pestisida yang berbahan baku tumbuhan sebagai pestisida nabati yang telah diuji khasiat dan keamanannya secara ilmiah masih terbatas. Sementara itu petani kerapkali membuat ramuan sendiri dari berbagai tanaman, termasuk tanaman obat yang secara empiris dikatakan efektif untuk suatu organisme pengganggu tanaman (OPT), namun belum ditunjang dengan data ilmiah agar mutu dan keamanan produk tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Balfas dan Willis, 2009).

Senyawa-senyawa yang telah dikenal baik oleh serangga akan dijadikan tanda bahwa tanaman tersebut adalah inang mereka dan kebanyakan senyawa-senyawa yang telah dikenal dijadikan sebagai senyawa-senyawa penarik (attraktan).


(30)

Pada umumnya pestisida berbahan nabati bersifat sebagai racun perut yang tidak membahayakan terhadap musuh alami atau serangga bukan sasaran, sehingga penggunaan pestisida berbahan nabati dapat dikombinasikan dengan musuh alami. Selain memiliki senyawa aktif utama dalam ekstrak tumbuhan juga terdapat senyawa lain yang kurang aktif, namun keberadaannya dapat meningkatkan aktivitas ekstrak secara keseluruhan (sinergi). Serangga tidak mudah menjadi resisten terhadap ekstrak tumbuhan dengan beberapa bahan aktif, karena kemampuan serangga untuk membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa yang berbeda sekaligus lebih kecil daripada terhadap senyawa insektisida tunggal. Selain itu cara kerja senyawa dari bahan nabati berbeda dengan bahan sintetik sehingga kecil kemungkinannya terjadi resistensi silang (Thamrin et al., 2007).

Tumbuh-tumbuhan tersebut diduga bersifat sebagai racun perut, karena larva tidak menunjukkan gejala keracunan walaupun sudah terjadi kontak, gejala keracunan mulai tampak satu hari setelah makan yang ditandai dengan menurunnya aktivitas makan dan gerakannya melemah yang mengakibatkan kematian larva. Kematian larva terjadi pada hari kedua dan ketiga, kemudian hari berikutnya tidak terjadi kematian bahkan larva-larva yang masih bertahan hidup dapat membentuk pupa pada hari keenam dan ketujuh. Hal ini diduga bahwa setelah hari empat daya racun dari tumbuhan yang diuji sudah menurun (terdegradasi) (Thamrin et al., 2007).

Dosis yang digunakan pun tidak terlalu mengikat dan beresiko dibandingkan dengan penggunaan pestisida sintesis. Untuk mengukur tingkat keefektifan dosis yang digunakan, dapat dilakukan eksperimen dan sesuai dengan


(31)

pengalaman pengguna. Jika satu saat dosis yang digunakan tidak mempunyai pengaruh dapat ditingkatkan hingga terlihat hasilnya, karena penggunaan pestisida alami relatif aman dalam dosis tinggi sekali pun. Sebanyak apapun yang diberikan pada tanaman sangat jarang ditemukan tanaman mati yang ada hanya kesalahan teknis, seperti tanaman yang menyukai media kering karena terlalu sering disiram dan lembab malah akan memacu munculnya jamur. Kuncinya adalah aplikasi dengan dosis yang diamati dengan perlakuan sesuai dengan karakteristik dan kondisi ideal tumbuh tanamannya (Galingging, 2010).

Ekstrak yang tidak aktif pada konsentrasi rendah mungkin disebabkan karena senyawa yang terkandung di dalamnya kurang aktif atau senyawa tersebut sebenarnya cukup aktif tetapi kandungannya rendah (Prijono, 1999).

Pada umumnya pestisida sintetik dapat membunuh langsung organisme sasaran dengan cepat. Hal ini berbeda dengan pestisida nabati, sebagai contoh insektisida nabati yang umumnya tidak dapat mematikan langsung serangga, biasanya berfungsi seperti berikut:

1. Refellent, yaitu menolak kehadiran serangga terutama disebabkan baunya yang menyengat

2. Antifeedan, menyebabkan serangga tidak menyukai tanaman, misalnya disebabkan rasa yang pahit

3. Mencegah serangga meletakkan telur dan menghentikan proses penetasan telur (insect growth regulator)

4. Racun syaraf


(32)

6. Attraktan, sebagai pemikat kehadiran serangga yang dapat digunakan sebagai perangkap (Thamrin et al., 2007).

1. Tembakau (Nicotiana tabaccum L.)

Tembakau merupakan salah satu tumbuhan yang dapat menghasilkan pestisida nabati. Tembakau banyak menghasilkan bahan beracun yang disebut Nikotine. Konsentrasi nikotin tertinggi terdapat pada ranting dan tulang daun. Nikotin ini sudah dikenal sejak tahun 1670 – 1770 dimana masyarakat menggunakan insektisida sebagai insektisida kontak dan fumigant (Sudarmo, 1995).

Pada tahun 1960 tembakau mulai dikenal dimasyarakat Eropa, dimana tembakau ini digunakan sebagai obat sekaligus racun pembasmi hama. Pembuatannya masih sederhana, tembakau direndam dalam air selama satu malam kemudian dipakai untuk menyemprotkan atau disiramkan pada tanaman dan ternyata racun ini cukup efektif (Ekha, 1995).

Cara membuat ekstrak batang tembakau cukup mudah, hanya dipotong kecil-kecil kurang lebih 2 cm, dijemur hingga kering kemudian dihancurkan dengan blender atau mesin pencacah hingga menjadi tepung. Selanjutnya dibuat larutan. Pestisida nabati berbahan baku limbah batang tembakau yang digunakan selama percobaan menunjukkan hasil yang hampir sama dengan insektisida kimia sintetis untuk menekan hama penting tanaman bawang merah, tomat dan cabai (BPTP Nusa Tenggara Barat, 2008).

Tembakau dikenal sebagai salah satu jenis tanaman penghasil pestisida nabati dengan bahan aktif nikotin. Bahan aktif yang berperan dalam mengendalikan serangga hama adalah senyawa nikotin dan turunannya antara lain alkaloid nikotin, nikotin sulfat dan senyawa nikotin lainnya. Senyawa ini bekerja


(33)

sebagai racun saraf, racun kontak, racun perut dan fumigan. Senyawa nikotin efektif dalam mengendalikan serangga golongan apids dan serangga berbadan lunak lainnya. Senyawa nikotin diketahui sangat toksik terhadap mamalia dengan nilai LD-50 akut oral sebesar 50-60 mg/kg dan dapat meresap dengan cepat ke dalam kulit serangga (Ditjenbun, 2011).

Kandungan senyawa nikotin paling tinggi terdapat pada bagian ranting dan tulang daun. Cara membuat pestisida nabati dari bahan limbah tembakau dilakukan dengan mengeringanginkan bahan limbah tembakau berupa tulang dan tangkai daun tembakau. Limbah tembakau yang telah dikeringkan ini kemudian dipotong-potong dengan panjang 0,5-1 cm dan diblender, sehingga menjadi potongan-potongan yang kecil. Limbah tembakau yang telah terpotong kecil-kecil kemudian direndam air dengan konsentrasi 10%, yaitu dengan cara merendam 1 kg limbah tembakau ke dalam 9 liter air. Perendaman dilakukan selama 24 jam. Setelah perendaman selanjutnya limbah tembakau tersebut disaring dan diperas, sehingga diperoleh larutan ekstrak tembakau dalam air. Larutan konsentrasi 10% yang diperoleh tersebut digunakan sebagai larutan induk untuk membuat konsentrasi larutan yang lebih rendah. Aplikasi di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat semprot knapsack sprayer dengan volume semprot 400 liter/hektar (Ditjenbun, 2011).

Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa aplikasi skala laboratorium pada 2 jam setelah aplikasi menunjukkan kematian hama Helopeltis sp. baik pada stadia nimfa maupun imago cukup tinggi pada perlakuan ekstrak limbah tembakau konsentrasi 10% dengan tingkat kematian mencapai lebih dari 80%


(34)

Gambar 5. Daun Tembakau (Nicotiana tabaccum L.) Sumber: www.google.com

2. Akar Tuba (Derris eliptica)

Tanaman tuba (Derris eliptica) banyak terdapat di Indonesia dan tidak tergantung musim sehingga dapat tersedia secara terus menerus. Senyawa aktif akar tuba adalah rotenone Senyawa rotenon bersifat sitotoksik dan neurotoksik sehingga menimbulkan kematian sel pada serangga. Apabila senyawa ini kontak atau masuk ke dalam tubuh maka akan menghalangi ikatan enzim NADH dengan sitokrom creduktase dan sitokrom komplek sub unit I yang berada di dalam mitokondria serangga. Akibatnya sel kehilangan energi dan pernafasan sel akan terhenti (Lounderhausen et al., 1991).

Tumbuhan tuba mengandung zat yang disebut rotenone (C23H22O6). Kandungan rotenone pada tanaman tuba (Derris elliptica) sangat bermanfaat, senyawa ini banyak digunakan dalam bidang pertanian sebagai bioinsektisida yang aman digunakan oleh petani dan dapat pula digunakan sebagai larvasida ngengat (Plutella xylostella Linn.). Ekstrak tanaman tuba (Derris elliptica) dapat pula bermanfaat sebagai tanaman pembunuh nyamuk. Senyawa bio-aktif rotenone


(35)

(C23H22O6) paling banyak terdapat pada akar tuba (Derris elliptica). Rotenone diklasifikasikan oleh World Health Organization sebagai insektisida kelas II dengan tingkat bahaya menengah. Rotenone sangat cepat rusak di air dan di tanah, dalam waktu 2-3 hari dengan paparan sinar matahari seluruh racun rotenone akan hilang. (Kardinan, 2009).

Ketertarikan untuk mengembangkan dan menggunakan biopestisida yang alami, mudah didapatkan, serta aman bagi tubuh manusia dan lingkungan sekitar seperti Derris elliptica mulai dilirik sebagai bioinsektisida akhir-akhir ini karena sudah mulai ditinggalkannya pestisida kimia sintetik. Ditemukannya Senyawa bio-aktif rotenone (C23H22O6) yang terbukti dapat bermanfaat sebagai larvasida pada tanaman tuba (Derris elliptica). Rotenone juga terbukti dapat mematikan larva Aedes aegypti (LC50 = 13,17) dan Culex quinquefaciatus (LC50 = 18,53) (Yoon, 2006).

Gambar 6. Akar Tuba (Derris eliptica) Sumber: foto langsung


(36)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat +25 m dpl.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman padi varietas Ciherang daun tembakau, akar tuba, imago L. acuta, tanah sawah, pasir, air, aquadest dan bahan pendukung lainnya.

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sungkup, timbangan, beaker glass, handsprayer, spidol, blender, label nama, ember, alat tulis, saringan/kain halus dan alat-alat pendukung lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial, dengan perlakuan :

K0 : Kontrol (tanpa perlakuan) A1 : 25 ml ekstrak akar tuba/L air A2 : 50 ml ekstrak akar tuba/L air A3 : 75 ml ekstrak akar tuba/L air T1 : 25 ml ekstrak tembakau/L air T2 : 50 ml ekstrak tembakau/L air


(37)

T3 : 75 ml ekstrak tembakau/L. air

AT : 50 ml ekstrak akar tuba + 50 ml ekstrak tembakau/L air

Banyaknya ulangan yang dilakukan adalah : t ( r-1) ≥ 15

8 ( r-1) ≥ 15 8r – 8 ≥ 15 8r ≥ 23 r ≥ 2,8

r = 3

Jumlah ulangan adalah : 3 ulangan Jumlah perlakuan seluruhnya : 24 perlakuan

Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut:

��� = �+ ��+ ���

��� : Respon atau nilai pengamatan pada perlakuan ke- i dan kelompok ke-j

� : Nilai tengah umum

�� : Nilai pengamatan perlakuan ke-i


(38)

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media Tanam

Media yang digunakan berupa plastik ember berukuran isi 10 kg yang disisi dengan media tanam yaitu tanah sawah sebagai media tumbuh tanaman padi. Media disediakan sebanyak 24 ember. Ember – ember tersebut disungkup. Sungkup dibuat dengan panjang 150 cm dan lebar 50 cm yang terbuat dari bambu modifikasi yang dilapisi kain kasa.

Persiapan Rumah Kasa

Ruangan rumah kaca dibersihkan untuk menjaga kebersihan selama penelitian dan untuk menghindari kemungkinan hal yang mengganggu kemurnian penelitian.

Persiapan Tanaman Padi

Bibit padi disemai terlebih dahulu sampai berumur 21- 30 hari. Kemudian dipindahkan ke dalam ember/sungkup.

Penyediaan L. acuta

Imago L. acuta diperbanyak dengan cara mengambil sebanyak mungkin nimfa L. acuta dari lapangan. Lalu di riring untuk memperoleh keseragaman stadia imago. Setelah di riring dimasukkan kedalam sungkup / media perlakuan yang telah ada tanaman padinya. Setiap perlakuan dimasukkan 20 ekor imago L. acuta. Jumlah keseluruhan imago L. acuta dalam penelitian ini adalah 480 ekor L. acuta.

Pembuatan Ekstrak Daun Tembakau dan Akar Tuba

Disediakan daun tembakau sebanyak 700 gr kemudian diblender hingga halus dan 700 gr akar tuba lalu ditumbuk hingga halus dan masing-masing


(39)

ditambahkan 1 liter air. Kemudian disaring dan diperoleh air dari saringan daun yang diblender dan akar yang ditumbuk. Air hasil ekstrak tersebut diendapkan selama 24 jam, sehingga diperoleh bahan aktif dari ekstrak yang mengendap dibawah.

Pengaplikasian

Pengaplikasian insektisida dilakukan 62 HST dan dengan cara penyemprotan langsung pada tiap sungkup yang berisi imago L. acuta dengan dosis yang telah ditetapkan.

Parameter Pengamatan

Persentase Mortalitas Imago L. acuta (%)

Pengamatan mortalitas dilakukan 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 hari setelah aplikasi (hsa). Pengamatan tersebut dilakukan dengan menghitung jumlah imago yang mati dan kemudian dihitung persentase mortalitasnya. Persentase mortalitas dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

P = __a__ X 100% a + b

Dimana :

P = Persentase mortalitas larva a = Jumlah larva yang mati b = Jumlah larva yang hidup

(Fayone dan lauge, 1981 dalam Ginting, 1996). Waktu Kematian Imago L. acuta

Pengamatan dilakukan mulai dari 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 hari setelah aplikasi (hsa) terhadap imago L. acuta yang telah disemprotkan insektisida nabati sesuai


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Persentase mortalitas L. acuta

Hasil dari pengamatan persentase mortalitas walang sangit (L. acuta) dapat dilihat pada lampiran 2 - 7. Pengambilan data dilakukan pada 1 hsa hingga 6 hsa. Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian insektisida nabati memberi pengaruh sangat nyata terhadap mortalitas walang sangit (L. acuta) untuk semua perlakuan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Persentase Mortalitas L. acuta Untuk Setiap Perlakuan Pada 6 Kali Pengamatan.

Perlakuan Pengamatan

1hsa 2hsa 3hsa 4hsa 5hsa 6hsa

K0 0,00 d 0,00 f 0,00 g 0,00 e 0,00 d 0,00 b A1 0,00 d 3,33 f 23,33 f 50,00 d 81,67 c 100,00 a A2 11,67 c 31,67 d 60,00 d 78,33 b 91,67 b 100,00 a A3 13,33 c 38,33 c 68,33 c 81,67 b 95,00 a 100,00 a T1 1,67 d 13,33 e 35,00 e 66,67 c 88,33 b 100,00 a T2 15,00 c 38,33 c 70,00 c 86,67 b 96,67 a 100,00 a T3 23,33 b 55,00 b 83,33 b 100,00 a 100,00 a 100,00 a AT 58,33 a 93,33 a 100,00 a 100,00 a 100,00 a 100,00 a Keterangan : Angka yang diikuti notasi huruf yang berbeda pada kolom yang

sama berbeda sangat nyata, pada taraf 5 % uji jarak Duncan. K0 (kontrol); A1 (25 ml ekstrak akar tuba/L air); A2 (50 ml ekstrak akar tuba/L air); A3 (75 ml ekstrak akar tuba/L air); T1 (25 ml ekstrak tembakau/L air); T2 (50 ml ekstrak tembakau/L air); T3 (75 ml ekstrak tembakau/L air); AT (50 ml ekstrak akar tuba + 50 ml ekstrak tembakau/L air).

Tabel 1. menunjukkan bahwa pada perlakuan K0 tidak terjadi kematian walang sangit (L. acuta) dari 1 hsa sampai 6 hsa. Pada pengamatan 1 hsa, perlakuan AT berbeda sangat nyata dengan perlakuan A1, A2, A3, T1, T2, T3 dan kontrol. Pada pengamatan 3 hsa pada perlakuan AT sudah menunjukkan kematian walang sangit (L. acuta) 100%, sehingga perlakuan AT merupakan perlakuan


(41)

ekstrak akar tuba dan ekstrak tembakau bekerja pada walang sangit (L. acuta) sebagai pestisida, dimana senyawa aktif rotenone yg terkandung pada akar tuba dapat mempengaruhi enzim respirasi serangga, sedangkan senyawa aktif nikotin yang terkandung pada tembakau merupakan racun saraf, racun kontak, racun perut, fumigan, dan dapat meresap dengan cepat ke dalam kulit walang sangit (L. acuta). Hal ini sesuai dengan pendapat Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan (1994) yang menyatakan akar tuba mengandung senyawa aktif rotenoid yang dapat mempengaruhi enzim respirasi serangga OPT. Sesuai juga dengan pendapat Ditjenbun (2011) yang menyatakan bahwa senyawa nikotin bekerja sebagai racun saraf, racun kontak, racun perut dan fumigan.

Dari hasil pengamatan pada penggunaan ekstrak akar tuba didapatkan perlakuan A3 pada 5 hsa berbeda sangat nyata dengan perlakuan A1, A2, dan kontrol. Hal ini berkaitan dengan dosis/konsentrasi yang digunakan, semakin tinggi dosis/konsentrasi maka peningkatan efek racun juga semakin tinggi. Dengan kata lain semakin tinggi dosis/konsentrasi yang digunakan maka akan semakin tinggi mortalitas walang sangit (L. acuta) dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Purba (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan dosis berbanding lurus dengan peningkatan bahan racun tersebut, sehingga daya bunuh semakin tinggi.

Dari hasil pengamatan pada penggunaan ekstrak tembakau didapat perlakuan yang paling efektif yaitu pada perlakuan T3, karena pada 4 hsa perlakuan T3 sangat berbeda nyata dengan perlakuan T1, T2, dan kontrol. Dengan kata lain pada 4 hsa perlakuan T3 sudah menunjukkan kematian walang sangit (L. acuta) 100%. Hal ini dikarenakan semakin banyak dan cepatnya zat/senyawa


(42)

pendapat Sutoyo dan Wirioadmodjo (1997) bahwa semakin tinggi konsentrasi, maka jumlah racun yang mengenai kulit serangga semakin banyak, sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan menyebabkan kematian serangga semakin banyak.

Dari data dilihat bahwa pada 4 hsa pada perlakuan T3 sudah menunjukkan persentase mortalitas L. acuta 100%, dan sedangkan pada 5 hsa perlakuan T2 dan A3 berbanding sangat nyata dengan perlakuan A1, A2, T1 dan kontrol. Dengan kata lain penggunaan ekstrak tembakau lebih efektif dari pada ekstrak akar tuba. Hal ini dikarenakan nikotin yang terkandung pada tembakau merupakan racun saraf, racun kontak, racun perut, fumigan, dan dapat meresap dengan cepat ke dalam kulit walang sangit (L. acuta). Hal ini sesuai dengan Ditjenbun (2011) yang menyatakan bahwa senyawa nikotin bekerja sebagai racun saraf, racun kontak, racun perut dan fumigan. Senyawa ini efektif dalam mengendalikan serangga golongan apids dan serangga berbadan lunak lainnya. Senyawa nikotin diketahui sangat toksik terhadap mamalia dengan nilai LD-50 akut oral sebesar 50-60 mg/kg dan dapat meresap ke dalam kulit.

Penggunaan insektisida biologi sangat baik untuk diaplikasikan. Hal ini dikarenakan insektisida botani hanya menyerang hama dan tidak menimbulkan masalah terhadap musuh-musuh alami tersebut seperti predator dan parasitoid sehingga keberadaan musuh alami di lapangan dapat dipertahankan sehingga tidak merusak ekosistem musuh alami. Berbeda dengan penggunaan insektisida kimia yang dapat membunuh seluruh serangga baik hama maupun musuh alami. Pengendalian biologi juga dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama di lapangan, sehingga tidak perlu dilakukan aplikasi sesering mungkin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurdin dkk (1993) yang menyatakan bahwa insektisida biologi


(43)

dapat digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian secara terpadu karena efektif terhadap hama sasaran dan relatif aman terhadap parasitoid dan predator.

Histogram mortalitas walang sangit (L. acuta) akibat pengaruh pemberian insektisida nabati pada pengamatan 1 sampai 6 hsa.

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00

Kontrol A1 A2 A3 T1 T2 T3 AT

HISTOGRAM PERSENTASE

MORTALITAS IMAGO

1 hsa

2 hsa

3 hsa

4 hsa

5 hsa

6 hsa

Gambar 7 : Histogram Rataan Persentase Mortalitas Imago L. acuta Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 1 sampai 6 hsa.


(44)

Waktu Kematian Imago L. acuta

Tabel 2. Pengaruh Pemberian Insektisida Nabati Terhadap Waktu Kematian L. acuta

Perlakuan Waktu Kematian (hsa)

K0 0

A1 2

A2 1

A3 1

T1 1

T2 1

T3 1

AT 1

Keterangan : K0 (kontrol); A1 (25 ml ekstrak akar tuba/L air); A2 (50 ml ekstrak akar tuba/L air); A3 (75 ml ekstrak akar tuba/L air); T1 (25 ml ekstrak tembakau/L air); T2 (50 ml ekstrak tembakau/L air); T3 (75 ml ekstrak tembakau/L air); AT (50 ml ekstrak akar tuba + 50 ml ekstrak tembakau/L air).

Tabel 2 menunjukkan bahwa wakttu kematian imago L. acuta tercepat terdapat pada perlakuan AT, T3, T2, A3, A2 dan T1 pada 1 hsa sedangkan waktu kematian imago L. acuta paling lama terdapat pada perlakuan A1. Perlakuan A1 hanya berbeda 1 hari dengan perlakuan lainnya, ini dikarenakan semakin tinggi dosis yang digunakan maka semakin cepat serangga mati. Hal ini sesuai dengan Mulyana (2002) yang menyatakan bahwa pemberian dosis yang semakin tinggi, maka semakin cepat serangga mati, dikarenakan semakin banyak zat/senyawa aktif yang masuk/terkena pada serangga.


(45)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Semua perlakuan insektisida nabati yang digunakan dapat mengendalikan walang sangit (Leptocorisa acuta Thunberg.).

2. Perlakuan AT (50 ml ekstrak akar tuba + 50 ml ekstrak tembakau/L air) pada 3 hsa merupakan yang paling efektif dengan persentase mortalitas imago L. acuta 100%, diikuti T3 (75 ml ekstrak tembakau/L air) sebesar 83,33%, T2 (50 ml ekstrak tembakau/L air) sebesar 70%, dan A3 (75 ml ekstrak akar tuba/L air) sebesar 68,33%. Dan terendah pada A1 (25 ml ekstrak akar tuba/L air) dan T1 (25 ml ekstrak tembakau/L air) sebesar 23,33% dan 35% pada 3 hsa.

3. Pada penggunaan ekstrak akar tuba mortalitas paling tinggi yaitu pada perlakuan A3 (75 ml ekstrak akar tuba/L air) sebesar 95%, diikuti A2 (50 ml ekstrak akar tuba/L air) sebesar 91,67%, dan terendah pada perlakuan A1 (25 ml ekstrak akar tuba/L air) sebesar 81,67% pada 5 hsa.

4. Pada penggunaan ekstrak tembakau mortalitas paling tinggi yaitu pada perlakuan T3 (75 ml ekstrak tembakau/L air) sebesar 100%, diikuti T2 (50 ml ekstrak tembakau/L air) sebesar 86,67%, dan terendah pada perlakuan T1 (25 ml ekstrak tembakau/L air) sebesar 66.67% pada 4 hsa. 5. Waktu kematian imago L. acuta tercepat terdapat pada perlakuan AT

(50 ml ekstrak akar tuba + 50 ml ekstrak tembakau/L air), T3 (75 ml ekstrak tembakau/L air), T2 (50 ml ekstrak tembakau/L air), A3 (75 ml


(46)

ekstrak tembakau/L air) pada 1 hsa, dan paling lama terdapat pada perlakuan A1 (25 ml ekstrak akar tuba/L air) pada 2 hsa.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengaplikasian terhadap berbagai stadia nimfa L. Acuta di lapangan.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

AAK, 1990. Budidaya Tanaman Padi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Adharini. G., 2008. Uji Keampuhan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Benth.) Untuk Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Asikin. S., M. Thamrin. 2009. Pengendalian Hama Walang Sangit (Leptocorisa oratorius F) Di Tingkat Petani Lahan Lebak Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra)

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2009.

tanggal 23 Oktober 2012, Medan

Balfas, R., dan M. Willis. 2009. Pengaruh Ekstrak Tanaman Obat Terhadap Mortalitas dan Kelangsungan Hidup Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 20 (2): 148– 156. BPTP Nusa Tenggara Barat. 2008. Diakses dari

Medan

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan. 1994. Pedoman Pengenalan Pestisida Botani. Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta. 85 hlm.

Ditjenbun. 2011. Limbah Tembakau Sebagai Pestisida Nabati Pengendali Hama Helopeltis sp. Pada Tanaman Kakao. Diakses dari

http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php/component/content/article/36- news/234-limbah-tembakau-sebagai-pestisida-nabati-pengendali-hama-helopeltis-sp-pada-tanaman-kakao.html pada tanggal 23 Oktober 2012, Medan

Ekha, I. 1995. Dilema Pestisida. Depkes RI, Jakarta

Galingging, R. Y. 2010. Pengendalian Hama Tanaman Menggunakan Pestisida Nabati Ramah Lingkungan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah.


(48)

Kardinan, A. 2009. Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk. Agro Media. Jakarta

Londershausen, M., W. Leicht, F. Lieb, H. Moeschler and H. Weiss. 1991. Molecular mode of action of Annonins. Pest. Sci. 33(4): 427 – 438.

Luh, B. S. 1991. Rice. An AVL Book Published by Van Nostrand Reindhold, New York.

Mulyana. 2002. Ekstraksi Senyawa Aktif Alkaloid, Kuinon, dan Saponin dari Tumbuhan Kecubung Sebagai Larvasida dan Insektisida Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm 2.

Nizar, M., 2011. Pengaruh Beberapa Jenis Bahan Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi (Oryza Sativa L.) Metode Sri (The System Of Rice Intensification). Skripsi. Universitas Andalas, Padang.

Noor, M. 1996. Padi Lahan Maginal. Penebar Swadaya, Jakarta.

Nurdin F., J. Ghani dan Z. B. Kiman, 1993. Pengaruh beberapa konsentrasi Insektisida Biologi Thuricide HP Terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura) Pada Tanaman Kedelai. Prosiding Simposium Patologi Serangga I, Yogyakarta.

Prijono, D. 1999. Prospek dan Strategi Pemanfaatan Insektisida Alami Dalam PHT. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami- Pusat Kajian PHT, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Purba, S. 2007. Uji Efektivitas Ekstrak Daun Mengkudu (Morinda citrifolia) Terhadap Plutella xylostella L. (Lepidoptera : Plutellidae) di Laboratorium. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. Hlm 29-35..

Samsudin, 2008. Virus Patogen Serangga: Bio-Insektisida Ramah Lingkungan. Diunduh dari Farmes Rubik(10 September 2008).

Siwi, S.S., A. Yassin and Dandi Sukarna. 1981. Slender Rice Bugs And Its Ecology And Economic Threshold. Syiposium on Pest Ecology and Pest Management, Bogor

Sudarmo. S., 1995. Pestisda. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Sudarmo. S., 1991. Pengendalian Serangga Hama dan Penyakit Gulma Padi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Suharto, H. dan D.S.Damardjati. 1988. Pengaruh Waktu Serangan Walang Sangit Terhadap Hasil Dan Mutu Hasil Padi IR 36. Reflektor 1(2) : p 25-28.


(49)

Sugeng, 2003. Bercocok Tanaman Padi. Aneka Ilmu. Semarang.

Sutoyo, dan Wirioadmodjo, B. 1997. Uji Insektisida Botani Daun Nimba (Azadirachta indica), Daun Pahitan (Eupatorium inulifolium) dan Daun Kenikir (Tagetas spp) terhadap Kematian larva Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) pada Tanaman Tembakau. Dalam Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V dan Symposium Entomologi. Universitas Padjajaran, Bandung, 24-26 Juni 1997.

Tabassum, K. A., F. Shahina. 2004. In Vitro Mass Rearing of Different Species of Entomopathogenic Nematodes In Monoxenic Solid Culture. National Nematological Research Centre University of Karachi, Pakistan:298-299 Tampenawas, S. A. 1981. Biologi Spodoptera (Prodenia) litura Fabricius

(Lepidoptera: Noctuidae) pada Dua Varietas Kedelai. Laporan Masalah Khusus Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 38 h.

Wiryadiputra, S. 2003. Keefektifan Limbah Tembakau Sebagai Insektisida Nabati Untuk Mengendalikan Hama Helopeltis sp. Pada Kakao. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia.

Yoon, A. S. 2006. Extraction of rotenone from Derris elliptica and Derris malaccensis by pressurized liquid extraction compared with maceration. Journal of Cromatography A. ELSAVIER. (Online) www.elsavier.com, diakses 25 April 2011.

Yunia, N. 2006. Aktivitas Insektisida Campuran Ekstrak Empat Jenis Tumbuhan Terhadap Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm 1-53.


(50)

Lampiran 1 :

BAGAN PENELITIAN

40 cm

100 cm KETERANGAN :

K0 : Kontrol (tanpa perlakuan) A1 : 25 ml ekstrak Akar tuba/Liter air A2 : 50 ml ekstrak Akar tuba/Liter air A3 : 75 ml ekstrak Akar tuba/Liter air T1 : 25 ml ekstrak Tembakau/Liter air T2 : 50 ml ekstrak Tembakau/Liter air T3 : 75 ml ekstrak Tembakau/Liter air

AT : 50 ml ekstrak Akar tuba + 50 ml ekstrak Tembakau/Liter air

A3 (2) T3(3) A1(1)

T1 (3) A2 (1) T1 (1)

K0 (1) AT (1) T3 (2)

T3 (1) T2 (2) K0 (2)

A1 (2) T1 (2) AT (3)

T2 (1) A3 (3) A2 (2)

A2 (3) A1 (3) T2 (3)


(51)

Lampiran 2. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 1 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

A1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

A2 10,00 10,00 15,00 35,00 11,67 A3 10,00 15,00 15,00 40,00 13,33

T1 0,00 5,00 0,00 5,00 1,67

T2 15,00 15,00 15,00 45,00 15,00 T3 25,00 20,00 25,00 70,00 23,33 AT 60,00 55,00 60,00 175,00 58,33 Total 120,00 120,00 130,00 370,00 Rataan 15,00 15,00 16,25 15,42 Transformasi data Arc Sin √X

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,71 0,71 0,71 2,12 0,71

A1 0,71 0,71 0,71 2,12 0,71

A2 10,71 10,71 15,71 37,12 12,37 A3 10,71 15,71 15,71 42,12 14,04

T1 0,71 5,71 0,71 7,12 2,37

T2 15,71 15,71 15,71 47,12 15,71 T3 25,71 20,71 25,71 72,12 24,04 AT 60,71 55,71 60,71 177,12 59,04 Total 125,66 125,66 135,66 386,97 Rataan 15,71 15,71 16,96 16,12 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT F hitung 0,05 0,01

Perlakuan 7 7762,50 1108,93 212,91 ** 2,66 4,03

Galat 16 83,33 5,21

Total 23 7845,83

FK 6239,43 0,22%

tn = tidak nyata * = nyata


(52)

Uji Jarak Duncan

SY 1.08 -2.52 -2.68 -1.10 8.82 10.45 12.08 20.39 55.37 I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 SSR 0.05 3.00 3.15 3.23 3.30 3.34 3.37 3.39 3.41 LSR 0.05 3.23 3.39 3.47 3.55 3.59 3.63 3.65 3.67

Perlakuan K0 A1 T1 A2 A3 T2 T3 AT

Rataan 0.71 0.71 2.37 12.37 14.04 15.71 24.04 59.04 A B

C


(53)

Lampiran 3. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 2 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

A1 5,00 5,00 0,00 10,00 3,33

A2 30,00 30,00 35,00 95,00 31,67 A3 35,00 40,00 40,00 115,00 38,33 T1 10,00 20,00 10,00 40,00 13,33 T2 40,00 35,00 40,00 115,00 38,33 T3 55,00 50,00 60,00 165,00 55,00 AT 90,00 90,00 100,00 280,00 93,33 Total 265,00 270,00 285,00 820,00

Rataan 33,13 33,75 35,63 34,17

Transformasi data Arc Sin √X

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,71 0,71 0,71 2,12 0,71

A1 5,71 5,71 0,71 12,12 4,04 A2 30,71 30,71 35,71 97,12 32,37 A3 35,71 40,71 40,71 117,12 39,04 T1 10,71 20,71 10,71 42,12 14,04 T2 40,71 35,71 40,71 117,12 39,04 T3 55,71 50,71 60,71 167,12 55,71 AT 90,71 90,71 100,71 282,12 94,04 Total 270,66 275,66 290,66 836,97 Rataan 33,83 34,46 36,33 34,87 Daftar Sidik Ragam

SK Db JK KT F hitung 0,05 0,01

Perlakuan 7 19583,33 2797,62 179,05 ** 2,66 4,03

Galat 16 250,00 15,63

Total 23 19833,33

FK 29188,32

KK 0,10%

tn = tidak nyata * = nyata


(54)

Uji Jarak Duncan

SY 1.86 -4.88 -1.83 8.02 26.22 32.82 32.76 49.39 87.69 I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 SSR 0.05 3.00 3.15 3.23 3.30 3.34 3.37 3.39 3.41 LSR 0.05 5.59 5.87 6.02 6.15 6.22 6.28 6.32 6.35

Perlakuan K0 A1 T1 A2 A3 T2 T3 AT

Rataan 0.71 4.04 14.04 32.37 39.04 39.04 55.71 94.04 A B

C

D E


(55)

Lampiran 4. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 3 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

A1 30,00 25,00 15,00 70,00 23,33 A2 60,00 55,00 65,00 180,00 60,00 A3 70,00 65,00 70,00 205,00 68,33 T1 35,00 40,00 30,00 105,00 35,00 T2 70,00 65,00 75,00 210,00 70,00 T3 80,00 85,00 85,00 250,00 83,33 AT 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 Total 445,00 435,00 440,00 1320,00

Rataan 55,63 54,38 55,00 55,00

Transformasi data Arc Sin X

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,71 0,71 0,71 2,12 0,71

A1 30,71 25,71 15,71 72,12 24,04 A2 60,71 55,71 65,71 182,12 60,71 A3 70,71 65,71 70,71 207,12 69,04 T1 35,71 40,71 30,71 107,12 35,71 T2 70,71 65,71 75,71 212,12 70,71 T3 80,71 85,71 85,71 252,12 84,04 AT 100,71 100,71 100,71 302,12 100,71 Total 450,66 440,66 445,66 1336,97 Rataan 56,33 55,08 55,71 55,71 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT F hitung 0,05 0,01

Perlakuan 7 23050,00 3292,86 175,62 ** 2,66 4,03

Galat 16 300,00 18,75

Total 23 23350,00

FK 74478,76

KK 0,06%

tn = tidak nyata * = nyata


(56)

Uji Jarak Duncan

SY 2.04 -5.41 17.97 29.12 53.97 62.22 63.83 77.12 93.75 I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 SSR 0.05 3.00 3.15 3.23 3.30 3.34 3.37 3.39 3.41 LSR 0.05 6.12 6.43 6.59 6.74 6.82 6.88 6.92 6.96

Perlakuan K0 A1 T1 A2 A3 T2 T3 AT

Rataan 0.71 24.40 35.71 60.71 69.04 70.71 84.04 100.71 A B

C

D E

F G


(57)

Lampiran 5. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 4 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

A1 60,00 45,00 45,00 150,00 50,00 A2 75,00 75,00 85,00 235,00 78,33 A3 80,00 80,00 85,00 245,00 81,67 T1 75,00 60,00 65,00 200,00 66,67 T2 85,00 80,00 95,00 260,00 86,67 T3 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 AT 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 Total 575,00 540,00 575,00 1690,00 Rataan 71,88 67,50 71,88 70,42 Transformasi data Arc Sin X

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,71 0,71 0,71 2,12 0,71

A1 60,71 45,71 45,71 152,12 50,71 A2 75,71 75,71 85,71 237,12 79,04 A3 80,71 80,71 85,71 247,12 82,37 T1 75,71 60,71 65,71 202,12 67,37 T2 85,71 80,71 95,71 262,12 87,37 T3 100,71 100,71 100,71 302,12 100,71 AT 100,71 100,71 100,71 302,12 100,71 Total 580,66 545,66 580,66 1706,97 Rataan 72,58 68,21 72,58 71,12 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT F hitung 0,05 0,01

Perlakuan 7 22779,17 3254,17 111,57 ** 2,66 4,03

Galat 16 466,67 29,17

Total 23 23245,83

FK 121406,19

KK 0,05%

tn = tidak nyata * = nyata


(58)

Uji Jarak Duncan

SY 2.55 -6.93 42.69 59.15 70.64 73.87 78.79 92.08 92.03 I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 SSR 0.05 3.00 3.15 3.23 3.30 3.34 3.37 3.39 3.41 LSR 0.05 7.64 8.02 8.22 8.40 8.50 8.58 8.63 8.68

Perlakuan K0 A1 T1 A2 A3 T2 T3 AT

Rataan 0.71 50.71 67.37 79.04 82.37 87.37 100.71 100.71

A

B

C D


(59)

Lampiran 6. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 5 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

A1 85,00 75,00 85,00 245,00 81,67 A2 90,00 90,00 95,00 275,00 91,67 A3 95,00 95,00 95,00 285,00 95,00 T1 90,00 85,00 90,00 265,00 88,33 T2 100,00 90,00 100,00 290,00 96,67 T3 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 AT 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 Total 660,00 635,00 665,00 1960,00 Rataan 82,50 79,38 83,13 81,67 Transformasi data Arc SinX

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,71 0,71 0,71 2,12 0,71

A1 85,71 75,71 85,71 247,12 82,37 A2 90,71 90,71 95,71 277,12 92,37 A3 95,71 95,71 95,71 287,12 95,71 T1 90,71 85,71 90,71 267,12 89,04 T2 100,71 90,71 100,71 292,12 97,37 T3 100,71 100,71 100,71 302,12 100,71 AT 100,71 100,71 100,71 302,12 100,71 Total 665,66 640,66 670,66 1976,97 Rataan 83,21 80,08 83,83 82,37 Daftar Sidik Ragam

SK Db JK KT F hitung 0,05 0,01

Perlakuan 7 23666,67 3380,95 324,57 ** 2,66 4,03

Galat 16 166,67 10,42

Total 23 23833,33

FK 162850,53

KK 0,04%

tn = tidak nyata * = nyata


(60)

Uji Jarak Duncan

SY 1.52 -3.85 77.58 84.13 87.35 90.63 92.24 95.55 95.52 I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 SSR 0.05 3.00 3.15 3.23 3.30 3.34 3.37 3.39 3.41 LSR 0.05 4.56 4.79 4.91 5.02 5.08 5.13 5.16 5.19

Perlakuan K0 A1 T1 A2 A3 T2 T3 AT

Rataan 0.71 82.37 89.04 92.37 95.71 97.37 100.71 100.71

A

B

C D


(61)

Lampiran 7. Data Mortalitas Walang Sangit (L. acuta) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 6 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

A1 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 A2 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 A3 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 T1 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 T2 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 T3 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 AT 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 Total 700,00 700,00 700,00 2100,00 Rataan 87,50 87,50 87,50 87,50 Transformasi data Arc Sin X

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K0 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71

A1 100,71 100,71 100,71 300,71 100,71 A2 100,71 100,71 100,71 300,71 100,71 A3 100,71 100,71 100,71 300,71 100,71 T1 100,71 100,71 100,71 300,71 100,71 T2 100,71 100,71 100,71 300,71 100,71 T3 100,71 100,71 100,71 300,71 100,71 AT 100,71 100,71 100,71 300,71 100,71 Total 705,66 705,66 705,66 2105,66 Rataan 88,21 88,21 88,21 88,21 Daftar Sidik Ragam

SK Db JK KT F hitung 0,05 0,01

Perlakuan 7 26250,00 3750,00 30,14 ** 2,66 4,03

Galat 16 1990,57 124,41

Total 23 28240,57

FK 184741,28

KK 0,04%

tn = tidak nyata * = nyata


(62)

Uji Jarak Duncan

SY 5.26 -15.06 84.15 83.73 83.36 83.15 82.99 82.89 82.78

I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

SSR 0.05 3.00 3.15 3.23 3.30 3.34 3.37 3.39 3.41 LSR 0.05 15.77 16.56 16.98 17.35 17.56 17.72 17.82 17.93

Perlakuan K0 A1 A2 A3 T1 T2 T3 AT

Rataan 0.71 100.71 100.71 100.71 100.71 100.71 100.71 100.71

A


(63)

(64)

Pengaplikasian


(65)

Ekstrak akar tuba yang siap diaplikasi

Ekstrak tembakau yang siap diaplikasi


(66)

(67)

C I H E R A N G

Nomor seleksi : S3383-1D-PN-41-3-1

Asal persilangan : IR18349-53-1-3-1-3/3*IR19661-131-3-1-3//4*IR64 Golongan : Cere

Umur tanaman : 116 – 125 hari Bentuk tanaman : Tegak Tinggi tanaman : 107 – 115 cm Anakan produktif : 14 – 17 batang Warna kaki : Hijau

Warna batang : Hijau

Warna telinga daun : Tidak berwarna Warna lidah daun : Tidak berwarna Warna daun : Hijau

Muka daun : Kasar pada sebelah bawah Posisi daun : Tegak

Daun bendera : Tegak

Bentuk gabah : Panjang ramping Warna gabah : Kuning bersih Kerontokan : Sedang

Kerebahan : Sedang Tekstur nasi : Pulen Kadar amilosa : 23% Indeks glikemik : 54,9 Bobot 1000 butir : 28 g Rata-rata hasil : 6,0 t/ha Potensi hasil : 8,5 t/ha

Ketahanan terhadap Hama : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahanbiotipe3 Penyakit : Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV

Anjuran tanam : Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl. Pemulia : Tarjat T, Z. A. Simanullang, E. Sumadi dan Aan A. Daradjat

Alasan utama dilepas : Lebih tahan HDB dibanding IR64, produktivitas tinggi, mutu dan rasa nasi setara IR64, indeks glikemik rendah


(1)

Uji Jarak Duncan

SY 5.26 -15.06 84.15 83.73 83.36 83.15 82.99 82.89 82.78

I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

SSR 0.05 3.00 3.15 3.23 3.30 3.34 3.37 3.39 3.41 LSR 0.05 15.77 16.56 16.98 17.35 17.56 17.72 17.82 17.93

Perlakuan K0 A1 A2 A3 T1 T2 T3 AT

Rataan 0.71 100.71 100.71 100.71 100.71 100.71 100.71 100.71

A


(2)

(3)

Pengaplikasian


(4)

Ekstrak akar tuba yang siap diaplikasi

Ekstrak tembakau yang siap diaplikasi


(5)

(6)

C I H E R A N G

Nomor seleksi : S3383-1D-PN-41-3-1

Asal persilangan : IR18349-53-1-3-1-3/3*IR19661-131-3-1-3//4*IR64 Golongan : Cere

Umur tanaman : 116 – 125 hari Bentuk tanaman : Tegak Tinggi tanaman : 107 – 115 cm Anakan produktif : 14 – 17 batang Warna kaki : Hijau

Warna batang : Hijau

Warna telinga daun : Tidak berwarna Warna lidah daun : Tidak berwarna Warna daun : Hijau

Muka daun : Kasar pada sebelah bawah Posisi daun : Tegak

Daun bendera : Tegak

Bentuk gabah : Panjang ramping Warna gabah : Kuning bersih Kerontokan : Sedang

Kerebahan : Sedang Tekstur nasi : Pulen Kadar amilosa : 23% Indeks glikemik : 54,9 Bobot 1000 butir : 28 g Rata-rata hasil : 6,0 t/ha Potensi hasil : 8,5 t/ha

Ketahanan terhadap Hama : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahanbiotipe3 Penyakit : Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV

Anjuran tanam : Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl. Pemulia : Tarjat T, Z. A. Simanullang, E. Sumadi dan Aan A. Daradjat

Alasan utama dilepas : Lebih tahan HDB dibanding IR64, produktivitas tinggi, mutu dan rasa nasi setara IR64, indeks glikemik rendah