Masyarakat Bercocok Tanam dan Beternak

alat tusuk dari kayu. Diduga mereka sudah mulai menjinakkan binatang anjing untuk membantunya dalam berburu, penjaga tempat tinggal, tetapi belum dimaksudkan untuk mengembangbiakkan binatang. Ada tiga tradisi pokok pembuatan alat-alat pada masa Fos Plestosin, yaitu tradisi serpih bilah, tradisi alat tulang, dan tradisi kapak genggam Sumatera. Persebaran alatnya meliputi pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Alat tulang ditemukan di Tonkin, Asia Tenggara sedangkan di Jawa ditemukan di Gua Law Semanding Tuban, di Gua Petpuruh utara Prajekait dan Sodong Marjan di Besuki. Kapak genggam Sumatera ditemukan di daerah pesisir Sumatera Utara, yaitu di Lhokseumawe, Binjai, dan Tamiang. Kesenian dalam masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, khususnya seni lukis ditemukan di gua-gua ataupun dinding karang Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Seram, Kei, dan Irian Jaya. Menurut hasil penelitian para ahli purbakala Belanda, Australia, Inggris, dan Indonesia terhadap sisa-sisa kebudayaan di gua-gua Sulawesi Selatan, disimpulkan bahwa kebudayaan tersebut berkembang antara 5.000-1.000 tahun sebelum masehi. Sedangkan di Sulawesi Tenggara ditemukan lukisan manusia dalam berbagai sikap, binatang, matahari, dan perahu layak dinaiki orang. Lukisan-lukisan itu berwarna coklat dan gaya lukisan lebih mirip dengan corak lukisan di Seram, Kei, dan Irian Jaya.

3. Masyarakat Bercocok Tanam dan Beternak

Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang, dan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhannya pada masa-masa sebelumnya. Proses itu melalui liku-liku hidup yang sangat lambat dan panjang yang sama dengan Afrika, Eropa, dan Asia. Masa ini sangat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena dalam masa ini beberapa penemuan baru berupa penggunaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Berbagai macam tumbuhan dan hewan mulai dipelihara dan dijinakkan. Pembuatan alat-alat keperluan sehari-hari mulai ditingkatkan. Pemenuhan kebutuhan tidak lagi digantungkan pada alam, tetapi sudah mulai dikuasai, sehingga cara hidup tidak lagi food gathering, tetapi sudah dengan food producing. Mereka juga mulai hidup menetap di suatu perkampungan yang terdiri atas tempat tinggal sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga. Populasi mulai meningkat dan kegiatan-kegiatan dalam kehidupan perkampungan ditujukan untuk mencukupi kebutuhan bersama diatur dan dibagi antar anggota masyarakat gotong royong dan kepercayaan pun erat kaitannya dengan upaya meningkatkan dan mempertahankan kesejahteraan hidup bersama. Karena itu, tidaklah berlebihan jika masa bercocok tanam ini disebut sebagai revolusi yang maha besar dalam peradaban manusia. Pada masa ini, berkembang kemahiran mengupam alat-alat batu dan pembuatan gerabah. Alat-alat yang diupam diasah pada umumnya adalah beliung dan kapak batu, serta pada beberapa tempat ,pengupaman dilakukan pada mata panah dan mata tembak. Masyarakat mulai hidup menetap di suatu tempat serta mengembangkan penghidupan baru berupa kegiatan bercocok tanam sederhana dan penjinakan hewan- hewan tertentu seperti anjing, ayam, babi, dan kerbau. Bentuk rumah diduga pada tingkat permulaan agak kecil, berbentuk kebulat- bulatan dengan atap daun-daunan yang langung menempel ke tanah. Kemudian berkembang lebih besar, berupa rumah bertiang persegi panjang. Rumah bertiang itu dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari binatang buas dan banjir. Rumah itu didiami sepanjang tahun, tetapi pada musim panen, seisi rumah pindah ke dekat ladang dengan mendirikan gubuk-gubuk darurat. Pembuatan rumah dilakukan gotong royong dan disertai dengan upacara-upacara yang bertingkat-tingkat dengan bermacam- macam pantangan. Kegiatan bercocok tanam menghasilkan keladi, sukun, manggis, pisang, durian, rambutan, duku, salak, kelapa, sagu atau rumbia. Mungkin pula tanaman rumput- rumputan, sedangkan tanaman biji-bijian mungkin berkembang kemudian. Sayur juga sudah dikenal. Kegiatan berburu dan menangkap ikan di beberapa tempat masih diteruskan, baik sebagai kegiatan pokok maupun sebagai kegiatan sampingan. Ditempat tandus, muncul industri-industri lokal yang menghasilkan alat-alat kerja umtuk kepentingan masyarakat, misalnya kerajinan anyaman, membuat gerabah, mengasah alat-alat kerja, dan lain-lain yang umumnya dikerjakan oleh anak-anak atau wanita. Di samping itu, ada kegiatan membuat perahu dan rakit oleh kaum laki-laki secara gotong royong yang dibuat dari batang pohon, termasuk pembuatan bercadik. Masyarakat pada masa bercocok tanam, menganggap tanah sebagai unsur penting dalam kehidupan. Dalam segi kepercayaan manusia sudah memulai sikap baru terhadap alam kehidupan sesudah mati. Mereka mulai percaya bahwa roh seseorang tidak lenyap pada saat orang meninggal, roh dianggap mempunyai kehidupan di alamnya tersendiri sesudah meninggal. Bagi tokoh yang berjasa dalam masyarakat, pada waktu meninggal diberikan perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan dalam perjalanannya menuju dunia arwah dan penguburannya dilakukan pesta-pesta tertentu serta kuburannya dalam bentuk batu besar yang kemudian menjadi lambang perlindungan dan menjadi media pemujaan kepada arwah nenek moyang. Konsepsi pemujaan arwah nenek moyang melahirkan tata cara yang menjaga tingkah laku masyarakat di dunia fana supaya sesuai dengan tuntutan dunia akhirat serta kesejahteraan di dunia, dan pada gilirannya berpengaruh pada pendirian candi- candi.

4. Masyarakat Perundagian