Masyarakat Berburu dan Meramu

1. Masyarakat Berburu dan Meramu

Kehidupan manusia pada masa berburu dan meramu sangat bergantung dengan alam. Daerah yang ditempati oleh manusia tersebut harus dapat memberikan persediaan makanan yang cukup untuk memungkinkan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, tempat menarik untuk di diami pada saat itu adalah daerah yng cukup mengandung bahan makanan dan air, terutama tempat yang sering didatangi atau dilalui oleh binatang. Tempat semacam itu umumnya berupa padang rumput dengan semak belukar dan hutan kecil yang berdekatan dengan sungai atau danau. Di sekitar tempat itu, manusia membuat tempat tinggal yang cukup dilindungi dengan dahan dan daun-daunan. Selain itu, mereka juga banyak tinggal di gua untuk menghindari serangan binatang buas. Dengan menggunakan gua sebagai pangkalan, manusia purba mencari makan pada pagi hari dan kembali ke gua pada sore hari. Pada hari berikutnya melakukan kegiatan yang sama, tetapi dengan arah yang berbeda. Demikian terus-menerus berganti arah dan apabila sumber makanan habis, mereka akan berpindah ke tempat yang lain. Pola bertempat tinggal seperti itu bukan murni nomaden, melainkan semi nomaden. Bila makanan di tempat itu habis, maka mereka pindah ke tempat lain yang ada makanan, karena itu cara hidup mereka disebut food gathering. Manusia purba pada masa berburu dan meramu tingkat awal, hidup dalam kelompok-kelompok dan membekali diri untuk menghadapi lingkungan sekitarnya. Kelompok berburu tersusun atas keluarga kecil. Pihak laki-laki melakukan perburuan, sedangkan perempuan mengumpulkan bahan makanan tumbuh-tumbuhan dan mengurus anak. Peralatan manusia purba dapat memberikan petunjuk cara mereka hidup. Mereka hidup dari berburu dan meramu, sehingga peralatan utamanya adalah alat-alat berburu. Alat tersebut digunakan untuk memotong daging dan tulang dari binatang buruan yang mereka peroleh. Selain itu, mereka juga menggunakan alat itu untuk mengeluarkan umbi-umbian dari dalam tanah. Selain alat dari batu, manusia praaksara pada masa berburu dan meramu tingkat awal juga menggunakan alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang pada zaman tersebut untuk sementara hanya ditemukan di Ngandong Ngawi, Jawa Timur dan Sampung Ponorogo. Alat-alat tersebut diduga hasil budaya Pithecanthropus soloensis pada kala pleistosen. Manusia pada waktu itu hidup berkelompok antara 20-50 orang dan mereka membekali diri dengan peralatan sederhana guna menghadapilingkungannya, baik dari binatang liar, maupun dari bencana alam, terutama gunung api. Mereka membatasi jumlah anggota kelompoknya demi keberhasilan perburuannya, misalnya dengan memusnahkan anak-anaknya terutama yang perempuan yang baru lahir karena dianggap menghalangi gerak perpindahannya dan kegiatan perburuan. Hal ini disebabkan karena yang melakukan adalah laki-laki, sedang perempuan mengumpul makanan, mengurus anak-anak dan membimbing anak-anaknya meramu makanan dan memelihara api setelah api ditemukan. Sementara itu, bahasa sebagai alat komunikasi mulai terbentuk melalui kata- kata dan gerakan-gerakan badan, jadi komunikasi dengan bahasa sederhana.

2. Masyarakat Berburu dan Meramu Tingkat Lanjut