membatasi jumlah anggota kelompoknya demi keberhasilan perburuannya, misalnya dengan memusnahkan anak-anaknya terutama yang perempuan yang baru lahir karena
dianggap menghalangi gerak perpindahannya dan kegiatan perburuan. Hal ini disebabkan karena yang melakukan adalah laki-laki, sedang perempuan mengumpul
makanan, mengurus anak-anak dan membimbing anak-anaknya meramu makanan dan memelihara api setelah api ditemukan.
Sementara itu, bahasa sebagai alat komunikasi mulai terbentuk melalui kata- kata dan gerakan-gerakan badan, jadi komunikasi dengan bahasa sederhana.
2. Masyarakat Berburu dan Meramu Tingkat Lanjut
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, di Indonesia sudah ada usaha-usaha untuk bertempat tinggal secara tidak tetap di gua-gua alam,
utamanya di gua-gua paying, yang setiap saat mudah untuk ditinggalkan, jika dianggap sudah tidak memungkinkan lagi tinggal di tempat itu.
Masa ini merupakan kelanjutan dari cara hidup sebelumnya, namun perubahan tersebut tidak begitu drastis. Alat-alat yang digunakan dibuat dari batu, tulang, dan
kulit kerang. Namun dalam kehidupan manusia mulai nampak kegiatan-kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang belum dicapai sebelumnya, misalnya pembuatan lukisan-
lukisan pada dinding-dinding gua atau karang, penguburan mayat dan mulai bertempat tinggal di gua-gua serta di tepi pantai. Cara hidup nomaden serta berburu dan
mengumpulkan makanan kemudian berangsur-angsur ditinggalkan, dan selanjutnya mulai menjinakkan hewan dan bercocok tanam sederhana.
Kehidupan di gua-gua membawa pengaruh terhadap pemanfaatan api, baik sebagai penerangan, maupun sebagai pemanas tubuh dan makanan, serta alat
menghalau binatang buas. Bahkan kehidupan di gua-gua juga menumbuhkan seni lukis di dinding-dinding gua sesuai dengan kepercayaan magis-religius mereka waktu itu,
seperti yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan Maluku. Keadaan bumi atau lingkungan alam yang berubah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan
kebudayaan dan peradaban manusia dan sekaligus merupakan kesuksesan manusia dalam menghadapi tantangan alamnya.
Kehidupan manusia pada masa ini masih dipengaruhi oleh cara hidup sebelumnya yang bergantung pada alam. Meskipun demikian, mereka telah
menunjukkan keinginan bertempat tinggal dalam gua-gua alam atau gua-gua payung walaupun secara tidak tetap. Gua yang dipilih adalah gua yang tidak jauh dari tempat
air dan sumber makanan. Bahan-bahan makanan yang dikumpulkan dikorek,dibersihkan, dilepaskan
kulitnya dengan golok atau tanduk, sudip tulang, dan penggaruk dari kulit kerang, atau
alat tusuk dari kayu. Diduga mereka sudah mulai menjinakkan binatang anjing untuk membantunya dalam berburu, penjaga tempat tinggal, tetapi belum dimaksudkan untuk
mengembangbiakkan binatang. Ada tiga tradisi pokok pembuatan alat-alat pada masa Fos Plestosin, yaitu
tradisi serpih bilah, tradisi alat tulang, dan tradisi kapak genggam Sumatera. Persebaran alatnya meliputi pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur,
Maluku, dan Papua. Alat tulang ditemukan di Tonkin, Asia Tenggara sedangkan di Jawa ditemukan di Gua Law Semanding Tuban, di Gua Petpuruh utara Prajekait dan
Sodong Marjan di Besuki. Kapak genggam Sumatera ditemukan di daerah pesisir Sumatera Utara, yaitu di Lhokseumawe, Binjai, dan Tamiang.
Kesenian dalam masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, khususnya seni lukis ditemukan di gua-gua ataupun dinding karang Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Seram, Kei, dan Irian Jaya. Menurut hasil penelitian para ahli purbakala Belanda, Australia, Inggris, dan
Indonesia terhadap sisa-sisa kebudayaan di gua-gua Sulawesi Selatan, disimpulkan bahwa kebudayaan tersebut berkembang antara 5.000-1.000 tahun sebelum masehi.
Sedangkan di Sulawesi Tenggara ditemukan lukisan manusia dalam berbagai sikap, binatang, matahari, dan perahu layak dinaiki orang. Lukisan-lukisan itu berwarna
coklat dan gaya lukisan lebih mirip dengan corak lukisan di Seram, Kei, dan Irian Jaya.
3. Masyarakat Bercocok Tanam dan Beternak