PENDAHULUAN Strategi Coping Pada Jamaah Haji Tunanetra.

(1)

1

A. Latar Belakang

Ibadah haji bagi penduduk Indonesia bukanlah hal yang baru, bahkan haji telah menjadi bagian dari khasanah sejarah bangsa Indonesia sejak bangsa ini belum merdeka, hal ini dibuktikan dengan adanya warga negara Indonesia yang setiap tahun beribadah ke Tanah Suci sejak tahun 1888 (kemenag.go.id, 2015). Antusiasme tersebut didasari karena haji merupakan ibadah tahunan yang hanya dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah dalam penanggalan kalender Hijriyah, hanya dilaksanakan di beberapa tempat di Arab Saudi dan dibutuhkan syarat-syarat tertentu untuk dapat melaksanakannya.

Demikian juga yang dikatakan oleh perwakilan duta besar Arab Saudi di Indonesia Mustofa Ibrahim Al Mubarak bahwa dari seluruh negara yang mengirimkan jemaahnya, Indonesia tercatat sebagai negara pengirim calon jemaah haji terbesar di dunia. Setiap tahun Arab Saudi menampung sekitar 4 juta orang lebih dari seluruh dunia yang ingin melaksanakan ibadah haji dan Indonesia selalu mengirimkan jamaah paling banyak dibanding negara lain (tempo.com, 2012). Rachmadi (2014) mengatakan bahwa Jamaah Haji Indonesia adalah jemaah haji terbanyak dan terbesar di dunia berdasarkan fakta bahwa Indonesia memiliki populasi penduduk muslim terbesar di dunia. Sedangkan kuota calon jamaah haji di setiap negara adalah 1: 1000 dari jumlah keseluruhan umat Islam di negara


(2)

tersebut. Oleh karena itu, jika penduduk muslim di Indonesia sebanyak 211 juta orang, maka jumlah jamaah haji di Indonesia sekitar 211.000 orang.

Secara syara’ ibadah haji merupakan suatu rangkaian ibadah yang dilaksanakan di satu waktu yaitu pada musim haji dan disatu tempat yaitu Baitullah, ia adalah rukun Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, puasa, dan zakat. Kewajiban haji diperuntukkan bagi mereka yang mampu, baik secara fisik maupun materi. Menurut DR. Muslim Abdul Karim yang dinukil oleh Basri dalam bukunya “Ku ketuk pintu Rumah-Mu ya Allah” mengartikan haji sebagai tujuan, sedangkan secara terminologi berarti menyengaja datang ke Baitullah di Makkah (Basri, 2009). Tak hanya melaksanakan ritual ibadah, namun berhaji juga berarti memenuhi undangan agung dari yang Maha Agung, Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan Ibnu Umar bahwa Rasulullah sallallahu’alayhi wasallam bersabda:

“Orang yang mengerjakan ibadah haji adalah tamu Allah. Dia mengundang dan mereka menjawabnya, jika mereka memohon kepada Allah maka Allah akan memenuhinya” (H.R. Ibnu Majah).

Kewajiban ibadah haji tersebut juga tersurat dalam Q.S. Ali Imran ayat 97 yang artinya:

“Disana terdapat tanda-tanda yang jelas ( diantaranya maqam Ibrahim). Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan kesana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”.

Salah satu syarat untuk menunaikan haji adalah mampu. Q.S. Ali Imran ayat 97 menunjukkan bahwa mampu merupakan syarat wajib haji. Syarat mampu meliputi kemampuan fisik maupun finansial, orang yang secara fisik sehat dan


(3)

dapat bepergian jauh, mempunyai nafkah untuk dirinya dan untuk orang-orang yang berada dalam tanggung jawabnya yang ditinggal maka dikatakan mampu melaksanakan ibadah haji (Al-Jazairi, 2003). Oleh karena itu, ibadah haji disamakan dengan jihad dan dinilai sebagai amalan terbaik sudah tentu akan memiliki pengaruh yang besar bagi individu yang menjalankannya. Agar ibadah haji dapat berpengaruh dalam kehidupan para jamaahnya maka perlu dipahami bahwa haji bukanlah sekedar ibadah ritual, namun juga terkandung didalamnya nilai-nilai rabbaniyah dalam aqidah, ibadah, sosial dan nilai-nilai lain yang dapat menjadi point start perubahan jiwa bagi yang melakukannya. Tujuan berhaji adalah mencari pengampunan pada Allah atas segala kesalahan yang pernah dilakukan. Tujuan lainnya yaitu untuk mencapai haji mabrur, yaitu haji yang bersih dari semua dosa dan penuh dengan kebaikan karena haji yang mabrur akan dibalas dengan syurga oleh Allah subhanahu wata’ala.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “’umrah yang satu dengan ‘umrah berikutnya adalah penghapus dosa yang dilakukan antara masa keduanya, sedangkan haji mabrur balasannya tiada lain adalah surga.” [HR. Al-Bukhari, nomor hadits: 1773]

Rangkaian ibadah haji tersebut, pada setiap tahunnya diikuti ratusan ribu jamaah haji dari Indonesia dengan berbagai latar belakang yang sangat kompleks. Tua muda, kecil besar, bermacam suku dan daerah, bebagai macam profesi, dan kemampuan fisik yang berbeda-beda semua ingin menjalankan ibadah haji. Motif yang mendasari para jamaah yang berangkat juga berbeda-beda. Ibu ESM, seorang jamaah haji asal kabupaten Sukoharjo yang berangkat pada tahun 2009 menuturkan bahwa beliau naik haji karena sudah merasa mampu secara fisik


(4)

maupun psikis dan ingin melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ketika berangkat usianya 40 tahun, beliau berangkat bersama kakak kandungnya. Beliau senang akhirnya bisa berangkat naik haji karena beliau seorang muallaf. Dari penuturan ESM, masalah yang ditemui selama menjalankan ibadah haji yaitu diperlakukan tidak adil oleh jamaah haji lain pada pembagian tugas dalam kelompok haji.

Tidak menutup kemungkinan bahwa pada pelaksanaan ibadah haji jamaah akan mememui permasalahan, selain masalah antar jamaah haji seperti yang dialami oleh ESM, permasalahan lain yang terjadi pada saat musim haji adalah tingginya angka kematian pada jamaah haji asal Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Pane (2013) menyebutkan bahwa penyakit jantung menjadi sebab terbanyak pada tingginya kematian para jamaah haji. Sedangkan Gautret (2015) memaparkan bahwa penyakit diare dan maag menjadi wabah pada saat musim haji berlangsung. Permasalahan lainnya yaitu kondisi berdesak-desakan karena jamaah haji yang sangat ramai, jamaah haji lebih mudah marah dan emosional dalam merespon situasi, fasilitas yang kurang memadai dan jarak tempat ibadah satu dengan yang lain jauh (Thirafi, 2015).

Maka dalam pelaksanaannya ibadah haji memerlukan kesiapan fisik maupun materi yang tidak sederhana, biaya yang dikeluarkan untuk ibadah haji tidaklah sedikit dan fisik yang sehat juga mempengaruhi pelaksanaannya. Termasuk kesempurnaan panca indera pada seseorang turut mempengaruhi proses ibadah haji karena tanpa indera yang sempurna maka tingkat kesulitan selama ibadah haji akan lebih terasa, mengingat bahwa ibadah haji dilakukan di tempat


(5)

yang berbeda dengan tempat tinggal jamaah, lingkungan yang baru, cuaca dan suhu yang berbeda, dan kebiasaan para jamaah yang berbeda-beda akan membutuhkan proses adaptasi yang baik agar ibadah haji dapat berjalan lancar.

Begitupun pada kenyataannya orang-orang yang berduyun-duyun menuju Baitullah tidaklah semua memiliki fisik yang sempurna, pada musim haji tahun 2012 seorang jamaah tunanetra, MT didampingi Istri berangkat naik haji, menurut Humas & KUB Kemenag Medan baru kali ni ada jamaah yang berangkat dan jamaah tersebut seorang tunanetra “totally blind” sejak usia 2 tahun. Sehingga selama melaksanakan rukun dan wajib haji MT didampingi oleh istrinya (kemenag sumut, 2012). Dengan adanya jamaah haji tunanetra yang berangkat ke Tanah Suci, hal tersebut membuktikan bahwa keterbatasan fisik seperti tunaetra bukanlah penghalang yang berarti. Pada individu tunanetra terjadi proses fisiologis yang tidak normal atau berkelainan pada organ mata. Bayangan benda yang ditangkap oleh benda tidak dapat diteruskan oleh kornea, lensa mata, retina, dan ke saraf karena sebab-sebab tertentu, misalnya karena kornea mata mengalami kerusakan, kering, keriput, lensa mata keruh, atau saraf yang menghubungkan ke otak mengalami gangguan (Efendi, 2006). Sedangkan Sardegna menjelaskan bahwa tunanetra adalah individu yang kehilangan penglihatan karena kedua indera penglihatannya tidak berfungsi seperti orang normal ( Dalam Harimukthi, 2014).

Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2009 sekitar 314 juta jiwa di seluruh dunia mengalami gangguan penglihatan dengan 45 juta jiwa mengalami kebutaan atau tunanetra (Zeeshan & Aslam, 2013). Saat ini jumlah penderita tunanetra di Indonesia tertinggi di kawasan ASEAN. Penderita tunanetra


(6)

di Indonesia diperkirakan berjumlah 3 juta jiwa, jumlah tersebut merepresentasikan 1,5 persen dari jumlah penduduk 200 juta manusia. Badan kesehatan dunia WHO merilis data bahwa setidaknya ada 40 – 45 juta penderita kebutaan (cacat netra) atau gangguan penglihatan (Fitriyah , 2013). Penelitian Abarghouei (2017) berjudul “Hubungan Antara Strategi Coping Yang Berorientasi Agama Dan Kegembiraan Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Tunanetra” memberikan kesimpulan bahwa strategi coping yang berorientasi agama sangat membatu individu tunanetra dalam menghadapi kehidupan secara lebih realistis.

Soemantri (2007) memaparkan bahwa dibandingkan individu normal, individu tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan sosialnya. Tunanetra juga membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan hal-hal tertentu seperti bepergian ke suatu tempat, atau menyeberang jalan, transaksi jual beli, dan lain sebagainya. Selain itu diperlukan fasilitas-fasilitas umum yang yang dikhususkan untuk mendukung individu tunanetra agar dapat beraktifitas selayaknya individu nornal. Seperti negara Jepang yang memfasilitasi warga difabel dengan beberapa infrastruktur khusus yang dapat ditemui di tempat-tempat umum dengan mudah. Fasilitas umum tersebut antara lain toilet khusus difabel yang terdapat pegangan disetiap sisi tembok, kursi khusus, parkir khusus, dan Tenji Blocks (Tactile Paving) yaitu lantai paving yang terdapat karakter khusus bertuliskan huruf Braille Jepang yang memudahkan warga tunanetra untuk mengetahui daerah atau jalan yang sedang dilaluinya. Sedangkan di Hong Kong


(7)

terdapat fasilitas umum seperti taman kota terbuka yang diprioritaskan untuk warga tunanetra seperti lantai taman kerkarakter huruf Braille (Siu, 2013).

Penglihatan seseorang memegang peranan penting dalam setiap aktifitas yang dijalaninya termasuk ketika ada individu tunanetra yang pergi melaksanakan ibadah haji. Dengan adanya kerusakan pada indra penglihatan individu tunanetra maka dibutuhkan orientasi yang baik di lingkungan baru, seperti kemampuan mengenal lingkungan fisik , mengetahui arah mata angin, dan mengetahui tempat-tempat yang akan dikunjungi di tanah suci agar tidak tersesat. Sebagai contoh, seorang jamaah haji tunanetra dari Cianjur Jawa Barat (THI) yang tertinggal rombongan ketika akan menuju Multazam, THI terpisah dari rombongan karena tidak dapat melihat. Dan pada akhirnya dapat dipertemukan kembali dengan rombongannya oleh seorang petugas kepolisian Indonesia yang sedang bertugas disana (news.detik.com, 2014). Dalam pelaksanaan ibadah haji fasilitas dari pemerintah Indonesia untuk penyandang cacat seperti tunanetra memang masih terbatas, pemerintah melalui Dinas Sosial akan menyediakan joki untuk mendampingi jamaah haji difabel jika jamaah haji tersebut melapor pada Dinas Sosial, namun jamaah haji juga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk menggunakan jasa joki. Sedangkan dari Depag belum ada fasilitas khusus untuk jamaah haji difabel (kemenag Sukoharjo, 2015). Pemerintah Arab Saudi memberikan fasilitas khusus untuk jamaah haji difabel berupa akses lantai 3 di Masjidil Harom yang dapat dipergunakan untuk thawaf maupun idadah lain sehingga jamaah haji difabel tidak berdesak-desakan dan leluasa dalam beribadah,


(8)

sedangkan fasilitas lain ditempat umum belum peneliti temukan, seperti yang ada di negara Jepang dan Hong Kong.

Tahun 2014 kabupaten Sukoharjo memberangkatkan 602 jamaah haji dengan jamaah tertua berusia 89 tahun 6 bulan dan jamaah termuda berusia 24 tahun (kemenag kab. Sukoharjo, 2015). Dari 602 jamaah terdapat satu jamaah haji tunanetra dari kecamatan Polokarto berinisial IS (65 th) berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan wawancara pada hari Sabtu tanggal 15 Agustus pukul 8.30-10.00 terhadap IS tentang pelaksanaan ibadah haji, diperoleh data bahwa IS mengkhawatirkan fasilitas yang ia peroleh terkait dengan ketunanetraannnya yang membutuhkan pendampingan khusus sedangkan istrinya seorang muallaf.

“Ya masalah yang saya hadapi, saya khawatir karena saya itu tuna netra mesti kan harus ada pendamping khusus.”

“Saya terutama khawatirnya karena saya tidak bisa sendiri, saya khawatir dari istri saya muallaf, saya khawatir saya nanti dengan siapa?”

Meskipun istri IS seorang muallaf, IS tetap berangkat berhaji karena IS didampingi oleh istrinya yang sehat dan sempurna panca inderanya sehingga dapat mendampinginya selama berhaji. IS adalah jamaah haji tunanetra dari embarkasi Solo yang melaksanakan haji pada tahun 2014. IS merupakan satu-satunya jamaah haji tunanetra yang diberangkatkan oleh embarkasi Solo (kemenag kab. Sukoharjo 2015). Sebelum berangkat haji IS mengikuti manasik haji di masjid Agung Surakarta dan di kecamatan Polokarto kabupaten Sukoharjo. IS mempunyai tekad untuk dapat pergi haji sejak masih remaja, bagi IS haji adalah rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mampu. Meskipun indra penglihatannya tidak berfungsi IS merasa mampu untuk berhaji.


(9)

IS mengalami ketunanetraan pada umur + 40 tahun, saat itu status IS adalah pegawai negeri di stasiun radio milik negara. Dari segi ekonomi IS termasuk dalam keluarga ekonomi menengah keatas, tempat tinggal IS luasnya + 450 m2, dengan bangunan rumah + 250 m2, bangunan toko 50 m2, sisanya adalah halaman rumah dan kebun. Untuk berangkat berhaji IS mengikuti arisan haji, kemudian untuk membayar biaya haji sampai lunas IS menggunakan dana penghasilan dari gaji pensiun, memijat, tabungan dari hasil mengontrakkan toko dan bantuan dari keluarganya. Lingkungan tempat tinggal IS juga bisa dikatakan lingkungan yang relijius, hal ini dapat dilihat dari masjid yang ramai dengan kegiatan keislaman dan organisasi keagamaan di lingkungan IS yang rutin mengadakan kegiatan sosial dan keagamaan. Ketika ada kegiatan keagamaan seperti shalat wajib maupun pengajian IS berangkat dengan ditutuntun oleh istrinya.

Karena keterbatasan fisiknya tersebut maka dalam pelaksanaan ibadah haji nantinya IS akan memiliki tugas ganda, yakni mengenal lingkungan yang sama sekali baru dan dengan kondisi tanpa penglihatan. Dalam rangkaian ibadah haji, banyak permasalahan baru yang dihadapi oleh para jamaah, seperti jumlah jaamah haji yang sangat banyak, fasilitas umum yang disediakan bagi jamaah haji tunanetra, pengetahuan berbahasa, perbedaan musim, maupun pengetahuan tentang kota Makkah dan Madinah. Adanya permasalahan yang dialami jamaah haji tunanetra menuntut para jamaah haji tunanetra untuk dapat menyikapi permasalahan selama berhaji, perilaku mengatasi permasalahan ini disebut dengan strategi coping.


(10)

Menurut Lazarus dan Folkman yang dinukil Kalat dan Shiota (2007), strategi coping diartikan sebagai proses atau cara untuk mengelola dan mengolah tekanan psikis yang terdiri atas usaha baik tindakan nyata maupun tindakan dalam bentuk intrapsikis (peredaman emosi, pengolahan input dalam kognitif. Baron dan Byrne (2005) menyebutkan bahwa coping adalah respon-respon terhadap stres berupa cara yang akan mengurangi ancaman dan efeknya, termasuk apa yang dilakukan, dirasakan, atau dipikirkan seseorang dalam rangka menguasai, menghadapi, ataupun mengurangi efek-efek negatif dari situasi-situasi penuh tekanan. Senada dengan pendapat Taylor yang dikutip Utami bahwa istilah coping didefinisikan sebagai pikiran atau perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal atau eksternal dari situasi yang menekan (Utami, 2013). Tujuan coping adalah untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan atau tekanan baik dari dalam maupun dari luar diri individu yang dilakukan ketika ada tuntutan yang dirasa menantang atau membebani (Kalat dan Shiota, 2007).

Utami ( 2013) mengutip Lazarus & Folkman memaparkan bahwa terdapat 2 bentuk strategi coping yang biasanya digunakan oleh seseorang, yaitu: problem-solving focused coping (PFC), dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menekan; dan emotion-focused coping (EFC), dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan diitimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Penelitian tentang strategi coping pada penyandang cacat tubuh oleh Rifayani (2012) memaparkan bahwa subjek menggunakan bentuk strategi coping yang berorientasi


(11)

pada emosi, kemudian penelitian strategi coping pada tunanetra yang dilakukan oleh Putra (2013) memberikan hasil bahwa bentuk strategi coping yang dilakukan oleh subjek dalam menghadapi suatu masalah adalah dengan menggunakan Problem Focused Coping (PFC) dan Emotion Focused Coping (EFC). Namun tidak diketahui kecenderungan subjek tunanetra dalam menggunakan salah satu macam strategi coping. Oleh karena itu peneliti ingin menggali kecenderungan bentuk strategi coping yang dilakukan oleh jamaah haji tunanetra.

Menurut pemaparan diatas jamaah haji tunanetra perlu memiliki strategi coping selama menjalani ibadah haji agar dapat mengatasi permasalahan- permasalahan selama tinggal ditanah suci, maka penulis ingin mengetahui secara mendalam bagaimana dinamika strategi coping jamaah tunanetra melalui penelitian dengan judul “Strategi Coping Pada Jamaah Haji Tunanetra”

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dinamika strategi coping pada jamaah haji tunanetra.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian mengenai strategi coping pada jamaah haji tunanetra ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:


(12)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa wawasan tentang bagaimana dinamika psikologi jamaah haji tunanetra dalam menjalankan ibadah haji.

2. Subjek terkait :

Penelitian ini diharapkan dapat membantu subjek untuk memahami dinamika psikologis dan kondisi kejiwaan subjek pada saat proses haji.

3. Peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan tentang strategi coping pada penyandang disabilitas untuk melakukan penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.


(1)

terdapat fasilitas umum seperti taman kota terbuka yang diprioritaskan untuk warga tunanetra seperti lantai taman kerkarakter huruf Braille (Siu, 2013).

Penglihatan seseorang memegang peranan penting dalam setiap aktifitas yang dijalaninya termasuk ketika ada individu tunanetra yang pergi melaksanakan ibadah haji. Dengan adanya kerusakan pada indra penglihatan individu tunanetra maka dibutuhkan orientasi yang baik di lingkungan baru, seperti kemampuan mengenal lingkungan fisik , mengetahui arah mata angin, dan mengetahui tempat-tempat yang akan dikunjungi di tanah suci agar tidak tersesat. Sebagai contoh, seorang jamaah haji tunanetra dari Cianjur Jawa Barat (THI) yang tertinggal rombongan ketika akan menuju Multazam, THI terpisah dari rombongan karena tidak dapat melihat. Dan pada akhirnya dapat dipertemukan kembali dengan rombongannya oleh seorang petugas kepolisian Indonesia yang sedang bertugas disana (news.detik.com, 2014). Dalam pelaksanaan ibadah haji fasilitas dari pemerintah Indonesia untuk penyandang cacat seperti tunanetra memang masih terbatas, pemerintah melalui Dinas Sosial akan menyediakan joki untuk mendampingi jamaah haji difabel jika jamaah haji tersebut melapor pada Dinas Sosial, namun jamaah haji juga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk menggunakan jasa joki. Sedangkan dari Depag belum ada fasilitas khusus untuk jamaah haji difabel (kemenag Sukoharjo, 2015). Pemerintah Arab Saudi memberikan fasilitas khusus untuk jamaah haji difabel berupa akses lantai 3 di Masjidil Harom yang dapat dipergunakan untuk thawaf maupun idadah lain sehingga jamaah haji difabel tidak berdesak-desakan dan leluasa dalam beribadah,


(2)

sedangkan fasilitas lain ditempat umum belum peneliti temukan, seperti yang ada di negara Jepang dan Hong Kong.

Tahun 2014 kabupaten Sukoharjo memberangkatkan 602 jamaah haji dengan jamaah tertua berusia 89 tahun 6 bulan dan jamaah termuda berusia 24 tahun (kemenag kab. Sukoharjo, 2015). Dari 602 jamaah terdapat satu jamaah haji tunanetra dari kecamatan Polokarto berinisial IS (65 th) berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan wawancara pada hari Sabtu tanggal 15 Agustus pukul 8.30-10.00 terhadap IS tentang pelaksanaan ibadah haji, diperoleh data bahwa IS mengkhawatirkan fasilitas yang ia peroleh terkait dengan ketunanetraannnya yang membutuhkan pendampingan khusus sedangkan istrinya seorang muallaf.

“Ya masalah yang saya hadapi, saya khawatir karena saya itu tuna netra mesti kan harus ada pendamping khusus.”

“Saya terutama khawatirnya karena saya tidak bisa sendiri, saya khawatir dari istri saya muallaf, saya khawatir saya nanti dengan siapa?”

Meskipun istri IS seorang muallaf, IS tetap berangkat berhaji karena IS didampingi oleh istrinya yang sehat dan sempurna panca inderanya sehingga dapat mendampinginya selama berhaji. IS adalah jamaah haji tunanetra dari embarkasi Solo yang melaksanakan haji pada tahun 2014. IS merupakan satu-satunya jamaah haji tunanetra yang diberangkatkan oleh embarkasi Solo (kemenag kab. Sukoharjo 2015). Sebelum berangkat haji IS mengikuti manasik haji di masjid Agung Surakarta dan di kecamatan Polokarto kabupaten Sukoharjo. IS mempunyai tekad untuk dapat pergi haji sejak masih remaja, bagi IS haji adalah rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mampu. Meskipun indra penglihatannya tidak berfungsi IS merasa mampu untuk berhaji.


(3)

IS mengalami ketunanetraan pada umur + 40 tahun, saat itu status IS adalah pegawai negeri di stasiun radio milik negara. Dari segi ekonomi IS termasuk dalam keluarga ekonomi menengah keatas, tempat tinggal IS luasnya + 450 m2, dengan bangunan rumah + 250 m2, bangunan toko 50 m2, sisanya adalah halaman rumah dan kebun. Untuk berangkat berhaji IS mengikuti arisan haji, kemudian untuk membayar biaya haji sampai lunas IS menggunakan dana penghasilan dari gaji pensiun, memijat, tabungan dari hasil mengontrakkan toko dan bantuan dari keluarganya. Lingkungan tempat tinggal IS juga bisa dikatakan lingkungan yang relijius, hal ini dapat dilihat dari masjid yang ramai dengan kegiatan keislaman dan organisasi keagamaan di lingkungan IS yang rutin mengadakan kegiatan sosial dan keagamaan. Ketika ada kegiatan keagamaan seperti shalat wajib maupun pengajian IS berangkat dengan ditutuntun oleh istrinya.

Karena keterbatasan fisiknya tersebut maka dalam pelaksanaan ibadah haji nantinya IS akan memiliki tugas ganda, yakni mengenal lingkungan yang sama sekali baru dan dengan kondisi tanpa penglihatan. Dalam rangkaian ibadah haji, banyak permasalahan baru yang dihadapi oleh para jamaah, seperti jumlah jaamah haji yang sangat banyak, fasilitas umum yang disediakan bagi jamaah haji tunanetra, pengetahuan berbahasa, perbedaan musim, maupun pengetahuan tentang kota Makkah dan Madinah. Adanya permasalahan yang dialami jamaah haji tunanetra menuntut para jamaah haji tunanetra untuk dapat menyikapi permasalahan selama berhaji, perilaku mengatasi permasalahan ini disebut dengan strategi coping.


(4)

Menurut Lazarus dan Folkman yang dinukil Kalat dan Shiota (2007), strategi coping diartikan sebagai proses atau cara untuk mengelola dan mengolah tekanan psikis yang terdiri atas usaha baik tindakan nyata maupun tindakan dalam bentuk intrapsikis (peredaman emosi, pengolahan input dalam kognitif. Baron dan Byrne (2005) menyebutkan bahwa coping adalah respon-respon terhadap stres berupa cara yang akan mengurangi ancaman dan efeknya, termasuk apa yang dilakukan, dirasakan, atau dipikirkan seseorang dalam rangka menguasai, menghadapi, ataupun mengurangi efek-efek negatif dari situasi-situasi penuh tekanan. Senada dengan pendapat Taylor yang dikutip Utami bahwa istilah coping didefinisikan sebagai pikiran atau perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal atau eksternal dari situasi yang menekan (Utami, 2013). Tujuan coping adalah untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan atau tekanan baik dari dalam maupun dari luar diri individu yang dilakukan ketika ada tuntutan yang dirasa menantang atau membebani (Kalat dan Shiota, 2007).

Utami ( 2013) mengutip Lazarus & Folkman memaparkan bahwa terdapat 2 bentuk strategi coping yang biasanya digunakan oleh seseorang, yaitu: problem-solving focused coping (PFC), dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menekan; dan emotion-focused coping (EFC), dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan diitimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Penelitian tentang strategi coping pada penyandang cacat tubuh oleh Rifayani (2012) memaparkan bahwa subjek menggunakan bentuk strategi coping yang berorientasi


(5)

pada emosi, kemudian penelitian strategi coping pada tunanetra yang dilakukan oleh Putra (2013) memberikan hasil bahwa bentuk strategi coping yang dilakukan oleh subjek dalam menghadapi suatu masalah adalah dengan menggunakan Problem Focused Coping (PFC) dan Emotion Focused Coping (EFC). Namun tidak diketahui kecenderungan subjek tunanetra dalam menggunakan salah satu macam strategi coping. Oleh karena itu peneliti ingin menggali kecenderungan bentuk strategi coping yang dilakukan oleh jamaah haji tunanetra.

Menurut pemaparan diatas jamaah haji tunanetra perlu memiliki strategi coping selama menjalani ibadah haji agar dapat mengatasi permasalahan- permasalahan selama tinggal ditanah suci, maka penulis ingin mengetahui secara mendalam bagaimana dinamika strategi coping jamaah tunanetra melalui penelitian dengan judul “Strategi Coping Pada Jamaah Haji Tunanetra”

B.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dinamika strategi coping pada jamaah haji tunanetra.

C.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian mengenai strategi coping pada jamaah haji tunanetra ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:


(6)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa wawasan tentang bagaimana dinamika psikologi jamaah haji tunanetra dalam menjalankan ibadah haji.

2. Subjek terkait :

Penelitian ini diharapkan dapat membantu subjek untuk memahami dinamika psikologis dan kondisi kejiwaan subjek pada saat proses haji.

3. Peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan tentang strategi coping pada penyandang disabilitas untuk melakukan penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.