Epidemiologi penyakit karang sabuk hitam (Black Band Disease) di Kepulauan Seribu, Jakarta

i

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KARANG SABUK HITAM (BLACK BAND
DISEASE) DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

OFRI JOHAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Epidemiologi Penyakit Karang
Sabuk Hitam (Black Band Disease) di Kepulauan Seribu, Jakarta adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.


Bogor, Agustus 2013

Ofri Johan
NRP C561090031

RINGKASAN
OFRI JOHAN, Epidemiologi Penyakit Karang Sabuk Hitam (Black Band
Disease) Di Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh DIETRIECH G.
BENGEN, NEVIATY P. ZAMANI dan SUHARSONO.
Penyakit karang telah diketahui keberadaannya sejak tahun 1970-an dengan
ditemukan penyakit sabuk hitam (Black Band Disease, BBD). Penyakit karang
secara signifikan telah memberikan dampak kerusakan ekologi secara regional.
Penelitian penyakit karang saat ini masih sedikit dilakukan di Asia Tenggara
termasuk di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan
penyakit karang secara spasial di 12 lokasi, tingkat prevalensi, insidensi dan
virulensi penyakit karang sabuk hitam secara spasial dan temporal di Kepulauan
Seribu, Jakarta. Penelitian sebelumnya pernah menemukan satu jenis penyakit
karang yaitu White Syndrome, WS. Data distribusi dan kelimpahan penyakit

karang diperoleh dengan melakukan pengamatan pada 12 lokasi dengan 1 kali
survei pada bulan Juni-Juli 2011. Observasi tentang prevalensi dan insidensi
penyakit sabuk hitam dilakukan pada 6 lokasi permanen, masing-masing 2 lokasi
pada lokasi terdekat (zona 1), pertengahan (zona 2) dan lokasi terjauh (zona 3).
Pengamatan selama 1 tahun dilakukan sejak Juni 2011 hingga Mei 2012 untuk
mewakili 1 siklus musim (kemarau, peralihan 1, hujan dan peralihan 2).
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode transek garis dengan
panjang 3x20 m untuk mengetahui kondisi terumbu karang di tubir, kemudian
dilanjutkan dengan transek sabuk pada lokasi yang sama dengan ukuran 2mx20m
sebanyak 3 ulangan. Total luas teramati setiap transek adalah 120 m2. Pengamatan
tingkat virulensi hanya dilakukan di dua zona yaitu zona 1 dan zona 2. Khusus
pada saat puncak prevalensi penyakit sabuk hitam dilakukan pengamatan pada
lereng terumbu (reef slope).sebanyak 8 lokasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit karang sabuk hitam
ditemukan sebagian besar pada karang dengan tutupan karang hidup yang tinggi
di tubir. Penyakit karang hanya menginfeksi karang Montipora spp. pada lokasi
yang memiliki persentase tutupan karang hidup yang tinggi. Penyakit karang yang
sering ditemukan ada 2 jenis yaitu penyakit sabuk hitam (Black Band Disease,
BBD) dan White Syndrome (WS).
Secara spasial rata-rata kelimpahan penyakit sabuk hitam tertinggi di musim

kemarau terjadi di zona 1 (0.08 col. m-2, n=3), sementara penyakit WS tertinggi
ditemukan di zona 2 (0.05 col.m-2, n=5). Pada lokasi dimana kelimpahan penyakit
sabuk hitam tinggi dicirikan oleh tingginya total persentase tutupan karang
hidup/Montipora spp, jumlah koloni karang/Montipora spp.
Hasil penelitian selama kurang lebih 1 tahun (1 siklus musim) dapat
menemukan 1549 koloni terinfeksi oleh penyakit sabuk hitam dan 356 koloni
terinfeksi penyakit lain. Penyakit sabuk hitam ditemukan lebih banyak dengan
kisaran 0.31%-31.64%. Rata-rata prevalensi tertinggi ditemukan pada zona 2
(6.31%), kemudian diikuti di zona 3 (5.76%), dan zona 1 sebagai prevalensi
terendah (3.76%). Berbeda dengan dugaan sebelumnya, ternyata prevalensi
terendah terjadi di zona 1. Dengan demikian sumber limbah polusi antropogenik

dari daratan utama hanya menyebabkan prevalensi penyakit sabuk hitam tinggi
pada musim kemarau saja. Berdasarkan data temporal, prevalensi penyakit sabuk
hitam tertinggi terjadi pada musim peralihan pada Oktober-November 2011
(10.17%), diikuti dengan musim hujan (4.88%) dan musim kemarau (4.26%).
Tingkat prevalensi lebih tinggi pada tubir dibandingkan dengan di lereng terumbu
karena suhu dan intensitas cahaya memberikan dampak yang lebih besar di
perairan dangkal.
Insidensi penyakit sabuk hitam juga terjadi sama seperti prevalensinya yaitu

nilai tertinggi terjadi di zona 2 (3.18%), kemudian diikuti di zona 1 (3.18%) dan
zona 3 (1.67%). Tingkat virulensi penyakit sabuk hitam tertinggi terjadi di zona 2
(8.10%) dan zona 1 (3.79%). Rata-rata tingkat virulensi tertinggi terjadi pada
musim kemarau dimana suhu dan intensitas cahaya matahari meningkat tajam
pada waktu tersebut.
Penyakit sabuk hitam banyak terjadi pada karang Montipora spp, dimana
genus karang ini mendominasi keberadaan karang di tubir tempat penelitian.
Karang ini memiliki daya tahan yang rendah terhadap stress karena bentuk koloni
yang menyerupai daun (foliouse) sehingga memungkinkan endapan sedimen,
disamping ukuran koloni yang lebar memungkinkan dapat menangkap banyak
cahaya matahari dengan intensitas yang tinggi pada musim kemarau..
Kelimpahan penyakit sabuk hitam tertinggi di zona 1 terjadi pada musim
kemarau dimana pada waktu tersebut arus membawa limbah antropogenik dari
daratan utama (Pulau Jawa). Kondisi suhu perairan pada saat tersebut 28.98 29.39 ˚C, dimana kondisi tersebut merupakan suhu optimum bagi perkembangan
bakteri patogen yang menginfeksi karang dari penyakit sabuk hitam.
Selama terjadi peningkatan infeksi penyakit di luar batas normal pada
musim peralihan pada bulan November 2011, ada beberapa parameter seperti suhu,
intensitas cahaya, lama penyinaran matahari, Ortho-phosphat mengalami
peningkatan. Parameter lain seperti TOM (Total Organic Matter), turbiditas dan
kecepatan arus mengalami penurunan. Parameter yang nilainya turun inilah yang

menyebabkan intensitas cahaya dapat secara optimal sampai ke dasar perairan.
Data meteorologi seperti curah hujan, kecepatan angin menunjukkan penurunan,
sementara lama penyinaran matahari, suhu udara mengalami peningkatan.
Parameter ini sesuai dengan data suhu perairan dan intensitas cahaya matahari
yang meningkat, sehingga menyebabkan karang menjadi stress dan mudah
terinfeksi oleh penyakit karang.
Asosiasi bakteri pada sampel karang Montipora spp yang terinfeksi dengan
penyakit sabuk hitam diperoleh bakteri Bacillus sp dan Desulfovibrio spp. Bakteri
Desulfovibrio spp dikenal sebagai penyebab terjadinya penyakit karang.
Pengamatan pada sampel karang Montipora spp yang sehat ditemukan bakteri
Halomonas sp, Shewanella spp and Vibrio fischeri. Komunitas bakteri pada
sampel karang terinfeksi, karang sehat dan karang mati masing-masing
menunjukkan kemiripan meskipun sampel tersebut berasal dari lokasi berbeda.
Keywords: penyakit sabuk hitam, prevalensi, insidensi, virulensi, Kepulauan
Seribu

SUMMARY
OFRI JOHAN, Epidemiology of coral Black Band Disease in Kepulauan
Seribu, Jakarta. Supervised by DIETRIECH G. BENGEN, NEVIATY P.
ZAMANI dan SUHARSONO.

Coral diseases that have emerged since the early 1970s with finding the
Black Band Disease. Coral disease have caused significant regional ecological
impacts. However, there has been a paucity of research into coral disease in
South-East Asia, including Indonesia.
This study provides baseline coral disease data in the Kepulauan Seribu
Marine National Park. Previously only one type of disease (White Syndrome,
WS) has been detected at this site. The coral disease data which successed
provided were distribution and abundance, prevalence, incidence and progression
of BBD within the Kepulauan Seribu region, and a Marine National Park as
spatially from the nearest sites (zone 1), middle sites (zone 2) and the farthest sites
(zone 3) from the mainland of Java Island.
Research on the abundance and distribution of coral disease has been
implemented on 12 sites spatially with 1 survey since June-July 2011, whereas
prevalence, incidence of BBD carried out on 6 permanent sites for 1 year started
from June 2011-March 2012 as representative of 1 cycle of the seasons (dry,
transition 1, rain, transition 2).
The research carried out by using line intercept transect (LIT) with 3x20 m
to know the coral condition on upper reef slope, then continued by belt transect on
the same place with 2x20m and 3 replicates. Total area coverage is 120 m2. The
coral disease progress carried out on zone 1 and zone 2. Especially on the BBD

peak season, the survey was carried out at reef slope (8 sites) to get BBD
prevalence to know the BBD prevalence on different depths.
The results showed that coral diseases of BBD found in mostly on the high
life coral cover and especially on the coral Montipora sp species dominantly at
that location. This study showed a positive correlation between overall coral cover
and the dominant reef building coral Montipora spp on the research sites and
found two main diseases BBD and WS which were highly prevalent throughout
all locations.
Based on spatial location of the abundance average, the highest abundance
of BBD (0.08 col. m-2, n=3) was found at zone 1, whilst for WS (0.05 col.m-2,
n=5) highest abundance was found at zone 2. BBD abundance was characterized
by the higher of the life coral cover of scleractinian and Montipora spp, colony
number of corals and especially Montipora spp.
The survey for one year (one cycle of the seasons) found both BBD 1549
colonies and other type of disease 356 colonies during the study. BBD was found
to be the most prevalent disease, ranging from 0.31% to 31.64%. Highest average
prevalence was found at zone 2 (6.31%), followed by zone 3 (5.76%), with zone 1
having the lowest average prevalence at 3.76%. Due to prevalence being lowest
at zone 1, it is unlikely that anthropogenic sources from the mainland are
responsible for increased BBD prevalence.


Data from temporal surveys revealed BBD abundance was highest during
the transitional time which was the period between dry and rainy seasons
(10.17%), followed by rainy season (4.88%) and dry season (4.26%).
BBD incidence was happen at the same role with the BBD prevalence but
the value at the highest (3.18%) in zone 2, followed by zone 3 (1.67%) and zone 1
(3.18%). BBD progression was highest on at zone 2 (8.10%) and zone 1 (3.79%).
The highest rate of BBD progression occurred during dry seasons as temperatures
and light intensity sharply increased during this time. BBD prevalence was higher
on the upper reef slope than the reef slope, due to temperature and light intensity
being having a greater impact at shallower depths. Black band disease was found
to occur mainly in Montipora spp, but it is worth noting that this genus also makes
up the majority of coral species found at the study sites, upper reef slope.
The highest abundance on the zone 1 happened in dry season that the
current with anthropogenic waste moved from the mainland to the islands in
Kepulauan Seribu. Moreover the temperature average ranged from 28.98 - 29.39
˚C known as optimum temperature for patogen bacteria infection of BBD.
During this outbreak event occurring at the transitional time in November
2011, there were increasing parameters such as temperature, light intensity,
Ortho-phosphate, while TOM (Total Organic Matter), turbidity and current were

found decreasing. These decrease parameters caused light intensity can reach
optimally to sea bottom. Meteorologi data of rainfall and wind speed showed
decreasing, while the duration of sun shine and air temperature were increasing.
These parameters were suitable with sea temperature and light intensity were
increasing that made coral become stress and were easily infected by bacteria
patogen.
Bacterial communities associated with infected coral were found Bacillus sp
dan Desulfovibrio spp, and health sample found Halomonas sp, Shewanella spp
and Vibrio fischeri. Dominant bacteria were no found on dead samples. Coral
tissue based on microscopic observation was not able to identify on dead sample.
Bacteria communities on infected, health and dead coral showed the similarity of
each sample among different zone of research sites.
Keywords: black band disease, prevalence, incidence, virulence, Montipora spp,
Kepulauan Seribu

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KARANG SABUK HITAM (BLACK
BAND DISEASE) DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

OFRI JOHAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Hawis Madduppa, MS
Dr. Angela Mariana Lusiastuti, M.Si, Drh.

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA
Dr. Ir. Zafril Imran Azwar, M.S

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian Disertasi
yang berjudul “Epidemiologi Penyakit Karang sabuk hitam (Black Band Disease)
di Kepulauan Seribu, Jakarta” merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan
studi di Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Kelautan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr.
Neviaty P. Zamani dan Dr. Suharsono selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan Disertasi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang telah memberikan beasiswa selama studi, dan bantuan dana
penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya. Terima
kasih juga penulis sampaikan pada lembaga Robert S. McNamara, Work Bank yang
telah mensponsori analisis data di Universitas Newcastle, UK. Ucapan terima kasih
juga disampaikan pada semua pihak yang terlibat dalam pengumpulan data dan
fasilitas di lapangan diantaranya Taman Nasional Kepulauan Seribu Jakarta, Stasiun
Penelitian Pulau Pari, Yayasan Terumbu Karang Indonesia dan Laboratorium
Biologi Universitas Newcastle, United Kingdom. Terima kasih juga disampaikan
secara personal yang telah membantu langsung maupun tidak langsung dalam
kegiatan penelitian ini meliputi Ali Arman, Agustin Rustam, Muhammad Rasyid,
Retia Revanny dan lainnya.
Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan disertasi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam dunia
kelautan terutama bidang konservasi sumberdaya alam dimasa mendatang.
Bogor, Agustus 2013
Ofri Johan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I.  PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
Pendekatan Pemecahan Masalah
Kebaharuan

xiii
xiii
xiv



3
3

4
5

II.  DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN PENYAKIT KARANG SECARA
SPASIAL DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Pengumpulan Data
Data Kondisi Terumbu Karang
Data Kelimpahan Penyakit Karang
Data Kualitas Perairan
Bahan dan Alat Penelitian
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Terumbu Karang
Kelimpahan Penyakit Karang
Kondisi Kualitas Perairan
Keterkaitan Parameter Lingkungan dan Kondisi Karang dengan
Penyakit Karang
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

14
18
20
20

III.PREVALENSI, INSIDENSI DAN TINGKAT VIRULENSI PENYAKIT
KARANG SABUK HITAM (Black Band Disease) DI KEPULAUAN
SERIBU, JAKARTA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian

22
22
24
24

6
6
7
8
8
8
8
9
9
10
11
11
11
12
14

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Waktu Pelaksanaan
Bahan dan Alat Penelitian
Pengumpulan Data
Data Prevalensi secara Spasial dan Temporal
Data Insidensi
Data Tingkat Virulensi
Data Kualitas Perairan
Data Meteorologi
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Struktur Komunitas Karang
Prevalensi Penyakit Sabuk Hitam Secara Spasial dan Temporal
Prevalensi Penyakit Sabuk Hitam pada Lereng Terumbu
Insidensi Penyakit Sabuk Hitam
Tingkat Virulensi Penyakit Karang Sabuk Hitam
Keterkaitan Parameter Kualitas Air, Kondisi Karang
dengan Prevalensi Penyakit Sabuk Hitam
Pembahasan
Prevalensi Penyakit Sabuk Hitam
Prevalensi pada Lereng Terumbu
Insidensi Penyakit Sabuk Hitam
Tingkat Virulensi Penyakit Sabuk Hitam
Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Penyakit
Karang
Prevalensi Penyakit Karang
Insidensi Penyakit Karang
Virulensi Penyakit Karang
SIMPULAN
IV. KOMUNITAS BAKTERI PENYAKIT KARANG SABUK HITAM (Black
Band Disease) PADA KARANG MONTIPORA SPP DI KEPULAUAN
SERIBU, JAKARTA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
METODE PENELITIAN
Pengambilan Sampel
Analisis Sampel di Laboratorium
Identifikasi Bakteri
Kajian Histopatologi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Identifikasi Bakteri Berasosiasi dengan Karang
Sampel Karang Sehat
Sampel Karang Terinfeksi

24
24
24
25
26
26
26
27
27
28
28
28
28
30
31
32
32
33
37
37
39
40
41
42
42
44
44
44

46
46
48
48
48
49
49
49
50
50
51
52

Sampel Karang Mati
Pengamatan Histopatologi
Pembahasan
SIMPULAN
PEMBAHASAN UMUM
SIMPULAN UMUM
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

54
55
55
58
59
63
64
73

DAFTAR TABEL
1. Posisi geografi lokasi penelitian
2. Hasil pengukuran parameter kualitas air langsung di lapangan .
3. Parameter fisika dan kimia air laut yang diukur harian dan bulanan
4. Genus karang dan rata-rata jumlah koloni yang ditemukan pada lokasi
penelitian Pulau Pari Selatan, Pari Timur, Pramuka Selatan, Pramuka Utara,
Peteloran dan Penjaliran Timur
5. Jenis bakteri yang ditemukan pada sampel karang sehat dan karang
terinfeksi

9
14
27

29
50

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13
14
15

16
17
18

Kerangka pendekatan masalah
Lokasi penelitian berada mulai dari zona 1 (lokasi terdekat), zona 2
(lokasi pertengahan) dan zona 3 (lokasi terjauh) dari daratan utama
Persentase kondisi karang berdasarkan hasil transek garis
Perbandingan kelimpahan penyakit sabuk hitam (BBD) dan
penyakit lain pada beberapa lokasi di Kepulauan Seribu
Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik fisika-kimia perairan,
kondisi karang dan penyakit karang
Fluktuasi rata-rata bulanan dari curah hujan, suhu, lama penyinaran
cahaya matahari dan kecepatan angin pada tahun 2011
Lokasi penelitian dan posisi penempatan transek permanen sesuai dengan
pembagian zona mulai dari jarak terdekat (Zona 1), jarak pertengahan
(Zona 2) dan jarak terjauh (Zona 3) dari daratan utama
Digitasi dengan menggunakan program Image J untuk penentuan laju
pertambahan luas penyakit sabuk hitam pada koloni karang
Keragaman jenis karang tingkat genus
Prevalensi dan insidensi penyakit karang sabuk hitam
Beberapa genus karang yang sering ditemukan pada lereng terumbu
Rata-rata prevalensi penyakit sabuk hitam (BBD) dan penyakit lain pada
lereng terumbu dari 8 lokasi
Persentase tutupan koloni karang yang mati akibat penyakit sabuk hitam
Rata-rata suhu (a) dan intensitas cahaya (b) selama penelitian dengan
menggunakan alat data logger
Analisis kondisi lingkungan, kondisi karang dan penyakit karang dengan
Analisa Komponen Utama (Principle Component Analysis, PCA) (a),
Distribusi lokasi penelitian pada sumbu 1 dan 2, kaitannya dengan
Musim secara spasial di Kepulauan Seribu (b)
Grafik parameter kualitas perairan Total Organic Matters (TOM), fosfat,
turbiditas dan kekeruhan
Penyakit sabuk hitam menyerang koloni karang sehat dari 1 sampai 3
spot secara bersamaan menyebar ke seluruh bagian koloni karang
Karang jenis Pocillopora verrucae berada diantara penyakit karang sabuk
hitam, namun tidak terinfeksi

5
10
12
13
15
17

25
27
29
31
31
32
33
34

36
38
40
41

 

19
20

Kondisi setelah 1 bulan dari awal pemberian tanda
Pengambilan sampel untuk identifikasi bakteri dengan teknik
molekuler dan histologi. Sampel karang terinfeksi (a), sampel karang
mati (b) dan sampel karang sehat (c)
Profil band hasil DGGE pada ekstrak DNA sampel karang sehat (H1-H4),
terinfeksi (D1-D4) dan mati (M1-M4) dengan primer 16S rRNA
Kondisi saat diserang cyanobacteria patches (CP), setelah ditumbuhi alga
dan hasil pengamatan CP mikroskop perbesaran 40x
Perbedaan jaringan karang pada sampel sehat, sampel karang
terinfeksi dan karang mati
Tingkat kemiripan bakteri pada sampel karang sehat, terinfeksi dan mati
berdasarkan perbedaan lokasi dengan menggunakan program Primer 6

21
22
23
24

41

48
51
55
56
56 

DAFTAR LAMPIRAN
1

 

Grafik parameter kualitas perairan

DAF

73


 

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terumbu karang merupakan kumpulan organisme yang hidup di dasar perairan
laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu karang terutama disusun oleh Class
Anthozoa dari ordo Scleractinia yang termasuk karang hermatypic atau jenis-jenis
karang yang mampu membangun terumbu atau kerangka karang dari kalsium
karbonat (Vaughan dan Wells, 1943).
Negara Indonesia sebagai wilayah yang memiliki banyak pulau sebagian besar
dikelilingi oleh terumbu karang, dengan tipe terumbu karang yang ditemukan yaitu
terumbu tepi yang ditemukan di pinggiran pulau (fringing reef), terumbu penghalang
(barrier reef) yang terletak agak jauh dari pantai, dan terumbu karang berbentuk
cincin bekas gunung meletus (Atoll reef) dan yang belum muncul pada tengah laut
(patch reef).
Data dari Puslit Oseanografi-LIPI (2011), menunjukkan bahwa kondisi karang
berdasarkan persentase tutupan karang hidup pada beberapa lokasi di Indonesia
berada pada kondisi cukup (36.90%) dan kurang (30.76%), hanya 5.58% dan 26.95%
dalam kondisi sangat baik dan kondisi baik. Kondisi terumbu karang di Kepulauan
Seribu berada pada kelompok kondisi sedang (Gomez dan Yap, 1984) dengan tutupan
karang hidup antara 28.9% hingga 34.3%. Total marga yang ditemukan di Kepulauan
Seribu sebanyak 63 marga dari hasil pengamatan sejak tahun 2005-2009 pada 19
lokasi (Setyawan dkk., 2011).
Beberapa penyebab kerusakan karang diketahui kerena adanya pencemaran
minyak, eksploitasi biota berlebihan, penggunaan alat tangkap yang merusak, polusi,
sedimentasi, hewan predator, pemutihan karang, penyakit dan pengaruh perubahan
iklim (Fadila dan Idris, 2009; Bruckner et al., 2007).
Karang diketahui pertama kali terserang oleh penyakit pada awal tahun 1970
sebagaimana dilaporkan oleh Antonius (1973). Kemudian pengamatan terus
dilanjutkan dengan melakukan isolasi hingga pertengahan tahun 1990. Penyakit
karang tersebut saat ini telah menyebar pada 150 jenis karang yang dilaporkan oleh
65 negara tropis di dunia (Galloway et al., 2009; Sutherland et al., 2004). IUCN
(International Union for Conservation of Nature) Redlist menyatakan bahwa
sepertiga karang di dunia (32,8%) mengalami resiko kepunahan karena peristiwa
pemutihan dan penyakit karang yang disebabkan peningkatan suhu permukaan dan
polusi antropogenik (Carpenter et al., 2008).
Penyakit karang banyak dilaporkan dapat merusak karang dalam skala besar
seperti yang terjadi di laut Caribbean, Australia dan beberapa lokasi di negara luar
(Croquer et al., 2003; Willis et al., 2004). Penyakit karang dapat menyebabkan
kematian karang, perubahan struktur komunitas, penurunan keanekaragaman spesies
dan organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang (Beeden et al., 2008).
Sedangkan informasi penyakit karang di perairan Indonesia belum ada yang


 

melaporkan, hal ini kemungkinan karena kurangnya penelitian secara spesifik
terhadap penyakit karang tersebut saat ini.
Penelitian penyakit karang sudah berkembang di Caribbean, tapi baru sedikit
dilaporkan di daerah Indo-Pasifik dimana pada daerah ini meliputi lebih dari 80%
luasan karang di dunia dan lebih dari 90% spesies karang dunia berada di daerah ini
(Bryant et al., 1998). Beberapa peneliti berhasil mengungkapkan bahwa pemanasan
global merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan hewan karang,
karena hewan karang mudah mengalami stress terhadap perubahan suhu. Karang akan
mengalami pemutihan (bleach) kalau terjadi stress akibat perubahan suhu karena
kehilangan alga yang bersimbiosis dengan hewan karang tersebut yang dikenal
dengan zooxanthellae. Kejadian kematian masal karang akibat kenaikan atau
penurunan suhu pernah terjadi pada tahun 1997/1998 pada beberapa negara termasuk
Indonesia. Perubahan suhu pada daerah Carribbean pernah terjadi pada tahun 2005
yang diikuti dengan munculnya penyakit karang yaitu white plague dan yellow blotch
(Miller et al., 2006). Hubungan antara terjangkitnya atau peningkatan penyebaran
penyakit karang dan peningkatan suhu telah terdeteksi dengan diketahuinya penyakit
sabuk hitam (Black Band Disease), aspergillosis, yellow band disease, white patch
disease dan white syndrome (Raymundo et al., 2008).
Penelitian penyakit karang di Indonesia belum banyak dilakukan, demikian
juga belum pernah dilaporkan dampak akibat penyakit karang. Penelitian pernah
dilakukan oleh lembaga Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi) di Kepulauan
Seribu Jakarta. Penelitian tersebut hanya bersifat pemantauan di lapangan dengan
waktu pengamatan sesaat, belum dalam kurun waktu yang panjang seperti mewakili
beberapa musim sehingga data yang diperoleh belum detail untuk mengetahui
penyebab dan agen pembawa penyakit tersebut.
Penelitian lain juga pernah dilakukan di perairan Taman Nasional Wakatobi
(Haapkyla et al., 2007), yang meneliti tentang prevalensi (keterpaparan) penyakit
karang. Sabdono dan Radjasa (2008) telah meneliti tentang keberadaan bakteri yang
berasosiasi dengan penyakit sabuk hitam dan mengisolasi anti-bakteri yang
berasosiasi dengan bakteri patogen. Lembaga penelitian di Indonesia belum pernah
melakukan penelitian secara spesifik dan konprehensip terhadap penyakit karang di
Indonesia sampai saat ini. Dengan demikian penelitian yang dilaksanakan ini
diharapkan dapat mengungkap beberapa aspek terkait dengan penyakit karang di
Indonesia khususnya di Kepulauan Seribu tentunya.

Perumusan Masalah
Masyarakat pesisir telah hidup berdampingan dengan ekosistem terumbu
karang di Asia Tenggara selama ribuan tahun dan diperkirakan lebih dari 350 juta
orang tinggal dalam wilayah 0 - 50 km dari pantai. Terumbu karang menjadi penting
karena dapat sebagai sumber makanan dan mata pencaharian seperti ikan konsumsi
hidup, perdagangan ikan hias dan wisata. Terumbu karang Indonesia dapat memberi
keuntungan ekonomi setiap tahunnya sekitar 1,6 milyar dolar AS per tahun (Burke et
al., 2002). Sektor perikanan laut di Indonesia menyumbang 2,3 juta pekerjaan atau


 

produksi 3,3 juta ton tahun 2011. Hal ini belum termasuk dari sektor wisata dan
konservasi kawasan pesisir maupun laut (Statistik Kelautan dan Perikanan, 2011).
Ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya laut telah menyebabkan
eksploitasi yang tinggi dan kerusakan terumbu karang, terutama yang dekat dengan
pusat pemukiman penduduk. Ancaman utama terumbu karang ialah penangkapan
ikan berlebihan, praktek penangkapan ikan yang merusak, sedimentasi serta
pencemaran yang berasal dari daratan (Burke et al., 2002).
Disamping terjadi peningkatan aktivitas manusia, peningkatan suhu perairan
juga dapat memberikan dampak terhadap terumbu karang Indonesia. Peningkatan
suhu dapat menyebabkan pemutihan masal pada karang dan penyakit karang.
Peristiwa kematian masal akibat permutihan karang sudah banyak dilaporkan di
Perairan Indonesia, namun masih sedikit informasi tentang dampak penyakit karang
di perairan Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab sebagian
permasalahan tentang penyakit karang tersebut sehingga tindakan manajemen yang
baik dapat mengatasi penyebaran lebih luas dan kerusakan terumbu karang Indonesia.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Mengkaji penyebaran dan kelimpahan penyakit karang secara spasial dan
kaitannya dengan parameter lingkungan perairan dan data meteorologi.
- Mengkaji tingkat prevalensi (keterpaparan), insidensi (kasus baru), tingkat
virulensi penyakit sabuk hitam dan kaitannya dengan faktor kualitas perairan dan
data meteorologi.
- Mengidentifikasi jenis bakteri yang berasosiasi dengan sampel karang yang sehat,
terinfeksi dan mati, dan identifikasi jaringan sel karang terinfeksi oleh penyakit
sabuk hitam.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian diharapkan dapat menentukan musim atau bulan puncak
terjadinya penyakit karang, dapat menjelaskan kondisi kualitas perairan sebagai
indikator munculnya penyakit karang, dan sebagai bahan pertimbangan dalam
mengantisipasi lebih dini untuk mencegah lebih luas penyebaran penyakit karang
dalam mendukung tindakan manajemen.

Hipotesis Penelitian
- Kelimpahan, prevalensi, insidensi dan virulensi penyakit karang lebih banyak
terjadi pada musim kemarau, karena peningkatan suhu dan intensitas cahaya dapat
memicu timbulnya penyakit karang

 
 


 

- Perairan yang tingkat polusinya tinggi dapat meningkatkan kejadian penyakit
karang.
- Karang yang hidup pada perairan dangkal lebih banyak terserang penyakit karang.

Pendekatan Pemecahan Masalah
Awal terganggunya kesehatan karang sangat tergantung dengan kondisi
lingkungan di kawasan terumbu karang tersebut. Kondisi lingkungan ini dapat
ditunjukkan oleh beberapa parameter yaitu suhu, nutrien, intensitas cahaya dan
sedimentasi di daerah tersebut. Keberadaan penyakit karang disuatu kawasan terumbu
karang dapat mempengaruhi dua hal yaitu kelimpahan dan keanekaragaman jenis
karang di Indo-Pasifik dan kondisi ini juga terjadi di kawasan dunia lainnya (Loya et
al., 2001).
Peningkatan suhu air laut akan menyebabkan terjadinya stress secara fisiologi
pada karang, sehingga karang semakin rentan diserang oleh penyakit. Bakteri patogen
dapat menginfeksi karang apabila terjadi peningkatan suhu yang tajam, hal ini ada
kaitannya dengan penyebaran penyakit karang dengan perubahan iklim (Obura et al.,
2009). Peningkatan suhu yang terjadi pada saat musim panas akan menyebabkan
prevalensi penyakit karang lebih tinggi dan jumlah penyakit karang lebih beragam
(Bruno et al., 2007).
Parameter lingkungan lain seperti peningkatan konsentrasi nutrien, polusi dari
daratan akan memicu tingginya komunitas bakteri di karang yang dapat menimbulkan
penyakit karang. Asosiasi karang dengan komunitas bakteri ini dapat dijadikan
sebagai indikator biologi dari kesehatan karang (Salerno, 2010).
Tulisan disertasi ini akan menyampaikan tentang kelimpahan penyakit karang,
tingkat prevalensi, insidensi dan virulensi penyakit sabuk hitam secara spasial
berdasarkan jarak dari daratan utama (Pulau Jawa) dan temporal (musim kemarau,
hujan dan waktu peralihan). Penelitian terbagi tiga tahap, tahap awal dilakukan untuk
mengetahui kelimpahan penyakit karang secara spasial sebanyak 12 lokasi dengan 1
kali pengambilan data, sebagaimana disajikan pada Bab 2. Berdasarkan hasil survei
awal ini ditetapkan 6 lokasi permanen untuk pengamatan secara temporal terhadap
prevalensi, insidensi dan virulensi penyakit sabuk hitam di Kepulauan Seribu, seperti
disampaikan pada Bab 3. Karang sehat, karang yang terinfeksi oleh penyakit sabuk
hitam dan karang mati bekas penyakit sabuk hitam diamati untuk melihat perbedaan
jaringan secara histologi dan mengidentifikasi jenis bakteri patogen yang menginfeksi
karang, sebagaimana dipaparkan pada Bab 4.


 

Gambar 1. Kerangka pendekatan masalah
Keterangan: ---- Kajian penelitian
DGGE : Denaturing Gradient Gel Electrophoresis

Kebaharuan
‐ Penyakit sabuk hitam banyak ditemukan pada struktur habitat karang yang
didominasi Montipora spp dengan prevalensi dan insidensi penyakit terjadi disaat
adanya peningkatan suhu dan intensitas cahaya .
‐ Bakteri yang bersifat patogen dan berasosiasi dengan karang terinfeksi adalah
Desulfovibrio desulfuricans, D. gigas, D. magneticus, Bacillus benzoevoran, B.
farraginis dan yang berasosiasi dengan bakteri lain yaitu Burkholderia bryophla,
Flavobacterium columnare, Sulfurihydrogenibium sp, Pseudoalteromonas
peptidolytica,
spingomonas
wittichii,
Thiobacillus denitrificans dan
Sporobacterium olearium. Bakteri yang berasosiasi dengan karang sehat yaitu
Halomonas anticariensis, Pseudoalteromonas denitrificans, Psychoromonas
ingrahamii, Shewanella benthica, S. liohica dan Vibrio fischeri.

 
 


 

II. DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN PENYAKIT KARANG
SECARA SPASIAL DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
Abstract
Coral diseases that have emerged since the early 1970s have caused significant
regional ecological impacts. However, there has been a paucity of research into coral
disease in South-East Asia, including Indonesia. This study purpose was to
investigate the distribution and abundance of coral disease spatially and its
relationship with water quality and meteorology data. The research has been
implemented since June 2011 and March 2012. Observation method was used a belt
transect with a width of 1 m to the left and right, 20 m long of the meter tape with the
3 replications. Transects placed on the upper reef slope in 1- 2 m depth. This study
collected data as following the number of infected colonies by coral disease including
Black Band Disease (BBD), White syndrome (WS), Atramentous Necrosis (AtN) and
Compromised Helath (CH). This study found that two main diseases BBD and WS
were highly prevalent throughout all reefs. Based on spatial location of the abundance
average, the highest abundance of BBD (0.08 col. m-2, n=3) was found at zone 1
(sites nearer) to the mainland, whilst for WS (0.05 col.m-2, n=5) highest abundance
was found at zone 2 (middle sites). BBD abundance was characterized by the higher
of the life coral cover of corals and Montipora spp, colony number of corals and
especially Montipora spp. The highest abundance happened on the zone 1 in dry
season that the current with suspend material moved from West to East or from the
near of the mainland to the islands in Kepulauan Seribu. Moreover the temperature
average ranged from 28.98 - 29.39 ˚C known as optimum temperature for pathogen
bacteria infection of BBD.
Key Words: Abundance, Black Band Disease, White Syndrome, Montipora spp.,
Kepulauan Seribu.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepulauan Seribu terdiri atas 105 gugus pulau terbentang mulai dari teluk
Jakarta hingga ke utara dengan pulau Sebira sebagai pulau terluar dengan jarak
kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Diantara pulau tersebut terdapat 11
pulau yang berpenduduk yaitu Pulau Panggang, P. Pramuka, P. Kelapa, P. Kelapa
Dua, P. Harapan, Sebira, P. Tidung Besar, P. Payung, P. Pari, P. Lancang Besar, dan
P. Untung Jawa (Estradivari dkk., 2009).


 

Secara geografis Kepulauan Seribu berada antara 106˚20’00” BT (Bujur Timur)
hingga 106˚57’00” dan 5˚10’00” LS (Lintang Selatan) hingga 5˚57’00” LS (Lintang
Selatan). Wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki luas daratan
mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai 6.997,50 Km2 (Estradivari dkk.,
2009).
Kawasan terumbu karang Kepulauan Seribu merupakan daerah yang dekat
dengan kota besar Jakarta yang memiliki jumlah penduduk sangat padat sebanyak
9.60 Juta jiwa, diantaranya penduduk di Kepulauan Seribu berjumlah 21.082 ribu
jiwa pada tahun 2004 (Badan Pusat Statistik Prov. DKI Jakarta, 2010). Pembangunan
kota terus berkembang dan aktivitas penduduk semakin padat, kondisi tersebut
memungkinkan terjadinya polusi antropogenik dari daratan hingga sampai ke
Kepulauan Seribu terutama di Teluk Jakarta. Kondisi ini terlihat jelas pada musim
Timur dimana banyak sampah terbawa ke pulau dan warna perairan agak keruh.
Indikasi lain yang dirasakan oleh penduduk adalah rumput laut tidak tumbuh optimal
di Pulau Pari, kondisi tersebut diduga karena sudah menurunnya kualitas perairan di
daerah tersebut.
Faktor lain yang perlu dicermati adalah pengaruh dampak perubahan iklim
dengan adanya fluktuasi suhu dan tinggi muka air laut, kondisi tersebut dapat juga
mempengaruhi kelangsungan biota yang ada di laut, termasuk biota yang berasosiasi
dengan ekosistem terumbu karang. Pemanasan global dapat meningkatkan suhu air
laut sehingga terumbu karang akan mengalami stress. Karang dapat mengalami
pemutihan (coral bleaching) dan bahkan kematian massal apabila gangguan ini
berjalan terus dalam beberapa hari. Habitat berbagai biota laut dan produksi
perikanan yang berasal dari ekosistem terumbu karang dapat terganggu. Masyarakat
pesisir sebagian besar sangat tergantung pada ekosistem terumbu karang sebagai
sumber mata pencaharian.
Peningkatan suhu perairan yang tajam dapat berdampak negatif bagi kehidupan
karang yaitu timbulnya penyakit karang. Kondisi lain yang tidak mendukung
diantaranya adalah adanya aktivitas penduduk yang bisa sebagai sumber polusi
antropogenik dari daratan seperti limbah industri dan rumah tangga, aktivitas
pertanian dan penebangan hutan secara besar-besaran.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Terangi dalam kurun waktu
2005-2009 pada 19 lokasi di Kepulauan Seribu diperoleh kondisi terumbu karang
bervariasi dengan kisaran antara 28.9% hingga 34.3%. Kondisi tersebut masih berada
pada kelompok kondisi sedang (Gomez dan Yap, 1984). Total marga yang ditemukan
di Kepulauan Seribu sebanyak 63 marga dari hasil pengamatan sejak tahun 20052009 (Setyawan dkk., 2011).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji distribusi dan kelimpahan penyakit
karang dan kaitannya dengan parameter lingkungan perairan dan data meteorologi.

 
 


 

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dimulai sejak Juni hingga Juli 2011 di 12 lokasi menyebar secara
spasial di Kepulauan Seribu Jakarta. Wilayah pengamatan meliputi kawasan Taman
Nasional dan luar kawasan Taman Nasional untuk mewakili kondisi penyakit karang
secara spasial. Wilayah pengamatan dibagi tiga kelompok zona.
Zona 1 merupakan lokasi terdekat dari Pulau Jawa (daratan utama) yang
dilakukan pengamatan pada lokasi bagian Selatan dan bagian Timur P. Pari, dan P.
Tikus. Lokasi pada zona 1 dekat dengan pulau yang ada penduduknya yaitu P. Pari
dan teluk Jakarta. Zona 2 merupakan perwakilan wilayah di pertengahan berdasarkan
jarak dari Pulau Jawa, pada zona ini dilakukan pengamatan pada lokasi bagian
Selatan dan bagian Utara P. Pramuka, P. Semak Daun, dan P. Kelapa. Lokasi pada
zona 2 ini juga dekat dengan pulau yang ada penduduknya yaitu P. Pramuka, Pulau
Panggang dan P. Kelapa. Zona 3 merupakan perwakilan wilayah terjauh yang
meliputi P. Putri, P. Jukung, P. Peteloran dan P. Penjaliran Timur. Pulau yang berada
di zona 3 ini merupakan zona inti dari kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
dan tidak ada penduduknya. Daerah ini diasumsikan jauh dari sumber aktivitas polusi
antropogenik yang berasal dari pulau Jawa atau Teluk Jakarta. Lokasi pengamatan
secara geografis dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2.

Pengumpulan Data
- Data Kondisi Terumbu Karang
Pengambilan data kondisi terumbu karang dilakukan dengan menggunakan
metode transek garis (Line Intercept Transect, LIT) pada kedalaman antara 1-3 m di
daerah tubir (upper reef slope) dan 3-7 m di lereng terumbu (reef slope). Panjang
transek yang digunakan 20 m dengan 3 ulangan setiap lokasi. Pengamatan kondisi
karang dilakukan 1 kali pengambilan data. Data kondisi karang meliputi tutupan
karang hidup, jumlah koloni karang dan genus karang.
Pada teknik transek garis, bentuk pertumbuhan karang (life form) dan substrat
lain dianalisa dengan menggunakan sistem klasifikasi dengan persamaan menurut
English et al.,(1997) sebagai berikut:

Dimana,
Li = persentase penutupan biota karang ke-i
ni = panjang total kelompok biota karang ke-i dan
L = Panjang total transek garis


 

Hasil tutupan karang hidup yang tinggi menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang
di lokasi tersebut berada dalam kondisi yang baik berdasarkan kriteria Gomez dan
Yap (1984).
Tabel 1. Posisi geografi lokasi penelitian
Lokasi Penelitian
Lintang
Bujur
Zona 1. Lokasi berpenduduk 1 (Jarak terdekat dari Pulau Jawa)
05°52'14.0"
106°36'38.8"
- Selatan P. Pari 1
05°51.651'
106°37.250'
- Selatan P. Pari 2
05°51'07.8"
106°34'53.8"
- Utara P Tikus
Zona 2. Lokasi berpenduduk 2 (Jarak pertengahan dari Pulau Jawa)
- Selatan P. Pramuka
05°45'01.9"
106°36'41.5"
- Utara P. Pramuka
5°44'24.9"
106°37'14.5
5°40'44.2"
106°34'53.8
- Gosong Karang Bongkok
5°39'31.0"
106°33'22.6
- Selatan P. Kelapa
05°43'37.0"
106°33'59.2"
- P. Semak Daun
Zona 3. Lokasi tidak berpenduduk (Jarak terjauh dari Pulau Jawa)
05°27'076"
106°33'44,9"
- P. Peteloran
- P. Penjaliran
05°27'34,0"
106°33'49,3"
05°34'00.1"
106°31'36.3"
- Utara P. Jukung
05°35'25.5"
106°34'03.6"
- Utara P. Putri

- Data Kelimpahan Penyakit Karang
Pengambilan data menggunakan transek sabuk (belt transect) dengan lebar
masing-masing 1 m ke samping kiri dan kanan garis transek dengan panjang transek
20 m sebanyak 3 ulangan, sehingga luas cakupan daerah 120 m2. Data yang diambil
di lapangan adalah kelimpahan penyakit karang terutama jenis Black Band Disease
(BBD) dan White Syndrom (WS), Atramentous Necrosis (AtN) serta jenis lain yang
termasuk dalam parameter kesehatan karang (Raymundo et al., 2008). Data lain yang
diperoleh dengan metode transek sabuk ini meliputi total koloni karang dan jumlah
koloni karang Montipora spp. Identifikasi jenis penyakit karang dilakukan
berdasarkan buku panduan Raymundo et al., (2008).
- Data Kualitas Perairan
Parameter lingkungan yang diukur meliputi kedalaman, suhu air, salinitas, TDS
dan DO. Pengukuran data di lapangan dengan menggunakan alat YSI 556 MPS.
Analisa data meteorologi dilakukan sebagai data pendukung data kualitas perairan.
Data meteorologi tersebut meliputi suhu, lama penyinaran matahari, kecepatan angin
dan curah hujan yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Maritim Tanjung Priok.

 
 

10 
 

Gambar 2. Lokasi penelitian berada mulai dari zona 1 (lokasi terdekat), zona 2 (lokasi
pertengahan) dan zona 3 (lokasi terjauh) dari daratan utama (Sumber peta:
modifikasi dari Farhan and Lim 2012). Tanda segi empat adalah kawasan
Taman Nasional Laut.

Bahan dan Alat Penelitian
Penelitian ini menggunakan alat dasar lengkap snorkeling (fins, masker,
wetsuit), rol meter, kamera underwater merek Cannon Ixus 120, alat pengukur
kualitas air di lapangan YSI 556 MPS (suhu, TDS, salinitas, DO), pengukur

11 
 

kecepatan arus, alat tulis bawah air dan skala standar untuk pengambilan foto bawah
air.

Analisis Data
Kelimpahan penyakit karang diperoleh dengan menghitung perbandingan
antara jumlah koloni karang yang terinfeksi dan total luas transek sabuk (belt
transect) yaitu 120 m2. Hubungan antara kondisi karang yang meliputi tutupan karang
hidup, jumlah koloni karang, jumlah koloni karang Montipora spp, kelimpahan
penyakit karang dengan faktor lingkungan (fisika-kimia) dianalisa dengan
menggunakan Analisa Komponen Utama atau PCA (The Principle Component
Analysis) (Legendre and Legendre, 1983; Ludwig dan Reynold, 1988; Bengen, 1992).
Analisa Komponen Utama adalah model statistik deskriptif yang bertujuan
untuk menampilkan dalam bentuk grafik (model matematika) suatu informasi
maksimum dari matrik data (Ludwig dan Reynold, 1988). Untuk mengetahui variasi
lingkungan dan kondisi karang maka matrik data yang akan dianalisa terdiri dari
stasiun pengamatan sebagai individu statistik (baris) dan variabel kondisi karang serta
lingkungan sebagai variabel kuantitatif (kolom). Uji statistik Analisa Komponen
Utama menggunakan program XL-Stat 2013.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Total luas daerah yang terdata untuk mendapatkan distribusi dan kelimpahan
penyakit karang adalah sebesar 1440 m2 dari 12 lokasi dengan metode transek sabuk
(belt transect).
-Kondisi Terumbu Karang
Tutupan karang hidup pada lokasi ditemukan penyakit sabuk hitam atau BBD
(Black Band Disease) berkisar antara 18.70%-76.88% dengan rata-rata sebesar
56.66%. Rata-rata tutupan karang hidup ini masih dikelompokkan pada kondisi
karang baik menurut kategori Gomez and Yap, (1984). Berdasarkan jarak lokasi
pengamatan dari daratan utama, rata-rata tutupan karang hidup pada zona 1 lebih
tinggi (64.69%, n=3) dibandingkan dengan lokasi zona 2 (59.49%, n=4) dan terendah
pada zona 3 (49.57%, n=5). Rata-rata tutupan karang ini menggambarkan kondisi
karang pada lokasi pengambilan data penyakit karang seperti terlihat pada Gambar 3.
Tutupan karang hidup tersebut didominasi oleh karang Montipora spp dengan bentuk
pertumbuhan CF (Coral Foliose) dan CE (Coral Encrusting). Tutupan karang
tersebut berkisar antara 1.24%-60.88%, atau ada sekitar 49.5% dari total tutupan

 
 

12 
 

90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Zona 1

Zona 2

Peteloran

Penjaliran Timur

Putri

Jukung

Belanda

Utara Pramuka

Selatan  Pramuka

Kelapa

Semak Daun

Timur  Pari 

Selatan  Pari

Montipora sp
Tikus 

Tutupan Karang Hidup (%)

karang hidup merupakan tutupan karang Montipora spp dan sisanya merupakan
karang mati, alga, abiotik dan biota lain (Others, OT).

Karang Lain
Kriteria Lain

Zona 3

Gambar 3. Persentase kondisi karang berdasarkan hasil transek garis. Tutupan Karang
Hidup (TKH) Montipora spp, tutupan karang hidup lain (Karang Lain)
dan Kriteria Lainnya berdasarkan English et al., (1997) pada 12 lokasi
yang menyebar secara spasial di Kepulauan Seribu, Jakarta.
Ada beberapa lokasi yang tutupan karang jenis Montipora spp lebih tinggi
dibandingkan dengan total tutupan karang hidupnya yaitu pada Selatan Pulau Pari,
Timur P. Pari (dermaga masyarakat), Selatan P. Pramuka, Utara P. Pramuka, P.
Jukung, P. Penjaliran Timur dan P. Peteloran (Gambar 3).
- Kelimpahan Penyakit Karang
Karang terinfeksi penyakit banyak ditemukan pada kedalaman antara 1-3 m di
daerah tubir (upper reefs slope). Sementara pada kedalaman antara 3-7 m (reef slope)
tidak banyak ditemukan penyakit sabuk hitam.
Pada Gambar 4 terlihat bahwa ada beberapa lokasi ditemukannya penyakit
sabuk hitam, kelimpahan tertinggi terjadi di Timur P. Pari (0.092 kol.m-2) dan P.
Penjaliran (0.092 kol.m-2), kemudian di P. Tikus (0.085 kol.m-2) dan Utara P.
Pramuka (0.075 kol.m-2). Kelimpahan penyakit sabuk hitam secara spasial
berdasarkan pembagian zona diperoleh rata-rata tertinggi di zona 1 (0.081 kol.m-2),
sedang pada zona 2 (0.035 kol.m-2) dan terendah pada zona 3 (0.034 kol.m-2).
Penyakit karang hanya menginfeksi karang jenis Montipora spp dengan bentuk
pertumbuhan daun (foliose) dan mengerak (encrusting). Karang jenis lain tidak
ditemukan penyakit sabuk hitam di lokasi pengamatan selama penelitian, namun
pernah ditemukan di luar lokasi pengamatan yaitu pada jenis Pachyseris sp.

13 
 

Menurut Beeden et al., 2012, kelimpahan penyakit sabuk hitam pada zona 1
(0.081 kol.m-2) sudah termasuk pada kelompok sebagai lokasi target penelitian,
pengamatan dan monitoring lebih lanjut karena sudah diatas 0.0375 kol.m-2 (>3
kol/80 m2) pada skala lokal atau di Kepulauan Seribu. Sementara kelimpahan pada
zona 2 (0.035 kol.m-2) dan zona 3 (0.034 kol.m-2) belum perlu ada tindakan, hanya
perlu dilanjutkan survei dengan melibatkan tenaga secara sukarela yang dekat dengan
lokasi kejadian.
0.180
0.160
0.140
0.120
0.100
0.080
0.060
0.040
0.020
0.000

Zona 1

Zona 2

P. Penjaliran

P. Peteloran

P. Jukung

P. Putri

P. Kelapa

G. Karang Bongkok

P. Semak daun

Utara P. Pramuka

Selatan P. Pramuka 

P. Tikus 

Timur P.  Pari

Selatan P. Pari 

BBD
WS
AtN
CH

Zona 3

Gambar 4. Perbandingan kelimpahan penyakit sabuk hitam (BBD) dan penyakit lain
(White Syndrome, WS; Atramentous Necrosis, AtN dan Compromised
Health, CH) pada beberapa lokasi di Kepulauan Seribu.
Penyakit White Syndrome (WS) ditemukan juga pada lokasi penelitian yang
menginfeksi karang Montipora spp. yang memiliki bentuk pertumbuhan foliose,
encrusting dan pada jenis karang Acropora sp. Kelimpahan WS tertinggi terjadi pada
Selatan P. Pramuka (0.11 kol.m-2), P. Kelapa (0.07 kol.m-2) dan Gosong Karang
Bongkok (0.05 kol.m-2). Kelimpahan penyakit WS secara spasial berdasarkan
pembagian zona, kelimpahan tertinggi hingga terendah berturut-turut terjadi pada
zona 2 (0.05 kol.m-2), zona 1 (0.02 kol.m-2) dan zona 3 (0.01 kol.m-2).
Penyakit Atramentous Necrosis hanya ditemukan di pulau Penjaliran dengan
kelimpahan 0.017 kol.m-2. Kriteria kelompok Compromised Health (CH) merupakan
kondisi penganggu kesehatan karang yang tidak diklasifikasikan sebagai penyakit
karang. Kelompok CH dapat berasal dari biota seperti Drupella sp, Achantaster
plancii, bekas gigitan ikan, kompetisi antar karang dan kompetisi dengan alga.
Kelompok CH juga bisa diakibatkan oleh kondisi penganggu lain seperti sedimen.
Hasil survei diperoleh data bahwa kelompok CH banyak ditemukan pada lokasi
Gosong Karang Bongkok dengan adanya kompetisi spons dengan karang dan
predator Achantaster plancii dengan nilai total kelimpahannya sebesar 0.17 kol.m-2
 
 

14 
 

(Gambar 4). Keberadaan Achantaster plancii juga ditemukan di P. Kelapa yang
ditandai dengan adanya bekas jejak memutih pada setiap koloni karang yang
dilewatinya.
Keberadaan penyakit sabuk hitam di Kepulauan Seribu terkonsentrasi hanya
pada satu genus karang saja yaitu Montipora spp, berbeda dengan yang ditemukan
oleh beberapa penelitian lainnya yang mengatakan penyakit sabuk hitam dapat
menginfeksi beberapa jenis karang dan terdistribusi secara merata (Frias-Lopez et al.,
2003).
- Kondisi Kualitas Perairan
Pengukuran parameter kualitas perairan dilakukan secara langsung di lapangan
untuk data suhu, salinitas, DO, pH, dan TDS. Berdasarkan data suhu diperoleh ratarata berkisaran antara 28.98–29.39 ˚C. Kisaran suhu tersebut sudah merupakan
kondisi optimum bagi pertumbuhan bakteri patogen bagi penyakit sabuk hitam.
Tabel 2. Hasil pengukuran parameter kualitas air langsung di lapangan
Parameter
Suhu
Salinitas
DO
TDS

satuan
˚C

mg/l
mg/l

Zona 1
29.39±0.70
32.02±4.31
8.31±1.60
31.93