Zaman Pengaruh Kebudayaan Eropa

c. Zaman Pengaruh Kebudayaan Eropa

Masuknya pengaruh kebudayaan Eropa dimulai juga melalui aktivitas perdagangan dengan bangsa Portugis pada pertengahan abad 16. Komoditas utama yang diperdagangkan adalah rempah-rempah, selanjutnya disusul oleh kedatangan bangsa Belanda, Spanyol, dan Inggris. Persaingan ketat dari ketiga bangsa tersebut dalam perdagangan di Indonesia akhirnya dimenangkan oleh Belanda dengan mendirikan VOC. Dari awalnya berdagang berlanjut menjadi pendudukan dan menguasai pemerintahan berkepanjangan hingga tiga setengah abad dan berakhir tahun 1945. Peninggalan Belanda yang paling penting diwarisi Indonesia saat ini adalah Agama Katholik dan Kristen, sistem pendidikan, serta beberapa infrastruktur berupa jalan dan bangunan fisik. Pengaruh seni rupa Barat diduga telah mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-16 dibawa oleh para pedagang V.O.C yang digunakan untuk hadiah kepada para pembesar kerajaan-kerajaan di Nusantara, seperti lukisan besar yang diberikan kepada seorang raja di Bali, Sultan Palembang, dan raja Surakarta.

Pengaruh seni lukis Barat secara nyata pada awal sekali dipelajari oleh seorang putra bangsawan dari Jawa yaitu Raden Saleh Syarif Bustaman pada abad ke-19. Raden Saleh belajar seni lukis Barat langsung dengan tinggal di Eropa selama 20 tahun. Menurut pendapat para ahli lukisan Raden Saleh mendapat pengaruh kuat dari Delacroix (seorang pelukis terkenal pada zaman Renaissance) dengan gaya romantiknya. Dengan keterampilannya yang baik Raden Saleh pulang ke Indonesia dan banyak melukiskan tentang suasana Indonesia zaman penjajahan Belanda seperti gunung Merapi yang sedang meletus (gb.47), perkelahian antara singa dan banteng yang ditafsirkan sebagai perta-

Gambar 47. Raden Saleh, Gunung Merapi, (Sumber: Indonesian Heritage).

rungan kaum pejuang nasionalis dengan penjajah. Selain itu lukisan Raden Saleh yang terkenal di Indonesia adalah saat penangkapan Pangeran Diponegoro dan Perburuan Harimau (gb.48). Raden Saleh tidak menurunkan kemahirannya melukis ala Barat kepada masyarakat Indonesia pada waktu itu, namun ketika Abdulah Surio Subroto dari Jawa

Gambar 48. Raden Saleh, Perburuan Harimau (Sumber: Indonesian Heritage)

Gambar 49. Abdulah SR., Pemandangan di Jawa .(sumber: Koleksi Presiden Soekarno).

Barat kembali ke Indonesia setelah belajar melukis di Akademi Seni Rupa Belanda, ia menularkan kemampuannya kepada anaknya sendiri sebagai muridnya yang menjadi pelukis terkenal yaitu Basuki Abdulah dan anak didiknya yang lain ialah Mas Pirngadi. Selain itu pelukis pribumi lainnya yang belajar dengan orang Belanda ialah Wakidi, yang tinggal di Sumatera Barat dan memiliki banyak murid. Abdulah Surio Subroto, Basuki Abdulah, Wakidi dan pelukis sejenis lainnya mereka semua sangat mahir melukis dengan gaya realis dan naturalis melukiskan kondisi yang indah-indah dan menyenangkan ( gb. 49, 50, 51). Hal yang demikian ini sangat ditentang oleh pelukis nasionalis yang menyebutnya sebagai seni lukis “Indonesia Molek” (Mooi Indie).

Menurut pandangan mereka lukisan tersebut tidaklah menggambarkan kondisi sesungguhnya tentang Indonesia. Pada tahun 1937, gerakan yang menentang seni lukis “Indonesia Molek” mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) dipimpin oleh Agus Djayasuminta dan Sudjoyono dengan jumlah anggota sebanyak 20 orang. Upaya kelompok ini adalah untuk mencari terobosan teknik melukis yang dirasa membosankan dan tidak mencerminkan suasana

Gambar 50. Wakidi, Balai Desa Minagkabau

(sumber: Koleksi Presiden Soekarno).

batin Indonesia yang sebenarnya. Kelompok ini mengembangkan sendiri tema kerakyatan dan teknik melukisnya sebagaimana nampak dalam lukisan Sudjojono ‘Tetangga’ (gb. 52) dan lukisan Hendra Gunawan

‘Mencari Kutu Kepala’ ( gb.53). Sudjojono terkenal dengan motto me- lukisnya sebagai ‘jiwa ketok’, bahwa melukis tidak hanya sekedar mengungkapkan fenomena keindahan di luar diri manusia tetapi juga merupakan pencerminan dinamika jiwa pelukisnya. Dengan demikian tersirat, bahwa seorang seniman seni lukis harus terus mencari apa yang menjadi keinginannya dalam mengungkapkan gerak perasaan hatinya sehingga dapat mencerminkannya dalam lukisan-lukisan yang dibuatnya. Hal inilah yang dapat membedakan pelukis satu dengan lainnya baik dalam preferensi pemilihan tema, warna dan bentuk. Dari sisi tema misalnya, Sudjojono berbeda dengan Abdulah Surio Subroto, begitu pula dalam warna dan bentuk serta goresan dan sapuan kuasnya. Perbedaan antar individu meluas menjadi perbedaan faham antar kelompok yaitu antar “Mooi Indie” dengan kelompok Persagi. Perbedaan paham membuat dunia seni lukisa zaman itu menjadi dinamis sehingga melahirkan banyak seniman seni lukis. Dinamika tersebut tidak terjadi dalam bidang seni rupa lainnya. Hal ini menyebabkan seni lukis menjadi bidang seni satu-satunya yang paling banyak dibahas dan memiliki dimensi keilmuan seni yang paling maju di samping seni musik yang sifatnya lebih eksak.

Gambar 51. Ernest Dezentje, Pemandangan Sudut Jakarta

(sumber: Koleksi Presiden Soekarno