RESPONSIVITAS GENDER PADA PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA (Studi Evaluasi pada Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja di Kota Surakarta)

Pencari Kerja di Kota Surakarta)

Disusun Oleh :

RYZA DANI PRATIWI

D 0107090

SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Telah disetujui dan disahkan Panitia Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari

: Kamis

Tanggal

: 31 Januari 2013

 Man Jadda Wajada 

Bar ang siapa ber sungguh- sungguh, i a akan dapat

Jangan per nah mer asa rendah dir i atau tinggi hati Kar ena setiap or ang punya kel ebi han dan kelemahannya masing-masing (Pr of. Dr . Ismi Dwi Astuti Nur haeni, M.Si)

The most difficult phase of life is not when no one underst ands you, it i s when you don’t under st and yourself (Penuli s)

Kar ya tugas akhir jenjang Str ata 1 ini saya per sembahkan untuk:

 Masa depanku  Ibu, Bapak dan Adikku ter cinta atas doa dan semua dukungannya

yang selal u mengir ingi setiap langkahku dan tujuanku  Pr of. Dr. Ismi Dw i Astuti Nur haeni , M.Si yang sel ama ini telah memberi kan kasih sayang, pelajar an dan pengalaman yang tak ter nilai har ganya

 Sahabat – sahabatku Asmar ani, Widiya, Candr ika, Tiyas, Diah dan

Dita yang datang layaknya ber kah dar i Tuhan

 Al mamater ku di Jur usan Ilmu Administr asi FISIP UNS

Bismillahirohmanirrohim Puji syukur atas segala nikmat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Responsivitas Gender Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja (Studi Evaluasi pada Kegiatan Pendidikan dan

Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja di Kota Surakarta)”. Penyusunan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 di Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS).

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak, maka pada kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan khusus kepada:

1. Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti N., M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi selama penyusunan skripsi ini;

2. Rino A. Nugroho, S.Sos, M. TI, selaku pembimbing akademik yang turut memberikan bimbingan, arahan dan motivasi selama proses belajar dan penyusunan skripsi ini;

3. Peer Group Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender LPPM UNS yang telah memberikan dukungan moril dalam penyusunan skripsi ini dan banyak pengalaman kepada penulis;

4. Kepala Dinas, Sekretaris dan Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta yang berkenan memberikan informasi kepada penulis.

5. Ibu, Bapak, Adikku yang selalu mencurahkan kasih sayang, semangat, dukungan dan doa kepada penulis;

2007 terimakasih untuk kebersamaan dan berbagi ilmunya dari awal sampai akhir penyelesaian skripsi ini;

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut memberikan dukungan dan membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan pada diri penulis. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun penulis harapkan demi perbaikan ke depannya. Sebagai kata penutup, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang menggunakan hasil penelitian ini.

Surakarta, Januari 2013

Penulis

F. Teknik Pengumpulan Data ......................................................

G. Aspek yang Di Analisis ..........................................................

H. Validitas Data………………………………………………….. 59

I. Teknik Analisis Data…………………………………………... 60

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAS ................................... .

A. Gambaran Umum Kota Surakarta……………………………… . 67

B. Responsivitas Gender Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja dan Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja.......................................................... 74

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Responsivitas Gender dalam Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja…………. 94

D. Formulasi Tujuan dan Rencana Aksi Responsif Gender Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja Responsif Gender ……………………………………….. 114

BAB V. PENUTUP. ....................................................................................

A. Kesimpulan. .............................................................................. 121

B. Saran. ........................................................................................ 123

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Gambar-2.1 Gambaran Skematis Mengenai Persyaratan Kelayakan………………… 23 Gambar-2.2 Alur Gender Analysis Pathway…………………………………………. 45

Gambar-2.3 Kerangka Berpikir……………………………………………………....

53 Gambar-3.1 Analisis Isi Dokumen Kebijakan………………………………………..

62

Tabel-1.1 Jumlah Pencari Kerja Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Kota Surakarta Tahun 2011……………………..

6 Tabel-2.1

WID, GAD dan Gender Mainstreaming……………………………… 24 Tabel-2.2

Model Manajemen……………………………………………………

31 Tabel-2.3

Perbedaan Seks dan Gender………………………………………….

37 Tabel-2.4

Matriks Relevansi Penelitian Gender Ketenagakerjaan……………..

50 Tabel-3.1

Matriks Teknik Analisis Terhadap Berdasarkan Aspek yang Dianalisis……………………………………………………………..

66 Tabel-4.1

Jumlah Penduduk Kota Surakarta Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Tingkat Kepadatan Tiap Kecamatan Tahun 2011………

68 Tabel-4.2

Jumlah Penduduk Kota Surakarta menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2011 ……………………………………………

69 Tabel-4.3

Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Pendidikan di Kota Surakarta Tahun 2011………………….

70 Tabel-4.4

Penduduk 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama Seminggu Lalu Menurut Status Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2011 ………………………………………………..

71 Tabel-4.5

Banyaknya Lowongan Kerja di Kota Surakarta Tahun 2011

72 Tabel-4.6

Banyaknya Pencari Kerja yang Belum Ditempatkan dan Lowongan yang Belum Dipenuhi Menurut Golongan Pokok Jabatan di Kota Surakarta Tahun 2011/2012 ……………………..

73 Tabel-4.7

Analisis Responsivitas Gender terhadap Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pada RPJMD Kota Surakarta Tahun 2010-2015……………..

79 Tabel-4.8

Analisis Responsivitas Gender terhadap Sasaran Umum, Strategi dan Arah Kebijakan pada RPJMD Kota Surakarta 2010 -2015……….

80 Tabel-4.9

Analisis Kebijakan Umum Daerah …………………………………...

82 Tabel-4.10

Analisis Responsivitas Gender Program Umum Daerah …………….. 84

Tahun 2011 – 2015 ………………………………………………….

86 Tabel-4.12

Analisis Responsivitas Gender Tujuan dan Sasaran dari Misi Kedua Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2011 – 2015 …..

88 Tabel-4.13

Analisis Kebijakan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2011 – 2015 …………………………………………………...

89 Tabel-4.14

Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja Tahun 2011 …………………………………………………………...

90 Tabel-4.15

Gender Analysis Pathway Tahap 1 …………………………………... 96 Tabel-4.16

Data Lowongan dan Penempatan Antar Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta Tahun 2011 ………………..

101 Tabel-4.17

Gender Analysis Pathway Tahap II ………………………………….. 115 Tabel-4-18

Rumusan Tujuan, Faktor Penyebab, Rencana Aksi dan Indikator Responsif Gender ……………………………………………………

119

Ryza Dani Pratiwi. D0107090. Responsivitas Gender Pada Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja (Studi Evaluasi Pada

Kegiatan Pendidikan Dan Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja di Kota Surakarta). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2013.

Peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja merupakan tuntutan dari perkembangan pembangunan yang semakin cepat dan kompleks. Adanya isu gender bidang ketenagakerjaan dan regulasi tentang integrasi gender dalam perencanaan dan penganggaran responsif gender, maka penelitin ini mengkaji : a) responsivitas gender program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja dan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi pencari kerja; b) faktor-faktor yang mempengaruhi responsivitas gender.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dan pemilihan lokasi dilakukan secara purposive yaitu di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta. Unit analisisnya adalah RPJMD Kota Surakarta Tahun 2010-2015, Renstra Dinas Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta Tahun 2011-2015 dan Renja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta Tahun 2011. Teknik pengumplan data yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis isi dokumen dan Gender Analysis Pathway (GAP).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian program dan kegiatan sudah responsif gender. Namun demikian, responsivitas gender belum tertuang secara konsisten baik rumusan RPJMD Kota Surakarta, Renstra Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta dan pada Rencana Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta. Faktor yang mempengaruhi responsivitas gender

dikelompokkan menjadi dua yaitu sebab kesenjangan internal dan eksternal. Sebab kesenjangan internal antara lain kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan belum adanya komitmen untuk mempertimbangkan responsivitas gender dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi pencari kerja. Sebab kesenjangan eksternal antara lain adanya stereotype pada setiap jenis pelatihan, permintaan user (perusahaan) untuk tenaga kerja jenis kelamin tertentu dan jabatan yang ditempati oleh tenaga kerja laki-laki dan perempuan ditentukan perusahaan.

Kata kunci: responsivitas gender, analisis isi dokumen, analisis gender, faktor kesenjangan

Ryza Dani Pratiwi. D0107090. Gender Responsiveness in Labor Quality and Productivity Improvement Program (An Evaluation Study on Education and

Skills Training Activity for Job Seekers in Surakarta). Faculty of Social and Political Sciences. Sebelas Maret University. Surakarta. 2013.

Rapid expansion of development requires improvement of labor quality and productivity. Gender issues dealing with labor, and regulations concerning gender integration in gender responsive planning and budgeting have been the background of this research. The objectives of this research are: 1) to analyze gender responsiveness in labour quality and productivity improvement program, and education and skills training activity for job seekers; and b) identify the factors that affect gender responsiveness.

This was a descriptive research in which the site was selected purposively. This research was undertaken in the Social, Labor, and Transmigration Office of Surakarta and the units of analysis include RPJMD of Surakarta 2010-2015, the Strategic Planning of the Social, Labor, and Transmigration Office of Surakarta 2011-2015, and Action Plan of Social, Labor, and Transmigration Office of Surakarta 2011. Data collecting techniques were interviews and document analysis. Data were analyzed using content analysis technique and Gender Analysis Pathway (GAP).

Results showed that some programs and activities have fulfilled responsive gender aspects. However, gender responsiveness has not been represented consistently in RPJMD of Surakarta, the Strategic Planning of the Social, Labor, and Transmigration Office of Surakarta, and Action Plan of Social, Labor, and Transmigration Office of Surakarta. Factors affecting gender responsiveness are classified into two: internal and external gap causes. Internal gaps include lack of human resource capacity and the absence of commitment to include gender responsiveness in education and training program for job seekers. The causes of external gaps include stereotype in every type of training, user demand (firm) for labor with certain sex, and the position occupied by male and female labor which is determined by the company.

Keywords: content analysis of documents, gap factor, gender analysis, gender responsiveness.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan ekonomi, manusia, sosial budaya, dan politik di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Dalam melaksanakan pembangunan nasional, tenaga kerja memiliki kedudukan dan peran penting yaitu sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Namun, sampai saat ini masih dijumpai masalah rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja.

Peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja merupakan tuntutan dari perkembangan pembangunan yang semakin cepat dan kompleks. Perkembangan ekonomi, industrialisasi, arus informasi, dan perkembangan iptek yang pesat semakin menuntut sumber daya manusia yang tinggi kualitasnya. Berhasilnya pembangunan nasional bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi tuntutan yang sangat mendesak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tuntutan ini semakin mencapai puncaknyanya ketika terjadi pergeseran paradigma pembangunan dari production centered development yang menekankan pada dimensi pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan menuju paradigma people centered development yang menekankan pembangunan ekonomi sekaligus pembangunan sumber daya manusia. Pemahaman tentang paradigma pembangunan yang berpusatkan pada rakyat Peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja merupakan tuntutan dari perkembangan pembangunan yang semakin cepat dan kompleks. Perkembangan ekonomi, industrialisasi, arus informasi, dan perkembangan iptek yang pesat semakin menuntut sumber daya manusia yang tinggi kualitasnya. Berhasilnya pembangunan nasional bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi tuntutan yang sangat mendesak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tuntutan ini semakin mencapai puncaknyanya ketika terjadi pergeseran paradigma pembangunan dari production centered development yang menekankan pada dimensi pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan menuju paradigma people centered development yang menekankan pembangunan ekonomi sekaligus pembangunan sumber daya manusia. Pemahaman tentang paradigma pembangunan yang berpusatkan pada rakyat

Pentingnya peran rakyat dalam pembangunan menuntut administrasi publik agar lebih responsif terhadap kebutuhan publik. Hal tersebut berdampak pada paradigma administrasi publik, sehingga paradigma administrasi publik mengalami pergeseran dari paradigma Old Public Administration, New Public Management (NPM), New Public Service (NPS) hingga sampai pada paradigma Sound Governance. Sound Governance menjadi konsep baru bagi administrasi publik dalam menjalankan perannya dimana konsep ini melibatkan empat elemen

antara lain pemerintah, masyarakat, sektor swasta dan internasional. Domai (2009 :

8) menyebutkan sound governance memiliki sepuluh dimensi yang meliputi (1) proses, (2) struktur, (3) kognisi dan nilai, (4) konstitusi, (5) organisasi dan institusi, (6) manajemen dan kinerja, (7) kebijakan, (8) sektor, (9) kekuatan internasional atau globalisasi, dan (10) etika, akuntabilitas dan transparansi. Domai (2009:9) juga menyatakan pada dimensi kognisi dan nilai, sound governance melahirkan nilai sehat dan dinamis yang mendasari dimensi struktur dan prosesnya termasuk didalamnya nilai keadilan dan kesetaraan. Pentingnya nilai keadilan dan

tinggi dari administrasi publik. Upaya menjamin prinsip keadilan dan kesetaraan telah mendapat dukungan baik di tingkat global maupun di tingkat nasional. Di tingkat global, pada sidang Mejelis Umum PBB telah disetujui Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Ellimination of All Discrimination Against Women (CEDAW). Kemudian pada konferensi yang diselenggarakan oleh PBB di Beijing-China, dalam koneferensi tersebut diperoleh sasaran-sasaran strategis yang harus dicapai dari 12 area kritis yang sudah disepakati. Dalam 12 area kritis tersebut terdapat dua area yang berkaitan dengan bidang ketenagakerjaan yaitu pendidikan dan pelatihan bagi perempuan serta perempuan dan ekonomi.

Nurhaeni (2011:5) menyatakan bahwa persoalan-persoalan ketidakadilan gender ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Negara maju sekalipun, semisal Amerika, dilaporkan adanya praktek-praktek ketidakadilan gender. Haris (dalam Nurhaeni, 2011:5) menyatakan bahwa perempuan memperoleh lebih sedikit dana pensiun daripada laki-laki karena rendahnya tingkat keikutsertaan sebagai tenaga kerja dan kurangnya penghasilan seumur hidup mereka.

Pada tingkat nasional, pemerintah telah mengeluarkan berbagai macam regulasi yang mendukung tentang keadilan dan kesetaraan gender, dimulai dengan meratifikasi CEDAW melalui UU. No.7 tahun 1984. Pemerintah Indonesia juga menandatangani Optional Protocol to CEDAW pada tanggal 28 Februari 2000, kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun Pada tingkat nasional, pemerintah telah mengeluarkan berbagai macam regulasi yang mendukung tentang keadilan dan kesetaraan gender, dimulai dengan meratifikasi CEDAW melalui UU. No.7 tahun 1984. Pemerintah Indonesia juga menandatangani Optional Protocol to CEDAW pada tanggal 28 Februari 2000, kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun

5 tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014 pada buku 2 bab 1 menyebutkan bahwa arah kebijakan RPJMN 2010-2014 adalah pengurangan kesenjangan gender dengan upaya memperkuat upaya penerapan strategi pengarusutamaan gender termasuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam siklus perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah.

Di tingkat Provinsi Jawa Tengah, PUG merupakan salah satu strategi mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender yang dituangkan Perda Nomor 4 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2013 dimana salah satu isu strategis pada Perda tersebut adalah belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Pada RPJMD tersebut dinyatakan bahwa 30% SKPD harus melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG) (RPJMD Provinsi Jawa Tengah 2008-2013). Dalam upaya percepatan pencapaian keadilan dan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan, Gubernur mengeluarkan Surat Edaran tentang uji coba penerapan Anggaran Responsif Gender pada 15 SKPD, salah satunya adalah Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan.

Meskipun telah ada berbagai kebijakan pemerintah yang responsif gender, pada kenyataannya kesenjangan gender masih banyak dijumpai, hal ini dapat diukur dari Gender Development Index (GDI). GDI merupakan pengukuran kesetaraan gender di tingkat makro yang dilihat dari tiga dimensi antara lain lamanya hidup, tingkat pendidikan dan standar hidup yang layak. Nilai GDI Meskipun telah ada berbagai kebijakan pemerintah yang responsif gender, pada kenyataannya kesenjangan gender masih banyak dijumpai, hal ini dapat diukur dari Gender Development Index (GDI). GDI merupakan pengukuran kesetaraan gender di tingkat makro yang dilihat dari tiga dimensi antara lain lamanya hidup, tingkat pendidikan dan standar hidup yang layak. Nilai GDI

Isu kesenjangan gender yang terjadi di Indonesia juga terjadi di Kota Surakarta. Berdasarkan data GDI dan HDI memperlihatkan bahwa kesenjangan gender masih terjadi. GDI Kota Surakarta pada tahun 2009 adalah 75,20 sedangkan nilai HDI 77,49. Lebih rendahnya nilai GDI dibanding HDI menunjukkan bahwa kesenjangan gender masih terjadi. Variabel yang ikut berpengaruh dalam kesenjangan gender adalah variabel ekonomi, yaitu sumbangan perempuan dalam pendapatan kerja. Kemudian data IDG provinsi Jawa Tengah tahun 2009 menunjukkan bahwa sumbangan perempuan dalam pendapatan kerja sebesar 42,33%. Meskipun kondisi ini lebih baik dibandingkan kondisi rata-rata provinsi Jawa Tengah (35,34%) namun sumbangan pendapatan kerja perempuan lebih rendah dibanding laki-laki (42,33% : 57,67%). Oleh karena itu pembangunan perlu didesain agar memberi kemanfataan yang sama bagi laki- laki dan perempuan secara adil dan setara. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam meningkatkan sumbangan ekonominya dalah kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi pencari kerja.

Pendidikan dan pelatihan bagi pencari kerja merupakan salah satu strategi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, hal ini menjadi menjadi penting karena adanya tuntutan kompetensi tenaga kerja yang standard dan berdaya saing tinggi sebagai dampak globalisasi pasar kerja.. Berikut adalah

Transmigrasi Kota Surakarta tahun 2011 (Tabel-1.1)

Tabel-1.1 Jumlah Pencari Kerja Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

di Kota Surakarta Tahun 2011

No Jenjang Pendidikan

Sumber : Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta

Berdasarkan data di atas, jumlah pencari kerja di dominasi oleh tamatan SLTA dengan jumlah laki-laki lebih besar dibanding perempuan, namun pada jenjang pendidikan S1 dan S2 jumlah pencari kerja perempuan lebih besar dibanding laki-laki. Pertanyaannya adalah dibidang ketenagakerjaan diskriminasi gender masih banyak dijumpai. Hasil studi Nurhaeni (2012) tentang reformasi kebijakan sumber daya manusia adil gender menunjukkan adanya ketidakadilan gender salah satunya didalam sumber daya manusia baik secara struktural maupun secara horizontal . Secara struktural dilihat dari semakin tinggi posisi penting dalam pemerintahan representasi perempuan semakin kecil. Sedangkan secara horizontal dapat dilihat dengan adanya gender stereotipe dalam penempatan

pegawai. Pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik laki-laki maupun perempuan. Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana pegawai. Pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik laki-laki maupun perempuan. Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana responsivitas gender pada Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja dan Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja di Kota Surakarta?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesenjangan gender pada Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja ?

3. Bagaimana formulasi tujuan dan rencana aksi responsif gender Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja ?

C. TUJUAN

1. Mengetahui responsivitas gender pada Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Trasmigrasi di Kota Surakarta.

2. Mengetahui responsivitas gender pada Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas

Surakarta.

3. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah atau pembuat kebijakan dan perencana program dalam pembuatan perencanaan Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja yang responsif gender.

D. MANFAAT

1. Sebagai informasi bagi para perencana program dan pembuat kebijakan bidang ketenagakerjaan tentang responsivitas pada Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta.

2. Sebagai informasi tentang responsivitas gender pada Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja Program Peningkatan Kualitas Dan Produktivitas Tenaga Kerja di Kota Surakarta.

3. Sebagai bahan masukan bagi perencana program dalam penyusunan perencanaan Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja untuk melakukan Pengarusutamaan Gender bidang ketenagakerjaan.

LANDASAN TEORI

A. PEMBANGUNAN KETENAGAKERJAAN

Pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 2003:4). Wrihatnolo dan Riant (2002:43) mendefinisikan pembangunan sebagai proses natural mewujudkan cita-cita bernegara yaitu terwujudnya masyarakat makmur, sejahtera secara adil dan merata. Dengan demikian, pembangunan dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang berlangsung secara berkelanjutan dan terdiri dari tahap-tahap yang disatu pihak bersifat independen dan dipihak lain merupakan bagian dari sesuatu yang bersifat tanpa akhir (never ending) demi mewujudkan masyarakat yang makmur, sejahtera secara adil dan merata.

Upaya mewujudkan masyarakat yang makmur, sejahtera secara adil dan merata belum dapat terwujud apabila asumsi-asumsi pembangunan yaitu kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh (full employment), setiap orang memiliki kemampuan yang sama (equal productivity), dan masing- masing pelaku bertindak rasional (effiiceient) belum terpenuhi (Wrihatnolo dan Riant, 2002:43).

Pentingnya manusia sebagai komponen utama didalam keberhasilan proses pembangunan melahirkan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan, dari paradigma production centered development yang menekankan pada dimensi pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan menuju paradigma human Pentingnya manusia sebagai komponen utama didalam keberhasilan proses pembangunan melahirkan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan, dari paradigma production centered development yang menekankan pada dimensi pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan menuju paradigma human

“Di dalam konteks kecenderungan globalisasi yang makin meningkat, dimana globalisasi sumber (global sourcing) yang akan menjadi tumpuan “one world development” akan makin manifest, kearifan pembangunan nasional yang mendasarkan diri pada human centered development itu menjadi semakin relevan, agar negara dan bangsa ini dapat memainkan peranan sebagai subyek yang mandiri dalam interaksi global.”

Pendapat tersebut membuktikan mengenai pentingnya sumber daya manusia dalam pembangunan. Dalam proses mencapai tujuan pembangunan, sumber daya manusia akan menjadi sumber dinamika dan motor penggerak pembangunan. Kondisi semacam itu menempatkan logika human centered development pada posisi sentral pembangunan.

Melihat situasi normatif dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 sudah jelas bahwa bangsa Indonesia akan memasuki era tinggal landas. Tjokrowinoto (2001:76) menjelaskan bahwa era tinggal landas merupakan proses transformasi jangka panjang dan berkesinambungan yang menyangkut semua bidang pembangunan. Dengan kata lain, era tinggal landas menyangkut proses tranformasi yang bersifat multidimensional. Berkaitan dengan hal tersebut maka faktor tenaga kerja menjadi salah satu faktor penting dalam upaya mencapai Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan sesuai dengan amanat RPJMN 2010-2014.

partisipasi rakyat akan semakin meluas. Jumlah sumber daya manusia yang besar memang menjadi nilai tambah bagi negara berkembang seperti Indonesia, namun disaat yang bersamaan pemerintah dihadapkan dengan penciptaan lapangan kerja. Disisi lain, peningkatan kualitas sumber daya manusia juga merupakan tantangan di bidang ketenagakerjaan dari tingkat lokal hingga tingkat global. Hal tersebut berkaitan dengan isu rendahnya kualitas tenaga kerja baik dilihat dari aspek pendidikan formal maupun ketrampilan pekerja. Meskipun secara nasional tingkat pendidikan angkatan kerja meningkat di setiap wilayah mengalami kenaikan namun mayoritas tenaga kerja tetap didominasi berpendidikan sekolah dasar. Effendi (1995 : 23) menyatakan bahwa :

“Sulitnya mendapat pekerjaan diduga berkaitan dengan ketrampilan dan pengalaman mereka yang baru menyelesaikan pendidikan sangat terbatas, sedangkan lembaga dan perusahaan menuntut ketrampilan tertentu. Meskipun masih sangat kasar dibutuhkan data pendukung, ada kecenderungan bahwa ketrampilan yang tidak sesuai dengan permintaan pasar kerja telah menyebabkan munculnya penggangguran terbuka terdidik. Hal ini dapat mengarahkan kita pada kesimpulan sementara bahwa perluasan pendidikan tidak selamanya meningkatkan produktivitas, karena sebagian angkatan kerja yang berpendidikan tidak termanfaatkan secara penuh (menganggur terbuka).”

Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh Effendi dapat dilihat bahwa saat ini dalam upaya meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja diperlukan upaya atau strategi-strategi yang dapat meningkatkan ketrampilan dan pengalaman bagi mereka yang baru saja menamatkan pendidikannya. Hal ini juga menjadi tugas bagi pemerintah untuk memenuhi partisipasi kerja penuh (full employment). Dalam mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah memerlukan Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh Effendi dapat dilihat bahwa saat ini dalam upaya meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja diperlukan upaya atau strategi-strategi yang dapat meningkatkan ketrampilan dan pengalaman bagi mereka yang baru saja menamatkan pendidikannya. Hal ini juga menjadi tugas bagi pemerintah untuk memenuhi partisipasi kerja penuh (full employment). Dalam mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah memerlukan

Upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja memang sulit dipenuhi terlebih lagi ketika menyangkut kualitas non fisik dari tenaga kerja, diperlukan suatu mekanisme dimana peran Administasi Negara sangat penting didalamnya. Tjokrowinoto (2001 : 79) menyatakan bahwa peranan administrasi negara dalam pembangunan kualitias non fisik dapat dilegalisir sebagai menciptakan milleniu yang memungkinkan berfungsinya reward and punishment system yang dapat membentuk jati diri yang berkualitas.

Saat ini diketahui bahwa pasar sering kali tidak mampu memanfaatkan tenaga kerja sehingga sulit berada pada kondisi full employment kemudian diketahui juga bahwa tingkat kemampuan dan produktivitas pelaku ekonomi sangat beragam. Dalam jangka panjang hal tersebut akan melahirkan berbagai masalah pembangunan, seperti kesenjangan, pengangguran, dan akhirnya kemiskinan. Oleh karena itu, intervensi pemerintah melalui kebijakan-kebijakan harus mampu mendorong terciptanya asumsi-asumsi tersebut.

Upaya mewujudkan tenaga kerja yang berkualitas maka akan sangat bergantung pada kesesuaian dan kontribusi antara program, organisasi dan penerima bantuan . Korten (1988 : 241) mengemukakan bahwa daya kerja dari suatu program pembangunan adalah fungsi kesesuaian antara mereka yang dibantu, program, dan organisasi yang membantu. Dengan istilah yang lebih khusus, program pembangunan akan gagal memajukan kesejahteraan suatu Upaya mewujudkan tenaga kerja yang berkualitas maka akan sangat bergantung pada kesesuaian dan kontribusi antara program, organisasi dan penerima bantuan . Korten (1988 : 241) mengemukakan bahwa daya kerja dari suatu program pembangunan adalah fungsi kesesuaian antara mereka yang dibantu, program, dan organisasi yang membantu. Dengan istilah yang lebih khusus, program pembangunan akan gagal memajukan kesejahteraan suatu

Gambar 2.1 Gambaran Skematis Mengenai Persyaratan Kelayakan

Sumber : Korten, 1988 : 242 Berdasarkan skema di atas maka keberhasilan program harus ada hubungan berhubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para pencari kerja sebagai hasil program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja. Kemudian persyaratan dalam program tersebut harus sesuai dengan kemampuan nyata dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta. Selain itu juga dibutuhkan sarana agar pencari kerja mampu mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka sehingga hal tersebut dapat berpengaruh pada saat proses pengambilan keputusan dari dinas terkait. Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan : Pertama, Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja diarahkan untuk mengurangi angka penganguran di Sumber : Korten, 1988 : 242 Berdasarkan skema di atas maka keberhasilan program harus ada hubungan berhubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para pencari kerja sebagai hasil program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja. Kemudian persyaratan dalam program tersebut harus sesuai dengan kemampuan nyata dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta. Selain itu juga dibutuhkan sarana agar pencari kerja mampu mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka sehingga hal tersebut dapat berpengaruh pada saat proses pengambilan keputusan dari dinas terkait. Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan : Pertama, Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja diarahkan untuk mengurangi angka penganguran di

Keadaan full employment juga dapat tercapai apabila terdapat adanya partisipasi dari pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan. Bintoro Tjokroamidjojo (1989:207-208) memberikan pendapat bahwa partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan program pembangunan. Cohen dan Uphoff (1977:8) menyatakan partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat penerima program pembangunan terdiri dari (a) Pengambilan keputusan; (b) Implementasi; (c) Pemanfaatan (Benefits); (d) Evaluasi Program Pembangunan.

Surbakti (1984) mengemukakan bahwa kegiatan yang dapat di golongkan sebagai partisipasi antara lain:

1. Ikut mengajukan usul ‐usul mengenai suatu kegiatan.

2. Ikut serta bermusyawarah di dalam mengambil keputusan tentang alternatif program yang di anggap paling baik.

3. Ikut serta melaksanakan apa yang telah diputuskan termasuk di sini memberi iuran atau sumbangan materiil.

4. Ikut serta mengawasi pelaksanaan keputusan.

diperlukan partisipasi aktif dari pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan mulai dari pengambilan keputusan, implementasi, pemanfaatan dan evaluasi program sehingga tujuan pembangunan dalam bidang ketenagakerjaan dapat tercapai.

B. PEMBANGUNAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan Milleniun Development Goals (MDGs) dalam pembangunan yang telah dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan 2010-2014, serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen anggarannya, mulai dari tahap perencanaan dan penganggaran sampai dengan tahap pelaksanaannya. Dalam upaya mencapai tujuan pembangunan yang merata dan berkeadilan maka perlu mengintegrasikan gender dalam perencanaan pembangunan nasional .

Tonggak sejarah integrasi gender dalam pembangunan dimulai dengan gerakan perempuan di dunia yaitu dari Konferensi Internasional tentang perempuan pada tahun 1975 dengan dicanangkannya Tahun Wanita Internasional di Mexico City, yang kemudian diikuti dengan Konferensi perempuan kedua di Kopenhagen (1980), lalu konferensi internasional Nairobi 1985 dan Konferensi Internasional di Beijing 1995. Konferensi Dunia PBB di Beijing tahun 1995 ini menghasilkan suatu dokumen yang bernama Platform for Action dan 12 Areas of Concern (Nugroho, 2008 : 55-56) yang menjadi kesepakatan yaitu:

a. Perempuan dan kemiskinan

b. Perempuan dan pendidikan serta pelatihan b. Perempuan dan pendidikan serta pelatihan

e. Perempuan dalam konflik bersenjata

f. Ketimpangan ekonomi

g. Perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan

h. HAM perempuan

i. Mekanisme Institusional j. Perempuan dalam media k. Perempuan dan lingkungan hidup l. Hak anak perempuan.

Dari hasil konferensi Beijing merefleksikan bahwa secara global perempuan pada dasarnya mempunyai peranan penting dalam pembangunan, namun pada kenyataannya perempuan selalu mengalami ketidakadilan gender termasuk dalam bidang ketenagakerjaan.

Pada tingkat nasional, kebijakan yang telah ditempuh dalam upaya untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender dimulai sejak disetujuinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Discrimination Against Women (CEDAW) pada sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 18 Desember 1979. Dalam konvensi itu, negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk dan sepakat untuk menjalankan dengan segala cara tanpa ditunda- tunda. Kemudian pemerintah Indonesia melakukan tindak lanjut dengan meratifikasi CEDAW melalui UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Pemerintah Indonesia juga menandatangani Optional Protocol to CEDAW pada tanggal 28 Februari 2000.

Darwin (2005 :85) menjelaskan UU No.7 Tahun 1984 merupakan salah satu kebijakan yang diharapkan mampu mengubah tatanan politik nasional dengan

akhirnya pelaksanaan Undang-undang tersebut sangat lemah karena terbentur pada nilai yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut dikemukakan Darwin karena penjelasan UU tersebut menyebut bahwa pelaksanaan konvensi “... disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia .” Lebih lanjut Darwin (2005 :85-86) menyatakan bahwa UU tersebut bersifat inferior terhadap norma sosial yang berlaku sehingga bersaing dengan tujuan konvensi.

Pada tahun 2000 diterbitkan Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non-departemen di pemerintahan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional demi terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender. Namun, banyak diantara pengamat hukum dan aktivis LSM pemerhati perempuan yang berpendapat bahwa status hukum inpres terhadap strategi pengarusutamaan gender pada dasarnya kurang strategis. Darwin (2005:83) menegaskan bahwa :

“Adanya Inpres No.9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender yang memiliki status hukum lebih rendah berakar pada sebuah kondisi obyektif.

Ketimpangan gender belum dipertimbangkan sebagai isu yang krusial dan strategis oleh sebagian aparat pemerintah maupun masyarakat luas yang

cenderung berperspektif patriarkis. Dengan adanya kondisi obyektif ini, maka wajar apabila strategi pengarusutamaan gender pun kurang dianggap sebagai sebuah kebutuhan kebijakan publik yang cukup mendasar”

Dari pernyataan diatas maka dapat dilihat bahwa eksistensi strategi pengarustamaan gender semata-mata dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang sifatnya darurat dan sementara. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi komitmen dari stakeholder untuk menerapkan kebijakan publik yang berperspektif gender secara konsisten di lapangan. Untuk memperkuat Inpres No.9 tahun 2000 maka dikeluarkan Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) di daerah yang kemudian diperbaiki melalui Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan Permendagri Nomor 15 tahun 2008. Pada Permendagri tersebut dinyatakan secara eksplisit bahwa daerah harus menyusun perencanaan dan penganggaran responsif gender berbagai bidang pembangunan. Upaya pemerintah dalam pengurangan kesenjangan gender hingga saat ini juga tertuang dalam Peraturan Presiden RI No.

5 tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014. Nurhaeni dan Setiasih (Editor, 2011:1) menyatakan bahwa pembangunan pemberdayaan perempuan telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia secara terencana dan berkelanjutan sejak terbentuknya Menteri Muda Urusan Peranan Wanita hingga sekarang. Paradigma pembangunan pemberdayaan perempuan-pun telah bergeser dari pendekatan Women in Development, Gender and Development hingga Gender Mainstreaming. Meski tujuan akhir dari masing-masing pendekatan adalah sama yaitu mengupayakan keberdayaan perempuan dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, namun asumsi dasar dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan berbeda. Hal yang senada juga 5 tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014. Nurhaeni dan Setiasih (Editor, 2011:1) menyatakan bahwa pembangunan pemberdayaan perempuan telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia secara terencana dan berkelanjutan sejak terbentuknya Menteri Muda Urusan Peranan Wanita hingga sekarang. Paradigma pembangunan pemberdayaan perempuan-pun telah bergeser dari pendekatan Women in Development, Gender and Development hingga Gender Mainstreaming. Meski tujuan akhir dari masing-masing pendekatan adalah sama yaitu mengupayakan keberdayaan perempuan dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, namun asumsi dasar dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan berbeda. Hal yang senada juga

1. Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development-WID)

2. Gender dan Pembangunan (Gender and Development-GAD)

3. Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming- GM)

Berikut ini adalah penjelasan mengenai tiga model strategi untuk mengatasi ketimpangan gender .

1. Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development-WID)

Gerakan yang dominan pada akhir dekade 1960-an dan sepanjang dekade 1970-an ini menawarkan strategi pembangunan yang meletakkan perempuan sebagai aset dan sasaran, bukan beban pembangunan. Pendekatan yang sebagian besar ide, konsep dan solusinya pada paradigma modernisasi ini memberikan perhatian pada peran produktif perempuan dalam pembangunan.

Nugroho (2008 : 138) mengatakan bahwa tujuan WID adalah menekankan sisi produktivitas tenaga kerja perempuan, khususnya berkaitan dengan pendapatan perempuan, tanpa peduli sisi reproduktifnya. Hal tersebut juga senada dengan ungkapan Mosse (2007 : 205) WID hanya menekankan pada peran produktif perempuan dalam bidang ekonomi, terutama kapasitas mereka untuk mendapatkan penghasilan, tetapi melupakan peran reproduktif perempuan dan peran mereka dalam masyarakat. Namun pada akhirnya konsep WID gagal dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Nugroho (2008:139) menyebutkan banyak perempuan yang diikutsertakan dalam industri-industri padat karya, dengan dalih perempuan itu lebih teliti, lebih terampil dan lebih sabar. Sebagai Nugroho (2008 : 138) mengatakan bahwa tujuan WID adalah menekankan sisi produktivitas tenaga kerja perempuan, khususnya berkaitan dengan pendapatan perempuan, tanpa peduli sisi reproduktifnya. Hal tersebut juga senada dengan ungkapan Mosse (2007 : 205) WID hanya menekankan pada peran produktif perempuan dalam bidang ekonomi, terutama kapasitas mereka untuk mendapatkan penghasilan, tetapi melupakan peran reproduktif perempuan dan peran mereka dalam masyarakat. Namun pada akhirnya konsep WID gagal dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Nugroho (2008:139) menyebutkan banyak perempuan yang diikutsertakan dalam industri-industri padat karya, dengan dalih perempuan itu lebih teliti, lebih terampil dan lebih sabar. Sebagai

Model WID pada dasarnya berusaha untuk menghindari upaya emansipasi dan diragukan mampu memacu proses transformasi. Menurut Fakih, transformasi sosial yang dimaksud disini adalah semacam proses penciptaan hubungan yang secara fundamental merupakan suatu yang baru dan lebih baik (Fakih, 2003:65)

2. Gender dan Pembangunan (Gender And Development-GAD)

Menurut Darwin (2005:61) gerakan Gender dan Pembangunan (Gender and Development –GAD) merupakan respon dari kegagalan pelaksanaan strategi yang pertama, yaitu Women in Development. Jika Women in Development memfokuskan gerakannya pada perempuan sebagai realitas biologis maka gerakan Gender and Development memfokuskan gerakannya pada hubungan gender sebagai realitas sosial.

Dalam Jurnal Internasional Development in Practice, Volume 20, No. 1, February 2010 dalam artikel yang berjudul “How gendered is Gender and Development?” yang ditulis oleh Tripathy hal 114 menegaskan bahwa :

”Challenging the essential vulnerability of women, Gender and Development (GAD) proposed that stereotypes are not natural, but are based on gender ideologies and are socially constructed. ‘Gender as relational’ thus appeared to offer a nuanced approach to gender inequality and questioned a prior assumption of automatic male privilege.”

(GAD) mengusulkan stereotip tidak alami, tetapi didasarkan pada ideologi gender dan secara sosial dibangun. 'Gender sebagai relasi/penghubung' sehingga

pendekatan bernuansa ketidaksetaraan gender dan mempertanyakan asumsi hak istimewa laki- laki yang didapat secara otomatis.)

Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa GAD bahwa stereotype bukanlah hal yang bersifat kodrati melainkan terbentuk karena konstruksi sosial. Menurut Handayani (2002:42) dalam pendekatan ini posisi perempuan diletakkan dalam kontruksi sosial gender serta pemberian peran tertentu pada perempuan maupun laki-laki dimana dalam kerangka makro peran negara sangat berpengaruh terhadap penempatan posisi perempuan.

Gerakan yang populer tahun di dekade 1980-an ini didasarkan pada anggapan bahwa persoalan mendasar dalam pembangunan adalah adanya hubungan gender yang tidak adil. Situasi inilah yang menghalangi pemerataan dalam pembangunan dan partisipasi penuh dari perempuan. Dalam rangka itu, isu- isu gender harus dikedepankan dengan memerangi sumber-sumber ketidakadilan.

Mosse (2007:209) menyatakan bahwa GAD satu-satunya pendekatan terhadap perempuan dalam pembangunan yang melihat semua aspek kehidupan perempuan dan semua kerja yang dilakukan perempuan (kerja produktif, reproduktif, privat dan publik) dan menolak upaya apapun untuk menilai rendah pekerjaan mempertahankan keluarga dan rumah tangga.

Dalam Jurnal Internasional Development in Practice, Volume 20, No. 1, February 2010 dalam artikel yang berjudul “How gendered is Gender and Development?” yang ditulis oleh Tripathy, hal 116 juga menjelaskan : Dalam Jurnal Internasional Development in Practice, Volume 20, No. 1, February 2010 dalam artikel yang berjudul “How gendered is Gender and Development?” yang ditulis oleh Tripathy, hal 116 juga menjelaskan :

(Pendekatan GAD yang dimaksudkan untuk mengubah kehidupan perempuan dengan isu-isu ketidaksetaraan sistemik, gagal bergulat dengan keadaan dan meniru narasi korban yang sama dari perempuan Dunia Ketiga yang dianggap terlalu lemah untuk menentang budaya mereka sendiri. Meskipun GAD berusaha untuk mengubah kehidupan perempuan, ia memiliki kecenderungan untuk menyemaratakan/ menghomogenisasi perempuan Dunia Ketiga, yang dipandang kurang maju dan beradab dibanding 'saudara' mereka di Barat.)