Apakah “Innama” Menunjukkan Pembatasan?
3. Apakah “Innama” Menunjukkan Pembatasan?
1 . Tafsir Ibnu Katsir, jil. 2, hal. 74. 2 . Tafsir Thabari, jil. 6, hal. 186, cet. Dar Al- Ma’rifah, Beirut.
A YAT W ILAYAH (K EPEMIMPINAN )
Fakhru Razi mengatakan bahwa kata “innamâ” pada ayat Wilayah bukan untuk pembatasan. Untuk itu, ia membawakan argumentasi dari firman Allah swt.:
1 .... ِءامهسلا َنِم ُهانْلَزْ نَأ ءامَك ا يْنُّدلا ِةايَْلْا ُلَثَم اهنَِّإ Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu, adalah
seperti air ( hujan ) yang Kami turunkan dari langit .…
Jelas, perumpamaan kehidupan dunia tidak terbatas pada yang satu kasus ini saja. Tentu masih banyak contoh-contoh selain itu. Oleh karenanya, “innama” dalam ayat ini tidak menunjukkan pembatasan (hashr).
Jawab: Pertama, kata “innama” dalam ayat yang dijadikan sebagai argumentasi oleh Fakhru Razi juga terdapat pembatasan. Hanya saja, pembatasan ada dua macam: pembatasan hakiki (hashr hakiki) dan pembatasan relatif (hasr idhofi). Pada pembatasan hakiki, penilaian lawan bicara akan tertolak. Misalnya, jika seseorang berkata, “Zaid berdiri”, maka orang kedua bisa saja mengatakan kepadanya bahwa, “Innama qâim Am r”, yakni orang yang berdiri itu hanyalah Amr; bukan Zaid. Maksud orang kedua dari perkataannya ini tidak berarti bahwa orang yang berdiri di dunia ini terbatas pada Amr saja, tetapi ia ingin mengubah anggapan orang pertama itu; dimana dia telah menganggap bahwa orang yang berdiri adalah Zaid, lalu orang kedua berkata tegas kepadanya bahwa yang berdiri hanyalah Amr.
1 . QS. Yunus [10]: 24.
154 T AFSIR I MAMAH D AN K EMAKSUMAN
Ayat yang diajukan oleh Fakhru Razi juga mengingatkan sisi penegasan di atas tadi; bahwa kehidupan dunia ini semestinya hanya diumpamakan dengan air yang turun dari langit, sehingga tumbuhlah tumbuh-tumbuhan, dan akhirnya tumbuh-tumbuhan ini menjadi layu dan kering. Hal ini de- mikian karena memang perumpamaan ini mengungkapkan kefanaan dan terputusnya kehidupan dunia. Perumpamaan dikemukakan tidak untuk mengungkapkan kelanggengan dan keabadian kehidupan dunia.
Kedua, meskipun kata “innama” dalam peletakan kebahasaan adalah untuk pembatasan makna kalimat, tetapi secara metaforis juga bisa digunakan untuk selain pemba- tasan, tentu dengan adanya arahan (qarinah) literal ataukah kontekstual. Sementara, dalam ayat yang dipakai oleh Fakhru Razi sebagai kritik —tentunya setelah diasumsikan bahwa kata “innama” digunakan untuk selain pembatasan—kata ini dengan adanya arahan telah digunakan untuk selain pemba- tasan. Namun, kesimpulan ini tidak cukup dijadikan dasar untuk memastikan bahwa tanpa suatu arahan pun kata “innama” juga bisa digunakannya untuk selain pembatasan. Oleh karena itu, arti harfiah dan makna hakiki dari kata “innama” dalam ayat Wilayah adalah pembatasan.
4. Apakah Penerapan “Alladzîna Âmanû” pada Ali bin Abi Thalib as. adalah Metaforis? Jika maksud dari kata jamak “allidzîna âmanû” (orang-orang yang beriman) adalah Ali bin Abi Thalib, maka kata jamak telah digunakan juga untuk person tunggal. Dan tentunya, penggunaan semacam ini adalah metaforis. Namun berdasar- kan kaidah, tanpa arahan (qarinah) yang jelas, penggunaan metaforis ini tidak bisa diterima.
A YAT W ILAYAH (K EPEMIMPINAN )
Jawab: Pertama, sebagaimana yang termaktub dalam hadis-hadis Syi‘ah Imamiyah, “allidzîna âmanû” tidak terbatas pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. saja. Akan tetapi, semua Imam Maksum juga tercakup di dalamnya. Berdasarkan hadis- hadis yang ada, seluruh Imam Maksum juga mencapai derajat ini, dimana mereka memberikan cincin kepada seorang
pengemis dalam keadaan rukuk. 1 Kedua, seandainya maksud dari “allidzîna âmanû” hanya
person Ali bin Abi Thalib as., dan maksud ini adalah metaforis, maka arahannya (qarinah) adalah hadis-hadis yang menyingkapkan asbab nuzul-nya ayat Wilayah, sebagaimana sebagian darinya telah dinukilkan.
5. Apakah Ali bin Abi Thalib Memiliki Cincin untuk Diinfakkan? Sebagaimana umum diketahui, Imam Ali bin Abi Thalib as. adalah orang miskin dan tidak memiliki cincin yang bernilai.
Jawab: Imam Ali bin Abi Thalib as tidak miskin. Sejarah dan hadis adalah bukti atas fakta ini. Ia dengan tangannya sendiri dan usahanya menggali sumur-sumur dan menanam pohon kurma. Ia tidak menumpuk harta untuk dirinya sendiri, tetapi menginfakkan hartanya di jalan Allah.
1 . Ushul Al-Kafi, jil. 1, hal. 143; jil. 7, hal. 146; jil. 16, hal. 228, hadis 3, cet. Al-Maktabah Al-Ilmiyah. Kamal Al-Din, jil. 1, hal. 274-279, cet. Dar Al-
Kutub Al-Islamiyah. Faraid Al-Simthain, jil. 1, hal. 312, hadis 250, cet. Muassasah Al- Mahmudi Lithaba’ah Wa An-Nasyr. Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 114-116.
156 T AFSIR I MAMAH D AN K EMAKSUMAN
6. Apakah ada Kecocokan antara Menginfakkan Cincin dengan Kehadiran Hati? Imam Ali bin Abi Thalib as. melakukan shalat dengan penuh kehadiran hati. Orang yang hatinya benar-benar hadir penuh dalam shalat tidak akan mendengar ucapan orang lain. Dengan penjelasan ini, bagaimana mungkin Imam Ali bisa mendengar ucapan dan permintaan pertolongan seorang pengemis lalu ia menginfakkan cincinnya kepada pengemis tersebut?
Jawab: Meskipun Imam Ali bin Abi Thalib as. secara alami tidak perhatian terhadap ucapan orang lain karena kehadiran hatinya yang khas dalam shalat, akan tetapi hal ini tidak menjadi kendala bila Allah Sang Pengubah hati mengubah perhatiannya sekejap saja tertuju kepada seorang pengemis ketika meminta kepadanya. Dan dengan sedekahnya yang bernilai ini turunlah ayat mengenai dirinya. Hadis-hadis yang menerangkan asbab nuzul-nya ayat ini —yang sebagiannya telah dikemukakan —telah menunjukkan bahwa Imam Ali as. perhatian kepada pengemis dan sedekah tersebut terlaksana dengan perantara tangannya sendiri.
7. Apakah Infak tidak Menyebabkan Kerusakan Bentuk Zhalat? Menginfakkan cincin akan menyebabkan gangguan dan kerusakan dalam keutuhan bentuk lahiriah shalat. Oleh karena itu, perbuatan demikian ini tidak mungkin muncul dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
Jawab:
A YAT W ILAYAH (K EPEMIMPINAN )
Yang menyebabkan rusaknya keutuhan bentuk shalat adalah perbuatan yang banyak. Perbuatan sedikit semacam ini tidak akan membuat bentuk shalat menjadi rusak. Fukaha Syi‘ah dan Ahli Sunnah sepakat bahwa perbuatan berinfak seperti yang dilakukan Imam Ali as. itu tidaklah menyebabkan batalnya shalat.
Abu Bakar Jashash dalam kitabnya Ahkâm Al- 1 Qur’an di bawah topik “Bab perbuatan sedikit dalam shalat”, mencan-
tumkan ayat Wilayah dan mengatakan bahwa jika yang dimaksud dalam ayat ini adalah bersedekah dalam keadaan rukuk, maka ayat menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan yang sedikit dalam shalat adalah mubah hukumnya. Dan banyak hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. menge- nai bolehnya melakukan perbuatan-perbuatan yang sedikit, seperti hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi saw. melepas sepatunya ketika dalam kondisi shalat dan mengusap jenggotnya serta menunjuk ke suatu tempat dengan isyarat tangan beliau sendiri. Dengan demikian, ayat tersebut dengan jelas dan gamblang menunjukkan bolehnya sedekah dalam keadaan shalat.
Begitu pula Qurthubi dalam Jâmi’ Ahkâm Al-Qur’an mengatakan: Seakan-akan Thabari mengatakan bahwa pemberian sedekah cincin oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. ini menunjukkan bahwa perbuatan sedikit tidak membatalkan shalat, apalagi sedekah yang dilakukan dalam
keadaan shalat, juga tidak menyebabkan batalnya shalat.