Hutan tanaman rakyat analisis proses perumusan kebijakan dan rancang bangun model konseptual kebijakan

HUTAN TANAMAN RAKYAT :
ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN DAN
RANCANG BANGUN MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

TUTI HERAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Hutan
Tanaman Rakyat : Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang
Bangun Model Konseptual Kebijakan adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2011
Tuti Herawati
NIM E061060151

ABSTRACT
TUTI HERAWATI. Community Forest Estate: Policy Process Analysis and
Design of Policy Conceptual Model Under direction of NURHENI WIJAYANTO,
SAHARUDDIN, and ERIYATNO.
Community Forest Estate is a Ministry of Forestry policy launched at 2007. The
program was intended to increase productivity of logged over area through
development of plantation forest by community. The program is still on going and
until 2010 has poor performance in implementation, even though it was supported by
financial policy and many other facilities. This study was intended to find out some
constrain factors of Community Forest Estate policy implementation. It used a policy
process analysis and critical system thinking as practical research framework. The
result of the study is conceptual policy models for Sustainable Community Forest
Estate. The study revealed that the policy of CFE is centralistic and top down
approach. Therefore some misinterpretation appeared between local stakeholder

and policy maker in the implementation of CFE.
Using the technique of
Interpretative Structural Model critical constrains factors were identified such as
institutional constrain, financial constrain, and management constrain. Conceptual
policy model of sustainable CFE management was developed, that consist of
Management Model, Institutional Model and Funding Model. In order to overcome
coordination problem it is recommended to create a Working Group of CFE in District
Level. Meanwhile, to increase benefit for local people it is suggested that Village
Owned Enterprise might be established. In addition, the General Service Agency of
Plantation Forest Development should improve the revolving fund process.
Key words: sustainable development, model, Community forest estate, soft system
methodology

RINGKASAN
TUTI HERAWATI. Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Perumusan Kebijakan
dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan.
Dibimbing oleh
NURHENI WIJAYANTO, SAHARUDDIN, dan ERIYATNO
Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai dicanangkan tahun 2007
merupakan upaya Kementerian Kehutanan untuk membangun hutan tanaman di

areal hutan bekas tebangan (LOA=logged over area). Hingga tahun 2010 kegiatan
ini berjalan lambat. Berbagai permasalahan dalam implementasi program HTR
menyebabkan pencapaian hasil kegiatan jauh dari target yang ditetapkan.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis proses perumusan kebijakan
HTR, analisis respon dan implementasi program HTR, serta melakukan rancang
bangun model konseptual kebijakan untuk mendukung keberhasilan program HTR.
Landasan teori yang digunakan adalah perbandingan antara model linier dan model
non linier dalam proses perumusan kebijakan. Analisis proses perumusan kebijakan
HTR dilakukan untuk mendapatkan pemahaman tentang latar belakang
dirumuskannya kebijakan. Selanjutnya dilakukan kajian respon para pihak di daerah
dan implementasi HTR di 3 provinsi terpilih yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan,
dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Rancang bangun Model Konseptual
Kebijakan dilakukan melalui identifikasi masalah kunci dengan teknik Interpretative
Structural Modelling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perumusan kebijakan HTR bukan
merupakan model linier melainkan suatu proses incremental (bertahap) dengan
melakukan perubahan sedikit demi sedikit terhadap kebijakan yang sebelumnya
telah ada. Gagasan pembangunan HTR dilatarbelakangi oleh tingginya potensi
lahan kosong yang terdapat di kawasan hutan negara berupa spot kecil yang
tersebar. Di sisi lain sektor industri kayu tengah mengalami defisit pasokan bahan

baku. Dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan terdegradasi,
maka dipilih pemecahan masalah berupa pemberian hak akses kepada masyarakat
sekitar hutan. Kesempatan hak akses bagi masyarakat dilakukan melalui pemberian
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR).
Proses perumusan kebijakan HTR dilakukan pada lingkup internal
Kementerian Kehutanan dengan diskursus tunggal yaitu pemberian hak konsesi.
Proses penyusunan landasan hukum kebijakan dilaksanakan melalui revisi terhadap
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 menjadi Peraturan Pemerintah No.6
Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan.
Prinsip pembangunan kehutanan yang diterapkan dalam
kebijakan HTR adalah usaha hutan tanaman dengan pola serupa dengan HTI
(Hutan Tanaman Industri), tetapi dalam skala kecil.
Pengalaman di masa
sebelumnya memberikan pelajaran kepada birokrat Kementerian Kehutanan bahwa
pembangunan HTI menghadapi banyak hambatan dan permasalahan.
Oleh
karenanya HTR merupakan alternatif lain dalam rangka pembangunan hutan
tanaman.
Prinsip pemikiran para pengambil kebijakan HTR di tingkat pusat tidak sejalan

dengan persepsi dan pemahaman yang diterima oleh para pelaksana program di
lapangan. Pola fikir pemberdayaan masyarakat lebih mendominasi di kalangan
birokrat pemerintah daerah, sehingga pelaksanaan program HTR sangat tergantung
kepada adanya dukungan fasilitas anggaran, sarana, dan prasarana yang akan
disediakan oleh pemerintah pusat. Kebijakan HTR dipersepsikan oleh stakeholder
di daerah sebagai pola keproyekan sebagaimana pola pembangunan kehutanan
yang lainnya. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan tidak berjalan

sesuai harapan.
Selain karena terjadinya ketidaksepahaman di kalangan
pemerintah pusat dan daerah, faktor yang menjadi penyebab keterlambatan
impelementasi HTR juga karena keterbatasan kemampuan dan kapasitas petani
sasaran untuk menjalankan bisnis hutan tanaman.
Berdasarkan analisis sistem terhadap permasalahan kompleks yang dihadapi
dalam implementasi program HTR dapat diketahui bahwa faktor utama yang harus
ditangani dalam pelaksanaan program HTR adalah (1) sinkronisasi rencana
pembangunan antara pusat dan daerah serta antar sektor (2) hubungan antar
lembaga pengelola yang terlibat dalam HTR, serta (3) masalah ketersediaan modal
untuk membangun HTR. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan tersebut,
maka disusun model konseptual kebijakan HTR yang terdiri dari 3 bagian, yaitu :

(1) model pengelolaan/manajemen HTR, (2) model hubungan antar lembaga, dan
(3) model pendanaan HTR.
Model manajemen HTR merupakan upaya integrasi perencanaan
pembangunan jangka menengah, rencana tata ruang wilayah, rencana kerja
pemerintah baik pusat maupun daerah yang dillandasi asas komplementer. Model
hubungan antar lembaga adalah perwujudan sistem kelembagaan yang ditujukan
untuk mendukung implementasi kebijakan HTR. Dalam rangka merealisasikan
model konsepsi kebijakan tersebut diperlukan adanya pembentukan Kelompok Kerja
(Pokja) HTR di tingkat kabupaten dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sementara itu model pendanaan HTR ditujukan untuk menyediakan alternatif
pendanaan bagi pembangunan HTR.
Kelompok Kerja HTR di tingkat Kabupaten yang direkomendasikan dari model
merupakan lembaga antar muka yang menghimpun perwakilan dari berbagai
komponen stakeholder yaitu Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga
Swadaya Masyarakat, masyarakat petani HTR, serta komponen petugas
pendamping HTR. Fungsi Kelompok Kerja adalah untuk membangun koordinasi
antar komponen lembaga yang terlibat dalam rangka pembangunan bisnis hutan
tanaman rakyat. Dinas Kehutanan bertindak sebagai leading sector dalam
pembangunan HTR, mengingat basis HTR adalah pembangunan kawasan hutan
dan proses perizinan pemanfaatan hutan IUPHHK-HTR dilakukan di lingkup Dinas

Kehutanan Kabupaten.
Upaya lain yang dapat ditempuh untuk mendukung
keberhasilan pembangunan HTR adalah pendirian Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Desa.
BUMDes dibentuk sebagai pendorong pembangunan ekonomi pedesaan yang untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat desa menuju ke arah
kemandirian. Pengembangan BUMDes diharapkan merupakan upaya sinkronisasi
antara program pemerintah daerah dengan sektor kehutanan.
Kata kunci :

perumusan kebijakan, soft system methodology, Hutan Tanaman
Rakyat, implementasi, model konseptual

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,
atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

HUTAN TANAMAN RAKYAT :
ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN DAN
RANCANG BANGUN MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

TUTI HERAWATI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011


Penguji pada Ujian Tertutup

:

Dr. Tachrir Fathoni, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Haryadi Kartodihardjo, M.S.

Penguji pada Ujian Terbuka

:

Dr. Ir. Harry Santoso
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.

Judul Disertasi

:

Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Perumusan
Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual

Kebijakan

Nama

:

Tuti Herawati

NIM

:

E 061060151

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S.
Ketua


Prof. Dr. Ir. Eriyatno, M.S.A.E.
Anggota

Dr. Ir. Saharuddin, M.Si.
Anggota
Diketahui

Ketua Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S.

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 21 Januari 2011

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Alhamdulilahi robbil alamin, disertasi yang berjudul “Hutan Tanaman Rakyat:
Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual
Kebijakan” dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan disertasi bertujuan untuk mengkaji aspek proses perumusan kebijakan
Hutan Tanaman Rakyat, implementasi kebijakan di 3 Propinsi yaitu Riau, Kalimantan
Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakerta, serta Rancang Bangun Model
Konseptual Kebijakan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S.
sebagai ketua komisi pembimbing serta kepada Dr. Ir. Saharuddin, M.Si. dan
Prof. Dr. Ir. Eriyatno, M.S.A.E. sebagai anggota komisi, atas bimbingan dan
pengarahannya.

Ucapan

terima

kasih

juga

disampaikan

kepada

Prof. Dr. Imam Wahyudi, M.S selaku ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kementerian Kehutanan, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di
Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CIFOR
dan Fakultas Kehutanan IPB yang telah melibatkan penulis dalam proyek kerjasama
CIFOR-IPB untuk melakukan kajian kebijakan HTR di Propinsi Kalimantan Selatan
dan Riau, Ucapan terimakasih juga diucapkan kepada instansi-instansi yang telah
memberikan dukungan data dan informasi bagi penyusunan disertasi ini, terutama
kepada Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kalsel, DIY, Dinas Kehutanan Kabupaten
Gunung Kidul, Kementerian Kehutanan, dan seluruh pakar yang telah berpartisipasi
dalam proses penelitian dan penyusunan disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, atas masukan, saran, dan berbagai bentuk bantuan
yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti program studi Doktor hingga
selesainya penulisan disertasi ini.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2011
Tuti Herawati

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 15 Desember 1973,
merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Hadi Suwarno (alm) dan
Wartini (almh).

Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 pada Fakultas

Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1997.

Pada tahun yang sama

penulis mendapatkan beasiswa program unggulan DIKTI URGE Batch IV untuk
melanjutkan studi di sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Kehutanan.
Mulai tahun 1998 penulis bekerja sebagai pegawai Negeri Sipil di Kementerian
Kehutanan, ditempatkan sebagai staf pada Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan
dan Perhutanan Sosial (RLPS) di Jakarta. Tahun 2004 penulis mendapat SK alih
tugas menjadi fungsional peneliti pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, dan
tahun 2006 mendapatkan Tugas Belajar untuk menempuh pendidikan S3 pada
program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB.
Selama mengikuti program S3, penulis aktif melakukan kegiatan penelitian di
bidang analisis kebijakan dan kelembagaan dengan obyek kajian perhutanan sosial
baik yang dilakukan pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Ditjen RLPS,
Balai Penelitian Kehutanan Ciamis,

maupun dalam kegiatan kerjasama dengan

perusahaan HTI, dan penelitian bersama team CIFOR (Centre for International
Forestry Research).
Sejak tahun 2004 penulis telah menyusun beberapa publikasi ilmiah terkait
Kebijakan dan Implementasi Program Perhutanan Sosial, dan dimuat dalam jurnal
Litbang Kehutanan, prosiding seminar, dan beberapa publikasi semi populer lingkup
Kehutanan. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan menyajikan paper mengenai
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat pada acara Konferensi Internasional
Negara-negara Berhutan Tropis, yang diselenggarakan di Kandy, Sri Lanka. Karya
Ilmiah berjudul ”Species Determination of HTR using Expert System” telah
dipresentasikan dalam Seminar Internasional Hutan Tanaman yang diselenggarakan
di Bogor, pada bulan November 2009. Karya tulis ilmiah lain berjudul ”Persepsi
Stakeholder terhadap Kebijakan HTR” diterbitkan pada Jurnal Analisis Kebijakan
Puslit Perubahan Iklim dan Kebijakan Vol.7 No.1 Desember 2010.

Karya tulis

berjudul ”Local People on the State Forest Land: Case Study in Gunung Kidul
District” dipresentasikan pada Kongres IUFRO (International Union of Forestry
Research Organization) yang diselenggarakan tanggal 19-26 Agustus 2010 di Seoul,
Korea Selatan. Karya-Karya Ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi yang
penulis susun.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL …………………………………………………………………

Halaman
iii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………

iv

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………….

v

I.

II.

III.

PENDAHULUAN …………………………………………………….

1

1.1

Latar Belakang …………………………………………………...

1

1.2

Perumusan Masalah ………………………………………….....

5

1.3

Tujuan Penelitian ………………………………………………...

9

1.4

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ………………………

9

1.5

Manfaat Penelitian …………………………………………………

10

1.6

Kebaruan …………………………………………………………..

10

TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….........

11

2.1

Definisi Hutan Tanaman Rakyat ………………………………….

11

2.2

Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ...........................................

12

2.3

Peraturan Perundangan Bidang Hutan Tanaman Rakyat..........

15

2.4

Pembangunan Berkelanjutan ....................................................

21

2.5

Kebijakan Publik ........................................................................

25

2.6

Analisis Kebijakan dan Riset Kebijakan ....................................

26

2.7

Analisis Proses Kebijakan .........................................................

28

2.8

Teori Sistem dalam Riset Kebijakan ..........................................

31

2.9

Permodelan Interpretasi Struktural ……………………………….

37

2.10

Validasi Model ...........................................................................

42

2.11

Disertasi yang Relevan ………………………………………….

44

METODE PENELITIAN ......................................................................

49

3.1

Kerangka Pendekatan Penelitian ………………………………

49

3.2

Lokasi Penelitian ………………..…………….……………………

54

3.3

Tahapan Kegiatan dan Waktu Penelitian …..……………………

54

3.4

Teknik Pengumpulan Data ........................................................

56

3.5

Analisis Data .............................................................................

60

3.6

Verifikasi dan Validasi...............................................................

65

ix

IV.

ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR ......................

67

4.1

Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan ……………………….

67

4.2

Proses Perumusan Kebijakan HTR...........................................

86

4.3

Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan .................................

91

4.4

Model Perumusan Kebijakan HTR............................................

93

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN................................................................

99

5.1

Implementasi Kebijakan HTR ....................................................

99

5.2

Profil Sosial Ekonomi Masyarakat .............................................

109

5.3

Respon Pemangku Kepentingan terhadap kebijakan HTR .......

120

5.4

Respon Masyarakat terhadap kebijakan HTR ...........................

123

5.5

Hubungan Respon dan Implementasi Kebijakan ....................

131

MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN ……………………………

137

6.1

Strukturisasi Elemen………………………………………………..

137

6.2

Pengembangan Kebijakan ........................................................

156

6.3

Model Konseptual Kebijakan HTR Berkelanjutan.......................

159

6.4

Validasi Model dan Prospektif Dampak …………………………

171

6.5

Implikasi Kebijakan ………………………………………………...

174

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................

179

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

183

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

196

V.

VI.

x

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Alokasi lahan untuk HTR periode 2007 - 2010.....................................

13

2

Mekanisme Pencadangan Areal HTR ……………………………………

16

3

Tata cara permohonan IUPHHK HTR …………………………………..

18

4

Ketentuan mengenai sanksi bagi pemegang IUPHHK-HTR ................

20

5

Definisi kebijakan publik …………………………………………………..

24

6

Perbedaan analisis, monitoring, evaluasi dan penelitian kebijakan ......

27

7

Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM ..................

41

8

Peubah dan sumber data penelitian ......................................................

57

9

Jumlah informan penelitian ..................................................................

57

10

Proses konseptualisasi data wawancara ..............................................

61

11

Proses kategorisasi data wawancara ...................................................

61

12

Jumlah dan luas areal konsesi HPH dari tahun 1991 – 2009 ...............

74

13

Timeline kebijakan yang mempengaruhi perumusan kebijakan HTR ...

84

14

Intisari dari proses perumusan kebijakan HTR .....................................

90

15

Kebijakan HTR dalam konsep cetak biru pembangunan dan
perbandingannya dengan pembangunan berbasis inisiatif masyarakat
lokal .......................................................................................................
Data kegiatan HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Daerah
Istimewa Yogyakarta ............................................................................

96

16
17

100

Luas kawasan hutan produksi dan areal HTR di Provinsi Riau,
Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakarta ........................

101

18

Bentuk izin pemanfaatan hutan produksi di Kalimantan Selatan ..........

105

19

Pencadangan lokasi HTR di Provinsi Kalimantan Selatan ....................

106

20

Persepsi pemangku kepentingan terhadap minat dan kemampuan
Masyarakat …………………………………………………………………..

122

21

Analisis finansial beberapa jenis tanaman untuk kegiatan HTR ...

128

22

Analisis kondisi implementasi dan respon daerah ..............................

130

23

Elemen lembaga yang berpengaruh dalam pengelolaan HTR..............

137

24

Elemen kebutuhan terhadap program Pengelolaan HTR berkelanjutan

143

25

Kategorisasi sub elemen kebutuhan akan program HTR ......................

144

26

Elemen tujuan pengelolaan HTR ...................... ....................................

146

27

Elemen kendala utama pengelolaan HTR .............................................

148

28

Elemen kegiatan yang diperlukan .........................................................

152

29

Peubah kunci sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat ..................

158

xi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Mekanisme penetapan peta pencadangan areal HTR ….……………...

2

Tata cara permohonan IUPHHK HTR berdasarkan Permenhut

16

P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut P.5/Menhut-II/2008........................

17

3

Lokus dan ruang kebijakan (Nugroho 2008) .........................................

27

4

Model linier kebijakan dari Grindle&Thomas (1990) .............................

28

5

Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan
(Richardson & Pugh 1983) ………………………………………………..

34

6

Proses soft system methodology (Checkland 1999) ……………………

36

7

Tahap analisis kebijakan HTR dimodifikasi dari model Blaikie &
Soussan (2001) ....................................................................................

51

8

Kerangka penelitian ...............................................................................

53

9

Lokasi penelitian ....................................................................................

54

10

Tahapan penelitian ................................................................................

55

11

Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992) .............................................

64

12

Periode pemanfaatan hutan di Indonesia .............................................

68

13

Periode pengelolaan hutan produksi di Indonesia................................

73

14

Perbandingan produksi kayu dari HPH dan HTI di tahun 1997/1998
dengan tahun 2009 (sumber data: Santosa 2010) ...............................

74

15

Komposisi modal perusahaan HTI ......................................................

76

16

Periodisasi kebijakan social forestry dalam proses perjalanan
pemanfaatan dan pengelolaan hutan di Indonesia................................

79

17

Tonggak kebijakan terkait perumusan kebijakan HTR .........................

82

18

Persentase kawasan hutan di Propinsi Riau berdasarkan fungsinya ...

102

19

Persentase luas kawasan hutan di Propinsi Kalimantan Selatan
berdasarkan fungsinya ..........................................................................

20

105

Persentase kawasan hutan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
berdasarkan fungsinya ..........................................................................

107

21

Tanaman karet rakyat di Provinsi Riau ................................................

110

22

Tanaman sawit rakyat di Provinsi Riau .................................................

111

23

Serapan tenaga kerja sub sektor perkebunan di Provinsi Riau ……….

111

24

Hutan tanaman mahoni di lahan milik petani di Provinsi Kalsel ............

115

xii

25

Luas desa di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul .............

117

26

Peta Kecamatan Semanu .....................................................................

117

27

Hutan jati di lahan HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ........

119

28

Respon pemangku kepentingan terhadap kebijakan HTR ....................

121

29

Respon pemangku kepentingan di daerah terhadap mekanisme
perijinan HTR .........................................................................................

30

Struktur

sistem

elemen

lembaga

yang

berpengaruh

dalam

pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat ...................................................
31

122
137

Matriks driver power dan dependence sub elemen lembaga yang
terlibat dalam pengelolaan HTR ............................................................

141

32

Struktur sistem elemen kebutuhan terhadap program HTR..................

143

33

Matriks

driver

power-dependence

sub-elemen

pada

elemen

kebutuhan terhadap HTR.......................................................................

144

34

Struktur hirarki elemen tujuan ...............................................................

146

35

Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen tujuan ....

147

36

Struktur hirarki sistem elemen kendala utama ......................................

149

37

Matriks driver power-dependence sub-elemen kendala utama ………..

149

38

Struktur hirarki sistem elemen kegiatan yang diperlukan ......................

153

39

Matriks driver power-dependence sub-elemen pad elemen kegiatan
yang diperlukan .....................................................................................

154

40

Sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat berkelanjutan .................

157

41

Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007) ..............

158

42

Sistem pengelolan HTR berkelanjutan ........................................

160

43

Model manajemen HTR …………………………………………………….

161

44

Model lembaga pengelola HTR .............................................................

164

45

Model pendanaan HTR …………………………………………………….

167

46

Alokasi dana BLU Pusat P2H ................................................................

169

47

Proporsi target dan realisasi kegiatan pencadangan lokasi HTR ……...

172

48

Proporsi pencapaian izin usaha HTR terhadap luas total HTR .............

172

49

Target dan realisasi kegiatan HTR ………………………………………..

173

50

Proyeksi

pencapaian

pembangunan

HTR

setelah

penerapan

kebijakan ...............................................................................................

174

xiii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Proses Mekanisme Pencadangan Areal HTR .......................................

2

Proses Pengajuan Izin Usaha Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman

197

Rakyat....................................................................................................

198

3

Daftar Pertanyaan untuk Proses Perumusan Kebijakan HTR ...............

199

4

Perjalanan sejarah kebijakan pengelolaan hutan produksi ...................

201

5

Catatan Lapangan Hasil Wawancara ....................................................

204

6

Hasil ISM untuk elemen lembaga yang terlibat .....................................

206

7

Hasil ISM untuk elemen kebutuhan akan HTR berkelanjutan ...............

207

8

Hasil ISM untuk elemen tujuan .............................................................

208

9

Hasil ISM untuk elemen tujuan .............................................................

209

10

Hasil ISM untuk elemen kendala utama ...............................................

210

11

Peran dan keterlibatan stakeholder dalam sistem pengelolaan HTR …

211

xiv

I. PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Analisis kebijakan sering disamakan pengertiannya dengan penelitian

kebijakan atau kajian tentang suatu kebijakan. Beberapa ahli kebijakan tidak
membedakan antara analisis kebijakan dengan penelitian kebijakan, misalnya
Mayer & Greenwood (1980) dan Damin (1997).

Menurut para ahli tersebut

analisis kebijakan dan penelitian kebijakan dapat dipertukarkan untuk merujuk
pada hal yang sama. Sementara itu, Weimer dan Vining (1999) memisahkan
dengan jelas antara analisis kebijakan dengan penelitian kebijakan.
Definisi tentang analisis kebijakan banyak dikemukakan oleh para ahli
diantaranya Quade (1982), Dye (1995), dan Dunn (2004). Pengertian umum dari
analisis kebijakan adalah studi antar disiplin dengan penggunaan beragam teknik
untuk meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan agar
ditemukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan yang
dihadapi.

Tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pengambil

keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik (Quade 1976).
Nugroho (2008) dengan mengembangkan pemikiran Michael Hill dalam
The Policy Process (2005), menyatakan ada dua jenis analisis kebijakan, yaitu
analisis tentang kebijakan (studies of policies) dan analisis untuk merumuskan
suatu atau beberapa kebijakan (studies for policies).

Dengan demikian

pemahaman tentang analisis kebijakan tidak serta merta berkenaan dengan
analisis untuk merumuskan kebijakan saja namun juga analisis tentang
kebijakan.
Berdasarkan konsep tersebut, Nugroho (2008) selanjutnya menjelaskan
bahwa analisis kebijakan adalah kegiatan yang dilakukan sebelum perumusan
kebijakan, atau merupakan proses inisiasi perumusan kebijakan. Kegiatan ini
dapat menggunakan satu atau beberapa pendekatan metodologis, dan dapat
dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dengan produk berupa rekomendasi
kebijakan (policy recommendation). Sementara itu penelitian kebijakan dapat
dilakukan pada semua tahap proses kebijakan baik pada fase perumusan,
implementasi maupun tahap evaluasi kebijakan. Tujuan utama dari penelitian
kebijakan tidak untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan semata, melainkan
untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen) terhadap suatu
kebijakan.

2
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Eriyatno & Sofyar
(2007) bahwa hasil riset atau studi kebijakan bukanlah sekedar rekomendasi dan
pernyataan tentang dampak dari kebijakan. Hasil riset kebijakan yang efektif
adalah upaya konkrit untuk mencapai tujuan dari sistem yang sedang dikaji.
Oleh karena itu, hasil riset harus mampu mewujudkan harapan-harapan normatif
menjadi strategi tindakan yang diperlukan dalam kebijakan.
Permasalahan kehutanan saat ini berkembang semakin kompleks.
Tantangan untuk mewujudkan kelestarian hutan dan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tidak lagi cukup didekati dengan solusi yang bersifat
teknis kehutanan. Hal demikian merupakan tuntutan dari pergeseran peta
permasalahan kehutanan dari yang semula berorientasi kepada masalahmasalah teknis menuju masalah sosial serta kebijakan sektor kehutanan
(Puslitsosekhut 2005).
Peta permasalahan pembangunan kehutanan di Indonesia dapat dirunut
berdasarkan paradigma yang mendasari kebijakan pengelolaan hutan. Lyndayati
(2002) membagi periode kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia
menjadi dua bagian. Periode pertama, yaitu pada masa awal pembangunanpasca kemerdekaan hingga akhir tahun 1970-an, dengan paradigma State Based
Forest Management. Periode kedua dimulai sekitar tahun 1980-an hingga
sekarang dengan paradigma Community Based Forest Management (CBFM).
Pada periode State Based Forest Management hutan dilihat sebagai
sumber ekonomi negara yang identik dengan kayu,

serta pengelola hutan

adalah agen negara (BUMN & Perum) serta perusahaan HPH dan HPHHTI
sebagai perpanjangan tangan pemerintah.

Secara politik, hutan Indonesia

diusahakan dan dikelola atas dasar pemberian hak oleh pemerintah kepada
lembaga pemerintah dan lembaga swasta, mengingat negara telah menafsirkan
kekuasaan atas pengelolaan sumberdaya alam harus oleh negara bukan oleh
masyarakat (Awang 2003).
Setelah berjalan selama lebih dari dua dasawarsa, hasil evaluasi terhadap
kinerja pengelolaan hutan dengan izin konsesi HPH menunjukkan kinerja yang
kurang baik (Kartodihardjo 1998). Degradasi hutan di Indonesia dengan laju
yang sangat tinggi merupakan bukti nyata dari pengelolaan hutan yang tidak
lestari. Data dari Forest Watch Indonesia (2002) menunjukkan bahwa pada tahun
1950-an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, namun di
tahun 1989 luas hutan telah menurun menjadi 60%.

3
*

Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa pada periode 19851997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per
tahun. Periode 1997-2000 laju deforestrasi mengalami peningkatan yang cukup
signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali
pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Sementara itu, data
yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The
UN Food & Agriculture Organization (FAO), menunjukkan angka deforestasi
Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar/tahun.
Selain dampak deforestrasi dan degradasi sumber daya hutan di Indonesia,
kebijakan dengan paradigma State Based Forest Management juga merupakan
sebuah tindakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat (Anshari et al. 2005;
Lyndayati 2002). Keuntungan dari sumberdaya hutan sebagian besar dinikmati
oleh para pengusaha.

Masyarakat sekitar hutan terpinggirkan, padahal bagi

mereka hutan merupakan sumber penghidupan, penyedia bahan pangan, bahan
bangunan, kayu bakar, dan sumber penghasilan.

World Research Institute

dalam Lynch & Talbot (1995) melaporkan sekitar 60 juta orang atau sekitar 30%
dari total penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidupnya tergantung
pada sumberdaya hutan.
Perubahan

paradigma

State

Based

Forest

Management

menjadi

Community Based Forest Management (CBFM) dilatarbelakangi oleh kenyataan
bahwa pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam selama ini terbukti
gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan CBFM melalui
perhutanan sosial menjadi salah satu harapan penting dalam pengelolaan hutan
yang berorientasi bukan hanya kepentingan produksi dan pelestarian hutan tetapi
juga berpihak pada hak, martabat, dan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan berbasis CBFM di Indonesia telah dilaksanakan selama lebih
dari 20 tahun (Lyndayati 2002). Sebuah rentang waktu yang cukup untuk dapat
menelaah bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap kondisi hutan
Indonesia dan terhadap kesejahteraan masyarakat. Berbagai program kegiatan
telah dilakukan dengan beberapa nama atau istilah, misalnya tumpangsari,
Pengelolaan

*

Hutan

Bersama

Masyarakat

(PHBM),

hingga

Hutan

Perubahan nama Departemen Kehutanan menjadi Kementerian Kehutanan
berdasarkan Peraturan Presiden No.47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara. Nama Departemen Kehutanan dalam disertasi ini tetap
digunakan jika berkaitan dengan penyebutan produk peraturan perundangan atau
sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum Peraturan Presiden No.47/2009 ditetapkan.

4
Kemasyarakatan (HKM). Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasarnya bertujuan
untuk memberikan hak akses bagi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan
negara.
Bentuk kebijakan terbaru dari Kementerian yang mengatur hak akses
masyarakat untuk mengelola hutan negara adalah HTR (Hutan Tanaman
Rakyat). Kebijakan ini mulai digulirkan pada tahun 2007. HTR merupakan salah
satu program strategis Kementerian Kehutanan dalam upaya peningkatan
produksi kayu nasional yang saat ini mengalami kekurangan pasokan. Data dari
kegiatan sintesa kebutuhan kayu nasional menunjukkan bahwa permintaan kayu
saat ini sebesar 50-60 juta m3/tahun. Pemenuhan kayu secara lestari dari hutan
alam dan hutan tanaman yang saat ini ada baru mencapai 25-30 juta m3/tahun.
Hal ini menunjukkan adanya praktek pemanenan kayu yang dilakukan secara
tidak lestari sebesar 50% dari kebutuhan kayu nasional (CSREF 2005). Jika
kondisi ini terus dibiarkan maka kelestarian sumberdaya hutan semakin
terancam. Oleh karenanya perlu upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan
tersebut.

Kebijakan HTR dimaksudkan sebagai salah satu sumber alternatif

upaya untuk menjawab masalah kekurangan pasokan kayu tersebut.
Meskipun program HTR telah dilengkapi dengan kebijakan mengenai akses
lahan, akses pasar, dan akses permodalan, namun banyak pihak yang
meragukan pelaksanaan program ini (Noordwijk et al. 2007).

Dalam Is HTR a

new paradigm in community based tree planting in Indonesia? Noordwijk et al.
(2007) menyatakan bahwa kebijakan HTR pada dasarnya mirip dengan program
HTI-plasma

dan

program

HKM

menunjukkan hasil memuaskan.

(Hutan

Kemasyarakatan)

yang

belum

Permasalahan utama yang harus menjadi

perhatian dalam pelaksanaan program HTR adalah: masalah tingginya alokasi
anggaran pembangunan HTR, masalah akuntabilitas, dan tingginya potensi
konflik lahan.
Terkait masalah konflik lahan hasil kajian Contreras-Hermosilla et al. (2006)
menunjukkan bahwa 52% kawasan hutan, yang secara konstitusi dinyatakan
sebagai milik negara, pada kenyataannya merupakan hutan yang telah dikelola
oleh masyarakat secara turun temurun dan telah mereka anggap sebagai hutan
hak milik masyarakat atau hak milik adat. Lebih lanjut diungkapkan bahwa baru
10% kawasan hutan negara yang telah selesai ditentukan tata batasnya. Oleh
karenanya program HTR diperkirakan akan mendapatkan banyak hambatan
dalam pelaksanaannya.

5
Setelah digulirkan selama hampir tiga tahun, pencapaian program
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat masih rendah. Pada awal pencanangan
program, Kementerian Kehutanan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Usaha
Kehutanan* menetapkan target pembangunan 5.400.000 ha Hutan Tanaman
Rakyat (Dephut 2007; Emila & Suwito 2007).

Akan tetapi data Direktorat

Jenderal Bina Usaha Kehutanan pada akhir tahun 2010 menunjukkan bahwa Ijin
Usaha HTR baru diterbitkan di 21 kabupaten, dengan total luas 87.299,89 ha
atau 1,62% dari target yang ditetapkan.

Beberapa kabupaten yang telah

menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTR antara
lain : Aceh Utara I, Mandailing Natal-Sumatera Utara, Sarolangun-Jambi, Ogan
Komering Ilir-Sumatera Selatan, Kaur-Bengkulu, Tebo-Jambi, Kotawaringin
Barat-Kalimantan Tengah, Gunungkidul-Daerah Istimewa Yogyakarta, Konawe
Selatan dan Kolaka-Sulawesi Utara, Halmahera Selatan-Maluku Utara, dan
Nabire-Papua.
Mengingat program HTR relatif baru, maka data dan informasi hasil
penelitian HTR masih sangat terbatas.

Beberapa hasil kajian yang terkait

dengan kebijakan HTR adalah aspek dan prinsip-prinsip dasar kebijakan HTR
(Emila & Suwito 2007), efektifitas dan strategi Kebijakan HTR (Nugroho 2009),
paradigma kebijakan HTR (Noordwijk et al. 2007), kajian penetapan harga dasar
kayu rakyat untuk mendukung program HTR (Irawati et al. 2008) dan strategi
pengelolaan HTR di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi (Masyithah 2009).
Oleh karena itu penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi ketersediaan data
dan informasi terkait kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.

1.2

Perumusan Masalah
Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mendapat dukungan kuat dari para

pengambil kebijakan di tingkat pusat.

Menteri Kehutanan dalam beberapa



kesempatan menegaskan bahwa program HTR harus berhasil, sehingga segala
faktor yang bisa menghambat keberhasilannya harus dapat diatasi. Salah satu
masalah yang diprediksikan dapat menghambat program HTR adalah aspek
*

Nama Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan menggantikan nama Direktorat
Jenderal Bina Produksi Kehutanan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 130/M
Tahun 2010 tanggal 16 September 2010. Penyebutan Dirjen BPK digunakan jika
berkaitan dengan produk perundangan atau sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum
Kepres ditetapkan.

Dua diantaranya dinyatakan dalam Sambutan Menteri Kehutanan pada dialog Dephut
dan CIFOR 7 April 2009 dan Sambutan Menteri Kehutanan pada Dialog dan Lokakarya
Pembangunan HTR, Bogor, 26-27 Mei 2009.

6
ketersediaan modal. Untuk itu, Kementerian Kehutanan telah membentuk Badan
Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) yang
bertugas antara lain untuk menyalurkan pinjaman modal bagi para petani
pemegang izin usaha HTR.
Di satu sisi kebijakan HTR mendapat dukungan kuat di tingkat nasional,
namun dalam implementasi di lapangan berjalan lambat. Kondisi kontradiksi ini
menarik untuk diteliti. Pertanyaan umum yang muncul dari kondisi seperti ini
adalah mengapa sebuah program yang mendapat dukungan kuat di tingkat
nasional, namun pada tahap implementasi berjalan lambat.
Patton dan Savicky (1993) sebagimana dikutip dalam Nugroho (2008)
menyatakan kesalahan yang sering terjadi dalam memandang implementasi
kebijakan adalah bahwa proses implementasi merupakan masalah manajemen
semata. Oleh karena itu Patton dan Savicky sangat menekankan bahwa
implementasi merupakan bagian dari proses kebijakan.

Lebih lanjut dinyatakan

bahwa sebuah kebijakan yang didukung oleh otoritas tertinggi sekalipun belum
tentu efektif karena bisa jadi birokrasi pelaksana di tingkat bawah (street level
bereucrats) tidak mampu ataupun tidak mau melaksanakannya karena kendala di
tingkat mereka.
Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Sutton (1999) yang
menyatakan adanya dikotomi antara proses perumusan kebijakan dengan
implementasinya.

Sutton mengungkapkan bahwa implementasi sebuah

kebijakan tidak bisa dilihat secara parsial pada aspek pelaksanaan saja,
melainkan harus dikaji secara menyeluruh mulai dari tahap awal perumusan
kebijakan.
Sutton (1999) dalam “The Policy Process: An Overview” dan IDS (2006)
dalam “Understanding Policy Processes” mengajukan bantahan terhadap model
linier kebijakan.

Model linier kebijakan merupakan model yang selama ini

menjadi arus utama atau banyak dianut dalam analisis kebijakan. Model linier
menekankan

bahwa

penyusunan

kebijakan

merupakan

sebuah

upaya

pemecahan masalah yang bersifat rasional, berimbang, obyektif dan analitik.
Model linier menunjukkan bahwa keputusan diambil sebagai hasil sebuah
rangkaian tindakan yang berurutan, dimulai dengan identifikasi masalah,
pemilihan alternatif solusi terbaik, dan diakhiri dengan penentuan tindakan untuk
menyelesaikan permasalahan.

7
Model linier menggunakan asumsi bahwa pembuat keputusan telah
menggunakan seluruh informasi yang diperlukan untuk menetapkan keputusan.
Oleh karena itu model linier disebut juga sebagai model rasional, artinya
pengambil keputusan menetapkan permasalahan secara rasional dan mengambil
pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan demikian
pilihan kebijakan yang ditetapkan merupakan solusi terbaik dari berbagai
alternatif solusi pemecahan masalah yang tersedia.
Inti dari kritik yang dikemukakan oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) adalah
bahwa asumsi-asumsi yang diperlukan untuk terpenuhinya model linier sulit
untuk dipenuhi. Model rasional atau model linier dipandang oleh Sutton (1999)
dan IDS (2006) sebagai: (1) sebuah proses murni dari kegiatan administrasi dan
birokrasi; (2) fase implementasi sepenuhnya merupakan masalah prosedur
teknik; (3) peran para ahli merupakan faktor penting dalam proses pemilihan
keputusan yang rasional; dan (4) kepakaran para ilmuwan dinilai bersifat objektif
dan independent (bebas nilai).

Model linier juga mengasumsikan adanya

pemisahan yang jelas antara fakta dengan nilai-nilai yang berpengaruh dalam
proses perumusan kebijakan. Pendapat Sutton dan IDS tersebut memperkuat
pernyataan Juma & Clark (1995) yang menyatakan bahwa jika kebijakan tidak
mencapai apa yang diharapkan maka kesalahan senantiasa dialamatkan pada
fase implementasi. Faktor penyebabnya bisa karena keterbatasan sumberdaya
atau karena kurangnya “political will” atau keengganan untuk melaksanakan
kebijakan.
Berdasarkan

perdebatan

tersebut

Sutton

(1999)

dan

IDS

menyajikan pandangan lain tentang proses perumusan kebijakan.

(2006)
Sebuah

kebijakan dirumuskan melalui mekanisme yang kompleks dan tidak beraturan
dengan karakteristik sebagai berikut : (1) proses pembuatan kebijakan perlu
difahami sebagai sebuah proses politik; (2) proses pembuatan kebijakan bersifat
incremental (bertahap), iterative (berulang), dan experimental (uji coba), serta
belajar dari kesalahan.
Berdasarkan landasan teori tersebut maka pertanyaan pertama yang
diajukan dalam penelitian ini adalah “apakah proses perumusan kebijakan HTR
dilakukan dengan mengikuti model linier?” “ataukah sebagai model acak?”
sebagaimana argumentasi Sutton (1999) dan IDS (2006). Jika sebuah kebijakan
dirumuskan melalui model linier maka kebijakan tersebut telah ditetapkan dengan
mempertimbangkan segala faktor kendala dan keterbatasan yang akan dihadapi

8
pada fase pelaksanaanya.

Selain itu model linier dipenuhi ketika pengambil

kebijakan telah mengumpulkan informasi yang memadai untuk menetapkan
alternatif pilihan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan.

Beberapa indikasi

mengarah pada dugaan sementara bahwa proses dan asumsi tersebut tidak
dipenuhi.

Penelitian ini bertujuan untuk menggali data dan informasi untuk

mendapatkan jawaban atas hipotesis tersebut.
Untuk mendapatkan informasi menyeluruh tentang kinerja kebijakan HTR
maka perlu pula dikaji bagaimana kebijakan HTR diimplementasikan di tingkat
lapangan. Winter (1990) menyatakan selain proses formulasi kebijakan faktor
lain yang perlu dipertimbangkan dari sebuah kebijakan adalah respon pihak
pelaksana kebijakan.

Keberhasilan pelaksanaan kebijakan sangat ditentukan

oleh respon dari kelompok target kebijakan . Kelompok sasaran dari kebijakan
HTR adalah masyarakat sekitar hutan dan para pemangku kepentingan di
daerah. Untuk itu pertanyaan penelitian kedua yang diajukan adalah bagaimana
para pihak di daerah merespon kebijakan HTR serta bagaimana hubungan
respon tersebut dengan keberhasilan implementasi HTR. Pertanyaan penelitian
kedua ini menghasilkan rumusan hipotesis penelitian adanya hubungan antara
respon para pemangku kepentingan di daerah dengan tingkat keberhasilan
implementasi kebijakan HTR.
Quade (1982) menyatakan bahwa tujuan utama analisis kebijakan adalah
membantu pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik. Oleh
karena itu, setelah mengkaji tahap proses perumusan kebijakan dan tahap
evaluasi terhadap implementasi kebijakan HTR, penelitian ini selanjutnya
mempertanyakan

upaya

apa

yang

harus

dilakukan

untuk

mendukung

keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Jawaban atas pertanyaan penelitian
tersebut dilakukan melalui kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan.
1.3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan analisis terhadap

kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
Tujuan umum tersebut dijabarkan menjadi tiga tujuan khusus, yaitu:
1. melakukan analisis proses perumusan kebijakan HTR
2. melakukan analisis respon pemangku kepentingan dan analisis implementasi
kebijakan HTR di daerah
3. melakukan rancang bangun model konseptual kebijakan Hutan Tanaman
Rakyat.

9
1.4

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Hutan Tanaman Rakyat yang dimaksud dalam kajian ini merujuk pada

Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan jo PP No.23 Tahun 2008
dan seluruh aturan di bawahnya yang menjadi landasan dalam pelaksanaan
kegiatan HTR di lapangan. Definisi HTR menurut peraturan perundangan adalah
hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat
untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan
silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Lingkup kajian meliputi penelitian kebijakan berupa analisa proses
perumusan kebijakan, analisis respon para pihak di daerah terhadap kebijakan
HTR, evaluasi dari implementasi program HTR di lapangan dan perumusan
model konseptual kebijakan HTR.
Penelitian proses perumusan kebijakan dibatasi pada analisis terhadap
latar belakang ide dan gagasan digulirkannya kebijakan HTR, aktor yang terlibat
dalam proses perumusan kebijakan HTR dan kondisi yang mendukung untuk
diwujudkannya HTR sebagai kebijakan nasional. Sementara itu kegiatan respon
dan implementasi kebijakan HTR dibatasi dengan mengambil sampel lokasi
penelitian di tiga provinsi, yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perumusan strategi untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan
HTR dibatasi pada kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan. Model
ini merupakan rekomendasi bagi para pelaksana kegiatan HTR.

1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah untuk memberikan masukan
bagi para pengambil keputusan baik di tingkat pusat maupun di daerah dalam
pelaksanaan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
Hasil penelitian ini secara akademis dapat menjadi rujukan dalam
melakukan penelitian kebijakan, khususnya dalam aspek proses perumusan
kebijakan dan respon para pihak yang terkait dengan implementasi sebuah
kebijakan.

10
Model konseptual kebijakan dapat menjadi justifikasi dalam penggunaan
konsep pembangunan hutan tanaman oleh masyarakat sebagai salah satu
inovasi dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan hutan yang terdegradasi
dan dalam