Analisis Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan

(1)

ANALISIS PROSES PERUMUSAN DAN PENETAPAN

KEBIJAKAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH

KOTA MEDAN

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara SKRIPSI

O L E H

Shynta Anastasia Simbolon 080903040

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 8

I.3 Tujuan Penelitian ... 9

I.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 9

I.5 Kerangka Teori ... 10

I.5.1 Kebijakan Publik ... 11

I.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik ... 11

I.5.1.2 Kategori Kebijakan Publik ... 14

I.5.1.3 Bentuk dan Tahappan Kebijakan Publik ... 15

I.5.2 Analisa Kebijakan Publik... 19

I.5.2.1 Pengertian Analisa Kebijakan Publik ... 19

I.5.2.2 Bentuk Analisa Kebijakan Publik ... 21

I.5.2.3 Gaya Analisis Kebijakan Publik ... 24

I.5.2.4 Proses Analisis Kebijakan Publik ... 24

I.5.2.5 Model Analisa Kebijakan Publik ... 27

I.5.3 Formulasi (Perumusan) Kebijakan Publik ... 29

I.5.3.1 Pengertian Formulasi Kebijakan ... 29

I.5.3.2 Kriteria Formulasi Kebijakan ... 33

I.5.3.3 Aktor-aktor Formulasi Kebijakan ... 35

I.5.4 Adopsi (Penetapan Kebijakan Publik) ... 41


(3)

I.5.4.2 Kriteria Adopsi Kebijakan ... 42

I.5.4.3 Gaya Adopsi Kebijakan ... 44

I.5.5 Gambaran Umum Peraturan Perundang-undangan ... 46

I.5.5.1 Undang-Undang No.26 Tahun 2007 ... 49

I.5.5.2 Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008... 50

I.5.5.3 Perda Kota Medan No.13 Tahun 2011 ... 51

I.5.6 Rencana Tata Ruang Wilayah ... 52

I.5.6.1 Fungsi dan Manfaat RTRW Kota ... 53

I.5.6.1.1 Fungsi RTRW Kota ... 53

I.5.6.1.2 Manfaat RTRW Kota ... 54

I.5.6.2 Muatan Materi Perda RTRW Medan ... 54

I.5.7 Peraturan Daerah ... 55

I.5.7.1 Pembentukan Peraturan Daerah ... 55

I.5.7.1.1 Prinsip Pembentukan Perda ... 55

I.5.7.1.2 Materi Muatan Peraturan Daerah... 55

I.5.7.2 Wewenang Pembentukan Peraturan Daerah... 57

I.6 Definisi Konsep ... 60

I.7 Sistematika Penulisan ... 63

BAB II METODE PENELITIAN ... 64

II.1 Alasan Menggunakan Penelitian Kualitatif ... 64

II.2 Lokasi Penelitian ... 65

II.3 Informan Penelitian ... 67

II.4 Instrumen Penelitian ... 68

II.5 Teknis Pengumpulan Data ... 68

II.6 Teknis Analisa Data ... 70

II.7 Pengujian Keabsahan Data ... 71

II.8 Jadwal Waktu dan Tahap Penelitian ... 73

II.9 Implementasi Metode Penelitian ... 74

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 76

III.1 Gambaran Umum Kota Medan ... 76


(4)

III.1.2 Demografi Penduduk ... 79

III.1.3 Visi Misi Kota Medan... 81

III.1.4 Susunan Organisasi Pemerintahan Kota Medan ... 85

III.2 Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Medan ... 87

III.2.1 Tugas Pokok Dinas TRTB ... 87

III.2.2 Fungsi Dinas TRTB... 87

III.2.3 Visi & Misi Dinas TRTB ... 89

III.2.4 Susunan Organisasi Dinas TRTB ... 90

III.3 Badan Perencanaan&Pembangunan Medan ... 91

III.3.1 Tugas Pokok dan Fungsi BAPPEDA ... 91

III.3.1.1 Sekretariat ... 92

III.3.1.2 Bidang Ekonomi ... 93

III.3.1.3 Bidang Sosial dan Budaya ... 94

III.3.1.4 Bidang Fisik dan Tata Ruang ... 96

III.3.1.5 Bidang Data Monitoring Evaluasi ... 97

III.3.2 Visi&Misi BAPPEDA Kota Medan ... 87

III.3.3 Susunan Organisasi BAPPEDA ... 102

III.4 Bagian Hukum Sekretariat DaerahKota Medan ... 110

III.4.1 Tugas Pokok Bagian Hukum Setda ... 110

III.4.2 Fungsi Bagian Hukum Setda Medan ... 110

III.4.3 Susunan Organisasi Bagian Hukum ... 114

III.5 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Medan ... 116

III.5.1 Panitia Khusus RTRW Medan... 120

III.5.2 Susunan Organisasi Panitia Khusus ... 120

III.6 Gambaran Umum Perda No.13 Tahun 2011 ... 121

III.7 Perumusan RTRW Kota Medan ... 124

BAB IV PENYAJIAN DATA ... 129

IV.1 Karateristik Informan... 130

IV.1.1 Klasifikasi Informan Berdasarkan JenisKelamin ... 131

IV.1.2 Klasifikasi Informan Berdasarkan Pendidikan ... 132


(5)

IV.2.1 Deskripsi Wawancara Tahap Formulasi ... 133

IV.2.2 Deskripsi Wawancara Tahap Adopsi ... 138

IV.3 Data Sekunder ... 142

IV.3.1 Pemandangan Umum Setiap Fraksi ... 143

IV.3.2 Nota Jawaban Walikota atas Pemandangan Umum ... 154

IV.3.3 Pendapat Akhir Setiap Fraksi ... 157

BAB V ANALISA DATA ... 170

V.1 Pemahaman Informan terhadap Perda No. 13 Tahun 2011 tentang RTRW Medan ... 170

V.2 Prakarsa Pembentukan Perda RTRW ... 172

V.3 Analisis Proses Perumusan Peraturan Daerah Kota Medan No.13 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Medan ... 175

V.4 Analisis Proses Penetapan Peraturan Daerah Kota Medan No.13 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Medan ... 186

V.5 Analisis Kesesuaian Peraturan Daerah Kota Medan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan terhadap Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi ... 186

V.6 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan ... 193

BAB VI PENUTUP ... 197

VI.1 Kesimpulan ... 197

VI.2 Saran ... 203 DAFTAR PUSTAKA


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.5.3.1 Pembuatan Kebijakan Publik ………. ... 32

Tabel 1.5.3.5 Jenis-Jenis Evaluasi ... 32

Tabel 2.8 Jadwal Waktu dan Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 74

Tabel 3.1.2 Jumlah Penduduk Kota Medan ... 80

Tabel 3.1.4 Bagan Organisasi Pemerintah Kota Medan ... 84

Tabel 3.3.3 Bagan Organisasi Dinas Tata Ruang dan Bangunan ... 90

Tabel 3.3.4 Bagan Organisasi BAPPEDA Kota Medan………. 102

Tabel 3.4.3 Bagan Organisasi Bagian Hukum... 104

Tabel 4.1.1 Pengklasifikasian Informan berdasarkan Jenis Kelamin... 131

Tabel 4.1.2. Pengklasifikasian Informan berdasarkan Pendidikan………... 132


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.5.1.1 Kebijakan Publik sebagai Agenda Demokrasi ... 11

Gambar 1.5.1.3 Tahapan Kebijakan Publik ... 18

Gambar 1.5.2.4 Proses Analisa Kebijakan Publik ... 26

Gambar 1.5.5 Tata Susunan Norma Hukum Indonesia ... 48

Gambar 2.2.1 Lokasi BAPPEDA ... 65

Gambar 2.2.2 Lokasi Kantor Bagian Hukum ... 65

Gambar 2.2.3 Lokasi Kantor DPRD Kota Medan ... 66

Gambar 2.2.4 Lokasi Dinas Tata Ruang dan Bangunan ... 66

Gambar 3.7 Kedudukan RTRW Kota... 127


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara & Transkrip Hasil Wawancara Lengkap

2. Surat Permohonan Persetujuan Judul Skripsi

3. Surat Penunjukan Dosen Pembimbing

4. Daftar Hadir Peserta Seminar Proposal

5. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

6. Surat Rekomendasi Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota

Medan

7. Kartu Kendali Bimbingan Skripsi

8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

9. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Nasional.

10. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Medan

11. Peraturan Walikota Medan Nomor 45 Tahun 2010 Tentang Rincian Tugas


(9)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk diperbanyak dan dipertahankan oleh: Nama : Shynta Anastasia Simbolon

NIM : 080903040

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Analisis Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan

Medan, Agustus 2012

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara,

Drs. M. Ridwan Rangkuti, M.S Drs.M. Husni Thamrin Nst,M.Si NIP: 196110041986011001 NIP: 196401081991021001

Dekan,

FISIP USU MEDAN

Prof.Dr. Badaruddin, M.Si NIP: 196805251992031002


(10)

ABSTRAK

ANALISIS PROSES PERUMUSAN DAN PENETAPAN KEBIJAKAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MEDAN Nama : Shynta Anastasia Simbolon

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU Dosen Pembimbing : Drs. M. Ridwan Rangkuti, M.S,

Adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mewajibkan setiap provinsi maupun kabupaten/ kota memiliki peraturan daerah mengenai tata ruang. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Kota Medan telah memiliki rencana tata ruang wilayah berupa peraturan daerah yakni Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011. Dengan adanya Peraturan Daerah ini maka Kota Medan dapat mengarahkan pembangunan di Medan dengan memanfaatkan ruang wilayah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat,yang berkeadilan dan memelihara ketahanan nasional, hal ini juga didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk melihat bagaimana Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan dan apakah Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah tersebut telah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga kendala-kendala apa yang ditemukan dilapangan dalam proses perumusan dan penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara secara mendalam (indepth

interview) dan menggunakan metode analisis kualitatif. Informan kunci penelitian ialah Pada Tahap Formulasi yaitu Kepala Bidang Fisik dan Tata Ruang Bappeda,Kepala Sub Bagian Dokumentasi dan Evaluasi Hukum Sekretariat Daerah dan Pada Tahap Adopsi yaitu Ketua Pansus DPRD pembentukan RTRW dan Informan utama yaitu Pada Tahap Formulasi yaitu Kepala Sub Staf dan beberapa staf dan Pada Tahap Adopsi yaitu Sekretaris Pansus dan Anggota Pansus DPRD.

Kesimpulan penelitian ini ialah Proses Perumusan dan Penetapan

Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medanberjalan dengan cukup baik

namun masih perlu peningkatan komitmen, keseriusan sumber daya yang ada dan juga perlu meningkatkan peran serta masyarakat Kota Medan. Dan Peraturan Daerah Kota Medan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan ini telah sesuai dan mengacu pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kata Kunci : Analisis Proses, Perumusan Kebijakan, Penetapan Kebijakan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan


(11)

ABSTRAK

ANALISIS PROSES PERUMUSAN DAN PENETAPAN KEBIJAKAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MEDAN Nama : Shynta Anastasia Simbolon

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU Dosen Pembimbing : Drs. M. Ridwan Rangkuti, M.S,

Adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mewajibkan setiap provinsi maupun kabupaten/ kota memiliki peraturan daerah mengenai tata ruang. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Kota Medan telah memiliki rencana tata ruang wilayah berupa peraturan daerah yakni Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011. Dengan adanya Peraturan Daerah ini maka Kota Medan dapat mengarahkan pembangunan di Medan dengan memanfaatkan ruang wilayah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat,yang berkeadilan dan memelihara ketahanan nasional, hal ini juga didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk melihat bagaimana Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan dan apakah Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah tersebut telah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga kendala-kendala apa yang ditemukan dilapangan dalam proses perumusan dan penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara secara mendalam (indepth

interview) dan menggunakan metode analisis kualitatif. Informan kunci penelitian ialah Pada Tahap Formulasi yaitu Kepala Bidang Fisik dan Tata Ruang Bappeda,Kepala Sub Bagian Dokumentasi dan Evaluasi Hukum Sekretariat Daerah dan Pada Tahap Adopsi yaitu Ketua Pansus DPRD pembentukan RTRW dan Informan utama yaitu Pada Tahap Formulasi yaitu Kepala Sub Staf dan beberapa staf dan Pada Tahap Adopsi yaitu Sekretaris Pansus dan Anggota Pansus DPRD.

Kesimpulan penelitian ini ialah Proses Perumusan dan Penetapan

Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medanberjalan dengan cukup baik

namun masih perlu peningkatan komitmen, keseriusan sumber daya yang ada dan juga perlu meningkatkan peran serta masyarakat Kota Medan. Dan Peraturan Daerah Kota Medan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan ini telah sesuai dan mengacu pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kata Kunci : Analisis Proses, Perumusan Kebijakan, Penetapan Kebijakan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Ruang adalah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara pada dasarnya kesediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut,dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,nyaman,produktif, dan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan penataan ruang yang dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negative lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Wilayah adalah sebuateritorial dari

sebua batas-batas kondisi fisik alam, misalnya sungai, gunung, atau laut. Sedangkan setelah masa menduduki daerah tersebut, dan berikutnya dengan adanya

yang lebih umum digunakan adalah batas nasional.1

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disusun agar penyelengaraan otonomi daerah lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi,peran serta masyarakat,pemerataan dan keanekaragaman daerah. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Dengan adanya

1


(13)

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini membuka peluang dan kesempatan bagi daerah agar lebih berdaya termasuk adanya keberdayaan masyarakat setempat sehingga baik langsung maupun melalui DPRD seluruh aspirasi masyrakat dapat terserap dan tersalurkan dalam penentuan berbagai keputusan pemerintah daerah dan DPRD dalam melaksanakan roda pemerintahan daerah.

Dalam kaitan dengan penyelengaraan pembangunan daerah perkotaan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini mengatur juga mengenai masalah kawasan perkotaan baik menyangkut masalah status daerah/kawasan perkotaan, pemerintah, pengelolaan kawasan, pelibatan swasta dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaaan. Hal-hal mengenai pengelolaan Kawasan perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau peraturan perunndang-undangan lainnya. Undang- undang tersebut kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004. Undang- undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang 22 Tahun 1999 memberi tekanan yang sama terhadap desentralisasi dan otonomi daerah. Bagi pemerintah daerah, menurut Undang-Undang ini memiliki lebih banyak kewenangan dan penyelengaaran pemerintahan di tingkat lokal dan diberikan kewenangan melaksanakan semua tahapan siklus pengelolaan di wilayah kabupaten/kota.

Dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 pada bab X bahwa kewenangan pengelolaan kawasan perkotaan menjadi tanggungjawab pemerintah kota (termasuk pemerintah DKI Jakarta) dan pemerintah kabupaten. Dalam


(14)

perencanaan pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan,pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (pasal 99 ayat 6). Sedangkan pengaturan mengenai penatan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum di kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dapat dikelola secara bersama oleh daerah terkait (pasal 99 ayat 1 butir c dan ayat 4). Selain pasal 99 masih terdapat pasal-pasal yang sangat berkaitan dengan masalah kerjasama pembangunan perkotaan antara lain pasal 195 dan 196. Kedua pasal ini memberikan ruang kepada daerah untuk mengadakan kerjasama dengan daerah lain serta dengan pihak ketiga dengan pertimbangan efektivitas dan efesiensi pelayanan publik,sinergi dan saling menguntungkan. Bagi kerjasama yang membebani masyarakat dan daerah maka diharuskan mendapat persetujan DPRD. Semua ketentuan tersebut ditetapkan dengan peraturan daerah dengan

berpedoman pada Peraturan Pemerintah.2

Dengan adanya Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap provinsi maupun kabupaten/ kota wajib memiliki peraturan daerah mengenai tata ruang. Provinsi diberikan waktu dua tahun untuk menyesuaikan atau menyusun Perda Tata Ruang sesuai aturan dalam Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007. Sementara, kabupaten/kota diberikan waktu tiga tahun. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 diundangkan pada April 2007 dan mulai berlaku saat itu juga. Artinya, pada tahun 2009 semua provinsi sudah harus

2

Soegijoko, Budhy Tjahjati Sugijanto dkk. 2005.Pembangunan Kota Indonesia dalam abad 21:Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan Indonesia. Urban and Regional Institute (URDI) dan Yayasan Sugijanto dan Soegijoko.FE UI.Jakarta.


(15)

memiliki perda yang sesuai dengan ketentuan Undang – Undang .Untuk kabupaten/kota, batas waktunya adalah bulan April tahun 2010, tetapi yang terjadi yaitu daerah terkesan lambat dalam pembentukan Peraturan Daerah (perda) mengenai tata ruang. Padahal, perda ini sangat penting untuk mendorong perbaikan pembangunan di daerah. Kendati masih ada provinsi, kabupaten/ kota yang belum memiliki perda mengenai rencana tata ruang wilayah, tidak bisa juga dikatakan bahwa pembangunan di provinsi, kabupaten/ kota itu tidak berjalan dan walaupun banyak daerah yang telah memiliki perda rencana tata ruang wilayah, belum tentu daerah tersebut telah tertata dengan baik sesuai dengan rencana tata ruang yang ada di daerahnya masing-masing, karena masih banyak ditemukan daerah yang demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah, pemerintah daerah tersebut mengeluarkan kebijakan pemanfaatan tata ruang yang tidak konsisten dengan perda tata ruang yang telah disusun.

Adanya undang-undang otonomi daerah tersebut hingga sekarang masih banyak ditemukan permasalahan dan kendala pembangunan, terutama dalam kerangka pembangunan wilayah. Beberapa permasalahan dalam pembangunan wilayah antara lain mencakup : (1). Ketidakseimbangan antar kota-kota besar metropolitan dengan kota-kota menengah dengan kota-kota menengah dan kecil, (2) Kesenjangan pembangunan antara desa dan kota,(3) Belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh,(4)Banyaknya wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan

Proses perencanaan kota menggunakan suatu prosedur tertentu untuk mengumpulkan informasi, membuat rekomendasi dan melakukan tindakan. Proses


(16)

tersebut juga menggunakan suatu system analisis yaitu sistem untuk mempelajari situasi dan mencapai kesimpulan yang rasional berkaitan dengan kebutuhan

kota,sasaran dan arahan yang terbaik.3

Dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) pada hakekatnya merupakan suatu paket kebijakan umum pengembangan daerah. Rencana tata ruang merupakan hasil perencanaan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang. Kebijakan yang dirumuskan pada dokumen ini merupakan dasar strategi pembangunan spasial, baik yang berkenaan dengan perencanaan tata ruang yang lebih terperinci (RDTRK, RTBL), maupun rencana kegiatan sektoral seperti kawasan perdagangan, industri, pemukiman, serta fasilitas umum dan sosial. Dalam implementasinya, pemanfaatan ruang dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal, sehingga apabila terjadi suatu penyimpangan atau pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW, maka perlu untuk disempurnakan, baik dalam format evaluasi maupun revisi supaya RTRW tersebut tetap aktual, mampu mengakomodir aktivitas kota dan dapat dipedomani oleh setiap stakeholder dalam pembangunan kota. Dalam operasinalisasinya, rencana

tata ruang harus memiliki kekuatan hukum berupa peraturan daerah.4

Kota Medan dengan jumlah penduduk lebih dari dua juta jiwa, telah ditetapkan didalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sumatera Utara sebagai Pusat

3

Branch. C. Melville. 2005. Perencanaan Kota Komprehensif. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal 107

4

http://www.malangkota.go.id/pdf/Bahan_Web_rtrw.pdf (diakes pada tanggal 3 Desember 2011 pukul 16:05)


(17)

Kegiatan Nasional (PKN), adanya fungsi dan peranan tersebut membawa konsekuensi yang cukup besar bagi perkembangan kota dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi permasalahan-permasalahan kota metropolitan pada umumnya seperti urbanisasi,kemacetan dan kepadatan penduduk,ketidaknyamanan dan arus komuter.

Kota Medan saat ini pantas disebut sebagai unmanaged city. Kota ini,

dilihat dari susunan Tata Ruang Kota tidak lagi merupakan kota idaman seperti yang dimaksudkan pada awal pendirian sebuah kota. Dan kota inipun tidak mungkin dapat ditata ulang sebagai sebuah kota harapan. Tata ruang kota Medan telah berantakan dan telah menghilangkan jati dirinya sebagai kota idaman, sebagai suatu pertanda begitu ganasnya kelompok bisnis dan elite kota memanfaatkan bagian bagian kota yang sebenarnya tidak pantas dijadikan

kegiatan bisnis.5

Salah satu yang menjadi kelemahan Kota Medan dalam hal pembangunan infrastruktur, adalah pembangunan sepenuhnya kepada pihak swasta. Sedangkan pihak Pemerintah hanya terlibat mengurus masalah perizinan. Yang idealnya pemerintah harus dapat menyusun rencana dan pelaksanaanya bisa saja diserahkan oleh pihak swasta. Selain itu, masalah pemberian izin untuk mendirikan bangunan. Dinas TRTB dinilai masih diskriminasi. Ini terbukti masih ada kita

5

15:45)


(18)

jumpai di beberapa kawasan Kota Medan yang seharusnya tak layak untuk dapat

izin, Namun dalam kenyataanya bangunan tersebut tetap kokoh berdiri.6

Untuk mengantisipasi permasalahan ini sangat dibutuhkan produk rencana tata ruang yang berkualitas untuk menciptakan kota Medan yang aman,nyaman,produktif dan berkelanjutan serta mempunyai daya saing dan daya tarik sebagai daerah tujuan investasi.

Seperti yang kita ketahui bahwa Pemerintah Kota Medan telah memiliki rencana tata ruang wilayah berupa peraturan daerah yakni Peraturan Daerah Kota Medan No.13 Tahun 2011. Dengan adanya Peraturan Daerah ini maka Kota Medan dapat mengarahkan pembangunan di Medan dengan memanfaatkan ruang wilayah secara serasi,seimbang dan berdaya guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat,yang berkeadilan dan memelihara ketahanan nasional.

Disahkannya Peraturan Daerah tersebut banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Kritikan tersebut mengenai proses pembentukan maupun substansi dari Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011. Adapun beberapa kririkan tersebut yakni sejak diajukan Pemerintah Kota (Pemko) Medan draft Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) pada pertengahan Maret 2011 lalu, DPRD Medan terkesan memburunya untuk cepat disahkan. Tercatat, sejak pengajuan tersebut, Panitia Khusus (Pansus) RTRW yang terbentuk untuk membahasnya hanya melakukan rapat sebanyak

6

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=215887:tata-ruang-kota-medan-payah&catid=77:fokusutama&Itemid=131 (diakses pada tanggal 23 November 2011 pukul 15:52)


(19)

lima kali. Pansus, rapat-rapat internal dan rapat bersama SKPD terkait tanpa melibatkan publik seperti NGO dan akademisi hanya dilakukan sebanyak lima kali karena beberapa agenda yang dibatalkan dan tertunda. Selain itu, Pansus hanya melakukan konsultasi ke Kementrian PU Jakarta serta Pemerintahan Yogyakarta pada 25 hingga 29 April 2011, hingga melakukan rapat finalisasi pembahasan Ranperda RTRW pada 20 Juni 2011. Catatan wartawan, Pansus hanya melakukan satu kali rapat pada bulan April dan tertunda berulang kali serta dua kali pada bulan Juni 2011 dimana Pansus terkesan mengabaikan beberapa persoalan seperti hutan mangrove di Belawan yang telah berubah menjadi tambak dan tidak ada penegasan dalam Ranperda RTRW. Selain itu adanya kekurangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari 20% yang ditetapkan UU Lingkungan Hidup (dikutip dari Harian Medan Bisnis 23 November 2011).

Memperhatikan permasalahan penataan tata ruang wilayah serta adanya kekhawatiran bahwa substansi Peraturan Daerah Kota Medan No.13 Tahun 2011 belumlah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka

peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Analisa

Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan”

I.2. Rumusan Masalah

Masalah timbul karena adanya tantangan, adanya kesangsian ataupun kebingungan kita terhadap suatu hal atau fenomena, adanya kemenduaan


(20)

arti(ambiguity), adanya halangan dan rintangan, adanya celah (gap) baik antara

kegiatan atau antar fenomena, baik yang telah ada ada ataupun yang akan datang.7

1. Bagaimana Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan ?

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :

2. Apakah isi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah tersebut telah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ?

I.3 Tujuan Penelitian

Di dalam usulan/rancangan penelitian,apapun format penelitian yang digunakan (deskriptif ataukah eksplanasi,studi kasus,survey ataukah eksperimen) juga perlu secara tegas dan jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak dihasilkan.8

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat Bagaimana Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan dan apakah Kebijakan RTRW tersebut telah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

I.4. Manfaat Penelitian

Penelitian dilakukan untuk memecahkan sebuah masalah atau fenomena sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain,sebuah penelitian harus

7

Moh.nazir, Ph.D .2005. Metode Penelitian hal 111

8

Faisal,Sanapiah. 2007 Format-format Penelitian Sosial. PT .RAJAGRAFINDO PERSADA:Jakarta. hal 100


(21)

benar-benar bermanfaat atau memeiliki dampak bagi pihak-pihak yang bersangkutan akhirnya.

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

a. Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan, wawasan dan

kemampuan berpikir dalam dalam pembuatan karya tulis ilmiah.

b. Secara praktis, sebagai masukan/ sumbangan pemikiran bagi Pemerintah

Kota Medan dalam perumusan dan penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan.

c. Secara akademis, sebagai bahan masukan ataupun bahan perbandingan

bagi orang-orang yang belum mengetahui proses perumusan dan penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan ataupun orang yang ingin mengadakan penelitian di bidang yang sama.

I.5. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu sosial begitu pesat karena pesatnya perkembangan fenomena manusia yang memunculkan banyak teori-teori sosial. Untuk itu,dalam melaksanakan penelitian ilmiah khususnya dalam ilmu sosial,teori berperan sebagai landasan berpikir untuk mendukung pemecahan masalah dengan jelas dan

sistematis. Kerlinger menyebutkan bahwa teori adalah sekumpulan

konstruk(konsep),defenisi,dalil yang saling terkait,yang menghadirkan suatu pandangan yang sistematis tentang fenomena dengan menetapkan hubungan


(22)

diantara beberapa variabel,dengan maksud menjelaskan dan meramalkan

fenomena9

I.5.1 Kebijakan Publik

Setiap negara modern memiliki konstitusi,peraturan perundang-undangan,keputusan kebijakan yang dijadikan sebagai aturan main dalam kehidupan bersama.

I.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Inti kehidupan bernegara adalah demokrasi yang dilihat dari pembelajaran dan pengalaman selama ini. Suatu negara dikatakan memiliki demokrasi yang baik dilihat dari kebijakan publik yang unggul yang dikembangkan dalam konteks dan proses yang demokrasi. Dan pada hakekatnya, bentuk terluar dari demokrasi dan kebijakan publik tersebut adalah pelayanan publik yang didasarkan pada

prinsip-prinsip tata kelola yang baik atau good governance.10

Demokrasi Kebijakan Publik Pelayanan Publik kehidupan publik

Gambar 1.5.1.1 Kebijakan Publik sebagai Agenda Pasca-demokrasi

9

Rakmat,Jalaluddin. 2004.Metode Penelitian Komunikasi,Dilengkapi Dengan Contoh Analistik Statistik.Rosda: Bandung. Hal 6

10


(23)

Didalam penyelenggaraan administrasi publik terdapat proses yang

menghasilkan kebijakan publik (public policy) sebagai respon atas

masalah-masalah yang dilihat dari perspektif proses politik yang ada (existing political

process).

Menurut Thomas R.Dye, kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya Dye mengatakan,apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuan dan kebijakan Negara tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah,bukan semata-mata pernytaan keinginan pemerintah atau pejabatnya. Disamping itu,sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan Negara. Hal ini disebabkan “sesuatu yang tidak dilakukan “ oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan sesuatu yang

dilakukan” oleh pemerintah.11

Kebijakan publik berfungsi untuk mengatur,mengarahkan dan mengembangkan interaksi dalam sebuah komunitas. Secara praktis, kebijakan publik merupakan alat dari suatu komunitas yang melembaga untuk mencapai social benefits about goodness yang pada akhirnya apabila diimplementasikan dengan baik akan menghasilkan kepercayaan sosial baru.

Menurut Anderson, kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah,dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1). Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempuntai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.

11

Nurcholis,Hanif. 2007.Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. PT.Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. hal 264


(24)

2). Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah. 3). Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah. 4). Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. 5). Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan

perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.12

Chandler dan Plano berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya–sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Kemudian kebijakan publik akan disebut sebagai suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan

secara luas.13Sedangkan Menurut Woll kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas

pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat,baik secara langsung

maupun lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.14

12

Tangkilisan, Hesel Nogi.2003 Implementasi Kebijakan Publik (Konsep,strategi dan Kasus). Lukman Offset YPAPI: Yogyakarta. hal 2

13

Tangkilisan, Hesel Nogi.2003. Kebijakan Publik Yang Membumi . Lukman Offset YPAPI: Yogyakarta. hal 1

14


(25)

1.5.1.2 Kategori Kebijakan Publik

Joynt mengatakan bahwa kebijaksanaan itu dapat berarti yang berbeda-beda untuk orang-orang yang berberbeda-beda. Usaha untuk mengadakan klasifikasi/ tingkat-tingkatan kebijaksanaan itu adalah seperti halnya membagi-bagi tingkatan suhu udara.

Menanggapi hal tersebut maka, Simon dalam buku Soenarko kemudian

dapat membagi klasifikasi kebijakan itu menjadi 3 macam policy yaitu:15

a. Legislative policy, yaitu kebijaksanaan yang dibuat landasan dan

pegangan bagi pimpinan (management) dalam melaksanakan tugasnya,

atau kebijaksanaan yang banyak mengandung norma-norma yang harus diselenggarakan oleh pimpinan tersebut. Oleh karena itu, kebijaksanaan ini lebih banyak memberikan ketentuan-ketentuan yang mengandung pemberian hak-hak, kewajiban, larangan-larangan dan keharusan-keharusan, dan lebih banyak dibuat oleh legislatif.

b. Management policy, merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh

pimpinan pusat (top-management) atau pejabat-pejabat teras.

c. Working policy, yaitu kebijaksanaan lainnya yang dibuat untuk

pelaksanaan (operation) dilapangan untuk tercapainya tujuan akhir yang

tersimpul dari kebijaksanaan itu.

Berbeda dengan Simon, Hudson menyoroti klasifikasi kebijakan publik dalam pemerintahan. Sehingga kebijakan publik itu dapat dibagi

menjadi 3 golongan, yaitu:16

15

Soenarko SD, H. 2003. Publik Policy, Pengertian Pokok untuk Memahami dan Menganalisa Kebijakan Publik. Surabaya : Airlangga University Press. Hal 63


(26)

a. Over-all Policies, pada umumnya dibuat oleh Badan Legislatif atau

presiden dengan berdasarkan UUD (constitution). Oleh karena itu, sifatnya

adalah umum dan berlaku untuk seluruh wilayah negara.

b. Top management policies (kebijaksanaan pimpinan), yaitu merupakan kebijaksanaan yang biasanya dibuat oleh kepala-kepala jawatan atau

dinas-dinas pelaksanaan “over-all policies” dengan menentukan cara-cara,

prosedur dan sebagainya yang meliputi soal-soal yang strategis.

c. Divisional of bureau policies (kebijaksanaan pelaksanaan), merupakan ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang dibuat pejabat yang langsung bertanggungjawab tentang tercapainya tujuan program di dalam kegiatan operasionalnya.

I.5.1.3 Bentuk dan Tahapan Kebijakan Publik

Terdapat tiga kelompok rentetan kebijakan publik yang dirangkum secara

sederhana yakni sebagai berikut : 17

1. Kebijakan Publik Makro

Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau dapat juga

dikatakan sebagai kebijakan yang mendasar. Contohnya :18

16

Ibid 2003 : 62

(a). Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ; (b) Undang-Undang-undang atau

17

Nugroho,Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang ( Model-model Perumusan Implementasi dan Evaluasi ). PT.Elex Media Komputindo: Jakarta. hal 31 18

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan


(27)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; (c) Peraturan Pemerintah; (d) Peraturan Presiden; (e) Peraturan Daerah.

Dalam pengimplementasiannya,kebijakan publik makro dapat langsung diimplementasikan.

2. Kebijakan Publik Meso

Kebijakan publik yang bersifat meso atau yang bersifat menengah atau

yang lebih dikenal dengan penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berupa Peraturan Menteri,Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, Keputusan Bersama atau SKB antar-menteri,Gubernur dan Bupati atau Walikota.

3. Kebijakan Publik Mikro

Kebijakan publik yang bersifat mikro,mengatur pelaksanaan atau

implementasi dari kebijakan publik yang diatasnya. Bentuk kebijakan ini misalnya peraturan yang dikeluarkan oleh aparat-aparat publik tertentu yang ebrada dibawah Menteri,Gubernur, Bupati dan Walikota.

Bentuk kebijakan publik baik kebijakan publik makro,meso dan mikro tersebut dalam proses pembuatannya melibatkan banyak variabel yang harus dikaji secara kompleks dan menyeluruh. Untuk itu terdapat tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan publik yang perlu dikaji. Tahapan- tahapan kebijakan publik tersebut adalah,sebagai berikut:

1 Tahap Penyusunan Agenda

Disekitar lingkungan pemerintahan terdapat berbagai persoalan dalam tahap ini para pejabat memilih dan mengangkat masalah yang paling


(28)

penting dengan alasan dimasukkan tertentu untuk dimasuki kedalam agenda kebijakan.

2 Tahap Formulasi Kebijakan,masalah yang telah disusun dalam agenda

kebijakan didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.

3 Tahap Adopsi Kebijakan,mwlakukan adopsi salah satu alternatif yang

terdapat dalam formulasi kebijakan dengan dukungan dari mayoritas legislatif,konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

4 Tahap Implementasi Kebijakan,keputusan kebijakan yang telah diambil

dalam adopsi kebijakan yang memang dapat dianggap sebagai kebijakan yang terbaik dalam pemecahan suatu masalah harus diimplementasikan. Implementasi kebijakan dilakukan oleh badan-badan administrasi Negara maupun agen-agen pemerintahan di tingkat bawah yang memobilisasikan sumber daya finansial atau manusia.

5 Tahap Evaluasi Kebijakan,tahap ini dilakukan untuk melihat sejauh mana

sebuah kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan kriteria-kriteria sebagi dasar untuk melihat dampak kebijakan yang telah diimplementasikan


(29)

Dalam pandangan Ripley ,tahapan kebijakan publik digambarkan sebagai berikut :19

Tahapan Kebijakan Publik Hasil Diikuti Hasil Diperlukan Hasil Mengarah Ke Diperlukan

Gambar 1.5.1.3 Tahapan Kebijakan Publik Sumber :Ripley,1985 :49

19

Subarsono.2005. Analisa Kebijakan Publik ( Konsep,Teori dan Aplikasi ). Pustaka Peajar: Yogyakarta. hal 11

Penyusunan Agenda Formulasi dan Legitimasi Kebijakan Kinerja dan dampak kebijakan Tindakan kebijakan kebijakan Agenda Pemerintah Implementasi kebijakan Kebijakan Baru Evaluasi thd implementas i,kinerja & dampak kebijakan


(30)

I.5.2 Analisa Kebijakan Publik

Setiap kebijakan pasti ingin mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu pemerintah,selaku pembuat kebijakan,bagaimanapun juga ingin agar tujuan kebijakannya tercapai,maka ia berkepentingan untuk memperhatikan proses pembuatan kebijakan dan menjaga proses implementasi sebaik mungkin,untuk itulah perlu dilakukan analisis kebijakan.

I.5.2.1 Pengertian Analisa Kebijakan Publik

Analisis kebijakan didefinisikan oleh Harold D Lasswell adalah sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan, analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik.

William N. Dunn mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka

memecahkan masalah-masalah kebijakan. Menurut Weimer and Vining “The

product of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy decision”. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan


(31)

dengan masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan.

Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan. Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu

kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas.20

Analisa kebijakan berhubungan dengan penyelidikan dan deskripsi sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan publik. Dalam analisis kebijakan,kita dapat menganalisis pembentukan,substansi dan dampak dari kebijakan-kebijakan tertentu,seperti siapakah yang diuntungkan dalam kebijakan tata niaga cengkeh atau kebijakan pertanian pangan pada masa Orde Baru,siapa-siapa actor yang terlibat dalam perumusan kebijakan tersebut dan apa dampaknya

20


(32)

bagi petani. Analisis ini dilakukan tanpa mempunyai pretense untuk menyetujui atau menolak kebijakan-kebijakan itu. Disini seorang lebih menempatkan ilmu sebagai sesuatu yang bebas nilai.

Ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis kebijakan

publik yakni21 : Pertama, fokus pertamanya adalah mengenai penjelasan

kebijakan bukan mengenai anjuran kebijakan yang “pantas”. Kedua, sebab-sebab

dan konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan-kebijakan publik diselidiki

dengan teliti dan dengan menggunakan metode ilmiah. Ketiga, analisis dilakukan

dalam rangka mengembangkan teori-teori umum yang dapat diandalkan tentang kebijakan kebijakan-kebijakan publik dan pembentukannya,sehingga dapat diterapkan terhadap lembaga-lembaga dan bidang-bidang kebiajakn yang berbeda. Dengan demikian analisis kebijakan dapat bersifat ilmiah dan relevan bagi masalah-masalah politik dan sosial sekarang ini.

I.5.2.2 Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk utama, yakni:

analisis kebijakan prospektif, restropekitaif, dan terintegratif22

a. Analisis Kebijakan Prospektif

.

Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan cenderung

21

Winarno, Budi. 2002. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo. Hal 31-32

22

Dunn, William N.2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta : Gadja Mada University Press hal 117


(33)

mengidentifikasi cara beroperasinya para ekonom, analis sistem dan analis operasi dengan kata lain merupakan suatu alat untuk mensintesiskan informasi untuk dipakai dalam merumuskan suatu alternative dan prefensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif atau kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan.

b. Analisis Kebijakan Restropektif

Analisis kebijakan retrospektif dalam banyak hal sesuai dengan deskripsi penelitian kebijakan yang dikemukakan sebelumnya. Analisis kebijakan restropektif dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis:

1. Analis yang berorientasi pada disiplin, yang sebagian besar terdiri dari

para ilmuwan politik san sosiologi terutama berusaha untuk mengembangkan dan menguji teori yang didasarkan pada teori dan menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Kelompok ini jarang berusaha untuk mengidentifikasikan tujuan-tujuan dan sasaran spesifik dari para pembuat kebijakan dan tidak melakukan usaha apapun untuk membedakan variabel kebijakan yang merupakan hal dapat diubah melalui manipulasi kebijakan, dan variabel situasional yang tidak dapat dimanipulasi.

2. Analis yang berorientasi pada masalah, sebagian besar terdiri dari para

ilmuwan ilmu politik dan sosiologi yang berusaha menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi dari kebijakan. Walaupun demikian, para analis


(34)

yang berorientasi pada masalah ini kurang menaruh perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori yang dianggap penting dalam disiplin ilmu social, tetapi lebih menaruh perhatian pada identifikasi variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah.

3. Analis yang beorientasi pada aplikasi, yaitu kelompok analis yang

mencakup ilmuwan politik dan sosiologi, tapi juga orang-orang yang datang dari bidang studi professional pekerjaan social dan administrasi publik dan bidang studi sejenis seperti penelitian evaluasi. Kelompok ini juga berusaha menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan-kebijakan dan program publik, tetapi tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan pengujian teori-teori dasar. Lebih jauh, kelompok ini tidak hanya menaruh perhatian pada variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari pada para pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan.

c. Analisis Kebijakan yang Terintegrasi

Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para prakitaisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengaitkan tahap penyelidikan restropektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus-menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat. Analis yang terintegrasi dengan begitu bersifat terus-menerus,


(35)

berulang-ulang, tanpa ujung, paling tidak dalam prinsipnya. Analisis dapat memulai penciptaan dan transformasi informasi pada setiap titik dari lingkaran analisis, baik sebelum dan sesudah aksi. Analisis kebijakan yang terintegrasi mempunyai semua kelebihan yang dimiliki metodologi analisis propektif dan restropektif, tetapi tidak satupun dari keleihan mereka. Analisis yang terintegrasi melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus-menerus sepanjang wakitau. Tidak demikian halnya dengan analisis prospektif dan restropektif yang menyediakan lebih sedikit informasi.

I.5.2.3 Gaya Analisis Kebijakan

Secara garis besar, gaya analisis kebijakan dibedakan menjadi tiga

kategori yaitu:23

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif masih dibedakan menjadi 2 bagian yakni (a) analisis isi (contentanalysis) yang merupakan definisi empiris mengenai isi kebijakan terutama pada maksud, definisi masalah, tujuan dan orientasi sebuah

kebijakan; (b) analisis sejarah (historical analysis) yang lebih menekankan

aspek evolusi isi kebijakan dari awal pembentukan hingga implementasinya bahkan bersifat ekspansif dengan membandingkan beberapa kebijakan secara kronologis-sinkronis.

2. Analisis Proses

23

28 februari 2012 pukul 13:08)


(36)

Analisis proses tidak begitu berfokus pada isi kebijakan, namun lebih memfokuskan diri pada proses politik dan interaksi faktor-faktor lingkungan luar yang kompleks dalam membentuk sebuah kebijakan. Proses politik inipun masih didekati dengan dua aras yakni proses interaksi para pemangku kepentingan dan struktur politis negara tempat sebuah kebijakan digodok.

3. Analisis Evaluasi

Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat penilaian. Penilaian yang diberikan bisa didasarkan pada konsistensi logis, efisiensi dan karakteristik etis. Oleh karena itu analisis evaluasi ini masih dibedakan menjadi tiga bagian yakni (a) evaluasi logika, dimana analisis ini melakukan evaluasi atas beberapa dimensi yakni konsistensi internal tujuan kebijakan; konsistensi tujuan dan instrumen kebijakan; dan perbedaan antara konsekuensi yang diharapkan dan yang tidak diharapkan; (b) evaluasi empiris, dimana analisis ini bertujuan untuk mengukur apakah kebijakan publik mampu memecahkan masalah dan menekankan teknik-teknik untuk melihat efisiensi dan efektifitas sebuah kebijakan; (c) evaluasi etis yang dalam analisisnya mengacu pada etika, norma dan nilai (value) dimana dalam evaluasi yang lain sangat bersifat bebas nilai.


(37)

I.5.2.4 Proses Analisa Kebijakan Publik

Proses analisa kebijakan Publik secara umum merupakan suatu proses kerja yang meliputi lima komponen informasi kebijakan yang saling terkait dan dilakukan secara bertahap dengan menggunakan berbagi teknik analisis kebijakan

seperti bagan berikut :24

Gambar 1.5.2.4 Proses Analisis Kebijakan Publik

24

Op.cit .2003. hal 7

Masalah Kebijakan

Perumusan masalah

Masalah kebijakan

Penyimpulan praktis

Evaluasi Hasil guna

kebijakan

Rekomendasi Peliputan

Alternative kebijakan Hasil kebijakan

Tindakan Kebijakan


(38)

Bagan dari proses analisa kebijakan tersebut di atas terjadi secara akumulatif antara komponen informasi dan teknik analisis yang digunakan untuk menghasilkan dan memindahkannya.

I.5.2.5 Model – Model dalam Analisa Kebijakan Publik

Model itu sendiri sebenarnya merupakan representasi teori yang disederhanakan tentang dunia nyata. Model digunakan sebagai pedoman,yang sangat bermanfaat dalam penelitian terutama penelitian yang bertujuan untuk mengadakan penggalian ataupun penemuan-penemuan baru.

Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar sekali manfaatnya. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan dalam hal ini

yaitu : Pertama,kebijakan publik merupakan hal yang sangat kompleks. Oleh

karena itu, sifat model yang menyederhanakan realitas yang kompleks tersebut. Dengan begitu akan lebih mudah untuk memilah-milah proses-proses implementasi kebijakan kedalam elemen-elemen implementasi yang lebih

sederhana. Kedua, adanya sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami

realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu,maka peran model dalam menjelaskan kebiajak akan sangat berguna. Untuk itu Thomas Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat kegunaan suatu

model dalam mengkaji kebijakan publik.25

25

Winarno, Budi. 2002. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo. Hal 41-42

Pertama, apakah model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga kita dapat memahami


(39)

apakah model mengidentifikasi aspek aspek yang paling penting dari kebijakan

pubik. Ketiga, apakah model kongruen (sama dan sebangun) dengan realitas.

Keempat, apakah model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut

cara yang dapat kita mengerti. Kelima, apakah model mengarahkan penyeidikan

dan penelitian kebijakan pubik. Keenam, apakah model menyarankan penjelasan

bagi kebijakan publik. Model yang paling baik menurut Lester dan Stewart adalah

model elitis dan model pluralis26

1) Model Elitis

.

Teori elit mengatakan bahwa semua lembaga politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak bisa dielakkan didominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, mereka memanipulasi instrument-instrumen kekuasaan bagi kepentingan elit. Kebijakan merupak produk elit yang merefleksikan nilai-nilai mereka untuk penguatan kepentingan- kepentingan mereka. Dye dan Zeigler berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan preferensi nilai – nilai dari para elit yang berkuasa. Seringkali dikatakan bahwa kebijakan publik merefleksikan tuntutan-tuntutan dari “rakyat” namun apa yang dikatakan itu adalah mitos dan bukan merupakan realitas kehidupan demokrasi.

2) Model Pluralis

Berkebalikan dengan model elit yang titik perhatiannya lebih bertumpu pada elit politik,maka model pluralis lebih percaya pada peran subsistem yang berada dalam sistem demokrasi. Pandangan – pandangan pluralis disarikan oleh ilmuwan Robert Dahl dan David Truman. Pandangan pluralis dapat dirangkum

26


(40)

sebagai berikut: (a). Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-individu yang lain dalam proses pembuatan keputusan; (b). hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung namun hubungan-hubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus; (c). tidak ada pembedaan yang tetap antara “elit” dan “massa” ; (d). kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi,kekayaan merupakan asset daam politik tetapi hanya merupakan salah satu dari sekian banyak asset politik yang ada; (e). terdapat banyak pusat kekuasaan di antara komunitas; (f). kompetisi dapat dianggap berada diantara pemimpin.

I.5.3 Formulasi (Perumusan) Kebijakan

I.5.3.1 Pengertian Formulasi (Perumusan) Kebijakan

Berkaitan dengan policy formulation Woll (1996) berpendapat bahwa formulasi kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik,dimana pada tahap ini para analis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam menentukan pilihan kebijakan pada tahap ini dapat menggunakan analisis biaya manfaat dan analisis keputusan,dimana keputusan yang harus diambil pada posisi tidak menentu dengan informasi yang serba terbatas. Pada tahap formulasi kebijakan ini,para analis harus mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forecasting untuk memecahkan masalah yang


(41)

didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih. 27

Menurut James Anderson,formulasi kebijakan adalah bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif - alternatif untuk memecahkan masalah tersebut dan siapa saja kah yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan.Sedangkan menurut Howlet dan M. Ramesh,formulasi kebijakan adalah proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah

28

Formulasi kebijakan publik yang baik adalah formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternative solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan ideal normative,itu bukanlah . Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan. Maka dari itu apapun yang terjadi di dalam tahap ini akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya kebijakan yang telah dibuat itu di masa yang akan datang. Sehingga setiap para pembuat kebijakan hendaknya lebih berhati-hati lagi dalam melakukan formulasi kebijakan publik.

27

Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003 Kebijakan Publik Yang Membumi . Lukman Offset YPAPI: Yogyakarta. hal 8

28


(42)

masalah asalkan uraian alas kebijakan publik itu presisi dengan realitas masalah

kebijakan yang ada di lapangan.29

Proses pembuatan sebuah kebijakan publik melibatkan berbagai aktivitas yang kompleks. Pemahaman terhadap proses pembuatan kebijakan oleh para ahli dipandang penting dalam upaya melakukan penilaian terhadap sebuah kebijakan publik. Untuk membantu melakukan hal ini, para ahli kemudian mengembangkan

sejumlah kerangka untuk memahami proses kebijakan (policy process) atau

seringkali disebut juga sebagai siklus kebijakan (policy cycles). Sejumlah ahli

yang mengembangkan kerangka pemahaman tersebut diantaranya adalah Dye (2005) dan Anderson (2006). Menurut Dye,bagaimana sebuah kebijakan dibuat dapat diketahui dengan mempertimbangkan sejumlah aktivitas atau proses yang terjadi didalam sistem politik. Terkait hal ini, dalam pandangan, pembuatan kebijakan sebagai sebuah proses akan meliputi sejumlah proses, aktivitas, dan

keterlibatan peserta sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 1 berikut.30

29

Putra,Fadillah. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan pubik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2003.Hal 50

30

Dye, Thomas R, 2005, Understanding Public Policy, Eleventh Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall hal 31-32


(43)

Tabel 1.5.3.1

Pembuatan Kebijakan sebagai sebuah Proses

Proses Aktivitas Peserta

Identifikasi Masalah Publikasi masalah sosial;

mengekspresikan tuntutan akan tindakan dari

pemerintah

Media massa; kelompok kepentingan; inisiatif masyarakat; opini publik

Penetapan Agenda Menentukan mengenai

masalah-masalah apa yang akan diputuskan; masalah apa yang akan

dibahas/ditangani oleh pemerintah

Elit, termasuk presiden dan kongres; kandidat untuk jabatan publik tertentu; media massa

Perumusan Kebijakan Pengembangan proposal

kebijakan untuk menyelesaikan dan memperbaiki masalah

Pemikir; Presiden dan lembaga eksekutif; komite kongres; kelompok kepentingan

Legitimasi Kebijakan Memilih proposal;

mengembangkan

dukungan untuk proposal terpilih; menetapkannya menjadi peraturan hukum;

Kelompok kepentingan; presiden; kongres; pengadilan


(44)

memutuskan konstitusionalnya

Implementasi Kebijakan Mengorganisasikan

departemen dan badan; menyediakan pembiayaan atau jasa pelayanan; menetapkan pajak

Presiden dan staf kepresidenan;

departemen dan badan

Evaluasi Kebijakan Melaporkan output dari

program pemerintah; mengevaluasi dampak kebijakan kepada kelompok sasaran dan bukan sasaran;

mengusulkan perubahan dan reformasi

Departemen dan badan; komite pengawasan kongres; media massa; pemikir

I.5.3.2 Kriteria Formulasi (Perumusan) Kebijakan

Ada beberapa kriteria formulasi yang menjadi bahan pertimbangan para perumus kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan. Peneliti menggunakan kriteria implementasi yang dikemukakan oleh Van Meter Van Horn. Hal ini untuk dapat mengkaji dengan baik suatu proses implementasi perumusan kebijakan publik . Alasan penulis memilih model ini adalah karena model Van Meter dan Van Horn dapat membantu penulis dalam mendeskripsikan bagaimana proses


(45)

implementasi perumusan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan. Van Meter dan Van Horn mengemukakan enam variabel penting yang tercakup dalam suatu proses implementasi, yaitu

(1) Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.

(2) Sumber Daya

Proses Perumusan kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia misalnya dana yang dingunakan untuk mendukung proses perumusan kebijakan.

(3) Komunikasi dan Penguatan Aktivitas

Didalam proses perumusan suatu kebijakan sangat diperlukan dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu perumusan kebijakan.

(4) Karakteristik agen pelaksana

Karakteristik Agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi proses perumusan suatu kebijakan.


(46)

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi perumusan kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung perumusan kebijakan.

(6) Disposisi implementor

Ini mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk merumuskan kebijakan, (b) kognisi, pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

I.5.3.3 Aktor-Aktor Formulasi (Perumusan) Kebijakan

Pembahasan siapa saja yang terlibat dalam permusan kebijakan dapat dilihat misalnya dalam tulisan James Anderson ,Charles Lindblom dan Lester dan Stewart. Aktor – aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam kedua kelompok yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk ke dalam para pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),presiden (eksekutif),legislatif dan yudikatif. Sedangkan para pemeran serta tidak resmi adalah kemompok-kelompok kepentingan,partai politik dan warganegara individu

1. Para pemeran serta resmi


(47)

Badan-badan administrasi menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan undang-undang dalam sistem politik.

b. Presiden (eksekutif)

Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam komisi-komisi presidensial maupun rapat-rapat kabinet

c. Lembaga yudikatif

Tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pengadilan untuk menentukan apakah tindakan-tindakan yang diambil oleh cabang eksekutif dan legislative sesuai dengan konstitusi atau tidak

d. Lembaga legislative

Lembaga ini bersama-sama dengan pihak eksekutif memegang peran yang cukup penting di dalam perumusan kebijakan. Suatu undang-undang baru akan sah apabila telah disahkan oleh legislative.

2. Para pemeran serta tidak resmi

a. Kelompok Kepentingan

Menurut Truman, kelompok kepentingan adalah sebuah kelompok pembagi sikap yang membuat klaim-klaim tertentu atas kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan tindakan-tindakan tertentu terhadap instansi-instansi pemerintah. Ramlan Surbakti mengatakan bahwa kelompok kepentingan adalah sejumlah orang yang memiliki kesamaan sifat, sikap, kepercayaan dan atau tujuan yang sepakat mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai tujuan . Menurut Almond kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang


(48)

berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah tanpa, pada waktu yang sama, berkehendak memperoleh jabatan publik. Menurut Almond, yang menekankan pada aspek struktur dan fungsi komponen-komponen dalam system politik, kelompok kepentingan merupakan salah satu dari struktur yang terdapatd alam system politik, sebagai bagian dari infrastruktur politik. Fungsi utama kelompok kepentingan yaitu melakukan artikulasi politik. Artikulasi politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan dalam proses pembuatan kebijakan publik, yang di dalamnya terdapat kegiatan penggabungan berbagai kepentingan dan tuntutan masyarakat yang akan diubah menjadi alternatif-alternatif kebijakan. Menurut model proses demokrasi formal dari Dieter Fuchs, fungsi kelompok kepentingan bersama-sama media massa adalah dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik, yaitu dalam hal pengungkapan berbagai tuntutan.

b. Partai-partai Politik

Partai politik merupakan alat untuk meraih kekuasaan. Ha ini berarti bahwa partai politik pada dasarnya lebih berorientasi pada kekuasaan dibandingkan dengan kebijakan publik. Namun demikian tidak dapat mengabaikan pengaruh mereka dalam proses pembentukan kebijakan.

c. Warganegara Individu

Menurut Lindblom,keinginan para warga Negara perlu mendapat perhatian oleh para pembentuk kebijakan. Aturan yang dikemukakan


(49)

oleh Lindblom ini dinyatakan dalam aphorisme bahwa warganegara mempunyai hak untuk didengar dan para pejabat mempunyai tugas untuk mendengarkannya.

Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut

oleh Anderson sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan

peserta non pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat kebijakan

resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Mereka ini menurut Anderson terdiri atas legislatif; eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif merujuk kepada anggota kongres/dewan yang seringkali dibantu oleh para staffnya. Adapun eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran kabinetnya. Sementara itu, badan administratif menurut Anderson merujuk kepada lembaga-lembaga pelaksana kebijakan. Dipihak lain menurut Anderson, Pengadilan juga merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam perumusan kebijakan melalui kewenangan mereka untuk mereview kebijakan serta penafsiran mereka terhadap undang-undang dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan publik.

Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) karena penting atau dominannya peran mereka


(50)

dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi. Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah

mereka siapkan. Jadi meskipun pada akhirnya kebijakan ditentukan oleh institusi

yang berwenang, keputusan diambil setelah melalui proses informal negosiasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan.

Dengan demikian keterlibatan aktor lain dalam pemberian ide terhadap proses perumusan kebijakan tetap atau sangat diperlukan. Lembaga/instansi pemerintah banyak terlibat dalam perumusan ataupun pengembangan kebijakan publik. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah tertentu sehingga keterlibatan lembaga itu sebagai aparat pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin terbuka. Dengan pemahaman tersebut, maka lembaga/instansi pemerintah telah menjadi pelaku penting datam proses pembuatan kebijakan. Selain itu, lembaga/instansi pemerintah juga menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan kebijakan dalam sistem politik. Lembaga/ instansi tersebut secara khas tidak hanya menyarankan kebijakan, tetapi juga secara aktif melakukan lobi dan menggunakan tekanan-tekanan dalam penetapan kebijakan publik.

Di tingkat daerah lembaga legislatif disebut DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk Peraturan Daerah. Setiap peraturan perundang - undangan yang menyangkut persoalan-persoalan publik harus mendapat persetujuan dari lembaga legislatif. Selain itu, keterlibatan lembaga


(51)

legislatif dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, penyelidikan-penyelidikan, dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat pemerintah, kelompok-kelompok kepentingan, dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga legislatif tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Lembaga ini terbentuk melalui permilu yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Partai politik yang memenangkan pemilu akan menempatkan para wakil rakyatnya yang selanjutnya akan mengartikulasikan tuntutan-tuntutan masyrakat. Tuntutan-tuntutan itu kemudian dirumuskan dalam bentuk kebijakan yang “seharusnya” dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Dengan kata lain, partai politik merupakan perwakiIan dari suara rakyat yang telah memandatkan suaranya melalui proses pemilu untuk duduk di lembaga legislatif dapat memper- juangkan apa yang menjadi aspirasi, tuntutan,

dan kepentingan masyarakat.31

Aktor – aktor yang terlibat dalam formulasi pun memiliki peran yang berbeda dengan evaluasi rancangan kebijakan. Aktor – aktor dalam formulasi adalah individu atau kelompok yang memiliki kepentingan dengan kebijakan yang dibuat dan berasal dari berbagai kalangan. Dalam formulasi paling tidak,stakeholders bisa berasal dari legislative,eksekutif maupun kelompok kepentingan. Ketiganya berada dalam kepentingan yang sama dalam pengambilan


(52)

keputusan sedangkan dalam evaluasi rancangan kebijakan,aktor-aktor yang terlibat dalam eksekutif tapi berasal dari tingkat pemerintahan yang berbeda. Di satu pihak berasal dari pemkab/pemkot sebagai pengusul rancangan kebijakan di pihak lain dari pemprov yang bertugas sebagi evaluator.

I.5.4. Adopsi (Penetapan) Kebijakan

I.5.4.1 Pengertian Adopsi (Penetapan) Kebijakan

Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan

kebijakan melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat. Tahap ini

dilakukan setelah melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagi

berikut (Dunn:1994) :32

1) Mengidentifikasikan alternative kebijakan (policy alternative) yang

dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depanyang diinginkan dan merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu bagi masyarakat luas.

2) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai

aternatif yang akan direkomendasi.

3) Mengevaluasi alternatif – alternatif tersebut dengan menggunakan

kriteria-kriteria yang relevan agar efek positif alternatif kebijakan tersebut lebih besar dari efek negatif yang akan terjadi.

32

Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003.Kebijakan Publik Yang Membumi . Lukman Offset YPAPI: Yogyakarta. hal 9


(53)

Menurut James Anderson, penentuan kebijakan (adoption) adalah bagaimana alternatif ditetapkan,persyaratan atau kriteria apa saja yang harus dipenuhi,siapa yang akan melaksanakan kebijakan,bagaimana proses atau strategi

untuk melaksanakan kebijakan,dan apa isi dari kebijakan yang ditetapkan.33

I.5.4.2 Kriteria Adopsi (Penetapan) Kebijakan

Sementara itu, menyangkut kriteria yang dapat digunakan untuk

mempengaruhi pemilihan terhadap suatu kebijakan tertentu, Anderson34

1. Nilai (values)

mengemukakan enam kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memilih kebijakan, yakni:

Nilai menjadi kriteria yang memiliki peranan besar pada saat pengambilan keputusan dilakukan oleh individu karena bersifat sangat pribadi. Nilai berkaitan dengan kesadaran dalam membuat pilihan yang muncuk pada saat individu terlibat dalam pengambilan keputusan. Setiap individu memliki preferensi nilai yang muncul baik secara sadar maupun tidak mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan.

2. Afiliasi Partai Politik ( Political Party Affiliation )

Kesetiaan pada partai merupakan kriteria yang signifikan meskipun sulit memisahkan dari pertimbangan lain seperti pengaruh pemimpin atau komitmen ideologis. Kriteria ini kadang berpengaruh dalam pengambilan

33

op.cit 2005:13

34

Anderson, James E, 1998. Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company hal 72-77


(54)

keputusan yang memuat isu kebijakan yang diusung partai. Namun dalam beberapa isu kebijakan, seringkali membuat perbedaan dukungan antar partai tidak tampak.

3. Kepentingan konstituen

Dukungan suara dari konstituen dalam pemilihan umum sangat penting bagi partai. Konsekuensinya adalah keharusan dari partai untuk memperhatikan kepentingan dari konstituen ( publik ). Proses legislasi untuk pengambilan keputusan tidak hanya dipengaruhi oleh pemerintah tapi juga keinginan dari masyarakat yang diwakili.

4. Opini publik ( Public Opinion )

Suara publik menjadi kriteria penting dalam pembuatan keputusan untuk kebijakan. Suara publik merupakan pencerminan keinginan masyarakat sekaligus pendapat masyarakat tentang tindakan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Namun, kebijakan juga terkadang mengabaikan suara publik dan lebih mementingkan kepentingan elit dalam pemerintahan.

5. Pendapat pejabat/pimpinan ( deference )

Perbedaan pendapat seringkali muncul dalam pengambilan keputusan. Namun berbeda pendapat dengan pimpinan atau pejabat yang berpengaruh seringkali menciptakan keengganan atau rasa sungkan pada diri individu lain.


(55)

Organisasi seringkali membuat peraturan dan pedoman pelaksanaan tugas bagi instansi dari pusat hingga daerah. Interpretasi atas peraturan bersifat kaku dan menjadi hak pemerintah pusat untuk menterjemahkannya. Kondisi ini seringkali menyulitkan karena terdapat keragaman antar daerah. Walaupun demikian daerah harus tetap menjalankan peraturan tersebut karena menjadi rambu – rambu bagi daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Meskipun mengungkapkan enam kriteria tersebut,tetapi Anderson

memberikan catatan khusus pada nilai (value) sebagai satu kriteria pengambilan

keputusan dalam formulasi kebijakan. Pandangan para aktor sangat dipengaruhi oleh nilai – nilai yang dimiliki dalam pengambilan keputusan dan banyak keputusan justru banyak menggunakan pertimbangan nilai dibanding lima kriteria lainnya. Anderson menyebutkan lima kategori nilai yang menjadi pertimbangan para pengambil keputusan yang terdiri dari : a). nilai – nilai politik, b). nilai – nilai organisasi, c). nilai – nilai individu, d). nilai – nilai kebijakan, e). nilai-niai

ideologis35

I.5.4.3 Gaya Adopsi (Penetapan) Kebijakan

Adapun gaya dalam penetapan kebijakan publik menurut Anderson dapat

dibedakan dalam tiga bentuk adalah36

1. Pola kerjasama (bargaining)

:

35

Ibid 1998 : 14-15 36

Madani,Muhlis. 2011. Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik.Yogyakarta:Graha Ilmu hal 37-38


(56)

Anderson menegaskan bahwa proses bargaining dapat terjadi dalam tiga

bentuknya yaitu negoisasi (negoisasion), saling memberi dan menerima (take and

give) dan kompromi (compromise). Sesungguhnya penjelasan bargaining berakar pada istilah bahwa jika mendapat dua atau lebih aktor atau kelompok aktor yang yang masing-masing memiliki kewenangan dan posisi tertentu tetapi dapat

melakukan penyesuaian (sharing) yang diharapkan dapat terbangun dalam sistem

pembahasannya. Dengan demikian negoisasi menjadi langkah awal untuk membentuk opini dan mengarahkan aktor untuk melakukan langkah negoisasi. Setelah proses negoisasi antar aktor terjadi dalam posisi yang berbeda diantara aktor,maka prinsip saling member dan menerima kemudian mewarnai proses pengambilan kebijakan yang dibahas dalam forum aktor yang terlibat. Pada akhirnya para aktor itu akan berujung pada proses kompromistik dimana masing-masing aktor saling melakukan penyesuaian dengan konsep atau ide akan yang lainnya sehingga dapat diputuskan kebijakannya. Hal ini dalam pandangan Anderson dianggap sebagai bentuk bargaining dengan cara yang eksplisit.

2. Persuasive (persuasion)

Persuasif (persuasion) merujuk pada istilah adanya polarisasi kelompok

aktor untuk meyakinkan (convince) kelompok aktor lain yang turut bermain untuk

menentukan kebijakan publik. Akumulasi proses keyakinan kelompok aktor tersebut dapat mengukur keyakinan dan nilai serta usulan yang ditawarkan oleh kelompok yang lain. Pola ini dalam pandangan Anderson (1984) banyak terjadi pada tipe kebijakan yang relatif membutuhkan waktu yang lama untuk mengubah keyakinan aktor yang saling bertentangan antara satu dan yang lainnya. adanya


(57)

bentuk complain dari komunitas masyarakat tertentu dapat mendekati pola penyesuaian yang dianggap sebagai jalur intervensi persuasi. Pola ini relatif dapat ditemukan dalam berbagai bentuk penyusunan kebijakan, misalnya pada perumusan kebijakan APBD dimana antara aktor saling meyakinkan agar pertimbangan dan nilainya dapat diterima oleh kelompok aktor lainnya.

3. Pengarahan (commanding)

Proses pengambilan kebijakan publik dengan menempatkan adanya pola hirarki yang berlaku antara aktor satu dengan aktor yang lain disebut sebagai

pengarahan (commanding). Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada model

ini adalah berkaitan dengan pola perumusan kebijakan yang sangat struktural,dimana satu kelompok aktor menjadi superordinat dan kelompok yang lain tentu saja menjadi subordinat. Tipe pengambilan kebijakan APBD menempatkan posisi ini mirip dengan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga perumus keuangan daerah dalam bentuk kebijakan APBD.

I.5.5 Gambaran Umum Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Secara umum,peraturan perundang-undangan fungsinya adalah “mengatur” sesuatu substansi untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Artinya, peraturan perundang-undanganadalah sebagai instrument

kebijakan (beleids instrument) apapun bentuknya,apakah bentuknya penetapan,

pengesahan, pencabutan, maupun perubahan.37

37

:

pada tanggal 3 Desember 2012 pukul 16:22)


(58)

Jenis jenis Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia (dengan penyesuaian penyebutan berdasarkan Undang-Undang No.10 tahun 2004)

adalah sebagai berikut38

A. Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Pusat

:

(1). Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (2). Peraturan Pemerintah; (3). Peraturan Presiden; (4). Peraturan Menter;i (5). Peraturan Kepala Lemabaga Pemerintah Non Departemen; (6). Peraturan Direktur Jendral Departemen; dan (7). Peraturan Badan Hukum Negara

B. Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Daerah

(1). Peraturan Daerah Provinsi; (2). Peraturan/Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi; (3). Peraturan Daerah Kabupaten Kota; (4). Peraturan/Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah Kabupaten/Kota

38

Indrarti,Maria Farida. 2011. Ilmu Perundang-undangan ( Jenis,Fungsi dan Materi Muatan). Penerbit Kanisius: Yogyakarta. Hal 184-185


(59)

TATA SUSUNAN NORMA HUKUM REPUBLIK INDONESIA

Pembukaan UUD 1945

Batang Tubuh UUD 1945 Ketetapan MPR

Konvensi Ketatanegaraan

Peraturan Undang-Undang/PERPU

Perundang- Peraturan pemerintah

Undangan Peraturan Presiden

Peraturan Menteri Peraturan Ka. LPND

Peraturan Dirjen Dept

Peraturan Bd. Negara Peraturan Daerah Prov

Peraturan Gubernur PeraturanKab/Kota Peraturan Bupati/ Walikota


(1)

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Nomor 53 Tahun 2011, dan sebelumnya harus melalui kajian dari Badan Legislasi Daerah. Dan didalam pembahasan yang akan dilakukan oleh Panitia Khusus bisa saja terdapat perubahan-perubahan pasal maupun penambahan pasal.

Ketua Panitia Khusus DPRD Kota Medan untuk Pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan mengatakan bahwa Didalam proses penetapan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan, anggota Fraksi maupun Panitia Khusus pasti memiliki nilai-nilai dari dalam diri mereka, misalnya saja nilai yang berorientasi pada kepentingan rakyat maupun nilai yang lainnya yang akan mempengaruhi seseorang dalam menetapkan maupun memilih kebijakan publik.

Sekretaris Panitia Khusus DPRD Kota Medan untuk Pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan mengatakan bahwa, nilai yang berada di dalam diri seseorang akan berpengaruh didalam pengambilan keputusan, tetapi seharusnya dengan tidak mengesampingkan kepentingan publik. Karena tujuan utama dari Peraturan Daerah ini adalah untuk memenuhi dan melayani publik.

b. Afiliasi Partai Politik ( Political Party Affiliation )

Ketua Panitia Khusus DPRD Kota Medan untuk Pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan mengatakan bahwa Proses penetapan Peraturan Daerah Kota Medan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan tidak ada keterkaitannya dengan kesetiaan pada partai politik. Hal ini dikarenakan yang


(2)

melakukan pembahasan atas Rancangan Peraturan Daerah tersebut adalah Panitia Khusus, dimana Panitia Khusus tersebut berorientasi pada masyarakat dan kawasan Kota Medan.

Sekretaris Panitia Khusus DPRD Kota Medan untuk Pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan mengatakan bahwa kesetiaan pada partai politik bukanlah suatu kriteria didalam pengambilan keputusan ataupun penetapan kebijakan karena hal yang paling utama yang harus diprioritaskan adalah kepentingan publik.

c. Kepentingan konstituen

Ketua Panitia Khusus DPRD Kota Medan untuk Pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan mengatakan bahwa, Didalam penetapan sebuah kebijakan publik, suara dari konstituen pasti akan sangat berpengaruh. Maksudnya adalah didalam penetapan kebijakan harus menyerap aspirasi masyarakat yang tidak lain adalah konstituen dari sebuah partai politik. Hal ini bisa ditemukan dengan melakukan survey ke lapangan untuk mengetahui apa kebutuhan dari masyarakat. Hal serupa juga diungkapkan oleh Anggota Panitia Khusus DPRD Kota Medan.

d. Opini publik ( Public Opinion )

Sekretaris Panitia Khusus DPRD Kota Medan untuk Pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan mengatakan bahwa Dalam proses Penetapan Peraturan Daerah Kota Medan, Panitia Khusus Medan melakukan survey ke


(3)

lapangan dimana Panitia Khusus menemukan adanya daerah-daerah (kepulauan-kepulauan) kecil wilayah Deli Serdang yang berada di tengah-tengah kota Medan yang menjadi beban sosial dan beban ekonomi bagi Pemerintahan Kota Medan, misalnya keberadaan Pasar Bengkok di Aksara yang termasuk Kabupaten Deli Serdang, maka dari itu Panitia Khusus merekomendasikan agar wilayah tersebut menjadi wilayah Kota Medan dengan memanfaatkan batas sungai Denai sebelah timur.

e. Pendapat pejabat/pimpinan ( deference )

Ketua Panitia Khusus Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan mengatakan bahwa selama proses penetapan Peraturan Daerah tentang RTRW tidak ada perbedaan pendapat yang mencolok yang ada hanya saran-saran maupun himbauan yang akan membantu penetapan Peraturan Daerah tersebut.

Sekretaris Panitia Khusus Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan mengatakan bahwa selama proses Penetapan Peraturan Daerah tentang RTRW tidak ada perbedaan pendapat antara atasan dan bawahan hal ini dikarenakan semuanya sudah dirangkum didalam Pemandangan Umum Fraksi maupun Pendapat Fraksi.

f. Peraturan Perundang-undangan

Ketua Panitia Khusus DPRD Kota Medan untuk Pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan mengatakan bahwa Peraturan Daerah Kota Medan tentang RTRW telah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang


(4)

berlaku seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dimana peraturan perundang-undangan tersebut menjadi pedoman yang harus diikuti.

Kabag Risalah dan Perundang-undangan Sekretariat DPRD Kota Medan megatakan bahwa, Ranperda Rencana Tata Ruang tersebut memperoleh persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat, dan sudah dilakukan penyesuaian substansi dengan ketentuan Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007,. Selanjutnya, sudah dievaluasi untuk disesuaiakan dengan ketentuan substansi yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Kepala Sub Bidang Bagian Dokumentasi dan Evaluasi Hukum mengatakan bahwa, Rancangan Peraturan Daerah Kota Medan tentang RTRW telah sesuai dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan juga telah dievaluasi oleh Biro Hukum Pemprovsu.

6.Kesesuaian Peraturan Daerah Kota Medan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan terhadap Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Staf Bagian Hukum mengatakan bahwa Peraturan Daerah Kota Medan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan (RTRW) telah melalui proses eksaminasi oleh Bagian Hukum Sekretariat daerah Kota Medan, dan juga telah dievaluasi oleh Biro Hukum Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, telah memperoleh persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat, dan telah dilakukan


(5)

penyesuaian substansi dengan ketentuan Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007, telah dievaluasi untuk disesuaikan dengan ketentuan substansi dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.

7.Kendala- kendala dalam Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan

Kepala Bidang Fisik dan Tata Ruang BAPPEDA Kota Medan mengatakan bahwa Pemerintah Kota Medan sejak tahun 2006 telah menyusun rancangan RTRW yang baru, namum sebelum Rencana Tata Ruang tersebut memperoleh persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat, terbit Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007, sehingga perlu dilakukan penyesuaian substansi dengan ketentuan Undang-Undang yang baru. Selanjutnya, dalam perjalanannya, pada tahun 2009 terbit kembali peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Hal ini menyebabkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan yang telah tersusun, kembali dievaluasi untuk disesuaiakan dengan ketentuan substansi yang tertuang di dalam Peraturan Menteri yang berlaku. Sampai pada akhirnya terbit persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat melalui Kementrian Pekerjaan Umum pada tahun 2010, sehingga dapat disampaikan kepada DPRD. Oleh karena itu, keterlambatan penetapan RTRW yang baru, pada dasarnya lebih disebabkan pada perubahan-perubahan yang diberlakukan secara rasional.


(6)

Kassubid Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Medan serta Staf Bagian Hukum Setda Medan mengatakan bahwa kurangnya komunikasi dan koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat termasuk SKPD yang terkait, hal ini menyebabkan adanya beberapa SKPD yang tidak serius, cuek dan enggan memberikan data secara terbuka bagi perumus kebijakan rencana tata ruang wilayah tersebut. Hal ini menyebabkan proses menjadi lebih lama karena harus mencari data dari sumber yang lain