Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron lntravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah
EFEKTlVlTAS LAMA PEMBERIAN IMPLAN
PROGESTERON INTRAVAGINAL'
DAN WAKTU INSEMINAS1 TERHADAP PENAMPILAN
REPRODUKSI KAMBING PERANAKAN ETAWAH
OLEH
LENTJI RlNNY NGANGI
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
Banyaklah yang telah Kau lakukan, ya Tuhan Allahku,
Perbuatan-Mu yang ajaib dan maksud-Mu untuk kami.
Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau!
Aku mau memberitakan dan mengatakannya,
tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung.
(Mazmur 40 : 6)
Tesis ini kupersembahkan untuk
suami tercinta
"Deyv"
dan putriku
"lmmanuela Tumatenden"
ABSTRAK
LENTJI RlNNY NGANGI. Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron
intravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi
kambing Peranakan Etawah. Dibimbing oleh Mozes R Toelihere, sebagai
ketua komisi dan Bambang Purwantara serta I Ketut Sutama, masingmasing sebagai anggota.
Dalam rangka usaha pengembangan ternak kambing PE, maka
beberapa faktor yang berkaitan dengan reproduksi khususnya lnseminasi
Buatan (IB) perlu mendapat perhatian.
Penelitian ini berlangsung di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi
Bogor dalam dua tahap. Pada penelitian tahap I digunakan 24 ekor betina
umur 1.5 tahun untuk melihat respons estrus terhadap lama waktu implan
intravaginal progesteron selama 7 dan 14 hari. Lama implan yang lebih baik
digunakan dalam penelitian tahap II. Semua ternak betina percobaan
disinkronisasi dengan menggunakan progesteron dalam kemasan Controlled
lnternak Drug Release (CIDR-G) yang diimplantasikan secara intravaginal.
Untuk deteksi estrus dipakai dua ekor jantan vasektomi. Ternak-ternak
percobaan (30 ekor) yang digunakan dalam penelitian tahap II diinseminasi
pada dua kisaran waktu, yaitu 14 sampai dengan 23 jam dan 27 sampai
dengan 34 jam setelah onset estrus.
Analisis hasil kedua perlakuan yang ada dilakukan dengan uji
pasangan (uji-t).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama implan ClDR intravaginal
yang berbeda (7 dan 14 hari) tidak menyebabkan perbedaan yang nyata
terhadap penampilan reproduksi (onset dan keserentakan estrus serta
intensitas estrus) pada ternak kambing PE, namun ada kecenderungan
bahwa implan intravaginal progesteron selama 14 hari menunjukkan hasil
yang relatif lebih baik. Hasil angka kebuntingan walaupun tidak terdapat
perbedaan yang signifikan tetapi waktu inseminasi dengan kisaran waktu 14
sampai dengan 23 jam setelah onset estrus direspons relatif lebih tinggi oleh
ternak-ternak percobaan. Dari 30 yang di IB 1 I ekor (36.7%) ternak berhasil
bunting dan melahirkan anak.
Jumlah anak yang dilahirkan dalam
sekelahiran (kidding size) masing-masing 1 (satu).
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama
: Lentji Rinny Ngangi
Status
: Mahasiswa Program Pascasarjana S2
Nomor Pokok Mahasiswa : 97184
Perguruan Tinggi
: lnstitut Pertanian Bogor
Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul " Efektivitas Lama
Pemberian lmplan Progesteron lntravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap
Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah" adalah benar hasil
penelitian dan penulisan saya.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan seperlunya.
Bogor, 30 Juli 2002
enyatakan,
yaR~i
/
Lentji Rinny Ngangi
EFEKTIVITAS LAMA PEMBERIAN IMPLAN
PROGESTERON INTRAVAGINAL
DAN WAKTU INSEMINAS1 TERHADAP PENAMPILAN
REPRODUKSI KAMBING PERANAKAN ETAWAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi Reproduksi
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
Judul tesis
:
Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron
lntravaginal
dan
Waktu
lnseminasi
terhadap
Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah
Nama
:
Lentji Rinny Ngangi
NRP
:
97184
Program Studi
:
Biologi Reproduksi
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof Dr drh Mozes R Toelihere. M
/Dr drh Bambanrr Purwantara, MSc
Dr Ir I Ketut Sutama, MRurSc
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi
I
Prof Dr drh Mozes R Toelihere, MSc
Tanggal Lulus : 30 Juli 2002
Penulis dilahirkan di Manado Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal
15 Maret 1962 sebagai anak sulung dari hasil perkawinan pasangan suami
istri ; ayah bernama Marthin Ngangi
(t)dan ibu Soes Miladeg Karamoy.
Tahun 1980 penulis masuk Universitas Negeri Sam Ratulangi Manado
dan kuliah di fakultas Peternakan jurusan llmu Produksi Ternak.
Penulis
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (staf pengajar) di fakultas Peternakan
Unsrat Manado pada tahun 1988.
Penulis menikah dengan Deyv Pijoh anak dari kel.Pijoh-Mawikere dan
dikaruniai putri pertama bernama Linon Ratumbanua Febriany Pijoh
(t).
Tahun 1997 penulis diterima di Program Studi llmu Biologi Reproduksi pada
program Pascasarjana IPB.
Dalam proses studi di PPs-IPB, penulis dikaruniai seorang putri yang
diberi nama lmmanuela Tumatenden Pijoh.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis naikkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
dan
Pengasih,
karena
atas
berkat
dan
penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan.
pertolongan-Nya
sehingga
Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah lama implan dan waktu inseminasi dengan judul
"Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron Intravaginal dan Waktu
lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan EtawahJ1.
Tak ada kata yang dapat penulis rangkaikan selain ucapan terima
kasih yang tulus dan penghargaan yang besar terhadap guruku yang baik
Profesor Dr drh Mozes R Toelihere, MSc selaku ketua komisi pembimbing,
Dr drh Bambang Purwantara, MSc serta Dr Ir I Ketut Sutama, MRurSc,
masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah rela
meluangkan waktu dan mencurahkan tenaga, pikiran untuk membimbing,
membuka wawasan serta mengarahkan penulis semenjak dari penyusunan
proposal, penelitian sampai dengan penyusunan tesis ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Balai Penelitian
Ternak (BALITNAK) Ciawi-Bogor untuk semua bantuan (lokasi maupun
materi penelitian) yang penulis peroleh selama penelitian berlangsung.
Rasa terima kasih ini juga penulis tujukan kepada Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat 11 Manado Drs Wempie Fredrik atas bantuan dana yang
diberikan kepada penulis.
Atas doa dan cinta kasih dari mami (ibu SM Ngangi-Karamoy) yang
selalu menyertai penulis didalam meraih cita-cita, penulis ucapkan terima
kasih.
Untuk mami mertua (ibu JA Pijoh-Mawikere) penulis sampaikan
terima kasih karena selalu mengiringi penulis dengan doa.
Dalam hening
dan rindu yang dalam, penulis turut mengenang cinta kasih dari papi
(Bpk Marthin Ngangi), papi mertua (Bpk Lodewijk Pijoh) serta putriku tercinta
Linon Ratumbanua Febriany Pijoh yang telah mendahului kita semua.
Dengan penuh cinta kasih dan rasa hormat, penulis persembahkan tesis ini
buat suamiku yang tercinta Deyv Pijoh, yang telah merelakan penulis untuk
menuntut ilmu sambil selalu membekali penulis dengan doa dan cinta. Rasa
syukurku untuk Tuhan karena berkatNya mengalir dengan deras dalam
kehidupan ini.
Immanuela Tumatenden Pijoh putriku, kau hadir ditengah-
tengah proses meraih sukses ini.
Dalam meraih sukses ini penulis banyak menerima cinta dan kasih
dari adik-adikku, untuk itu dengan rasa haru yang dalam penulis ucapkan
terima kasih kepada Kel Ngangi
Arnold dan Billy), Kel Ngangi
- Maionda (Remmy, Rina serta keponakan
- Mawikere (Tommy, Renny serta keponakan
Priscyllia) dan sibungsu Henny WH Ngangi. Rasa bahagia disertai dengan
ucapan terima kasih, penulis tujukan kepada kakak iparku Kei Pijoh-Hansang
(Feriij, ses Rita serta keponakan Angel, Toar dan bayu), Deane M Pijoh serta
Kel Moningka
- Pijoh
(Jorgen, Vera serta keponakan Waraney dan Wulan)
yang telah turut mengambil bagian dalam sukses yang penulis peroleh.
lmmanuel
Buitenzorg, 30 Juli 2002,
Penulis
DAFTAR IS1
Halaman
........................................................................ x i
DAFTAR GAMBAR .................................................................... x i i
...
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................XII
PENDAHULUAN ....................................................................... 1
DAFTAR TABEL
................................................................
..............................
...............................
..................................
.........................................................
........................................................
TINJAUAN PUSTAKA
9
Sejarah Perkenlbangan Kambing PE
9
Siklus Reproduksi Ternak Kambing
10
Kontrol Hormonal Siklus Estrus
16
Gelombang Folikel
18
Sinkronisasi Estrus
19
Hormon Progesteron
22
Penggunaan Hormon Progesteron Dalam Metode
Sinkronisasi Estrus
25
lnseminasi Buatan pada Kambing
28
....................................................
...................................................
..................................
MATERI DAN METODE.............................................................. 32
Waktu dan Tempat Penelitian ......................................... 32
Materi Penelitian ............................................................ 32
Metode Penelitian........................................................... 33
HASlL DAN PEMBAHASAN .......................................................
Siklus Estrus Alamiah ....................................................
Tanda-tanda Estrus dan Lama Periode Estrus ..........
Respons Estrus terhadap lmplan Progesteron ..............
Onset dan Keserentakan Estrus ................................
Persentase Estrus .....................................................
lntensitas Estrus .......................................................
Respons
Agka
Inseminasi
Kebuntingan
terhadap
Waktu
.....................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 57
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Tanda-tanda estrus dari ternak kambing PE percobaan ................
37
2.
Panjang siklus dan lama estrus alamiah pada ternak kambing
percobaan ................................................................................
40
Pengaruh lama implan progesteron intravaginal selama 7 dan 14
hari terhadap onset dan keserentakan estrus ...............................
41
Pengaruh lama implan progesteron intravaginal terhadap jumlah
ternak yang estrus: ....................................................................
42
5.
Respons intensitas estrus sesudah perlakuan..............................
46
6.
Pengaruh lama implan progesteron intravaginal terhadap
intensitas estrus kambing PE ......................................................
47
Respons angka kebuntingan kambing PE terhadap perlakuan
waktu inseminasi ........................................................................
49
3.
4.
7.
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Bagan prosedur kerja pada percobaan tahap I,II dan Ill ..........
34
2.
Controlled Internal Drug Release (CIDR-G) ............................
35
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Pemasangan ClDR pada ternak kambing percobaan ....................
64
2.
Deteksi estrus dengan menggunakan jantan pengusik yang diberi
apron .........................................................................................
65
Penentuan kambing betina estrus dengan gejala diam dinaiki
sebagai patokannya ...................................;...............................
66
4
Pelaksanaan insem-inasi pada ternak kambing percobaan ............
67
5
Uji-t hasil hasil onset dan keserentakan estrus dari ternak
kambing PE setelah implan intravaginal preogesteron selama 7
dan 14 hari ................................................................................
68
Perkiraan kondisi fisiologis dari ternak percobaan pada saat
perlakuan ..................................................................................
70
Tanda-tanda estrus yang terinventarisir dan total nilai dari
kambing PE percobaan menurut perlakuan ..................................
71
Uji-t intensitas estrus dari ternak kambing PE setelah implan
intravaginal progesteron selama 7 dan 14 hari .............................
72
Uji-t angka kebuntingan dari ternak kambing PE yang
diinseminasi dengan kisaran waktu 14-23 dan 27-34 jam setelah
onset estrus ...............................................................................
75
10. Angka persentase melahirkan dan jumlah anak sekelahiran
menurut perlakuan .....................................................................
76
3.
6.
7.
8.
9.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk
mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging
pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing Peranakan Etawah (PE)
sebagai salah satu penghasil daging dan susu perlu ditingkatkan serta
dipercepat perkembangannya. Apabila ditinjau dari segi sosial masyarakat,
pemeliharaan ternak kambing tidak memerlukan modal besar dibandingkan
dengan
ternak
lainnya,
dagingnya dapat
dikonsumsi
oleh
seluruh
masyarakat, serta sangat menguntungkan karena ternak kambing bersifat
prolifik atau beranak lebih dari satu ekor per kelahiran (Subandriyo, 1995).
Selain itu ternak kambing juga sangat efisien dalam menggunakan hijauan,
mempunyai kemampuan tinggi untuk merumput dipadang rumput yang
pendek (Tomaszewska dkk, 1991b), mudah beradaptasi dan mempunyai
umur kebuntingan yang singkat serta mempunyai kemampuan untuk tumbuh
dan berkembang biak pada daerah-daerah yang relatif kering.
Kelemahan ternak kambing di Indonesia adalah rendahnya daya
tumbuh dan tingkat kematian yang tinggi pada anak sehingga menurunkan
produktivitas induk, padahal kecepatan pertumbuhan sangat menentukan
efisiensi dan keuntungan usaha peternakan kambing. Selanjutnya Haryanto
dkk (1997) menyatakan bahwa, masalah utama yang harus diatasi pada
usaha peternakan kambing adalah meningkatkan produktivitasnya, karena
walaupun kambing termasuk prolifik tetapi secara umum produktivitasnya
relatif rendah.
Berkaitan
dengan
masalah
tersebut
diatas,
yaitu
rendahnya
produktivitas ternak yang diperkirakan karena pada umumnya kegiatan sub
sektor peternakan masih merupakan mata rantai dari kegiatan sistem
pertanian yang sebagian besar kegiatannya dikelola oleh petani peternak
kecil dengan modal (ternak, lahan, alat dan teknologi) yang terbatas.
Rendahnya produktivitas kambing milik peternak di pedesaan disebabkan
karena antara lain jumlah pemilikan ternak per peternak yang kecil, tingkat
kelahiran yang rendah yaitu 1.49 anak per betina dewasa per tahun
(Haryanto dkk, 1997). Kambing PE yang dipelihara oleh rakyat mencapai
dewasa, siap kawin dan bunting pada umur antara 2 sampai dengan 2,5
tahun serta melahirkan pada umur antara 3 sampai dengan 3,5 tahun
(Haryanto dkk, 1997). Sedangkan diketahui secara normal kambing siap
kawin dan bunting dicapai pada umur antara 11 sampai dengan 13 bulan dan
melahirkan antara umur 16 sampai dengan 18 bulan. Menurut Sutama dkk
(1994) selang beranak atau interval beranak bervariasi tergantung jenis,
umur induk, periode laktasi, tingkat beranak dan faktor pakan. Selanjutnya
dinyatakan bahwa pada kambing dapat terjadi dua kali kelahiran per tahun.
Interval beranak dipengaruhi juga oleh sistem pemeliharaan dan dapat
mencapai 240 sampai dengan 350 hari (Sutama dkk, 1994). Pada
kenyataannya banyak ditemukan ditingkat lapangan, ternak melahirkan
hampir sekali dalam setahun bahkan sekali dalam dua tahun, ha1 ini
umumnya dikarenakan tatalaksana perkawinan tidak terlalu diperhatikan dan
saat induk tidak bertemu dengan pejantan sehingga tidak diketahui saat
estrus dan juga deteksi estrus memang sulit dilakukan untuk ternak kambing
dan domba tanpa kehadiran pejantan, terutama ternak yang dikandangkan
terus menerus, sedangkan perbedaan jumlah anak sekelahiran dikarenakan
jenis ternak dan musim. Penyebab lain yang juga mengakibatkan rendahnya
kinerja reproduksi dari kambing-kambing tersebut adalah kemungkinan
disebabkan oleh adanya gangguan produksi hormon ataupun sekresi hormon
reproduksi.
Dalam rangka usaha pengembangan dan peningkatan populasi ternak
kambing Peranakan Etawah tersebut, maka faktor-faktor yang berkaitan
dengan reproduksi perlu mendapat perhatian.
Untuk itu perlu dilakukan
pendekatan teknologi yang meliputi komponen yang mempengaruhinya yaitu
1) Mempercepat pubertas ; 2) Memperpendek selang beranak ; 3) Menekan
kematian anak pra sapih serta 4) Memperbanyak jumlah anak sekelahiran
dan sebagainya (Haryanto dkk, 1997).
Teknologi lnseminasi Buatan (IB) telah diterapkan di Indonesia sejak
tahun 1952 khususnya pada ternak sapi.
Namun penerapan di lapangan
secara intensif baru dimulai tahun 1973 dengan menggunakan semen beku
dari beberapa sapi impor.
Hambatan dan rendahnya tingkat konsepsi hasil I8 (pada ternak
kambing) yang dihadapi dalam pelaksanaannya adalah selain belum
memasyarakatnya teknologi tersebut diseluruh wilayah pedesaan kecuali
wilayah Desa Binaan dan Sentra Peternakan, juga disebabkan oleh sulitnya
pengamatan deteksi estrus oleh petani peternak karena faktor intensitas
pengamatan yang
kurang dari
peternak, sementara
periode estrus
berlangsung sangat singkat dengan gejala yang kurang begitu jelas terlihat.
Untuk Mengefisienkan pelayanan IB tersebut maka hambatan yang dihadapi
didalam pelaksanaannya pada kambing tersebut harus ditekan sekecil
mungkin.
Dalam suatu kelompok ternak, estrus yang tidak serentak merupakan
kendala dalam pelaksanaan IB. Hafez (1993) menyatakan bahwa didalam
suatu kelompok ternak betina dengan siklus estrus yang acak, saat
terjadinya estrus tidak dapat diprediksi dengan tepat.
Kendala tersebut
dapat diatasi dengan menggunakan suatu metode yang sudah dilakukan
secara meluas yaitu sinkronisasi estrus.
i
Sinkronisasi estrus adalah pengendalian siklus estrus sedemikian
rupa sehingga periode estrus pada banyak ternak betina terjadi secara
serentak pada saat yang sama atau dalam waktu dua sampai tiga hari,
sehingga IB dapat dikerjakan secara serentak dan ha1 ini dimaksudkan untuk
meningkatkan efisiensi reproduksi.
Dasar fisiologik dari sinkronisasi estrus adalah hambatan pelepasan
FSH dan LH dari adenohipofisis dan menghambat pematangan folikel de
Graaf atau penyingkiran corpus luteum (CL) secara mekanik, manual atau
fisiologik dengan pemberian progesteron, agen luteolitik (PGF2a), estrogen
atau analognya (Mc Donald, 1989).
Bertolak dari masalah yang telah diuraikan diatas, maka telah
dilakukan penelitian melalui suatu percobaan yang bertujuan untuk
mengetahui sampai sejauh mana efektivitas lama pemberian implan
Progesteron lntravaginal dan waktu inseminasi terhadap penampilan
reproduksi kambing Peranakan Etawah (PE).
Dasar Pertimbangan
Kemampuan bereproduksi merupakan faktor penting untuk menjaga
kelangsungan hidup suatu populasi mahluk hidup. Siklus reproduksi pada
hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks. Kehidupan hewan
betina yang normal antara lain harus mengalami pubertas, estrus dan juga
menghasilkan ovum yang hidup dan diovulasikan pada waktu yang tepat
(Toelihere, 1981).
Problema utama, yang dihadapi pada siklus reproduksi kambing
Peranakan Etawah adalah rendahnya kualitas dan kuantitas reproduksi.
Dari berbagai pengamatan terlihat bahwa gangguan reproduksi merupakan
hambatan dan penyebab utama didalam perkembangan usaha peternakan
kambing Peranakan Etawah. Gangguan reproduksi tersebut diawali oleh
kurang memadainya penanganan ternak oleh petani peternak, sehingga
timbul gangguan fungsional, kawin berulang dan kemudian mengakibatkan
angka pelayanan per kebuntingan tinggi, rendahnya angka kebuntingan dan
kelahiran serta panjangnya jarak antar kelahiran (Toelihere, 1997).
Dalam program inseminasi buatan ada empat faktor utama yang
menentukan efisiensi reproduksi yang menggambarkan keberhasilan atau
optimalisasi pelayanan inseminasi buatan (IB) (Toelihere, 1997). Keempat
faktor tersebut adalah : 1) Kesuburan bibit semen pejantan (faktor pejantan)
2) Kesuburan ternak betina akseptor (faktor betina); 3) Ketrampilan
inseminator dan 4) Pengetahuan zooteknik peternak (faktor ketepatan
deteksi estrus dan waktu inseminasi).
Keempat faktor tersebut saling
berkaitan erat satu sama lain, apabila terdapat salah satu faktor yang rendah
nilainya maka akan mempengaruhi efisiensi produksi.
Untuk mengefisienkan pelaksanaan IB maka dilakukanlah sinkronisasi
estrus yang merupakan pengendalian siklus sedemikian rupa sehingga
periode estrus pada banyak ternak betina terjadi secara serentak pada hari
yang sama atau dalam kurun waktu dua sampai tiga hari sehingga
pelaksanaan 18 dapat pula dilakukan secara serentak dan efisiensi
:
reproduksi dapat ditingkatkan.
Dewasa ini telah dikembangkan metode Controlled Internal Drug
Release (CIDR) untuk beberapa jenis ternak antara lain untuk kambing
(CIDR-G) oleh sebuah perusahaan swasta New Zealand.
Kandungan
progesteron dalam CIDR-G tersebut 0,33 gram identik dengan progesteron
alami pada seluruh mamaiia. Progesteron yang diserap oleh vagina kedalam
aliran darah akan mempertahankan kadar didalam darah, cukup untuk
menekan pelepasan LH dan FSH dari hipofisis untuk jangka waktu program
perlakuan yang direkomendasikan. Kadar progesteron darah akan mencapai
kadar tinggi setelah pemasukan CIDR, mendatar selama periode perlakuan
dan kemudian turun dengan cepat setelah CIDR-G dilepas dan kembali ke
kadar basal dalam waktu enam jam (InterAg, 1996).
Namun demikian, standar yang optimal untuk lama pemberian CIDR-G
yang mengandung progestron 0.33 gram pada kambing PE kemudian
diinseminasi dengan waktu yang berbeda informasinya masih kurang
sehingga memerlukan penelitian lanjut. Diharapkan dengan perlakuan yang
akan diberikan nanti dapat meningkatkan optimalisasi pelaksanaan IB dan
dengan sendirinya akan meningkatkan efisiensi reproduksi kambing PE.
Perurnusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka masalah
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
Apakah terdapat pengaruh perbedaan lama pemberian implan progesteron
intravaginal (7 dan 14 hari) dan waktu inseminasi dengan kisaran waktu
(sekitar 20 dan 30 jam) setelah onset estrus terhadap onset estrus dan
angka kebuntingan.
Tujuan Penelitian
1.
Menentukan
intravaginal
efektivitas
untuk
lama
sinkronisasi
pemberian
estrus
dan
implan
progesteron
pencapaian
angka
kebuntingan optimal pada kambing PE.
2.
Mengetahui pengaruh lama pemberian implan progesteron intravaginal
terhadap onset estrus, persentase ternak yang estrus dan angka
kebuntingan.
3.
Menentukan waktu
IB yang
terbaik
dalam
pencapaian angka
kebuntingan yang optimal.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
informasi ilmiah tentang lama penggunaan implan progesteron dalam
sinkronisasi estrus metode intravaginal dan waktu inseminasi yang tepat
untuk meningkatkan angka kebuntingan pada ternak kambing PE.
Hipotesis
1.
Lama pemberian implan progesteron intravaginal memberikan respons
dalam sinkronisasi estrus dan angka kebuntingan.
2.
Waktu IB yang berbeda akan memberikan respons yang tidak sama
terhadap pencapaian angka kebuntingan optimal kambing PE.
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan Kambing PE
Kambing merupakan ruminansia kecil berasal dari Asia Barat
menyebar ke Timur melalui dua jalur utama.
Afganistan
Pertama, dari Persia dan
melalui Turkestan ke Mongolia atau China
Utara, yang
dinamakan lintasan Sutera yang terjadi sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi
(SM). Kedua, dari anak benua India, kambing ini menyebar kepulau
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Philipina dan seterusnya ke Jepang.
Kambing asli lndonesia yang dikenal dengan kambing Kacang tersebar
dipulau-pulau lndonesia terutama Jawa dan Sumatera (Devendra dan
Nozawa, 1976).
Rumich (1967), menyatakan bahwa kambing Jamnapari di lndonesia
dikenal dengan sebutan kambing Etawah yang diimpor dari India pada
permulaan tahun 1920 dan bangsa kambing ini berkembang sangat luas
terutama dipulau Jawa. Ciri-ciri kambing Etawah ini adalah mempunyai daun
telinga yang panjang dan dapat mencapai 25 sampai dengan 31 cm,
dengan tinggi 70 sampai dengan 100 meter dan bobot badan sekitar
40 sampai dengan 45 kg dan kepalanya agak kecil.
Jantan mempunyai
tanduk, pada betina kadang-kadang juga terdapat tanduk. Profil mukanya
cembung terutama pada jantan, leher panjang dan tebal, garis punggung
lurus atau cembung, pinggulnya lebar dan ekornya kecil dan tegak (Rumich,
1967).
Kambing Etawah dikenal sebagai tipe dwiguna, karena dapat
menghasilkan daging maupun susu dengan produksi per hari 2,2 sampai
dengan 2,7 kg. Penyebaran kambing Etawah ini sangat meluas terutama di
Jawa Tengah dan Timur (Sutama, 1995). Adapun maksud dari penyebaran
kambing-kambing Etawah ini yaitu supaya terjadi perkawinan silang dengan
kambing-kambing lokal (Kacang).
Dengan adanya perkawinan silang ini,
maka diharapkan hasil persilangan ini akan menghasilkan mutu performans
produksi dan reproduksi yang lebih tinggi.
Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan hasil persilangan antara
kambing Etawah dengan kambing Kacang (Merkel dan Subandriyo, 1997).
Persilangan ini telah berjalan sejak lama akan tetapi tidak diketahui secara
jelas seberapa jauh grading up berjalan sehingga terbentuk kambing PE
yang
mempunyai
Perbedaan
sifat
sifat-sifat
yang
diantara
menyolok
parientainya
pada
kambing
(Rumich,
ini
adalah
1967).
libido
seksualitasnya yang tinggi (Sitorus dan Triwulaningsih, 1981). Jawa Tengah
dan Jawa Timur adalah merupakan daerah penyebaran dan merupakan
sumber utama bibit kambing PE di Indonesia (Sutama, 1995). Lebih lanjut
dinyatakannya saat ini kambing PE teiah banyak disebarkan diberbagai
daerah dan malahan pada daerah-daerah tertentu sudah sulit ditemukan
kambing Kacang murni (Tomaszewska dkk, 1993).
Siklus Reproduksi Ternak Kambing
Reproduksi dari seekor ternak khususnya betina merupakan suatu
proses yang sangat menentukan, sebab dapat mengalami gangguan pada
setiap waktu, baik stadium sebelum maupun sesudah siklus estrus atau
siklus reproduksinya (Partodihardjo, 1980).
Reproduksi adalah suatu
kemewahan fungsi yang secara fisiologik tidak vital bagi kehidupan individu
tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa
ternak (Toelihere, 1981 dan Sutama, 1996).
Lebih lanjut dikatakan oleh
Sitorus dan Triwulaningsih (1981) bahwa penampilan reproduksi dari seekor
ternak merupakan suatu ha1 yang sangat penting dalam perbaikan kualitas,
karena membantu dalam seleksi untuk mepercepat perbaikan performans.
Menurut Setiadi dkk (1985) penampilan reproduksi dipengaruhi oleh iklim
dan manajemen seperti pakan, penyakit, pemeliharaan dan penanganan
kandang serta umur.
Atau dengan kata lain bahwa penampilan kambing
merupakan hasil interaksi antara faktor genetis dan faktor lingkungan.
Pubertas
Pubertas atau dewasa
kelamin adalah saat dimana
aktivitas
reproduksi dapat berlangsung atau suatu periode dalam kehidupan jantan
dan betina dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi dan ditandai oleh
kemampuan
pertama
memproduksi
benih (Mc Donald, 1989). Pubertas
adalah keadaan mulai berfungsinya alat kelamin dengan normal dan ditandai
dengan mulai terlihatnya tanda-tanda estrus (Frost dkk, 1981) serta ovulasi
(Hafez, 1993).
Umur saat dicapainya pubertas merupakan karakteristik masingmasing spesies.
Kambing PE mencapai pubertas pada umur 10 sampai
dengan 12 bulan (Sutama, 1996).
Pencapaian pubertas dipengaruhi oleh
bangsa dan iklim serta faktor genetik (Hafez, 1993). Lebih lanjut dinyatakan
oleh Hafez (1993) bahwa, pencapaian pubertas lebih erat hubungannya
dengan bobot badan daripada umur. Jika pertumbuhan dipercepat dengan
makanan yang berkualitas baik, maka hewan akan mencapai pubertas pada
umur yang lebih awal. Sebaliknya, apabila pertumbuhan diperlambat dengan
mengurangi pemberian makanan, akan mengakibatkan pubertas tertunda.
Sutama dkk (1994, 1995) melaporkan bahwa pubertas umumnya dicapai
pada berat sekitar 55 sampai dengan 60% sedangkan Broers (1993) 60
sampai dengan 70% dari berat badan dewasa, dan ini erat kaitannya dengan
kondisi pakan yang dikonsumsi.
Ternak kambing PE yang diberi pakan
tambahan konsentrat Urea Molases Blok mencapai pubertas 20 hari lebih
cepat
dibandingkan
dengan
yang tidak
mendapat pakan tambahan
(Tomaszewska dkk, 199Ia). Sutama dkk (1995) melaporkan bahwa berat
badan waktu pubertas kambing PE di stasiun percobaan bervariasi 13,5
sampai dengan 22,5 kg (rataan 18,5) atau 56% dari berat badan dewasa.
Toelihere
(1981)
mengemukakan
bahwa
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi pubertas diantaranya adalah faktor hereditas dan lingkungan
yang meliputi iklim, temperatur dan pakan.
Estrus dan Ovulasi
Aktivitas reproduksi ternak betina berlangsung setelah dewasa
kelamin dicapai dengan ditandai mulai terlihatnya tanda-tanda estrus.
Tanda-tanda estrus yang tampak pada kambing adalah mengembik terus
menerus, tidak tenang, ekor digoyang-goyang kesamping, vulva dan vagina
merah dan bengkak, keluar cairan, betina siap menerima pejantan untuk
kopulasi atau diam bila dinaiki, selera makan berkurang dan produksi susu
menurun (Devendra dan Mc Lerol, 1982). Periode estrus merupakan bagian
dari siklus yang ditandai dengan keinginan ternak betina untuk menerima
pejantan guna melakukan aktivitas kopulasi (Toelihere, 1981), dimana dalam
periode ini juga ternak betina menghasilkan sel telur atau ovum yang hidup.
Interval antara saat timbulnya estrus dari satu periode estrus ke
periode estrus berikutnya dikenal dengan istilah satu siklus estrus dan sekali
dewasa kelamin telah dicapai dan musim bereproduksi telah dimulai maka
suatu siklus ritmik yang spesifik akan terjadi pada ternak betina yang tidak
bunting (Toelihere, 1981).
Siklus estrus pada kambing menurut Sutama
(1995) 18 sampai dengan 22 hari atau rataan 19 hari sedangkan InterAg
(1996) 21 hari (19 sampai dengan 24) dan ovulasi 25 sampai dengan 30 jam
sesudah estrus. Namun menurut Howe (1980) sering juga dijumpai ternak
mempunyai siklus yang agak panjang (40 hari) dan pendek (8 hari). Camp
dkk (1983) melaporkan hasil penelitiannya dimana dijumpai siklus estrus
terpendek yaitu (6.5 2 0.5 hari) pada kambing Nubian. Stagnaro dan Bury
(1982) menyatakan bahwa pada kambing muda siklus estrusnya lebih
pendek daripada kambing tua ; Siklus estrus pada kambing muda (umur 12
sampai dengan 18 bulan) adalah 19.9 2 3.6 hari sedangkan pada kambing
tua adalah 20.6 5 3.6 hari.
Siklus estrus yang pendek ini menurut Hafez
(1993) merupakan ha1 yang abnormal . dan penyebabnya adalah karena
terjadinya regresi CL dan ovulasi yang berlangsung prematur. Lebih lanjut
dikatakan oleh Camp dkk (1983) abnormal yang terjadi pada siklus estrus ini
tidak diketahui dengan pasti penyebabnya. Walaupun setiap spesies
mempunyai cici-ciri khas dari pola siklus estrus, namun pada dasarnya
adalah sama. Siklus estrus dilihat dari gejala yang nampak dari luar pada
umumnya dibagi atas 4 fase atau periode (Partodihardjo,l980 ; Toelihere,
1981 ; Salisbury dkk, 1985) yaitu : proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.
Keempat fase ini juga dapat digolongkan kedalam dua fase yaitu folikuler
atau estrogenik (proesterus dan estrus) serta fase luteal atau progestational
(metestrus dan diestrus).
Proestrus merupakan periode persiapan yang ditandai dengan
pemacuan pertumbuhan folikel oleh Folicle Stimulating Hormone (FSH) dari
hipofisa anterior (Salisbury dkk, 1985 dan McDonald, 1989). Folikel yang
sedang tumbuh menghasilkan cairan folikel dan estradiol yang lebih banyak.
Menurut Elmer dkk (1981), cairan folikel menyebabkan ukuran ovum
meningkat. Produksi estrogen yang tinggi menyebabkan perkembangan
uterus, vagina, oviduk dan folikel-folikel meningkat, serta rneningkatkan
suplai darah kedalarn saluran alat kelamin (Elmer dkk, 1981 ; Salisbury dkk,
1985).
Pada akhir proses proestrus, estrus dimulai (McDonald, 1989). Fase
ini rnerupakan aktivitas penerimaan seksual pada betina (Elmer dkk, 1981),
dan lama pelayanan bervariasi (McDonald, 1989). Ovulasi terjadi pada fase
ini, CL mulai terbentuk pada saat LH dari hipofisa anterior meningkat dan
FSH menurun.
Metestrus adalah fase setelah ovulasi, dimana CL mulai berfungsi
(McDonald, 1989).
Corpus luteum dipertahankan oleh LTH atau prolaktin
dari hipofisa anterior.
sekonyong-konyong.
Metestrus ditandai oleh terhentinya estrus yang
Rongga folikel
pengeluaran lendir terhenti.
segera
berangsur
mengecil dan
Selama metestrus, epitel vagina melepaskan
sebagian sel-sel barunya yang terbentuk (Salisbury dkk, 1985).
Lamanya
fase ini tergantung pada lamanya waktu hipofisa anterior mengsekresikan
LTH (Elmer dkk, 1981).
Diestrus adalah periode terakhir dari siklus estrus.
CL berkembang
dengan sempurna, dan pengaruh hormon progesteron tampak pada dinding
uterus (Salisbury dkk, 1985). Perkembangan otot uterus dan ukuran kelenjar
uterus meningkat. Kelenjar uterus mengsekresikan cairan yang kental untuk
persediaan makanan bagi zigot (McDonald, 1989). Jika terjadi kebuntingan,
fenomena ini akan diperpanjang selama kebuntingan dan CL tetap utuh.
Kehidupan
CL
selama
kebuntingan
dipertahankan
oleh
LTH
yang
disekresikan oleh placenta.
Jika ovum tidak dibuahi dan kebuntingan tidak terjadi, CL akan
beregresi (Elmer dkk, 1981).
Regresi CL (luteolisis) terjadi karena
rangsangan bahan luteolitik yang disekresikan oleh hipofisa anterior atau
uterus tidak bunting yaitu PGF2a.
progesteron segera menurun.
Regresi CL berakibat produksi
Penurunan progesteron menyebabkan
kenaikan FSH. Pertumbuhan folikel dan siklus yang baru dimulai jika musim
kawin masih berlangsung dan pada akhir musim kawin ovarium pada hewan
yang tidak bunting menjadi tidak berfungsi, begitu juga organ-organ
reproduksi lainnya (McDonald,
1989).
Ketika datang musim kawin
berikutnya, ovarium aktif lagi dan siklus yang baru dimulai (Elmer dkk, 1981).
Lama estrus kambing menurut Howe (1980) dan Toelihere (1980)
serta Hafez (1993) berkisar antara 24 sampai dengan 48 jam.
Sedangkan
menurut Riera (1982) lama estrus berkisar antara 23 sampai 60 jam dengan
rataan 36 jam dan Sutama (1995) adalah 25 sampai dengan 40 jam. Lama
estrus dari kambing dipengaruhi oleh bangsa, umur, musim dan kehadiran
ternak jantan. Estrus berlangsung lebih singkat pada awal dan akhir musim
kawin, pada betina muda dan karena adanya pejantan.
Kontrol Hormonal Siklus Estrus
Secara umum ada beberapa hormon yang langsung mempengaruhi
siklus estrus dari seekor ternak betina yang jika berlebihan atau kekurangan
salah satu hormon tersebut, maka akan mengalami gangguan pada siklus
tersebut.
Mekanisme hormonal siklus estrus adalah merupakan interaksi
kompleks
dari
berbagai
hormon seperti
gonadotropin,
Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH), prostaglandin, hormon steroid dan faktor-faktor
lainnya yang berperan dalam folikulogenesis, ovulasi dan pembentukan CL
(Seidel dan Niswender, 1980).
Estrus merupakan suatu aktivitas ovarium yang dikontrol oleh kelenjar
hipofisa anterior.
Pada prinsipnya siklus estrus terjadi akibat adanya
keseimbangan antara hormon steroid dengan ovarium dan protein serta
hormon dari kelenjar hipofisa anterior (Bearden dan Fuquay, 1980). Menurut
Lindsay dkk (1982) siklus estrus dikontrol oleh hormon estrogen dan yang
berasal dari kelenjar hipofisis yang berfungsi mengontrol kegiatan ovarium.
Kontrol siklus ovarium dilakukan oleh hormon FSH dan LH yang
dikeluarkan dari kelenjar adenohipofisis dan mempunyai fungsi untuk
merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel de Graaf didalam ovarium
(Hafez, 1993). Sedangkan kontrol pengeluaran dari FSH dan LH adalah dari
hipotalamus
melalui
Gonadotropin Releasing Hormone
(GnRH)
atau
Luteinizing Hormone-Releasing Hormone (LHRH) yang pengeluarannya
dipengaruhi oleh aktivitas faktor internal dan eksternal melalui jalur saraf
pusat, yang sistemnya diatur oleh mekanisme umpan balik positif dan
negatif dari estrogen dan progesteron yang disekresikan oleh ovarium
(Knobil, 1988).
Dibawah pengaruh level basal FSH dan LH, sel granulosa folikel
mengsekresikan estrogen utamanya yaitu estradiol 17P.
Meningkatnya
konsentrasi estradiol 17P dalam plasma merupakan signal dari ovarium yang
meningkatkan respons gonadotropin adenohipofisis terhadap GnRHILHRH.
Kepekaan adenohyphophysa terhadap GnRhILHRH lebih ditingkatkan lagi
oleh pengaruh progesteron yang disekresikan oleh ovarium atas respons LH
yang dikeluarkan selama permulaanlpersiapan LH surge dan oleh efek
priming LHRHIGnRH.
Priming-LHRH untuk LH surge dan adanya peningkatan kepekaan
respons adenohyphophysa terhadap LHRH, dua peristiwa "puncak" terjadi
pelepasan LH secara optimal (LH surge) dan merupakan bentuk umpan balik
positif karena terjadinya atas rangsangan estradiol 17p-surge yang diakhiri
dengan terjadinya ruptur folikel dan ovulasi.
Dengan kata lain bahwa LH
pada ternak betina akan bekerja sama dengan FSH untuk menstimulir
pematangan folikel dan pelepasan estrogen.
matang
maka
peran
LH selanjutnya
Sesudah folikel menjadi
menyebabkan
ovulasi
menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum.
kandungan LH dalam darah mencapai puncak tertentu
dengan
Jika
maka akan
merespons pelepasan ovum dan selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya
proses ovulasi (Hafez, 1993).
Ovulasi atau pecahnya folikel de Graaf dan keluarnya sel telur secara
bersama-sama dengan isi folikel tersebut pada kambing terjadi secara
spontan pada tahap mendekati akhir dari sejak masuknya estrus atau sekitar
24 sampai dengan 27 jam akhir estrus dengan mengovulasikan 1 sampai
dengan 2 ova (Hafez, 1993) atau 1 sampai dengan 4 ova per silkus pada
kejadian alami atau 9 sampai dengan 19 jam setelah onset estrus
(Nalbandov, 1990).
Menurut Hafez (1993), lamanya estrus dan waktu terjadinya ovulasi
juga merupakan faktor internal dan eksternal, onset estrus dan ovulasi akibat
LH surge (interval antara estrus dan ovulasi) panjang atau lamanya sesuai
dengan peningkatan jumlah ova yang diovulasikan.
Gelombang Folikel
Bartlewski dkk (1980) menyatakan bahwa para ahli lainnya telah
melakukan studi tentang tingkah laku kambing selama siklus estrus dan
masing-masing menarik kesimpulan yang kontras tentang pertumbuhan dan
gelombang folikel yang ada selama siklus (Schrick dkk, 1993 : pertumbuhan
kontinyu dan tidak ada gelombang folikel). Tetapi dilain pihak Ravindra dkk
(1994) menyatakan bahwa, secara alami terdapat empat gelombang folikel
selama siklus estrus dari kambing (Saanen) yang masing-masing muncul
pada hari -2 sampai dengan satu (gelombang I ) , hari kedua sampai dengan
lima (gelombang 2), hari keenam sampai dengan sembilan (gelombang 3)
dan hari kesepuluh sampai dengan 15 (gelombang 4) dan ovulasi lebih
umum terjadi pada gelombang I dan 4 daripada gelombang 2 dan 3
walaupun ovulasi selalu terjadi pada gelombang folikel ke 4 yang terjadi
secara spontan dengan satu atau lebih folikel.
Pada gelombang 2 dan 3,
masing-masing gelombang berlangsung selama (2,5
antar gelombang adalah 3,4
+ 0,2)
hari dan jarak
+ 0,2 hari untuk gelombang 1 dan 4,3 + 0,2 hari
untuk gelombang 4 dengan antara gelombang dengan gelombang Iadalah
3,4
* 0,8 hari.
Fenomena folikel dominan menurut Ginter (1994),
pada
ternak kambing sulit dideteksi karena kadang-kadang terjadi lebih dari satu
folikel besar dalam setiap gelombang dan ha1 ini sudah merupakan ha1 yang
umum; Seperti yang disampaikan pula bahwa sering terjadi ovulasi rangkap,
dari 20 interval antar ovulasi (siklus) yang diamati, 70% atau 14 kali
berovulasi ganda dan 6 kali berovulasi tunggal yang semuanya terjadi pada
gelombang ke 4, termasuk fenomena dominan bisa terdapat lebih dari satu,
sehingga beranak lebih dari satu pada kambing sudah umum terjadi. Pada
gelombang 1 dan 4 merupakan gelombang dengan folikel yang memiliki
*
kemampuan untuk ovulasi dengan diameter maksimum adalah 8,7 0,3 mm
untuk gelombang 4, walaupun secara alami setiap gelombang terdapat
folikel-folikel berdiameter 3 mm yang bertumbuh mencapai 6 mm pada hari
0, 4, 8 dan 14. Perbedaan dengan sapi yang mempunyai tiga gelombang
dan ovulasi terjadi pada gelombang ke 2, dengan suatu tekanan yang
dilakukan oleh folikel dominan terhadap perkembangan folikel lainnya, pada
kambing sifat penekanan folikel sangat ringan sehingga pada hari ke satu
sampai lima saat luteolisis dan perkembangan folikel besar lain masih
berlangsung,
terjadi pula perkembangan folikel baru dari gelombang
berikutnya.
Sinkronisasi Estrus
Sinkronisasi estrus adalah satu pengendalian siklus estrus yang
dilakukan pada sekelompok ternak betina sehat dengan memanipulasi
mekanisme hormonal, sehingga keserentakan estrus dan ovulasi dapat
terjadi pada hari yang sama atau dalam kurun waktu dua atau tiga hari
setelah perlakuan dilepas, sehingga lnseminasi Buatan (IB) dapat dilakukan
secara serentak (Toelihere, 1985). Sinkronisasi estrus ini mengarah pada
hambatan ovulasi dan penundaan aktivitas regresi Corpus Luteum (CL)
(Hafez, 1993).
Macmillan dan Peterson (1993) menyatakan bahwa ada dua tujuan
utama dalam melakukan sinkronisasi estrus yaitu : 1) Mendapatkan seluruh
ternak yang diberikan perlakuan mencapai estrus dalam waktu yang
diketahui dengan pasti sehingga masing-masing ternak tersebut dapat di IB
dalam waktu bersamaan; 2) Untuk menghasilkan angka kebuntingan yang
sebanding atau lebih baik dibanding dengan kelompok yang tidak mendapat
perlakuan yang dikawinkan dengan I 6 atau oleh pejantan. Toelihere (1985)
menyatakan bahwa estrus dan ovulasi sedikit banyaknya diserentakkan pada
hewan betina untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan
sperma dalam
proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan
perkembangan individu baru.
Selanjutnya dikatakan bahwa sinkronisasi
estrus perlu karena umumnya ovum sesudah ovulasi dan umur sperma yang
dideposisikan dalam vagina sangat terbatas hanya beberapa jam.
Pada
dasarnya
ada
dua
cara
yang
dapat
digunakan
untuk
penyerentakan estrus sekelompok ternak betina. Cara yang pertama adalah
dengan cara menghancurkan CL sehingga semua ternak mempunyai fase
folikel yang bersamaan. Cara yang kedua adalah menghambat pertumbuhan
folikel baru secara farmakologik pada akhir fase luteal, dan yang ada pada
awal fase luteal akan berkembang mencapai akhir fase luteal (Hunter, 1980).
Hambatan dihilangkan setelah periode perlakuan mencukupi, sehingga
ternak mencapai fase folikel secara bersamaan.
Hafez (1993) menyatakan bahwa, penyerentakkan estrus dan ovulasi
merupakan alternatif untuk meningkatkan efisiensi produksi ternak. Efisiensi
meningkat karena kelahiran pertama terjadi pada umur lebih muda, dan
interval kebuntingan diperpendek.
Konsentrasi periode estrus dalam dua
tiga hari menghemat tenaga kerja, karena memungkinkan betina dikawinkan
atau di IB dalam periode waktu tertentu (Lasley, 1980 ; Beck dkk, 1996).
Perkawinan yang serentak memudahkan penyediaan hewan pengganti dan
tatalaksananya, meliputi vaksinasi, sistem perkandangan, penggembalaan
dan pemasaran. Sistem perkandangan menjadi lebih mudah karena anakanak yang dilahirkan mempunyai umur yang hampir sama, sehingga tidak
perlu dipisahkan
menurut kelompok umur selama pertumbuhan dan
penggemukkan. Waktu partus dan pemasaran dapat dikonsentrasikan pada
saat tertentu menurut pertimbangan ekonomis (Lasley, 1980 ; Freitas dkk,
1996), antara lain menyesuaikan waktu kelahiran dalam musim-musim
dimana makanan sedang berlimpah. Waktu menunggu untuk pengamatan
estrus dapat dikurangi, juga sangat penting untuk pengembangan teknik
embrio transfer (Partodihardjo, 1980 ; Beck, dkk, 1996). Keuntungan lain
yaitu memudahkan pengawasan terhadap penyakit, khususnya sehubungan
dengan penggunaan kandang.
pengawasan
kelahiran, sehingga
Selain itu juga dapat memungkinkan
dapat mengurangi kasus
mortalitas
neonatal dan dapat merawat anak dengan baik (Hunter, 1890). Dilain pihak
Sutama, (1996,1997) melihat keuntungan melakukan sinkronisasi estrus dari
beberapa segi yaitu :
a. Dari segi manajemen pakan :
Dengan sinkronisasi estrus manajemen menjadi lebih mudah. Pemberian
pakan menurut status kebuntingannya dapat dilakukan dengan baik dan
benar, sehingga ternak akan rnendapatkan pakan sesuai dengan
kebutuhannya.
b. Dari segi manajemen ternak :
Dengan sinkronisasi estrus dapat diketahui bila saatnya ternak akan
dikawinkan dan beranak.
Sehingga pada saat itu perhatian dapat
dicurahkan pada kelompok tersebut, sehingga pengaturan tenaga kerja
dapat lebih efisien.
c.
Dari segi produksi :
Dengan sinkronisasi estrus dapat diatur agar ternak dapat beranak pada
saat diinginkan, dengan jumlah yang dapat diatur.
Jadi jumlah ternak
diproduksi sesuai dengan permintaan pasar dan umur ternak yang
dipasarkan relatif seragam.
Metode sinkronisasi estrus dan ovulasi yang sering digunakan adalah
metode farmakologik dengan menggunakan hormon yang sangat efektif
untuk
suatu
program
perkembangbiakan
dalam
suatu
sentra-sentra
peternakan dengan penjadwalan yang telah ditetapkan terlebih dahulu
walaupun metocle ini cukup mahal dan untuk itu harus dikonvensi dengan
semen pejantan yang teruji keunggulannya.
Hormon Progesteron
Hormon adalah zat kimia yang secara fisiologis diproduksi oleh sel-sel
tertentu yang masuk kedalam sistem sirkulasi transportasi dan dapat
merangsang atau menghambat aktifitas suatu target organ (jaringan)
(Reeves, 1987).
Progesteron adalah nama umum dari steroid yang terdiri atas 21
karbon dan memiliki struktur dasar inti pregnane dengan rumusan empat
lingkaran (Turner dan Bagnara, 1988).
Semua hormon-hormon yang
tergolong steroid disintesis dari koenzim A dengan hasil antaranya adalah
kolesterol (Djojosoebagio, 1990 ; Stryer, 1995). Jadi progesteron disintesis
dari kolesterol dengan bantuan enzim metabolik yang terdapat didalam sel
yang menghasilkan hormon steroid.
progesteron
merupakan
hormon
Reimers (1982) menyatakan bahwa
reproduksi
yang
secara
dominan
disekresikan oleh CL selama fase luteal siklus estrus dan masa kebuntingan.
Pada ternak kambing yang bunting progesteron disekresikan oleh plasenta
dalam jumlah yang terbatas (Hafez, 1985) dan oleh kelenjar adrenal
(Reeves, 1987) yang dialirkan melalui darah karena ikatannya dengan
globuli untuk membentuk CL.
Toelihere (1979) menyatakan bahwa
progesteron tidak disimpan didalam tubuh karena hormon ini dipakai secara
cepat atau disekresikan dan hanya terdapat dalam konsentrasi rendah
didalam jaringan tubuh.
Fungsi progesteron adalah menyiapkan lingkungan uterus untuk
implantasi dan memelihara kebuntingan melalui peningkatan sekresi kelenjar
endometrium dan menghambat motilitas miometrium (Reeves, 1987)
Pada hewan betina dewasa, progesteron mengakibatkan penebalan
dari
mukosa vagina.
Ciri khas dari
progesteron fase
estrus dapat
dilihat dengan adanya garis-garis lendir dan peninggian dari epitelium
(Cole dan Cupps,
1979). Progesteron sangat berpengaruh terhadap
proliferasi uterus tepatnya dibagian endometrium.
luas
dan
besar
bergelombang.
serta
kelenjar
tubulernya
Endometrium menjadi
bertambah
dalam
dan
Sebelum progesteron dihasilkan oleh CL, kelenjar-kelenjar
endometrium ini hanya berupa invaginasi-invaginasi (legokan kecil) yang
dangkal.
Karena pengaruh progesteron invaginasi ini maka endometrium
akan menjadi dalam dan berkelok-kelok hingga berbentuk seperti spiral.
Selanjutnya progesteron akan bekerja secara sinergis dengan estrogen
untuk menstimulir ovulasi dengan menggertak pelepasan LH. Progesteron
juga menimbulkan tingkah laku estrus dan penerimaan pejantan.
Apabila
kadar progesteron yang disekresi CL kurang maka ternak akan mengalami
ovulasi tapi tidak disertai dengan tanda-tanda estrus atau silent heat.
Oleh
karena progesteron dapat menghambat sekresi FSH dan LH yang berarti
tidak
terjadi
perkembangan folikel
yang
menghasilkan
ovum,
maka
progesteron dapat dipakai untuk sinkronisasi estrus.
Level progesteron sangat rendah (0.5 nglml) pada saat estrus dan
level progesteron menjadi 1 nglml pada hari ke 3 atau 4 siklus.
Level
puncak menjadi 3 nglml pada hari ke 7 dan bertahan sampai hari ke 14 atau
selama fase luteal. Pada hewan yang tidak bunting level ini akan menurun
secara cepat sampai level basal. Turunnya level progesteron adalah akibat
regresinya CL oleh prostaglandin yang secara bertahap diproduksi uterus
selama fase luteal. Setelah CL regresi tidak terdapat lagi progesteron yang
berarti
tidak
ada
penghambatan
hypothalamus-pituitary
sehingga
terhadap
FSH
akan
GnRH,
FSH,
merangsang
LH
dari
tumbuhnya
gelombang folikel selanjutnya secara cepat (fase folikuler) dan menghasilkan
estrogen yang semakin banyak hingga mencapai 20 nglml pada sekitar
12 jam setelah onset estrus dan ovulasi 1 atau lebih folikel yang mencapai
ukuran diameter siap ovulasi dan ovulasi terjadi pada 20 jam atas
rangsangan puncak LH.
Umumnya perlakuan progesteron long term dikarakterisasi dengan
penggunaan selama 14 sampai dengan 21 hari (Hafez, 1993), akan tetapi
hasilnya kurang memuaskan karena fertilitas yang dihasilkan agak rendah
meskipun estrus dapat terjadi secara sinkron. Sebaliknya untuk penggunaan
progesteron selama 7 hari dikategorikan short term.
Penggunaan Hormon Progesteron dalam Metode Sinkronisasi Estrus
Program
sinkronisasi
estrus
dengan
menggunakan
metode
progesteron eksogenous akan mengkontrol dua ekspresi yaitu estrus dan
terjadinya preovulatory LH surge serta ovulasi.
Prinsip sinkronisasi dengan menggunakan preparat progesteron
didasarkan pada perpanjangan atau mempertahankan fase CL sehingga
semua ternak berada pada periode luteal (Tomaszewska dkk, 199Ib).
Progesteron merupakan preparat pertama yang dipakai untuk sinkronisasi
estrus dimana hormon tersebut bekerja menghambat sekresi FSH dan LH,
sehingga tidak terjadi pertumbuhan gelombang baru dengan cara menekan
keluarnya LH melalui mekanisme penghambatan pada hypotalamus-pituitary
(Adams dkk, 1994).
Pemberian progesteron secara eksogenous selama
beberapa hari pertama dari siklus akan memperpendek siklus dari hewan
yang tidak buntin
PROGESTERON INTRAVAGINAL'
DAN WAKTU INSEMINAS1 TERHADAP PENAMPILAN
REPRODUKSI KAMBING PERANAKAN ETAWAH
OLEH
LENTJI RlNNY NGANGI
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
Banyaklah yang telah Kau lakukan, ya Tuhan Allahku,
Perbuatan-Mu yang ajaib dan maksud-Mu untuk kami.
Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau!
Aku mau memberitakan dan mengatakannya,
tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung.
(Mazmur 40 : 6)
Tesis ini kupersembahkan untuk
suami tercinta
"Deyv"
dan putriku
"lmmanuela Tumatenden"
ABSTRAK
LENTJI RlNNY NGANGI. Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron
intravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi
kambing Peranakan Etawah. Dibimbing oleh Mozes R Toelihere, sebagai
ketua komisi dan Bambang Purwantara serta I Ketut Sutama, masingmasing sebagai anggota.
Dalam rangka usaha pengembangan ternak kambing PE, maka
beberapa faktor yang berkaitan dengan reproduksi khususnya lnseminasi
Buatan (IB) perlu mendapat perhatian.
Penelitian ini berlangsung di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi
Bogor dalam dua tahap. Pada penelitian tahap I digunakan 24 ekor betina
umur 1.5 tahun untuk melihat respons estrus terhadap lama waktu implan
intravaginal progesteron selama 7 dan 14 hari. Lama implan yang lebih baik
digunakan dalam penelitian tahap II. Semua ternak betina percobaan
disinkronisasi dengan menggunakan progesteron dalam kemasan Controlled
lnternak Drug Release (CIDR-G) yang diimplantasikan secara intravaginal.
Untuk deteksi estrus dipakai dua ekor jantan vasektomi. Ternak-ternak
percobaan (30 ekor) yang digunakan dalam penelitian tahap II diinseminasi
pada dua kisaran waktu, yaitu 14 sampai dengan 23 jam dan 27 sampai
dengan 34 jam setelah onset estrus.
Analisis hasil kedua perlakuan yang ada dilakukan dengan uji
pasangan (uji-t).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama implan ClDR intravaginal
yang berbeda (7 dan 14 hari) tidak menyebabkan perbedaan yang nyata
terhadap penampilan reproduksi (onset dan keserentakan estrus serta
intensitas estrus) pada ternak kambing PE, namun ada kecenderungan
bahwa implan intravaginal progesteron selama 14 hari menunjukkan hasil
yang relatif lebih baik. Hasil angka kebuntingan walaupun tidak terdapat
perbedaan yang signifikan tetapi waktu inseminasi dengan kisaran waktu 14
sampai dengan 23 jam setelah onset estrus direspons relatif lebih tinggi oleh
ternak-ternak percobaan. Dari 30 yang di IB 1 I ekor (36.7%) ternak berhasil
bunting dan melahirkan anak.
Jumlah anak yang dilahirkan dalam
sekelahiran (kidding size) masing-masing 1 (satu).
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama
: Lentji Rinny Ngangi
Status
: Mahasiswa Program Pascasarjana S2
Nomor Pokok Mahasiswa : 97184
Perguruan Tinggi
: lnstitut Pertanian Bogor
Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul " Efektivitas Lama
Pemberian lmplan Progesteron lntravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap
Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah" adalah benar hasil
penelitian dan penulisan saya.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan seperlunya.
Bogor, 30 Juli 2002
enyatakan,
yaR~i
/
Lentji Rinny Ngangi
EFEKTIVITAS LAMA PEMBERIAN IMPLAN
PROGESTERON INTRAVAGINAL
DAN WAKTU INSEMINAS1 TERHADAP PENAMPILAN
REPRODUKSI KAMBING PERANAKAN ETAWAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi Reproduksi
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
Judul tesis
:
Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron
lntravaginal
dan
Waktu
lnseminasi
terhadap
Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah
Nama
:
Lentji Rinny Ngangi
NRP
:
97184
Program Studi
:
Biologi Reproduksi
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof Dr drh Mozes R Toelihere. M
/Dr drh Bambanrr Purwantara, MSc
Dr Ir I Ketut Sutama, MRurSc
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi
I
Prof Dr drh Mozes R Toelihere, MSc
Tanggal Lulus : 30 Juli 2002
Penulis dilahirkan di Manado Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal
15 Maret 1962 sebagai anak sulung dari hasil perkawinan pasangan suami
istri ; ayah bernama Marthin Ngangi
(t)dan ibu Soes Miladeg Karamoy.
Tahun 1980 penulis masuk Universitas Negeri Sam Ratulangi Manado
dan kuliah di fakultas Peternakan jurusan llmu Produksi Ternak.
Penulis
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (staf pengajar) di fakultas Peternakan
Unsrat Manado pada tahun 1988.
Penulis menikah dengan Deyv Pijoh anak dari kel.Pijoh-Mawikere dan
dikaruniai putri pertama bernama Linon Ratumbanua Febriany Pijoh
(t).
Tahun 1997 penulis diterima di Program Studi llmu Biologi Reproduksi pada
program Pascasarjana IPB.
Dalam proses studi di PPs-IPB, penulis dikaruniai seorang putri yang
diberi nama lmmanuela Tumatenden Pijoh.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis naikkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
dan
Pengasih,
karena
atas
berkat
dan
penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan.
pertolongan-Nya
sehingga
Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah lama implan dan waktu inseminasi dengan judul
"Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron Intravaginal dan Waktu
lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan EtawahJ1.
Tak ada kata yang dapat penulis rangkaikan selain ucapan terima
kasih yang tulus dan penghargaan yang besar terhadap guruku yang baik
Profesor Dr drh Mozes R Toelihere, MSc selaku ketua komisi pembimbing,
Dr drh Bambang Purwantara, MSc serta Dr Ir I Ketut Sutama, MRurSc,
masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah rela
meluangkan waktu dan mencurahkan tenaga, pikiran untuk membimbing,
membuka wawasan serta mengarahkan penulis semenjak dari penyusunan
proposal, penelitian sampai dengan penyusunan tesis ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Balai Penelitian
Ternak (BALITNAK) Ciawi-Bogor untuk semua bantuan (lokasi maupun
materi penelitian) yang penulis peroleh selama penelitian berlangsung.
Rasa terima kasih ini juga penulis tujukan kepada Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat 11 Manado Drs Wempie Fredrik atas bantuan dana yang
diberikan kepada penulis.
Atas doa dan cinta kasih dari mami (ibu SM Ngangi-Karamoy) yang
selalu menyertai penulis didalam meraih cita-cita, penulis ucapkan terima
kasih.
Untuk mami mertua (ibu JA Pijoh-Mawikere) penulis sampaikan
terima kasih karena selalu mengiringi penulis dengan doa.
Dalam hening
dan rindu yang dalam, penulis turut mengenang cinta kasih dari papi
(Bpk Marthin Ngangi), papi mertua (Bpk Lodewijk Pijoh) serta putriku tercinta
Linon Ratumbanua Febriany Pijoh yang telah mendahului kita semua.
Dengan penuh cinta kasih dan rasa hormat, penulis persembahkan tesis ini
buat suamiku yang tercinta Deyv Pijoh, yang telah merelakan penulis untuk
menuntut ilmu sambil selalu membekali penulis dengan doa dan cinta. Rasa
syukurku untuk Tuhan karena berkatNya mengalir dengan deras dalam
kehidupan ini.
Immanuela Tumatenden Pijoh putriku, kau hadir ditengah-
tengah proses meraih sukses ini.
Dalam meraih sukses ini penulis banyak menerima cinta dan kasih
dari adik-adikku, untuk itu dengan rasa haru yang dalam penulis ucapkan
terima kasih kepada Kel Ngangi
Arnold dan Billy), Kel Ngangi
- Maionda (Remmy, Rina serta keponakan
- Mawikere (Tommy, Renny serta keponakan
Priscyllia) dan sibungsu Henny WH Ngangi. Rasa bahagia disertai dengan
ucapan terima kasih, penulis tujukan kepada kakak iparku Kei Pijoh-Hansang
(Feriij, ses Rita serta keponakan Angel, Toar dan bayu), Deane M Pijoh serta
Kel Moningka
- Pijoh
(Jorgen, Vera serta keponakan Waraney dan Wulan)
yang telah turut mengambil bagian dalam sukses yang penulis peroleh.
lmmanuel
Buitenzorg, 30 Juli 2002,
Penulis
DAFTAR IS1
Halaman
........................................................................ x i
DAFTAR GAMBAR .................................................................... x i i
...
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................XII
PENDAHULUAN ....................................................................... 1
DAFTAR TABEL
................................................................
..............................
...............................
..................................
.........................................................
........................................................
TINJAUAN PUSTAKA
9
Sejarah Perkenlbangan Kambing PE
9
Siklus Reproduksi Ternak Kambing
10
Kontrol Hormonal Siklus Estrus
16
Gelombang Folikel
18
Sinkronisasi Estrus
19
Hormon Progesteron
22
Penggunaan Hormon Progesteron Dalam Metode
Sinkronisasi Estrus
25
lnseminasi Buatan pada Kambing
28
....................................................
...................................................
..................................
MATERI DAN METODE.............................................................. 32
Waktu dan Tempat Penelitian ......................................... 32
Materi Penelitian ............................................................ 32
Metode Penelitian........................................................... 33
HASlL DAN PEMBAHASAN .......................................................
Siklus Estrus Alamiah ....................................................
Tanda-tanda Estrus dan Lama Periode Estrus ..........
Respons Estrus terhadap lmplan Progesteron ..............
Onset dan Keserentakan Estrus ................................
Persentase Estrus .....................................................
lntensitas Estrus .......................................................
Respons
Agka
Inseminasi
Kebuntingan
terhadap
Waktu
.....................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 57
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Tanda-tanda estrus dari ternak kambing PE percobaan ................
37
2.
Panjang siklus dan lama estrus alamiah pada ternak kambing
percobaan ................................................................................
40
Pengaruh lama implan progesteron intravaginal selama 7 dan 14
hari terhadap onset dan keserentakan estrus ...............................
41
Pengaruh lama implan progesteron intravaginal terhadap jumlah
ternak yang estrus: ....................................................................
42
5.
Respons intensitas estrus sesudah perlakuan..............................
46
6.
Pengaruh lama implan progesteron intravaginal terhadap
intensitas estrus kambing PE ......................................................
47
Respons angka kebuntingan kambing PE terhadap perlakuan
waktu inseminasi ........................................................................
49
3.
4.
7.
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Bagan prosedur kerja pada percobaan tahap I,II dan Ill ..........
34
2.
Controlled Internal Drug Release (CIDR-G) ............................
35
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Pemasangan ClDR pada ternak kambing percobaan ....................
64
2.
Deteksi estrus dengan menggunakan jantan pengusik yang diberi
apron .........................................................................................
65
Penentuan kambing betina estrus dengan gejala diam dinaiki
sebagai patokannya ...................................;...............................
66
4
Pelaksanaan insem-inasi pada ternak kambing percobaan ............
67
5
Uji-t hasil hasil onset dan keserentakan estrus dari ternak
kambing PE setelah implan intravaginal preogesteron selama 7
dan 14 hari ................................................................................
68
Perkiraan kondisi fisiologis dari ternak percobaan pada saat
perlakuan ..................................................................................
70
Tanda-tanda estrus yang terinventarisir dan total nilai dari
kambing PE percobaan menurut perlakuan ..................................
71
Uji-t intensitas estrus dari ternak kambing PE setelah implan
intravaginal progesteron selama 7 dan 14 hari .............................
72
Uji-t angka kebuntingan dari ternak kambing PE yang
diinseminasi dengan kisaran waktu 14-23 dan 27-34 jam setelah
onset estrus ...............................................................................
75
10. Angka persentase melahirkan dan jumlah anak sekelahiran
menurut perlakuan .....................................................................
76
3.
6.
7.
8.
9.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk
mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging
pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing Peranakan Etawah (PE)
sebagai salah satu penghasil daging dan susu perlu ditingkatkan serta
dipercepat perkembangannya. Apabila ditinjau dari segi sosial masyarakat,
pemeliharaan ternak kambing tidak memerlukan modal besar dibandingkan
dengan
ternak
lainnya,
dagingnya dapat
dikonsumsi
oleh
seluruh
masyarakat, serta sangat menguntungkan karena ternak kambing bersifat
prolifik atau beranak lebih dari satu ekor per kelahiran (Subandriyo, 1995).
Selain itu ternak kambing juga sangat efisien dalam menggunakan hijauan,
mempunyai kemampuan tinggi untuk merumput dipadang rumput yang
pendek (Tomaszewska dkk, 1991b), mudah beradaptasi dan mempunyai
umur kebuntingan yang singkat serta mempunyai kemampuan untuk tumbuh
dan berkembang biak pada daerah-daerah yang relatif kering.
Kelemahan ternak kambing di Indonesia adalah rendahnya daya
tumbuh dan tingkat kematian yang tinggi pada anak sehingga menurunkan
produktivitas induk, padahal kecepatan pertumbuhan sangat menentukan
efisiensi dan keuntungan usaha peternakan kambing. Selanjutnya Haryanto
dkk (1997) menyatakan bahwa, masalah utama yang harus diatasi pada
usaha peternakan kambing adalah meningkatkan produktivitasnya, karena
walaupun kambing termasuk prolifik tetapi secara umum produktivitasnya
relatif rendah.
Berkaitan
dengan
masalah
tersebut
diatas,
yaitu
rendahnya
produktivitas ternak yang diperkirakan karena pada umumnya kegiatan sub
sektor peternakan masih merupakan mata rantai dari kegiatan sistem
pertanian yang sebagian besar kegiatannya dikelola oleh petani peternak
kecil dengan modal (ternak, lahan, alat dan teknologi) yang terbatas.
Rendahnya produktivitas kambing milik peternak di pedesaan disebabkan
karena antara lain jumlah pemilikan ternak per peternak yang kecil, tingkat
kelahiran yang rendah yaitu 1.49 anak per betina dewasa per tahun
(Haryanto dkk, 1997). Kambing PE yang dipelihara oleh rakyat mencapai
dewasa, siap kawin dan bunting pada umur antara 2 sampai dengan 2,5
tahun serta melahirkan pada umur antara 3 sampai dengan 3,5 tahun
(Haryanto dkk, 1997). Sedangkan diketahui secara normal kambing siap
kawin dan bunting dicapai pada umur antara 11 sampai dengan 13 bulan dan
melahirkan antara umur 16 sampai dengan 18 bulan. Menurut Sutama dkk
(1994) selang beranak atau interval beranak bervariasi tergantung jenis,
umur induk, periode laktasi, tingkat beranak dan faktor pakan. Selanjutnya
dinyatakan bahwa pada kambing dapat terjadi dua kali kelahiran per tahun.
Interval beranak dipengaruhi juga oleh sistem pemeliharaan dan dapat
mencapai 240 sampai dengan 350 hari (Sutama dkk, 1994). Pada
kenyataannya banyak ditemukan ditingkat lapangan, ternak melahirkan
hampir sekali dalam setahun bahkan sekali dalam dua tahun, ha1 ini
umumnya dikarenakan tatalaksana perkawinan tidak terlalu diperhatikan dan
saat induk tidak bertemu dengan pejantan sehingga tidak diketahui saat
estrus dan juga deteksi estrus memang sulit dilakukan untuk ternak kambing
dan domba tanpa kehadiran pejantan, terutama ternak yang dikandangkan
terus menerus, sedangkan perbedaan jumlah anak sekelahiran dikarenakan
jenis ternak dan musim. Penyebab lain yang juga mengakibatkan rendahnya
kinerja reproduksi dari kambing-kambing tersebut adalah kemungkinan
disebabkan oleh adanya gangguan produksi hormon ataupun sekresi hormon
reproduksi.
Dalam rangka usaha pengembangan dan peningkatan populasi ternak
kambing Peranakan Etawah tersebut, maka faktor-faktor yang berkaitan
dengan reproduksi perlu mendapat perhatian.
Untuk itu perlu dilakukan
pendekatan teknologi yang meliputi komponen yang mempengaruhinya yaitu
1) Mempercepat pubertas ; 2) Memperpendek selang beranak ; 3) Menekan
kematian anak pra sapih serta 4) Memperbanyak jumlah anak sekelahiran
dan sebagainya (Haryanto dkk, 1997).
Teknologi lnseminasi Buatan (IB) telah diterapkan di Indonesia sejak
tahun 1952 khususnya pada ternak sapi.
Namun penerapan di lapangan
secara intensif baru dimulai tahun 1973 dengan menggunakan semen beku
dari beberapa sapi impor.
Hambatan dan rendahnya tingkat konsepsi hasil I8 (pada ternak
kambing) yang dihadapi dalam pelaksanaannya adalah selain belum
memasyarakatnya teknologi tersebut diseluruh wilayah pedesaan kecuali
wilayah Desa Binaan dan Sentra Peternakan, juga disebabkan oleh sulitnya
pengamatan deteksi estrus oleh petani peternak karena faktor intensitas
pengamatan yang
kurang dari
peternak, sementara
periode estrus
berlangsung sangat singkat dengan gejala yang kurang begitu jelas terlihat.
Untuk Mengefisienkan pelayanan IB tersebut maka hambatan yang dihadapi
didalam pelaksanaannya pada kambing tersebut harus ditekan sekecil
mungkin.
Dalam suatu kelompok ternak, estrus yang tidak serentak merupakan
kendala dalam pelaksanaan IB. Hafez (1993) menyatakan bahwa didalam
suatu kelompok ternak betina dengan siklus estrus yang acak, saat
terjadinya estrus tidak dapat diprediksi dengan tepat.
Kendala tersebut
dapat diatasi dengan menggunakan suatu metode yang sudah dilakukan
secara meluas yaitu sinkronisasi estrus.
i
Sinkronisasi estrus adalah pengendalian siklus estrus sedemikian
rupa sehingga periode estrus pada banyak ternak betina terjadi secara
serentak pada saat yang sama atau dalam waktu dua sampai tiga hari,
sehingga IB dapat dikerjakan secara serentak dan ha1 ini dimaksudkan untuk
meningkatkan efisiensi reproduksi.
Dasar fisiologik dari sinkronisasi estrus adalah hambatan pelepasan
FSH dan LH dari adenohipofisis dan menghambat pematangan folikel de
Graaf atau penyingkiran corpus luteum (CL) secara mekanik, manual atau
fisiologik dengan pemberian progesteron, agen luteolitik (PGF2a), estrogen
atau analognya (Mc Donald, 1989).
Bertolak dari masalah yang telah diuraikan diatas, maka telah
dilakukan penelitian melalui suatu percobaan yang bertujuan untuk
mengetahui sampai sejauh mana efektivitas lama pemberian implan
Progesteron lntravaginal dan waktu inseminasi terhadap penampilan
reproduksi kambing Peranakan Etawah (PE).
Dasar Pertimbangan
Kemampuan bereproduksi merupakan faktor penting untuk menjaga
kelangsungan hidup suatu populasi mahluk hidup. Siklus reproduksi pada
hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks. Kehidupan hewan
betina yang normal antara lain harus mengalami pubertas, estrus dan juga
menghasilkan ovum yang hidup dan diovulasikan pada waktu yang tepat
(Toelihere, 1981).
Problema utama, yang dihadapi pada siklus reproduksi kambing
Peranakan Etawah adalah rendahnya kualitas dan kuantitas reproduksi.
Dari berbagai pengamatan terlihat bahwa gangguan reproduksi merupakan
hambatan dan penyebab utama didalam perkembangan usaha peternakan
kambing Peranakan Etawah. Gangguan reproduksi tersebut diawali oleh
kurang memadainya penanganan ternak oleh petani peternak, sehingga
timbul gangguan fungsional, kawin berulang dan kemudian mengakibatkan
angka pelayanan per kebuntingan tinggi, rendahnya angka kebuntingan dan
kelahiran serta panjangnya jarak antar kelahiran (Toelihere, 1997).
Dalam program inseminasi buatan ada empat faktor utama yang
menentukan efisiensi reproduksi yang menggambarkan keberhasilan atau
optimalisasi pelayanan inseminasi buatan (IB) (Toelihere, 1997). Keempat
faktor tersebut adalah : 1) Kesuburan bibit semen pejantan (faktor pejantan)
2) Kesuburan ternak betina akseptor (faktor betina); 3) Ketrampilan
inseminator dan 4) Pengetahuan zooteknik peternak (faktor ketepatan
deteksi estrus dan waktu inseminasi).
Keempat faktor tersebut saling
berkaitan erat satu sama lain, apabila terdapat salah satu faktor yang rendah
nilainya maka akan mempengaruhi efisiensi produksi.
Untuk mengefisienkan pelaksanaan IB maka dilakukanlah sinkronisasi
estrus yang merupakan pengendalian siklus sedemikian rupa sehingga
periode estrus pada banyak ternak betina terjadi secara serentak pada hari
yang sama atau dalam kurun waktu dua sampai tiga hari sehingga
pelaksanaan 18 dapat pula dilakukan secara serentak dan efisiensi
:
reproduksi dapat ditingkatkan.
Dewasa ini telah dikembangkan metode Controlled Internal Drug
Release (CIDR) untuk beberapa jenis ternak antara lain untuk kambing
(CIDR-G) oleh sebuah perusahaan swasta New Zealand.
Kandungan
progesteron dalam CIDR-G tersebut 0,33 gram identik dengan progesteron
alami pada seluruh mamaiia. Progesteron yang diserap oleh vagina kedalam
aliran darah akan mempertahankan kadar didalam darah, cukup untuk
menekan pelepasan LH dan FSH dari hipofisis untuk jangka waktu program
perlakuan yang direkomendasikan. Kadar progesteron darah akan mencapai
kadar tinggi setelah pemasukan CIDR, mendatar selama periode perlakuan
dan kemudian turun dengan cepat setelah CIDR-G dilepas dan kembali ke
kadar basal dalam waktu enam jam (InterAg, 1996).
Namun demikian, standar yang optimal untuk lama pemberian CIDR-G
yang mengandung progestron 0.33 gram pada kambing PE kemudian
diinseminasi dengan waktu yang berbeda informasinya masih kurang
sehingga memerlukan penelitian lanjut. Diharapkan dengan perlakuan yang
akan diberikan nanti dapat meningkatkan optimalisasi pelaksanaan IB dan
dengan sendirinya akan meningkatkan efisiensi reproduksi kambing PE.
Perurnusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka masalah
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
Apakah terdapat pengaruh perbedaan lama pemberian implan progesteron
intravaginal (7 dan 14 hari) dan waktu inseminasi dengan kisaran waktu
(sekitar 20 dan 30 jam) setelah onset estrus terhadap onset estrus dan
angka kebuntingan.
Tujuan Penelitian
1.
Menentukan
intravaginal
efektivitas
untuk
lama
sinkronisasi
pemberian
estrus
dan
implan
progesteron
pencapaian
angka
kebuntingan optimal pada kambing PE.
2.
Mengetahui pengaruh lama pemberian implan progesteron intravaginal
terhadap onset estrus, persentase ternak yang estrus dan angka
kebuntingan.
3.
Menentukan waktu
IB yang
terbaik
dalam
pencapaian angka
kebuntingan yang optimal.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
informasi ilmiah tentang lama penggunaan implan progesteron dalam
sinkronisasi estrus metode intravaginal dan waktu inseminasi yang tepat
untuk meningkatkan angka kebuntingan pada ternak kambing PE.
Hipotesis
1.
Lama pemberian implan progesteron intravaginal memberikan respons
dalam sinkronisasi estrus dan angka kebuntingan.
2.
Waktu IB yang berbeda akan memberikan respons yang tidak sama
terhadap pencapaian angka kebuntingan optimal kambing PE.
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan Kambing PE
Kambing merupakan ruminansia kecil berasal dari Asia Barat
menyebar ke Timur melalui dua jalur utama.
Afganistan
Pertama, dari Persia dan
melalui Turkestan ke Mongolia atau China
Utara, yang
dinamakan lintasan Sutera yang terjadi sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi
(SM). Kedua, dari anak benua India, kambing ini menyebar kepulau
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Philipina dan seterusnya ke Jepang.
Kambing asli lndonesia yang dikenal dengan kambing Kacang tersebar
dipulau-pulau lndonesia terutama Jawa dan Sumatera (Devendra dan
Nozawa, 1976).
Rumich (1967), menyatakan bahwa kambing Jamnapari di lndonesia
dikenal dengan sebutan kambing Etawah yang diimpor dari India pada
permulaan tahun 1920 dan bangsa kambing ini berkembang sangat luas
terutama dipulau Jawa. Ciri-ciri kambing Etawah ini adalah mempunyai daun
telinga yang panjang dan dapat mencapai 25 sampai dengan 31 cm,
dengan tinggi 70 sampai dengan 100 meter dan bobot badan sekitar
40 sampai dengan 45 kg dan kepalanya agak kecil.
Jantan mempunyai
tanduk, pada betina kadang-kadang juga terdapat tanduk. Profil mukanya
cembung terutama pada jantan, leher panjang dan tebal, garis punggung
lurus atau cembung, pinggulnya lebar dan ekornya kecil dan tegak (Rumich,
1967).
Kambing Etawah dikenal sebagai tipe dwiguna, karena dapat
menghasilkan daging maupun susu dengan produksi per hari 2,2 sampai
dengan 2,7 kg. Penyebaran kambing Etawah ini sangat meluas terutama di
Jawa Tengah dan Timur (Sutama, 1995). Adapun maksud dari penyebaran
kambing-kambing Etawah ini yaitu supaya terjadi perkawinan silang dengan
kambing-kambing lokal (Kacang).
Dengan adanya perkawinan silang ini,
maka diharapkan hasil persilangan ini akan menghasilkan mutu performans
produksi dan reproduksi yang lebih tinggi.
Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan hasil persilangan antara
kambing Etawah dengan kambing Kacang (Merkel dan Subandriyo, 1997).
Persilangan ini telah berjalan sejak lama akan tetapi tidak diketahui secara
jelas seberapa jauh grading up berjalan sehingga terbentuk kambing PE
yang
mempunyai
Perbedaan
sifat
sifat-sifat
yang
diantara
menyolok
parientainya
pada
kambing
(Rumich,
ini
adalah
1967).
libido
seksualitasnya yang tinggi (Sitorus dan Triwulaningsih, 1981). Jawa Tengah
dan Jawa Timur adalah merupakan daerah penyebaran dan merupakan
sumber utama bibit kambing PE di Indonesia (Sutama, 1995). Lebih lanjut
dinyatakannya saat ini kambing PE teiah banyak disebarkan diberbagai
daerah dan malahan pada daerah-daerah tertentu sudah sulit ditemukan
kambing Kacang murni (Tomaszewska dkk, 1993).
Siklus Reproduksi Ternak Kambing
Reproduksi dari seekor ternak khususnya betina merupakan suatu
proses yang sangat menentukan, sebab dapat mengalami gangguan pada
setiap waktu, baik stadium sebelum maupun sesudah siklus estrus atau
siklus reproduksinya (Partodihardjo, 1980).
Reproduksi adalah suatu
kemewahan fungsi yang secara fisiologik tidak vital bagi kehidupan individu
tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa
ternak (Toelihere, 1981 dan Sutama, 1996).
Lebih lanjut dikatakan oleh
Sitorus dan Triwulaningsih (1981) bahwa penampilan reproduksi dari seekor
ternak merupakan suatu ha1 yang sangat penting dalam perbaikan kualitas,
karena membantu dalam seleksi untuk mepercepat perbaikan performans.
Menurut Setiadi dkk (1985) penampilan reproduksi dipengaruhi oleh iklim
dan manajemen seperti pakan, penyakit, pemeliharaan dan penanganan
kandang serta umur.
Atau dengan kata lain bahwa penampilan kambing
merupakan hasil interaksi antara faktor genetis dan faktor lingkungan.
Pubertas
Pubertas atau dewasa
kelamin adalah saat dimana
aktivitas
reproduksi dapat berlangsung atau suatu periode dalam kehidupan jantan
dan betina dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi dan ditandai oleh
kemampuan
pertama
memproduksi
benih (Mc Donald, 1989). Pubertas
adalah keadaan mulai berfungsinya alat kelamin dengan normal dan ditandai
dengan mulai terlihatnya tanda-tanda estrus (Frost dkk, 1981) serta ovulasi
(Hafez, 1993).
Umur saat dicapainya pubertas merupakan karakteristik masingmasing spesies.
Kambing PE mencapai pubertas pada umur 10 sampai
dengan 12 bulan (Sutama, 1996).
Pencapaian pubertas dipengaruhi oleh
bangsa dan iklim serta faktor genetik (Hafez, 1993). Lebih lanjut dinyatakan
oleh Hafez (1993) bahwa, pencapaian pubertas lebih erat hubungannya
dengan bobot badan daripada umur. Jika pertumbuhan dipercepat dengan
makanan yang berkualitas baik, maka hewan akan mencapai pubertas pada
umur yang lebih awal. Sebaliknya, apabila pertumbuhan diperlambat dengan
mengurangi pemberian makanan, akan mengakibatkan pubertas tertunda.
Sutama dkk (1994, 1995) melaporkan bahwa pubertas umumnya dicapai
pada berat sekitar 55 sampai dengan 60% sedangkan Broers (1993) 60
sampai dengan 70% dari berat badan dewasa, dan ini erat kaitannya dengan
kondisi pakan yang dikonsumsi.
Ternak kambing PE yang diberi pakan
tambahan konsentrat Urea Molases Blok mencapai pubertas 20 hari lebih
cepat
dibandingkan
dengan
yang tidak
mendapat pakan tambahan
(Tomaszewska dkk, 199Ia). Sutama dkk (1995) melaporkan bahwa berat
badan waktu pubertas kambing PE di stasiun percobaan bervariasi 13,5
sampai dengan 22,5 kg (rataan 18,5) atau 56% dari berat badan dewasa.
Toelihere
(1981)
mengemukakan
bahwa
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi pubertas diantaranya adalah faktor hereditas dan lingkungan
yang meliputi iklim, temperatur dan pakan.
Estrus dan Ovulasi
Aktivitas reproduksi ternak betina berlangsung setelah dewasa
kelamin dicapai dengan ditandai mulai terlihatnya tanda-tanda estrus.
Tanda-tanda estrus yang tampak pada kambing adalah mengembik terus
menerus, tidak tenang, ekor digoyang-goyang kesamping, vulva dan vagina
merah dan bengkak, keluar cairan, betina siap menerima pejantan untuk
kopulasi atau diam bila dinaiki, selera makan berkurang dan produksi susu
menurun (Devendra dan Mc Lerol, 1982). Periode estrus merupakan bagian
dari siklus yang ditandai dengan keinginan ternak betina untuk menerima
pejantan guna melakukan aktivitas kopulasi (Toelihere, 1981), dimana dalam
periode ini juga ternak betina menghasilkan sel telur atau ovum yang hidup.
Interval antara saat timbulnya estrus dari satu periode estrus ke
periode estrus berikutnya dikenal dengan istilah satu siklus estrus dan sekali
dewasa kelamin telah dicapai dan musim bereproduksi telah dimulai maka
suatu siklus ritmik yang spesifik akan terjadi pada ternak betina yang tidak
bunting (Toelihere, 1981).
Siklus estrus pada kambing menurut Sutama
(1995) 18 sampai dengan 22 hari atau rataan 19 hari sedangkan InterAg
(1996) 21 hari (19 sampai dengan 24) dan ovulasi 25 sampai dengan 30 jam
sesudah estrus. Namun menurut Howe (1980) sering juga dijumpai ternak
mempunyai siklus yang agak panjang (40 hari) dan pendek (8 hari). Camp
dkk (1983) melaporkan hasil penelitiannya dimana dijumpai siklus estrus
terpendek yaitu (6.5 2 0.5 hari) pada kambing Nubian. Stagnaro dan Bury
(1982) menyatakan bahwa pada kambing muda siklus estrusnya lebih
pendek daripada kambing tua ; Siklus estrus pada kambing muda (umur 12
sampai dengan 18 bulan) adalah 19.9 2 3.6 hari sedangkan pada kambing
tua adalah 20.6 5 3.6 hari.
Siklus estrus yang pendek ini menurut Hafez
(1993) merupakan ha1 yang abnormal . dan penyebabnya adalah karena
terjadinya regresi CL dan ovulasi yang berlangsung prematur. Lebih lanjut
dikatakan oleh Camp dkk (1983) abnormal yang terjadi pada siklus estrus ini
tidak diketahui dengan pasti penyebabnya. Walaupun setiap spesies
mempunyai cici-ciri khas dari pola siklus estrus, namun pada dasarnya
adalah sama. Siklus estrus dilihat dari gejala yang nampak dari luar pada
umumnya dibagi atas 4 fase atau periode (Partodihardjo,l980 ; Toelihere,
1981 ; Salisbury dkk, 1985) yaitu : proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.
Keempat fase ini juga dapat digolongkan kedalam dua fase yaitu folikuler
atau estrogenik (proesterus dan estrus) serta fase luteal atau progestational
(metestrus dan diestrus).
Proestrus merupakan periode persiapan yang ditandai dengan
pemacuan pertumbuhan folikel oleh Folicle Stimulating Hormone (FSH) dari
hipofisa anterior (Salisbury dkk, 1985 dan McDonald, 1989). Folikel yang
sedang tumbuh menghasilkan cairan folikel dan estradiol yang lebih banyak.
Menurut Elmer dkk (1981), cairan folikel menyebabkan ukuran ovum
meningkat. Produksi estrogen yang tinggi menyebabkan perkembangan
uterus, vagina, oviduk dan folikel-folikel meningkat, serta rneningkatkan
suplai darah kedalarn saluran alat kelamin (Elmer dkk, 1981 ; Salisbury dkk,
1985).
Pada akhir proses proestrus, estrus dimulai (McDonald, 1989). Fase
ini rnerupakan aktivitas penerimaan seksual pada betina (Elmer dkk, 1981),
dan lama pelayanan bervariasi (McDonald, 1989). Ovulasi terjadi pada fase
ini, CL mulai terbentuk pada saat LH dari hipofisa anterior meningkat dan
FSH menurun.
Metestrus adalah fase setelah ovulasi, dimana CL mulai berfungsi
(McDonald, 1989).
Corpus luteum dipertahankan oleh LTH atau prolaktin
dari hipofisa anterior.
sekonyong-konyong.
Metestrus ditandai oleh terhentinya estrus yang
Rongga folikel
pengeluaran lendir terhenti.
segera
berangsur
mengecil dan
Selama metestrus, epitel vagina melepaskan
sebagian sel-sel barunya yang terbentuk (Salisbury dkk, 1985).
Lamanya
fase ini tergantung pada lamanya waktu hipofisa anterior mengsekresikan
LTH (Elmer dkk, 1981).
Diestrus adalah periode terakhir dari siklus estrus.
CL berkembang
dengan sempurna, dan pengaruh hormon progesteron tampak pada dinding
uterus (Salisbury dkk, 1985). Perkembangan otot uterus dan ukuran kelenjar
uterus meningkat. Kelenjar uterus mengsekresikan cairan yang kental untuk
persediaan makanan bagi zigot (McDonald, 1989). Jika terjadi kebuntingan,
fenomena ini akan diperpanjang selama kebuntingan dan CL tetap utuh.
Kehidupan
CL
selama
kebuntingan
dipertahankan
oleh
LTH
yang
disekresikan oleh placenta.
Jika ovum tidak dibuahi dan kebuntingan tidak terjadi, CL akan
beregresi (Elmer dkk, 1981).
Regresi CL (luteolisis) terjadi karena
rangsangan bahan luteolitik yang disekresikan oleh hipofisa anterior atau
uterus tidak bunting yaitu PGF2a.
progesteron segera menurun.
Regresi CL berakibat produksi
Penurunan progesteron menyebabkan
kenaikan FSH. Pertumbuhan folikel dan siklus yang baru dimulai jika musim
kawin masih berlangsung dan pada akhir musim kawin ovarium pada hewan
yang tidak bunting menjadi tidak berfungsi, begitu juga organ-organ
reproduksi lainnya (McDonald,
1989).
Ketika datang musim kawin
berikutnya, ovarium aktif lagi dan siklus yang baru dimulai (Elmer dkk, 1981).
Lama estrus kambing menurut Howe (1980) dan Toelihere (1980)
serta Hafez (1993) berkisar antara 24 sampai dengan 48 jam.
Sedangkan
menurut Riera (1982) lama estrus berkisar antara 23 sampai 60 jam dengan
rataan 36 jam dan Sutama (1995) adalah 25 sampai dengan 40 jam. Lama
estrus dari kambing dipengaruhi oleh bangsa, umur, musim dan kehadiran
ternak jantan. Estrus berlangsung lebih singkat pada awal dan akhir musim
kawin, pada betina muda dan karena adanya pejantan.
Kontrol Hormonal Siklus Estrus
Secara umum ada beberapa hormon yang langsung mempengaruhi
siklus estrus dari seekor ternak betina yang jika berlebihan atau kekurangan
salah satu hormon tersebut, maka akan mengalami gangguan pada siklus
tersebut.
Mekanisme hormonal siklus estrus adalah merupakan interaksi
kompleks
dari
berbagai
hormon seperti
gonadotropin,
Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH), prostaglandin, hormon steroid dan faktor-faktor
lainnya yang berperan dalam folikulogenesis, ovulasi dan pembentukan CL
(Seidel dan Niswender, 1980).
Estrus merupakan suatu aktivitas ovarium yang dikontrol oleh kelenjar
hipofisa anterior.
Pada prinsipnya siklus estrus terjadi akibat adanya
keseimbangan antara hormon steroid dengan ovarium dan protein serta
hormon dari kelenjar hipofisa anterior (Bearden dan Fuquay, 1980). Menurut
Lindsay dkk (1982) siklus estrus dikontrol oleh hormon estrogen dan yang
berasal dari kelenjar hipofisis yang berfungsi mengontrol kegiatan ovarium.
Kontrol siklus ovarium dilakukan oleh hormon FSH dan LH yang
dikeluarkan dari kelenjar adenohipofisis dan mempunyai fungsi untuk
merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel de Graaf didalam ovarium
(Hafez, 1993). Sedangkan kontrol pengeluaran dari FSH dan LH adalah dari
hipotalamus
melalui
Gonadotropin Releasing Hormone
(GnRH)
atau
Luteinizing Hormone-Releasing Hormone (LHRH) yang pengeluarannya
dipengaruhi oleh aktivitas faktor internal dan eksternal melalui jalur saraf
pusat, yang sistemnya diatur oleh mekanisme umpan balik positif dan
negatif dari estrogen dan progesteron yang disekresikan oleh ovarium
(Knobil, 1988).
Dibawah pengaruh level basal FSH dan LH, sel granulosa folikel
mengsekresikan estrogen utamanya yaitu estradiol 17P.
Meningkatnya
konsentrasi estradiol 17P dalam plasma merupakan signal dari ovarium yang
meningkatkan respons gonadotropin adenohipofisis terhadap GnRHILHRH.
Kepekaan adenohyphophysa terhadap GnRhILHRH lebih ditingkatkan lagi
oleh pengaruh progesteron yang disekresikan oleh ovarium atas respons LH
yang dikeluarkan selama permulaanlpersiapan LH surge dan oleh efek
priming LHRHIGnRH.
Priming-LHRH untuk LH surge dan adanya peningkatan kepekaan
respons adenohyphophysa terhadap LHRH, dua peristiwa "puncak" terjadi
pelepasan LH secara optimal (LH surge) dan merupakan bentuk umpan balik
positif karena terjadinya atas rangsangan estradiol 17p-surge yang diakhiri
dengan terjadinya ruptur folikel dan ovulasi.
Dengan kata lain bahwa LH
pada ternak betina akan bekerja sama dengan FSH untuk menstimulir
pematangan folikel dan pelepasan estrogen.
matang
maka
peran
LH selanjutnya
Sesudah folikel menjadi
menyebabkan
ovulasi
menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum.
kandungan LH dalam darah mencapai puncak tertentu
dengan
Jika
maka akan
merespons pelepasan ovum dan selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya
proses ovulasi (Hafez, 1993).
Ovulasi atau pecahnya folikel de Graaf dan keluarnya sel telur secara
bersama-sama dengan isi folikel tersebut pada kambing terjadi secara
spontan pada tahap mendekati akhir dari sejak masuknya estrus atau sekitar
24 sampai dengan 27 jam akhir estrus dengan mengovulasikan 1 sampai
dengan 2 ova (Hafez, 1993) atau 1 sampai dengan 4 ova per silkus pada
kejadian alami atau 9 sampai dengan 19 jam setelah onset estrus
(Nalbandov, 1990).
Menurut Hafez (1993), lamanya estrus dan waktu terjadinya ovulasi
juga merupakan faktor internal dan eksternal, onset estrus dan ovulasi akibat
LH surge (interval antara estrus dan ovulasi) panjang atau lamanya sesuai
dengan peningkatan jumlah ova yang diovulasikan.
Gelombang Folikel
Bartlewski dkk (1980) menyatakan bahwa para ahli lainnya telah
melakukan studi tentang tingkah laku kambing selama siklus estrus dan
masing-masing menarik kesimpulan yang kontras tentang pertumbuhan dan
gelombang folikel yang ada selama siklus (Schrick dkk, 1993 : pertumbuhan
kontinyu dan tidak ada gelombang folikel). Tetapi dilain pihak Ravindra dkk
(1994) menyatakan bahwa, secara alami terdapat empat gelombang folikel
selama siklus estrus dari kambing (Saanen) yang masing-masing muncul
pada hari -2 sampai dengan satu (gelombang I ) , hari kedua sampai dengan
lima (gelombang 2), hari keenam sampai dengan sembilan (gelombang 3)
dan hari kesepuluh sampai dengan 15 (gelombang 4) dan ovulasi lebih
umum terjadi pada gelombang I dan 4 daripada gelombang 2 dan 3
walaupun ovulasi selalu terjadi pada gelombang folikel ke 4 yang terjadi
secara spontan dengan satu atau lebih folikel.
Pada gelombang 2 dan 3,
masing-masing gelombang berlangsung selama (2,5
antar gelombang adalah 3,4
+ 0,2)
hari dan jarak
+ 0,2 hari untuk gelombang 1 dan 4,3 + 0,2 hari
untuk gelombang 4 dengan antara gelombang dengan gelombang Iadalah
3,4
* 0,8 hari.
Fenomena folikel dominan menurut Ginter (1994),
pada
ternak kambing sulit dideteksi karena kadang-kadang terjadi lebih dari satu
folikel besar dalam setiap gelombang dan ha1 ini sudah merupakan ha1 yang
umum; Seperti yang disampaikan pula bahwa sering terjadi ovulasi rangkap,
dari 20 interval antar ovulasi (siklus) yang diamati, 70% atau 14 kali
berovulasi ganda dan 6 kali berovulasi tunggal yang semuanya terjadi pada
gelombang ke 4, termasuk fenomena dominan bisa terdapat lebih dari satu,
sehingga beranak lebih dari satu pada kambing sudah umum terjadi. Pada
gelombang 1 dan 4 merupakan gelombang dengan folikel yang memiliki
*
kemampuan untuk ovulasi dengan diameter maksimum adalah 8,7 0,3 mm
untuk gelombang 4, walaupun secara alami setiap gelombang terdapat
folikel-folikel berdiameter 3 mm yang bertumbuh mencapai 6 mm pada hari
0, 4, 8 dan 14. Perbedaan dengan sapi yang mempunyai tiga gelombang
dan ovulasi terjadi pada gelombang ke 2, dengan suatu tekanan yang
dilakukan oleh folikel dominan terhadap perkembangan folikel lainnya, pada
kambing sifat penekanan folikel sangat ringan sehingga pada hari ke satu
sampai lima saat luteolisis dan perkembangan folikel besar lain masih
berlangsung,
terjadi pula perkembangan folikel baru dari gelombang
berikutnya.
Sinkronisasi Estrus
Sinkronisasi estrus adalah satu pengendalian siklus estrus yang
dilakukan pada sekelompok ternak betina sehat dengan memanipulasi
mekanisme hormonal, sehingga keserentakan estrus dan ovulasi dapat
terjadi pada hari yang sama atau dalam kurun waktu dua atau tiga hari
setelah perlakuan dilepas, sehingga lnseminasi Buatan (IB) dapat dilakukan
secara serentak (Toelihere, 1985). Sinkronisasi estrus ini mengarah pada
hambatan ovulasi dan penundaan aktivitas regresi Corpus Luteum (CL)
(Hafez, 1993).
Macmillan dan Peterson (1993) menyatakan bahwa ada dua tujuan
utama dalam melakukan sinkronisasi estrus yaitu : 1) Mendapatkan seluruh
ternak yang diberikan perlakuan mencapai estrus dalam waktu yang
diketahui dengan pasti sehingga masing-masing ternak tersebut dapat di IB
dalam waktu bersamaan; 2) Untuk menghasilkan angka kebuntingan yang
sebanding atau lebih baik dibanding dengan kelompok yang tidak mendapat
perlakuan yang dikawinkan dengan I 6 atau oleh pejantan. Toelihere (1985)
menyatakan bahwa estrus dan ovulasi sedikit banyaknya diserentakkan pada
hewan betina untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan
sperma dalam
proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan
perkembangan individu baru.
Selanjutnya dikatakan bahwa sinkronisasi
estrus perlu karena umumnya ovum sesudah ovulasi dan umur sperma yang
dideposisikan dalam vagina sangat terbatas hanya beberapa jam.
Pada
dasarnya
ada
dua
cara
yang
dapat
digunakan
untuk
penyerentakan estrus sekelompok ternak betina. Cara yang pertama adalah
dengan cara menghancurkan CL sehingga semua ternak mempunyai fase
folikel yang bersamaan. Cara yang kedua adalah menghambat pertumbuhan
folikel baru secara farmakologik pada akhir fase luteal, dan yang ada pada
awal fase luteal akan berkembang mencapai akhir fase luteal (Hunter, 1980).
Hambatan dihilangkan setelah periode perlakuan mencukupi, sehingga
ternak mencapai fase folikel secara bersamaan.
Hafez (1993) menyatakan bahwa, penyerentakkan estrus dan ovulasi
merupakan alternatif untuk meningkatkan efisiensi produksi ternak. Efisiensi
meningkat karena kelahiran pertama terjadi pada umur lebih muda, dan
interval kebuntingan diperpendek.
Konsentrasi periode estrus dalam dua
tiga hari menghemat tenaga kerja, karena memungkinkan betina dikawinkan
atau di IB dalam periode waktu tertentu (Lasley, 1980 ; Beck dkk, 1996).
Perkawinan yang serentak memudahkan penyediaan hewan pengganti dan
tatalaksananya, meliputi vaksinasi, sistem perkandangan, penggembalaan
dan pemasaran. Sistem perkandangan menjadi lebih mudah karena anakanak yang dilahirkan mempunyai umur yang hampir sama, sehingga tidak
perlu dipisahkan
menurut kelompok umur selama pertumbuhan dan
penggemukkan. Waktu partus dan pemasaran dapat dikonsentrasikan pada
saat tertentu menurut pertimbangan ekonomis (Lasley, 1980 ; Freitas dkk,
1996), antara lain menyesuaikan waktu kelahiran dalam musim-musim
dimana makanan sedang berlimpah. Waktu menunggu untuk pengamatan
estrus dapat dikurangi, juga sangat penting untuk pengembangan teknik
embrio transfer (Partodihardjo, 1980 ; Beck, dkk, 1996). Keuntungan lain
yaitu memudahkan pengawasan terhadap penyakit, khususnya sehubungan
dengan penggunaan kandang.
pengawasan
kelahiran, sehingga
Selain itu juga dapat memungkinkan
dapat mengurangi kasus
mortalitas
neonatal dan dapat merawat anak dengan baik (Hunter, 1890). Dilain pihak
Sutama, (1996,1997) melihat keuntungan melakukan sinkronisasi estrus dari
beberapa segi yaitu :
a. Dari segi manajemen pakan :
Dengan sinkronisasi estrus manajemen menjadi lebih mudah. Pemberian
pakan menurut status kebuntingannya dapat dilakukan dengan baik dan
benar, sehingga ternak akan rnendapatkan pakan sesuai dengan
kebutuhannya.
b. Dari segi manajemen ternak :
Dengan sinkronisasi estrus dapat diketahui bila saatnya ternak akan
dikawinkan dan beranak.
Sehingga pada saat itu perhatian dapat
dicurahkan pada kelompok tersebut, sehingga pengaturan tenaga kerja
dapat lebih efisien.
c.
Dari segi produksi :
Dengan sinkronisasi estrus dapat diatur agar ternak dapat beranak pada
saat diinginkan, dengan jumlah yang dapat diatur.
Jadi jumlah ternak
diproduksi sesuai dengan permintaan pasar dan umur ternak yang
dipasarkan relatif seragam.
Metode sinkronisasi estrus dan ovulasi yang sering digunakan adalah
metode farmakologik dengan menggunakan hormon yang sangat efektif
untuk
suatu
program
perkembangbiakan
dalam
suatu
sentra-sentra
peternakan dengan penjadwalan yang telah ditetapkan terlebih dahulu
walaupun metocle ini cukup mahal dan untuk itu harus dikonvensi dengan
semen pejantan yang teruji keunggulannya.
Hormon Progesteron
Hormon adalah zat kimia yang secara fisiologis diproduksi oleh sel-sel
tertentu yang masuk kedalam sistem sirkulasi transportasi dan dapat
merangsang atau menghambat aktifitas suatu target organ (jaringan)
(Reeves, 1987).
Progesteron adalah nama umum dari steroid yang terdiri atas 21
karbon dan memiliki struktur dasar inti pregnane dengan rumusan empat
lingkaran (Turner dan Bagnara, 1988).
Semua hormon-hormon yang
tergolong steroid disintesis dari koenzim A dengan hasil antaranya adalah
kolesterol (Djojosoebagio, 1990 ; Stryer, 1995). Jadi progesteron disintesis
dari kolesterol dengan bantuan enzim metabolik yang terdapat didalam sel
yang menghasilkan hormon steroid.
progesteron
merupakan
hormon
Reimers (1982) menyatakan bahwa
reproduksi
yang
secara
dominan
disekresikan oleh CL selama fase luteal siklus estrus dan masa kebuntingan.
Pada ternak kambing yang bunting progesteron disekresikan oleh plasenta
dalam jumlah yang terbatas (Hafez, 1985) dan oleh kelenjar adrenal
(Reeves, 1987) yang dialirkan melalui darah karena ikatannya dengan
globuli untuk membentuk CL.
Toelihere (1979) menyatakan bahwa
progesteron tidak disimpan didalam tubuh karena hormon ini dipakai secara
cepat atau disekresikan dan hanya terdapat dalam konsentrasi rendah
didalam jaringan tubuh.
Fungsi progesteron adalah menyiapkan lingkungan uterus untuk
implantasi dan memelihara kebuntingan melalui peningkatan sekresi kelenjar
endometrium dan menghambat motilitas miometrium (Reeves, 1987)
Pada hewan betina dewasa, progesteron mengakibatkan penebalan
dari
mukosa vagina.
Ciri khas dari
progesteron fase
estrus dapat
dilihat dengan adanya garis-garis lendir dan peninggian dari epitelium
(Cole dan Cupps,
1979). Progesteron sangat berpengaruh terhadap
proliferasi uterus tepatnya dibagian endometrium.
luas
dan
besar
bergelombang.
serta
kelenjar
tubulernya
Endometrium menjadi
bertambah
dalam
dan
Sebelum progesteron dihasilkan oleh CL, kelenjar-kelenjar
endometrium ini hanya berupa invaginasi-invaginasi (legokan kecil) yang
dangkal.
Karena pengaruh progesteron invaginasi ini maka endometrium
akan menjadi dalam dan berkelok-kelok hingga berbentuk seperti spiral.
Selanjutnya progesteron akan bekerja secara sinergis dengan estrogen
untuk menstimulir ovulasi dengan menggertak pelepasan LH. Progesteron
juga menimbulkan tingkah laku estrus dan penerimaan pejantan.
Apabila
kadar progesteron yang disekresi CL kurang maka ternak akan mengalami
ovulasi tapi tidak disertai dengan tanda-tanda estrus atau silent heat.
Oleh
karena progesteron dapat menghambat sekresi FSH dan LH yang berarti
tidak
terjadi
perkembangan folikel
yang
menghasilkan
ovum,
maka
progesteron dapat dipakai untuk sinkronisasi estrus.
Level progesteron sangat rendah (0.5 nglml) pada saat estrus dan
level progesteron menjadi 1 nglml pada hari ke 3 atau 4 siklus.
Level
puncak menjadi 3 nglml pada hari ke 7 dan bertahan sampai hari ke 14 atau
selama fase luteal. Pada hewan yang tidak bunting level ini akan menurun
secara cepat sampai level basal. Turunnya level progesteron adalah akibat
regresinya CL oleh prostaglandin yang secara bertahap diproduksi uterus
selama fase luteal. Setelah CL regresi tidak terdapat lagi progesteron yang
berarti
tidak
ada
penghambatan
hypothalamus-pituitary
sehingga
terhadap
FSH
akan
GnRH,
FSH,
merangsang
LH
dari
tumbuhnya
gelombang folikel selanjutnya secara cepat (fase folikuler) dan menghasilkan
estrogen yang semakin banyak hingga mencapai 20 nglml pada sekitar
12 jam setelah onset estrus dan ovulasi 1 atau lebih folikel yang mencapai
ukuran diameter siap ovulasi dan ovulasi terjadi pada 20 jam atas
rangsangan puncak LH.
Umumnya perlakuan progesteron long term dikarakterisasi dengan
penggunaan selama 14 sampai dengan 21 hari (Hafez, 1993), akan tetapi
hasilnya kurang memuaskan karena fertilitas yang dihasilkan agak rendah
meskipun estrus dapat terjadi secara sinkron. Sebaliknya untuk penggunaan
progesteron selama 7 hari dikategorikan short term.
Penggunaan Hormon Progesteron dalam Metode Sinkronisasi Estrus
Program
sinkronisasi
estrus
dengan
menggunakan
metode
progesteron eksogenous akan mengkontrol dua ekspresi yaitu estrus dan
terjadinya preovulatory LH surge serta ovulasi.
Prinsip sinkronisasi dengan menggunakan preparat progesteron
didasarkan pada perpanjangan atau mempertahankan fase CL sehingga
semua ternak berada pada periode luteal (Tomaszewska dkk, 199Ib).
Progesteron merupakan preparat pertama yang dipakai untuk sinkronisasi
estrus dimana hormon tersebut bekerja menghambat sekresi FSH dan LH,
sehingga tidak terjadi pertumbuhan gelombang baru dengan cara menekan
keluarnya LH melalui mekanisme penghambatan pada hypotalamus-pituitary
(Adams dkk, 1994).
Pemberian progesteron secara eksogenous selama
beberapa hari pertama dari siklus akan memperpendek siklus dari hewan
yang tidak buntin