Dog Ticks Infestation and Its Correlation to Tick-Borne Diseases.
INFESTASI CAPLAK ANJING DAN KAITANNYA DENGAN
PENYAKIT YANG DITULARKANNYA
IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Infestasi Caplak Anjing
dan Kaitannya dengan Penyakit yang ditularkannya adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014
Ignasius Resa Christanto Pratomo
B252110031
RINGKASAN
IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO. Infestasi Caplak Anjing dan
Kaitannya dengan Penyakit yang ditularkannya. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA
dan UPIK KESUMAWATI HADI.
Infestasi caplak pada anjing menimbulkan gangguan baik berupa kegatalan,
anemia, kelainan kulit, juga tick-borne disease, seperti Ehrlichiosis, Babesiosis,
Anaplasmosis dan Rocky Mountain Spotted Fever. Selain pada anjing,
Ehrlichiosis diketahui bersifat zoonosis. Siklus hidup stadium pradewasa caplak
yang berada di luar inangnya, seringkali meningkatkan kontak caplak dengan
manusia. Studi tentang infestasi caplak anjing dan penyakit yang ditularkannya
pada anjing perlu dilakukan, karena belum banyak informasi tentang ragam jenis,
prevalensi dan derajat infestasi caplak di Indonesia.
Survei infestasi, koleksi sampel caplak serta pemeriksaan darah anjing
dilaksanakan di Direktorat Polisi Satwa Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam)
Polri dan TNI AU Atang Sendjaja (ATS). Adapun koleksi sampel caplak anjing
serta data kasus infestasi dan penyakit yang ditularkan diperoleh dari 21 klinik
hewan di Bogor, Jakarta dan Bandung. Semua sampel caplak dimasukkan dalam
botol berisi alkohol 70% untuk diidentifikasi. Pemeriksaan darah dilakukan untuk
diagnosis Ehrlichiosis, Babesiosis dan Anaplasmosis.
Hasil identifikasi terhadap 950 sampel caplak yang diperoleh dari 97 anjing
Baharkam, ATS dan klinik hewan di Bogor, Jakarta dan Bandung, menunjukkan
hanya satu jenis caplak yaitu Rhipicephalus sanguineus. Caplak ini termasuk
caplak berumah tiga (three-host tick) yang membutuhkan tiga inang untuk
menyelesaikan siklus hidupnya. Setiap stadium caplak membutuhkan inang, baik
anjing yang sama (jika pada tempat tersebut hanya terdapat satu atau sedikit
anjing), maupun anjing yang berbeda.
Penelitian di Baharkam dilakukan terhadap 81 anjing (jantan 53 dan betina
28 ekor). Prevalensi anjing yang terinfestasi caplak adalah 67.90%. Adapun
persentase anjing jantan yang terserang caplak lebih besar (69.81%) daripada
anjing betina (64.29%). Berdasarkan uji Chi-Square tidak ada hubungan antara
jenis kelamin dan ras anjing dengan derajat infestasi caplak. Pada umumnya
anjing terinfestasi dengan kategori infestasi ringan (41.98%), sementara itu
kategori sedang sebesar 18.52%, tinggi 2.47% dan sangat tinggi 4.94%. Regio
anjing yang paling banyak terserang R. sanguineus adalah punggung. Caplak
menyukai regio tersebut dikarenakan daerah itu sedikit sulit bagi anjing
menggunakan kakinya untuk menyingkirkan caplak.
Pengambilan caplak dengan tick-drag di lapangan rumput Baharkam
menunjukkan hasil positif pada lapangan yang sering digunakan anjing berlatih.
Stadium caplak yang ditemukan di lapangan seluruhnya adalah larva dengan
kepadatan 152 ekor pada luasan lapangan 215m2. Pada kandang anjing diperoleh
caplak stadium dewasa dan beberapa betina dewasa yang meletakkan telur pada
dinding kandang.
Keseluruhan anjing jantan dan betina ATS terinfestasi oleh caplak (14 ekor).
Anjing dengan kategori infestasi sangat tinggi berjumlah paling banyak yaitu
64.29% dibandingkan terhadap kategori tinggi (21.43%) dan sedang (14.29%).
Predileksi caplak lebih banyak ditemukan pada regio kepala - leher. Lapangan
rumput di ATS tidak ditemukan adanya caplak, namun pada kandang anjing
hasilnya positif. Hal tersebut terjadi karena kemungkinan akibat anjing yang
jarang dikeluarkan dari kandang, sehingga caplak melakukan drop-off di dalam
kandang.
Total kasus infestasi caplak anjing dari tahun 2008 sampai Juni 2013 di
klinik hewan Bogor, Jakarta dan Bandung adalah sebanyak 731 kasus. Secara
umum, terjadi peningkatan prevalensi infestasi caplak di ketiga kota pada rentang
tahun tersebut. Anjing jenis ras dan jantan di Bogor, Jakarta dan Bandung lebih
banyak terinfestasi caplak dibandingkan jenis campuran dan lokal serta anjing
betina.
Hasil pemeriksaan sampel serum anjing Baharkam ditemukan 12% positif
mengandung E. canis. Sampel serum anjing yang positif terutama berasal dari
anjing-anjing dengan kategori infestasi sedang (40%) dan bebas caplak (12.5%).
Adapun serum anjing ATS yang positif E. canis sebanyak 40% dengan kategori
infestasi caplak sedang dan tinggi. Bersumber pada uji Chi-Square, tidak ada
hubungan antara derajat infestasi caplak dengan infeksi E. canis. Pemeriksaan
ulas darah menunjukkan hasil positif hanya pada anjing Baharkam, yaitu Babesia
8% serta campuran Babesia dan Anaplasma sebesar 16%. Tidak ada hubungan
antara derajat infestasi caplak dengan infeksi Babesia dan Anaplasma.
Kata kunci: Anaplasma, Babesia, Ehrlichia canis, Rhipicephalus sanguineus
SUMMARY
IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO. Dog Ticks Infestation and Its
Correlation to Tick-Borne Diseases. Supervised by SUSI SOVIANA and UPIK
KESUMAWATI HADI.
Ticks infestation on dog could lead to itchiness, anemia, skin disorders, and
tick-borne diseases, such as Ehrlichiosis, Babesiosis, Anaplasmosis and Rocky
Mountain Spotted Fever. Besides dogs, Ehrlichiosis were known to be zoonotic.
Pre-mature stage tick life cycle that occur outside its host, will enhance contacts
between ticks and human. The study of ticks infestation and tick-borne diseases
on the dog is necessary, because it has not a lot of information about the diversity,
prevalence and degree of ticks infestation in Indonesia.
Ticks survey, included ticks sampling and dogs blood test were performed
at Animal Police Directorate Security Agency (Baharkam) and Atang Sendjaja
Air Force (ATS). Meanwhile ticks sampling also data of cases of ticks infestation
and diseases transmitted obtained from 21 veterinary clinics in Bogor, Jakarta and
Bandung. All ticks samples stored in bottles containing 70% alcohol for
identification. Blood tests performed for Ehrlichiosis, Babesiosis and
Anaplasmosis diagnosis.
The identification results of the 950 ticks samples that obtained from 97
dogs of Baharkam, ATS and veterinary clinics in Bogor, Jakarta and Bandung,
showed only one ticks species, Rhipicephalus sanguineus. This ticks belong to
three-host tick, which require three hosts to complete its life cycle. Each ticks
stage need a host, either same dog (if it is in place there is only one or a few dogs),
as well as different dogs.
Research in Baharkam conducted on 81 dogs (53 males and 28 females).
The prevalence of dogs infested by ticks was 67.90%. The percentage of male
dogs that infested by ticks are larger (69.81%) than female (64.29%). Based on
Chi-Square test, there was no relationship between sex and breed of dog with
degree of ticks infestation. Generally dogs infested with mild infestation category
(41.98%), meanwhile moderate category was 18.52%, 2.47% high and 4.94%
very high. The dog’s body region that the most infested by R. sanguineus was
dog's back. Probably these body regions were be preferred because they are less
accessible for the dog to remove them with its paws.
Collection of ticks with tick-drag on Baharkam grass field showed positive
results on the field that was more often used to practice by dogs. The samples that
obtained was larvae stage ticks with density 152 larvae on 215m2 area of the field.
Adult stage ticks and several adult females which laying eggs on the cage wall
were obtained in the dog kennels.
Whole of male and female ATS dogs infested with ticks (14 dogs). In
general, dogs infested with very high infestation category was 64.29%, compared
by high degree category (21.43%) and moderate (14.29%). Ticks predilection
were found mostly on the dog’s head – neck. On ATS grass field did not reveal
any ticks, but positively inside the kennels. It happens probably because dogs are
rarely released from the kennel, so that the ticks was did drop-off inside the
kennel.
The total cases of ticks infestation of dogs at Bogor, Jakarta and Bandung
veterinary clinics in 2008 until June 2013 as many as 731 cases. In general, there
was an increases of the ticks infestation prevalence at three cities in that range of
year. Purebreed and male dogs in Bogor, Jakarta and Bandung were more infested
than mixed, local and female dogs.
The results of Baharkam dog serum samples examination that positively E.
canis was 12%. There were mainly come from the dogs with moderate tick
infestation category (40%) and without ticks (12.5%). While ATS dog sera that E.
canis positive were 40% with moderate and high degree of tick infestation. Based
on Chi-Square test, there was no relationship between degree of ticks infestation
to E. canis infection. Examination of the blood smear showed positive results only
from Baharkam dogs, i.e 8% Babesia also 16% Babesia and Anaplasma mix
infection. The degree of ticks infestation showed no association with Babesia and
Anaplasma infection.
Keywords: Anaplasma, Babesia, Ehrlichia canis, Rhipicephalus sanguineus
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INFESTASI CAPLAK ANJING DAN KAITANNYA DENGAN
PENYAKIT YANG DITULARKANNYA
IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh Risa Tiuria, MS, PhD
Judul Tesis : Infestasi Caplak Anjing dan Kaitannya dengan Penyakit yang
ditularkannya
Nama
: Ignasius Resa Christanto Pratomo
NIM
: B252110031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr drh Susi Soviana, MSi
Ketua
Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
24 Februari 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah caplak anjing dan tick-borne
disease, dengan judul Infestasi Caplak Anjing dan Kaitannya dengan Penyakit
yang ditularkannya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr drh Susi Soviana, MSi dan Ibu
Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak drh Chaindra Prasto Saleh dan
Bapak drh Adi Purnomo dari Direktorat Polisi Satwa Baharkam Polri, Bapak drh
Mawar Subangkit sebagai dokter hewan di klinik hewan TNI AU Atang Sendjaja.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kepada Bapak Prof Dr drh Singgih
Harsojo Sigit, MSc, Bapak Dr drh FX. Koesharto, MSc, Ibu Dr drh Dwi Jayanti
Gunandini, MSi, Bapak Dr drh Ahmad Arif Amin, MSc yang selama ini telah
memberikan ilmunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para staf di
Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Ibu Juju, Bapak Heri, Ibu Een
serta teman-teman mahasiswa PEK yang telah membantu selama penelitian.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga atas segala doa dan
dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2014
Ignasius Resa Christanto Pratomo
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Caplak Anjing Rhipicephalus sanguineus
Ehrlichiosis
Babesiosis
Anaplasmosis
2
2
4
6
7
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengamatan Infestasi Caplak
Preservasi Spesimen dan Identifikasi Caplak
Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing
Analisis Data
8
8
9
9
10
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Caplak
Pengamatan Infestasi Caplak
Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing
11
11
13
20
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
22
22
22
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
31
DAFTAR TABEL
1 Prevalensi anjing Baharkam Polri terinfestasi R. sanguineus berdasarkan
ras anjing
2 Persentase kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing Baharkam
Polri berdasarkan jenis kelamin
3 Kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing Baharkam Polri
berdasarkan regio tubuh masing-masing ras anjing
4 Persentase kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing TNI AU
Atang Sendjaja berdasarkan jenis kelamin
5 Kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing TNI AU Atang
Sendjaja berdasarkan regio tubuh masing-masing ras anjing
6 Rata-rata prevalensi anjing terinfestasi caplak di Bogor, Jakarta dan
Bandung tahun 2008 sampai Juni 2013
7 Prevalensi anjing terinfestasi caplak berdasarkan jenis anjing, jenis
kelamin dan umur di Bogor, Jakarta dan Bandung tahun 2008 sampai
Juni 2013
8 Hasil pemeriksaan E. canis, Babesia dan Anaplasma terhadap kategori
derajat infestasi caplak anjing Baharkam Polri dan TNI AU Atang
Sendjaja
9 Kepadatan Babesia yang menginfeksi anjing Baharkam Polri terhadap
kategori derajat infestasi caplak
13
14
15
17
17
19
19
20
21
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Bagian tubuh caplak R. sanguineus jantan (Walker et al. 2013)
Bagian tubuh caplak R. sanguineus betina (Walker et al. 2013)
Bagian tubuh R. sanguineus jantan
R. sanguineus jantan; A: dorsal; B: ventral
R. sanguineus betina; A: dorsal; B: ventral
Denah Baharkam Polri: lapangan rumput (I-VI), kandang anjing (A-F)
A: larva R. sanguineus pada tick-drag; B: slide preparat larva caplak
Denah TNI AU Atang Sendjaja: lapangan rumput (I-III), kandang anjing
2
3
12
12
12
16
16
18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data anjing Baharkam Polri yang terinfestasi dan bebas caplak
2 Prevalensi anjing Baharkam Polri terinfestasi caplak berdasarkan ras
3 Uji Pearson Chi-Square antara jenis kelamin anjing Baharkam Polri
dengan derajat infestasi caplak
4 Uji Pearson Chi-Square antara jenis anjing Baharkam Polri dengan
derajat infestasi caplak
5 Jumlah larva R. sanguineus yang diperoleh di lapangan rumput
Baharkam Polri
29
29
29
30
30
1 PENDAHULUAN
Anjing merupakan hewan kesayangan yang paling banyak diminati selain
kucing. Hal ini berkaitan dengan hubungan sosial yang erat antara anjing dengan
manusia. Anjing memiliki tingkat intelegensi yang cukup tinggi di antara mamalia
lain dan juga memiliki sifat sangat setia pada majikan. Tujuan pemeliharaan
anjing bukan hanya sebagai sahabat dan teman bermain, namun juga untuk
berburu dan sebagai penjaga rumah yang diandalkan.
Anjing dapat terserang oleh ektoparasit seperti caplak dan menderita
penyakit yang ditularkan oleh vektor tersebut. Caplak menempel di permukaan
kulit dan mengisap darah inangnya melalui pembuluh darah perifer. Ektoparasit
ini mudah ditemukan karena ukurannya yang cukup besar dan melekat pada kulit
inangnya. Predileksi yang paling disukai caplak adalah leher, sela-sela jari dan
bagian dalam telinga (Hadi dan Soviana 2010).
Genus caplak yang dapat menyerang anjing adalah Ixodes, Rhipicephalus,
Haemaphysalis, Dermacentor dan Amblyomma (Soulsby 1982). Berdasarkan
laporan infestasi caplak anjing di 6 Kecamatan Kota Bogor diketahui hanya satu
spesies yaitu Rhipicephalus sanguineus (Hadi dan Rusli 2006). Adapun di SabahMalaysia ada 5 jenis caplak yang menginfestasi anjing yakni R. sanguineus,
Haemaphysalis
bispinosa,
Haemaphysalis
cornigera,
Haemaphysalis
koenigsbergi dan Haemaphysalis semermis (Wells et al. 2012). Sesuai dengan
laporan kasus infestasi caplak di Makurdi-Nigeria, sebanyak 533 caplak yang
dikoleksi jenis terbanyak adalah R. sanguineus (80.5%), Boophilus annulatus
(14.6%) dan Hyalomma truncatum (4.9%) (Amuta et al. 2010). Di BurgenlandAustria, prevalensi dan spesies caplak pada 90 anjing adalah I. ricinus (76%), D.
reticulatus (15,29%), Haemaphysalis concinna (7.71%), I. hexagonus (0.43%),
dan I. canisuga (0.57%) dari 700 caplak (Duscher et al. 2013).
Caplak dapat memindahkan patogen secara transtadial yaitu patogen
dipindahkan ke setiap stadium caplak (larva, nimfa dan dewasa) dan secara
transovarial yaitu caplak dewasa betina terinfeksi akan memindahkan patogen ke
generasi berikutnya melalui telur. Infestasi caplak berpotensi dalam penyebaran
penyakit yang lebih luas karena potensi reproduksinya tinggi berupa telur dalam
jumlah yang sangat banyak (1500 – 4000 butir), juga karena caplak memiliki
kisaran inang yang luas baik dari mamalia, rodensia dan unggas. Infestasi caplak
yang tinggi akan menimbulkan anemia, kelainan kulit dan tick-borne diseases.
Contoh tick-borne diseases adalah Ehrlichiosis yang disebabkan Ehrlichia canis;
Anaplasmosis yang disebabkan Anaplasma phagocytophilum dan A. platys; Rocky
Mountain Spotted Fever (RMSF) yang disebabkan Rickettsia rickettsii dan
Babesiosis yang disebabkan Babesia canis, B. gibsoni dan B. vogeli (Harwood
and James 1979; Shaw 2001).
Di luar tubuh anjing caplak bersembunyi di celah dan retakan dinding
rumah serta tirai jendela. Hal ini dapat meningkatkan kontak antara caplak dengan
manusia serta penularan zoonosis. Caplak yang tidak mendapatkan inang anjing
akan berusaha mencari inang lain untuk memenuhi kebutuhan darah. Kasus
infestasi R. sanguineus pada anjing, manusia dan domba telah dilaporkan oleh
Okoli et al. (2006) di Nigeria. Kejadian Ehrlichiosis dan Anaplasmosis pada
2
manusia pernah terjadi di Amerika Serikat (Dawson et al. 1991), Lara-Venezuela
(Perez et al. 2006) dan Afrika Selatan (Maggi et al. 2013).
Studi tentang infestasi caplak anjing dan penyakit yang ditularkannya pada
anjing perlu dilakukan karena belum banyak informasi tentang ragam jenis caplak,
prevalensi dan derajat infestasi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi keragaman spesies caplak pada anjing, prevalensi dan
hubungannya terhadap penyakit tular vektor. Penelitian ini diharapkan
memberikan data terbaru khususnya tentang prevalensi caplak anjing dan penyakit
yang ditularkan di Kota Bogor, Jakarta dan Bandung.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Caplak Anjing Rhipicephalus sanguineus
Caplak merupakan kelompok vektor penting dalam filum Arthropoda yang
berperan dalam transmisi dan maintenance beberapa patogen seperti bakteri,
cacing, protozoa dan virus yang menginfeksi hewan domestik dan manusia. R.
sanguineus (brown dog tick) adalah caplak yang penyebarannya luas di seluruh
dunia. Caplak yang sering juga disebut sengkenit terdiri atas dua famili yaitu
Ixodidae dan Argasidae. Rhipicephalus termasuk dalam famili Ixodidae (Jongejan
and Uilenberg 2004).
Tubuh caplak terbagi atas dua bagian, yaitu gnatosoma dan idiosoma. Pada
bagian gnatosoma atau kapitulum terdapat bagian-bagian mulut dan basis kapituli
(Gambar 1). Bagian mulut terdiri dari kelisera, hipostom dan pedipalpus. Kelisera
terdiri dari dua ruas yang ujungnya terdapat kait yang dapat digerakkan. Kait
tersebut untuk membuat sayatan pada kulit inang. Hipostom memiliki barisan gigi
yang mengarah ke basis kapituli. Fungsi organ ini untuk memperkokoh pertautan
Gambar 1 Bagian tubuh caplak R. sanguineus jantan
(Walker et al. 2013)
3
Gambar 2 Bagian tubuh caplak R. sanguineus betina
(Walker et al. 2013)
caplak pada inang. Pedipalpus terdiri atas 4 segmen yang terletak di sisi hipostom.
Segmen ke empat berukuran kecil dan memiliki sensori untuk membantu proses
makan caplak. Pedipalpus akan direntangkan di permukaan kulit inang saat
kelisera dan hipostom melakukan penetrasi. Bagian dasar gnatosoma adalah basis
kapituli yang berhubungan dengan bagian idosoma (Goddard and Layton 2006;
Walker et al. 2013).
Idiosoma adalah bagian posterior tubuh caplak setelah cephalothorax/
gnatosoma. Idiosoma dibagi menjadi podosoma (daerah tempat melekatnya
tungkai) dan opistosoma (daerah di belakang pasangan tungkai ke empat). Jumlah
tungkai pada nimfa dan caplak dewasa sebanyak 4 pasang sedangkan larva 3
pasang. Pasangan tungkai pertama caplak terdapat sebuah organ Haller yang
berfungsi sebagai reseptor kelembaban, kimia dan mekanis. Organ ini membantu
caplak mendeteksi adanya inang yang sesuai dan feromon yang dihasilkan caplak
lain. Seluruh permukaan dorsal idiosoma caplak jantan tertutup skutum,
sedangkan pada betina skutum hanya menutupi sepertiga bagian anterior idiosoma
(Gambar 2). Pada batas posterior tubuh caplak dapat ditemukan legokan-legokan
yang dinamakan festoon. Lubang kelamin caplak jantan maupun betina terletak
pada bidang ventral diantara koksa I dan II. Adapun lubang anus terdapat di
ventral dibagian subterminal. Keping adanal dan keping adanal tambahan berada
dekat lubang anus caplak jantan. Spirakel R. sanguineus jantan dan betina
berbentuk seperti koma (Hadi dan Soviana 2010; Harwood and James 1979).
R. sanguineus bersifat endofilik (beradaptasi hidup dalam ruangan) dan
monotropik (semua stadium perkembangan caplak mengisap darah pada spesies
inang yang sama). R. sanguineus termasuk caplak berumah tiga (three-host tick),
yang menunjukkan bahwa caplak membutuhkan tiga inang untuk menyelesaikan
siklus hidupnya. Setiap stadium caplak membutuhkan inang, baik anjing yang
sama (jika pada tempat tersebut hanya terdapat satu atau sedikit anjing), maupun
anjing yang berbeda (Dantas-Torres 2010; Lord 2011).
Proses caplak menempel pada tubuh inang diawali dengan caplak menunggu
datangnya inang di ujung vegetasi atau dengan berburu (host-seeking behaviour).
Saat caplak telah melekat di inang, caplak akan menggunakan kelisera untuk
menyayat kulit lalu menusukkan kelisera dan hipostom. Kelisera juga digunakan
untuk merobek pembuluh darah kapiler, yang kemudian terjadi hemoragi dan
4
membentuk feeding pool, selanjutnya caplak mulai mengisap darah (telmofagi)
(Szabó and Bechara 1999; Mans and Neitz 2003).
Siklus hidup R. sanguineus dimulai saat stadium larva mengisap darah
anjing yang membutuhkan waktu sampai kenyang (engorged) selama 3 - 7 hari,
sedangkan nimfa 5 - 10 hari dan betina dewasa ±14 hari. Larva dan nimfa caplak
yang telah kenyang akan drop-off (lepas dari inang) untuk moulting selama 14
hari. Caplak betina yang telah kenyang darah dan mating juga akan drop-off lalu
mencari tempat tersembunyi untuk bertelur selama 4 - 15 hari kemudian caplak
mati. Adapun telur tersebut akan menetas setelah 14 - 35 hari (Lord 2011).
Peran R. sanguineus terhadap inang selain dapat menimbulkan anemia dan
kelainan kulit (dermatitis, keropeng dan alopecia), juga sebagai vektor beberapa
jenis penyakit seperti Ehrlichiosis, Babesiosis, Anaplasmosis, Hepatozoonosis,
Boutonneuse fever dan RMSF (Shaw 2001).
Ehrlichiosis
Ehrlichia canis adalah bakteri obligat intraseluler gram negatif yang
termasuk dalam famili Anaplasmataceae, ordo Rickettsiales. Spesies Ehrlichia
lain seperti E. ewingii dan E. chaffeensis dapat menunjukkan gejala klinis yang
serupa dengan E. canis, namun E. canis merupakan penyebab utama Ehrlichiosis
pada anjing. Kejadian penyakit ini kali pertama terjadi pada tahun 1935 di
Algeria. Ehrlichiosis disebut juga Canine Monocytic Ehrlichiosis (CME), karena
E. canis bereplikasi di sel monosit anjing. E. canis juga dapat menyebabkan
Human Ehrlichiosis (Rikihisa et al. 1992; Dumler et al. 2001).
Siklus perkembangan Ehrlichia dimulai saat caplak stadium larva mengisap
darah anjing yang menderita Ehrlichiosis lalu patogen akan masuk dan bereplikasi
di dalam usus caplak. Larva caplak yang telah kenyang darah akan drop-off dan
moulting menjadi nimfa, adapun Ehrlichia akan tetap di usus caplak dan terbawa
dalam proses moulting tersebut. Ehrlichia akan bermigrasi ke kelenjar saliva
ketika nimfa caplak siap untuk mengisap darah. Diketahui bahwa perpindahan
Ehrlichia pada caplak hanya terjadi secara transtadial. Pada saat caplak mengisap
darah, Ehrlichia akan masuk ke dalam tubuh anjing bersamaan dengan keluarnya
saliva caplak. Saliva tersebut berperan dalam antikoagulasi darah inang. Ehrlichia
yang telah masuk ke inang akan menuju target sel (monosit) dan bereplikasi
(Rikihisa 2010).
Gejala klinis anjing yang mengalami Ehrlichiosis dibagi menjadi tiga fase
yakni akut, subklinis dan kronis. Gejala akut berlangsung selama 1 sampai 4
minggu, pada fase ini Ehrlichia mulai bereplikasi di dalam monosit dan jumlah
platelet akan turun serta terjadi immune-mediated platelet destruction. Gejala akut
dapat bersifat ringan sampai parah, seperti demam, lesu, anoreksia, limfadenofati,
splenomegali dan penurunan berat badan. Gejala dapat diikuti dengan muntah,
diare, kepincangan dan edema pada ekstremitas, dispneu, lendir pada oculonasal
serta hemoragi subretina yang dapat menyebabkan kebutaan (McQuiston 2012;
Skotarczak 2003).
Anjing yang bertahan dari fase akut akan mengalami fase subklinis selama
beberapa waktu atau dapat berkembang ke fase kronis. Pada fase subklinis, anjing
tetap terinfeksi Ehrlichia namun asimptomatis (Brooks 2009). Pada fase kronis,
5
anjing akan menunjukkan gejala arthritis, gagal ginjal, pneumonia, polimiositis
kelemahan, depresi serta edema pada kaki, ekor dan scrotum. Gejala gangguan
perdarahan terlihat pada membran mukosa yang pucat, ptechiae, ecchymosa,
epistaksis, hematuria atau melena. Gangguan reproduksi yang timbul seperti
perdarahan panjang saat estrus, kematian fetus dan neonatal. Anjing dapat mati
karena perdarahan atau infeksi sekunder (Skotarczak 2003).
Diagnosis serologis gold standard terhadap Canine Ehrlichiosis dengan
menggunakan tes indirect immunofluorescent antibody (IFA). Tes tersebut untuk
melihat adanya E. canis dengan bantuan label flourescent sehingga sitoplasma
patogen akan tampak bercahaya saat diperiksa dengan mikroskop flourescent
(Oriá et al. 2008). Diagnosis juga dapat dilakukan dengan mendeteksi antibodi
terhadap Ehrlichia menggunakan enzyme linked immunosorbant assay (ELISA)
maupun dengan rapid test (Bélanger et al. 2002). Polymerase chain reaction
(PCR) merupakan metode yang sesuai untuk mendiagnosis Ehrlichiosis fase akut.
Metode ini lebih sensitif dan spesifik karena dapat mengidentifikasi secara tingkat
molekuler spesies Ehrlichia yang menginfeksi anjing (Nazari et al. 2013).
Penelitian tentang perkembangan kasus Ehrlichiosis dengan berbagai
metode pendeteksian telah dilakukan beberapa tahun terakhir. Studi di Brasil
menunjukkan adanya korelasi antara 51 anjing yang mengalami uveitis terhadap
keberadaan E. canis serta penurunan jumlah eritrosit dan trombosit. Pemeriksaan
serologis menggunakan IFA dan dot-blot linked immunoassay (DBELIA). Hasil
tersebut juga memperlihatkan bahwa DBELIA (86.27%) lebih sensitif dari pada
IFA (66.67%) dalam mendeteksi Ehrlichia (Oriá et al. 2008). Pemeriksaan
serologis pada 224 anjing di Turki dengan IFA didapatkan bahwa, sebanyak 81
anjing (36.2%) positif terinfeksi E. canis. Adapun dari 81 anjing tersebut,
sejumlah 69 anjing mengalami trombositopenia. Hasil ini menunjukkan adanya
korelasi gejala trombositopenia dengan infeksi Ehrlichia (Tuna and Ulutas 2009).
Pemeriksaan adanya infeksi E. canis pada anjing militer dan di klinik hewan
juga dilakukan di Kota Manila, Filipina. Seratus enam puluh satu (95.3%) dari
169 sampel, positif terhadap antibodi E. canis yang diperiksa dengan ELISA
(Baticados and Baticados 2011). Hal sebaliknya di Amerika Utara, dari 8662
anjing yang positif E. canis hanya sebesar 0.8%, jauh lebih sedikit dari yang
positif E. ewingii (5.1%) dan E. chaffeensis (2.8%). Sampel darah tersebut
diperoleh dari 14 kampus kedokteran hewan, 6 klinik hewan dan 4 laboratorium
klinik (Beall et al. 2012).
Universiti Putra Malaysia (UPM) juga melakukan pendeteksian E. canis
dengan PCR dari sampel anjing stray, pasien anjing di klinik hewan dan klinik
hewan UPM. Jumlah sampel yang positif sebanyak 10 (2%) dari 500 sampel
(Nazari et al. 2013). Adapun di Indonesia, berdasarkan pemeriksaan ELISA, IFA
dan Western blot, dipastikan bahwa Ehrlichiosis pada anjing disebabkan oleh E.
canis atau patogen yang hubungannya dekat dengan E. canis (Rikihisa et al.
1992). Hasil studi-studi tersebut akan meningkatkan kesadaran dokter hewan dan
lembaga kesehatan terhadap risiko patogen yang ditularkan oleh vektor.
6
Babesiosis
Spesies protozoa seperti Babesia canis, B. vogeli dan B. gibsoni dapat
menyebabkan Babesiosis pada anjing (Canine Babesiosis). B. canis dan B. vogeli
termasuk dalam Babesia besar (tropozoit berukuran 2.5 - 5.0 µm), sedangkan B.
gibsoni adalah Babesia kecil (tropozoit berukuran 1.0 - 2.5 µm). Protozoa stadium
tropozoit bereplikasi di eritrosit inang, adapun stadium gametosit di dalam tubuh
caplak. Perpindahan Babesia pada caplak dapat terjadi secara transtadial dan
transovarial (Levine 1994; Homer et al. 2000).
Proses penularan Babesia melalui vektor R. sanguineus. Infeksi dimulai saat
caplak betina mengisap darah anjing yang menderita Babesiosis. Sejumlah
Babesia pregametosit di dalam usus caplak, akan berubah menjadi gamet jantan
dan betina kemudian gamet berfusi menghasilkan zigot. Zigot lalu akan
membentuk ookinet/kinet yang akan melakukan penetrasi ke dinding divertikula
dan masuk ke rongga tubuh untuk menuju ke ovarium. Ookinet/kinet yang telah
menginvasi ovum akan menjadi sporozoit dan sebagai sumber penularan
transovarial ketika telur menetas menjadi larva. Babesia juga dapat berpindah dari
stadium larva ke nimfa dan nimfa ke dewasa (transtadial). Pada proses transtadial,
Babesia akan melakukan multiplikasi di sel subkutikular lalu masuk ke jaringan
otot untuk dorman saat caplak moulting. Parasit akan motil kembali menuju
kelenjar ludah dan bermutiplikasi di sel asinar ketika caplak memulai mengisap
darah inang (Soulsby 1982; Chauvin et al. 2009).
Babesia bentuk sporozoit yang masuk tubuh inang akan langsung
menginfeksi eritrosit. Sporozoit dalam beberapa hari berubah menjadi tropozoit
dan kemudian tropozoit membentuk badan yang berinti banyak disebut skizon.
Perkembangan selanjutnya di dalam skizon terbentuk merozoit, yang ketika
jumlah merozoit semakin banyak maka akan menyebabkan skizon pecah.
Sebagian merozoit yang telah keluar dari skizon selain ada yang kembali
menginfeksi eritrosit juga ada yang membentuk stadium pregametosit.
Perkembangan pregametosit menjadi gamet akan terjadi di dalam usus caplak
ketika Babesia terisap oleh vektor (Uilenberg 2006).
Babesia dapat menyerang segala umur anjing dengan periode inkubasi
antara 10 sampai 28 hari. Tingkat keparahan penyakit tergantung pada spesies
Babesia yang menginfeksi, keberadaan infeksi sekunder serta umur dan status
imun inang. Fase penyakit bervariasi dari akut sampai kronis. Gejala klinis bentuk
akut memperlihatkan adanya demam, hemoglobinuria, ikterus, splenomegali,
anemia dan kematian. Anemia terjadi karena parasit yang menginvasi eritrosit
menyebabkan kelainan pada bentuk eritrosit berupa permukaan yang tidak teratur.
Eritrosit yang tidak teratur ini lalu dikeluarkan dari sirkulasi oleh limpa. Adanya
infeksi parasit juga dapat menimbulkan terjadinya hemolisis yang kemudian
menyebabkan anemia. Infeksi kronis lebih sering bersifat asimptomatik dan
terkadang infeksi dapat berkembang kembali saat stres atau terjadi imunosupresi
(Schoeman 2009; Homer et al. 2000; Irwin 2010).
Teknik diagnosis paling umum terhadap Babesiosis adalah menggunakan
ulas darah yang diwarnai dengan metode Giemsa atau Wright. Slide ulas darah
kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat adanya parasit. Babesia
akan tampak berbentuk oval, pear atau seperti cincin di dalam eritrosit inang.
Pemilihan metode ini untuk diagnosis masih diutamakan ketika terjadi kasus
7
endemis, namun terkadang parasit tidak dapat ditemukan pada saat parasitemia
rendah. Diagnosis molekuler menggunakan PCR dan pemeriksaan serologis
dengan IFA, ELISA dan immunochromatographic test (ICT) dapat mendeteksi
adanya parasit meskipun tingkat parasitemia anjing rendah (Irwin 2009; CruzFlores et al. 2008).
Pemeriksaan Babesiosis pada anjing telah banyak dilakukan di beberapa
negara. Di Kota Lahore-Pakistan, dilaporkan sebesar 2.62% dari 6204 anjing
positif Babesiosis. Anjing tersebut dikelompokkan berdasarkan umur, kelamin,
jenis anjing. Hasilnya, anjing jantan (3.39%) lebih banyak terinfeksi Babesia
dibandingkan betina (1.32%) serta persentase Babesiosis lebih besar pada anjing
muda (6.9%) daripada yang tua. Jenis crossbreed (10.9%) juga rentan terhadap
Babesia dibandingkan purebred. Jumlah caplak yang dikoleksi dari 100 anjing
adalah sebanyak 507 yang terdiri atas Rhipicephalus (491 ekor), Dermacentor (14
ekor) dan Haemaphysalis (2 ekor) (Bashir et al. 2009).
Penelitian Canine Babesiosis pada 45 anjing di utara Portugal menunjukkan
bahwa 98% terinfeksi B. canis dan 2% B. vogeli serta adanya infeksi sekunder E.
canis, Hepatozoon canis dan Leishmania infantum. Sebanyak 50% dari 44 anjing
yang positif B. canis, terinfestasi caplak Dermacentor, Ixodes dan R. sanguineus.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan ulas darah, PCR dan DNA nucleotide
sequencing (Cardoso et al. 2010).
Pendeteksian Babesiosis menggunakan ICT terhadap 46 anjing stray di
Filipina, hasilnya sebanyak 28% anjing positif B. gibsoni. Adapun sebesar 80.4%
anjing terinfestasi caplak genus Rhipicephalus dan Boophilus. Diantara 33 anjing
yang negatif B. gibsoni, ternyata 48.5% terinfestasi Rhipicephalus dan 12.1%
Boophilus, serta campuran antara Rhipicephalus dan Boophilus 12.1%. Anjing
yang tidak terinfestasi caplak sebanyak 19.6% (Cruz-Flores et al. 2008).
Berdasarkan tes PCR terhadap dua isolat Jepang dan masing-masing satu isolat
dari Malaysia, Sri Lanka, California dan Spanyol, didapatkan bahwa spesies
Babesia yang ada di negara-negara itu adalah B. gibsoni. Isolat dari Jepang
termasuk B. gibsoni genotipe Asia 1, Malaysia dan Sri Lanka termasuk genotipe
Asia 2 sedangkan isolat California dan Spanyol berbeda dari lainnya (Zahler
2001).
Anaplasmosis
Anaplasmosis pada anjing terutama disebabkan oleh spesies Anaplasma
phagocytophilum dan Anaplasma platys yang termasuk dalam famili
Anaplasmataceae, ordo Rickettsiales. Pada awalnya A. phagocytophilum dan A.
platys termasuk dalam genus Ehrlichia (Ehrlichia phagocytophila dan Ehrlichia
platys) namun pada tahun 2001 terjadi perubahan klasifikasi menjadi genus
Anaplasma (Dumler et al. 2001). Infeksi oleh A. phagocytophilum pertama kali
dilaporkan di Minnesota dan Wisconsin pada tahun 1996 dan penyakit ini
termasuk zoonosis. Distribusi penyakit sampai ke seluruh daerah Amerika Serikat,
Inggris, Norwegia, Swedia, Swiss dan Jerman. Kejadian Anaplasmosis karena A.
phagocytophilum tidak banyak dilaporkan di Asia dan Amerika Selatan. Kasus
penyakit ini di Amerika Serikat tergantung pada musim dan berkaitan dengan
keberadaan caplak di musim semi dan awal musim panas (Mei dan Juni) serta
8
musim gugur (September). Spesies caplak di Amerika Serikat yang berperan
sebagai vektor adalah Ixodes scapularis dan I. pacificus sedangkan di Eropa
adalah I. ricinus (Alleman and Wamsley 2008). Fase klinis Anaplasmosis dapat
terjadi secara akut dalam beberapa hari sedangkan fase subklinis dan kronis tidak
pernah dilaporkan. Target sel A. phagocytophilum pada inang adalah neutrofil
(McQuiston 2012).
Anaplasmosis yang disebabkan A. platys pertama kali dilaporkan tahun
1978 di Florida. Kejadian penyakit ini menyebar ke Eropa, Asia dan Amerika
Selatan. Patogen ini menginfeksi trombosit inang, yang pada sediaan ulas darah
terlihat berupa morula atau inclusion bodies (Arraga-Alvarado et al. 2003).
Anjing merupakan inang utama A. platys meskipun pernah dilaporkan pada
kucing, kambing dan impala (Lima et al. 2010; Du Plessis et al. 1997).
Anjing yang terinfeksi Anaplasma menunjukkan gejala klinis berupa
demam, kelemahan, membran mukosa pucat, ptechiae, epistaksis dan
limfadenofati. Anaplasmosis juga dapat menimbulkan gejala poliarthritis, muntah,
diare, batuk dan sulit bernafas, kemudian mengakibatkan meningitis, seizure dan
ataksia. Diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan ulas darah dengan
melihat adanya morula A. phagocytophilum pada neutrofil atau cairan sinovial
inang sedangkan A. platys terlihat pada trombosit. Adapun perkembangan gamet
Anaplasma terjadi di dalam tubuh caplak, namun perpindahan patogen pada
caplak hanya secara transtadial (McQuiston 2012; Dyachenko et al. 2012).
Diagnosis infeksi Anaplasma dapat dilakukan dengan pemeriksaan ELISA,
IFA dan PCR. Seperti pemeriksaan dengan PCR pada 43 anjing militer di
Venezuela, diketahui sebesar 16% positif terinfeksi A. platys. Sebaliknya, pada 12
caplak R. sanguineus yang didapat dari anjing tersebut, hasilnya negatif (Huang et
al. 2005). Adapun di Minnesota, hasil penelitian menunjukkan sebesar 25% dari
731 anjing terinfeksi A. phagocytophilum dan Borrelia burgdorferi. Anaplasmosis
sering terjadi pada anjing jenis Golden Retriever dan Labrador, namun belum
diketahui pengaruh kerentanan jenis anjing terhadap infeksi A. phagocytophilum
(Beall et al. 2008). Lebih lanjut, deteksi adanya Anaplasma di dalam tubuh caplak
juga dilakukan di beberapa tempat seperti di Jepang dan Slovenia (Inokuma et al.
2000; Smrdel et al. 2010).
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Koleksi sampel caplak dan pemeriksaan darah anjing dilaksanakan di dua
tempat yaitu Direktorat Polisi Satwa Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam)
Polri dan TNI AU Atang Sendjaja (ATS). Baharkam berada di daerah Kelapa
Dua, Depok sedangkan ATS terletak di Desa Semplak, Kecamatan Kemang,
Bogor Barat. Anjing yang termasuk dalam unit satwa ini memberikan bantuan
pelaksanaan tugas keamanan (POLRI 2009; TNI AU 2010).
Sampel caplak anjing serta data kasus infestasi dan penyakit yang ditularkan
berasal dari 21 (dua puluh satu) klinik hewan yang terdapat di Bogor, Jakarta dan
Bandung. Penelitian ini dilaksanakan sejak Maret sampai Oktober 2013.
9
Pengamatan Infestasi Caplak
Infestasi Caplak pada Anjing dan Lingkungan
Sampel caplak diambil dari seluruh populasi anjing di Baharkam dan ATS.
Pengamatan dengan menghitung jumlah caplak pada kelima regio tubuh anjing,
yaitu (a) kepala - leher, (b) punggung, (c) abdomen, (d) kaki dan (e) ekor.
Pengambilan sampel caplak dilakukan secara manual menggunakan pinset selama
5 menit. Caplak kemudian dimasukkan ke dalam wadah berisi alkohol 70% untuk
keperluan identifikasi. Kepadatan caplak pada tiap regio tubuh anjing ditentukan
berdasarkan derajat infestasi caplak yang terbagi atas kategori tanpa caplak,
infestasi ringan, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Hadi dan Rusli 2001).
Pengambilan sampel larva caplak di Baharkam dan ATS dengan
menggunakan metode tick-drag dilakukan di lapangan rumput tempat anjing
berlatih. Alat yang digunakan berupa kain putih berukuran 40 x 40 cm yang
permukaannya kasar sehingga caplak mudah menempel pada kain. Kain tersebut
lalu ditarik di atas vegetasi sepanjang 5 sampai 10 m selama 30 detik, kemudian
diulangi pada seluruh permukaan lapangan (Walker et al. 2013). Larva caplak
yang menempel pada kain diambil menggunakan pinset. Pengamatan dan
pengambilan sampel caplak juga dilakukan di kandang anjing. Semua sampel
caplak yang diperoleh dimasukkan ke dalam wadah berisi alkohol 70%.
Kasus Infestasi Caplak Anjing dan Penyakit yang ditularkannya
Data sekunder ini diambil dari rekam medis pasien anjing di klinik hewan di
Bogor, Jakarta dan Bandung yang terdiagnosis secara klinis dan laboratorium.
Data dikumpulkan dari tahun 2008, lalu dikelompokkan berdasarkan jenis anjing,
umur dan jenis kelamin. Koleksi sampel caplak pada anjing di klinik hewan
dilakukan oleh dokter hewan penanggung jawab setiap klinik. Caplak dari pasien
anjing yang datang dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70%.
Preservasi Spesimen dan Identifikasi Caplak
Proses pembuatan slide preparat dilakukan dengan metode Hadi dan
Soviana (2010). Koleksi caplak yang telah dikumpulkan dalam alkohol 70%
dibilas dengan aquades lalu caplak dipindahkan ke tabung reaksi yang berisi KOH
10%. Tabung dipanaskan dengan pembakar api bunsen, tetapi tidak sampai
mendidih. Perlakuan ini bertujuan agar lapisan chitine caplak menipis. Caplak
tersebut lalu dibilas dengan air sampai bersih. Jika abdomen menggembung maka
bagian tersebut ditusuk dengan jarum atau ditekan perlahan supaya isi abdomen
dapat dikeluarkan.
Tahap selanjutnya adalah dehidrasi secara bertahap dengan alkohol 70%,
85% dan 95%. Setiap fase dehidrasi membutuhkan waktu sekitar 10 menit.
Clearing dilakukan setelah tahap dehidrasi dengan merendam caplak selama 15 30 menit di dalam minyak cengkeh, kemudian caplak dicuci dengan larutan xylol.
Pencucian pertama kali terlihat berkabut, oleh karena itu larutan xylol dibuang lalu
diganti dengan larutan yang baru. Spesimen yang telah bersih tersebut kemudian
diletakkan pada object glass yang telah ditetesi medium canada balsam lalu
spesimen ditutup dengan cover glass. Slide preparat lalu dimasukkan ke dalam
10
inkubator atau dibiarkan pada suhu kamar selama 7 sampai 10 hari untuk proses
pengerasan canada balsam. Identifikasi caplak menggunakan kunci identifikasi
dari Goddard and Layton (2006) dan Walker et al. (2013).
Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing
Ehrlichiosis
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui dan menentukan adanya
infeksi Ehrlichia pada anjing Baharkam dan ATS. Sampel darah diambil dari
masing-masing 30% jumlah anjing pada setiap 5 kategori derajat infestasi caplak.
Pengambilan darah sebanyak 3 ml melalui vena cephalica antibrachii lateralis.
Darah diambil menggunakan spuit lalu ditampung dalam gel and clot activator
vacutainer kemudian disentrifugasi 1700 g selama 10 menit untuk memisahkan
serum. Serum tersebut dipindahkan ke dalam microtube lalu dimasukkan dalam
cooler box (4 - 7 °C) untuk dibawa ke laboratorium. Microtube berisi serum itu
selanjutnya disimpan dalam freezer bersuhu -20 °C sampai digunakan untuk
pengujian lebih lanjut (Tsachev et al. 2006).
Sampel serum anjing diperiksa menggunakan rapid test kit Ehrlichia
(Synbiotics Corporation) untuk mendeteksi antibodi terhadap E. canis
berdasarkan instruksi pada label. Satu rapid test kit Ehrlichia terdiri dari lima alat
tes (test device), satu botol larutan buffer (2 ml) dan lima pipet. Alat tes diletakkan
pada permukaan yang horisontal kemudian diteteskan sampel serum secara
vertikal sebanyak satu tetes. Sampel serum akan penetrasi ke dalam membran alat
tes. Larutan buffer ditambahkan sebanyak tiga tetes. Dalam waktu 10 menit,
kompleks larutan akan bereaksi positif dengan menunjukkan pita warna merah
muda atau ungu (Synbiotics 2004).
Babesiosis dan Anaplasmosis
Pemeriksaan ini untuk melihat adanya Babesia dan Anaplasma yang
menginfeksi anjing. Sampel ulas darah juga diambil sebanyak 30% dari masingmasing kategori derajat infestasi caplak anjing Baharkam dan ATS. Pewarnaan
ulas darah dilakukan dengan metode Giemsa. Darah yang telah disiapkan
diteteskan ke atas object glass kemudian ditempelkan ujung object glass yang lain
dengan membentuk sudut kurang lebih 45°, setelah itu object glass didorong
dengan kecepatan konstan sehingga didapatkan ulasan yang tidak terlalu tebal.
Ulasan yang didapat dikeringkan di udara selama 3 - 5 menit, setelah kering
dilakukan fiksasi ulasan dalam metanol selama 5 menit. Ulasan kemudian
dicelupkan ke dalam pewarna Giemsa 10% selama kurang lebih 30 menit. Ulasan
lalu diangkat dan dicuci menggunakan air yang mengalir sampai air bilasan tidak
membawa warna Giemsa dan dikeringkan di udara. Hasil preparat ulas darah yang
telah diwarnai dengan Giemsa 10%, diamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 1000 kali dengan minyak emersi untuk melihat adanya patogen
(Tampubolon 1992).
11
Analisis Data
Kategori Derajat Infestasi Caplak
Derajat infestasi dikategorikan sebagai (-) = tanpa caplak, (+) = 1 - 5 ekor
caplak (ringan), (++) = 6 - 10 ekor caplak (sedang), (+++) = 11 - 20 ekor caplak
(tinggi), dan (++++) = > 20 ekor caplak (sangat tinggi) (Hadi dan Rusli 2001).
Prevalensi Caplak pada Anjing dan di Lingkungan
Prevalensi caplak pada anjing diukur berdasarkan jumlah anjing yang positif
terinfestasi caplak dibagi total populasi anjing yang diperiksa. Prevalensi caplak di
lapangan rumput Baharkam dan ATS, dihitung berdasar hasil tick-drag yang
dinyatakan dalam jumlah caplak satuan luas lapangan (m2). Pemeriksaan caplak di
dalam kandang (celah, retakan, pojok kandang serta tempat-tempat yang
terlindung) berupa pengamatan ada atau tidaknya caplak. Kandang yang
digunakan untuk pemeriksaan caplak adalah kandang yang ditempati anjing yang
termasuk dalam perhitungan 30% sampel pemeriksaan darah.
Prevalensi Kasus Infestasi Caplak dan Penyakit yang ditularkannya
Data sekunder yang diperoleh dari klinik hewan di Bogor, Jakarta dan
Bandung dianalisis secara deskriptif menggunakan statistika deskriptif. Hasil
analisis memperlihatkan prevalensi infestasi caplak dan kasus penyakit
berdasarkan faktor jenis, umur dan jenis kelamin anjing.
Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing
Pemeriksaan ini akan menunjukkan prevalensi sampel yang positif adanya
E. canis, Babesia dan Anaplasma. Penghitungan persentase eritrosit berparasit
Babesia menggunakan rumus (Jumlah parasit/400 eritrosit) x 100% (Almazán et al.
2008). Hasil pemeriksaan akan dianalisis menggunakan Pearson Chi-Square
program SPSS versi 19, untuk mengetahui hubungan derajat infestasi caplak
terhadap Ehrlichiosis, Babesiosis dan Anaplasmosis.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Caplak
Hasil identifikasi 950 sampel caplak yang diperoleh dari 97 anjing
Baharkam Polri, TNI AU Atang Sendjaja dan klinik hewan di Bogor, Jakarta dan
Bandung, menunjukkan hanya satu jenis caplak yaitu Rhipicephalus sanguineus.
Caplak ini mempunyai ciri-ciri berwarna coklat kemerahan, ukuran caplak dewasa
±1 mm dan lekuk anal (anal groove) berada di posterior anus. R. sanguineus
memiliki mata berbentuk sedikit cembung yang terletak di lateral skutum. Basis
kapituli berbentuk heksagonal, hipostom pendek, bagian posterior tubuhnya
dilengkapi festoon dan spirakel berbentuk seperti koma. Bagian ventral caplak
jantan terdapat keping adanal yang berbentuk menyempit dan ukuran keping
adanal tambahan cukup besar (Gambar 3 dan 4). Pada caplak betina tidak
memiliki keping adanal dan keping adanal tambahan (Gambar 5). Dorsal basis
kapituli caplak betina terdapat sepasang area berpori yang mengeluarkan substansi
12
Gambar 3 Bagian tubuh R. sanguineus jantan
Gambar 4 R. sanguineus jantan; A: dorsal; B: ventral
Gambar 5 R. sanguineus betina; A: dorsal; B: ventral
pada saat caplak bertelur. Substansi tersebut berfungsi untuk melindungi telur
(waterproofing).
Di Indonesia, Hadi dan Rusli (2006) melaporkan caplak yang menginfestasi
28 anjing di 6 kecamatan Kota Bogor diketahui hanya satu spesies yaitu
Rhipicephalus sanguineus. Hal yang serupa dilaporkan di Filipina bahwa, spesies
caplak yang menyerang anjing adalah R. sanguineus (Baticados and Baticados
2011). Survei caplak anjing di empat kota di India (Mumbai, Delhi, Sikkim dan
Ladakh) menunjukkan genus caplak yang ditemukan adalah Rhipicephalus dan
13
Haemaphysalis (Rani et al. 2011). Kejadian sebaliknya pada survei koleksi caplak
menggunakan tick-drag di pulau Jeju-Korea Selatan, R. sanguineus tidak pernah
ditemukan. Jenis caplak yang ditemukan adalah Haemaphysalis longicornis, H.
flava, H. phasiana, Ixodes nipponensis, I. turdus dan Amblyomma testudinarium
(Ko et al. 2010).
Pengamatan Infestasi Caplak
Infestasi Caplak pada Anjing dan Lingkungan
Baharkam Polri
Pengukuran infestasi caplak dilakukan terhadap seluruh anjing yang
berjumlah 81 ekor (53 jantan dan 28 betina). Persentase anjing Baharkam yang
terinfestasi caplak adalah 67.90% (55 ekor). Jenis anjing yang ada di lokasi ini
sebanyak sembilan, yaitu Beagle, Doberman, Dutch Shepherd, German Pointer,
German Shepherd, Golden Retriever, Labrador, Malinois dan Rottweiler.
Sebagian besar ras anjing tersebut adalah Labrador (30.86%) dan Malinois
(29.63%) sebaliknya yang paling sedikit adalah Golden Retriever (1.24%). Ras
Golden Retriever satu-satunya jenis anjing yang tidak terinfestasi caplak
dibandingkan delapan ras lain yang prevalensinya diatas 50%. Jenis anjing yang
terinfestasi caplak adalah Beagle 50%, Doberman 100%, Dutch Shepherd 70%,
German Pointer 75%, German Shepherd 100%, Labrador 56%, Malinois 70.83%
dan Rottweiler 66.67% (Tabel 1). Diketahui bahwa anjing Golden Retriever
tersebut jarang beraktivitas di lapangan sehingga peluang anjing untuk kontak
dengan sumber penularan caplak menjadi kecil. Berdasarkan uji Pearson ChiSquare, tidak terdapat hubungan antara jenis anjing dengan derajat infestasi
caplak (p > 0.05). Hal ini seperti hasil penelitian di Ashton Court Estate-Inggris,
bahwa faktor jenis anjing tidak mempengaruhi infestasi caplak (Jennett et al.
2013).
Tabel 1 Prevalensi anjing Baharkam Polri terinfestasi R. sanguineus
berdasarkan ras anjing
Jenis Anjing
Beagle
Doberman
Dutch Shepherd
German Pointer
German Shepherd
Golden Retriver
Labrador
Malinois
Rottweiler
Total
Populasi Anjing
Jumlah (ekor)
2
2
10
8
6
1
25
24
3
81
Anjing terinfestasi caplak
Jumlah (ekor)
%
1
50
2
100
7
70
6
75
6
100
0
0
14
56
17
70.83
2
66.67
55
67.90
Keterangan: ringan = 1 - 5 ekor caplak ; sedang = 6 - 10 ekor caplak ; tinggi = 11 - 20
ekor caplak dan sangat tinggi = > 20 ekor caplak
14
Tabel 2 Persentase kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing
Baharkam Polri berdasarkan jenis kelamin
Kategori
Derajat Infestasi
Tanpa caplak
Ringan
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Total
Anjing
Jantan
19.75
27.16
14.81
1.23
2.47
65.43
Betina
12.35
14.81
3.70
1.23
2.47
34.57
Total
32.10
41.98
18.52
2.
PENYAKIT YANG DITULARKANNYA
IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Infestasi Caplak Anjing
dan Kaitannya dengan Penyakit yang ditularkannya adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014
Ignasius Resa Christanto Pratomo
B252110031
RINGKASAN
IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO. Infestasi Caplak Anjing dan
Kaitannya dengan Penyakit yang ditularkannya. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA
dan UPIK KESUMAWATI HADI.
Infestasi caplak pada anjing menimbulkan gangguan baik berupa kegatalan,
anemia, kelainan kulit, juga tick-borne disease, seperti Ehrlichiosis, Babesiosis,
Anaplasmosis dan Rocky Mountain Spotted Fever. Selain pada anjing,
Ehrlichiosis diketahui bersifat zoonosis. Siklus hidup stadium pradewasa caplak
yang berada di luar inangnya, seringkali meningkatkan kontak caplak dengan
manusia. Studi tentang infestasi caplak anjing dan penyakit yang ditularkannya
pada anjing perlu dilakukan, karena belum banyak informasi tentang ragam jenis,
prevalensi dan derajat infestasi caplak di Indonesia.
Survei infestasi, koleksi sampel caplak serta pemeriksaan darah anjing
dilaksanakan di Direktorat Polisi Satwa Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam)
Polri dan TNI AU Atang Sendjaja (ATS). Adapun koleksi sampel caplak anjing
serta data kasus infestasi dan penyakit yang ditularkan diperoleh dari 21 klinik
hewan di Bogor, Jakarta dan Bandung. Semua sampel caplak dimasukkan dalam
botol berisi alkohol 70% untuk diidentifikasi. Pemeriksaan darah dilakukan untuk
diagnosis Ehrlichiosis, Babesiosis dan Anaplasmosis.
Hasil identifikasi terhadap 950 sampel caplak yang diperoleh dari 97 anjing
Baharkam, ATS dan klinik hewan di Bogor, Jakarta dan Bandung, menunjukkan
hanya satu jenis caplak yaitu Rhipicephalus sanguineus. Caplak ini termasuk
caplak berumah tiga (three-host tick) yang membutuhkan tiga inang untuk
menyelesaikan siklus hidupnya. Setiap stadium caplak membutuhkan inang, baik
anjing yang sama (jika pada tempat tersebut hanya terdapat satu atau sedikit
anjing), maupun anjing yang berbeda.
Penelitian di Baharkam dilakukan terhadap 81 anjing (jantan 53 dan betina
28 ekor). Prevalensi anjing yang terinfestasi caplak adalah 67.90%. Adapun
persentase anjing jantan yang terserang caplak lebih besar (69.81%) daripada
anjing betina (64.29%). Berdasarkan uji Chi-Square tidak ada hubungan antara
jenis kelamin dan ras anjing dengan derajat infestasi caplak. Pada umumnya
anjing terinfestasi dengan kategori infestasi ringan (41.98%), sementara itu
kategori sedang sebesar 18.52%, tinggi 2.47% dan sangat tinggi 4.94%. Regio
anjing yang paling banyak terserang R. sanguineus adalah punggung. Caplak
menyukai regio tersebut dikarenakan daerah itu sedikit sulit bagi anjing
menggunakan kakinya untuk menyingkirkan caplak.
Pengambilan caplak dengan tick-drag di lapangan rumput Baharkam
menunjukkan hasil positif pada lapangan yang sering digunakan anjing berlatih.
Stadium caplak yang ditemukan di lapangan seluruhnya adalah larva dengan
kepadatan 152 ekor pada luasan lapangan 215m2. Pada kandang anjing diperoleh
caplak stadium dewasa dan beberapa betina dewasa yang meletakkan telur pada
dinding kandang.
Keseluruhan anjing jantan dan betina ATS terinfestasi oleh caplak (14 ekor).
Anjing dengan kategori infestasi sangat tinggi berjumlah paling banyak yaitu
64.29% dibandingkan terhadap kategori tinggi (21.43%) dan sedang (14.29%).
Predileksi caplak lebih banyak ditemukan pada regio kepala - leher. Lapangan
rumput di ATS tidak ditemukan adanya caplak, namun pada kandang anjing
hasilnya positif. Hal tersebut terjadi karena kemungkinan akibat anjing yang
jarang dikeluarkan dari kandang, sehingga caplak melakukan drop-off di dalam
kandang.
Total kasus infestasi caplak anjing dari tahun 2008 sampai Juni 2013 di
klinik hewan Bogor, Jakarta dan Bandung adalah sebanyak 731 kasus. Secara
umum, terjadi peningkatan prevalensi infestasi caplak di ketiga kota pada rentang
tahun tersebut. Anjing jenis ras dan jantan di Bogor, Jakarta dan Bandung lebih
banyak terinfestasi caplak dibandingkan jenis campuran dan lokal serta anjing
betina.
Hasil pemeriksaan sampel serum anjing Baharkam ditemukan 12% positif
mengandung E. canis. Sampel serum anjing yang positif terutama berasal dari
anjing-anjing dengan kategori infestasi sedang (40%) dan bebas caplak (12.5%).
Adapun serum anjing ATS yang positif E. canis sebanyak 40% dengan kategori
infestasi caplak sedang dan tinggi. Bersumber pada uji Chi-Square, tidak ada
hubungan antara derajat infestasi caplak dengan infeksi E. canis. Pemeriksaan
ulas darah menunjukkan hasil positif hanya pada anjing Baharkam, yaitu Babesia
8% serta campuran Babesia dan Anaplasma sebesar 16%. Tidak ada hubungan
antara derajat infestasi caplak dengan infeksi Babesia dan Anaplasma.
Kata kunci: Anaplasma, Babesia, Ehrlichia canis, Rhipicephalus sanguineus
SUMMARY
IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO. Dog Ticks Infestation and Its
Correlation to Tick-Borne Diseases. Supervised by SUSI SOVIANA and UPIK
KESUMAWATI HADI.
Ticks infestation on dog could lead to itchiness, anemia, skin disorders, and
tick-borne diseases, such as Ehrlichiosis, Babesiosis, Anaplasmosis and Rocky
Mountain Spotted Fever. Besides dogs, Ehrlichiosis were known to be zoonotic.
Pre-mature stage tick life cycle that occur outside its host, will enhance contacts
between ticks and human. The study of ticks infestation and tick-borne diseases
on the dog is necessary, because it has not a lot of information about the diversity,
prevalence and degree of ticks infestation in Indonesia.
Ticks survey, included ticks sampling and dogs blood test were performed
at Animal Police Directorate Security Agency (Baharkam) and Atang Sendjaja
Air Force (ATS). Meanwhile ticks sampling also data of cases of ticks infestation
and diseases transmitted obtained from 21 veterinary clinics in Bogor, Jakarta and
Bandung. All ticks samples stored in bottles containing 70% alcohol for
identification. Blood tests performed for Ehrlichiosis, Babesiosis and
Anaplasmosis diagnosis.
The identification results of the 950 ticks samples that obtained from 97
dogs of Baharkam, ATS and veterinary clinics in Bogor, Jakarta and Bandung,
showed only one ticks species, Rhipicephalus sanguineus. This ticks belong to
three-host tick, which require three hosts to complete its life cycle. Each ticks
stage need a host, either same dog (if it is in place there is only one or a few dogs),
as well as different dogs.
Research in Baharkam conducted on 81 dogs (53 males and 28 females).
The prevalence of dogs infested by ticks was 67.90%. The percentage of male
dogs that infested by ticks are larger (69.81%) than female (64.29%). Based on
Chi-Square test, there was no relationship between sex and breed of dog with
degree of ticks infestation. Generally dogs infested with mild infestation category
(41.98%), meanwhile moderate category was 18.52%, 2.47% high and 4.94%
very high. The dog’s body region that the most infested by R. sanguineus was
dog's back. Probably these body regions were be preferred because they are less
accessible for the dog to remove them with its paws.
Collection of ticks with tick-drag on Baharkam grass field showed positive
results on the field that was more often used to practice by dogs. The samples that
obtained was larvae stage ticks with density 152 larvae on 215m2 area of the field.
Adult stage ticks and several adult females which laying eggs on the cage wall
were obtained in the dog kennels.
Whole of male and female ATS dogs infested with ticks (14 dogs). In
general, dogs infested with very high infestation category was 64.29%, compared
by high degree category (21.43%) and moderate (14.29%). Ticks predilection
were found mostly on the dog’s head – neck. On ATS grass field did not reveal
any ticks, but positively inside the kennels. It happens probably because dogs are
rarely released from the kennel, so that the ticks was did drop-off inside the
kennel.
The total cases of ticks infestation of dogs at Bogor, Jakarta and Bandung
veterinary clinics in 2008 until June 2013 as many as 731 cases. In general, there
was an increases of the ticks infestation prevalence at three cities in that range of
year. Purebreed and male dogs in Bogor, Jakarta and Bandung were more infested
than mixed, local and female dogs.
The results of Baharkam dog serum samples examination that positively E.
canis was 12%. There were mainly come from the dogs with moderate tick
infestation category (40%) and without ticks (12.5%). While ATS dog sera that E.
canis positive were 40% with moderate and high degree of tick infestation. Based
on Chi-Square test, there was no relationship between degree of ticks infestation
to E. canis infection. Examination of the blood smear showed positive results only
from Baharkam dogs, i.e 8% Babesia also 16% Babesia and Anaplasma mix
infection. The degree of ticks infestation showed no association with Babesia and
Anaplasma infection.
Keywords: Anaplasma, Babesia, Ehrlichia canis, Rhipicephalus sanguineus
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INFESTASI CAPLAK ANJING DAN KAITANNYA DENGAN
PENYAKIT YANG DITULARKANNYA
IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh Risa Tiuria, MS, PhD
Judul Tesis : Infestasi Caplak Anjing dan Kaitannya dengan Penyakit yang
ditularkannya
Nama
: Ignasius Resa Christanto Pratomo
NIM
: B252110031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr drh Susi Soviana, MSi
Ketua
Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
24 Februari 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah caplak anjing dan tick-borne
disease, dengan judul Infestasi Caplak Anjing dan Kaitannya dengan Penyakit
yang ditularkannya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr drh Susi Soviana, MSi dan Ibu
Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak drh Chaindra Prasto Saleh dan
Bapak drh Adi Purnomo dari Direktorat Polisi Satwa Baharkam Polri, Bapak drh
Mawar Subangkit sebagai dokter hewan di klinik hewan TNI AU Atang Sendjaja.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kepada Bapak Prof Dr drh Singgih
Harsojo Sigit, MSc, Bapak Dr drh FX. Koesharto, MSc, Ibu Dr drh Dwi Jayanti
Gunandini, MSi, Bapak Dr drh Ahmad Arif Amin, MSc yang selama ini telah
memberikan ilmunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para staf di
Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Ibu Juju, Bapak Heri, Ibu Een
serta teman-teman mahasiswa PEK yang telah membantu selama penelitian.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga atas segala doa dan
dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2014
Ignasius Resa Christanto Pratomo
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Caplak Anjing Rhipicephalus sanguineus
Ehrlichiosis
Babesiosis
Anaplasmosis
2
2
4
6
7
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengamatan Infestasi Caplak
Preservasi Spesimen dan Identifikasi Caplak
Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing
Analisis Data
8
8
9
9
10
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Caplak
Pengamatan Infestasi Caplak
Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing
11
11
13
20
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
22
22
22
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
31
DAFTAR TABEL
1 Prevalensi anjing Baharkam Polri terinfestasi R. sanguineus berdasarkan
ras anjing
2 Persentase kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing Baharkam
Polri berdasarkan jenis kelamin
3 Kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing Baharkam Polri
berdasarkan regio tubuh masing-masing ras anjing
4 Persentase kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing TNI AU
Atang Sendjaja berdasarkan jenis kelamin
5 Kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing TNI AU Atang
Sendjaja berdasarkan regio tubuh masing-masing ras anjing
6 Rata-rata prevalensi anjing terinfestasi caplak di Bogor, Jakarta dan
Bandung tahun 2008 sampai Juni 2013
7 Prevalensi anjing terinfestasi caplak berdasarkan jenis anjing, jenis
kelamin dan umur di Bogor, Jakarta dan Bandung tahun 2008 sampai
Juni 2013
8 Hasil pemeriksaan E. canis, Babesia dan Anaplasma terhadap kategori
derajat infestasi caplak anjing Baharkam Polri dan TNI AU Atang
Sendjaja
9 Kepadatan Babesia yang menginfeksi anjing Baharkam Polri terhadap
kategori derajat infestasi caplak
13
14
15
17
17
19
19
20
21
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Bagian tubuh caplak R. sanguineus jantan (Walker et al. 2013)
Bagian tubuh caplak R. sanguineus betina (Walker et al. 2013)
Bagian tubuh R. sanguineus jantan
R. sanguineus jantan; A: dorsal; B: ventral
R. sanguineus betina; A: dorsal; B: ventral
Denah Baharkam Polri: lapangan rumput (I-VI), kandang anjing (A-F)
A: larva R. sanguineus pada tick-drag; B: slide preparat larva caplak
Denah TNI AU Atang Sendjaja: lapangan rumput (I-III), kandang anjing
2
3
12
12
12
16
16
18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data anjing Baharkam Polri yang terinfestasi dan bebas caplak
2 Prevalensi anjing Baharkam Polri terinfestasi caplak berdasarkan ras
3 Uji Pearson Chi-Square antara jenis kelamin anjing Baharkam Polri
dengan derajat infestasi caplak
4 Uji Pearson Chi-Square antara jenis anjing Baharkam Polri dengan
derajat infestasi caplak
5 Jumlah larva R. sanguineus yang diperoleh di lapangan rumput
Baharkam Polri
29
29
29
30
30
1 PENDAHULUAN
Anjing merupakan hewan kesayangan yang paling banyak diminati selain
kucing. Hal ini berkaitan dengan hubungan sosial yang erat antara anjing dengan
manusia. Anjing memiliki tingkat intelegensi yang cukup tinggi di antara mamalia
lain dan juga memiliki sifat sangat setia pada majikan. Tujuan pemeliharaan
anjing bukan hanya sebagai sahabat dan teman bermain, namun juga untuk
berburu dan sebagai penjaga rumah yang diandalkan.
Anjing dapat terserang oleh ektoparasit seperti caplak dan menderita
penyakit yang ditularkan oleh vektor tersebut. Caplak menempel di permukaan
kulit dan mengisap darah inangnya melalui pembuluh darah perifer. Ektoparasit
ini mudah ditemukan karena ukurannya yang cukup besar dan melekat pada kulit
inangnya. Predileksi yang paling disukai caplak adalah leher, sela-sela jari dan
bagian dalam telinga (Hadi dan Soviana 2010).
Genus caplak yang dapat menyerang anjing adalah Ixodes, Rhipicephalus,
Haemaphysalis, Dermacentor dan Amblyomma (Soulsby 1982). Berdasarkan
laporan infestasi caplak anjing di 6 Kecamatan Kota Bogor diketahui hanya satu
spesies yaitu Rhipicephalus sanguineus (Hadi dan Rusli 2006). Adapun di SabahMalaysia ada 5 jenis caplak yang menginfestasi anjing yakni R. sanguineus,
Haemaphysalis
bispinosa,
Haemaphysalis
cornigera,
Haemaphysalis
koenigsbergi dan Haemaphysalis semermis (Wells et al. 2012). Sesuai dengan
laporan kasus infestasi caplak di Makurdi-Nigeria, sebanyak 533 caplak yang
dikoleksi jenis terbanyak adalah R. sanguineus (80.5%), Boophilus annulatus
(14.6%) dan Hyalomma truncatum (4.9%) (Amuta et al. 2010). Di BurgenlandAustria, prevalensi dan spesies caplak pada 90 anjing adalah I. ricinus (76%), D.
reticulatus (15,29%), Haemaphysalis concinna (7.71%), I. hexagonus (0.43%),
dan I. canisuga (0.57%) dari 700 caplak (Duscher et al. 2013).
Caplak dapat memindahkan patogen secara transtadial yaitu patogen
dipindahkan ke setiap stadium caplak (larva, nimfa dan dewasa) dan secara
transovarial yaitu caplak dewasa betina terinfeksi akan memindahkan patogen ke
generasi berikutnya melalui telur. Infestasi caplak berpotensi dalam penyebaran
penyakit yang lebih luas karena potensi reproduksinya tinggi berupa telur dalam
jumlah yang sangat banyak (1500 – 4000 butir), juga karena caplak memiliki
kisaran inang yang luas baik dari mamalia, rodensia dan unggas. Infestasi caplak
yang tinggi akan menimbulkan anemia, kelainan kulit dan tick-borne diseases.
Contoh tick-borne diseases adalah Ehrlichiosis yang disebabkan Ehrlichia canis;
Anaplasmosis yang disebabkan Anaplasma phagocytophilum dan A. platys; Rocky
Mountain Spotted Fever (RMSF) yang disebabkan Rickettsia rickettsii dan
Babesiosis yang disebabkan Babesia canis, B. gibsoni dan B. vogeli (Harwood
and James 1979; Shaw 2001).
Di luar tubuh anjing caplak bersembunyi di celah dan retakan dinding
rumah serta tirai jendela. Hal ini dapat meningkatkan kontak antara caplak dengan
manusia serta penularan zoonosis. Caplak yang tidak mendapatkan inang anjing
akan berusaha mencari inang lain untuk memenuhi kebutuhan darah. Kasus
infestasi R. sanguineus pada anjing, manusia dan domba telah dilaporkan oleh
Okoli et al. (2006) di Nigeria. Kejadian Ehrlichiosis dan Anaplasmosis pada
2
manusia pernah terjadi di Amerika Serikat (Dawson et al. 1991), Lara-Venezuela
(Perez et al. 2006) dan Afrika Selatan (Maggi et al. 2013).
Studi tentang infestasi caplak anjing dan penyakit yang ditularkannya pada
anjing perlu dilakukan karena belum banyak informasi tentang ragam jenis caplak,
prevalensi dan derajat infestasi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi keragaman spesies caplak pada anjing, prevalensi dan
hubungannya terhadap penyakit tular vektor. Penelitian ini diharapkan
memberikan data terbaru khususnya tentang prevalensi caplak anjing dan penyakit
yang ditularkan di Kota Bogor, Jakarta dan Bandung.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Caplak Anjing Rhipicephalus sanguineus
Caplak merupakan kelompok vektor penting dalam filum Arthropoda yang
berperan dalam transmisi dan maintenance beberapa patogen seperti bakteri,
cacing, protozoa dan virus yang menginfeksi hewan domestik dan manusia. R.
sanguineus (brown dog tick) adalah caplak yang penyebarannya luas di seluruh
dunia. Caplak yang sering juga disebut sengkenit terdiri atas dua famili yaitu
Ixodidae dan Argasidae. Rhipicephalus termasuk dalam famili Ixodidae (Jongejan
and Uilenberg 2004).
Tubuh caplak terbagi atas dua bagian, yaitu gnatosoma dan idiosoma. Pada
bagian gnatosoma atau kapitulum terdapat bagian-bagian mulut dan basis kapituli
(Gambar 1). Bagian mulut terdiri dari kelisera, hipostom dan pedipalpus. Kelisera
terdiri dari dua ruas yang ujungnya terdapat kait yang dapat digerakkan. Kait
tersebut untuk membuat sayatan pada kulit inang. Hipostom memiliki barisan gigi
yang mengarah ke basis kapituli. Fungsi organ ini untuk memperkokoh pertautan
Gambar 1 Bagian tubuh caplak R. sanguineus jantan
(Walker et al. 2013)
3
Gambar 2 Bagian tubuh caplak R. sanguineus betina
(Walker et al. 2013)
caplak pada inang. Pedipalpus terdiri atas 4 segmen yang terletak di sisi hipostom.
Segmen ke empat berukuran kecil dan memiliki sensori untuk membantu proses
makan caplak. Pedipalpus akan direntangkan di permukaan kulit inang saat
kelisera dan hipostom melakukan penetrasi. Bagian dasar gnatosoma adalah basis
kapituli yang berhubungan dengan bagian idosoma (Goddard and Layton 2006;
Walker et al. 2013).
Idiosoma adalah bagian posterior tubuh caplak setelah cephalothorax/
gnatosoma. Idiosoma dibagi menjadi podosoma (daerah tempat melekatnya
tungkai) dan opistosoma (daerah di belakang pasangan tungkai ke empat). Jumlah
tungkai pada nimfa dan caplak dewasa sebanyak 4 pasang sedangkan larva 3
pasang. Pasangan tungkai pertama caplak terdapat sebuah organ Haller yang
berfungsi sebagai reseptor kelembaban, kimia dan mekanis. Organ ini membantu
caplak mendeteksi adanya inang yang sesuai dan feromon yang dihasilkan caplak
lain. Seluruh permukaan dorsal idiosoma caplak jantan tertutup skutum,
sedangkan pada betina skutum hanya menutupi sepertiga bagian anterior idiosoma
(Gambar 2). Pada batas posterior tubuh caplak dapat ditemukan legokan-legokan
yang dinamakan festoon. Lubang kelamin caplak jantan maupun betina terletak
pada bidang ventral diantara koksa I dan II. Adapun lubang anus terdapat di
ventral dibagian subterminal. Keping adanal dan keping adanal tambahan berada
dekat lubang anus caplak jantan. Spirakel R. sanguineus jantan dan betina
berbentuk seperti koma (Hadi dan Soviana 2010; Harwood and James 1979).
R. sanguineus bersifat endofilik (beradaptasi hidup dalam ruangan) dan
monotropik (semua stadium perkembangan caplak mengisap darah pada spesies
inang yang sama). R. sanguineus termasuk caplak berumah tiga (three-host tick),
yang menunjukkan bahwa caplak membutuhkan tiga inang untuk menyelesaikan
siklus hidupnya. Setiap stadium caplak membutuhkan inang, baik anjing yang
sama (jika pada tempat tersebut hanya terdapat satu atau sedikit anjing), maupun
anjing yang berbeda (Dantas-Torres 2010; Lord 2011).
Proses caplak menempel pada tubuh inang diawali dengan caplak menunggu
datangnya inang di ujung vegetasi atau dengan berburu (host-seeking behaviour).
Saat caplak telah melekat di inang, caplak akan menggunakan kelisera untuk
menyayat kulit lalu menusukkan kelisera dan hipostom. Kelisera juga digunakan
untuk merobek pembuluh darah kapiler, yang kemudian terjadi hemoragi dan
4
membentuk feeding pool, selanjutnya caplak mulai mengisap darah (telmofagi)
(Szabó and Bechara 1999; Mans and Neitz 2003).
Siklus hidup R. sanguineus dimulai saat stadium larva mengisap darah
anjing yang membutuhkan waktu sampai kenyang (engorged) selama 3 - 7 hari,
sedangkan nimfa 5 - 10 hari dan betina dewasa ±14 hari. Larva dan nimfa caplak
yang telah kenyang akan drop-off (lepas dari inang) untuk moulting selama 14
hari. Caplak betina yang telah kenyang darah dan mating juga akan drop-off lalu
mencari tempat tersembunyi untuk bertelur selama 4 - 15 hari kemudian caplak
mati. Adapun telur tersebut akan menetas setelah 14 - 35 hari (Lord 2011).
Peran R. sanguineus terhadap inang selain dapat menimbulkan anemia dan
kelainan kulit (dermatitis, keropeng dan alopecia), juga sebagai vektor beberapa
jenis penyakit seperti Ehrlichiosis, Babesiosis, Anaplasmosis, Hepatozoonosis,
Boutonneuse fever dan RMSF (Shaw 2001).
Ehrlichiosis
Ehrlichia canis adalah bakteri obligat intraseluler gram negatif yang
termasuk dalam famili Anaplasmataceae, ordo Rickettsiales. Spesies Ehrlichia
lain seperti E. ewingii dan E. chaffeensis dapat menunjukkan gejala klinis yang
serupa dengan E. canis, namun E. canis merupakan penyebab utama Ehrlichiosis
pada anjing. Kejadian penyakit ini kali pertama terjadi pada tahun 1935 di
Algeria. Ehrlichiosis disebut juga Canine Monocytic Ehrlichiosis (CME), karena
E. canis bereplikasi di sel monosit anjing. E. canis juga dapat menyebabkan
Human Ehrlichiosis (Rikihisa et al. 1992; Dumler et al. 2001).
Siklus perkembangan Ehrlichia dimulai saat caplak stadium larva mengisap
darah anjing yang menderita Ehrlichiosis lalu patogen akan masuk dan bereplikasi
di dalam usus caplak. Larva caplak yang telah kenyang darah akan drop-off dan
moulting menjadi nimfa, adapun Ehrlichia akan tetap di usus caplak dan terbawa
dalam proses moulting tersebut. Ehrlichia akan bermigrasi ke kelenjar saliva
ketika nimfa caplak siap untuk mengisap darah. Diketahui bahwa perpindahan
Ehrlichia pada caplak hanya terjadi secara transtadial. Pada saat caplak mengisap
darah, Ehrlichia akan masuk ke dalam tubuh anjing bersamaan dengan keluarnya
saliva caplak. Saliva tersebut berperan dalam antikoagulasi darah inang. Ehrlichia
yang telah masuk ke inang akan menuju target sel (monosit) dan bereplikasi
(Rikihisa 2010).
Gejala klinis anjing yang mengalami Ehrlichiosis dibagi menjadi tiga fase
yakni akut, subklinis dan kronis. Gejala akut berlangsung selama 1 sampai 4
minggu, pada fase ini Ehrlichia mulai bereplikasi di dalam monosit dan jumlah
platelet akan turun serta terjadi immune-mediated platelet destruction. Gejala akut
dapat bersifat ringan sampai parah, seperti demam, lesu, anoreksia, limfadenofati,
splenomegali dan penurunan berat badan. Gejala dapat diikuti dengan muntah,
diare, kepincangan dan edema pada ekstremitas, dispneu, lendir pada oculonasal
serta hemoragi subretina yang dapat menyebabkan kebutaan (McQuiston 2012;
Skotarczak 2003).
Anjing yang bertahan dari fase akut akan mengalami fase subklinis selama
beberapa waktu atau dapat berkembang ke fase kronis. Pada fase subklinis, anjing
tetap terinfeksi Ehrlichia namun asimptomatis (Brooks 2009). Pada fase kronis,
5
anjing akan menunjukkan gejala arthritis, gagal ginjal, pneumonia, polimiositis
kelemahan, depresi serta edema pada kaki, ekor dan scrotum. Gejala gangguan
perdarahan terlihat pada membran mukosa yang pucat, ptechiae, ecchymosa,
epistaksis, hematuria atau melena. Gangguan reproduksi yang timbul seperti
perdarahan panjang saat estrus, kematian fetus dan neonatal. Anjing dapat mati
karena perdarahan atau infeksi sekunder (Skotarczak 2003).
Diagnosis serologis gold standard terhadap Canine Ehrlichiosis dengan
menggunakan tes indirect immunofluorescent antibody (IFA). Tes tersebut untuk
melihat adanya E. canis dengan bantuan label flourescent sehingga sitoplasma
patogen akan tampak bercahaya saat diperiksa dengan mikroskop flourescent
(Oriá et al. 2008). Diagnosis juga dapat dilakukan dengan mendeteksi antibodi
terhadap Ehrlichia menggunakan enzyme linked immunosorbant assay (ELISA)
maupun dengan rapid test (Bélanger et al. 2002). Polymerase chain reaction
(PCR) merupakan metode yang sesuai untuk mendiagnosis Ehrlichiosis fase akut.
Metode ini lebih sensitif dan spesifik karena dapat mengidentifikasi secara tingkat
molekuler spesies Ehrlichia yang menginfeksi anjing (Nazari et al. 2013).
Penelitian tentang perkembangan kasus Ehrlichiosis dengan berbagai
metode pendeteksian telah dilakukan beberapa tahun terakhir. Studi di Brasil
menunjukkan adanya korelasi antara 51 anjing yang mengalami uveitis terhadap
keberadaan E. canis serta penurunan jumlah eritrosit dan trombosit. Pemeriksaan
serologis menggunakan IFA dan dot-blot linked immunoassay (DBELIA). Hasil
tersebut juga memperlihatkan bahwa DBELIA (86.27%) lebih sensitif dari pada
IFA (66.67%) dalam mendeteksi Ehrlichia (Oriá et al. 2008). Pemeriksaan
serologis pada 224 anjing di Turki dengan IFA didapatkan bahwa, sebanyak 81
anjing (36.2%) positif terinfeksi E. canis. Adapun dari 81 anjing tersebut,
sejumlah 69 anjing mengalami trombositopenia. Hasil ini menunjukkan adanya
korelasi gejala trombositopenia dengan infeksi Ehrlichia (Tuna and Ulutas 2009).
Pemeriksaan adanya infeksi E. canis pada anjing militer dan di klinik hewan
juga dilakukan di Kota Manila, Filipina. Seratus enam puluh satu (95.3%) dari
169 sampel, positif terhadap antibodi E. canis yang diperiksa dengan ELISA
(Baticados and Baticados 2011). Hal sebaliknya di Amerika Utara, dari 8662
anjing yang positif E. canis hanya sebesar 0.8%, jauh lebih sedikit dari yang
positif E. ewingii (5.1%) dan E. chaffeensis (2.8%). Sampel darah tersebut
diperoleh dari 14 kampus kedokteran hewan, 6 klinik hewan dan 4 laboratorium
klinik (Beall et al. 2012).
Universiti Putra Malaysia (UPM) juga melakukan pendeteksian E. canis
dengan PCR dari sampel anjing stray, pasien anjing di klinik hewan dan klinik
hewan UPM. Jumlah sampel yang positif sebanyak 10 (2%) dari 500 sampel
(Nazari et al. 2013). Adapun di Indonesia, berdasarkan pemeriksaan ELISA, IFA
dan Western blot, dipastikan bahwa Ehrlichiosis pada anjing disebabkan oleh E.
canis atau patogen yang hubungannya dekat dengan E. canis (Rikihisa et al.
1992). Hasil studi-studi tersebut akan meningkatkan kesadaran dokter hewan dan
lembaga kesehatan terhadap risiko patogen yang ditularkan oleh vektor.
6
Babesiosis
Spesies protozoa seperti Babesia canis, B. vogeli dan B. gibsoni dapat
menyebabkan Babesiosis pada anjing (Canine Babesiosis). B. canis dan B. vogeli
termasuk dalam Babesia besar (tropozoit berukuran 2.5 - 5.0 µm), sedangkan B.
gibsoni adalah Babesia kecil (tropozoit berukuran 1.0 - 2.5 µm). Protozoa stadium
tropozoit bereplikasi di eritrosit inang, adapun stadium gametosit di dalam tubuh
caplak. Perpindahan Babesia pada caplak dapat terjadi secara transtadial dan
transovarial (Levine 1994; Homer et al. 2000).
Proses penularan Babesia melalui vektor R. sanguineus. Infeksi dimulai saat
caplak betina mengisap darah anjing yang menderita Babesiosis. Sejumlah
Babesia pregametosit di dalam usus caplak, akan berubah menjadi gamet jantan
dan betina kemudian gamet berfusi menghasilkan zigot. Zigot lalu akan
membentuk ookinet/kinet yang akan melakukan penetrasi ke dinding divertikula
dan masuk ke rongga tubuh untuk menuju ke ovarium. Ookinet/kinet yang telah
menginvasi ovum akan menjadi sporozoit dan sebagai sumber penularan
transovarial ketika telur menetas menjadi larva. Babesia juga dapat berpindah dari
stadium larva ke nimfa dan nimfa ke dewasa (transtadial). Pada proses transtadial,
Babesia akan melakukan multiplikasi di sel subkutikular lalu masuk ke jaringan
otot untuk dorman saat caplak moulting. Parasit akan motil kembali menuju
kelenjar ludah dan bermutiplikasi di sel asinar ketika caplak memulai mengisap
darah inang (Soulsby 1982; Chauvin et al. 2009).
Babesia bentuk sporozoit yang masuk tubuh inang akan langsung
menginfeksi eritrosit. Sporozoit dalam beberapa hari berubah menjadi tropozoit
dan kemudian tropozoit membentuk badan yang berinti banyak disebut skizon.
Perkembangan selanjutnya di dalam skizon terbentuk merozoit, yang ketika
jumlah merozoit semakin banyak maka akan menyebabkan skizon pecah.
Sebagian merozoit yang telah keluar dari skizon selain ada yang kembali
menginfeksi eritrosit juga ada yang membentuk stadium pregametosit.
Perkembangan pregametosit menjadi gamet akan terjadi di dalam usus caplak
ketika Babesia terisap oleh vektor (Uilenberg 2006).
Babesia dapat menyerang segala umur anjing dengan periode inkubasi
antara 10 sampai 28 hari. Tingkat keparahan penyakit tergantung pada spesies
Babesia yang menginfeksi, keberadaan infeksi sekunder serta umur dan status
imun inang. Fase penyakit bervariasi dari akut sampai kronis. Gejala klinis bentuk
akut memperlihatkan adanya demam, hemoglobinuria, ikterus, splenomegali,
anemia dan kematian. Anemia terjadi karena parasit yang menginvasi eritrosit
menyebabkan kelainan pada bentuk eritrosit berupa permukaan yang tidak teratur.
Eritrosit yang tidak teratur ini lalu dikeluarkan dari sirkulasi oleh limpa. Adanya
infeksi parasit juga dapat menimbulkan terjadinya hemolisis yang kemudian
menyebabkan anemia. Infeksi kronis lebih sering bersifat asimptomatik dan
terkadang infeksi dapat berkembang kembali saat stres atau terjadi imunosupresi
(Schoeman 2009; Homer et al. 2000; Irwin 2010).
Teknik diagnosis paling umum terhadap Babesiosis adalah menggunakan
ulas darah yang diwarnai dengan metode Giemsa atau Wright. Slide ulas darah
kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat adanya parasit. Babesia
akan tampak berbentuk oval, pear atau seperti cincin di dalam eritrosit inang.
Pemilihan metode ini untuk diagnosis masih diutamakan ketika terjadi kasus
7
endemis, namun terkadang parasit tidak dapat ditemukan pada saat parasitemia
rendah. Diagnosis molekuler menggunakan PCR dan pemeriksaan serologis
dengan IFA, ELISA dan immunochromatographic test (ICT) dapat mendeteksi
adanya parasit meskipun tingkat parasitemia anjing rendah (Irwin 2009; CruzFlores et al. 2008).
Pemeriksaan Babesiosis pada anjing telah banyak dilakukan di beberapa
negara. Di Kota Lahore-Pakistan, dilaporkan sebesar 2.62% dari 6204 anjing
positif Babesiosis. Anjing tersebut dikelompokkan berdasarkan umur, kelamin,
jenis anjing. Hasilnya, anjing jantan (3.39%) lebih banyak terinfeksi Babesia
dibandingkan betina (1.32%) serta persentase Babesiosis lebih besar pada anjing
muda (6.9%) daripada yang tua. Jenis crossbreed (10.9%) juga rentan terhadap
Babesia dibandingkan purebred. Jumlah caplak yang dikoleksi dari 100 anjing
adalah sebanyak 507 yang terdiri atas Rhipicephalus (491 ekor), Dermacentor (14
ekor) dan Haemaphysalis (2 ekor) (Bashir et al. 2009).
Penelitian Canine Babesiosis pada 45 anjing di utara Portugal menunjukkan
bahwa 98% terinfeksi B. canis dan 2% B. vogeli serta adanya infeksi sekunder E.
canis, Hepatozoon canis dan Leishmania infantum. Sebanyak 50% dari 44 anjing
yang positif B. canis, terinfestasi caplak Dermacentor, Ixodes dan R. sanguineus.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan ulas darah, PCR dan DNA nucleotide
sequencing (Cardoso et al. 2010).
Pendeteksian Babesiosis menggunakan ICT terhadap 46 anjing stray di
Filipina, hasilnya sebanyak 28% anjing positif B. gibsoni. Adapun sebesar 80.4%
anjing terinfestasi caplak genus Rhipicephalus dan Boophilus. Diantara 33 anjing
yang negatif B. gibsoni, ternyata 48.5% terinfestasi Rhipicephalus dan 12.1%
Boophilus, serta campuran antara Rhipicephalus dan Boophilus 12.1%. Anjing
yang tidak terinfestasi caplak sebanyak 19.6% (Cruz-Flores et al. 2008).
Berdasarkan tes PCR terhadap dua isolat Jepang dan masing-masing satu isolat
dari Malaysia, Sri Lanka, California dan Spanyol, didapatkan bahwa spesies
Babesia yang ada di negara-negara itu adalah B. gibsoni. Isolat dari Jepang
termasuk B. gibsoni genotipe Asia 1, Malaysia dan Sri Lanka termasuk genotipe
Asia 2 sedangkan isolat California dan Spanyol berbeda dari lainnya (Zahler
2001).
Anaplasmosis
Anaplasmosis pada anjing terutama disebabkan oleh spesies Anaplasma
phagocytophilum dan Anaplasma platys yang termasuk dalam famili
Anaplasmataceae, ordo Rickettsiales. Pada awalnya A. phagocytophilum dan A.
platys termasuk dalam genus Ehrlichia (Ehrlichia phagocytophila dan Ehrlichia
platys) namun pada tahun 2001 terjadi perubahan klasifikasi menjadi genus
Anaplasma (Dumler et al. 2001). Infeksi oleh A. phagocytophilum pertama kali
dilaporkan di Minnesota dan Wisconsin pada tahun 1996 dan penyakit ini
termasuk zoonosis. Distribusi penyakit sampai ke seluruh daerah Amerika Serikat,
Inggris, Norwegia, Swedia, Swiss dan Jerman. Kejadian Anaplasmosis karena A.
phagocytophilum tidak banyak dilaporkan di Asia dan Amerika Selatan. Kasus
penyakit ini di Amerika Serikat tergantung pada musim dan berkaitan dengan
keberadaan caplak di musim semi dan awal musim panas (Mei dan Juni) serta
8
musim gugur (September). Spesies caplak di Amerika Serikat yang berperan
sebagai vektor adalah Ixodes scapularis dan I. pacificus sedangkan di Eropa
adalah I. ricinus (Alleman and Wamsley 2008). Fase klinis Anaplasmosis dapat
terjadi secara akut dalam beberapa hari sedangkan fase subklinis dan kronis tidak
pernah dilaporkan. Target sel A. phagocytophilum pada inang adalah neutrofil
(McQuiston 2012).
Anaplasmosis yang disebabkan A. platys pertama kali dilaporkan tahun
1978 di Florida. Kejadian penyakit ini menyebar ke Eropa, Asia dan Amerika
Selatan. Patogen ini menginfeksi trombosit inang, yang pada sediaan ulas darah
terlihat berupa morula atau inclusion bodies (Arraga-Alvarado et al. 2003).
Anjing merupakan inang utama A. platys meskipun pernah dilaporkan pada
kucing, kambing dan impala (Lima et al. 2010; Du Plessis et al. 1997).
Anjing yang terinfeksi Anaplasma menunjukkan gejala klinis berupa
demam, kelemahan, membran mukosa pucat, ptechiae, epistaksis dan
limfadenofati. Anaplasmosis juga dapat menimbulkan gejala poliarthritis, muntah,
diare, batuk dan sulit bernafas, kemudian mengakibatkan meningitis, seizure dan
ataksia. Diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan ulas darah dengan
melihat adanya morula A. phagocytophilum pada neutrofil atau cairan sinovial
inang sedangkan A. platys terlihat pada trombosit. Adapun perkembangan gamet
Anaplasma terjadi di dalam tubuh caplak, namun perpindahan patogen pada
caplak hanya secara transtadial (McQuiston 2012; Dyachenko et al. 2012).
Diagnosis infeksi Anaplasma dapat dilakukan dengan pemeriksaan ELISA,
IFA dan PCR. Seperti pemeriksaan dengan PCR pada 43 anjing militer di
Venezuela, diketahui sebesar 16% positif terinfeksi A. platys. Sebaliknya, pada 12
caplak R. sanguineus yang didapat dari anjing tersebut, hasilnya negatif (Huang et
al. 2005). Adapun di Minnesota, hasil penelitian menunjukkan sebesar 25% dari
731 anjing terinfeksi A. phagocytophilum dan Borrelia burgdorferi. Anaplasmosis
sering terjadi pada anjing jenis Golden Retriever dan Labrador, namun belum
diketahui pengaruh kerentanan jenis anjing terhadap infeksi A. phagocytophilum
(Beall et al. 2008). Lebih lanjut, deteksi adanya Anaplasma di dalam tubuh caplak
juga dilakukan di beberapa tempat seperti di Jepang dan Slovenia (Inokuma et al.
2000; Smrdel et al. 2010).
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Koleksi sampel caplak dan pemeriksaan darah anjing dilaksanakan di dua
tempat yaitu Direktorat Polisi Satwa Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam)
Polri dan TNI AU Atang Sendjaja (ATS). Baharkam berada di daerah Kelapa
Dua, Depok sedangkan ATS terletak di Desa Semplak, Kecamatan Kemang,
Bogor Barat. Anjing yang termasuk dalam unit satwa ini memberikan bantuan
pelaksanaan tugas keamanan (POLRI 2009; TNI AU 2010).
Sampel caplak anjing serta data kasus infestasi dan penyakit yang ditularkan
berasal dari 21 (dua puluh satu) klinik hewan yang terdapat di Bogor, Jakarta dan
Bandung. Penelitian ini dilaksanakan sejak Maret sampai Oktober 2013.
9
Pengamatan Infestasi Caplak
Infestasi Caplak pada Anjing dan Lingkungan
Sampel caplak diambil dari seluruh populasi anjing di Baharkam dan ATS.
Pengamatan dengan menghitung jumlah caplak pada kelima regio tubuh anjing,
yaitu (a) kepala - leher, (b) punggung, (c) abdomen, (d) kaki dan (e) ekor.
Pengambilan sampel caplak dilakukan secara manual menggunakan pinset selama
5 menit. Caplak kemudian dimasukkan ke dalam wadah berisi alkohol 70% untuk
keperluan identifikasi. Kepadatan caplak pada tiap regio tubuh anjing ditentukan
berdasarkan derajat infestasi caplak yang terbagi atas kategori tanpa caplak,
infestasi ringan, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Hadi dan Rusli 2001).
Pengambilan sampel larva caplak di Baharkam dan ATS dengan
menggunakan metode tick-drag dilakukan di lapangan rumput tempat anjing
berlatih. Alat yang digunakan berupa kain putih berukuran 40 x 40 cm yang
permukaannya kasar sehingga caplak mudah menempel pada kain. Kain tersebut
lalu ditarik di atas vegetasi sepanjang 5 sampai 10 m selama 30 detik, kemudian
diulangi pada seluruh permukaan lapangan (Walker et al. 2013). Larva caplak
yang menempel pada kain diambil menggunakan pinset. Pengamatan dan
pengambilan sampel caplak juga dilakukan di kandang anjing. Semua sampel
caplak yang diperoleh dimasukkan ke dalam wadah berisi alkohol 70%.
Kasus Infestasi Caplak Anjing dan Penyakit yang ditularkannya
Data sekunder ini diambil dari rekam medis pasien anjing di klinik hewan di
Bogor, Jakarta dan Bandung yang terdiagnosis secara klinis dan laboratorium.
Data dikumpulkan dari tahun 2008, lalu dikelompokkan berdasarkan jenis anjing,
umur dan jenis kelamin. Koleksi sampel caplak pada anjing di klinik hewan
dilakukan oleh dokter hewan penanggung jawab setiap klinik. Caplak dari pasien
anjing yang datang dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70%.
Preservasi Spesimen dan Identifikasi Caplak
Proses pembuatan slide preparat dilakukan dengan metode Hadi dan
Soviana (2010). Koleksi caplak yang telah dikumpulkan dalam alkohol 70%
dibilas dengan aquades lalu caplak dipindahkan ke tabung reaksi yang berisi KOH
10%. Tabung dipanaskan dengan pembakar api bunsen, tetapi tidak sampai
mendidih. Perlakuan ini bertujuan agar lapisan chitine caplak menipis. Caplak
tersebut lalu dibilas dengan air sampai bersih. Jika abdomen menggembung maka
bagian tersebut ditusuk dengan jarum atau ditekan perlahan supaya isi abdomen
dapat dikeluarkan.
Tahap selanjutnya adalah dehidrasi secara bertahap dengan alkohol 70%,
85% dan 95%. Setiap fase dehidrasi membutuhkan waktu sekitar 10 menit.
Clearing dilakukan setelah tahap dehidrasi dengan merendam caplak selama 15 30 menit di dalam minyak cengkeh, kemudian caplak dicuci dengan larutan xylol.
Pencucian pertama kali terlihat berkabut, oleh karena itu larutan xylol dibuang lalu
diganti dengan larutan yang baru. Spesimen yang telah bersih tersebut kemudian
diletakkan pada object glass yang telah ditetesi medium canada balsam lalu
spesimen ditutup dengan cover glass. Slide preparat lalu dimasukkan ke dalam
10
inkubator atau dibiarkan pada suhu kamar selama 7 sampai 10 hari untuk proses
pengerasan canada balsam. Identifikasi caplak menggunakan kunci identifikasi
dari Goddard and Layton (2006) dan Walker et al. (2013).
Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing
Ehrlichiosis
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui dan menentukan adanya
infeksi Ehrlichia pada anjing Baharkam dan ATS. Sampel darah diambil dari
masing-masing 30% jumlah anjing pada setiap 5 kategori derajat infestasi caplak.
Pengambilan darah sebanyak 3 ml melalui vena cephalica antibrachii lateralis.
Darah diambil menggunakan spuit lalu ditampung dalam gel and clot activator
vacutainer kemudian disentrifugasi 1700 g selama 10 menit untuk memisahkan
serum. Serum tersebut dipindahkan ke dalam microtube lalu dimasukkan dalam
cooler box (4 - 7 °C) untuk dibawa ke laboratorium. Microtube berisi serum itu
selanjutnya disimpan dalam freezer bersuhu -20 °C sampai digunakan untuk
pengujian lebih lanjut (Tsachev et al. 2006).
Sampel serum anjing diperiksa menggunakan rapid test kit Ehrlichia
(Synbiotics Corporation) untuk mendeteksi antibodi terhadap E. canis
berdasarkan instruksi pada label. Satu rapid test kit Ehrlichia terdiri dari lima alat
tes (test device), satu botol larutan buffer (2 ml) dan lima pipet. Alat tes diletakkan
pada permukaan yang horisontal kemudian diteteskan sampel serum secara
vertikal sebanyak satu tetes. Sampel serum akan penetrasi ke dalam membran alat
tes. Larutan buffer ditambahkan sebanyak tiga tetes. Dalam waktu 10 menit,
kompleks larutan akan bereaksi positif dengan menunjukkan pita warna merah
muda atau ungu (Synbiotics 2004).
Babesiosis dan Anaplasmosis
Pemeriksaan ini untuk melihat adanya Babesia dan Anaplasma yang
menginfeksi anjing. Sampel ulas darah juga diambil sebanyak 30% dari masingmasing kategori derajat infestasi caplak anjing Baharkam dan ATS. Pewarnaan
ulas darah dilakukan dengan metode Giemsa. Darah yang telah disiapkan
diteteskan ke atas object glass kemudian ditempelkan ujung object glass yang lain
dengan membentuk sudut kurang lebih 45°, setelah itu object glass didorong
dengan kecepatan konstan sehingga didapatkan ulasan yang tidak terlalu tebal.
Ulasan yang didapat dikeringkan di udara selama 3 - 5 menit, setelah kering
dilakukan fiksasi ulasan dalam metanol selama 5 menit. Ulasan kemudian
dicelupkan ke dalam pewarna Giemsa 10% selama kurang lebih 30 menit. Ulasan
lalu diangkat dan dicuci menggunakan air yang mengalir sampai air bilasan tidak
membawa warna Giemsa dan dikeringkan di udara. Hasil preparat ulas darah yang
telah diwarnai dengan Giemsa 10%, diamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 1000 kali dengan minyak emersi untuk melihat adanya patogen
(Tampubolon 1992).
11
Analisis Data
Kategori Derajat Infestasi Caplak
Derajat infestasi dikategorikan sebagai (-) = tanpa caplak, (+) = 1 - 5 ekor
caplak (ringan), (++) = 6 - 10 ekor caplak (sedang), (+++) = 11 - 20 ekor caplak
(tinggi), dan (++++) = > 20 ekor caplak (sangat tinggi) (Hadi dan Rusli 2001).
Prevalensi Caplak pada Anjing dan di Lingkungan
Prevalensi caplak pada anjing diukur berdasarkan jumlah anjing yang positif
terinfestasi caplak dibagi total populasi anjing yang diperiksa. Prevalensi caplak di
lapangan rumput Baharkam dan ATS, dihitung berdasar hasil tick-drag yang
dinyatakan dalam jumlah caplak satuan luas lapangan (m2). Pemeriksaan caplak di
dalam kandang (celah, retakan, pojok kandang serta tempat-tempat yang
terlindung) berupa pengamatan ada atau tidaknya caplak. Kandang yang
digunakan untuk pemeriksaan caplak adalah kandang yang ditempati anjing yang
termasuk dalam perhitungan 30% sampel pemeriksaan darah.
Prevalensi Kasus Infestasi Caplak dan Penyakit yang ditularkannya
Data sekunder yang diperoleh dari klinik hewan di Bogor, Jakarta dan
Bandung dianalisis secara deskriptif menggunakan statistika deskriptif. Hasil
analisis memperlihatkan prevalensi infestasi caplak dan kasus penyakit
berdasarkan faktor jenis, umur dan jenis kelamin anjing.
Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing
Pemeriksaan ini akan menunjukkan prevalensi sampel yang positif adanya
E. canis, Babesia dan Anaplasma. Penghitungan persentase eritrosit berparasit
Babesia menggunakan rumus (Jumlah parasit/400 eritrosit) x 100% (Almazán et al.
2008). Hasil pemeriksaan akan dianalisis menggunakan Pearson Chi-Square
program SPSS versi 19, untuk mengetahui hubungan derajat infestasi caplak
terhadap Ehrlichiosis, Babesiosis dan Anaplasmosis.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Caplak
Hasil identifikasi 950 sampel caplak yang diperoleh dari 97 anjing
Baharkam Polri, TNI AU Atang Sendjaja dan klinik hewan di Bogor, Jakarta dan
Bandung, menunjukkan hanya satu jenis caplak yaitu Rhipicephalus sanguineus.
Caplak ini mempunyai ciri-ciri berwarna coklat kemerahan, ukuran caplak dewasa
±1 mm dan lekuk anal (anal groove) berada di posterior anus. R. sanguineus
memiliki mata berbentuk sedikit cembung yang terletak di lateral skutum. Basis
kapituli berbentuk heksagonal, hipostom pendek, bagian posterior tubuhnya
dilengkapi festoon dan spirakel berbentuk seperti koma. Bagian ventral caplak
jantan terdapat keping adanal yang berbentuk menyempit dan ukuran keping
adanal tambahan cukup besar (Gambar 3 dan 4). Pada caplak betina tidak
memiliki keping adanal dan keping adanal tambahan (Gambar 5). Dorsal basis
kapituli caplak betina terdapat sepasang area berpori yang mengeluarkan substansi
12
Gambar 3 Bagian tubuh R. sanguineus jantan
Gambar 4 R. sanguineus jantan; A: dorsal; B: ventral
Gambar 5 R. sanguineus betina; A: dorsal; B: ventral
pada saat caplak bertelur. Substansi tersebut berfungsi untuk melindungi telur
(waterproofing).
Di Indonesia, Hadi dan Rusli (2006) melaporkan caplak yang menginfestasi
28 anjing di 6 kecamatan Kota Bogor diketahui hanya satu spesies yaitu
Rhipicephalus sanguineus. Hal yang serupa dilaporkan di Filipina bahwa, spesies
caplak yang menyerang anjing adalah R. sanguineus (Baticados and Baticados
2011). Survei caplak anjing di empat kota di India (Mumbai, Delhi, Sikkim dan
Ladakh) menunjukkan genus caplak yang ditemukan adalah Rhipicephalus dan
13
Haemaphysalis (Rani et al. 2011). Kejadian sebaliknya pada survei koleksi caplak
menggunakan tick-drag di pulau Jeju-Korea Selatan, R. sanguineus tidak pernah
ditemukan. Jenis caplak yang ditemukan adalah Haemaphysalis longicornis, H.
flava, H. phasiana, Ixodes nipponensis, I. turdus dan Amblyomma testudinarium
(Ko et al. 2010).
Pengamatan Infestasi Caplak
Infestasi Caplak pada Anjing dan Lingkungan
Baharkam Polri
Pengukuran infestasi caplak dilakukan terhadap seluruh anjing yang
berjumlah 81 ekor (53 jantan dan 28 betina). Persentase anjing Baharkam yang
terinfestasi caplak adalah 67.90% (55 ekor). Jenis anjing yang ada di lokasi ini
sebanyak sembilan, yaitu Beagle, Doberman, Dutch Shepherd, German Pointer,
German Shepherd, Golden Retriever, Labrador, Malinois dan Rottweiler.
Sebagian besar ras anjing tersebut adalah Labrador (30.86%) dan Malinois
(29.63%) sebaliknya yang paling sedikit adalah Golden Retriever (1.24%). Ras
Golden Retriever satu-satunya jenis anjing yang tidak terinfestasi caplak
dibandingkan delapan ras lain yang prevalensinya diatas 50%. Jenis anjing yang
terinfestasi caplak adalah Beagle 50%, Doberman 100%, Dutch Shepherd 70%,
German Pointer 75%, German Shepherd 100%, Labrador 56%, Malinois 70.83%
dan Rottweiler 66.67% (Tabel 1). Diketahui bahwa anjing Golden Retriever
tersebut jarang beraktivitas di lapangan sehingga peluang anjing untuk kontak
dengan sumber penularan caplak menjadi kecil. Berdasarkan uji Pearson ChiSquare, tidak terdapat hubungan antara jenis anjing dengan derajat infestasi
caplak (p > 0.05). Hal ini seperti hasil penelitian di Ashton Court Estate-Inggris,
bahwa faktor jenis anjing tidak mempengaruhi infestasi caplak (Jennett et al.
2013).
Tabel 1 Prevalensi anjing Baharkam Polri terinfestasi R. sanguineus
berdasarkan ras anjing
Jenis Anjing
Beagle
Doberman
Dutch Shepherd
German Pointer
German Shepherd
Golden Retriver
Labrador
Malinois
Rottweiler
Total
Populasi Anjing
Jumlah (ekor)
2
2
10
8
6
1
25
24
3
81
Anjing terinfestasi caplak
Jumlah (ekor)
%
1
50
2
100
7
70
6
75
6
100
0
0
14
56
17
70.83
2
66.67
55
67.90
Keterangan: ringan = 1 - 5 ekor caplak ; sedang = 6 - 10 ekor caplak ; tinggi = 11 - 20
ekor caplak dan sangat tinggi = > 20 ekor caplak
14
Tabel 2 Persentase kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing
Baharkam Polri berdasarkan jenis kelamin
Kategori
Derajat Infestasi
Tanpa caplak
Ringan
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Total
Anjing
Jantan
19.75
27.16
14.81
1.23
2.47
65.43
Betina
12.35
14.81
3.70
1.23
2.47
34.57
Total
32.10
41.98
18.52
2.