Eksplorasi Dan Prevalensi Cacing Gastrointestinal Pada Kerbau Di Daerah Jawa Dan Lombok, Indonesia.

EKSPLORASI DAN PREVALENSI CACING
GASTROINTESTINAL PADA KERBAU DI DAERAH
JAWA DAN LOMBOK, INDONESIA

WAHYUDIN ABD. KARIM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Eksplorasi dan Prevalensi
Cacing Gastrointestinal pada Kerbau di daerah Jawa dan Lombok, Indonesia
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Wahyudin Abd. Karim
NIM G352120011

RINGKASAN
WAHYUDIN ABD. KARIM. Eksplorasi dan Prevalensi Cacing Gastrointestinal
pada Kerbau di daerah Jawa dan Lombok, Indonesia. Dibimbing oleh ACHMAD
FARAJALLAH dan BAMBANG SURYOBROTO.
Cacing gastrointestinal merupakan salah satu permasalahan peternakan
saat ini. Cacing gastrointestinal dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar
pada inang, karena menurunkan produktivitas dan mengakibatkan gangguan
pertumbuhan, gangguan pencernaan, anemia, dan bahkan menyebabkan kematian.
Tingkat infestasi cacing gastrointestinal pada ruminansia dipengaruhi
kondisi geografis suatu daerah. Perbedaan jenis cacing dan prevalensi masingmasing tempat akan berbeda sesuai dengan habitat dan kondisi lingkungannya.
Beberapa daerah di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa memiliki kondisi
lingkungan yang berbeda. Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki
curah hujan yang sangat tinggi. Tingginya curah hujan akan berpengaruh terhadap
infestasi cacing gastrointestinal.
Beberapa penelitian tentang cacing gastrointestinal pada feses kerbau telah

dilakukan di Italia, Bangladesh, India dan Pakistan. Sedangkan penelitian cacing
gastrointestinal pada feses kerbau di Indonesia masih sangat sedikit di eksplorasi.
Hal tersebut yang melatarbelakangi dilakukan penelitian tentang Eksplorasi dan
Prevalensi Cacing Gastrointestinal pada Kerbau di daerah Jawa dan Lombok,
Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi jenis-jenis
cacing gastrointestinal pada kerbau di daerah Jawa dan Lombok (2) mempelajari
hubungan adanya cacing gastrointestinal terhadap manajemen pemeliharaan dan
kondisi lingkungan (3) membandingkan prevalensi dan infestasi cacing
gastrointestinal pada setiap lokasi geografis yang berbeda, faktor jenis kelamin
dan umur.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 hingga Juli 2014.
Penelitian ini dilakukan di daerah Jawa yaitu Kabupaten Bogor (Darmaga,
Ciampea, dan Tenjolaya) sebanyak 27 kerbau, Kabupaten Demak (Mranggen)
sebanyak 15 kerbau, Jawa Timur (Tulungagung, Kepanjen, dan Lamongan)
sebanyak 37 kerbau, dan daerah Lombok (Lamper) sebanyak 10 kerbau.
Pengambilan sampel feses pada kerbau dibagi berdasarkan jenis kelamin dan
faktor umur. Pembagian kelompok umur dibagi menjadi tiga bagian yaitu < 1
tahun, 1 – 5 tahun, > 5 tahun.
Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan kondisi geografisnya. Jawa Barat
dipilih untuk mewakili lokasi dengan kondisi basah/lembab. Sedangkan lokasi

yang cukup kering diwakili oleh Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lombok/NTB.
Data parameter lingkungan yang meliputi curah hujan, suhu dan kelembaban
diperoleh dari Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Ketinggian lokasi diukur menggunakan Global Positioning System (GPS).
Pemeriksaan sampel feses dilakukan di Laboratorium fisiologi dan
perilaku, Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor. Pengamatan telur cacing
gastrointestinal dilakukan dengan metode modifikasi pengapungan sederhana
(Floatation solution). Identifikasi telur cacing gastrointestinal berdasarkan
karakter, yaitu ukuran (panjang dan lebar), bentuk telur dan karakteristik sel-sel
yang ada didalam telur. Teknik pengkulturan larva menggunakan media air.

Identifikasi larva cacing gastrointestinal berdasarkan bentuk kepala, ekor,
karateristik sel usus dan tipe esofagus.
Hubungan prevalensi dan infestasi cacing gastrointestinal yang diamati
adalah manajemen pemeliharaan dan faktor lingkungan. Pengukuran morfometrik
telur menggunakan program image J (ij148). Perbedaan lokasi georafis, faktor
jenis kelamin dan umur dianalisis menggunakan perhitungan prevalensi,
sedangkan tingkat intensitas telur dihitung berdasarkan Faecal Eggs Count (FEC).
Feses kerbau yang diperiksa ada 89 individu. Jenis - jenis telur cacing
gastrointestinal yang ditemukan dalam saluran pencernaan kerbau di Jawa

ditemukan sembilan genus, yaitu Moniezia, Haemonchus, Bunostomum,
Cooperia, Strongyloides, Trichostrongylus, Oesophagostomum, Capillaria dan
Toxocara, sedangkan untuk daerah Lombok ditemukan lima genus, yaitu
Moniezia, Bunostomum, Cooperia, Strongyloides, Trichostrongylus. Jenis larva
yang ditemukan ada enam jenis yaitu Strongyloides, Haemonchus, Cooperia,
Oesophagostomum, Bunostomum dan larva free living.
Ukuran morfologi telur cacing gastrointestinal yang ditemukan memiliki
perbedaan ukuran panjang dan lebar dengan literatur. Adanya infeksi cacing
gastrointestinal pada kerbau sangat dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan
dan faktor lingkungan. Prevalensi dan infestasi berdasarkan perbedaan kondisi
geografis yaitu antara daerah basah dan kering lebih besar ditemukan di daerah
basah (Bogor) yaitu 62.1% dan 840 EPG, dibandingkan di daerah kering
(Demak ) yaitu 53.3% dan 375 EPG, Jawa Timur (35.1% dan 570 EPG) dan
Lombok (50% dan 135 EPG). Prevalensi untuk faktor jenis kelamin lebih besar
ditemukan pada jantan dibandingkan betina, yaitu sebesar 57.9% dan 43.4%,
sedangkan infestasinya lebih besar ditemukan pada betina dibandingkan jantan,
yaitu 113.3 EPG dan 101.7 EPG. Prevalensi faktor umur lebih besar ditemukan
pada umur < 1 tahun dibandingkan umur 1-5 tahun dan > 5 tahun, yaitu sebesar
66.7%, 54.3% dan 39%, sedangkan infestasinya lebih besar ditemukan pada umur
1-5 tahun, yaitu sebesar 81.7 EPG, diikuti umur > 5 tahun 68.3 EPG dan umur < 1

tahun 63.3 EPG.
Kata kunci: Kerbau, Eksplorasi, Cacing Gastrointestinal.

SUMMARY
WAHYUDIN ABD. KARIM. An Exploration and Prevalence of Gastrointestinal
Worm in Buffalo from Java and Lombok, Indonesia. Supervised by ACHAMAD
FARAJALLAH and BAMBANG SURYOBROTO.
Gastrointestinal worm is one of the main problem in livestock today, that can
be affecting directly to the productivity of the ruminant. The huge losses of the
host can be caused by parasitic worms, due to the decrease in productivity and
growth disorders, digestive disorders, anemia, even the death.
Gastrointestinal worms infestation in ruminant can be affected by
geografical condition of the area. The differences of worms and the prevalence of
each location will be different due to the habitat and environmental condition.
Some areas in Java and other areas have different environmental condition. Areas
that have environmental condition that are different with other areas was Bogor
district. Bogor is one of the areas in West java which has high rainfall. The
highest rainfall will influence the gastrointestinal worm infestation.
Some research on gastrointestinal worms in buffalo have been conducted
in Italy, Bangladesh, India dan Pakistan. In indonesia, the study of gastrointestinal

worm has not been widely explored. These reasons are the background of the
research about on the An Exploration and Prevalence of Gastrointestinal Parasite
Infections in Buffalo (Bubalus bubalis) from Java and Lombok, Indonesia. The
study was aimed : (1) identified the types of gastrointestinal worms in buffaloes
from java and Lombok, (2) Study the relationship of gastrointestinal worms to
livestock management and environmental condition (3) Compared the prevalence
and infestation of gastrointestinal worms infestation of each different
geographycal location, sex factor and age.
The faecal of 27 buffaloes were collected in several areas from Bogor
(Darmaga, Ciampea, and Tenjolaya), 15 from Demak (Mranggen), 37 from East
Java (Tulungagung, Kepanjen, and Lamongan) and 10 from Lombok (Lamper).
Faecal samples were collected in buffalo based on the sex and age. The buffaloes
categories of age i.e < 1 years, 1 – 5 years, and > 5 years).
The location was selected based on geographical condition. West Java was
chosen to represent the location with moist/damp condition. Whereas the dry
location represented by Central Java, East java, and Lombok/NTB. The
environmental parameters include rainfall, temperature and humidity obtained
from the Meterelogy, Climatology and geophysics (BMKG). The altitude of this
location was measured using the Global Positioning System (GPS).
Samples were analyzed at the Laboratory of Fisiology and Behaviour,

Departement of Biology, Bogor Agricultural University. The gastrointestinal
worms were observed using floatation solution tehnique. Identification of
gastrointestinal worm eggs based on the character were size (lenght and width),
eggs shape and charateristic cell in eggs.
The culture technique larvae used water medium. Identification of
gastrointestinal worm larvae based on the head shape, tail, characteristic intestine
cell and esophagus types. The measurement morphometric of eggs was using
image J program (ij148). The prevalence and infestation of gastrointestinal worm
that observed were livestock management and environmental factor. Differences

in geographic location, sex and age were analyzed using prevalence, whereas the
intensity rate eggs the calculation based of Faecal Eggs Count (FEC).
Faecal samples were collected from 89 buffaloes, the types of
gastrointestinal worm eggs found in the digestive tract of buffalo in Java, there
were nine genera i.e Moniezia, Haemonchus, Bunostomum, Cooperia,
Strongyloides, Trichostrongylus, Oesophagostomum, Capillaria and Toxocara,
while in Lombok were found five genus i.e Moniezia, Bunostomum, Cooperia,
Strongyloides, Trichostrongylus. Types larvae were found six i.e Strongyloides,
Haemonchus, Cooperia, Oesophagostomum, Bunostomum and free living larvae.
The size of morphology from gastrointestinal worm eggs had differences in

length and width. The prevalence and infestation of gastrointestinal worm
infection were influenced by the livestock management and enviromental factors.
The highest prevalence and infestation based different geographycal condition i.e
moist and dry areas were found moist area (Bogor) i.e 62.1% and 840 EPG,
compared dry areas in (Demak) i.e 53.3% and 375 EPG, in East Jawa (35.1% and
570 EPG) and Lombok (50% and 135 EPG). The highest prevalence of sex factor
was in male than female i.e 57.9% and 43.4%, whereas highest infestation was
found in female than male i.e 113.3 EPG and 101.7 EPG. The highest prevalence
based on the age was in < 1 years than 1-5 years and > 5 years, i.e 66.7%, 54.3%
and 39%, whereas highest infestation was found in 1-5 years (81.7 EPG),
followed > 5 years (68.3 EPG) and < 1 years (63.3 EPG).
Keywords: Buffalo, Exploration, Gastrointestinal Worms.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EKSPLORASI DAN PREVALENSI CACING
GASTROINTESTINAL PADA KERBAU DI DAERAH
JAWA DAN LOMBOK, INDONESIA

WAHYUDIN ABD. KARIM

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Rika Raffiudin, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga Tesis dengan judul Eksplorasi dan Prevalensi Cacing
Gastrointestinal pada Kerbau di Daerah Jawa dan Lombok, Indonesia telah
berhasil diselesaikan. Penelitian ini berlangsung dari bulan November 2013
sampai bulan Juli 2014. Penelitian ini terlaksana atas bantuan dana dan fasilitas
penelitian dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI).
Terima kasih penulis ucapkan yang tak terhingga kepada komisi
pembimbing Dr Achmad Farajallah dan Dr Bambang Suryobroto selaku
pembimbing. Terima kasih juga kepada penguji luar komisi Dr Rika Raffiudin
dan Ibu Dr RR Dyah Perwitasari selaku ketua program studi. Terima kasih juga
penulis ucapkan kepada Fahri Fahrudin, Silvia Puspitasari, Ellena Yusti, Budi
Setiawan dan Ivan Permana Putra yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan naska Tesis ini. Kepada bapak Adi Surahman dan Ibu Tini
Wahyuni, terima kasih telah memberikan izin dan fasilitas laboratorium kepada
penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas
Tadulako, Dekan Fakultas FMIPA UNTAD, dan Ketua Jurusan Biologi FMIPA

UNTAD yang telah merekomendasikan penulis untuk melanjutkan studi Magister
di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar
Biosains Hewan (BSH) atas semua ilmu, pengalaman dan bimbingannya. Ucapan
terima kasih untuk teman-teman BSH angkatan 2012 atas kebersamaan, keceriaan,
dan semangat yang diberikan. Terima kasih juga kepada seluruh teman-teman
zoocorner atas persahabatan selama ini. Ucapan terima kasih kepada teman-teman
di Asrama Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah atas bantuan dan
kerjasamanya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, September 2015
Wahyudin Abd. Karim

3

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2 METODE
Waktu dan Tempat
Pemilihan Lokasi
Pengambilan Sampel Feses
Pengamatan Telur Cacing Gastrointestinal
Identifikasi Telur Cacing Gastrointestinal
Pengkulturan Larva Cacing Gastrointestinal
Identifikasi Larva Cacing Gastrointestinal
Parameter Lingkungan
Analisis Data

2
2
2
2
3
3
4
4
4
6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Telur Cacing Gastrointestinal
UkuranTelur Cacing Gastrointestinal
Identifikasi Larva Cacing Gastrointestinal
Manajemen Pemeliharaan dan Data Lingkungan Setiap
Lokasi Sampling
Prevalensi Cacing Gastrointestinal Berdasarkan Lokasi Penelitian
Prevalensi dan Infestasi Cacing Gastrointestinal di Daerah
Basah dan kering
Prevalensi dan Infestasi Cacing Gastrointestinal Menurut Tingkatan
Kerbau (Jenis Kelamin dan Umur)
Infestasi Cacing Gastrointestinal Berdasarkan Faecal
Eggs Count (FEC)

6
4
9
10
13
15
16
16
17

4 SIMPULAN

19

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi Cacing Gastrointestinal
2 Perbandingan Ukuran Panjang dan Lebar Telur Cacing
Gastrointestinal
3 Manajemen Pemeliharaan dan Faktor Lingkungan
4 Prevalensi Cacing Gastrointestinal Berdasarkan Lokasi Penelitian
5 Total Prevalensi dan Infestasi Cacing Gastrointestinal Daerah Basah
dan Kering
6 Prevalensi Cacing Gastrointestinal Berdasarkan Jenis Kelamin dan
Umur
7 Tingkat Infestasi Cacing Gastrointestinal Berdasarkan Perhitungan
Faecal Eggs Count (FEC)

7
10
14
15
16
17
17

DAFTAR GAMBAR
1 Skematik dari Telur Cacing Gastrointestinal pada Ruminansia
2 Kultur Larva Dengan Direndam Air
3 Skematik Dari Larva Cacing Gastrointestinal Pada
Ruminansia
4 Telur Genus Eimeria
5 Telur Genus Strongyloides
6 Telur Genus Capillaria
7 Telur Genus Haemonchus
8 Telur Genus Cooperia
9 Telur Genus Trichostrongylus
10 Telur Genus Toxocara
11 Telur Genus Oesophagostomum
12 Telur Genus Bunostomum
13 Larva Genus Strongyloides
14 Larva Genus Haemonchus
15 Larva Genus Cooperia
16 Larva Genus Oesophagostomum
17 Larva Genus Bunostomum
18 Larva Nematoda Free Living
19 Grafik Prevalensi Cacing Gastrointestinal pada Faktor Jenis Kelamin
20 Grafik Prevalensi Cacing Gastrointestinal pada Faktor Umur

3
4
5
7
8
8
8
8
9
9
9
9
11
11
11
12
12
12
18
19

LAMPIRAN
1 Perbedaan Ukuran Morfologi Telur di Setiap Lokasi Penelitian

23

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cacing gastrointestinal merupakan cacing yang hidup pada sistem
pencernaan di organisme yang lebih besar/inang (Shah 2012). Cacing
gastrointestinal ada yang bersifat parasit dan tidak parasit. Cacing yang bersifat
parasit dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar pada ternak, karena
menurunkan produktivitas dan mengakibatkan gangguan pertumbuhan, gangguan
pencernaan, anemia dan bahkan menyebabkan kematian (Zajac dan Conboy 2011;
Sahinduran 2012). Jenis - jenis cacing gastrointestinal yang bisa ditemukan dalam
saluran pencernaan ruminansia antara lain Trichuris dan Oesophagostomum di
usus besar, Trichostrongylus, Cooperia, Nematodirus, Bunostomum,
Strongyloides, Moniezia dan Cryptosporodium di usus kecil, Paramphistomum di
rumen, Haemonchus, Ostertagia dan Trichostrongylus di abomasum (Foreyt
2001; Southwell et al. 2008), sedangkan cacing gastrointestinal yang bisa
ditemukan pada kerbau antara lain Trichostrongylus, Oesophagostomum,
Haemonchus, Toxocara, Ostertagia, Bunostomum, Strongyloides, Trichuris
(Afridi et al. 2007).
Tingkat infestasi cacing gastrointestinal pada ruminansia dipengaruhi
kondisi geografis suatu daerah. Perbedaan jenis cacing dan prevalensi masingmasing tempat akan berbeda sesuai dengan habitat dan kondisi lingkungannya.
Beberapa daerah di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa memiliki kondisi
lingkungan yang berbeda. Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki
curah hujan yang sangat tinggi. Tingginya curah hujan akan berpengaruh terhadap
infestasi cacing gastrointestinal. Tingkat infestasi cacing gastrointestinal pada
ruminansia akan lebih tinggi ditemukan pada musim hujan, dibandingkan musim
panas (Chavhan et al. 2008; Patel et al. 2015). Selain itu, manajemen
pemeliharaan, perbedaan umur dan jenis kelamin merupakan faktor yang penting
adanya infestasi cacing gastrointestinal (Soulsby 1982; Levine 1994). Cacing
gastrointestinal ada yang bersifat spesifik pada inang tertentu (host-specific) dan
tidak bersifat spesifik (hidup dilebih dari satu inang). Cacing gastrointestinal
seperti Toxocara sp. dan Oesophagostomum sp. bisa ditemukan pada sapi dan
kerbau, Haemonchus sp. bisa ditemukan pada domba, kambing (Raza et al. 2007),
sapi dan kerbau sungai (Bilal et al. 2009; Choubisa dan Jaroli 2012).
Identifikasi jenis cacing gastrointestinal pada ruminansia bisa dilakukan
berdasarkan pengamatan telur dan larva. Identifikasi telur masih menggunakan
hubungan antara karakter ukuran (panjang dan lebar), bentuk dan karateristik sel
(Griffiths 1978; Foreyt 2001; Zajac dan Conboy 2011). Dalam tubuh inang, telur
cacing gastrointestinal dikeluarkan bersamaan dengan feses. Jumlah telur cacing
yang ditemukan pada setiap gram feses dapat dijadikan ukuran menentukan
tingkat infestasi cacing. Identifikasi jenis cacing berdasarkan morfologi telur
sangat sulit untuk mengenali hingga tahap genus karena ukuran telur overlapping
antar jenis. Selain itu, bentuk dan karakter sel telur sangat mirip. Identifikasi larva
cacing dapat memperkuat pengenalan jenis cacing hingga tahap genus bahkan
spesies. Pendekatan ini dilakukan melalui deskripsi bentuk kepala, ekor, tipe
esofagus dan karateristik sel usus (Wyk dan Mayhew 2013).

2

Beberapa penelitian tentang cacing gastrointestinal pada feses kerbau telah
dilakukan di Italia (Rinaldi et al. 2009), Bangladesh (Mamun et al. 2011), India
(Choubisa dan Jaroli 2012; Singh et al. 2012) dan Pakistan (Bilal et al. 2009;
Raza el al. 2013). Sedangkan penelitian cacing gastrointestinal pada feses kerbau
di Indonesia masih sangat sedikit. Hal ini yang menjadi masalah dalam
mengidentifikasi jenis - jenis cacing gastrointestinal yang terdapat pada feses
kerbau.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengidentifikasi jenis - jenis
cacing gastrointestinal pada kerbau di daerah Jawa dan Lombok (2) mempelajari
hubungan adanya cacing gastrointestinal terhadap manajemen pemeliharaan dan
kondisi lingkungan (3) membandingkan prevalensi dan infestasi cacing
gastrointestinal pada setiap lokasi geografis yang berbeda, faktor jenis kelamin
dan umur.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan data dasar dan sumber
informasi mengenai jenis-jenis cacing gastrointestinal pada kerbau di daerah Jawa
dan Lombok.

2 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 hingga Juli 2014.
Pengambilan sampel feses kerbau dilakukan di daerah Jawa yaitu Kabupaten
Bogor, Jawa Barat (Desa Cibereum, Kampug Tegal, dan Tapos 1), Kabupaten
Demak, Jawa Tengah (Kecamatan Mranggen), Provinsi Jawa Timur
(Tulungagung, Kepanjen dan Lamongan). Sedangkan untuk daerah Kabupaten
Lombok di Desa Lamper. Pemeriksaan sampel feses dilakukan di Laboratorium
Fisiologi dan Perilaku, Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor.
Pemilihan Lokasi
Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan kondisi geografisnya. Jawa Barat
dipilih untuk mewakili lokasi dengan kondisi basah/lembab. Sedangkan lokasi
yang cukup kering diwakili oleh Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lombok/NTB.
Pengambilan Sampel Feses Kerbau
Sampel feses kerbau diambil di daerah Jawa yaitu Kabupaten Bogor
sebanyak 27 individu, Kabupaten Demak sebanyak 15 individu, Provinsi Jawa
Timur sebanyak 37 individu dan untuk daerah Lombok sebanyak 10 individu.

4

Pengkulturan Larva Cacing Gastrointestinal
Teknik pengkulturan ini menggunakan media air. Feses direndam dalam
air (Hutchinson 2009). Wadah disusun seperti pada Gambar 2. Wadah gelas kecil
dimasukkan ke dalam wadah gelas sedang yang berisi air. Wadah gelas sedang
dimasukkan ke dalam wadah gelas besar. Wadah ini ditempatkan di tempat yang
gelap. Larva di panen setelah dari hari pertama sampai hari ke tujuh sejak kultur
dilakukan (Hutchinson 2009).

e
a

c

b
d

Gambar 2 Gelas kecil (a), gelas sedang (b), gelas besar (c), feses (d) dan air (e)
kultur larva dengan direndam air
Identifikasi Larva Cacing Gastrointestinal
Identifikasi larva cacing gastrointestinal berdasarkan bentuk kepala, ekor,
karateristik sel usus dan tipe esofagus (Wyk dan Mayhew 2013). Adapun gambar
skematik dari larva cacing gastrointestinal pada ruminansia terlihat pada Gambar
3.
Parameter Lingkungan
Data parameter lingkungan yang meliputi curah hujan, suhu dan
kelembaban diperoleh dari Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG). Ketinggian lokasi diukur menggunakan Global Positioning System
(GPS).

5

Kepala

Ujung
tidak
rata

Persegi

Bulat

Seperti
peluru

18-22 sel usus
Bentuk esofagus
dan ekor

Ekor
Oesophagostomum
sp.

Ekor

Panjang esofagus
± 40%
Strongyloides sp.

Haemonchus sp.
Trichostrongylus
axei/Teladorsagia
spp.

Bunostomum/
Gaegeria sp.

Ekor menukik/
bergerigi
8 sel usus

Chabertia sp.
16 sel usus

Ekor bergerigi
Trichostrongylus
sp.

Nematodirus sp.
Ujung halus
Cooperia spp.
C. curticei
Trichosrongylus spp.
(T. colubriformis)

Trichosrongylus spp.
(T. facultatus)

Ujung tumpul
C. oncophora

Esofagusnya tipe
Rhabditiform
Nematoda free
living

6

6
Analisis Data

Pengukuran morfometrik telur menggunakan program image J (ij148).
Hubungan kejadian infestasi cacing gastrointestinal yang diamati adalah
manajemen pemeliharaan dan faktor lingkungan. Perbedaan lokasi geografis, jenis
kelamin dan umur dianalisis menggunakan perhitungan prevalensi berdasarkan
Rehman et al. (2011). Perhitungan Faecal Eggs Count (FEC) berdasarkan
(Cringoli et al. 2004; Zajac dan Conboy (2011) yaitu:
Prevalensi (%) =
FEC

× 100

= Jumlah telur x

d / 2 gram feses
v

Ket: d = total volume larutan (60 ml)
v = volume larutan yang diperiksa
dalam McMaster (0.5 ml satu kamar x 4 = 2 ml total larutan)

2 HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Telur Cacing Gastrointestinal
Telur cacing gastrointestinal yang ditemukan pada penelitian ini terdiri
dari lima ordo, enam famili dan sembilan genus (Tabel 1). Ordo Strongylida
merupakan ordo yang memiliki jumlah terbanyak (Tabel 1). Hasil identifikasi dan
deskripsi telur dan larva cacing gastrointestinal memiliki bentuk dan karakter
morfologi yang berbeda-beda. Hasil pengamatan menunjukan telur genus
Moniezia memiliki rentang diameter telur 28.63 – 60.79 µm dan berbentuk
segitiga (Gambar 4). Strongyloides memiliki panjang telur 45.61 - 65.03 µm (r =
50.82 µm); lebar antara 19.76 - 34.21 µm (r = 27.60 µm). Hasil pemeriksaan
menunjukan telur Strongyloides bersisi larva dan tidak memiliki operculum,
dengan dinding sel yang tipis serta sel telurnya berwarna transparan (Gambar 5).
Hasil ini menunjukan Capillaria memiliki dua kutub di ujung telur. Telur
Capillaria memiliki panjang telur 48.05 - 51.26 µm (r = 49.46 µm); lebar antara
21.78 - 23.74 µm (r = 22.76 µm). Telur Capillaria bentuknya memanjang seperti
galah, sel telur berwarna kekuningan (Gambar 6). Telur Haemonchus memiliki
panjang telur 61.98 – 85.01 µm (r = 68.87 µm); lebar antara 35.61 – 54.29 µm (r =
42.02 µm). Telur Haemonchus memiliki bentuk oval, selnya berwarna kekuningan,
mempunyai tiga lapisan di kulit luar dengan bentuk telur sama panjang, serta
mempunyai sel embrionik yang hampir menutupi seluruh rongga telur (Gambar 7).
Telur Cooperia memiliki panjang telur 68.11 - 85.37 µm (r = 76.75 µm);
lebar antara 32.68 - 39.81 µm (r = 36.67 µm). Kedua ujung telurnya membulat,
bagian sisi telur hampir sejajar dan sel telurnya berwarna coklat gelap (Gambar 8).
Telur Trichostrongylus memiliki panjang 70.03 - 85.55 µm (r = 81.82 µm); lebar
antara 36.37 - 47.23 µm (r = 44.20 µm). Telur Trichostrongylus mempunyai ujung

7

telur meruncing dan tumpul, bagian luar Trichostrongylus tersusun atas tiga
lapisan, dinding berwarna kekuningan dan sel embrionik tidak menutupi seluruh
rongga telur (Gambar 9).
Telur Toxocara berbentuk membulat, sel telur berwarna kuning gelap dan
berdinding tebal. Panjang telur antara 72.55 - 75.43 µm (r = 73.99 µm); lebar
antara 67.52 - 69.54 µm (r = 68.53 µm) (Gambar 9). Telur Oesophagostomum
memiliki panjang telur 67.52 - 85.60 µm (r = 76.56 µm); lebar antara 35.31 48.23 µm (r = 41.77 µm). Telur Oesophagostomum memiliki ujung telur
membulat, lapisan kulit luarnya tipis, sel telur berwarna kuning gelap dan
mempunyai tiga lapisan di kulit luar, serta sel embrioniknya tidak menutupi
seluruh rongga telur (Gambar 10). Telur Bunostomum memiliki panjang telur
antara 87.03 – 128.12 µm (r = 103.45 µm); lebar antara 43.97 – 68.79 µm (r =
54.45 µm). Bentuk telur tumpul membulat, sel telur berwarna coklat kehitaman,
dengan sel embrionik tidak menutupi seluruh rongga telur (Gambar 11).
Tabel 1 Klasifikasi cacing gastrointestinal
Kelas
Cestoda

Subkelas

Kelas
Nematoda

Ordo
Strongylida

Rhabditida
Enoplida
Ascaridida

Platyhelminthes
Ordo
Famili
Cyclophyllida
Anoplocephalidea
Nemathelminthes
Famili
Super Famili
Trichostrongyloidea Trichostrongylidae

Rhabditoidea
Strongyloidea
Trichuroidea
Ascaridoidea

Strongyloididae
Trichonematidae
Trichuridae
Ascarididae

Gambar 4 Karakter telur genus Moniezia

Genus
Moniezia
Genus
Haemonchus
Bunostomum
Cooperia
Trichostronglus
Strongyloides
Oesophagostomum
Capillaria
Toxocara

8

Gambar 5 Karakter telur genus Strongyloides

Gambar 6 Karakter telur genus Capillaria

Gambar 7 Karakter telur genus Haemonchus

Gambar 8 Karakter telur genus Cooperia

9

Gambar 9 Karakter telur genus Trichostrongylus dan Toxocara

Gambar 10 Karakter telur genus Oesophagostomum

Gambar 11 Karakter telur genus Bunostomum
Ukuran Telur Cacing Gastrointestinal
Hasil pengukuran yang dilakukan terhadap telur cacing gastrointestinal
pada kerbau memiliki perbedaan ukuran panjang dan lebar bila dibandingkan
dengan beberapa literatur (Tabel 2). Tiga genus cacing memiliki panjang telur
antara 30 – 50 µm, lima genus yang berukuran panjang 70 – 100 µm dan hanya
satu genus yang berukuran lebih dari 100 µm.

10

Tabel 2 Perbandingan ukuran panjang dan lebar telur cacing gastrointestinal
No

Parasit
gastrointestinal

A. 30 – 50 µm
1 Moniezia
2

Strongyloides

3

Capillaria

B. 70 – 100 µm
1 Haemonchus
2

Cooperia

3

Trichostrongylus

4

Oesophagostomum

5

Toxocara

C. > 100 µm
1 Bunostomum

Rata-rata
pengukuran
(µm)

Griffiths
(1978)

Ukuran (µm)
Foreyt
Zajac dan
(2001)
Conboy (2011)

Diameter
47.96
50.82x
27.60
51.26x
22.76

Diameter
60
40-60x 25

Diameter
60
50x22

Diameter
65-75
40-60x32-40

50x30

45-50x22-25

68.87x
42.02
76.65x
36.67
81.82x
44.20
76.56x
41.77
73.99x
68.53

65-80x
40-45
70-90x 40

80x45

85x35

85x40

80x40

80x40

103.45x
54.45

105x40

77x34

90x80

75-95x60-75

95x50

Identifikasi Larva Cacing Gastrointestinal
Sebanyak enam jenis cacing berhasil di identifikasi melalui pengamatan
larva, yaitu Strongyloides, Haemonchus, Cooperia, Oesophagostomum,
Bunostomum dan Larva nematoda free living. Larva Strongyloides memiliki
bentuk kepala sedikit membulat dan ekornya tidak terdapat penutup atau sarung
ekor. Larva Strongyloides memiliki esofagus yang sangat panjang, hampir
memenuhi panjang tubuhnya (Gambar 12). Larva Haemonchus memiliki bentuk
kepala meruncing seperti peluru dan sarung ekornya tidak terlalu panjang
(Gambar 13). Larva Cooperia memiliki bentuk kepala membulat dan ekor
meruncing. Terdapat dua titik pada bagian kepala (refractile bodies) dan sarung
ekornya tidak terlalu panjang (Gambar 14). Larva Oesophagostomum memiliki
bentuk kepala persegi empat dan sarung ekornya sangat panjang (Gambar 15).
Larva Bunostomum memiliki bentuk kepala meruncing seperti peluru dan sarung
ekornya panjang. Larva cacing ini juga memiliki gelembung atau berbentuk bola
pada esofagusnya (bulb) (Gambar 16). Larva nematoda yang hidup bebas (free
living) yang ditemukan pada pengamatan ini memiliki tipe esofagus Rhabditiform
yaitu terdapat badan (corpus), bentuknya agak rata/lurus (isthmus) dan tonjolan
berbentuk bulatan (bulb) (Gambar 17).

11

a
b

c

Gambar 12 ekor (a), esofagus (b) dan kepala (c) larva genus Strongyloides
a

b

Gambar 13 kepala (a) dan ekor (b) larva genus Haemonchus
c
b

a
Gambar 14 Kepala (a), refractile bodies (b) dan ekor (c) larva genus Cooperia

13

Larva cacing genus Strongyloides ini disebut sebagai cacing benang.
Genus ini banyak ditemukan di mukosa usus halus di domba, kambing, sapi dan
berbagai hewan ruminansia lain. Larva Strongyloides dapat menyebabkan radang
usus apabila terdapat jumlah yang sangat banyak (levine 1994). Tipe esofagus dari
larva ini sangat berbeda, yaitu panjang esofagusnya hampir sama dengan panjang
tubuhnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wyk dan Mayhew
(2013), bahwa panjang esofagusnya mencapai 40 % dari panjang tubuhnya.
Haemonchus merupakan kelas nematoda yang paling berpengaruh pada
ruminansia terutama di domba, kambing, sapi dan ruminansia lain (Levine 1994).
Cacing Haemonchus dapat menyebabkan anemia, depresi, mengurangi berat
badan, dan dapat menyebabkan kematian (Miller dan Horohov 2006). Bentuk
morfologi dari larva ini yaitu kepala meruncing dan sarung ekornya tidak terlalu
panjang. Menurut Wyk dan Mayhew (2013), bahwa bentuk kepala dari larva
Haemonchus meruncing seperti peluru dan sarung ekornya tidak terlalu panjang.
Cooperia merupakan nematoda usus pada ruminansia. Cooperia tidak
terlalu patogen tetapi banyak ditemukan di ruminansia. Larva ini terdapat pada
usus halus domba, kambing, sapi dan biasanya ditemukan pada bison. Bentuk
morfologi pada larva memiliki dua titik dibagian kepala. Menurut Wyk dan
Mayhew (2013), serta Zajac dan Conboy (2011), bahwa larva Cooperia memiliki
refractile bodies.
Oesophagostomum disebut sebagai cacing benjol. Larva ini terdapat pada
usus besar domba, kambing sapi, zebu dan kerbau sungai. Larva ini
menyebabakan radang edema dinding usus, anemia, diare dan nafsu makan
berkurang (Levine 1994). Larva Oesophagostomum memiliki sarung ekor yang
sangat panjang. Menurut Wyk dan Mayhew (2013), bahwa larva
Oesophagostomum memiliki sarung ekor yang sangat panjang dan berbentuk
filamen.
Bunostoumum adalah cacing kait yang terdapat pada usus halus domba,
kambing dan sapi. Larva ini dapat menyebabkan anemia. Larva ini memiliki
gelembung atau berbentuk bola pada esofagusnya. Menurut Wyk dan Mayhew
(2013), bahwa larva Bunostoumum memiliki bulb atau tonjolan pada tipe
esofagusnya. Larva nematoda free living yang ditemukan pada penelitian ini
memiliki tipe esofagus Rhaditiform, yaitu terdapat corpus, isthmus dan bulb.
Larva ini banyak ditemukan pada penelitian ini. Menurut Wyk dan Mayhew
(2013), bahwa larva nematoda free living mendominasi disetiap pengkulturan
larva pada feses ruminansia.
Manajemen Pemeliharaan dan Data Lingkungan Setiap Lokasi Sampling
Adanya cacing gastrointestinal pada kerbau dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya manajemen pemeliharaan dan faktor lingkungan (Tabel 3).
Manajemen pemeliharaan pada penelitian ini yakni semi intensif. Ketinggian pada
suatu lokasi akan mempengaruhi kondisi geografisnya. Kondisi lingkungan yang
berbeda akan berdampak pada jenis dan jumlah cacing gastrointestinal yang
ditemukan.

14

Tabel 3 Manajemen pemeliharaan dan faktor lingkungan
Lokasi
Bogor (Jawa Barat)
1. Tenjolaya
2. Ciampea
3. Darmaga
Demak (Jawa Tengah)
4. Mranggen
Lombok (NTB)
5. Lamper
Jawa Timur
6.Tulungagung
7. Kepanjen
8. Lamongan

Faktor lingkungan
Curah
Suhu Kelembaban
hujan
(oC)
(%)
(mm)
Nov 2013 – Jan 2014

Manajemen
pemeliharaan

Ketinggian
(mdpl)

Semi intensif
Semi intensif
Semi intensif

220
154
207

432.2

Semi intensif

44

121

Semi intensif

15

Semi intensif
Semi intensif
Semi intensif

85
139
22

25.1

28.3
Mei 2014
30.09
32.10
Juni – Juli 2014
166

24

84

81.7

75.5

Pemeliharaan kerbau di Indonesia dilakukan secara ekstensif, semi intensif
dan intensif. Pemeliharaan secara intensif yaitu pemeliharaan ternak hampir
sepanjang hari berada dalam kandang. Pemeliharaan ekstensif yaitu pemeliharaan
ternak yang dilepas di padang penggembalaan sepanjang hari mulai dari pagi
sampai sore hari. Pemeliharaan semi intensif yaitu kerbau dilepas di padang
penggembalaan pada pagi hari dan sore atau malam hari dikandangkan.
Manajemen pemeliharaan kerbau dalam penelitian ini yaitu semi intensif
(Tabel 3). Sistem pemeliharaan kerbau pada penelitian ini yaitu dilepaskan pada
pagi hari di padang rumput pukul 06.00 sampai 16.00 WIB. Kerbau yang
dilepaskan di padang rumput pada pagi hari akan lebih berisiko terinfeksi cacing
gastrointestinal. Larva cacing gastrointestinal akan naik ke pucuk rumput pada
saat cahaya matahari belum panas dan kondisi rumput dalam keadaan masih basah
(Bukhari dan Sanyal 2009). Lokasi penggembalaannya adalah padang rumput
yang sering digunakan peternak untuk melepaskan ternak ruminansia. Padang
rumput yang sering digunakan untuk menggembalakan ternak akan menyebabkan
terjadinya perpindahan cacing antar kerbau. Kerbau yang digembalakan akan
terinfeksi cacing pada saat memakan rumput mengandung parasit larva
(Saverwyns 2008). Kerbau yang digembalakan juga mempunyai jangkauan tempat
mencari pakan lebih luas di padang rumput, sehingga risikonya lebih besar
terinfeksi parasit (Waller 2003).
Selain itu, peternakan yang terletak diketinggian memiliki prevalensi
infeksi cacing gastrointestinal lebih tinggi. Daerah yang berada di ketinggian
memiliki kondisi iklim yang cocok bagi perkembangan siklus hidup cacing
gastrointestinal (Kantzoura et al. 2012). Ketinggian tempat yang berbeda-beda
dengan permukaan laut akan menyebabkan suhu dan kelembaban udara yang
berbeda pula (Roza 1991).
Suhu, kelembaban dan curah hujan merupakan faktor penting dari
lingkungan, karena besar pengaruhnya terhadap infeksi cacing terhadap kerbau.
Cacing gastrointestinal membutuhkan kondisi iklim yang cocok bagi
perkembangan hidupnya. Perbedaan prevalensi cacing gastrointestinal pada

15

kerbau disebabkan adanya perbedaan kondisi lingkungannya yaitu suhu dan curah
hujan (Bilal et al. 2009; Dijk et al. 2010).
Prevalensi Cacing Gastrointestinal Berdasarkan Lokasi Penelitian
Infeksi cacing gastrointestinal di setiap lokasi penelitian menunjukan
perbedaan prevalensi. Prevalensi tertinggi Cestoda (Moniezia) dan Nematoda
ditemukan di daerah Bogor (Tabel 4). Total prevalensi cacing gastrointestinal
pada kerbau berdasarkan perbedaan lokasi penelitian, lebih besar ditemukan di
daerah Bogor dibandingkan daerah Demak, Jawa Timur dan Lombok (Tabel 4).
Tabel 4 Prevalensi cacing gastrointestinal berdasarkan lokasi penelitian
Cacing Gastrointestinal
Cestoda
Moniezia
Nematoda
Haemonchus
Bunostomum
Cooperia
Trichostrongylus
Strongyloides
Oesophagostomum
Capillaria
Toxocara
Total Nematoda

Bogor
(n=29)
%

Demak
(n=15)
%

Lokasi
Jawa Timur
(n=37)
%

Lombok
(n=10)
%

17.2

6.7

2.7

10

24.1
24.1
10.3
0
20.7
3.5
0
0
82.7

13.3
33.3
13.3
0
6.7
6.7
0
0
73.3

10.8
8.1
5.4
2.7
8.1
0
2.7
2.7
40.5

0
20
20
10
10
0
0
0
60

Daerah Bogor memiliki kelembaban cukup tinggi dan suhu yang cocok
untuk perkembangan Cestoda. Cestoda memerlukan inang perantara untuk
mencapai fase larva, yaitu tungau rumput. Jenis tungau rumput ini membutuhkan
kondisi iklim yang cocok untuk keberadaannya yaitu antara 12-28 oC dengan
kelembaban antara 85-100% (Narsapur 1988). Tungau akan tertelan oleh kerbau
pada saat mencari pakan di padang rumput. Telur cestoda akan berkembang
menjadi larva membutuhkan adanya suhu yang hangat dan kelembaban yang
tinggi. Kondisi suhu yang baik untuk perkembangan telur Cestoda menjadi larva
yaitu 25 oC (Narsapur 1988).
Nematoda merupakan cacing gastrointestinal yang tidak memerlukan
inang perantara, sehingga untuk berlangsungnya siklus cacing lebih cepat
(Southwell 2008). Nematoda dapat tumbuh dengan optimum pada curah hujan di
atas 55 mm dengan suhu maksimum rata-rata di atas 18 oC (Levine 1994). Hal ini
mempengaruhi tingginya tingkat intensitas pada infeksi cacing gastrointestinal
Nematoda di Bogor (Tabel 4). Cacing gastrointestinal ini berkembang dengan
baik pada musim hujan dibandingkan musim panas (Chiejina dan Fakae 1984;
Pfukenyi et al. 2007).
Total prevalensi cacing gastrointestinal pada kerbau berdasarkan lokasi
penelitian, ditemukan lebih besar di daerah Bogor (Tabel 4). Tingginya prevalensi
di daerah Bogor berkaitan dengan kondisi lingkungannya. Perbedaan prevalensi
cacing gastrointestinal pada kerbau disebabkan adanya perbedaan kondisi
lingkungannya yaitu suhu dan curah hujan (Bilal et al. 2009; Dijk et al. 2010).

16

Kondisi lingkungan yang baik mempengaruhi perkembangan tingkat infeksi
cacing gastrointestinal.
Prevalensi dan Infestasi Cacing Gastrointestinal di Daerah Basah/Lembab
dan Kering
Total prevalensi dan infestasi cacing gastrointestinal di daerah
basah/lembab (Jawa Barat) memiliki prevalensi tertinggi sebesar 62.1%,
dibandingkan dengan daerah kering (Jawa Tengah yaitu 53.3%, diikuti Lombok
50% dan Jawa Timur 35.1%). Sedangkan untuk perhitungan Faecal Eggs Count
(FEC), ditemukan lebih besar di daerah Jawa Barat sebesar 840 Eggs Per Gram
(EPG), diikuti Jawa Timur yaitu 570 EPG, Jawa Tengah 375 EPG dan Lombok
(NTB) yaitu 135 EPG.
Tabel 5 Total prevalensi dan infestasi cacing gastrointestinal daerah basah dan
kering
No

Lokasi

1
2
3

Bogor (Jawa Barat)
Demak (Jawa Tengah)
Tulungagung, Kepanjen,
dan lamongan (Jawa Timur)
Lombok (NTB)

4

Prevalensi
(%)
62.1
53.3
35.1

Faecal Eggs Count (FEC)
Satuan Eggs per gram (EPG)
840
375
570

50

135

Berdasarkan data prevalensi dan infestasi cacing gastrointestinal di daerah
basah/lembab dan kering, bahwa daerah Bogor (Jawa Barat) memiliki prevalensi
dan infestasi cacing lebih besar, dibandingkan dengan daerah kering yaitu di
Demak (Jawa Tengah), Jawa Timur dan Lombok (NTB). Prevalensi dan infestasi
daerah Bogor sebesar (62.1% dan 840 EPG), Jawa Tengah (53.3% dan 375 EPG),
Jawa Timur (35.1% dan 570 EPG) dan Lombok (50% dan 135 EPG) (Tabel 5).
Hal ini disebabkan karena perbedaan faktor lingkungan dan kondisi geografis.
Data yang diperoleh melalui BMKG Darmaga (2014), bahwa curah hujan bulanan
daerah Bogor antara bulan November 2013 sampai bulan Januari 2015 yaitu 186.9
mm, 407.7 mm dan 702 mm, dengan curah hujan bulanan rata-rata 432.2 mm dan
suhu rata-rata 25.1 oC serta kelembaban rata-rata sebesar 84%. Curah hujan dan
kelembaban bulanan ini termasuk dalam kategori sangat tinggi. Adanya curah
hujan yang tinggi mempengaruhi keberadaan cacing gastrointestinal (Patel et al.
2015). Selain faktor lingkungan yang mempengaruhi adanya cacing
gastrointestinal, faktor ketinggian juga mempengaruhi adanya cacing
gastrointestinal (Kantzoura et al. 2012). Daerah Bogor memiliki ketinggian ratarata 193.7 mdpl, sedangkan daerah lain rata-rata dibawah 100 mdpl (Tabel 3).
Data ketinggian ini menunjukan bahwa daerah Bogor memiliki ketinggian yang
berbeda dengan daerah lain pada penelitian ini. Ketinggian ini mempengaruhi
kondisi lingkungannya, sehingga akan berdampak pada perkembangan cacing
gastrointestinal.
Prevalensi Cacing Gastrointestinal Menurut Tingkatan Kerbau (Jenis
Kelamin dan Umur)
Prevalensi telur cacing gastrointestinal berdasarkan jenis kelamin lebih
besar ditemukan pada jantan dibandingkan betina, yaitu untuk Moniezia sebesar

17

10.5% dan nematoda 68.4%, sedangkan faktor umur lebih besar ditemukan pada
umur < 1 tahun, yaitu untuk Moniezia sebesar 13.3% dan nematoda 66.6% (Tabel
6).
Tabel 6 Prevalensi cacing gastrointestinal berdasarkan jenis kelamin dan umur
Cacing
Gastrointestinal
Cestoda
Moniezia
Nematoda
Haemonchus
Bunostomum
Cooperia
Trichostrongylus
Strongyloides
Oesophagostomum
Capillaria
Toxocara
Total Nematoda
Total Prevalensi

Jenis kelamin (%)
Jantan
Betina
((n=38)
(n=53)

< 1 tahun
(n=15)

Umur (%)
1-5 tahun
(n=35)

> 5 tahun
(n=41)

10.5

7.5

13.3

2.9

9.8

15.8
18.4
7.9
5.3
18.4
2.6
2.6
0
68.4
57.9

11.3
17
13.2
1.9
9.4
1.9
0
1.9
56.6
43.4

13.3
33.3
20
0
0
0
0
0
66.6
66.7

17.1
11.4
8.6
2.9
14.2
2.9
0
0
57.1
54.3

2.4
14.6
12.2
4.9
14.6
2.4
2.4
2.4
53.5
39

Infestasi Cacing Gastrointestinal Berdasarkan Faecal Eggs Count (FEC)
Tingkat infestasi cacing gastrointestinal berdasarkan perhitungan Faecal
Eggs Count (FEC) pada jenis kelamin ditemukan lebih besar pada betina yaitu
sebesar 1020 (r = 113.3) Eggs Per Gram (EPG) dan jantan hanya 900 (r = 100)
EPG. Perhitungan FEC pada kelompok umur, ditemukan lebih besar di umur 1-5
tahun sebesar 735 (r = 81.7) EPG, diikuti umur > 5 tahun yaitu 615(r = 68.3) EPG
dan umur < 1 tahun yaitu 570 (r = 63.3) EPG.
Tabel 7 Tingkat infestasi cacing gastrointestinal berdasarkan perhitungan Faecal
Eggs Count (FEC)
Faecal Eggs Count (FEC)
Satuan Eggs per Gram (EPG)
No Cacing Gastrointestinal
Jenis kelamin kerbau
Kelompk umur kerbau
Jantan
Betina
< 1 tahun 1-5 tahun > 5 tahun
1 Moniezia
105
90
30
105
45
2 Haemonchus
450
165
285
270
60
3 Bunostomum
135
315
105
105
240
4 Cooperia
60
120
45
75
60
5 Trichostrongylus
30
45
0
45
30
6 Strongyloides
120
120
105
75
60
7 Oesophagostomum
15
15
0
0
30
8 Capillaria
0
60
0
60
0
9 Toxocara
0
90
0
0
90
Total
915
1020
570
735
615
Rata-rata
101.7
113.3
63.3
81.7
68.3

18

Prevalensi Cacing Gastrointestinal Berdasarkan Faktor Jenis kelamin

Prevalensi (100%)

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan bahwa Moniezia (Cestoda),
dan Nematoda memiliki prevalensi tertinggi pada kerbau jantan (Gambar 18).
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa infeksi Moniezia (Cestoda) dan
Nematoda lebih banyak ditemukan pada kerbau jantan dibandingkan kerbau
betina (Bilal et al. 2009; Rafiullah et al. 2011; Singh et al. 2012). Total
keseluruhan prevalensi cacing gastrointestinal pada penelitian ini jenis kelamin
kerbau ditemukan lebih besar pada jantan (57.9 %) dibandingkan betina (43.4 %).
Beberapa penelitian menemukan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin
dengan tingkat infeksi cacing gastrointestinal. Terjadinya perbedaan tingkat
prevalensi pada jenis kelamin lebih dipengaruhi oleh pola diet (Raza et al. 2013).
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Jantan
Betina

Gambar 18 Grafik prevalensi cacing gastrointestinal pada faktor jenis kelamin
Prevalensi Cacing Gastrointestinal Berdasarkan Faktor umur
Prevalensi cacing gastrointestinal pada Moniezia (Cestoda) dan Nematoda
tertinggi ditemukan pada umur < 1 tahun (Gambar 19). Prevalensi tertinggi
Moniezia (Cestoda) dan Nematoda ditemukan pada kelompok umur masih muda
≤ 1 tahun (Pfukenyi et al. 2007; Dong et al. 2012). Total prevalensi cacing
gastrointestinal pada kelompok umur kerbau ditemukan lebih besar pada umur
kurang < 1 tahun, dibandingkan 1-5 tahun dan > 5 tahun. Prevalensinya sebesar
66.7 %, 54.3 %, dan 39 %

Prevalensi (100%)

19

35
30
25
20
15
10
5
0

< 1 tahun
1-5 tahun
> 5 tahun

Gambar 19 Grafik prevalensi cacing gastrointestinal pada faktor umur
Umur merupakan salah satu faktor penting yang memiliki dampak serius
terhadap prevalensi cacing gastrointestinal pada kerbau (Patel et al. 2015).
Semua umur berisiko terinfeksi cacing gastrointestinal. Kelompok umur kerbau
memiliki tingkat kekebalan terhadap cacing parasit yang berbeda, dikarenakan
sistem kekebalan tubuh. Tingkat infeksi lebih tinggi pada ruminansia yang masih
muda dibandingkan dengan ruminansia lebih dewasa. Hal ini disebabkan
ruminansia masih muda memiliki perlawanan antibodi terhadap cacing
gastrointestinal lebih rendah (Colditz et al. 1996; Khan et al. 2010). Infeksi cacing
gastrointestinal pada kerbau berumur muda dapat terjadi akibat beberapa cara
diantaranya adalah akibat terinfeksi oleh kerbau lain, sanitasi kandang yang
kurang baik dan pemeliharaan dalam satu kandang dengan kerbau berumur yang
lebih tua (Nugraha 2015).
Faecal Eggs Count (FEC)
Tingkat infestasi cacing gastrointestinal berdasarkan perhitungan Faecal
Eggs Count (FEC) menunjukan lebih besar pada betina (r = 113.3 EPG)
dibandingkan jantan (r = 101.7 EPG). Sedangkan untuk umur lebih besar
ditemukan pada umur 1 - 5 tahun (r = 81.7 EPG), diikuti > 5 tahun (r = 68.3 EPG)
dan < 1 tahun (63.3 EPG) (Tabel 7). Hal ini berbeda dengan hasil yang dilaporkan
oleh Mamun et al. (2011), dimana kerbau jantan memiliki EPG tertinggi
dibandingkan betina. Sedangkan untuk faktor umur lebih besar ditemukan pada
umur 6 bulan sampai 2 tahun, dibandingkan umur 2 – 5 tahun dan > 5 tahun.

4 SIMPULAN
Jenis - jenis telur cacing gastrointestinal yang ditemukan dalam saluran
pencernaan kerbau di Jawa ditemukan sembilan genus, yaitu Moniezia,
Haemonchus, Bunostomum, Cooperia, Strongyloides, Trichostrongylus,
Oesophagostomum, Capillaria dan Toxocara, sedangkan untuk daerah Lombok
ditemukan lima genus, yaitu Moniezia, Bunostomum, Cooperia, Strongyloides,

20

Trichostrongylus. Jenis larva yang ditemukan ada enam jenis yaitu Strongyloides,
Haemonchus, Cooperia, Oesophagostomum, Bunostomum dan larva free living.
Ukuran morfologi telur cacing gastrointestinal yang ditemukan memiliki
perbedaan ukuran panjang dan lebar. Prevalensi dan infestasi berdasarkan
perbedaan kondisi geografis lebih besar ditemukan di daerah Bogor. Prevalensi
cacing gastrointestinal pada jenis kelamin, lebih besar ditemukan di jantan
dibandingkan betina, sedangkan untuk infestasi lebih besar ditemukan pada betina.
Prevalensi cacing gastrointestinal pada faktor umur lebih besar ditemukan pada
umur < 1 tahun, sedangkan infestasinya lebih besar ditemukan pada umur 1 – 5
tahun.

DAFTAR PUSTAKA
Afridi ZK, Khan K, Zaman G, Ullah S, Habibullah Q. 2007. Prevalence of gastrointestinal nematode parasites of economic importance in dairy Buffaloes in
Peshawar. Sarhad J Agric. 23(3): 787-792.
Bilal MQ, Hameed A, Ahmad T. 2009. Prevalence of gastrointestinal parasites in
Buffalo and Cow calves in Rural areas of Toba Tek Singh, Pakistan. J
Animal & Plant Scie. 19(2): 67-70.
Bukhari S, Sanyal PK. 2011. Epidemiological intelligence for grazing
management in strategic control of parasitic gastroenteritis in small
ruminants in India – a review. Vet World. 4(2): 92-96.
Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi
Darmaga Bogor. 2014. Bogor (ID).
Chavhan PB, Khan LA, Raut PA, Maske DK, Rahman S, Podchalwar KS,
Siddiqui MFMF. 2008. Prevalence of Nematoda parasites of Ruminants at
Nagpur. Vet World. Vol (1): 140.
Chiejina SN, Fakae BB. 1984. Development and survival of infective larvae of
gastrointestinal nematode parasites of cattle on pasture in eastern Nigeria.
Res Vet Scie. 37: 148-153.
Choubisa SL, Jaroli VJ. 2012. Gastrointestinal parasitic infection in diverse
species of domestic ruminants inhabiting tribal rural areas of southern
Rajasthan, India. J Parasit Dis.
Cringoli G, Rinaldi L, Veneziano V, Capelli G, Scala A. 2004. The influence of
flotation solution, sample dilution and the choice of McMaster slide area
(volume) on the reliability of the McMaster technique in estimating the
faecal egg counts of gastrointestinal strongyles and Dicrocoelium
dendriticum in sheep. Vet Parasitol. 123(1-2): 121–131.
Colditz IG, Watson DL, Gray GD, Eady SJ. 1996. Some relationship between age,
Immune responsiveness and resistance to parasite in ruminant. Int J
Parasitol. 26 (8/9): 869-877.
Dijk JV, Sargison ND, Kenyon F, Skuce PJ. 2010. Climate change and infectious
disease: helminthological challenges to farmed ruminants in temperate
regions. Animal. 4(3): 377–392.
Dong H, Zhao Q, Han H, Jiang L, Zhu S, Li T, Kong C, Huang B. 2012.
Prevalence of coccidial infection in dairy cattle in Shanghai, China. J
Parasitol. 98(5): 963–966.

21

Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual. Amerika Serikat
(US). Blackwell Publishing.
Griffiths HJ. 1978. A Handbook Of Veterinary Parasitology Domestic Animals Of
North America. Amerika Serikat (US). University of Minnesota Press.
Hutchinson, Gareth W. 2009. Nematode Parasites of Small Ruminants, Camelids,
and Cattle Diagnosis with Emphasis of Anthelmintic Efifacy and
Resistance Testing. Australia: Woodbridge Road, Menangle.
Kantzoura V, Kouam MK, Theodoropoulou H, Feidas H. 2012. Prevalence and
Risk Factors of Gastrointestinal Parasitic Infections in Small Ruminants in
the Greek Temperate Mediterranean Environment. Open J Vet Medicine.
2(1):25-3