Pengaruh Sistem Pemeliharaan Ternak Intensif dan Semi Intensif Terhadap Prevalensi Nematoda Gastrointestinal Pada Kambing

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Alat dan Bahan

Tabung sentrifuse Pasir glassbeads

Saringan wire mesh Takaran feses (1g)


(2)

Box penyimpanan sampel Formalin

Sampel feses kambing

Lampiran 2. Foto Kerja

Pengambilan sampling di lapangan Membasahi kapas dengan

formalin 4% yang bertujuan untuk mencegah menetasnya telur selama penyimpanan


(3)

Pemeriksaan feses di Laboratorium Penyimpanan feses ke dalam

coolbox

Kambing yang dipelihara secara intensif

Kambing yang dipelihara secara semi intensif


(4)

Lampiran 4. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Induk Kambing Umur 1-2 Tahun Yang Dipelihara Secara Semi Intensif

No. Nematoda

Gastrointestinal

Ulangan Rata-rata

1 2 3

1. Haemonchus sp. 101 102 103 102

2. Haemonchus sp. 110 104 104 106

3. Haemonchus sp. 110 130 120 120

4. Haemonchus sp. 100 100 100 100

5. Haemonchus sp. 100 105 110 105

6. Haemonchus sp. 110 110 110 110

7. Haemonchus sp. 112 114 110 118

8. Haemonchus sp. 100 100 100 100

9. Haemonchus sp. 2510 2520 2530 2516

10. Haemonchus sp. 108 108 108 108


(5)

Lampiran 5. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Anak Kambing Umur 5 Bulan Yang Dipelihara Secara Semi Intensif

No. Nematoda

Gastrointestinal

Ulangan Rata-rata

1 2 3

1. Haemonchus sp. 400 400 402 402

2. Haemonchus sp. 389 390 391 390

3. Haemonchus sp. 336 337 339 337

4. Haemonchus sp. 407 408 410 408

5. Haemonchus sp. 340 345 350 345

6. Haemonchus sp. 340 342 345 342

7. Haemonchus sp. 400 404 406 403

8. Haemonchus sp. 312 315 316 314

9. Haemonchus sp. 414 415 418 415

10. Haemonchus sp. 269 270 272 270

11. Haemonchus sp. 280 282 284 282

12. Haemonchus sp. 407 408 410 402

13. Haemonchus sp. 308 308 308 308

14. Haemonchus sp. 224 224 224 224

15. Haemonchus sp. 280 282 284 282

16. Haemonchus sp. 414 415 413 414

17. Haemonchus sp. 400 402 404 402

18. Haemonchus sp. 458 450 455 454

19. Haemonchus sp. 437 440 442 440

20. Haemonchus sp. 408 410 412 410


(6)

Lampiran 6. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Induk Kambing Umur 1-2 Tahun Yang Dipelihara Secara Intensif

No. Nematoda

Gastrointestinal

Ulangan Rata-rata

1 2 3

1. - - - - -

2. Haemonchus sp. 100 105 107 104

3. - - - - -

4. Haemonchus sp. 190 192 194 192

5. Haemonchus sp. 200 203 205 202

6. Haemonchus sp. 112 115 118 115

7. Haemonchus sp. 100 105 105 103

8. - - - - -

9. Haemonchus sp. 160 162 165 162

10. Haemonchus sp. 290 292 294 292


(7)

Lampiran 7. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Anak Kambing Umur 5 Bulan Yang Dipelihara Secara Intensif

No. Nematoda

Gastrointestinal

Ulangan Rata-rata

1 2 3

1. Haemonchus sp. 100 103 103 102

Trichuris sp. 25 25 25 25

2. Haemonchus sp. 200 203 203 202

3. Haemonchus sp. 100 102 107 103

Trichuris sp. 20 20 20 20

Capillaria sp. 10 10 10 10

4. -. - - - -

5. - - - - -

6. - - - - -

7. Haemonchus sp. 104 107 107 106

8. - - - - -

9. Haemonchus sp. 138 140 142 140

10. - - - - -

11. - - - - -

12. Haemonchus sp. 80 80 80 80

Trichuris sp. 35 35 35 35

13. Haemonchus sp. 2500 2505 2510 2505

14. Haemonchus sp. 70 70 70 70

Trichuris sp. 30 30 30 30

15. - - - - -

16. Haemonchus sp. 121 121 121 121

17. Haemonchus sp. 200 210 220 210

18. Haemonchus sp. 100 110 120 110

19. Haemonchus sp. 130 135 140 135

20. Haemonchus sp. 50 60 70 60


(8)

Lampiran 8. Data Tingkat Infeksi Parasit Pada Kambing Berdasarkan Sistem Pemeliharaan dan Umur

Kode sampel

Sistem pemeliharaan

Umur Jumlah (ekor)

Tingkat infeksi

H T C

SI1 Semi Intensif Induk (1-2 tahun)

10 Ringan - -

SI2 Ringan - -

SI3 Ringan - -

SI4 Ringan - -

SI5 Ringan - -

SI6 Ringan - -

SI7 Ringan - -

SI8 Ringan - -

SI9 Sedang - -

SI10 Ringan - -

SA1 Anak

(5 bulan)

20 Ringan - -

SA2 Ringan - -

SA3 Ringan - -

SA4 Ringan - -

SA5 Ringan - -

SA6 Ringan - -

SA7 Ringan - -

SA8 Ringan - -

SA9 Ringan - -

SA10 Ringan - -

SA11 Ringan - -

SA12 Ringan - -

SA13 Ringan - -

SA14 Ringan - -

SA15 Ringan - -

SA16 Ringan - -

SA17 Ringan - -

SA18 Ringan - -

SA19 Ringan - -

SA20 Ringan - -

II1 Intensif Induk (1-2 tahun)

10 - - -

II2 Ringan - -

II3 - - -

II4 Ringan - -

II5 Ringan - -

II6 Ringan - -

II7 Ringan - -

II8 - - -


(9)

II10 Ringan - -

IA1 Anak

(5 bulan)

20 Ringan Ringan -

IA2 Ringan - -

IA3 Ringan Ringan Ringan

IA4 - - -

IA5 - - -

IA6 - - -

IA7 Ringan - -

IA8 - - -

IA9 Ringan - -

IA10 - - -

IA11 - - -

IA12 Ringan Ringan -

IA13 Ringan - -

IA14 Ringan Ringan -

IA15 - - -

IA16 Ringan - -

IA17 Ringan - -

IA18 Ringan - -

IA19 Ringan - -


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Andrianty, V. 2015. Kejadian Nematodiasis Gastrointestinal Pada Pedet Sapi Bali Di Kec. Marioriwawo, Kab. Soppeng. [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Aswar, H. 2014. Faktor-Faktor Yang Mendorong Peternak Mempertahankan Sistem Pemeliharaan Ekstensif Pada Usaha Ternak Kambing Di Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar. [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Batubara, A. 2006 .Perbandingan Tingkat Infeksi Parasit Saluran Pencernaan Pada Kambing Kosta, Gembrong Dan Kacang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner. 555-560.

Beriajaya dan Suhardono. 1997. Penanggulangan Nematodiasis Pada Ruminansia Kecil Secara Terpadu Antara Manajemen, Nutrisi Dan Obat Cacing. Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner. 110-121.

Beriajaya. 2005. Gastrointestinal Nematode Infections on Sheep and Goats in West Java Indonesia. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 10(4): 293-304 Bhattachrya, D. K and Ahmed, K. 2005. Prevalence Of Helmintic Infection In

Cattle And Buffaloes. J. Indian Vet. 82: 900-901

Bowman, D. D and Georgy, J. R. 2009. Georgy’s Parasitology for Veterinarians. United Kingdom: Elsevier Health Sciences.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang. 2016. Letak geografis, Iklim, Curah Hujan dan Kelembaban. Deli Serdang.

Bush, A. O., Lafferty, K. D., Lotz, J. M, and Shotsak, A. W. 1997. Parasitology Meets Ecology On Its Own Terms. J. Parasitol. 83: 575-583

Coles, G. C., Jackson, F., Pomroy, W. E., Prichard R. K., Himmelstjerna, G. V. S., Silvestre, A., Taylor, M. A. and Vercruysse, J. 2006. The Detection Of Anthelmintics Resistance In Nematode Of Veterinary Importance. Vet. Parasitol. 136: 167 –185.

Dalloul, R. A. and Lillehoj, H. S. 2005. Recent Advances In Immuno Modulation And Vaccination Strategies Against Coccidiosis. Avian Dis. 49: 1-8. Dhewiyanty, V., Tri, R. S., dan Ari, H. Y. 2015. Prevalensi dan Intensitas Larva

Infektif Nematoda Gastrointestinal Strongylida dan Rhabditida pada Kultur Feses kambing (Capra sp.) di Tempat Pemotongan Hewan Kambing Pontianak. Protobiont. 4(1): 178-183.


(11)

Gadahi, J. A., Arshed, M. J., Ali, Q., Javaid, S. B. and Shah, S. I. 2009. Prevalence of Gastrointestinal Parasites of Sheep and Goat in and around Rawalpindi and Islamabad, Pakistan. Veterinary World. Vol.2(2): 51-53. Gadberry S., Pennington, J. and Powell, J. (2005). Internal Parasites In Beef And

Dairy Cattle. University Of Arkansas. Division of Agriculture Extension Service, Arkansasa, USA.

Gronvold. J., Henriksen, S. A., Larsen, M., Nansen, P., and Wolstrup, J. 1996. Biological Control Aspects Of Biological Control-With Special Reference To Arthropods, Protozoans And Helminthes Of Domesticat-Ed Animals, Veterinary Parasitology 64: 47-64.

Hanafiah, Winaruddin, dan Rusli. 2002. Studi Infeksi Nematoda Gastrointestinal pada Kambing dan Domba di Rumah Potong Hewan Banda Aceh, Jurnal Sains Veteriner. 20(1):15-19.

Handayani, P., Purnama, E. S dan Siswantob. 2015. Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan Pada Sapi Bali Di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 3(3):127-133

Haryuningtyas, D dan Beriajaya. 2002. Metode Deteksi Resistensi Terhadap Antelmintik Pada Domba Dan Kambing. Wartazoa. 12(2): 72-79.

Junaidi, M., Priyo, S., dan Dwi, N. 2014. Prevalensi Nematoda pada Sapi Bali di Kabupaten Manokwari. Jurnal Sains Veteriner. 32(2): 168-176.

Junita, N. 2015. Prevalensi Fasciola Sapi Bali di UPTD RPH. Kota Makassar Tamangapa Periode Agustus 2014. [Skripsi]. Makasar: Universitas Hasanuddin.

Junquera, P. 2007. Parasites of Dogs, Cats and Livestock: Biology and Control. Parasitipedia.net. Http:// parasitipedia.net. Diakses 12 September 2016. Kahar, W. L. 2014. Perbandingan Dimensi Tubuh Kambing Kacang Yang

Dipelihara Secara Intensif Dan Semi Intensif. [Skripsi]. Makasar: Universitas Hasanuddin.

Kamaruddin, M., Fahrima, Y., Hambal, M., dan Hanafiah, M. 2003. Buku Ajar Parasitologi Veteriner. Banda Aceh : Universitas Syah Kuala

Kusumastuti, T. A., Susilo, B., Suranindyah, Y. Y., dan Suwignyo, B., 2010. Pengembangan Tanaman Hijauan Pakan untuk Peningkatan Nilai Ekonomi Total Ternak Ruminansia Menggunakan Model Sistem Informasi Geografis dan Sosial Ekonomi. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional.


(12)

Levine, N. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Linnaeus. 1758. Wikipedia Indonesia. Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. Http:// www. Id.wikipedia.org/wiki/kambing. Diakses 10 Februari 2016. Martawidjaja, M., Setiadi, B., Sorta. S., dan Sitorus. 1999. Pengaruh Tingkat

Protein Energi Ransum Terhadap Kinerja Produksi Kambing Kacang Muda. Bogor: Balai Penelitian Ternak.

Mohsen. I., Arafa dan Ibrahem. A. F. 2008. Studies On Some Internal Parasites Of Goats In Assiut Governorate Especially Which Affecting Liver. Animal Health Research Institute, Assiut Laboratory. AUCES. 11(1): 57-72. Mulyono, S., dan Sarwono, B. 2008. Penggemukan Kambing Potong. Jakarta.

Penebar Swadaya.

Nasution, I. T., Yudha, F., dan Muhammad, H. 2013. Identifikasi Parasit Nematoda Gastrointestinal Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Di Karantina Batu Mbellin, Sibolangit Sumatera Utara. Jurnal Medika Veterinaria. 7(2):67-70.

Natadisastra, D dan Agoes, R. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Nugroho, H. A dan Endang, P. 2015. Nematoda Parasit Gastrointestinal Pada

Satwa Mamalia Di Penangkaran Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional. 1(8):1785-1789.

Pamungkas, F.A., Batubara, A., Doloksaribu, M. dan Erwin, S. 2008. Petunjuk Teknis Beberapa Plasma Nutfah Kambing Indonesia. Sumatera Utara: Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih.

Partodiharjo, S., Arifin, M., Endang, Y., Dan Enuh, R. 2004. Uji Potensi Vaksin Cacing Haemonchus contortus Iradiasi Yang Optimal Dan Suplemen Pakan Pada Domba. Seminar Ilmiah Penelitian. Puslitbang Teknologi Isotop Dan Radiasi. Jakarta.

Rismaniah, I. 2001. Sistem Pemeliharaan Ternak Kambing dan Domba. Ciawi, Bogor: Universitas Padjajaran.

Roeber, F., Aaron. R. J and Robin, B. G. 2013. Impact Of Gastrointestinal Parasitic Nematodes Of Sheep, And The Role Of Advanced Molecular Tools For Exploring Epidemiology And Drug Resistance - An Australian Perspective. The University of Melbourne. Australia. Biomed Central. 6(153):1-13.


(13)

Rudiah. 2011. Respon Kambing Kacang Jantan Terhadap Waktu Pemberian Pakan. Media Litbang Sulteng. 4(1):67-74.

Sadi, R. 2014. Performans Kambing Marica Dan Kambing Peranakan Etawah (PE) Betina Yang Di Pelihara Secara Intensif. [Skripsi]. Makasar. Universitas Hasanuddin.

Sarwono, B. 2011. Beternak Kambing Unggul. Jakarta: Penebar Swadaya.

Seftiarini, N. 2011. Studi Komparasi Pengelolaan Peternakan Kambing Peranakan Etawa (PE) Di Dusun Nganggring DanDusun Kebonan Di Kabupaten Sleman. [Skripsi]. Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta.

Setiawan, A. 2008. Efektivitas Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthoriza, Roxb) dan Temuireng (Curcuma aeruginosa, Roxb) Sebagai Kontrol Helminthiasis Terhadap Packed Cell Volume (PCV), Sweating Rate dan Pertambahan Bobot Badan Pedet Sapi Potong Brahman Cross Lepas Sapih. [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin

Sood, M.L. 1981. Haemonchus in India. J. Parasitol. 83:639-650.

Soulsby, E. J. L. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa or Domesticated Animals. Philadelphia: Lea and Febiger.

Subekti, S., Mumpuni, S. M., dan Kusnoto. 2007. Ilmu Penyakit Nematoda Veteriner. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Subronto dan Tjahajati, I. 2001. Ilmu penyakit ternak II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sutama, K. 2011. Agroinovasi. Balai Litbang Pertanian. Bogor: Sinartani.

Taira, N. 1985. Sieving Technique With The Glassbeads Layer For Detection and Quantitation of Fasciola Egg in Cattle Feses. JARQ. 18(4).

Urquhart, G. M., Armour, J., Duncan, J. L., Dunn, A. M., and Jennings, F. W. 1996. Veterinary Parasitology. 2nd Ed. The Faculty of Veterinary Medicine, The University of Glasgow, Scotland.

Waller, P.J. and Margaret, F. 1996. The Prospects For Biological Control Of The Free-Living Stages Of Nematode Parasites Of Livestock. J. Parasitol. 26: 915-92

Zulfikar, Hambal dan Razali. 2012. Derajat Infeksi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Sapi Di Aceh Bagian Tengah. Lentera. 12(3): 1-7.


(14)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan. Pengambilan sampel dilakukan di Desa Amplas Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan antara lain label tempel, cutter, alat sentrifuse, tabung sentrifuse, pipet tetes, pipet aspirator, timbangan digital, coolbox,object glass, cover glass, mikroskop, buku identifikasi parasit, batang pengaduk, beaker glass, saringan, cutter, kamera digital dan alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: feses kambing yang dikoleksi dari Dusun I dan III Desa Amplas Kecamatan Percut Sei Tuan, pasir glass bead, formalin, aquades, plastik putih, label tempel, sarung tangan, kapas, masker, dan tisu gulung.

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Area Penelitian a. Semi Intensif

Sampel diambil dari kandang kambing yang terletak di daerah Dusun III Desa Amplas Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Kambing dalam kandang berjumlah 30 ekor (20 ekor umur 5 bulan dan 10 ekor umur 1-2 tahun). Ukuran kandang yaitu 9 x 4 m2, terdiri dari bagian atap yang terbuat dari nipah, dinding terbuat dari papan dan lantai terbuat dari batang pinang. Pakan diperoleh dari penggembalaan di padang rumput. Kambing digembalakan pada pukul 4 sore dan dikandangkan pada pukul 7 malam. Kambing juga mendapatkan pakan tambahan yaitu daun ubi yang diberikan sebelum kambing digembalakan. Air minum diberikan sekali setiap hari.


(15)

b. Intensif

Sampel diambil dari kandang kambing yang terletak di daerah Dusun I Desa Amplas Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Kambing dalam kandang berjumlah 30 ekor (20 ekor umur 5 bulan dan 10 ekor umur 1-2 tahun). Ukuran kandang yaitu 5 x 15 m2, terdiri dari bagian atap yang terbuat dari nipah, dinding dan lantai yang terbuat dari papan. Kambing yang dipelihara secara intensif, pakan di berikan di dalam kandang secara rutin. Pakan diberikan pada pukul 3 sore. Sumber pakan yang diberikan yaitu berasal dari rumput-rumputan. Kambing juga mendapatkan pakan tambahan yaitu daun ubi. Air minum pada kambing diberikan setiap hari.

3.3.2. Pengambilan Sampel

Sampel feses diambil dari kandang berbeda berdasarkan sistem pemeliharaan. Pengambilan sampel diambil secara acak (random) di dalam kandang. Pada kandang berisi kambing yang dipelihara secara semi intensif terdiri dari 30 ekor (20 ekor umur 5 bulan dan 10 ekor umur 1-2 tahun). Pada kandang berisi kambing yang dipelihara secara intensif terdiri dari 30 ekor (20 ekor umur 5 bulan dan 10 ekor umur 1-2 tahun).

Pengambilan sampel feses diambil sekali pada pagi hari. Pengambilan feses dilakukan secara perektal sebanyak 4 g setiap ekor. Feses segar dimasukkan ke dalam plastik bersama dengan kapas yang dibasahi formalin 4 % untuk mencegah menetasnya telur selama pengangkutan dan penyimpanan. Setiap sampel diberi label, setelah itu dibawa dengan menggunakan box yang berisi es batu, kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator selama 3 hari, dilakukan pemeriksaan di laboratorium (Junita, 2015). Untuk setiap telur yang ditemukan di foto. Untuk setiap foto dilakukan pengulangan pemeriksaan mikroskop sebanyak 3 kali pengulangan (Nugroho & Endang, 2015).

3.3.3. Pemeriksaan Sampel Feses

Pemeriksaan feses dilakukan dengan menggunakan metode sedimentasi menggunakan glass beads. Langkah pertama yang dilakukan adalah dimasukkan 1


(16)

gram feses ke dalam tabung A (sentrifuge uk. 50 ml) + 10 ml air kran, kocok sampai homogen. Dipindahkan suspensi ke tabung B yang berisi 3 gram butir kaca (glass beads) melalui saringan (uk. 60-90 wire mesh). Dibilas tabung A dan dimasukkan air bilasan ke tabung B sampai suspensi setinggi batas leher tabung. Dibiarkan selama 5 menit sampai terjadi suspensi (Taira, 1985).

Letakkan tabung B ke dalam rotator dan putar 5 kali pada kecepatan 10 detik per rotasi. Dibuang supernatan dengan aspirator. Ditambahkan air kran kembali sebanyak 50 ml, aduk dan diamkan selama 5 menit. Selanjutnya dimasukkan ke dalam rotator dan putar lagi 5 kali pada kecepatan 10 detik per rotasi (Taira, 1985).

Buang kembali supernatan dengan aspirator, diamkan selama 5 menit untuk sedimentasi. Tambahkan air kran kembali ke dalam tabung B sedalam leher tabung A, diamkan 5 menit. Buang supernatan dengan aspirator dan tinggalkan kira-kira 2 ml dari endapannya. Tuangkan seluruh endapan di atas slide kaca dengan pipet, kemudian diamati di bawah mikroskop (Taira, 1985).

3.3.4. Identifikasi

Pemeriksaan endoparasit dilakukan di bawah mikroskop dan dilakukan identifikasi spesies dengan mengamati jenis endoparasit yang ditemukan. Pada sampel kemudian dicocokkan menggunakan buku identifikasi Helmint, Arthrophod, and Protozo or Domesticated Animal (Soulsby, 1982) dan Parasitologi Veteriner (Levine, 1994).

3.3.5. Analisis Data

Data yang diperoleh berupa data jenis dan jumlah individu yang ditemukan dan dianalisis secara deskriptif. Selain itu, dilakukan perhitungan prevalensi dan intensitas untuk setiap jenis yang ditemukan. Untuk menghitung prevalensi dan intensitas serangan dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan, Menurut Bush et al. (1997), rumus dari prevalensi dan intensitas yaitu:

Prevalensi =

x 100%

Intensitas Serangan =


(17)

Untuk melihat kategori infeksi berdasarkan intensitas dapat dilihat pada Tabel 3.1. di bawah ini:

Tabel 3.1. Nilai Kategori Intensitas

No Nilai Keterangan

1. <1 Parasit sangat ringan

2. 1-5 Parasit ringan

3. 6-50 Parasit sedang

4. 51-100 Parasit berat

5. >100 Parasit sangat berat

6. >1000 Super infeksi parasit

Untuk melihat kategori infeksi berdasarkan prevalensi dapat dilihat pada Tabel 3.2. di bawah ini:

Tabel 3.2. Nilai Kategori Prevalensi

No. Nilai Kategori

1. 100-99% Always

2. 98-90% Almost always

3. 89-70% Usually

4. 69-50% Frequently

5. 49-30% Commonly

6. 29-10% Often

7. 9-1% Occasionally

8. <1-0.1% Rarely

9. <0,1-0,01% Very rarely

10. <0,01% Almost never

Keterangan:

Always : Parasit selalu menginfeksi (100-99%) Almost always : Parasit hampir selalu menginfeksi (98-90%) Usually : Parasit biasanya menginfeksi (89-70%) Frequently : Parasit sering kali menginfeksi (69-50%) Commonly : Parasit biasa menginfeksi (49-30%) Often : Parasit sering menginfeksi (29-10%) Occasionally : Parasit kadang-kadang menginfeksi (9-1%) Rarely : Parasit jarang menginfeksi (<1-0.1%)

Very rarely : Parasit sangat jarang menginfeksi (<0,1-0,01%) Almost never : Parasit hampir tidak pernah menginfeksi (<0,01%)


(18)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Jenis Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing

Dari penelitian pengaruh sistem pemeliharaan semi intensif dan intensif terhadap prevalensi nematoda gastrointestinal pada kambing ditemukan 3 jenis nematoda parasit yang memiliki ciri-ciri telur tersendiri dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Gambar Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal yang Ditemukan Pada Feses Kambing

No. Jenis parasit Gambar

1 Haemonchus sp.

2 Trichuris sp.

3 Capillaria sp.

Keterangan: Perbesaran 40x

Dinding telur

Polar plug

Dinding telur

Polar plug


(19)

Dari Tabel 4.1. dapat dilihat jenis parasit yang ditemukan pada feses kambing yaitu Haemonchus sp., Trichuris sp., dan Capillaria sp. memiliki ciri-ciri yang berbeda. Parasit Haemonchus sp., memiliki ciri-ciri telur berbentuk oval dan dinding telur yang tipis. Parasit Trichuris sp., memiliki dinding telur tebal dan polar plug yang menonjol di kedua ujung kutubnya. Pada parasit Capillaria sp., memiliki karakteristik yang mirip dengan Trichuris sp. yaitu dinding telur yang tebal dan polar plug yang tidak menonjol di kedua ujung kutubnya.

Parasit Haemonchus sp. merupakan parasit yang ditemukan pada lambung ternak ruminansia. Telur parasit Haemonchus berbentuk oval sekitar 45x80 mikron, memiliki dinding telur tipis dan mengandung blastomer. Perkembangan telur Haemonchus sp., hidup pada suhu 22ºC-33ºC. Parasit ini hidup di abomasum ruminansia di daerah beriklim tropis dan lembab (Junquera, 2007). Haemonchus merupakan jenis nematoda yang paling banyak menghasilkan ribuan telur perhari yang dapat menyebabkan kontaminasi larva di padang rumput dan dapat menyebabkan penyakit haemonchosis (Roeber, 2013).

Menurut Levine (1994), Trichuris sp. memiliki telur berwarna kuning kecoklatan, sekitar 40x70 mikron dengan dinding telur tebal berbentuk seperti gendang (barrel). Dindingya terdiri atas dua lapis, bagian dalam jernih, bagian luar, berwarna kecoklat-coklatan Pada kedua ujung telur terdapat tutup (polar plug). telur trichurid lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan karena memiliki kerabang tebal. Telur akan infektif dalam waktu 2-4 minggu dalam kondisi normal. Perkembangan akan optimal pada suhu 20ºC-25ºC dan pertumbuhan telur berhubungan dengan kelembaban tanah dan temperatur. Larva akan berkembang di dalam usus halus.

Capillaria sp. memiliki karakteristik telur mirip dengan Trichuris sp. berbentuk tempayan dengan polar plug yang tidak menonjol di kedua ujung kutubnya, memiliki dinding telur yang tebal dan memiliki warna kuning kecoklatan. Telur berkembang menjadi larva infekstif dalam waktu 3-5 minggu. Hospes menelan larva melalui pakan yang terkontaminasi. Larva berkembang di dalam dinding usus (Junquera, 2007).


(20)

4.2. Jenis dan Jumlah Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal

Tabel 4.2. Jenis Dan Jumlah Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal Ditemukan Pada Feses Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif

No. Semi Intensif Intensif

Jenis Parasit Jumlah telur

Tingkat infeksi

Jenis Parasit Jumah telur

Tingkat infeksi

1. Haemonchus sp. 102 Ringan - - -

2. Haemonchus sp. 106 Ringan Haemonchus sp. 104 Ringan

3. Haemonchus sp. 120 Ringan - - -

4. Haemonchus sp. 100 Ringan Haemonchus sp. 192 Ringan

5. Haemonchus sp. 105 Ringan Haemonchus sp. 202 Ringan

6. Haemonchus sp. 110 Ringan Haemonchus sp. 115 Ringan

7. Haemonchus sp. 118 Ringan Haemonchus sp. 103 Ringan

8. Haemonchus sp. 100 Ringan - - -

9. Haemonchus sp. 2516 Sedang Haemonchus sp. 162 Ringan

10. Haemonchus sp. 108 Ringan Haemonchus sp. 292 Ringan

11. Haemonchus sp. 402 Ringan Haemonchus sp. 102 -

Trichuris sp. 25 Ringan

12. Haemonchus sp. 390 Ringan Haemonchus sp. 202 -

13. Haemonchus sp. 337 Ringan Haemonchus sp. 103 Ringan

Trichuris sp. 20 Ringan

Capillaria sp. 10 Ringan

14. Haemonchus sp. 408 Ringan - - -

15. Haemonchus sp. 345 Ringan - - -

16. Haemonchus sp. 342 Ringan -. - -

17. Haemonchus sp. 403 Ringan Haemonchus sp. 106 Ringan

18. Haemonchus sp. 314 Ringan - - -

19. Haemonchus sp. 415 Ringan Haemonchus sp. 140 Ringan

20. Haemonchus sp. 270 Ringan - - -

21. Haemonchus sp. 282 Ringan - - -

22. Haemonchus sp. 402 Ringan Haemonchus sp. 80 Ringan

Trichuris sp. 35 Ringan

23. Haemonchus sp. 308 Ringan Haemonchus sp. 2505 Sedang

24. Haemonchus sp. 224 Ringan Haemonchus sp. 70 Ringan

Trichuris sp. 30 Ringan

25. Haemonchus sp. 282 Ringan -

26. Haemonchus sp. 414 Ringan Haemonchus sp. 121 Ringan

27. Haemonchus sp. 402 Ringan Haemonchus sp. 210 Ringan

28. Haemonchus sp. 454 Ringan Haemonchus sp. 110 Ringan

29. Haemonchus sp. 440 Ringan Haemonchus sp. 135 Ringan

30. Haemonchus sp. 410 Ringan Haemonchus sp. 60 Ringan

Trichuris sp. 15 Ringan

Keterangan:

No. 1-10 : induk kambing; No.11-30: anak kambing


(21)

Dari Tabel 4.2.1. dapat dilihat kambing yang dipelihara secara semi intensif dan intensif umumnya terinfeksi parasit nematoda gastrointestinal. Jenis parasit nematoda gastrointestinal yang ditemukan adalah Haemonchus sp., Trichuris sp. dan Capillaria sp. Parasit Haemonchus sp. umumnya merupakan parasit yang banyak menyerang ternak kambing yang dipelihara secara semi intensif dibandingkan dengan kambing yang dipelihara secara intensif. Hal ini dikarenakan cara pemberian pakan pada sistem pemeliharaan yang berbeda.

Pada sistem pemeliharan semi intensif kambing dibiarkan mencari pakan dan defekasi di padang pengembalaan. Sehingga feses yang mengandung telur akan mengkontaminasikan rumput di padang penggembalaan. Menurut Soulsby (1982), telur yang dikeluarkan bersama feses akan mengkontaminasi di padang penggembalaan. Di luar tubuh hospes, pada kondisi yang sesuai, telur menetas dan menjadi larva. Larva stadium L1 berkembang menjadi L2 dan selanjutnya menjadi L3, yang merupakan stadium infektif. Larva infektif menempel pada rumput-rumputan dan termakan oleh kambing, selanjutnya larva akan dewasa di abomasum.

Selain faktor pemeliharaan, pakan yang diberikan juga dapat menjadi faktor yang mendukung keberadaan parasit dalam tubuh ternak. Menurut Dhewiyanty dkk. (2015), pakan ternak dapat menjadi faktor yang mendukung penyebaran cacing nematoda gastrointestinal. Hal ini salah satunya dapat terjadi, apabila pakan berasal dari ladang penggembalaan dimana ternak juga menjatuhkan kotorannya yang mengandung telur cacing. Telur ini akan berkembang dan kemudian menetas menjadi larva.

Handayani dkk. (2015), menyatakan hijauan segar yang diberikan menjadi salah satu faktor penyebab tingginya tingkat infeksi cacing saluran pencernaan pada kambing akibat pencemaran larva pada hijauan. Nasution dkk. (2013), menjelaskan parasit cacing dapat ditularkan melalui makanan berupa hijauan yang terkontaminasi telur cacing nematoda. Telur-telur cacing akan berkembang menjadi larva infektif, dan apabila telur itu tertelan tanpa sengaja oleh inang maka inang menjadi terinfesksi oleh parasit tersebut.

Pada kambing yang dipelihara secara intensif memiliki jenis parasit yang lebih banyak dibandingkan dengan semi intensif. Pada kambing yang dipelihara


(22)

secara intensif diserang oleh 3 jenis parasit yaitu Haemonchus sp., Trichuris sp., dan Capillaria sp. Sedangkan kambing yang dipelihara secara semi intensif hanya diserang oleh satu parasit yaitu Haemonchus sp. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sanitasi kandang yang dilakukan pada kambing yang dipelihara secara intensif kurang baik dikarenakan feses yang dibersihkan di buang di areal sekitar kandang. Sehingga menyebabkan kondisi kandang menjadi lembab dan sangat efektif untuk pertumbuhan parasit Natadisastra dan Agoes (2009) yang menyebutkan bahwa lingkungan yang paling baik untuk berkembangnya telur dan larva cacing yaitu pada tempat yang lembab. Kondisi tersebut memberi peluang yang tinggi terhadap ternak akan terinfeksi oleh parasit cacing Trichuris sp. dan Capillaria sp.

Menurut Dhewiyanti dkk. (2015), faktor lain yang mempengaruhi penyebaran cacing nematoda adalah sanitasi dan kebersihan kandang. Kotoran yang dibiarkan menumpuk di dalam kandang akan mengundang lalat dan juga memungkinkan larva nematoda berkembang di dalamnya. Apabila kulit ternak bersentuhan dengan kotoran tersebut, maka beberapa larva cacing dapat masuk ke dalam tubuh ternak.

Dari penelitian Hanafiah dkk. (2002), jenis parasit nematoda gastrointestinal yang menyerang kambing di Banda Aceh ada enam jenis yaitu: Haemonchus sp., Trichuris sp., Trichostrongylus sp., Oesophagostomum sp., Bunostomum sp. dan Chabertia sp. Berdasarkan penelitian Suhardono dan Iskandar (1995), jenis parasit yang ditemukan pada kambing di Jawa Barat yaitu Haemonchus sp., Trichuris sp., Capillaria sp., Trichostrongylus sp., Oesophagostomum sp., Strongyloides sp., dan Cooperia sp. Dari penelitian Gadahi et al. (2009) di Pakistan pada kambing ditemukan tujuh jenis parasit yaitu Haemonchus, Coccidia, Trichuris, Nematodirus, Trichostrongylus, Strongyloides dan Fasciola. Jenis parasit yang paling banyak ditemukan pada kambing yaitu parasit Haemonchus sp. Hal ini disebabkan karena Haemonchus sp., dapat beradaptasi terhadap kondisi lingkungan. Menurut Sood (1981), parasit Haemonchus dapat hidup pada kondisi optimum untuk perkembangan telur Haemonchus sampai menjadi larva infektif adalah pada suhu 10-37°C.


(23)

Tabel 4.2.1. Jenis dan Rata-Rata Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal Yang Ditemukan Pada Feses Indukan Kambing dan Anakan Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif dan Intensif

No. Jenis parasit Semi Intensif (Epg) Intensif (Epg)

Induk Anak Induk Anak

1. Haemonchus sp. 349 362 167 303

2. Trichuris sp. - - - 25

3. Capillaria sp. - - - 10

Dari Tabel 4.2.1. dapat dilihat bahwa rata-rata nematoda parasit gastrointestinal lebih besar pada anakan kambing dibandingkan dengan induk kambing. Pada anakan kambing yang dipelihara secara semi intensif adalah 362 epg lebih besar dibandingkan dengan induk kambing sbesar 349 epg. Pada anakan kambing yang dipelihara secara intensif adalah 303 epg lebih besar dibandingkan dengan induk kambing sebesar 167 epg. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh induk kambing lebih kuat dibandingkan dengan daya tahan tubuh anakan kambing. Sehingga anakan kambing lebih rentan terserang parasit dibandingkan dengan induk kambing.

Menurut Dalloul dan Lillehoj (2005), umumnya ternak anakan ditemukan lebih banyak jumlah dan jenis nematoda jika dibandingkan dengan ternak dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa ternak anakan lebih rentan terhadap infeksi parasit nematoda dibanding ternak dewasa. Rentannya ternak anakan terhadap infeksi parasit cacing karena ternak anakan belum memiliki daya tahan (imun) yang cukup terhadap infeksi parasit cacing.

Dari penelitian Junaidi dkk. (2014), ternak muda lebih tinggi terserang infeksi parasit dibandingkan dengan ternak dewasa. Tingginya ternak anakan terserang parasit dikarenakan ternak anakan lebih rentan terhadap serangan nematoda jika dibandingkan dengan ternak dewasa. Menurut Gadberry et al. (2005), ternak muda lebih banyak terinfeksi cacing jika dibandingkan dengan ternak dewasa. Hal ini berkaitan dengan tingkat kekebalan ternak dewasa yang lebih tinggi dibanding ternak muda.

Levine (1990). yang menjelaskan bahwa faktor spesies, umur, daya tahan atau imunitas terutama umur yang lebih muda sangat rentan dan mempunyai kepekaan terhadap infeksi parasit nematoda gastrointestinal. Umur berpengaruh terhadap konsentrasi imunitas alami (pasif) dan imunitas aktif yang terdapat dalam tubuh ternak.


(24)

4.3. Prevalensi Dan Intensitas

4.3.1. Prevalensi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif

Nilai prevalensi parasit nematoda gastrointestinal pada kambing yang dipelihara secara semi intensif dan intensif dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.3.1. Prevalensi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing No. Jenis Parasit Semi Intensif Intensif

1. Haemonchus sp. 100 % 66.7%

2. Trichuris sp. - 16.7%

3. Capillaria sp. - 3.3%

Dari Tabel 4.3.1. dapat dilihat bahwa nilai prevalensi telur cacing parasit yang ditemukan pada sampel feses yang terinfeksi parasit berdasarkan sistem pemeliharaan semi intensif dan intensif. Nilai prevalensi tertinggi pada parasit Haemonchus sp. ditemukan pada kambing yang dipelihara secara semi intensif sebesar 100% yaitu termasuk dalam kategori Always dimana parasit selalu menginfeksi kambing, dan kambing yang dipelihara secara intensif sebesar 66.7 % termasuk dalam kategori Frequently dimana parasit sering kali menginfeksi kambing. Prevalensi terendah pada parasit Trichuris sp., dan Capillaria sp., ditemukan pada kambing dipelihara secara intensif, dimana parasit Trichuris sp., dengan nilai sebesar 16.7% termasuk dalam kategori Often yaitu parasit sering menginfeksi kambing dan parasit Capillaria sp., dengan nilai sebesar 3,3% yaitu termasuk dalam kategori Occasionally dimana parasit kadang-kadang menginfeksi kambing. Dari data ini terlihat bahwa prevalensi sangat dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan dan umur sesuai dengan Tabel 4.2.3. Menurut Soulsby (1982), perbedaan prevalensi yang didapatkan, mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : faktor umur, manajemen pemeliharan, sanitasi kandang, dan pakan.

Haemonchus sp. merupakan cacing nematoda parasit yang memiliki nilai prevalensi yang paling tinggi. Dari penelitian Kamaruddin (2001), nilai prevalensi pada parasit Haemonchus sp., yang ditemukan pada kambing di Banda Aceh sebesar 87%. Hal ini dikarenakan Haemonchus sp., memproduksi telur yang banyak dalam sehari. Menurut Scarfe (2006), parasit Haemonchus sp., di dalam


(25)

abomasum pada kambing mampu menghasilkan telur sebanyak 5000 dalam sehari.

Prevalensi parasit Trichuris sp. dan Capillaria sp pada kambing yang dipelihara secara intensif memiliki nilai prevalensi yang lebih kecil dibandingkan dengan Haemonchus sp. Hal ini dikarenakan Trichuris sp dan Capillaria sp. memproduksi telur sangat sedikit dan memerlukan waktu yang lama untuk menghasilkan telur. Levine (1994), menjelaskan bahwa telur Trichuris sp. akan infektif dalam waktu 2 – 4 minggu dalam kondisi normal. Perkembangannya di dalam usus dari cacing dewasa sampai menghasilkan telur selama 30-90 hari. Telur infektif sangat resisten dan dapat tetap hidup dalam beberapa bulan. Menurut Soulsby (1982), telur Capillaria sp., akan berkembang membentuk larva infekstif selama 3-5 minggu. Larva infekstif dapat tetap bertahan pada kondisi normal.

Berdasarkan penelitian Mohsen et al. (2008) bahwa prevalensi cacing Trichuris sp pada kambing hanya sebesar 3% dan prevalensi Capillaria sp. pada kambing adalah 0%. Hal ini dikarenakan cacing Trichuris sp dan Capillaria sp memproduksi telur sangat sedikit dibandingkan jenis cacing lainya dan memerlukan waktu yang lama untuk menghasilkan telur.

Menurut Soulsby (1982), infeksi cacing gastrointestinal nematoda sangat tergantung faktor lingkungan karena sebagian dari siklus hidup cacing adalah di luar induk semang. Faktor lingkungan yang mempengaruhi diantaranya adalah kelernbaban, suhu, curah hujan dan letak geografis. Telur cacing dalam feses akan menetas menjadi larva satu, dua dan tiga yang disebut juga larva infektif, siap untuk menginfeksi hewan. Urquhart et al. (1996), menjelaskan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk telur berkembang menjadi larva infektif tergantung pada kondisi lingkungan seperti suhu, curah hujan dan kelembaban.

Bhattachrya dan Ahmed (2005), menjelaskan faktor utama terjadi peningkatan penyebaran penyakit parasit terutama nematoda gastrointestinal karena pengaruh pola pemeliharaan yang tidak sesuai. Selain itu ada juga faktor pengaruh geografis, kondisi lingkungan, temperatur, kelompok umur, dan penanganan yang tidak tepat yang dapat mempengaruhi tingkat infeksi parasit.


(26)

4.3.2. Intensitas Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif

Nilai intensitas parasit nematoda gastrointestinal pada kambing yang dipelihara secara semi intensif dan intensif dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.3.2. Intensitas Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing No. Jenis Parasit Semi Intensif

(butir/ind)

Intensif (butir/ind)

1. Haemonchus sp. 358 256

2. Trichuris sp. - 25

3. Capillaria sp. - 10

Dari Tabel 4.3.2. dapat dilihat bahwa intensitas menunjukkan jumlah parasit yang ditemukan dari jumlah kambing yang terinfeksi parasit. Intensitas tertinggi terdapat pada parasit Haemonchus sp. yang ditemukan pada kambing yang dipelihara secara semi intensif dan intensif yaitu dengan nilai 358 butir/ind dan 256 butir/ind termasuk dalam kategori parasit sangat berat. Sedangkan intensitas terendah terdapat pada parasit Trichuris sp., dan Capillaria sp., yaitu dengan nilai 25 butir/ind dan 10 butir/ind yang ditemukan pada kambing yang dipelihara secara intensif termasuk dalam kategori parasit sedang.

Haemonchus sp., memiliki nilai intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Trichuris sp., dan Capillaria sp. Hal ini disebabkan karena parasit ini mampu beradaptasi dengan lingkungan. Menurut Dhewitanty dkk. (2015), prevalensi dan intensitas suatu jenis parasit salah satunya dapat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan parasit tersebut dalam beradaptasi terhadap kondisi lingkungan. Subronto dan Tjahajati (2001), yang menjelaskan bahwa tingginya prevalensi larva infektif Haemonchus pada kambing dapat disebabkan karena Haemonchus mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan.

Trichuris sp. mempunyai intensitas cukup rendah yaitu sebesar 25 butir/ind hanya ditemukan pada sampel feses kambing yang dipelihara secara intensif. Telur Trichuris sp. adalah telur cacing bertipe resisten tinggi tetapi sangat bergantung pada suhu optimum (20-25 ºC) untuk bisa berkembang (Bowman& Georgy, 2009). Dari penelitian Dhewiyanty (2015), pada feses kambing di tempat pemotongan hewan kambing Pontianak ditemukan parasit Trichuris sp., yang memiliki intensitas yang rendah yaitu 19 butir/ind.


(27)

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan ketahanan hidup larva di padang rumput diantaranya kondisi iklim, curah hujan, dan kelembaban. Ditinjau dari kondisi iklim di Kabupaten Deli Serdang yang beriklim tropis dengan suhu rata-rata 27 ºC dengan suhu tertinggi 32 ºC dan suhu terendah 24 ºC Dengan kelembaban 83% dan curah hujan tertinggi 248 mm (Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, 2016). Berdasarkan penelitian di Kabupaten Deli Serdang yang beriklim tropis dengan suhu rata-rata 27 ºC dan kelembaban 83%. sehingga telur cacing Trichuris sp. dapat berkembang meskipun hanya ditemukan dengan intensitas cukup rendah.

Selain faktor pemeliharaan yang dapat mempengaruhi tingkat infeksi parasit, suhu juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kambing terinfeksi parasit. Menurut Gronvold (1996), kisaran suhu yang diperlukan oleh nematoda stadium bebas di alam adalah 18-38ºC dan kelembaban yang tinggi sangat membantu untuk perkembangan telur parasit menuju larva infektif. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kambing yang dipelihara secara intensif dan semi intensif berada pada suhu 27 ºC yaitu suhu yang cocok untuk pertumbuhan parasit nematoda gastrointestinal.

Faktor curah hujan dan kelembapan juga berpengaruh terhadap perkembangan parasit. Menurut Subronto dan Tjahajati (2001), menyatakan bahwa daerah yang memiliki curah hujan tinggi menyebabkan kelembabannya juga tinggi sehingga sangat mendukung bagi kehidupan parasit. Berdasarkan penelitian di Kabupaten Deli Serdang yaitu memiliki curah hujan 248 mm sehingga sangat mendukung untuk pertumbuhan parasit nematoda gastrointestinal. Selain faktor lingkungan, pemberian anthelmintik juga mempengaruhi intensitas keberadaan parasit. Andriyanti (20015), menjelaskan pemberian anthelmintik diharapkan mampu mencegah dan mengendalikan populasi cacing nematoda, karena anthelmintik sangat efektif melawan beberapa spesies cacing nematoda gastrointestinal, baik telur, larva, maupun cacing dewasa. Pemberian anthelmintik sangat baik pula pada pertambahan berat badan kambing.


(28)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

a. Kambing yang dipelihara secara semi intensif ditemukan parasit Haemonchus sp. Kambing yang dipelihara secara intensif ditemukan parasit Haemonchus sp., Trichuris sp., dan Capillaria sp.

b. Nilai prevalensi tertinggi pada Haemonchus sp. sebesar 100%. Prevalensi terendah pada parasit Capillaria sp. dengan nilai sebesar 3,3%.

c. Intensitas tertinggi pada parasit Haemonchus sp. dengan nilai 358 butir/ind. Intensitas terendah pada parasit Capillaria sp dengan nilai 10 butir/ind.

d. Pada kambing yang dipelihara secara semi intensif dan intensif tergolong dalam tingkat infeksi ringan dan sedang dengan jumlah telur yang berbeda, dimana pada kambing yang dipelihara secara semi intensif memiliki jumlah telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan kambing yang dipelihara secara intensif.

5.2. Saran

Sebaiknya untuk penelitian selanjutnya dilakukan kultur feses pada kambing dipelihara secara semi intensif dan intensif. Untuk mengetahui perkembangan larva infektif. Dan dilakukan pengendalian sebagai berikut: (a) Pemberian ransum yang berkualitas tinggi dan cukup dalam kuantitasnya. (b) Pengendalian cacing parasit yang baik adalah dengan sanitasi kandang dan lingkungan tidak lembab dan membersihkan tanaman dan rumput liar di sekitar (d) Pemberian anthelmintik setiap 3 bulan sekali pada kambing secara berkala.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kambing

Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah sub spesies kambing liar yang secara alami tersebar di Asia, Turki dan Eropa. Ciri-ciri kambing antara lain memiliki bulu pendek dan berwarna tunggal (putih, hitam dan coklat). Ada yang warna bulunya berasal dari campuran ketiga warna tersebut. Kambing jantan maupun betina memiliki tanduk namun tanduk pada jantan lebih besar. Kambing juga memiliki telinga pendek. Janggut selalu terdapat pada jantan, sementara pada betina jarang ditemukan. Leher pendek dan punggung melengkung (Pamungkas dkk. 2008).

Dalam klasifikasi biologi, kambing digolongkan dalam kelompok binatang menyusui, suku ruminansia, anak suku kambing-kambingan (Caprinidae). Kelompok anak suku itu masih dibagi-bagi lagi dalam kelompok yang lebih kecil, yaitu terbagi dalam 11 genus. Kambing yang tersebar di alam dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kambing liar dan kambing ternak (Sarwono, 2011).


(30)

Klasifikasi kambing menurut Linnaeus (1758): Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae

Genus : Capra

Spesies : Capra aegagrus Sub Spesies : Capra aegagrus hircus

Kambing yang ada di Indonesia dan dinyatakan sebagai kambing asli Indonesia adalah: (a) Kambing Kacang, (b) Kambing Peranakan Ettawa (PE), merupakan tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu; (c) Kambing Marica, terdapat di propinsi Sulawesi Selatan, merupakan kambing asli Indonesia dan tipe pedaging, menurut laporan FAO kambing ini sudah termasuk kategori langka dan hampir punah (endangered); (d) Kambing Samosir, kambing ini dipelihara di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, propinsi Sumatera Utara; (e) Kambing Muara, merupakan tipe pedaging dijumpai di daerah Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara propinsi Sumatera Utara; (f) Kambing Kosta, lokasi penyebaran di sekitar Jakarta dan propinsi Banten. (g) Kambing Gembrong, berasal dari daerah kawasan Timur Pulau Bali terutama di Kabupaten Karangasem; dan (h) Kambing Benggala (Pamungkas dkk. 2008).

Kambing merupakan bagian penting dari sistem usahatani bagi sebagian petani di Indonesia, bahkan di beberapa negara Asia, dan tersebar luas masuk ke dalam berbagai kondisi agroekosistem, dari daerah dataran rendah di pinggir pantai sampai dataran tinggi di pegunungan. Tidak jarang ditemui pemeliharaan ternak kambing di pinggiran kota dan bahkan di tengah-tengah kota. Hal ini didukung oleh karena ternak kambing adaptif dengan berbagai kondisi agrosistem dan tidak mempunyai hambatan sosial, artinya dapat diterima oleh semua golongan masyarakat (Sutama, 2011).


(31)

2.2. Pakan

Pakan ternak adalah makanan atau asupan yang diberikan kepada ternak yang merupakan sumber energi dan materi bagi pertumbuhan ternak itu sendiri. Pakan ternak terdiri atas hijauan-hijauan seperti dedaunan tertentu dan rumput. Pakan yang berkualitas adalah pakan yang kandungan protein, lemak, karbohidrat mineral dan vitaminnya seimbang (Kusumastuti dkk. 2010). Pakan ternak kambing merupakan semua bahan pakan ternak yang bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan bereproduksi, tidak meracuni atau membuat ternak mati (Kahar, 2014).

Pakan dapat diberikan dua kali sehari (pagi dan sore), sedang untuk volume kira-kira berat hijauan 10% dari berat badan kambing. Air minum kambing jumlahnya kira-kira 1,5 – 2,5 liter per ekor per hari, dan dicampur dengan garam berjodium secukupnya. Kambing yang sedang hamil, induk menyusui, dan pejantan yang sering dikawinkan perlu ditambahkan makanan penguat sebanyak 0,5 – 1 kg/ekor/hari (Seftiarini, 2011). Konsumsi pakan yang cukup (jumlah dan kualitasnya) akan menentukan mampu tidaknya ternak tersebut mengekpresikan potensi genetik yang dimilikinya. Bagi ternak yang digembalakan pemenuhan gizi sebagian besar/semuanya tergantung dari ternak itu sendiri. Bagi ternak yang dikandangkan, pemenuhan gizinya tergantung dari petani. Setiap ekor kambing harus mendapat pakan hijauan segar sekitar 10% berat badannya. Pakan hijauan tersebut dapat berupa rumput, legum, dan limbah hasil pertanian (jerami kedelai, kacang panjang, kacang tanah, daun jagung dan lain-lain) (Sutama, 2011).

Pakan merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi produktivitas ternak. Kondisi pakan (kualitas dan kuantitas) yang tidak mencukupi kebutuhan, menyebabkan produktivitas ternak menjadi rendah, antara lain ditunjukkan oleh laju pertumbuhan yang lambat dan bobot badan rendah (Martawidjaja dkk. 1999). Pemberian konsentrat pada kambing diharapkan mampu menaikkan berat badan kambing. Konsentrat umumnya mengandung bahan kering dan zat-zat makanan seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin-vitamin. Pemberian konsentrat tergantung pada mutu hijauan yang diberikan. Makin tinggi kualitas hijauan, makin sedikit zat-zat makanan yang disuplai dari konsentrat, kenaikan


(32)

produktivitas ternak kemungkinan hanya dapat dilakukan dengan pemberian konsentrat yang bermutu tinggi (Rudiah, 2011).

Kebutuhan nutrisi kambing berbeda-beda sesuai dengan kondisi umur, status fisiologi dan tingkat produktivitasnya. Pemberian pakan yang tepat akan menjaga keseimbangan kondisi rumen sehingga dapat membantu proses pencernaan di dalam rumen berjalan baik. Pakan diberikan beberapa kali dengan jumlah yang tercukupi. Semakin banyak jenis pakan yang diberikan akan semakin baik karena sifat saling melengkapi diantara bahan-bahan pakan tersebut (Sarwono, 2011).

2.3. Kandang

Kandang merupakan tempat beristirahat dan berteduh bagi kambing. Kandang yang baik berfungsi memudahkan dalam pemeliharaan ternak sehari-hari, seperti pemberian pakan dan minuman, serta pengendalian penyakit. Kandang juga berfungsi sebagai pelindung ternak dari hewan-hewan lain yang mengganggu, sengatan panas matahari, hujan, dan suhu dingin (Sarwono, 2011).

Kandang kambing secara umum memiliki fungsi yang serupa dengan rumah atau merupakan tempat untuk tinggal bagi ternak. Menurut Seftiarini (2011), membangun kandang kambing memiliki tujuan agar kambing nyaman dan bisa bereproduksi secara normal, dan kandang hendaknya memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Tempat aktivitas kambing, seperti makan, tidur, minum dan lain sebagainya. b. Tempat berlindung dari panas, hujan,dan terpaan angin.

c. Tempat berlindung dari pemangsa atau hewan penggangu lainnya.

d. Pencegah liarnya kambing atau menghindarkan kambing untuk memakan dan merusak tanaman.

Menurut Rismaniah (2001), kandang merupakan tempat yang digunakan oleh kambing untuk hidup dan berkembang biak. Ada beberapa macam tipe kandang diantaranya:


(33)

a. Kandang koloni: ternak kambing ditempatkan dalam satu kandang, kandang seperti ini akan menimbulkan perkawinan yang tidak direncanakan, terjadi perkelahian yang dapat menimbulkan cedera dan persaingan makanan.

b. Kandang kelompok: ternak kambing dikelompokkan berdasarkan umur/ukuran tubuh, dipisahkan antara anak, dan dewasa. Kandang seperti ini sangat cocok untuk usaha pembibitan kambing.

c. Kandang individu: kandang individu merupakan kandang pemisahan/ penempatan ternak satu ekor setiap satu kandang, kandang ini sangat cocok untuk usaha penggemukan.

Dalam membangun kandang harus memperhatikan kondisi, konstuksi, dan perlengkapan kandang. Kondisi kandang adalah bentuk atau model kandang yang bias membantu ternak terhindar dari gangguan alam secara langsung seperti hembusan angin, terpaan hujan, dan sengatan terik matahari. Konstruksi kandang yang baik adalah kokoh, kuat, dan tahan lama. Kandang yang baik adalah kandang yang memiliki ventilasi yang baik, dinding yang kuat dan baik, atap tidak bocor, serta lantai yang tidak mudah lembab. Perlengkapan kandang sangat dibutuhkan dalam rangka mempermudah pemeliharaan ternak kambing. Perlengkapan ternak kambing yang dibutuhkan saat pemeliharaan yaitu tempat pakan, tempat minum, tempat kompos, pintu kandang, tangga, dan ruang utama (Sarwono, 2011).

2.4. Sistem Pemeliharaan

Dalam sistem pemeliharaan ternak, dikenal atas dua macam sistem pemeliharaan yang digunakan yaitu, sistem pemeliharaan semi intensif dan sistem pemeliharaan secara intensif (Sarwono, 2011).

2.4.1. Sistem Semi Intensif

Sistem semi intensif adalah gabungan atau kombinasi antara sistem ekstensif dan intensif. Proporsi pakan hijauan diperoleh dari penggembalaan saat bahan organik berlimpah sehingga tidak harus dikandangkan. Kambing digembalakan siang hari dan malamnya dikandangkan sambil diberikan pakan konsentrat.


(34)

Beternak kambing secara semi intensif adalah kegiatan pemeliharaan kambing dengan sistem pemeliharaan yang dilakukan secara teratur dan baik. Selain itu pemilik menyediakan kandang untuk hunian dan sebagai tempat tidur ternaknya pada malam hari. Cara penggembalaannya yaitu kambing digembalakan di padang rumput pada sore hari pukul 4 sore dan dikandangkan kembali pada malam hari pukul 7 malam. Menurut Aswar (2014), pelepasan ternak pada siang hari bertujuan untuk memanfaakan sinar matahari, untuk menjaga aktivitas otot, dan memanfaatkan rerumputan di padang penggembalaan.

2.4.2. Sistem Intensif

Sebagaimana usaha ternak pada umumnya, pemeliharan kambing juga memerlukan pengelolaan yang serius. Hal tersebut tidak lain agar hasil yang diharapkan dapat tercapai secara optimal (Sarwono, 2011). Kambing yang diternakan secara intensif membutuhkan perhatian penuh dari pemiliknya. Perhatian tersebut diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari, baik yang dilakukan secara rutin berupa pemberian makanan, pemberian air minum pembersihan kandang dan pemberian obat-obatan maupun insidental. Agar ternak selalu merasa nyaman menjalani masa pemeliharaanya maka perlu dibuatkan kandang yang intensif (Kahar, 2014).

Kelebihan sistem pemeliharaan intensif mendapatkan perhatian penuh dari peternak. Perawatan rutin yang dilakukan meliputi : a) pembersihan kandang, b) pengumpulan kotoran dan c) penyediaan pakan hijauan, pakan tambahan dan air minum. (Mulyono & Sarwono, 2008).

2.5. Nematoda

2.5.1. Karakteristik Nematoda

Nematoda mempunyai bentuk tubuh silindris atau bulat panjang (gilik), dan tidak bersegmen. Bagian dari anterior atau daerah mulut tampak simetri radial, dan bagian dari posterior membentuk ujung yang meruncing. Cacing betina berukuran lebih besar yang dibandingkan dengan cacing jantan. Cacing jantan mempunyai ujung posterior yang berbentuk kait. Permukaan tubuh cacing


(35)

nematoda dilapisi kutikula untuk melindungi diri. Kutikula ini lebih kuat pada cacing parasit yang hidup di inang daripada yang hidup bebas. Kutikula berfungsi untuk melindungi dari enzim pencernaan inang. Cacing nematoda mempunyai saluran pencernaan dan rongga badan. Mulut terdapat pada ujung anterior, sedangkan anus terdapat pada ujung posterior (Levine, 1994).

2.5.2. Siklus Hidup Nematoda

Siklus hidup nematoda mengikuti pola standar yang terdiri dari telur, empat stadium larva, dan cacing dewasa. Larva cacing nematoda biasa disebut juvenile karena cacing ini mirip dengan cacing dewasa. Nematoda kadang-kadang mempunyai hospes perantara tergantung pada jenisnya. Jika tidak terdapat hospes perantara, termasuk dalam siklus hidup langsung. Sedangkan jika memiliki hospes perantara, termasuk dalam siklus hidup tidak langsung (Levine, 1994).

Siklus hidup nematoda dimulai dari telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa dalam hospes definitif dan dikeluarkan bersama feses. Telur berembrio akan berkembang menjadi Larva 1 (L1), yang kemudian berkembang menjadi Larva 2 (L2). Larva 2 (L2) akan berkembang menjadi Larva 3 (L3) yang merupakan fase infektif. Perkembangan telur menjadi larva infektif tergantung pada temperatur. Pada kondisi di bawah normal (kelembaban tinggi dan temperatur hangat), proses perkembangan memerlukan waktu 7-10 hari. Ruminansia terinfeksi dengan menelan Larva 3 (L3). Sebagian besar larva tertelan saat merumput dan masuk ke dalam abomasum atau usus. Beberapa hari berikutnya Larva 3 (L3) menetas menjadi Larva 4 (L4). Setelah 10-14 hari kemudian berkembang menjadi cacing dewasa (Setiawan, 2008).

2.6. Nematoda Gastrointestinal Pada Ruminansia

Nematoda gastrointestinal merupakan sekelompok cacing nematoda yang terdapat pada saluran pencernaan ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi dan mamalia lainnya. Tanda klinis hewan yang terinfeksi cacing adalah kurus, bulu kusam, tidak nafsu makan, serta kematian yang akut pada


(36)

hewan-hewan muda (Beriajaya, 2005). Keberadaan parasit saluran pencernaan pada suatu daerah tertentu sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain; curah hujan, kelembaban dan temperatur (Batubara, 2006).

Parasit yang terdapat pada kambing diantaranya berasal dari kelompok nematoda. Nematoda pada tubuh domba dan kambing dapat berada pada kulit, sistem pernapasan, maupun saluran pencernaan (Levine, 1994). Nematoda yang hidup di saluran pencernaan disebut nematoda gastrointestinal (Dhewiyanti dkk. 2015). Di dalam sistem penggembalaan ternak modern, perhatian utama untuk mencegah terjadinya infeksi cacing adalah meminimalisir jumlah larva infektif di padang penggembalaan. Sistem ini umumnya dicapai dengan pemberian antelmentika secara rutin (Coles et al. 2006).

Haemonchus sp., Trichostrongylus sp. dan Oesophagostomum sp. merupakan jenis nematoda yang sering menyerang ternak ruminansia. (Haryuningtyas & Beriajaya, 2002). Cacing ini mempunyai siklus hidup yang langsung tanpa inang perantara. Cacing dewasa hidup di dalam abomasum dan usus sedangkan telur dan larva cacing hidup di luar tubuh hewan yaitu di rumput dan hijauan. Larva tiga merupakan larva infektif yang tertelan oleh hewan sewaktu hewan memakan rumput. Larva ini kemudian berkembang menjadi larva 4 dan kemudian menjadi larva 5 dan selanjutnya menjadi cacing muda (Soulsby, 1982).

Faktor penyebab timbulnya penyakit karena adanya interaksi antara hospes (ternak), agen penyakit (infeksi cacing) dan lingkungan. Lingkungan menentukan pengaruh positif atau negatif terhadap hubungan antara ternak dengan agen penyakit. Pada lingkungan yang lembab, tingkat infeksi cacing pada ternak cukup tinggi. Telur-telur cacing masuk ke dalam tubuh ternak melalui hijauan yang dikonsumsi dan berkembang dalam saluran pencernaan (Andrianty, 2015).


(37)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki nilai sosial ekonomi yang tinggi bagi peternak (Beriajaya, 2005). Pemeliharaannya harus sesuai dengan sistem pemeliharaan untuk peningkatan populasi dan produksi. Peningkatan populasi dan produksi harus diimbangi dengan upaya penanganan daerah peternakan yang ada, agar mendapatkan hasil produksi sesuai harapan (Zulfikar dkk. 2012).

Beternak kambing dapat dilakukan secara ekstensif, semi intensif (kombinasi), dan intensif. Kambing di Desa Amplas dipelihara secara intensif/dikandangkan dan dipelihara secara semi intensif/digembalakan. Kahar (2014), menjelaskan kambing yang dipelihara secara intensif, diberikan pakan di dalam kandang seperti rumput, konsentrat, dedak, dan ransum, sedangkan kotorannya dimanfaatkan untuk dijual sebagai pupuk. Menurut Aswar (2014), kambing yang dipelihara secara semi intensif, mendapatkan makanan dengan cara digembalakan pada siang hari di padang rumput sehingga makanan tidak terpilah dengan baik, dan diberikan pakan tambahan atau konsentrat yaitu daun ubi, kemudian dikandangkan kembali pada malam hari. Menurut Sadi (2014), dari setiap cara tersebut, semuanya baik untuk dilakukan, tergantung kondisi lahan, tujuan usaha, ketersediaan dana, dan keterampilan dalam mengelola ternak. Ternak kambing dapat memberikan hasil sesuai harapan, jika peternak memperhatikan bibit, pakan, kandang, perkembangbiakan dan kesehatan.

Aspek kesehatan merupakan aspek yang sangat perlu diperhatikan dalam pemeliharaan kambing. Faktor yang mempengaruhi kesehatan kambing adalah keberadaan parasit (Dhewiyanti dkk. 2015). Penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit nematoda gastrointestinal yang terdiri dari beberapa jenis cacing nematoda yang menginfeksi saluran pencernaan ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi, dan mamalia lainnya. Menurut Haryuningtyas dan Beriajaya (2002), jenis cacing nematoda yang sering


(38)

menyerang ternak ruminansia yaitu Haemonchus contortus, Trichostrongylus spp. dan Oesophagostomum spp. Menurut Beriajaya dan Suhardono (1997), infeksi cacing nematoda dapat menyebabkan penurunan produksi ternak berupa turunnya bobot badan, terhambatnya pertumbuhan dan turunnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit terutama pada ternak-ternak muda.

Ternak kambing yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Amplas yang dipelihara dengan cara semi intensif setiap tahunnya terserang penyakit diare dibandingkan dengan kambing yang dipelihara dengan cara intensif. Hal ini diduga karena keberadaan parasit gastrointestinal yang menyerang ternak yang disebabkan karena cara pemeliharaannya. Menurut Beriajaya (2005), ternak yang dipelihara dengan cara digembalakan umumnya terserang parasit cacing nematoda dan infeksi ini terjadi secara terus-menerus sepanjang tahun. Ternak yang dipelihara dengan cara dikandangkan/intensif, dapat mengurangi terjadinya infeksi. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan, ketersediaan pakan, penanganan yang tidak tepat dan pola pemeliharaan yang tidak sesuai (Zulfikar dkk. 2012). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang pengaruh sistem pemeliharaan ternak semi intensif dan intensif terhadap prevalensi nematoda gastrointestinal pada kambing.

1.2. Rumusan Permasalahan

Kambing merupakan salah satu jenis hewan ternak yang memiliki nilai sosial ekonomi yang tinggi bagi peternak. Beternak kambing dapat dilakukan secara ekstensif, intensif dan semi intensif. Sebagian besar ternak kambing yang dimiliki peternak di Desa Amplas, sistem pemeliharaannya dilakukan dengan cara digembalakan dan dikandangkan. Kambing yang dipelihara dengan cara semi intensif setiap tahunnya terserang penyakit diare dibandingkan dengan kambing yang dipelihara dengan cara intensif. Hal ini diduga karena keberadaan parasit gastrointestinal yang menyerang ternak yang disebabkan karena cara pemeliharaannya. Berdasarkan pemaparan tersebut yaitu bagaimana pengaruh sistem pemeliharaan ternak intensif dan semi intensif terhadap prevalensi nematoda gastrointestinal pada kambing?


(39)

1.3. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah jenis dan tingkat prevalensi nematoda gastrointestinal lebih tinggi pada kambing yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan semi intensif dibandingkan dengan yang intensif.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yaitu:

a. Untuk mengetahui jenis parasit nematoda gastrointestinal yang terdapat pada kambing yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan intensif dan semi intensif.

b. Untuk mengetahui prevalensi dan intensitas parasit nematoda gastrointestinal pada kambing yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan semi intensif dan intensif.

c. Untuk membandingkan kategori tingkat infeksi parasit nematoda gastrointestinal pada kambing yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan semi intensif dan intensif.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yaitu dapat mengetahui jenis parasit, prevalensi dan intensitas yang menyerang ternak pada sistem pemeliharaan intensif dan semi intensif sehingga dapat memberikan pengendalian dan pencegahan terhadap kambing, agar terhindar dari penyakit, yaitu dengan menyampaikan informasi pada peternak tentang jenis penyakit yang menyerang ternak dan cara pencegahan.


(40)

v ABSTRAK

Penelitian tentang pengaruh sistem pemeliharaan ternak intensif dan semi intensif terhadap prevalensi nematoda gastrointestinal pada kambing dengan metode sedimentasi menggunakan Glassbeads. Hasil pengamatan 30 sampel feses diambil dalam kandang yang berbeda berdasarkan sistem pemeliharaan. Sampel diambil secara acak (random) dengan masing-masing tiga kali ulangan. Pada kambing yang dipelihara secara semi intensif ditemukan parasit Haemonchus sp. Pada kambing yang dipelihara secara intensif ditemukan parasit Haemonchus sp., Trichuris sp., dan Capillaria sp. Prevalensi pada kambing yang dipelihara secara semi intensif diinfeksi parasit Haemonchus sp. 100%. Kambing yang dipelihara secara intensif diinfeksi parasit Haemonchus sp. 66.7%, Trichuris sp. 16.7% and Capillaria sp. 3.3%


(41)

vi ABSTRACT

Research on effect of intensive and semi intensive livestock system maintenance for the prevalence nematode gastrointestinal of goats. The method used is sedimentation using Glassbead. There were 30 feces of goat taken in different cages based maintenance system. Samples are taken randomly with each of the three replications. The result of this research showed that goats reared in semi-intensive discovered parasite Haemonchus sp. In goats reared semi-intensively discovered parasite Haemonchus sp., Trichuris sp., and Capillaria sp. The prevalence of goat reared semi intensively that infected Haemonchus sp. is 100%. In goat reared intensively that infected Haemonchus sp. is 66.7%, Trichuris sp. 16.7% and Capillaria sp. 3.3%.


(42)

GASTROINTESTINAL PADA KAMBING

SKRIPSI

RASYIDA ULFA

120805069

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(43)

GASTROINTESTINAL PADA KAMBING

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RASYIDA ULFA

120805069

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(44)

i

Judul : Pengaruh Sistem Pemeliharaan Ternak Intensif dan Semi Intensif Terhadap Prevalensi Nematoda Gastrointestinal Pada Kambing

Kategori : Skripsi

Nama : Rasyida Ulfa

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Nomor Induk Mahasiswa : 120805069

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di

Medan, 17 November 2016

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Drs. Nursal, M.Si Masitta Tanjung, S.Si., M.Si

NIP. 196109031990031002 NIP. 197109102000122001

Disetujui Oleh:

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. NIP. 196301231990032001


(45)

ii

PENGARUH SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK INTENSIF

DAN SEMI INTENSIF TERHADAP PREVALENSI

NEMATODA GASTROINTESTINAL PADA KAMBING

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, 17 November 2016

Rasyida Ulfa 120805069


(46)

iii

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan hidayat-Nya sehingga akhirnya dapat menyusun dan menyelesaikan hasil

penelitian yang berjudul “Pengaruh Sistem Pemeliharaan Ternak Intensif dan

Semi Intensif Terhadap Prevalensi Nematoda Gastrointestinal Pada Kambing” yang disusun dan dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua Ayahanda tercinta H. Syamsul Rizal, S.H., M.Hum dan Ibunda tercinta Hj. Ir. Eliza Safina dan saudaraku Nabilah Najmi serta keluarga besarku yang terus mendidik dan mendukung baik materil maupun moril, dan atas segala limpahan doa, kasih sayang, kesabaran, pengorbanan, dan segala bentuk motivasi yang telah diberikan tanpa henti kepada penulis. 2. Ibu Masitta Tanjung, S.Si., M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs.

Nursal, M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas segala bantuan bimbingan, perhatian, masukan serta dukungannya selama penyusunan skripsi.

3. Ibu Dra. Emita Sabri, M.Si dan Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc selaku penguji I dan II yang telah memberikan masukan terhadap penyusunan skripsi.

4. Bapak Dr. T. Alief Aththorick, M.Si selaku Penasehat Akademik penulis yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan motivasi dan nasehat yang sangat berarti bagi penulis.

5. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Ibu Dr. Saleha Hanum, M,Si selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU dan seluruh Staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA USU yang telah memberikan ilmunya selama menjadi mahasiswa.

6. Ibu Roslina Ginting dan Bang Ewin selaku Staf Pegawai Departemen Biologi FMIPA USU

7. Ibu Drh. Nensy Marnana Hutagaol selaku Koordinator Balai Veteriner Medan yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian.

8. Ibu Drh. Lepsi selaku Koordinator Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan

9. Ibu Drh. Eskayanti, Ibu Hermintha dan Ibu Samaritha selaku Staf Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan yang telah membantu penulis dalam penelitian.

10.Bapak Kepala Desa Edi Purwanto dan Staf yang telah memberikan izin untuk penelitian di Desa Amplas Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

11.Bapak Adi Saputra Purba selaku Kepala Dusun I dan Pak Ramli Antoni Tarigan selaku Kepala Dusun III


(47)

iv

13.Sahabat-sahabatku Sherly Mardi Utami, Diah Puspita Sari, Maya Sari Putri, Dwi Febrina, Siti May Syarah, Agus Mindiawati Harahap dan Nur Aslam Sakinah dan teman-teman AOC 2012 atas segala perhatian dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi.

14.Teman-teman Anatomi dan Fisiologi Hewan Vevy, Sasmita, Mira, Risda, Siti, Nani, Donna, dan Fitri.

15.Kakak asuh 010 dan 011 yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi.

16.Adik asuh Suci Heriani dan Tria Agustina serta adik-adik 013 dan 014, Dilla, Putri, Priya, Ruth, Henni, Melprina, Laura, Yuni, Dessy, Dini, dan Rendra yang memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini dan Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, terima kasih atas bantuannya.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian yang disajikan ini masih terdapat kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan penulisan hasil penelitian ini. Demikianlah hasil penelitian ini, semoga dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 17 November 2016


(48)

v ABSTRAK

Penelitian tentang pengaruh sistem pemeliharaan ternak intensif dan semi intensif terhadap prevalensi nematoda gastrointestinal pada kambing dengan metode sedimentasi menggunakan Glassbeads. Hasil pengamatan 30 sampel feses diambil dalam kandang yang berbeda berdasarkan sistem pemeliharaan. Sampel diambil secara acak (random) dengan masing-masing tiga kali ulangan. Pada kambing yang dipelihara secara semi intensif ditemukan parasit Haemonchus sp. Pada kambing yang dipelihara secara intensif ditemukan parasit Haemonchus sp., Trichuris sp., dan Capillaria sp. Prevalensi pada kambing yang dipelihara secara semi intensif diinfeksi parasit Haemonchus sp. 100%. Kambing yang dipelihara secara intensif diinfeksi parasit Haemonchus sp. 66.7%, Trichuris sp. 16.7% and Capillaria sp. 3.3%


(49)

vi ABSTRACT

Research on effect of intensive and semi intensive livestock system maintenance for the prevalence nematode gastrointestinal of goats. The method used is sedimentation using Glassbead. There were 30 feces of goat taken in different cages based maintenance system. Samples are taken randomly with each of the three replications. The result of this research showed that goats reared in semi-intensive discovered parasite Haemonchus sp. In goats reared semi-intensively discovered parasite Haemonchus sp., Trichuris sp., and Capillaria sp. The prevalence of goat reared semi intensively that infected Haemonchus sp. is 100%. In goat reared intensively that infected Haemonchus sp. is 66.7%, Trichuris sp. 16.7% and Capillaria sp. 3.3%.


(50)

vii

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstract vi

Daftar isi vii

Daftar tabel ix

Daftar gambar x

Daftar lampiran xi

Bab 1. Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Permasalahan 2

1.3. Hipotesis 3

1.4. Tujuan Penelitian 3

1.5. Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan pustaka 4

2.1. Kambing (Capra aegagrus hircus) 4

2.2. Pakan 6

2.3. Kandang 7

2.4. Sistem Pemeliharaan 8

2.4.1. Sistem Semi Intensif 8

2.4.2. Sistem Intensif 9

2.5. Nematoda 9

2.5.1. Karakteristik Nematoda 9

2.5.2. Siklus Hidup Nematoda 10

2.6. Nematoda Gatrointestinal Pada Ruminansia 11

Bab 3. Metodologi penelitian 12

3.1. Tempat dan Waktu 12

3.2. Alat dan Bahan 12

3.3. Metode Penelitian 12

3.3.1. Area Penelitian 12

3.3.2. Pengambilan Sampel 13

3.3.3. Pemeriksaan Sampel 14

3.3.4. Identifikasi 14

3.3.5. Analisis Data 14

Bab 4. Hasil dan pembahasan 16

4.1. Jenis Parasit Nematoda gastrointestinal Pada Feses Kambing


(51)

viii

Gastrointestinal Yang Ditemukan Pada Feses Indukan Kambing dan Anakan Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif dan Intensif

4.3. Prevalensi Dan Intensitas 22

4.3.1. Prevalensi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif

22

4.3.2. Intensitas Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif

24

Bab 5. Kesimpulan 26

5.1. Kesimpulan 26

5.2. Saran 26

Daftar pustaka 27


(52)

ix Nomor

Tabel

Judul Halaman

3.1. Nilai Kategori Intensitas 15

3.2. Nilai Kategori Prevalensi 15

4.1. Jenis Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing

16 4.2. Jenis Dan Jumlah Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal 18 4.2.1. Jenis dan Rata-Rata Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal

Yang Ditemukan Pada Feses Indukan Kambing dan Anakan Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif dan Intensif

21

4.3.1. Prevalensi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif

22 4.3.2. Intensitas Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses

Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif


(53)

x Nomor

Gambar

Judul Halaman


(54)

xi Nomor

Lampiran

Judul Halaman

1. Alat dan Bahan 31

2. Foto Kerja 32

3. Alur Pemeriksaan Feses Kambing 34

4. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Induk Kambing Umur 1-2 Tahun Yang Dipelihara Secara Semi Intensif

35

5. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Anak Kambing Umur 5 Bulan Yang Dipelihara Secara Semi Intensif

36

6. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Induk Kambing Umur 1-2 Tahun Yang Dipelihara Secara Intensif

37

7. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Anak Kambing Umur 5 Bulan Yang Dipelihara Secara Intensif

38

8. Data Tingkat Infeksi Parasit Pada Kambing Berdasarkan Sistem Pemeliharaan dan Umur


(1)

vi

EFFECT OF INTENSIVE AND SEMI INTENSIVE LIVESTOCK SYSTEM MAINTENANCE FOR THE PREVALENCE NEMATODE

GASTROINTESTINAL OF GOATS

ABSTRACT

Research on effect of intensive and semi intensive livestock system maintenance for the prevalence nematode gastrointestinal of goats. The method used is sedimentation using Glassbead. There were 30 feces of goat taken in different cages based maintenance system. Samples are taken randomly with each of the three replications. The result of this research showed that goats reared in semi-intensive discovered parasite Haemonchus sp. In goats reared semi-intensively discovered parasite Haemonchus sp., Trichuris sp., and Capillaria sp. The prevalence of goat reared semi intensively that infected Haemonchus sp. is 100%. In goat reared intensively that infected Haemonchus sp. is 66.7%, Trichuris sp. 16.7% and Capillaria sp. 3.3%.


(2)

vii DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstract vi

Daftar isi vii

Daftar tabel ix

Daftar gambar x

Daftar lampiran xi

Bab 1. Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Permasalahan 2

1.3. Hipotesis 3

1.4. Tujuan Penelitian 3

1.5. Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan pustaka 4

2.1. Kambing (Capra aegagrus hircus) 4

2.2. Pakan 6

2.3. Kandang 7

2.4. Sistem Pemeliharaan 8

2.4.1. Sistem Semi Intensif 8

2.4.2. Sistem Intensif 9

2.5. Nematoda 9

2.5.1. Karakteristik Nematoda 9

2.5.2. Siklus Hidup Nematoda 10

2.6. Nematoda Gatrointestinal Pada Ruminansia 11

Bab 3. Metodologi penelitian 12

3.1. Tempat dan Waktu 12

3.2. Alat dan Bahan 12

3.3. Metode Penelitian 12

3.3.1. Area Penelitian 12

3.3.2. Pengambilan Sampel 13

3.3.3. Pemeriksaan Sampel 14

3.3.4. Identifikasi 14

3.3.5. Analisis Data 14

Bab 4. Hasil dan pembahasan 16

4.1. Jenis Parasit Nematoda gastrointestinal Pada Feses Kambing


(3)

viii

4.2. Jenis dan Jumlah Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal

18 4.2.1. Jenis dan Rata-Rata Telur Parasit Nematoda

Gastrointestinal Yang Ditemukan Pada Feses Indukan Kambing dan Anakan Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif dan Intensif

21

4.3. Prevalensi Dan Intensitas 22

4.3.1. Prevalensi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif

22

4.3.2. Intensitas Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif

24

Bab 5. Kesimpulan 26

5.1. Kesimpulan 26

5.2. Saran 26

Daftar pustaka 27


(4)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.1. Nilai Kategori Intensitas 15

3.2. Nilai Kategori Prevalensi 15

4.1. Jenis Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing

16 4.2. Jenis Dan Jumlah Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal 18 4.2.1. Jenis dan Rata-Rata Telur Parasit Nematoda Gastrointestinal

Yang Ditemukan Pada Feses Indukan Kambing dan Anakan Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif dan Intensif

21

4.3.1. Prevalensi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif

22 4.3.2. Intensitas Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Feses

Kambing Yang Dipelihara Secara Semi Intensif Dan Intensif


(5)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman


(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

1. Alat dan Bahan 31

2. Foto Kerja 32

3. Alur Pemeriksaan Feses Kambing 34

4. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Induk Kambing Umur 1-2 Tahun Yang Dipelihara Secara Semi Intensif

35

5. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Anak Kambing Umur 5 Bulan Yang Dipelihara Secara Semi Intensif

36

6. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Induk Kambing Umur 1-2 Tahun Yang Dipelihara Secara Intensif

37

7. Data Rata-Rata Jumlah Telur Parasit Pada Anak Kambing Umur 5 Bulan Yang Dipelihara Secara Intensif

38

8. Data Tingkat Infeksi Parasit Pada Kambing Berdasarkan Sistem Pemeliharaan dan Umur