Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik pada Kucing Peliharaan di Kota Bogor

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI CACING
ZOONOTIK PADA KUCING PELIHARAAN DI KOTA
BOGOR

MURNIATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Prevalensi dan
Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik pada Kucing Peliharaan di Kota Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor

Bogor, Februari 2015
Murniati
NIM B251120071

RINGKASAN
MURNIATI. Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik pada Kucing
Peliharaan di Kota Bogor. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan YUSUF
RIDWAN.
Kucing rumah (Felis silvestris catus) merupakan hewan peliharaan yang
berperan dalam penyebaran cacing parasit pada manusia. Infeksi cacing zoonotik
dapat berpotensi menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat khususnya
pemilik kucing, mengingat populasi kucing yang sangat besar dan kedekatan
dengan kehidupan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk menduga prevalensi
dan menentukan faktor-faktor risiko terkait infeksi cacing zoonotik pada kucing
peliharaan di Kota Bogor.
Metode penelitian ini adalah studi cross sectional dengan menggunakan dua
jenis data, yaitu hasil pemeriksaan laboratorium sampel tinja dan hasil wawancara
dari pemilik kucing menggunakan kuesioner terstruktur, meliputi karakteristik

pemilik, karakteristik kucing peliharaan dan manajemen pemeliharaan kucing.
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan uji khi-kuadrat dan
pendugaan nilai risiko relatif (RR).
Hasil penelitian dari 243 sampel feses kucing peliharaan di Kota Bogor
menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Toxocara cati adalah 35% (SK95%: 3040%) dan hookworm adalah 18.5% (SK95%: 16.0-20.5%). Adapun derajat infeksi
cacing zoonotik pada kucing termasuk rendah yaitu untuk T cati 253 telur tiap
gram tinja (TTGT) (SK95%: 219.9-286.1 TTGT) dan hookworm 136 (TTGT)
yaitu (SK95%: 126.9-141.1 TTGT).
Faktor risiko yang signifikan terkait dengan infeksi T cati dan hookworm
adalah jenis kelamin kucing, ketersediaan pasir, pengulangan pemberian obat anti
cacing dan jenis pakan. Kucing jantan berisiko terinfeksi T cati 1.5 kali (SK95%:
1.1-2.1 kali) dibandingkan dengan kucing betina. Kelompok kucing yang tidak
disediakan pasir berisiko terinfeksi T cati 1.5 kali (SK95%: 1.1-2.0 kali)
dibandingkan yang disediakan pasir. Kucing yang tidak dilakukan pengulangan
pemberian obat anti cacing berisiko terinfeksi T cati 1.8 kali (SK95%:1.3-2.7 kali)
dibandingkan kucing yang diberi obat anti cacing secara berulang. Pemberian
campuran pakan komersial dengan ikan/daging berisiko terinfeksi T cati 1.4 kali
(SK95%:1.0-1.9 kali) dibandingkan dengan pakan komersial.
Faktor-faktor yang berisiko terhadap infeksi hookworm, pada kucing jantan
berisiko terinfeksi hookworm 1.8 kali (SK95%: 1.1-3.2 kali) dibandingkan dengan

kucing betina. Kucing yang disediakan pasir berisiko terinfeksi hookworm 1.7 kali
(SK95%: 1.2-2.4 kali) dibandingkan yang tidak disediakan pasir. Kucing yang
tidak dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing berisiko terinfeksi
hookworm 1.3 kali (SK95%: 1.0-1.6 kali) dibandingkan yang dilakukan
pengulangan pemberian obat anti cacing. Disamping itu, pemberian campuran
pakan komersial dengan ikan/daging berisiko terinfeksi hookworm 1.2 kali
(SK95%: 1.0-1.5 kali) dibandingkan pakan komersial.
Manajemen pemeliharaan kucing di Kota Bogor sudah baik, namun
demikian tingkat kejadian infeksi T cati di Kota Bogor masih cukup tinggi. Hal
tersebut dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat khususnya pada
pemilik kucing, sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian
terhadap risiko infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor.

Tindakan tersebut berupa pemberian obat anti cacing pada kucing secara rutin,
menyediakan pasir tempat defekasi kucing, meningkatkan higiene dan sanitasi dan
tidak memberikan pakan campuran ikan/daging dalam kondisi mentah.
Kata kunci: hookworm, kucing peliharaan, prevalensi, faktor risiko, T cati

SUMMARY
MURNIATI. Prevalence and Risk Factors of Zoonotic Helminth Infection in Pet

Cats in Bogor City. Supervised by ETIH SUDARNIKA and YUSUF RIDWAN.
Domestic cats (Felis silvetris catus) are pets that play part in spreading
parasitic worms to human. Zoonotic helminth infection can be potential public
health problems especially for cat owners, considering that large population of cat
lives around the community. The aims of this study were to estimate the
prevalence and to determine the risk factors related to zoonotic helminth infection
in domestic cats in Bogor City.
The method of this study was cross sectional study using two types of data,
including laboratory examination result of faecal samples and questionnaire data
from cat owners. Questionnaire data included characteristic of cat owners,
characteristic of pet cats, and management of cat breeding. The data were tested
using chi-square and relative risk (RR) values assessment.
The result of the study on 243 feces of domestic cats in Bogor City showed
that the prevalence of Toxocara cati were 35% (95% CI: 30-40%) and
hookworms were 18.5% (95% CI 16.0-20.5%). The degree of zoonotic helminth
infection in cats was considered to be low, showing 253 eggs per gram (EPG) for
T cati (95% CI: 219.9-286.1 EPG) and 136 EPG for hookworms (95% CI: 126.9141.1 EPG).
The significant risk factors related to T cati and hookworm infection were
sex of cats, defecation sand availability, frequency of deworming, and type of cat
food. T cati infection risk was 1.5 times greater in male cats compared to the

female cats (95% CI: 1.1-2.1 times). Similarly, the groups without defecation sand
had 1.5 times greater T cati infection risk (95% CI: 1.1-2.0 times) compared to
those with defecation sand. The cats that were not treated frequently with
anthelmintic had 1.8 times greater T cati infection risk (95% CI: 1.3-2.7 times)
compared to the cats that consume anthelmintic frequently. Beside that, cats were
fed with mixture of commercial cat food and fish/meat had 1.4 times greater T cati
infection risk (95% CI: 1.0-1.9 times) compared to those which were fed with
commercial cat food only.
Risk factor of hookworm infection in male cats was 1.8 times greater than in
female cats (95% CI: 1.1-3.2 times). The groups with defecation sand had 1.7
times greater hookworm infection (95% CI: 1.2-2.4 times) compared to those
without defecation sand. The cats that were not treated frequently with
anthelmintic had 1.3 times greater hookworm infection (95% CI: 1.0-1.6 times)
compared to cats that were treated frequently with anthelmintic. Beside that, cats
were fed with mixture of commercial cat food and fish/meat had 1.2 times greater
hookworm infection (95% CI: 1.0-1.5 times) compared to those which were
fed with commercial cat food only.
Generally, pet care management in Bogor City was good, but the rate of T
cati infection in Bogor City was relatively high. This can be potential public
health problems, especially for cat owners. Therefore, it was needed to control

zoonotic helminth infection in pet cats in Bogor City by regularly treating cats
with anthelmintics, providing sand for defecation, increasing hygiene and
sanitation, and by not feeding cats wih raw fish/meat.

Keywords: hookworm, pet cats, prevalence, risk factors, T cati

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindung Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI CACING
ZOONOTIK PADA KUCING PELIHARAAN DI KOTA
BOGOR


MURNIATI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi: Dr Drh Fadjar Satridja, PhD

Judul Tesis : Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik pada Kucing
Peliharaan di Kota Bogor
Nama
: Murniati
NIM

: B251120071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Etih Sudarnika, MSi
Ketua

Dr drh Yusuf Ridwan, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi

Tanggal Ujian: 6 Februari 2015


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah
ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Prevalensi dan Faktor Risiko
Infeksi Cacing Zoonotik pada Kucing Peliharaan di Kota Bogor”. Penulis
menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis akan mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Etih
Sudarnika, MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Dr drh Yusuf Ridwan, MSi
selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan,
dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima
kasih dan penghargaan sebesar-besarnya untuk seluruh staf pengajar Program
Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) yang telah memberikan
bimbingan dalam proses pembelajaran selama penulis kuliah. Selanjutnya terima

kasih penulis ucapkan kepada Kepala Dinas Pertanian Kota Bogor yang telah
memberikan izin selama di lapangan, serta terima kasih penulis ucapkan kepada
staf Laboratorium Helminthologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah memberikan bantuan dan izin dalam
proses pemeriksaan sampel di laboratorium.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
kedua orangtua, Ibunda Nursaniah dan Ayahanda M Iksan, serta kakak-kakak
yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi, do’a dan kasih
sayang kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
teman-teman mahasiswa pascasarjana IPB, khususnya Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner atas dukungan dan semangatnya. Akhirnya penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihakpihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga hasil penelitian ini berguna dan
memberikan kontribusi bagi semua pihak terutama pemerintah, masyarakat dan
kalangan akademisi.
Bogor, Februari 2015

Murniati

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Cacing Zoonotik
Transmisi Infeksi Cacing Zoonotik
Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik
Lokasi Penelitian
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Kerangka Konseptual Penelitian
Desain Penelitian
Besaran Sampel
Koleksi Sampel
Pemeriksaan Sampel
Metode Mc Master
Metode Pengapungan Sederhana
Metode Modifikasi Filtrasi dan Sedimentasi
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Karateristik Kucing Peliharaan
Manajemen Pemeliharaan Kucing
Infeksi Cacing Zoonotik
Hubungan Faktor Risiko terhadap Infeksi T cati
Hubungan Faktor Risiko terhadap Infeksi hookworm
Infeksi Cacing Zoonotik Ditinjau dari Kesehatan Masyarakat
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

1
1
2
2
2
2
2
4
5
5
6
5
6
7
8
8
9
9
9
9
10
10
10
11
11
12
15
17
18
21
21
22

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Definisi operasional dari peubah yang diamati
Besaran sampel di setiap kelurahan Kota Bogor
Karateristik responden
Karateristik kucing peliharaan di Kota Bogor
Manajemen pemeliharaan kucing
Prevalensi dan TTGT infeksi cacing zoonotik di Kota Bogor
Hubungan faktor risiko terhadap infeksi T cati
Hubungan faktor risiko terhadap infeksi hookworm

7
8
10
11
12
14
16
18

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka konsep penelitian
2 Toxocara cati
3 hookworm

6
13
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuisioner

26

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing dikenal sebagai hewan kesayangan yang paling dekat dengan
kehidupan manusia. Manusia telah memelihara kucing ribuan tahun yang lalu,
melalui proses domestikasi sehingga kucing menjadi hewan peliharaan (Sardjono et
al. 2008). Pada umumnya kucing peliharaan memiliki hubungan yang erat dengan
pemiliknya, karena sifat dasar kucing yang mudah dipelihara dan mudah
menyesuaikan diri. Kucing juga memiliki kecenderungan dan pengabdian yang
cukup tinggi pada pemiliknya (Sardjono et al. 2008). Pemeliharaan kucing tidak
hanya sekedar hobi namun telah menjadi gaya hidup saat ini, oleh karena itu
kesehatan kucing sangat penting diperhatikan. Kesehatan kucing memiliki
hubungan erat terhadap kesehatan manusia, khususnya pemilik kucing. Kucing
rumah (Felis silvestris catus) merupakan hewan peliharaan yang tersebar di seluruh
dunia dan dapat berperan dalam penyebaran berbagai jenis penyakit parasit
termasuk cacing parasit (Sardjono et al. 2008).
Kecacingan atau yang biasa disebut dengan istilah helminthiasis adalah salah
satu penyakit yang perlu diperhatikan pada kucing. Kecacingan sering diabaikan,
karena tidak menimbulkan gejala klinis yang serius kecuali pada infeksi berat,
kronis dan dalam waktu yang lama (Soeharsono 2007). Prevalensi infeksi cacing
pada kucing di Indonesia khususnya di wilayah Surabaya sebesar 60.9% (Kusnoto
2005) dan Denpasar sebesar 32.5% (Nealma et al. 2013). Hal tersebut menunjukkan
bahwa angka kejadian relatif tinggi untuk terjangkit kecacingan pada kucing.
Penyakit yang menyerang hewan dan dapat menular pada manusia dikenal sebagai
zoonosis. Zoonosis ini terjadi disebabkan karena adanya kontak manusia dengan
hewan kesayangan atau kucing yang terinfeksi.
Kucing dapat terinfeksi cacing melalui tertelannya telur infektif bersama
makanan dan air minum, serta dapat juga terinfeksi melalui kontak langsung
dengan tanah atau pasir yang mengandung telur atau larva yang infektif
(Overgaauw 1997). Kucing tersebut dapat menunjukkan gejala seperti kekurusan,
bulu kusam, pembesaran perut, muntah dan diare. Infeksi cacing zoonotik
berpotensi menginfeksi manusia, infeksi tersebut dapat menyebabkan gangguan
kesehatan pada manusia seperti demam intermiten, anoreksia, penurunan berat
badan, nyeri otot dan sendi, nyeri abdominal, dermatitis, batuk terus menerus dan
gangguan saraf (Heukelbach dan Feldmeier 2008). Pengendalian penyakit cacing
parasitik tidak mudah karena intensitas dan distribusi penyakit sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor geografi, iklim, dan ekonomi (Soeharsono 2007). Kota Bogor
merupakan kota yang memiliki curah hujan dan kelembaban yang tinggi serta
jumlah penduduk yang padat. Kelembaban yang cukup tinggi merupakan kondisi
optimum dalam perkembangan dan penyebaran berbagai jenis cacing parasit
(Nealma et al. 2013). Kondisi ini dapat menjadi faktor penyebab terjadinya infeksi
cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor.

2

Perumusan Masalah
Infeksi cacing zoonotik berpotensi menimbulkan masalah bagi kesehatan
masyarakat khususnya pemilik kucing, mengingat populasi kucing yang sangat
besar dan kedekatan dengan kehidupan manusia. Penelitian mengenai infeksi
cacing zoonotik pada kucing peliharaan masih jarang dilakukan di Indonesia,
termasuk tingkat infeksi cacing zoonotik pada kucing. Penelitian ini perlu
dilakukan sebagai tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi cacing zoonotik
pada kucing peliharaan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1 Mengidentifikasi jenis cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota
Bogor.
2 Mengukur prevalensi infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota
Bogor.
3 Menentukan hubungan faktor risiko terhadap tingkat kejadian infeksi cacing
zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mmberikan informasi secara ilmiah mengenai
faktor risiko dan tingkat kejadian infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di
Kota Bogor. Infeksi tersebut berpotensi menjadi sumber infeksi pada manusia
terutama pemilik kucing, sehingga perlu dilakukan tindakan pengendalian penyakit.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap peningkatan
kesadaran dan kepedulian masayarakat akan bahaya infeksi cacing zoonotik pada
kucing, serta memberikan masukan program-program yang bersifat edukatif kepada
masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan kucing.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Cacing Zoonotik
Infeksi cacing pada umumnya jarang menimbulkan penyakit serius, tetapi
dapat menyebabkan penyakit kronis yang dapat merugikan secara ekonomis.
Diperkirakan lebih dari 60% anak-anak di Indonesia menderita penyakit
kecacingan, akibat adanya kontak dengan larva atau cacing infektif (Maryanti
2006). Infeksi cacing zoonotik pada kucing yang berpotensi antara lain Toxocara
cati, Echinococcus multilocularis, Ancylostoma braziliense, A. tubaeforme dan
Uncinaria stenocephala (Bowman et al. 2002).
T cati merupakan salah satu spesies Toxocara yang dapat menyerang kucing
(Uga et al. 1990). Kucing dapat terinfeksi melalui tertelannya telur infektif bersama
makanan dan air minum. Kucing yang terinfeksi T cati menunjukkan gejala

3

kekurusan, bulu kusam, pembesaran perut, muntah dan diare. Gejala batuk dapat
terjadi akibat migrasi melalui sistem respirasi. Migrasi larva pada kucing muda
dapat menyebabkan pneumonia. Cacing dalam jumlah yang banyak dapat
menyebabkan menurunnya penyerapan makanan, hingga terjadi hipoalbuninemia
yang dapat menyebabkan kekurusan dengan perut membesar dan pada beberapa
kasus dapat terjadi kematian (Overgaauw 1997).
Manusia dapat terinfeksi Toxocara melalui termakannya telur infektif yang
terdapat dalam feses kucing dan tanah terkontaminasi. Toxocariasis pada manusia
menyebabkan visceral larva migrans (VLM) dan ocular larva migrans (OLM)
(Gillespie 2006). Larva tersebut pada manusia dapat mencapai otak sehingga dapat
menimbulkan gangguan yang sangat berat pada anak-anak maupun pada orang
dewasa. VLM dapat menyebabkan pembengkakan organ tubuh atau sistem syaraf
pusat. Organ yang dapat terserang antara lain hati, paru-paru, ginjal, dan otak. OLM
pada manusia terjadi saat larva memasuki mata, yang dapat menyebabkan inflamasi
dan pembentukan jaringan ikat pada retina. Luka pada mata akibat migrasi larva ke
dalam posterior chamber bola mata, mengakibatkan granulomatous renitis,
perlekatan retina, penurunan daya lihat, dan pada kasus yang berat dapat terjadi
kebutaan permanen (Gillespie 2006).
Infeksi cacing tambang (hookworm) merupakan salah satu penyakit yang
ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths). Kucing dapat terinfeksi
hookworm melalui kontak langsung dengan tanah atau pasir yang mengandung
larva infektif (Brentlinger et al. 2003). Hookworm pada kucing yang berpotensi
menimbulkan zoonosis adalah Ancylostoma braziliense, A. tubaeforme, A.
ceylanicum dan Uncinaria stenocephala (Bowman et al. 2002). Cacing tambang
Ancylostoma braziliense dan A. ceylanicum merupakan penyebab utama kejadian
Cutaneus Larva Migran (CLM) atau yang sering disebut creeping eruption pada
manusia. (Soeharsono 2007). Infeksi CLM pada manusia terjadi melalui kulit yang
kontak dengan larva infektif, larva tersebut dapat menembus kulit. Heukelbach dan
Feldmeier (2008) dalam penelitanya menyatakan bahwa cacing tambang ini juga
dapat menyebabkan myositis pada manusia. Anderson (2003), melaporkan kejadian
CLM pada manusia lebih banyak menyerang anak-anak karena kebiasaan bermain
di tanah atau pasir.
Cacing yang dapat menginfeksi hewan, dapat juga menyerang tubuh manusia
seperti A. ceylanicum dengan cara menembus kulit manusia dan menyebabkan
cutaneus larva migrans (CLM). Di dalam tubuh manusia, ada cacing yang tidak
mengalami perkembangan atau pertumbuhan lebih lanjut hanya dalam bentuk larva,
seperti seperti A. braziliense, A. caninum dan U. stenocephala. Larva A. caninum
bermigrasi hingga ke usus manusia dan menyebabkan eosinophilic enteritis. Larva
A. caninum juga merupakan penyebab diffuse unilateral subacute neuroentritis
(Maryanti 2006). Transmisi utama cacing tambang pada manusia, umumnya
penetrasi melalui kulit oleh larva stadium ketiga, oleh karena itu pencegahan
penularan CLM, dapat dilakukan dengan cara memakai sepatu atau alat pelindung
lainnya untuk mencegah kontak langsung antara kulit dengan tanah atau pasir
(Mani dan Maguire 2009).

4

Transmisi Infeksi Cacing Zoonotik
Kucing akan terinfeksi T cati jika menelan telur infektif yang mengandung
larva stadium kedua bersama makanan atau air minum. Telur infektif akan menetas
pada usus halus beberapa jam setelah ditelan. Larva bermigrasi melalui sistem
sirkulasi dan kemudian menuju ke hati, seterusnya larva terbawa sampai paru-paru
(sistem respirasi). Larva kedua akan manjadi larva ketiga di paru-paru, kemudian
pada hari ke sepuluh larva ketiga menembus alveoli menuju bronkus, trakea dan
faring, akhirnya terjadi iritasi yang menyebabkan kucing batuk, sehingga larva
tertelan masuk kembali ke saluran pencernaan, selanjutnya menjadi larva keempat
dalam waktu 2 minggu setelah infeksi dan dalam usus halus berkembang menjadi
cacing dewasa kelamin dalam waktu 3 sampai 4 minggu setelah infeksi. Cacing
betina dewasa bertelur, kemudian telur dikeluarkan bersama feses, kemudian
berkembang di lingkungan dalam waktu 10 sampai 14 hari sampai menjadi infektif.
Perkembangan telur tersebut tergantung pada temperatur dan kondisi cuaca.
Apabila feses yang mengandung Toxocara spp. jatuh di tanah dengan temperatur
10-35ºC dan kelembaban 85% serta kondisi yang optimal maka dalam waktu paling
sedikit 5 hari akan berkembang menjadi telur infektif yang mengandung embrio
(Kusnoto 2005).
Infeksi T cati pada kucing dapat terjadi melalui tertelannya larva infektif
bersama makanan dan minuman. Larva akan masuk dan berada dalam tubuh kucing
kemudian telur menetas dan berkembangbiak di dalam usus (Brentlinger et al.
2003). Telur yang keluar bersama feses, jika berada dalam kondisi yang
menguntungkan maka telur akan menetas dalam waktu 1 sampai 2 hari. Larva
rhabditiform akan tumbuh dalam feses atau tanah setelah 5 sampai 10 hari dan akan
mengalami dua kali pergantian kulit sehingga larva akan berkembang menjadi larva
infektif. Larva tersebut dapat bertahan antara 3 sampai 4 minggu dalam kondisi
lingkungan yang menguntungkan. Jika kontak dengan hewan ataupun manusia
maka larva akan menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah ke jantung
dan paru-paru. Larva ini akan menembus ke dalam alveoli paru, naik ke cabang
bronkial hingga ke faring. Jika larva ini tertelan, larva mencapai usus kecil, di mana
larva ini tinggal dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa hidup di
lumen usus kecil, di mana mereka menempel pada dinding usus. Infeksi T cati
dapat terjadi melalui transmammary yakni larva cacing pada induk yang terinfeksi
akan bermigrasi ke glandula mammae dan kucing akan terinfeksi melalui susu.
Selain itu infeksi T cati pada kucing juga dapat melalui hospes paratenik. Hospes
definitif dari T cati adalah kucing jantan dan anak kucing (Hubner et al.2001).
Infeksi hookworm pada kucing dapat terjadi melalui tertelannya larva stadium
ketiga yang infektif bersama makanan dan air minum, serta dapat juga terinfeksi
melalui kontak langsung dengan tanah/pasir yang mengandung larva infektif
(Overgaauw 1997). Larva stadium kedua tidak akan pernah berkembang menjadi
larva stadium ketiga apabila menginfeksi selain hospes definitif dan hospes transpor
(cacing tanah, kecoa, ayam, anak kambing dan mencit). Kondisi yang demikian
disebut larva dorman, yaitu larva yang tidak mengalami perkembangan dan hanya
menetap di dalam jaringan.

5

Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik
Faktor yang berpengaruh terhadap prevalensi infeksi cacing parasit antara lain
lingkungan dan faktor internal hewan. Kondisi lingkungan sangat berpengaruh
terhadap infeksi cacing parasit kucing. Lingkungan yang tidak bersih atau kotor
memungkinkan tercemar telur infektif Toxocara, sehingga kucing liar yang hidup
dan berkembangbiak di tempat yang kotor akan terinfeksi cacing lebih tinggi
daripada kucing yang dipelihara (Nealma 2013).
Faktor penting yang mempengaruhi infeksi cacing tambang (hookworm) pada
kucing adalah iklim, umur kucing dan identitas kucing sebagai hewan peliharaan
atau hewan liar. Infeksi cacing hookworm pada kucing yang tertinggi ditemukan
pada iklim tropis, dengan pengecualian U. stenocephala. Suhu yang hangat dan
kelembaban yang cukup untuk perkembangan telur dan larva (Palmer et al. 2007).
Faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan infeksi cacing
pada manusia yang penyebarannya melalui tanah antara lain lingkungan, jenis
tanah, iklim, perilaku hewan, sosial ekonomi dan status gizi (Hotez et al. 2004).
Perilaku manusia mempengaruhi terjadinya infeksi cacing yang ditularkan lewat
tanah. Anak-anak paling sering terinfeksi cacing karena memiliki kebiasaan
bermain ditanah dan memasukan jari-jari tangan ke dalam mulut atau makan tanpa
cuci tangan (Ginting 2003).
Prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan dan
diperkotaan yang masyarakatnya masih hidup dalam kekurangan. Penyebaran
infeksi cacing zoontik dipengaruhi oleh kondisi lingkungan ideal dalam
perkembangbiakan cacing (Hotez et al. 2004). Lingkungan dengan kelembaban
yang tinggi dan suhu berkisar antara 25 sampai 30 oC sangat baik untuk
perkembangan telur cacing sampai menjadi bentuk infektif, sedangkan untuk
pertumbuhan larva yaitu memerlukan suhu optimum 28 sampai 32 oC dan tanah
gembur seperti pasir atau humus yaitu 23 sampai 25 ºC (Gandahusada et al. 2003).

Lokasi Penelitian
Kota Bogor kurang lebih berjarak 56 km dari Ibu Kota Jakarta. Kedudukan
wilayah Kota Bogor berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Wilayah
administrasi Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan dan 68 kelurahan, dengan luas
wilayah keseluruhan 11 850 ha (BPS 2013). Wilayah Kota Bogor memilik curah
hujan 3.500 hingga 4 500 mm/tahun dengan kelembaban 80% dan suhu optimum
21 sampai 31 oC (BPS 2013). Jumlah Penduduk di Kota Bogor pada tahun 2013
adalah sebesar 987 448 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 8 838 jiwa/km2.
Pertumbuhan penduduk Kota Bogor rata-rata per tahun kurang lebih 2.8%, maka
diproyeksikan jumlah penduduk Kota Bogor akan berjumlah di atas 1 juta jiwa
pada tahun 2014. Tingginya pertumbuhan tersebut disebabkan posisi Kota Bogor
berada di wilayah Jabodetabek (BPS 2013).
Kota Bogor memiliki curah hujan dan kelembaban yang tinggi serta jumlah
penduduk yang padat. Kondisi ini merupakan kondisi ideal untuk perkembangan
dan penyebaran berbagai jenis penyakit cacing di lingkungan (Nealma et al. 2013).
Kota Bogor diduga memiliki risiko terhadap adanya infeksi cacing zoonotik pada
kucing peliharaan.

6

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor selama empat bulan, dari Maret
sampai Juni 2014. Pemeriksaan sampel feses kucing dilakukan di Laboratorium
Helminthologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Kerangka Konseptual Penelitian
Kerangka konseptual penelitian ini memaparkan kajian tentang hubungan
antara faktor-faktor risiko penyebab infeksi cacing zoonotik dengan kasus infeksi
cacing zoonotik pada kucing. Hubungan tersebut ditentukan berdasarkan beberapa
variabel-variabel (Gambar 1) yang diduga memilik hubungan terhadap infeksi
cacing zoonotik (Woodword 1999). Variabel tersebut kemudian dianalisis statistik
untuk mengetahui hubungan keterkaitan antar variabel dan untuk menentukan
variabel mana atau faktor mana yang mempengaruhi atau yang memiliki hubungan
signifikan terhadap infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor.
Karakteristik
1. Responden/Pemilik Kucing
 Pendidikan
 Penghasilan
2. Karakteristik Kucing Peliharaan
 Jenis Kelamin Kucing
 Umur Kucing
Infeksi Cacing
Zoonotik
Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik:
Manajemen Pemeliharaan:
 Kucing dikandangkan
 Kandang kucing dibersihkan
 Disediakan pasir
 Kucing dimandikan
 Pengulangan pemberian obat cacing
 Pemberian pakan campuran
Gambar 1 Kerangka konsep penelitian

7

Adapun definisi operasional dari peubah yang diamati dapat dilihat pada
Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1 Definisi operasional dari peubah yang diamati
No
1

Peubah
Infeksi cacing
zoonotik

Definisi Operasional
Persentase kejadian
kecacingan pada
kucing yang menular
ke manusia

Alat Ukur
Uji
laboratorium

Cara Ukur
Pemeriksaan
feses

2

Pendidikan

Jenjang pendidikan
terakhir pemilik
kucing

Kuisioner

Wawancara

3

Penghasilan

Kuisioner

Wawancara

4

Jenis kelamin
kucing

Besaran penghasilan
perbulan pemilik
kucing
Jenis kelamin betina
atau jantan

Kuisioner

Wawancara

5

Umur kucing

Kuisioner

Wawancara

6

Kucing
dikandangkan

Kuisioner

Wawancara

7

Membersihkan
kandang

Kuisioner

Wawancara

8

Disediakan
pasir

Kuisioner

Wawancara

9

Kucing
dimandikan

Kuisioner

Wawancara

10

Pengulangan
pemberian
obat cacing
Pakan
campuran

Kategori umur kucing
di bawah enam bulan
atau diatas eman
bulan
Semua kucing
dipeliharan yang
dikandangkan
Segala tindakan
dalam menjaga
kebersihan kandang
Kesediaan pasir
tempat defekasi
kucing
Semua kucing yang
dipeliharan
dimandikan
Pemberian obat
cacing lebih dari satu
kali
Pemberian selain
pakan jadi

Kuisioner

Wawancara

Kuisioner

Wawancara

11

Skala
Nominal
0=positif
cacing
1=negatif
cacing
Ordinal
1=dibawah
SMA
2=diatas SMA
Ordinal
1= 3Juta
Ordinal
1=Jantan
2=Betina
Ordinal
1= 6 bln
Ordinal
1=Tidak
2=Ya
Ordinal
1=Tidak
2=Ya
Ordinal
1=Tidak
2=Ya
Ordinal
1=Tidak
2=Ya
Ordinal
1=Tidak
2=Ya
Ordinal
1=Pakan
komersial
dengan
Ikan/daging
2=Pakan
komersial

Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian observasional cross sectional study yang
menggunakan dua jenis data, yaitu data hasil pemeriksaan sampel feses di
laboratorium dan data hasil wawancara terhadap pemilik kucing. Wawancara
dilakukan secara langsung dengan menggunakan kuisioner terstruktur dan
responden yang diwawancarai adalah anggota keluarga yang merawat kucing

8

sehari-hari. Sampel feses diambil dari kucing yang dikandangkan. Pengambilan
sampel secara acak sederhana dari 68 kelurahan diambil sembilan kelurahan, tiap
kelurahan diambil 27 sampel, dengan besaran sampel sebesar 243 sampel. Sampel
feses kemudian dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan metode Mc Master,
pengapungan sederhana dan modifikasi filtrasi dan sedimentasi.

Besaran Sampel
Metode pengambilan sampel kucing dilakukan dengan menggunakan metode
penarikan contoh acak bertingkat (multistage random sampling), dengan memilih
kelurahan yang ada di Kota Bogor. Pemilihan kelurahan dipilih secara acak
sederhana (simple random sampling), dari 68 kelurahan diambil sembilan
kelurahan. Setiap kelurahan diambil masing-masing sebanyak 27 sampel. Besaran
sampel menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 95% dengan prevalensi dugaan
36% dan tingkat kesalahan sebesar 6%, sehingga diperoleh besaran sampel sebesar
243 kucing. Besaran sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan
rumus:
4pq
n=
L2
Keterangan:
n = Besaran sampel
p = Prevalensi dugaan
q = (1 – p)
L2 = Tingkat kesalahan maksimum yang dapat di terima (Dohoo et al. 2003)
Distribusi dan besaran sampel dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2 Besaran sampel di setiap Kelurahan Kota Bogor
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Total

Kelurahan
Cilendek Barat
Bubulak
Batutulis
Lawang Gintung
Pamoyanan
Sempur
Tajur
Cimahpar
Ciparigi

Besaran Sampel
27
27
27
27
27
27
27
27
27
243

Koleksi Sampel
Sampel feses berasal dari kucing yang dikandangkan dan yang tidak
dikandangkan. Kucing ditangkap kemudian dikandangkan dan dibiarkan sampai
melakukan defekasi. Sampel feses dikoleksi dan disimpan dalam kantong plastik,

9

kemudian diberi keterangan menggunakan kertas label. Sampel feses dibawa ke
laboratorium dengan menggunakan cool box yang telah diberi ice pack.
Sesampainya di laboratorium sampel disimpan di dalam pendingin pada suhu 4 0C
hingga sampel tersebut dilakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan Sampel
Metode Mc Master
Pemeriksaan sampel feses dilakukan dengan menggunakan metode Mc
Master untuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja (TTGT). Sampel feses
ditimbang sebanyak 2 gram menggunakan alat timbang digital dan dimasukkan ke
dalam gelas plastik, kemudian ditambahkan larutan gula jenuh sebanyak 58 mL,
kemudian diaduk dan disaring dengan saringan teh. Campuran feses yang telah
disaring dimasukkan ke dalam kamar hitung Mc Master dan dibiarkan selama 5
menit sampai telur mengapung, kemudian diamati dan dihitung menggunakan
mikroskop dengan pembesaran 100 kali (Cardillo et al. 2014). Jumlah TTGT
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
n
: Jumlah telur cacing dalam kamar hitung
Vh : Volume kamar hitung (mL)
Vt : Volume total sampel (mL)
Bt
: Berat tinja (gram)
Metode Pengapungan Sederhana
Metode pengapungan sederhana dilakukan terhadap sampel yang dinyatakan
negatif pada metode McMaster, untuk memastikan keberadaan telur cacing. Sampel
feses yang telah ditambahkan larutan gula jenuh pada metode Mc Master dituang ke
dalam tabung reaksi sampai penuh dan terbentuk miniskus. Gelas penutup diletakan
pada ujung tabung reaksi dan didiamkan selama 10 menit, kemudian gelas penutup
diambil dan diletakkan pada gelas objek. Pengamatan dilakukan dibawah
mikroskop dengan pembesaran 100 kali (Cardillo et al. 2014).
Metode Modifikasi Filtrasi dan Sedimentasi
Metode modifikasi filtrasi dan sedimentasi dilakukan bertujuan untuk
mendeteksi adanya telur cacing trematoda dalam tinja. Sampel feses ditimbang
sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam gelas plastik, kemudian ditambahkan
aquades sebanyak 58 mL dan dihomogenkan dengan cara diaduk, setelah itu
disaring dengan saringan teh, penyaringan dilanjutkan lagi dengan saringan
bertingkat yang memiliki lubang berukuran 400 µm, 100 µm, dan 40 µm. Filtrat
dari saringan ketiga (40 µm) dituang ke dalam cawan petri. Filtrat yang diperoleh
dimasukkan ke dalam gelas Baemann, lalu ditambahkan aquades sampai penuh,
kemudian didiamkan selama 15 menit. Cairan bagian atas dibuang sehingga

10

menyisakan cairan yang berisi endapan. Proses sedimentasi ini diulangi sebanyak 3
kali sampai cairan jernih. Sisa cairan dalam gelas Baermann ditampung ke dalam
cawan petri, kemudian dilakukan pengamatan dan penghitungan dilakukan dibawah
mikroskop dengan pembesaran 100 kali.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji khi-kuadrat dan pendugaan nilai
risiko relatif untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko dengan kejadian
infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor. Data dianalisis
dengan menggunakan softwas SPSS versi19 (Dahlan 2001).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karateristik Responden
Karakteristik responden yang diamati meliputi umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, penghasilan dan pekerjaan (Tabel 3). Mayoritas responden memiliki
usia produktif yaitu antara usia 17 sampai 25 tahun dengan persentase sebesar
39.9%. Berdasarkan jenis kelamin responden sebagian besar adalah perempuan
(60.9%), dengan tingkat pendidikan sarjana (51.1%). Sementara jika dilihat pada
jenis pekerjaan menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah mahasiswa/pelajar
sebesar 28.8%, dengan rata-rata sumber pendapatan atau penghasilan 1 sampai 2
juta perbulan (36.2%).
Tabel 3 Karateristik responden pemiliki kucing peliharaan di Kota Bogor
Variabel yang Diamati
Umur
< 17 tahun
17 – 25 tahun
25 – 40 tahun
> 40 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
SD
SMP
SMA
Sarjana
Penghasilan
< 1 juta
1-2 juta
2-5 Juta
> 5 juta
Pekerjaan
Ibu rumah tangga
Pegawai negeri
Pegawai swasta
Wiraswasta
Mahasiswa/Pelajar

Frekuensi

Persentase (%)

15
97
45
86

6.2
39.9
18.5
35.4

74
169

30.5
69.5

5
12
70
91

2.1
4.9
28.8
51.1

48
88
72
27

19.8
36.2
29.6
11.1

46
23
44
59
70

18.9
9.5
18.1
24.3
28.8

11

Karakeristik Kucing Peliharaan
Karakteristik kucing peliharaan yang diamati meliputi ras/breed, jenis
kelamin dan umur kucing (Tabel 4). Kucing peliharaan di Kota Bogor mayoritas
kucing jenis persia (33.9%) dan didominasi kucing betina (52.7%), dengan rata-rata
usia antara 6 sampai 12 bulan (35.0%).
Tabel 4 Karateristik kucing peliharaan di Kota Bogor
Variabel yang Diamati
Ras/Breed
Domestik
Himalaya
Persia
Anggora
Maincoon
Mix
Jenis Kelamin
Jantan
Betina
Umur Kucing
< 6 bulan
6 – 12 bulan
12 – 18 bulan
18 – 42 bulan
>42 bulan

Frekuensi

Persentase (%)

51
6
82
45
1
57

21.1
2.5
33.9
18.6
0.4
23.5

115
128

47.3
52.7

61
85
28
57
11

25.1
35.0
11.5
23.5
4.5

Manajemen Pemeliharaan Kucing
Manajemen pemeliharaan kucing yang ada di Kota Bogor disajikan pada
Tabel 5. Adapun manajemen tersebut meliputi kucing dikandangkan, kandang
kucing dibersihkan, disediakan pasir/abu, kucing dimandikan, pemberian obat
cacing, pengulangan pemberian obat cacing, dan pakan campuran. Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pemilik kucing di Kota Bogor,
dalam memelihara kucing menyediakan kandang sebagai tempat tinggal kucing
yaitu sebesar 56%, dan menyediakan pasir/abu sebagai tempat defekasi kucing
sebesar 75%. Hampir seluruh pemilik kucing (97%) membersihkan kandang
kucing, hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas pemilik kucing dalam rangka
untuk menghindari adanya kontaminasi feses terhadap lingkungan rumah pemilik
kucing.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah aspek kebersihan dan kesehatan
kucing. Memandikan kucing merupakan bagian dari aspek kebersihan dan
kesehatan kucing. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kucing
dimandikan (94%). Disamping itu ada aspek lain yang perlu diperhatikan pada
manajemen pemeliharaan kucing yaitu mengenai pemberian obat anti cacing. Obat
anti cacing biasanya diberikan pada kucing umur 2 sampai 12 minggu. Persentase
pemberian obat anti cacing di Kota Bogor sebesar 63%, dan sebanyak 70% pemilik
kucing yang memberikan pengulangan obat anti cacing. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tidak semua pemilik kucing memberikan obat anti cacing pada kucing
peliharaannya, dan sebagian kecil pemilik kucing tidak melakukan pengulangan

12

obat anti cacing. Pengulangan tersebut bertujuan untuk menghindari adanya
kemungkinan larva yang masih tertinggal di dalam tubuh kucing.
Tabel 5 Manajemen pemeliharaan kucing
Variabel yang Diamati
Kucing Dikandangkan
Ya
Tidak
Kandang Kucing Dibersihkan
Ya
Tidak
Disediakan Pasir/Abu
Ya
Tidak
Kucing Dimandikan/Grooming
Ya
Tidak
Pengulangan Pemberian Obat Anti Cacing
Ya
Tidak
Pakan Campuran
Pakan komersial
Pakan komersial dengan ikan/daging
Mencuci Tangan Setelah Bermain dengan Kucing
Ya
Tidak
Frekuensi Respondenn Memotong Kuku
1 kali seminggu
2 kali seminggu
Lantai Rumah Dipel
Dipel menggunakan sabun/desinfektan
Dipel tidak menggunakan sabun/desinfektan

Frekuensi

Persentase (%)

137
106

56
44

133
4

97
3

179
60

75
25

228
15

94
6

101
44

70
30

74
44

63
37

223
10

96
4

155
88

64
36

172
62

74
26

Sebagian besar kucing peliharaan di Kota Bogor diberikan pakan komersial.
Hal tersebut dilihat dari persentase yang diperoleh sebesar 63%. Hal tersebut
kemungkinan berkaitan dengan kemudahan dalam penyajian pakan. Adapun aspek
lain yang perlu diperhatikan adalah kesadaran pemilik kucing untuk menjaga
kesehatan dirinya, variabel yang menjadi alat ukur dalam menilai yaitu mencuci
tangan setelah bermain dengan kucing, frekuensi pemilik kucing memotong kuku
dan lantai rumah dipel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pemilik
kucing (96%) di Kota Bogor mencuci tangan setelah bermain dengan kucing.
Sementara hasil penelitian menunjukkan 64% pada pemilik kucing memotong kuku
dan kebiasaan pemilik kucing dalam aktifitas membersihkan lantai rumah dengan
menggunakan sabun/desinfektan sudah dilakukan dengan baik sebesar 74%.
Persentase tersebut memberikan makna bahwa sebagian besar higiene dan sanitasi
pemilik di Kota Bogor sudah baik.

Infeksi Cacing pada Kucing
Hasil pemeriksaan dari 243 sampel feses kucing peliharaan di Kota Bogor
menunjukkan, 85 sampel positif Toxocara cati (Gambar 2) dan 45 sampel positif
hookworm (Gambar 3). Hasil penelitian ditemukan jenis cacing nematoda dan tidak

13

ditemukan cacing trematoda maupun cestoda, hal tersebut terlihat dari hasil
pemeriksaan sampel dengan menggunakan modifikasi filtrasi dan sedimentasi
menunjukkan hasil negatif. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh mayoritas pemilik
kucing di Kota Bogor tidak memberikan pakan campuran daging/ikan dalam bentuk
mentah yaitu sebesar 62.7% (dari total persentase pakan campuran 39.5%).
Telur T cati yang ditemukan berbentuk sub grobuler, berwarna kecoklatan
dan dikelilingi oleh lapisan albumin yang tebal. Ukuran telur cacing T cati 65
sampai 75 µ, dengan ukuran cacing dewasa pada cacing jantan 3 sampai 7 cm dan
cacing betina 4 sampai 12 cm. Telur infektif dikeluarkan bersama feses, feses yang
mengandung Toxocara spp, jatuh di tanah dengan temperatur 10 sampai 35ºC dan
kelembaban 85% serta kondisi yang optimal, maka dalam waktu 5 hari telur akan
berkembang menjadi telur infektif yang mengandung embrio (Bowman et al. 2002).

Gambar 2 Toxocara cati
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam
tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing
termasuk tipe strongyloid yaitu berdinding tipis, oval dan bila dikeluarkan dari
tubuh kucing memiliki 2 sampai 3 gelembung dalam stadium blastomer. Cacing
tambang pada kucing adalah cacing Ancylostoma tubaeforme, A. braziliense dan
Unicinaria stenocephala. Ukuran telur cacing A. tubaeforme 55 sampai 75 µ
dengan ukuran cacing dewasa pada cacing jantan 9.5 sampai 1.1 mm dan cacing
betina 12 sampai 15 mm. Ukuran telur cacing A. braziliense 75 sampai 95 µ dengan
ukuran cacing dewasa pada cacing jantan 6 sampai 8 mm dan cacing betina 7
sampai 10 mm, sedangkan ukuran telur cacing Unicinaria stenocephala 63 sampai
76 µ dengan ukuran cacing dewasa pada cacing jantan 5 sampai 8 mm dan cacing
betina 7 sampai 12 mm. Daur hidup cacing ini bersifat langsung tanpa hospes
antara. Satu sampai dua hari setelah telur dikeluarkan di dalam tinja, di tempat yang
lembab atau basah , telur akan menetas dan dikeluarkan larva stadium pertama
(larva rhabditiform). Setelah lebih kurang 1 minggu akan terbentuk larva infektif
(larva stadium filariform) yang siap menginfeksi hewan yang rentan (Gandahusada
2003).

14

Gambar 3 Hookworm
Kucing dapat terinfeksi oleh cacing rondworm (T cati) dan hookworm. Kedua
jenis ini berpotensi sebagai cacing zoonotik pada kucing. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kejadian infeksi untuk T cati sebesar 35% dengan
selang kepercayaan (SK95%: 30-40%), sedangkan prevalensi pada hookworm
diperoleh sebesar 18.5% (SK95%: 16-20.5%). Berdasarkan hasil perhitungan ratarata telur cacing tiap gram tinja (TTGT) pada penelitian ini yang disajikan pada
Tabel 6, menunjukkan bahwa derajat infeksi untuk T cati sebesar 253 TTGT
(SK95%: 219.9-286.1 TTGT) dan hookworm sebesar 136 TTGT (SK95%: 126.9141.1 TTGT). Hal tersebut menunjukkan bahwa derajat infeksi T cati dan
hookworm pada penelitiaan ini masih rendah. Satu cacing betina dewasa pada T cati
dapat menghasilkan 700 TTGT dan hookworm 250 TTGT. Derajat infeksi berat
pada T cati 15 000 TTGT sedangkan pada hookworm 20 000 TTGT (Subronto
2006).
Tabel 6 Prevalensi dan TTGT infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di
Kota Bogor
Telur cacing
Toxocara cati
hookworm

Jumlah
sampel
243
243

Jumlah
terinfeksi
85
45

Prevalensi (SK 95%)

TTGT (SK 95%)

35 (30-40)
18.5 (16.0-20.5)

253 (219.9-286.1)
136 (126.9-141.1)

Prevalensi T cati pada kucing peliharaan di Kota Bogor cukup tinggi yaitu
sebesar 35%. Adapun survei yang dilakukan di wilayah kampus IPB Darmaga
Bogor menunjukkan prevalensi 53% (Jabbir 2013). Hasil survei tersebut berasal
dari kucing liar. Sedangkan hasil survei yang dilakukan di wilayah Denpasar dapat
dibandingkan karena menggunkan sampel kucing peliharaan. Prevalensi T cati di
wilayah Denpasar menujukan hasil lebih rendah (32.5%) dibandingkan pada kucing
peliharaan di Kota Bogor (Nealma et al. 2013). Hal tersebut diduga adanya
perbedaan manajemen pemeliharaan dan kondisi lingkungan daerah penelitian.
Kota Bogor memiliki curah hujan 3 500 sampai 4 500 mm/tahun dengan
kelembaban 80% dan suhu optimum 21 sampai 31 oC (BPS 2013). Kondisi tersebut
merupakan kondisi ideal untuk perkembangan T cati di lingkungan. Gandahusada
et al. (2003), melaporkan bahwa tanah dengan kelembaban 80% dan suhu optimal ±
30 oC merupakan kondisi optimum dalam perkembangan telur cacing hingga
menjadi infektif.

15

T cati memiliki lapisan seperti cangkang yang sangat tahan terhadap kondisi
lingkungan yang ekstrim (Bowman et al. 2002). Kondisi ini menjadi penyebab
tingginya prevalensi T cati di berbagai wilayah, di Eropa prevalensi T cati antara 8
sampai 76%, di Amerika 10 sampai 85%, dan di Asia prevalensi T cati 20 sampai
65% (Sommerflelt et al. 2006; Barbabose et al. 2002; Luty 2001; Sadjjadi et al.
2001).
Prevalensi hookworm pada kucing peliharaan di Kota Bogor diperoleh hasil
sebesar 18.5%. Sementara dari hasil survei di wilayah kampus IPB Darmaga Bogor
menunjukkan kejadian hookworm sangat tinggi (72%) pada kucing liar (Jabbir
2013). Hasil tersebut memberikan bahwa kucing peliharaan di Kota Bogor cukup
tinggi terinfeksi hookworm. Hal tersebut diduga terjadi didasarkan pada
kemampuan hookworm untuk berkembangbiak pada kondisi lingkungan yang ideal.
Suhu optimum bagi perkembangan larva hookworm adalah 200C (Bowman et al.
2002). Hookworm juga dapat menginfeksi kucing di berbagai usia (Caparia et al.
2012). Sedangkan rute utama penularan hookworm adalah melalui penetrasi ke kulit
secara langsung oleh larva stadium ketiga (Bowman et al. 2002). Berdasarkan
survei menunjukkan tingkat kejadian hookworm di wilayah Jakarta dilaporkan
prevalensi sebesar 72% (Manalu 2006) dan di wilayah Kulon Progo, Yogyakarta
sebesar 42.9% (Haryanto 2012).

Hubungan Faktor Risiko terhadap Infeksi T cati
Faktor risiko yang diduga memiliki hubungan terhadap infeksi T cati pada
kucing peliharaan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa kucing jantan memiliki risiko terinfeksi T cati 1.5
kali (SK95%: 1.1-2.1 kali) dibandingkan pada kucing betina. Hal tersebut
memberikan makna bahwa adanya hubungan antara jenis kelamin jantan terhadap
tingkat kejadian infeksi T cati pada kucing. Kucing jantan diduga memiliki peluang
untuk keluar rumah lebih tinggi dibandingkan kucing betina, disebabkan karena
kucing jantan berusaha mencari kucing betina untuk kawin, sehingga kucing jantan
dapat terpapar dengan kucing liar yang terinfeksi T cati. Berbeda hal dengan umur
kucing, kucing dapat terinfeksi T cati pada semua tingkatan umur (Nealma et al.
2013).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat infeksi T cati pada kucing
adalah manajemen pemeliharaan kucing. Kucing yang tidak disediakan pasir
memiliki risiko terinfeksi T cati sebesar 1.5 kali (SK95%: 1.0-2.0 kali)
dibandingkan dengan kucing yang disediakan pasir. Hal tersebut diduga karena
kucing yang tidak disediakan pasir, akan melakukan defekasi disembarang tempat,
sehingga akan sulit menghindari penyebaran infeksi T cati di lingkungan rumah
dan mempermudah terjadi kontaminasi pada kucing. Kucing memiliki kebiasaan
defekasi satu kali sehari sehingga perlu disediakan pasir sebagai tempat defekasi
kucing. Feses merupakan sumber penularan toxocariasis pada kucing maupun pada
manusia, khususnya pemilik kucing, sehingga sangat penting menjaga kebersihan
pasir sebagai tempat defekasi (Manurung et al. 2012).
Menjaga kesehatan kucing merupakan hal yang terpenting, agar dapat
terhindar dari infeksi T cati, melalui pemberian anthelmintik (Palmer et al. 2007).
Pemberian anthelmintik atau obat anti cacing yang tepat memiliki pengaruh

16

terhadap tingkat kejadian toxocariasis pada kucing (Palmer et al. 2007). Kucing
yang tidak dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing memiliki risiko
terinfeksi T cati 1.8 kali (SK95%: 1.3-2.7 kali) dibandingkan yang dilakukan
pengulangan pemberian obat anti cacing. Hal tersebut diduga obat anti cacing yang
diberikan hanya membunuh cacing dewasa saja, akan tetapi tidak memberikan efek
terhadap larva yang bermigrasi, oleh karena itu, dianjurkan untuk dilakukan
pengulangan pemberian obat anti cacing.
Pengulangan pemberian obat anti cacing 2 sampai 4 minggu setelah
pengobatan terakhir. Pada saat pengobatan terakhir, kebanyakan larva masih
bermigrasi dan pada saat treatment dilakukan kedua kalinya diharapkan larva telah
sampai di usus dan dapat terbunuh oleh obat anti cacing (Palmer et al. 2007).
Benzimidazoles merupakan obat anti cacing yang efektif untuk membunuh larva T
cati pada kucing. Obat anti cacing lainnya adalah thiabendazole, ivermectin,
albendazole, mebendazole, thiabendazole, albendazole, dan mebendazole. Lalu
ditambahkan obat suportif seperti anti alergi dan antibiotika. Pemberian obat anti
cacing berdasarkan umur, yaitu dimulai dari umur 2 sampai 12 minggu dan
diberikan setiap dua minggu sekali. Sementara pada umur 12 minggu sampai 6
bulan diberikan setiap bulan sekali dan pada saat umur 6 bulan hingga seterusnya
diberikan setiap tiga bulan sekali (Palmer et al. 2007).
Tabel 7 Hubungan faktor risiko terhadap infeksi T cati
Variabel yang Diamati
Pendidikan
< SMA
> SMA
Penghasilan
< 3 juta perbulan
> 3 juta perbulan
Jenis Kelamin Kucing
Jantan
Betina
Umur Kucing
< 6 bulan
> 6 bulan
Membersihkan Kandang
Tidak dibersihkan
Dibersihkan
Disediakan Pasir