Kandungan Bahan Berbahaya Pada Kuliner Mie Aceh Dan Dampaknya Bagi Kesehatan Masyarakat Di Kota Blang Pidie

KANDUNGAN BAHAN BERBAHAYA PADA KULINER MIE ACEH DAN
DAMPAKNYA BAGI KESEHATAN MASYARAKAT DI KOTA BLANG PIDIE

YULIZAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kandungan Bahan Berbahaya
Pada Kuliner Mie Aceh dan Dampaknya Bagi Kesehatan Masyarakat di Kota
Blang Pidie adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

Yulizar
NIM: P052120401

RINGKASAN
Mie Aceh adalah Mie yang disajikan dengan bumbu khusus Aceh dan
bahan baku Mie basah. Mie Aceh sangat disukai oleh masyarakat Aceh. Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan analisis tirtrimetri, photometri dan kualitatif.
Masalah penggunakan air abu, boraks dan formalin pada Mie Aceh yang beredar
di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh perlu diteliti. Setelah dilakukan wawancara
dengan 10 responden produsen Mie di Kota Blang Pidie, ada tiga faktor yang
diidentifikasi penyebab produsen Mie menggunakan air abu dan formalin. Ketiga
faktor adalah faktor ekonomi, faktor pengetahuan dan faktor kebutuhan adonan.
Analisis laboratorium dilakukan untuk melihat kandungan air abu, boraks
dan formalin pada Mie Aceh. Hasil analisis air abu terhadap 25 sampel (100%)
Mie Aceh dengan indikator uji natrium karbonat menunjukan kandungan berkisar
antara 0.22 % b/b-0.27 % b/b. Hasil uji boraks terhadap 25 sampel Mie Aceh
(100%) menunjukkan hasil negatif. Hasil uji formalin terhadap 25 sampel (100%)
menunjukkan hasil positif (100%) dengan kandungan formalin masing-masing

sampel >4 mg/L.
Dengan demikian menunjukkan bahwa Mie Aceh yang beredar di Kota
Blang Pidie kurang aman untuk dikonsumsi juga berbahaya bagi kesehatan
masyarakat. Dampak kesehatan dikeluhkan oleh konsumen setelah konsumsi Mie
Aceh adalah hilangnya nafsu makan, sakit perut, perih tenggorokan, batuk dan
badan lemas. Penyebab paling penting dari dampak kesehatan yang timbul
disebabkan oleh kandungan kimia formalin. Kondisi sosial responden konsumen
Mie Aceh di Kota Blang Pidie didominasi oleh responden berpendidikan
menengah Atas dan perguruan Tinggi, pendapatan di bawah 1 juta, dengan
pekerjaan swasta tanpa tanggungan dan yang mengkonsumsi Mie Aceh 3-4 kali
atau lebih dari 4 kali dalam seminggu.

Kata kunci: air abu, boraks, formalin, Mie Aceh, Mie basah.

SUMMARY
Mie Aceh is the noodle that formulated with special spices and raw
materials wet noodle. Mie Aceh greatly favored by the Aceh’s peoples. This
research is conducted by using analysis of tirtrimetri, photometri and qualitative.
The issue of usingair abu, borax and formaldehyde of Mie Aceh which circulate at
Blang Pidie’s City in Aceh province been examined. After interview with 10

respondents noodle manufacture in Blang Pidie’s City, there were three factors
were identified that make them use air abu and formaldehyde.The three factors
were economics factor, knowledgefactor and the dough needs factor.
Laboratory analysis was done to see the content of air abu, borax and
formaldehyde in Mie Aceh. Theresults of the 25 samples (100%) containing air
abu with sodium carbonate test indicators ranges from 0.22% b/b - 0.27 %b/b,
borax test results of 25 samples of noodles (100%) showed a negative result.
Formalin test on 25 samples showed that positive test results (100%) of
formaldehyde content of each sample war >4 mg/L.
The results show that Mie Aceh circulating in Blang Pidie’ s City was less
safe for consumption and dangerous for public health. Health impacts complained
of by the consumer after Mie Aceh consumption were loss of appetite, abdominal
pain, itchy throat, cough and fatigue and the most important was health effects of
chemical content’s of formaldehyde. Social conditions of respondents Mie Aceh in
Blang Pidie’s City dominated by high-educated respondents, income below 1
million, with private jobs without dependents, who consume 3-4 Mie Aceh and
over 4 times a week.

Keywords: air abu, borax, formaldehyde, Mie Aceh, wet noodles.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KANDUNGAN BAHAN BERBAHAYA PADA KULINER MIE ACEH DAN
DAMPAKNYA BAGI KESEHATAN MASYARAKAT DI KOTA BLANG PIDIE

YULIZAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
2
2
2
3


TINJAUAN PUSTAKA
Mie Basah
Air Abu
Natrium Kabonat
Boraks
Formalin
Pengaruh Formalin Terhadap Kesehatan

4
4
5
6
7
8
10

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Alat dan Bahan

Analisis Data

10
10
11
11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Air abu
Kandungan Boraks
Kandungan Formalin
Faktor Penyebab Penggunaan Air abu dan Formalin
Faktor Ekonomi
Faktor Pengetahuan
Faktor Kebutuhan dari Adonan
Kaitan Masyarakat Terpapar Dengan Kesehatan

13
13
15

16
17
18
19
20
21

KESIMPULAN
Kesimpulan
Saran

26
26
26

DAFTAR PUSTAKA

27

RIWAYAT HIDUP


31

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Hasil Uji Kadar Air Abu, boraks dan Formalin
Hasil identifikasi faktor penyebab penggunaan air abu dan formalin
Strata Pendidikan responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie
Strata Pendapatan Responden yang Mie Aceh di Kota Blang Pidie
Strata Pekerjaan responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie
Tanggungan Keluarga responden Mie Aceh di Kota Blang Pidie
Frekuensi responden mengkonsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie


14
18
22
22
22
23
23

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran
2 Fisik Mie Basah
3 Fisik Boraks
4 Peta Kota Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya
5 Skema metode kerja uji Kualitatif
6 Merek Jual Formalin
6 Grafik penyakit yang diderita konsumen sebelum dan sesudah konsumsi
Mie Aceh Kota Blang Pidie
8 Jaringan Hirarki Penentuan penyebab utama dari dampak kesehatan yang
ditimbulkan
9 Efek penyakit paling penting setelah konsumsi Mie dan alternatif

kimia berbahaya penyebabnya

3
5
7
11
12
17
24
25
25

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Tabel Frekuensi
Tabel Grafik Penyakit sebelum Konsumsi Mie Aceh
Kuesioner Analisis Hirarki Proses
Kuesioner dan Panduan Wawancara
Surat Izin Penelitian Dari Kecamatan Blang Pidie
Hasil Uji Formalin
Hasil Uji Natrium karbonat dan Boraks

31
32
34
44
48
49
51

1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan makanan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi tingkat kesehatan
dan kecerdasan seseorang. Sehingga makanan haruslah sehat, aman serta
harusmengandung gizi lengkap. Bahan makanan dikatakan aman apabila tidak
mengandung komponen fisik, kimia dan mikrobiologi yang berbahaya. Rinto et al
(2009) menyebutkan bahwa secara fisik pangan yang aman adalah bahan pangan
yang bersih dari logam dan bahan yang secara kimiawi dapat berasal dari zat-zat
berbahaya yang tidak boleh digunakan dalam bahan pangan. Bahan tambahan
pangan diantaranya adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma, pengawet dan
pengental (Siaka 2009). Faisal (2002) menyatakan bahwa pangan yang tidak aman
dapat menyebabkan penyakit (food borne diseases), gejala penyakit yang timbul
akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun dan
atau organisme patogen maupun bahan yang dapat mengganggu pencernaan
manusia. Pengawet yang banyak dibicarakan dikalangan masyarakat adalah
penggunaan formalin sebagai pengawet bahan makanan Elmatris (2008). Selain
keberadaan formalin, juga ada boraks dan air abu yang dijadikan sebagai Bahan
Tambahan Pangan (BTP). Air abu atau air alkali atau eye water atau garam alkali
merupakan salah satu bahan tambahan yang sering dipakai dalam pembuatan Mie,
ketupat, lontong dan bakcang. Air abu ini akan membuat tekstur menjadi kenyal
yang bentuk dan warnanya persis seperti air biasa dan banyak dijual ditempat
penjualan bahan kue dan PasarTradisional.
Pasal 1 ayat 4 Undang-undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
menyatakan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
BPOM RI (2006) menyatakan bahwa walaupun tidak bisa dipastikan berapa
persen dari masyarakat Indonesia yang mengerti dan sadar tentang keamanan
pangan, tetapi jumlah orang yang tidak mengerti atau sadar tentang perlunya
keamanan pangan lebih banyak.Sejumlah produsen Mie basah dan bakso di
Bantul, banyak menggunakan formalin atau boraks yang telah menjadi semacam
keharusan dan dengan penggunaan dosis yang melebihi batas (Cahyadi 2008).
Laporan BPOM tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 29 sampel Mie basah yang
dijual di pasar dan supermarket di Jawa Barat ditemukan 2 sampel (6,9 persen)
mengandung boraks, 1 sampel (3,45 persen) mengandung formalin, sedangkan 22
sampel (75,8 persen) mengandung formalin dan boraks. Hanya empat sampel
yang dinyatakan aman dari formalin dan borak (Astrawan 2005).
Mie Aceh merupakan salah satu produk yang disukai oleh semua kalangan
masyarakat, bukan saja hanya masyarakat Aceh tetapi juga masyarakat luar Aceh.
Mie Aceh menggunakan bahan utama Mie basah namun diolah dengan bumbu
khusus Kuliner Aceh. Sama dengan Mie basah di daerah lain, Mie Aceh juga
menjadi sasaran penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang berbahaya.
Makanan yang mengandung formalin dan bahan kimia berbahaya lainnya
ditemukan pada makanan yang beredar bebas di Provinsi Aceh. Hasil penelitian
Yulizar (2011) menyebutkan bahwa 32 sampel Mie Aceh yang di ambil di Pasar

2
Gampoeng Baroe dan diuji formalin di laboratorium menunjukkan semua positif
menggunakan formalin dengan kadar di atas 1,5 mg/liter.
Melihat kondisi di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut terkait
adanya dugaan penggunaan air abu, boraks dan formalin pada Mie Aceh di Kota
Blang Pidie Provinsi Aceh dan menganalisis pengaruhnya terhadap kesehatan
masyarakat. Persoalan penggunaan BTP pada sebagian makanan berhubungan
erat dengan persoalan lingkungan sosial yang perlu diteliti lebih lanjut. Kota
Blang Pidie Provinsi Aceh adalah kota perdagangan yang besar di sepanjang
pantai Barat Selatan Aceh selain Meulaboeh. Masyarakat setempat adalah
pengkomsumsi Mie Aceh dan keberadaan produsen mie serta banyaknya warung
Mie Aceh menjadi alasan utama untuk dilakukan kajian secara mendalam
kandungan bahan berbahayapada kuliner Mie Aceh dan dampaknya bagi
kesehatan masyarakat di Kota Blang Pidie.

Perumusan Masalah
Pada penelitian ini penulis ingin mengkaji mengenai isu adanya penggunaan
air abu, boraks dan formalin pada kuliner Mie Aceh dan bagaimana dampaknya
bagi kesehatan, adapun masalah penelitian sebagai berikut;
a. Apakah kuliner Mie Aceh yang beredar dikota Blang Pidie Provinsi Aceh
mengandung BTP air abu, boraks dan formalin dan berapa kadar
kandungannya?
b. Faktor yang menyebabkan produsen Mie basah dan pedagang Mie Aceh di
Kota Blang Pidie Provinsi Aceh menggunakan BTP air abu, boraks dan
formalin?
c. Apakah ada kaitan secara umum antara masyarakat terpapar dengan
kesehatan?
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengindentifikasi ada tidaknya penggunaan BTP air abu, boraks,
formalin pada kuliner Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie
Provinsi Aceh dan mengetahui kadar air abu, boraks dan formalin.
2. Mengindentifikasi faktor yang menyebabkan produsen Mie Aceh
menggunakan air abu, boraks dan formalin
3. Melihat kaitan secara umum antara masyarakat terpapar (pengkonsumsi)
dengan kesehatan masyarakat.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat menjadi informasi bahwa ada dan tidaknya kandungan
air abu, boraks, formalin pada Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie Aceh
Barat Daya sehingga bisa diketahui pengaruhnya terhadap kesehatan juga
bermanfaat agar masyarakat menghindari penggunaan bahan berbahaya untuk
makanan.

3

Ruang Lingkup Penelitian
Aspek yang ditinjau dalam penelitian ini adalah aspek sosial yang meliputi
prilaku produsen Mie basah, budaya kuliner, zat berbahaya yang dijadikan BTP
serta kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Konsumen sebagai penikmat perlu
diketahui pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat. Aspek toksikologi
kesehatan lingkungan pada air abu, boraks dan formalin juga sangat penting untuk
dikaji, sehingga bisa diketahui seberapa efek terhadap masyarakat yang
mengkonsumsi, mengingat bahwa Mie Aceh adalah salah satu makanan kesukaan
masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

4

TINJAUAN PUSTAKA
Mie Basah
Mie merupakan jenis makanan yang diperkirakan berasal dari Cina. Hal
ini dapat dilihat dari budaya bangsa Cina, yang selalu menyajikan Mie pada
perayaan ulang tahun sebagai simbol untuk umur yang panjang. Dalam
perkembangannya, Mie merupakan produk yang sangat dikenal di berbagai
belahan dunia. Di Indonesia, Mie bahkan telah menjadi pangan alternatif utama
setelah nasi (Munarso dan Haeryanto 2007). Mie basah (fresh noodle atau wet
noodle) merupakan salah satu jenis Mie yang sudah dikenal luas dan menjadi
makanan yang disukai masyarakat di Indonesia. Industri Mie basah tersebar luas
di banyak wilayah di Indonesia dan kebanyakan diproduksi oleh industri rumah
tangga, dan industri kecil/ menengah. Mie basah dijual dalam bentuk segar baik
dalam keadaan terkemas, baik di pasar tradisional maupun supermarket. Mie
basah juga dijual dalam bentuk olahan oleh pedagang makanan, seperti soto Mie,
toge goreng, Mie ayam, Mie Aceh dsb, selain dapat juga diolah menjadi aneka
makanan di tingkat rumah tangga (BPOM 2006).
Mie basah memiliki kadar air cukup tinggi (+ 60%) sehingga daya
simpannya tidak lama. Apabila proses pembuatannya baik maka pada musim
panas Mie basah dapat disimpan selama 36 jam, sedangkan pada musim
penghujan hanya dapat bertahan selama 20-22 jam (Anonimous 2007 ).
Sedangkan menurut BPOM (2006), Mie dalam kondisi tidak ada penambahan
bahan pengawet umumnya memiliki umur simpan yang relatif pendek, yaitu
berkisar antara 1-2 hari bila disimpan pada suhu ruang. Pendeknya umur simpan
ini disebabkan Mie basah memiliki kadar air dan aktivitas air yang tinggi sehingga
mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme. Kerusakan Mie basah disebabkan oleh
pertumbuhan mikroba. Istilah umum yang sering digunakan produsen atau
konsumen tentang kerusakan Mie basah adalah Mie menjadi basi.
Nilai gizi Mie pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena selain
karbohidrat terdapat pula sedikit protein yang disebut gluten. Menurut Munarso
dan Heryanto (2007), Mie basah adalah jenis Mie yang mengalami proses
perebusan setelah tahap pemotongan. Biasanya Mie basah dipasarkan dalam
keadaan segar. Kadar air mie basah dapat mencapai 52% dan karenanya daya
simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Proses perebusan dapat
menyebabkan enzim polifenol-oksidase terdenaturasi, sehingga Mie basah tidak
mengalami perubahan warna selama distribusi.
Di Cina, Mie basah biasa dibuat dari terigu jenis lunak dan ditambahkan
Kan-sui. Kan-sui adalah larutan alkali yang tersusun oleh garam natrium dan
kalium karbonat. Larutan ini digunakan untuk menggantikan fungsi natrium
klorida dalam formula. Garam karbonat ini membuat adonan bersifat alkali yang
menghasilkan Mie yang kuat dengan warna kuning yang cerah. Warna tersebut
muncul akibat adanya pigmen flavonoid yang berwarna kuning pada keadaan
alkali.

5

Gambar 2 Fisik Mie basah (Yulizar 2011)

Mie basah rawan terhadap penambahan formalin dan boraks. Zat kimia ini
dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Sayangnya, kandungan formalin dan
boraks hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan laboratorium. Mie pertama kali
dibuat dan berkembang di Cina. Teknologi pembuatan Mie disebarkan oleh
Marcopolo ke Italia, hingga ke seluruh daratan Eropa. Kini Mie populer di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia. Mie yang beredar di Indonesia terdiri dari empat
jenis yaitu Mie mentah, Mie basah, Mie kering, dan Mie instan. Keempat jenis
Mie tersebut mempunyai pasar sendiri-sendiri yang jumlah permintaannya
meningkat dari waktu ke waktu (Alghifary 2009).

Air Abu
Air abu atau air alkali atau iye water atau garam alkali atau disebut juga
natrium karbonat merupakan salah satu bahan tambahan yang sering dipakai
dalam pembuatan Mie, ketupat, lontong dan bakcang. Air abu ini akan membuat
tekstur menjadi kenyal. Bentuk dan warna air abu persis seperti air biasa dan
banyak dijual di toko bahan kue dan pasar tradisional. Diah (2013) menyebutkan
bahwa air abu bisa digunakan sebagai pewarna masakan alami dan pengenyal
makanan. Air abu yang biasa digunakan adalah natrium karbonat atau sodium
Carbonate (soda Ash), sodium ini digunakan untuk meningkatkan kemampuan
Mie untuk mengikat air abu adalah unsur-unsur mineral zat organik, merupakan
sisa yang tertinggal setelah contoh dibakar sampai bebas karbon dan air.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam-macam bahan
dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan.
Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdiri dari dua macam, yaitu :
a. Garam-garam organik (asam malat, oksalat, asetat)
b. Garam-garam anorganik (phospat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat, dan
logam alkali).
Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk
sebagai senyawa yang kompleks bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah
mineralnya dalam bentuk aslinya itu sangat sulit. Oleh karena itu dilakukan
dengan menentukan sisa pembakaran garam mineral tersebut dengan cara
pengabuan. Air abu yang beredar di Kota Blang Pidie adalah air abu produksi
Medan dengan komposisi Natrium karbonat 22.62 % b/b. Mie basah sebagai
bahan baku Mie Aceh juga dibuat dengan menggunakan air abu untuk membuat

6
lembut lentur dan kenyal. Sodium tri poliphospat (STPP) berfungsi sebagai
pengemulsi sehingga akan dihasilkan adonan yang lebih homogen (rata). Menurut
Guna (2011), sodium carbonate yang sering disebut dengan Soda kie, pengenyal
karena sifatnya yang dapat mempengaruhi terbentuknya gluten pada Mie,
sehingga sangat berpengaruh terhadap tekstur Mie yang dihasilkan, dimana
tekstur Mie akan menjadi lebih liat. Selain itu STPP juga dapat mengikat air
sehingga dapat menurunkan aktivitas air sehingga kerusakan karena factor
mikroba dapat dicegah, penggunaan bahan ini sebesar 0,25 % dari jumlah adonan.

Natrium Karbonat

Natrium karbonat (Na2CO3) adalah bahan lunak yang larut dalam air dingin
dan kelarutan dalam air kira-kira 30% berat larutan, dalam industri kimia di kenal
dengan “soda ash”. Di negara Eropa dan beberapa kota distrik di USA istilah soda
mengacu pada monohidrat (Na2CO3H2O) yang digunakan untuk kebutuhan rumah
tangga, tapi komoditi monohidrat (Na2CO3H2O) jumlahnya relatif kecil di
bandingkan dengan bentuk anhidrat, karena natrium karbonat larut dalam air.
(Toch 2012). SIKerNas Pusat Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI pada
tahun 2012, menyebutkan bahwa natrium karbonat berbentuk padat, serbuk, atau
kristal serbuk dan granul, berwarna putih dan tidak berbau; berat molekul 105,99;
titik lebur 1563,8ºF (851ºC ); berat jenis 2,532 (air = 1). Kelarutan = 45,5 g/100
mL air @ 100oC (212 oF); larut dalam air panas dan gliserol, larut sebagian
dalam air dingin, tidak larut dalam aseton dan alcohol.
Natrium karbonat biasa digunakan sebagai buffer, reagen laboratorium, resin
penukar ion regenerasi, manufaktur deterjen dan kaca. Dalam beberapa kondisi
natrium karbonat memiliki dampak bahaya terhadap kesehatan manusia. Menurut
Material Safety Data Sheet (MSDS), natrium karbonat dapat menyebabkan
bahaya seperti efek kesehatan akut: Berbahaya jika terjadi kontak kulit (iritan),
kontak mata (iritan), tertelan, inhalasi (iritasi paru-paru). Potensi Efek Kesehatan
kronis: Sedikit berbahaya jika terjadi kontak kulit. Substansi mungkin beracun ke
saluran pernapasan bagian atas, kulit, mata. Paparan berulang atau
berkepanjangan untuk zat dapat menghasilkan kerusakan target organ. Natrium
karbonat diproduksi dengan proses Solvay pada 1861, industri kimia Belgia
Ernest Solvay mengembangkan metode untuk mengkonversi natrium klorida
untuk natrium karbonat menggunakan amonia (Imafa 2008). Namun demikian
Pemerintah RI melului Kementrian Kesehatan telah mengatur penggunaan
natrium karbonat untuk pangan dengan dikeluarkan Permenkes No. 033 Tahun
2012 dan selanjutnya di atur dalam Peraturan Ka.BPOM RI no 8 Tahun 2013
bahwa ambang batas natrium karbonat pada pangan adalah 2600mg/kg atau 0.26
gr/100 gram.

Boraks
Boraks merupakan senyawa kimia yang mengandung unsur Boron (B).
Boraks merupakan kristal lunak tidak berwarna, terjadi dalam suatu deposit hasil

7
proses penguapan hot spring (pancuran air panas) atau danau garam. Boraks
termasuk kelompok mineral borat, suatu jenis senyawa kimia alami yang
terbentuk dari Boron (B) dan oksigen (O2). Beberapa jenis boraks jarang ditemui
pada pangan dan terjadi pada daerah tertentu saja, sebaliknya beberapa
diantaranya, misalnya boraks,
kernite (Na2B4O74H2O) dan colemanite
(Ca2B6O11.5H2O) secara komersil ditambang untuk pembuatan boraks, asam
borat serta berbagai garam boron sintesis (Winarno dan Tati1993). Boraks berupa
hablur transparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih dan tidak berbau, bila
difenoftalen larutannya menjadi basa. Hablur sering dilapisi serbuk warna putih.
Larut dalam 20 bagian air, 0,6 bagian air mendidih dan 1 bagian gliserol, praktis
tidak larut dalam etanol (Reynold,1982; FI 4 1995; FI31979).

Gambar 3 Fisik Boraks
Penggunaan Boraks pada Mie Aceh mungkin saja ada, seperti yang
dikatakan Mudjajanti dan Yulianti (2004) bahwa orang dewasa dapat meninggal
dunia apabila mengkonsumsi asam borat sebanyak 15-25 gr, sedangkan anak-anak
5-6 gr. Gejala awal keracunan boraks setelah dikonsumsi bisa berlangsung
beberapa jam atau seminggu. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai
dengan sakit perut sebelah atas, muntah, mencret, sakit kepala, penyakit kulit
berat, sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah, tidak nafsu makan, dehidrasi,
koma dan jika berlangsung terus menerus akanmengakibatkan kematian.
Penggunaan boraks pada Mie Aceh tidak terlepas dari prilaku produsen Mie.
Menurut Notoatmodjo (2007), dalam proses pembentukan atau perubahan,
perilaku manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan
luar individu itu sendiri.
Menurut Sugiyatmi (2006), mengkomsumsi makanan yang mengandung
boraks tidak langsung berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi senyawa tersebut
diserap dalam tubuh secara akumulatif dalam hati, otak dan testis. Dosis yang
cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah,
mencret dan kram perut. Pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam tubuhnya
sebanyak 5 gram dapat menyebabkan kematian. Sedangkan untuk orang dewasa
kematian terjadi pada dosis 10-20 gram. Sedangkan menurut Tanu (1987),
kandungan boraks dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa dengan dosis 1520 gram dan pada anak-anak dengan dosis 5-6 gram. Penggunaan boraks pada
makanan mempunyai dampak masing-masing terhadap produsen maupun
konsumen. Dari sudut pandang produsen dengan menggunakan boraks pada

8
produk makanan akan menghasilkan tekstur makanan yang lebih baik dan tahan
lebih lama sehingga pada ujungnya akan memberikan keuntungan dari segi
ekonomi terhadap pedagang. Walgito (2002), menyebutkan pengaruh boraks
terhadap konsumen dapat membahayakan kesehatan baik dalam jangka waktu
panjang maupun dalam jangka pendek. Bahan-bahan ini dapat terakumulasi pada
tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang
menyebabkan penyakit-penyakit seperti antara lain kanker dan tumor pada organ
tubuh manusia. Belakangan juga terungkap bahwa efek samping makanan tertentu
ternyata dapat mempengaruhi fungsi otak termasuk gangguan perilaku pada anak
sekolah, gangguan perilaku tersebut meliputi gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, gangguan emosi, hiperaktif dan memperberat gejala pada penderita
autis.
Formalin
Formalin atau formaldehid merupakan bahan makanan tambahan kimia
yang efisien, tetapi dilarang ditambahkan pada bahan pangan (makanan), tetapi
ada kemungkinan formaldehid digunakan dalam pengawetan susu, tahu, Mie, ikan
asin, ikan basah, dan produk pangan lainnya. Formalin biasanya diperdagangkan
di pasaran dengan nama berbeda-beda (Harmoni 2006). Larutan formaldehid atau
larutan formalin mempunyai nama dagang formalin, formol, atau mikrobisida
dengan rumus molekul CH2O mengandung kira-kira 37% gas formaldehid dalam
air. Biasanya ditambahkan 10-15% metanol untuk menghindari polimerisasi. Pada
umumnya, metanol atau unsur-unsur lain ditambahkan kedalam larutan sebagai
alat penstabil untuk mengurangi polimerisasi formaldehid, dalam bentuk padat,
formaldehid dijual sebagai trioxane [(CH2O)3] dan polimernya paraformaldehid,
dengan 8-100 unit formaldehid (WHO 2002). Nama lain formalin adalah Formol,
Methylenealdehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethyleneglycols,
Methanal, Formoform, Superlysoform, Formic aldehyde, Formalith,
Tetraoxymethylene, Methyl oxide, Karsan, Trioxane, Oxymethylene, Methylene
glycol (Judarwanto 2006).
Larutan ini sangat kuat dan dikenal dengan formalin 100% yang
mengandung 40 gram formaldehid dalam 100 ml pelarut (Cahyadi 2008).
Formaldehid murni tidaklah tersedia secara komersial, tetapi dijual dalam 30-50%
(b/b) larutan mengandung air. Formalin (37% CH2O) adalah larutan yang paling
umum. Formalin sebenarnya sudah dilarang sejak tahun 1982 dan kemudian
diperkuat dengan Undang-Undang No. 7/1996 tentang Perlindungan Pangan.
Beberapa petunjuk tentang ciri-ciri makanan yang terindikasi diberi formalin,
seperti pada Mie basah adalah : tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar dan
bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es, bau agak menyengat, tidak
lengket dan mie lebih mengkilap dibandingkan mie normal, teksturnya sangat
kenyal (Yulizar 2011).
Menurut Cahyadi (2008), formaldehid digunakan sebagai obat pembasmi
hama untuk membunuh bakteri, jamur, dan benalu yang efektif dalam konsentrasi
tinggi, ganggang, amuba (binatang bersel satu), dan organisme uniseluler lain,
relatif sensitif terhadap formaldehid dengan konsentrasi yang mematikan berkisar

9
antar 0,3-22 mg/liter. Hewan vertebrata air menunjukkan respon dengan cakupan
yang luas. Beberapa binatang berkulit keras adalah yang paling sensitif dengan
nilai konsentrasi efektif menengah berkisar antara 0,4-20 mg/liter. Zat yang
sebetulnya banyak memiliki nama lain berdasarkan senyawa campurannya ini
memiliki senyawa CH2OH yang reaktif dan mudah mengikat air. Bila zat ini
sudah bercampur dengan air barulah dia disebut formalin. Pengawet ini memiliki
unsur aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika
disiramkan ke makanan seperti tahu, formalin akan mengikat unsur protein mulai
dari bagian permukaan tahu hingga terus meresap kebagian dalamnya. Dengan
matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin makabila ditekan tahu
terasa lebih kenyal. Selain itu protein yang telah mati tidak akan diserang bakteri
pembusuk yang menghasilkan senyawa asam, Itulah sebabnya tahu atau makanan
lainnya menjadi lebih awet (Hasyim 2006).
Hasyim (2006) juga menyebutkan bahwa Formaldehida membunuh bakteri
dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air), sehingga sel
bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di permukaan. Artinya, formalin
tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan baru yang
melindungi lapisan di bawahnya, supaya tahan terhadap serangan bakteri lain.
Bila desinfektan lainnya mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara
membunuh dan tidak bereaksi dengan bahan yang dilindungi, maka formaldehida
akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk
melindungi dari serangan berikutnya. Melihat sifatnya, formalin juga sudah tentu
akan menyerang protein yang banyak terdapat di dalam tubuh manusia seperti
pada lambung, terlebih bila formalin yang masuk ke tubuh itu memiliki dosis
tinggi.
Sifat antimikrobal dari formaldehid merupakan hasil dari kemampuan
menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan amino bebas dalam
protein menjadi pencampur lain. Kemampuan dari formaldehid meningkat dengan
peningkatan suhu. Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid
bereaksi dengan protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein,
protein mengerasdan tidak dapat larut. Formaldehid mungkin berkombinasi
dengan asam amino bebas dari protein pada sel protoplasma, merusak nucleus,
dan mengkougulasi protein (Cahyadi 2008).
Pengaruh Formalin Terhadap Kesehatan
Karakteristik risiko yang membahayakan bagi kesehatan manusia yang
berhubungan dengan formaldehid adalah berdasarkan konsentrasi dari substansi
formaldehid yang terdapat di udara dan juga dalam produk-produk pangan.
Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika
kandungannya dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir
semua zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian
sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh. Selain itu, kandungan formalin
yang tinggi dalam tubuh juga menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat
karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat mutagen (menyebabkan
perubahan fungsi sel/jaringan), serta orang yang mengkonsumsinya akan muntah,
diare bercampur darah, kencing bercampur darah, dan kematian yang disebabkan
adanya kegagalan peredaran darah. Formalin bisa menguap di udara, berupa gas

10
yang tidak bewarna, dengan bau yang tajam menyesakkan sehingga merangsang
hidung, tenggorokan dan mata (Cahyadi 2008). Menurut Syukur (2006) dalam
Hasyim (2006), pengaruh formalin terhadap kesehatan antara lain jika terhirup
rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit
kepala, kanker paru-paru, akan terjadi mual, muntah, perut perih, diare, sakit
kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru,
hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian.
Pemerintah RI telah melarang penggunaan formalin pada pangan dengan
dikeluarkan Permenkes no 033 tahun 2012 karena sangat berbahaya bagi
kesehatan, namun dalam International Programme on Chemical Safety (IPCS)
disebutkan bahwa batas toleransi formaldehida dapat diterima tubuh dalam bentuk
air minum adalah 0,1 mg per liter atau dalam satu hari asupan yang diperbolehkan
adalah 0.2 mg. Sementara formalin yang boleh masuk ke tubuh dalam bentuk
makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg sampai 14 mg per hari. Hampir
semua jaringan di tubuh mempunyai kemampuan untuk memecah dan
memetabolisme formaldehida. Salah satunya membentuk asam format dan
dikeluarkan melalui urine. Formaldehida dapat dikeluarkan sebagai CO2 dari
dalam tubuh. Tubuh juga diperkirakan bisa memetabolisme formaldehida bereaksi
dengan DNA atau protein untuk membentuk molekul yang lebih besar sebagai
bahan tambahan DNA atau protein tubuh. Formaldehida tidak disimpan dalam
jaringan lemak. NIOSH menyatakan formaldehida berbahaya bagi kesehatan pada
kadar 20 ppm, dalam MSDS, formaldehida dicurigai bersifat kanker (Hasyim
2006).

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2014, lokasi penelitiannya
dilaksanakan di Kota Blang Pidie, Provinsi Aceh. Kota Blang Pidie ini adalah
kota perdagangan terbesar kedua setelah Meulaboh Aceh Barat disepanjang
wilayah pesisir Barat Selatan Aceh. Di Kota Blang Pidie banyak terdapat warung
Mie Aceh dan produsen Mie basah, untuk analisis formalin dilakukan di
laboratorium Kesehatan Daerah Aceh dan uji air abu dan boraks dilakukan di
Balai Riset Dan Standarisasi Industri Medan.

11

Gambar 4 Peta Kota Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya
Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan peralatan dalam bentuk perangkat keras
(hardware), seperti lebar kuesioner, kamera, rekorder, gunting, fhotometer,
Selang Aspirator, Pompa peristaltik, buret, labu, pipet volume, larutan standar,
indikator dan ingkubator. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk
data dan contoh Mie Aceh yang diperlukan untuk analisis.

Analisis Data
a. Analisis kandungan air abu, boraks dan formalin
Air Abu
Pengambilan keseluruhan sampel bahan Mie Aceh dilakukan di 10
produsen Mie dan 15 sampel Mie dari warung-warung Mie Aceh yang berada di
Kota Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Aceh. Setelah itu sampel
dibawa ke laboratorium Balai Riset dan standarisasi Industri Medan. Sampel
ditimbang kemudian dianalisis dengan metode analisa titrimetri atau analisa
volumetrik adalah analisis kuantitatif dengan mereaksikan suatu zat yang difiltrasi
dengan larutan baku HCL yang telah diketahui konsentrasinya 0.01 normal,
dilakukan pengenceran dengan aquades lalu ditambahkan indikator, dari
pemakaian standar yang digunakan beberapa millimeter.

Boraks
Kandungan boraks dilakukan dengan metode kualitatif dilakukan dengan
proses pembakaran sampel hingga menjadi abu dengan api biasa. Sampel diambil
sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin dipijarkan dalam tanur
pada suhu 800°C selama 3 jam. Sisa pemijaran ditambahkan 1-2 tetes asam sulfat
pekat dan 5-6 tetes metanol, kemudian dibakar. Bila timbul nyala hijau maka
menandakan adanya senyawa boron sebagai metal boraks (Roth 1988).

12

Gambar 5 Skema metode kerja uji Kualitatif(Maria Tumbel 2010)

Formalin
Mengindentifikasi kadar formalin pada 10 sampel Mie dari produsen Mie
dan 15 dari warung Mie di Kota Blang Pidie, kemudian dianalisis dengan metode
fotometri di Laboratorium Kesehatan Daerah Aceh dengan cara pengamatan
langsung pada sampel.
b. Analisis faktor penyebab penggunaan air abu, boraks dan formalin oleh
produsen
Untuk mengindentifikasi penyebab produsen menggunakan air abu, boraks
dan formalin dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis data yang
dikumpulkan melalui wawancara dan observasiter hadap 10 orang responden
produsen mie yang ada di Kota Blang Blang Pidie. Data yang terkumpul
dilakukan analisis secara deskriptif.
c. Kaitan Masyarakat Terpapar dengan Kesehatan
Data yang diperoleh dari wawancara terhadap 35 responden konsumen
Mie Aceh kemudian dianalisis untuk melihat kondisi sosial responden
pengkonsumsi Mie Aceh dengan SPSS, setelah itu dilakukan perbandingan
perubahan kondisi kesehatan sebelum dan sesudah konsumsi. Penyebab
perubahan kondisi responden dianalisis dengan Analisis Hirarki Proses (AHP)
dengan 3 orang responden pakar untuk menentukan komponen utama yang
menyebabkan kesehatan konsumen menurun.

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Air abu
Hasil uji air abu (Tabel 2), menunjukkan bahwa ke 25 sampel mie yang
di uji semua positif mengandung air abu dengan parameter uji natrium karbonat
dengan nilai berkisar antara 0.22 % b/b sampai dengan 0.27 % b/b. Dari 25
sampel yang diuji, 3 sampel (12 %) mengandung natrium karbonat dengan
kandungan 0.22 % b/b, 10 sampel ( 40 %) mengandung 0.23 % b/b, 7 sampel
( 28 %) mengandung 0.24 %b/b, 2 sampel ( 8 %) mengandung 0.25 %b/b dan 3
sampel ( 12 %) mengandung natrium karbonat 0.25 % b/b.
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) No.033
tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Makanan menyebutkan bahwa natrium
karbonat diperbolehkan untuk ditambahkan pada pangan, namun ditentukan
ambang batas maksimum dalam Peraturan Kepala BPOM RI nomor 8 Tahun
2013 adalah 2600 mg/kg atau 0.26 gr/100 gr. Hasil uji natrium karbonat dalam
Mie di Kota Blang Pidie dari 25 sampel yang diuji, 22 sampel (88 %) memiliki
kandungan natrium karbonat 0.22 gr/100 gr s/d 0.25 gr/100 gr, kandungan
sejumlah ini berada diambang bahaya karena sangat mendekati ambang batas
yang ditetapkan yaitu 0.26 gr/100 gr, 3 sampel (12 %) mengandung natrium
karbonat 0.27 gr/100 gr melebihi ambang batas yang ditetap 0.26 gr/100 gr berarti
ini berbahaya untuk kesehatan masyarakat jika dikonsumsi terus menerus.
SIKerNas Pusat Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI pada tahun 2012
menyebutkan bahwa jika tertelan dalam jumlah banyak natrium karbonat atau
tertelan melebihi ambang batas secara berturut-turutdapat mengakibatkan korosif
pada saluran pencernaan dengan gejala nyeri perut, muntah, diare, kolaps dan
keluhan pada saluran gastrointestinal dan kematian dan efek kronik akan bersifat
reversibel jika paparan berkurang.
Pada dasarnya Pemerintah melalui Surat keputusan Ka. BPOM nomor 8
tahun 2008 telah mengeluarkan batasan penggunakan natrium karbonat pada
pangan khususnya adonan mie 0.26 gram/100 gram, akan tetapi faktanya
masyarakat belum terlalu memahami tentang batasan-batasan yang telah dibuat,
sehingga kecendrungan menggunakan bahan kimia ini di atas ambang batas
sangat besar peluangnya. Mengingat saat diwawancara para produsen Mie
menyebutkan bahwa para produsen tidak memiliki standar tertentu dalam
penggunaan natrium karbonat atau air abu, satu-satunya standar bagi para
produsen adalah ketika adonan bisa dibentuk dengan kondisi adonan tidak terlalu
keras dan terlalu lembek sehingga memudahkan dalam penggilingan.
Pemanfaaatan natrium karbonat dalam pangan sebagai pengatur keasaman,
anti-caking agent, meningkatkan agen, dan stabilizer. Ini adalah salah satu
komponen kansui, larutan garam alkali digunakan untuk memberikan Mie ramen
rasa khas dan tekstur. Hal ini juga digunakan dalam produksi snus (Swedia-gaya
tembakau) untuk menstabilkan pH produk akhir. Di Swedia, snus diatur sebagai
produk makanan karena dimasukkan ke dalam mulut, membutuhkan pasteurisasi,
dan berisi bahan-satunya yang disetujui sebagai aditif makanan. Natrium karbonat
juga digunakan dalam produksi bubuk serbat. Di Cina, natrium karbonat

14
digunakan untuk menggantikan larutan alkali air di kerak kue bulan tradisional
Kanton.
Imafa (2008) menyebutkan sepanjang sejarah industri kimia, persediaan
natrium karbonat Na2CO3, soda, merupakan isu penting. Soda adalah bahan dasar
penting bukan hanya untuk keperluan sehari-hari (seperti sabun) tetapi juga untuk
produk industri yang lebih canggih (seperti gelas). Beberapa penggunaan natrium
karbonat selain untuk pangan juga digunakan dalam proses pembuatan pulp
(bubur kayu), kertas, sabun, detergen, kaca, dan untuk melunakkan air sadah,
natrium karbonat juga digunakan oleh industri batu bata sebagai agen pembasahan
untuk mengurangi jumlah air yang dibutuhkan untuk mengusir tanah liat.
Dalam casting, ini disebut sebagai "bonding agent" dan digunakan untuk
memungkinkan alginat basah untuk mematuhi alginat gel.

Tabel 1 Hasil uji kadar air abu atau natrium karbonat, boraks dan formalin

Sampel
25
Produsen A
Warung 1
Warung 2
Produsen B
Warung 3
Warung 4
Produsen C
Warung 5
Warung 6
Produsen D
Warung 7
Produsen E
Warung 8
Produsen F
Warung 9
Warung 10
Produsen G
Warung 11
Warung 12
Produsen H
Warung 13
Produsen I
Warung 24
Produsen J
Warung 25

Natrium Karbonat
(% b/b)
0.27
0.27
0.27
0.23
0.23
0.23
0.22
0.22
0.22
0.24
0.24
0.25
0.25
0.23
0.23
0.23
0.24
0.24
0.24
0.23
0.23
0.23
0.23
0.24
0.24

Boraks
(positif/Negatif)
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Nagatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negaitf
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Formalin
(ml/L)
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4
 4

15

Kandungan Boraks
Hasil uji boraks (Tabel 2) terhadap seluruh sampel dengan metode kualitatif
menunjukkan seluruh sampel (100%) tidak mengandung boraks atau negatif.
Kandungan boraks dalam kuliner Mie Aceh di Kota Blang Pidie negatif, hal ini
sesuai dengan nilai ambang batas boraks dalam Permenkes RI No.033 tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Makanan menyebutkan bahwa Boraks tidak boleh ada
dalam pangan dan makanan walau sedikit. Boraks adalah zat pengawet yang
banyak digunakan dalam industri pembuatan taksidermi, insektarium dan
herbarium, tapi dewasa ini orang cenderung menggunakannya dalam industri
rumah tangga sebagai bahan pengawet makanan seperti pada pembuatan Mie dan
bakso. Mudjajanti dan Yuliarti (2004), menyebutkan bahwa orang dewasa dapat
meninggal dunia apabila mengonsumsi asam borat sebanyak 15-25 gr, sedangkan
anak-anak 5-6 gr. Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam
hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksik. Gejala
klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan sakit perut sebelah atas, muntah,
mencret, sakit kepala, penyakit kulit berat, sesak nafas dan kegagalan sirkulasi
darah, tidak nafsu makan, dehidrasi, koma dan jika berlangsung terus menerus
akan mengakibatkan kematian.
Penggunaan boraks dapat mengganggu daya kerja sel dalam tubuh
manusia, sehingga menurunkan aktivitas organ, oleh karena itu penggunaan bahan
pengawet ini sangat dilarang oleh pemerintah khususnya Departemen Kesehatan
karena dampak negatif yang ditimbulkan sangat besar. Ketiadaan kandungan
boraks dalam seluruh sampel Mie di Kota Blang Pidie menunjukkan bahwa
masyarakat mengetahui bahwa boraks tidak layak digunakan dalam pangan
terutama untuk kuliner Mie Aceh. Penggunaan boraks pada Mie Aceh tidak
terlepas dari faktor prilaku. Notoatmodjo (2007) dalam Yasmin dan Madanijah
(2010), menyebutkan proses pembentukan dan atau perubahanperilaku
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu itu
sendiri. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan merupakan faktor dari
dalam individu, dengan demikian faktor dari luar individu dapat mempengaruhi
perilaku contoh terkait keamanan pangan, dengan demikian produsen Mie di Kota
Blang Pidie memiliki pemahaman yang jelas tentang bahaya boraks dan
pelaranganya oleh pemerintah sehingga tidak menggunakan boraks sebagai bahan
tambahan pangan pembuatan mie.
Boraks sudah dilarang penggunaannya dalam pangan sejak dikeluarkan
Undang-undang RI.No.7 tahun 1996 tentang pangan yang menyebutkan bahwa
boraks sebagai bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan
masyarakat.Walgito (2002), menyebutkan pengaruh boraks terhadap konsumen
akanmembahayakan kesehatan baik dalam jangka waktu panjang maupun dalam
jangka waktu pendek. Bahan-bahan ini dapat terakumulasi pada tubuh manusia
dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakitpenyakit seperti antara lain kanker dan tumor pada organ tubuh manusia.

16

Kandungan Formalin
Hasil uji kandungan formalin dalam sampel yang diuji, menunjukkan
bahwa seluruh sampel mie yang diuji (100%) mengandung formalin dengan
kandungannya >4mg/L setiap sampelnya (Tabel 2). Keberadaan formalin pada
Mie Aceh di Kota Blang Pidie dengan nilai > 4 mg/L sangat berbahaya karena
melebihi ambang batas yang ditetapkan Permenkes RI No. 033 yaitu 0 mg/l.
Formalin adalah bahan kimia berbahaya yang tidak boleh digunakan dalam
pangan. Permenkes RI. No 033 Tahun 2012 Tentang bahan tambahan pangan,
menyebutkan bahwa formalin ini dilarang dan sangat berbahaya bila digunakan
untuk pengawet makanan. Selain pelarangan penggunaan formalin oleh
Kementrian Kesehatan RI, International Programme on Chemical Safety (IPCS)
(Hasyim 2006), memiliki ambang batas sendiri, disebutkan bahwa batas toleransi
formaldehida yang dapat diterima tubuh dalam bentuk air minum adalah 0,1 mg/
liter atau dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah 0.2 mg. Sementara
formalin yang boleh masuk ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa
adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari. NIOSH menyatakan formaldehida
berbahaya bagi kesehatan pada kadar 20 ppm(Hasyim 2006).
Formalin tidak diizinkan ditambahkan dalam bahan makanan atau
digunakan sebagai pengawet makanan, hanya saja formalin sangat mudah
diperoleh di pasar bebas dengan harga murah. Formalin sebenarnya telah dilarang
sejak tahun 1982, kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No. 7/1996
tentang Perlindungan Pangan.Winarno (1988) mengemukakan beberapa petunjuk
tentang ciri-ciri makanan yang terindikasi diberi formalin antara lain : tidak rusak
sampai dua hari pada suhu kamar dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari
es, bau agak menyengat, tidak lengket dan mie lebih mengkilap dibandingkan mie
normal. Kerusakan Mie disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Istilah umum
yang sering digunakan produsen atau konsumen tentang kerusakan Mie basah
adalah Mie menjadi basi.
Pendeknya umur simpan Mie ini disebabkan oleh kondisi iklim tropis
seperti di Indonesia, dimana kecenderungan terjadinya pencemaran pangan oleh
mikroorganisme menjadi sangat tinggi, karena udara yang hangat sehingga
menjadi lembab, dan kondisi ini yang sangat mendukung pertumbuhan mikroba.
Di samping itu, praktek pengolahan yang kurang memperhatikan sanitasi dapat
bekontribusi pula pada pendeknya umur simpan Mie basah ini (BPOM 2006).
Cahyadi (2008) menyebutkan sifat antimikrobal dari formaldehid merupakan hasil
dari kemampuan menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan
amino bebas dalam protein menjadi pencampur lain. Kemampuan dari
formaldehid meningkat dengan peningkatan suhu.
Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi
dengan protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein mengeras dan
tidak dapat larut. Formaldehid mungkin berkombinasi dengan asam amino bebas
dari protein pada sel protoplasma, merusak nucleus, dan mengkougulasi protein.
Syukur (2006) dalam Hasyim (2006) menyebutkan efek dari formalin terhadap
kesehatan seperti sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, kanker, paruparuakan terjadi mual, muntah, perut perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan

17

jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan,
kejang, koma dan kematian.

Gambar 6 Merek Jual Formalin
Ketika penggalian informasi dilakukan, produsen-produsen Mie di Kota
Blang Pidie mengakui tidak menggunakan formalin dan menyatakan bahwa
formalin dilarang karena berbahaya bagi kesehatan jika digunakan dalam Mie
Aceh, namun mereka mengakui menggunakan pengawet agar mie bisa bertahan
dengan menambah komponen lain yang mereka sebut anti basi. Hasil uji
laboratorium menunjukan hasil berbeda dari pengakuan produsen-produsen Mie
di Kota Blang Pidie, seluruh Mie yang di hasilkan dan didistribusikan ke warungwarung Mie Aceh positif mengandung Formalin.

Faktor Penyebab Penggunaan Air Abu dan Formalin
Sesuai dengan hasil uji laboratorium pada Mie dengan boraks yang negatif,
maka hasil analisis yang dilakukan untuk melihat faktor penyebab dari produsen
mie ini, hanya mencakup penggunaan Air abu dan formalin.Responden yang
diwawancara dalam penelitian ini 10 orang produsen mie di Kota Kota Blang
Pidie. Hasil wawancara (Tabel 2) menunjukkan 10 responden (100%) mengatakan
bahwa ekonomi menjadi faktor penyebab penggunaan air abu dan formalin, 10
responden (80%) menunjukkan bahwa pengetahuan menjadi faktor pendukung
penggunaan air abu dan formalin, namun khusus terkait formalin ada 2 responden
yang tidak mengetahui dampak dari formalin. 10 responden (100 %) mengatakan
bahwa kebutuhan adonan mie menjadi faktor pendukung penggunaan air abu dan
formalin.

18

Tabel 2 Hasil identifikasi faktor penyebab penggunaan air abu dan formalin

Faktor Penyebab
Ekonomi
Pengetahuan
Kebutuhan
Adonan

Jumlah
Responden
( 10 )
10
10
10

Air Abu

Formalin

(Responden)
10
10

(%)
100
100

10

100

(Responden) (%)
10
100
8
80
10

100

Faktor Ekonomi
Hasil wawancara terhadap 10 orang responden produsen Mie Aceh (Tabel
2) diketahui bahwa faktor ekonomi yang mendorong penggunaan air abu dan
formalin meliputi penghematan dalam pembiayaan produksi, karena dengan
menggunakan natrium karbonat dan formalin Mie yang dihasilkan lebih tahan
hingga 24 jam, dengan demikian tingkat kerugian kerusakan Mie dapat dikurangi.
Selain itu dengan digunakan air abu atau natrium karbonat Mie kelihatan lebih
menarik sehingga warung-warung Mie Aceh membeli Mie yang sudah ditambah
air abu dan formalin. Bahan Mie dan anti basi mudah didapatkan di Kota Blang
Pidie dan harga lebih murah dan dibandingkan dengan menggunakan pengawet
alami seperti kunyit sehingga lebih menguntungkan. Di Kota Blang Pidie air abu
atau natrium karbonat dijual bebas di pasaran dengan harga 6 ribu rupiah/liter
sehingga harga yang murah dan mudah didapat cukup meringankan produsen
dalam memproduksi Mie sebagai bahan utama Mie Aceh. Dalam proses
penggalian informasi yang dilakukan, responden mengatakan bahwa untuk
produksi Mie yang mereka hasilkan tidak menggunakan formalin, namun mereka
menggunakan anti basi, akan tetapi hasil laboratorium menunjukan bahwa produk
Mie yang dihasilkan seluruhnya mengandung formalin.
Moenir (2006), mengatakan tingkat sosial ekonomi atau pendapatan ialah
seluruh penerimaan seseorang sebagai imbalan atas tenaga dan pikiran yang telah
dicurahkan untuk orang lain dirinya maupun keluarga. Namun hal ini pada
masyarakat yang berteknologi maju, dimana kebutuhan hidup yang makin
meningkat tidak hanya dalam jenis tetapi juga dalam hal kegunaan, pendapatan
seseorang tidak lagi menjangkau kebutuhannya bersama keluarga. Kebutuhan
hidup yang makin meningkat di satu pihak, kurang dapat diimbangi dengan
pendapatan yang relatif tetap, sehingga menyebabkan perubahan pola
ketenagakerjaan. Dengan demikian hubungan kepentingan ekonomi sangat
mendukung produsen mie untuk menggunakan bahan natrium karbonat atau air
abu dan formalin berkaitan dengan asumsi pendapatan dan keuntungan.
Kebutuhan akan keuntungan besar atau takut terjadi kerugian pada usaha
memungkinkan produsen Mie di Kota Blang Pidie melakukan kecurangan dalam
penjualan produknya, hal ini menyangkut dengan kondisi produk Mie yang
dihasi