Kekuatan Pasar Pada Perdagangan Bawang Putih Di Indonesia

KEKUATAN PASAR PADA PERDAGANGAN BAWANG
PUTIH DI INDONESIA

DEA AMANDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kekuatan Pasar pada
Perdagangan Bawang Putih di Indonesia adalah benar karya saya denganarahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016

Dea Amanda
NIM H453130131

RINGKASAN
DEA AMANDA. Kekuatan Pasar pada Perdagangan Bawang Putih di Indonesia.
Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan MUHAMMAD FIRDAUS.
Bawang putih merupakan komoditas yang umum digunakan oleh
masyarakat Indonesia sebagai bumbu masakan dengan tingkat konsumsi per kapita
melebihi 300 gram per bulannya. Tingginya konsumsi bawang putih, khususnya
untuk konsumsi rumahtangga, tidak didukung oleh produksi dalam negeri yang
makin menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, bawang putih domestik
hanya mampu memenuhi kurang dari 5 persen kebutuhan bawang putih nasional.
Impor merupakan jalan yang dipilih pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
bawang putih dalam negeri. Dalam melakukan impor, pemerintah memberlakukan
kebijakan perdagangan baik dalam bentuk tarif maupun non-tarif untuk mengontrol
volume impor maupun harga domestik. Pada tahun 2012, Kementerian
Perdagangan mengeluarkan Permendag tentang pembatasan impor produk
hortikultura termasuk bawang putih. Dengan pembatasan ini, terjadi limitasi
importer dan jumlah yang boleh diimpor.
Meskipun harga bawang putih yang diimpor jauh lebih murah dibandingkan

harga bawang putih domestik, pada kenyataannya beberapa waktu lalu harga
bawang putih di pasar domestik sangat berfluktuasi bahkan sempat melonjak tinggi
mencapai Rp 60 000 – 100 000 per kilogram. Terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan hal tersebut, diantaranya adalah faktor cuaca ekstrim, rendahnya
pasokan baik dari dalam negeri maupun luar negeri, serta keterlambatan distribusi
dikarenakan terjadinya penimbunan barang oleh pihak lain (Saputotro 2013).
Indikasi pengaturan jumlah bawang putih yang beredar juga diperkuat oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang menyatakan bahwa terdapat upaya
pengaturan jumlah bawang putih yang beredar oleh kartel terselubung yang
dilakukan oleh beberapa importir bawang putih.
KPPU telah memutuskan bahwa sejumlah 19 importir telah melakukan
praktek kartel/monopoli dengan membatasi peredaran bawang putih di pasaran
dengan cara menahan pasokan di pelabuhan pada periode November 2012 hingga
Februari 2013, sehingga berakibat pada lonjakan harga di pasar. Kesembilanbelas
importir ini memiliki keterkaitan kepemilikan, hubungan kekeluargaan sangat dekat,
kesamaan gudang penyimpanan, dan lainnya. Pangsa pasar yang dikuasai oleh 19
importir pada periode tersebut melebihi 80 persen pangsa pasar bawang putih impor.
Para importir ini diduga memiliki derajat kekuatan pasar yang cukup tinggi
sehingga mereka dapat melakukan pengaturan harga bawang putih domestik.
Kondisi dimana terdapat beberapa perusahaan yang menguasai sebagian

besar penawaran dalam pasar mengindikasikan struktur pasar yang terjadi bersifat
oligopolistik. Struktur pasar yang demikian merupakan indikasi dari adanya
beberapa perusahaan yang memiliki derajat kekuatan pasar yang relatif tinggi
dimana hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan harga diatas biaya
marjinalnya. Kebijakan dan inefisiensi dalam pasar yang berakibat pada
meningkatnya harga dan menurunnya kuantitas akan menyebabkan terjadinya biaya
sosial yang terdiri dari kesejahteraan yang hilang (welfare loss) serta transfer
surplus (economic rent) dari konsumen ke supplier dan pemerintah. Penelitian ini
bertujuan untuk meneliti derajat kekuatan pasar yang ada dalam perdagangan

bawang putih di Indonesia dan sejauh mana kebijakan dan inefisiensi dalam pasar
bawang putih dalam negeri berkontribusi pada biaya sosial yang tercipta.
Penelitian ini menggunakan data sekunder bulanan pada periode Januari
2008 hingga Desember 2014. Estimasi derajat kekuatan pasar pada perdagangan
bawang putih di Indonesia dilakukan dengan model static Bresnahan-Lau yang
diestimasi dengan metode 2SLS. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan SCP
(structure-conduct-performance) yang selama ini umum digunakan karena dapat
mengestimasi derajat kekuatan pasar langsung dari persamaan struktural yang
terdiri dari persamaan permintaan dan persamaan harga.
Permintaan bawang putih dipengaruhi secara signifikan oleh harga bawang

putih dalam negeri dan dummy Idul Fitri. Nilai elastisitas permintaan terhadap
harga yang diperoleh menunjukkan bahwa permintaan bawang putih bersifat
inelastis terhadap harga (�� = 0.22338). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
harga tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan bawang putih di Indonesia.
Konsumsi bawang putih bagi masyarakat Indonesia sudah bersifat layaknya pangan
pokok (beras, gula, dan lain-lain) mengingat sebagian besar bawang putih
dikonsumsi langsung oleh rumahtangga sebagai bumbu dasar masakan. Meskipun
tanda parameter dan elastisitas harga permintaan terhadap harga bertanda negatif,
namun pola konsumsi berpengaruh lebih kuat, sehingga dapat dikatakan bahwa
bawang putih sedang mengalami peralihan dari barang normal cenderung menjadi
barang netral.
Hasil utama menunjukkan bahwa derajat kekuatan pasar yang dimiliki oleh
supplier bawang putih relatif rendah (λ=0.384), berarti bahwa tidak terdapat cukup
bukti akan adanya kartel pada industri bawang putih di Indonesia. Hal tersebut juga
menunjukkan bahwa struktur pasar yang terjadi cenderung mengarah kepada
kondisi oligopoli lemah. Meskipun demikian, derajat kekuatan pasar yang diperoleh
menunjukkan nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan nilai yang diperoleh
pada pendekatan yang sama di pasar lainnya, mengindikasikan bahwa tingkat
kompetisi pada pasar bawang putih relatif lebih rendah..
Biaya sosial yang terjadi pada perdagangan bawang putih disebabkan oleh

adanya kesejahteraan yang hilang serta munculnya penerimaan rente dari kegiatan
impor yang begitu besar bahkan melebihi nilai konsumsinya, masing-masing
sebesar 3.3 dan 5.6 triliun rupiah. Sebagian besar rente ekonomi tersebut diterima
oleh pedagang dan importir sementara hilangnya kesejahteraan sebagian besar
terjadi akibat penerapan tarif impor.

Kata kunci: Market power, elastisitas permintaan, Bresnahan-Lau model, biaya
sosial

SUMMARY
DEA AMANDA. Market Power of Indonesian Garlic. Supervised by YUSMAN
SYAUKAT and MUHAMMAD FIRDAUS.
Garlic is a herb used widely as a flavoring in cooking, especially for the
Asians. In Indonesia, garlic is consumed mostly by households with per capita
consumption exceed 300 gram per month. Since the domestic production can’t meet
the domestic demand, its excess demand is filled from imports. Garlic import plays
an important role, since domestic production is still less than 5 percent from total
garlic consumption. Thus, the government tries to impose a protective policy on
imports (tariff). In 2012, Indonesian government issued a new protective policy to
control import of garlic by reducing number of the importers and imposed an import

quota. The quota was given based on the prediction of domestic production,
previous year consumption and stock.
Even though the import parity price was relatively cheap, the domestic price
rose sharply in 2012-2013 up to Rp 60,000 to 100,000 per kg. The extreme price
hike was predicted due to some factors such as the extreme weather, low supply
from domestic farmers, inefficient supply chain and issue of stock hoarding by
garlic importers (Saputro 2013). The indication of the existence of supply control
by the importers was strengthen by The Indonesian Business Competition
Supervisory Board (KKPU) decision that punished 19 garlic importers which
practicing cartels by controlling 80 percent of national supply. These importers was
found to have family relationship among them, same warehouse/storage, etc. These
importers allegedly having some degrees of market power, so they can control
domestic price.
The market structure of garlic tends to be oligopoly, since only a few
companies control most of market supply of the product. Some suppliers have
higher market power so they can increase the prices above their marginal cost with
a relatively high margin. A policy that creates inefficiency will cause a rise of
market price and fall in quantity, which then result in welfare loss and economic
surplus (rent) transfer from consumer to other parties such as importer, seller and
government. This study aims at estimating the degree of market power exercised

by garlic supplier, which is dominated by the importers, and the extent to which this
re-regulation policy contribute to the creation of social cost.
The data used in this research is secondary data i.e., monthly time series data
from 2008 to 2014. The degree of market power was analyzed using BresnahanLau oligopolistic model in static form and estimated with Two-Stages Least Square
(2SLS) method. This model differs from the Structure-Conduct-Performance (SCP)
paradigm commonly used in market power studies. The Bresnahan-Lau model is
able to estimate the degree of market power directly from the structural equations.
Demand of garlic affected significantly by garlic domestic price and Eid UlFitr (Islamic fasting-break festival) dummy variable. The value of demand elasticity
is -0.22338, indicating that garlic demand is inelastic to the change of price. This
shows that price changes have no significant impact on garlic demand in Indonesia.
Garlic has turned into basic foodstuff considering that most supply was consumed
directly by household as basic seasoning. Although the coefficient sign of garlic
price and the elasticity of demand are negative, consumption pattern have stronger

influence, so it can be said that garlic is undergoing transition from normal goods
to neutral goods.
The main results showed that the degree of market power exercised by garlic
supplier is relatively low (λ=0.384), meaning that there is not enough evidence for
the existence of garlic cartel in Indonesia and the market structure is leaning on
loose oligopoly condition. Nevertheless, the estimated market power parameter was

relatively high compared to the other market that used this approach. Welfare
analysis results showed that during 2008-2014 the policies on garlic market had
created welfare loss and economic rent transfer consecutively as large as Rp
3.3 trillion and Rp 5.6 trillion annually. Most of the economic rent were collected
by the marketing agents and importers, while the welfare loss was mostly caused
by import tariff applied on garlic.

Keywords: Market power, elasticity of demand, Bresnahan-Lau model, social cost

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KEKUATAN PASAR PADA PERDAGANGAN BAWANG
PUTIH DI INDONESIA


DEA AMANDA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah
pemasaran dan perdagangan pertanian, dengan judul Kekuatan Pasar pada
Perdagangan Bawang Putih di Indonesia.
Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bimbingan, curahan ilmu,
bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis
mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir Yusman Syaukat, MEc selaku ketua komisi pembimbing dan
Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi selaku anggota komisi
pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai
dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc selaku penguji luar komisi serta Ibu
Dr Meti Ekayani, SHut, MSc selaku penguji Wakil Komisi Program Studi yang
telah memberikan masukan dan arahan untuk perbaikan tesis ini.
3. Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian (EPN) dan seluruh staff pengajar pada Program Studi EPN atas
segala ilmu yang diberikan kepada penulis selama penulis menempuh
pendidikan.
4. Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi yang telah memberikan kesempatan
beasiswa BPPDN Program Magister kepada penulis.
5. Bapak Johan, Mas Widi, Mbak Ina, Bu Kokom, Bapak Husein dan Bapak

Erwin selaku tenaga kependidikan di Program Studi EPN atas bantuan dan
dukungan yang diberikan kepada penulis selama penulis menjalani studi.
6. Seluruh anggota keluarga penulis, khususnya Papa dan Mama, terima kasih
atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama studi. Adik-adik
tersayang Bayang Nuansa Salju dan Ahza Maulana Prakarsa yang telah
memberikan dorongan dan semangat selama pendidikan.
7. Teman-teman EPN angkatan 2013 atas doa, dukungan, saran dan dukungan
kepada penulis dalam menjalani studi di EPN.
8. Dosen-dosen dan staf Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
FEM IPB atas bimbingan dan arahannya.
9. Sahabat-sahabat di Griya Putih Cibanteng (GPA), Dewi, Iski, Nora, Ira dan
Vhira atas doa dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan
tesis ini.
Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan yang
merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
masukan yang dapat membangun penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016
Dea Amanda

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

iv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
7
7
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

7
8
17
22
22

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Elastisitas
Welfare Loss
Rente Ekonomi

24
24
24
27
27
27

4 GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN BAWANG PUTIH
Struktur Pasar Perdagangan Bawang Putih Dunia
Struktur Pasar Perdagangan Bawang Putih Indonesia

28
28
34

5 KEKUATAN PASAR PADA PERDAGANGAN BAWANG PUTIH DI
INDONESIA
Struktur Pasar Impor Bawang Putih Indonesia
Fungsi Permintaan Bawang Putih di Indonesia
Fungsi Relasi Penawaran (Harga) Bawang Putih di Indonesia
Biaya Sosial

40
40
42
45
50

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
Saran Penelitian Lanjutan

56
56
56
57

DAFTAR PUSTAKA

57

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

62

DAFTAR TABEL
1 Neraca ekspor impor produk pertanian Indonesia menurut sub sektor,
Januari-Juni 2014 (rupiah)
2 Volume impor beberapa sayuran di Indonesia tahun 2008-2013
3 Perkembangan produksi dan impor bawang putih Indonesia tahun 20082013 (dalam ribu ton)
4 Persentase impor bawang putih Indonesia asal Tiongkok tahun 20082013 (dalam ribu ton)
5 Volume ekspor bawang putih di enam negara eksportir terbesar tahun
2009-2013
6 Volume impor bawang putih di enam negara importir terbesar tahun
2009-2013
7 Konsentrasi pasar perusahaan importir bawang putih di Indonesia tahun
2013-2014.
8 Hasil estimasi fungsi permintaan bawang putih Indonesia menggunakan
model statik Bresnahan-Lau dengan metode 2SLS.
9 Hasil estimasi fungsi relasi penawaran bawang putih Indonesia
menggunakan model statik Bresnahan-Lau dengan metode 2SLS.
10 Kesejahteraan yang hilang (welfare loss) karena pajak impor dan
kekuatan pasar tahun 2008-2014
11 Rente ekonomi ekonomi aktivitas produksi dan impor bawang putih
(miliar rupiah)
12 Distribusi biaya sosial pada perdagangan bawang putih Indonesia, tahun
2008-2014
13 Perubahan biaya sosial dengan penerapan tarif impor 10 persen

1
2
3
4
31
33
41
43
46
51
52
53
55

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Perkembangan volume impor bawang putih Indonesia tahun 1975-2011
Perkembangan harga bawang putih Indonesia tahun 2011-2014
Kondisi keseimbangan pada beberapa jenis struktur oligopoli
Kondisi keseimbangan pada price leadership behavior
Kontinuum struktur pasar berdasarkan tingkat kekuatan pasarnya
Perbedaan respon antara pasar kompetitif dan pasar monopoli
Biaya sosial dari kebijakan tarif impor
Biaya sosial dari kekuatan pasar dalam perdagangan
Alur kerangka pemikiran
Perkembangan produksi lima negara produsen bawang putih terbesar di
dunia tahun 2000-2013
Konsumsi bawang putih di lima negara kosumen terbesar di dunia tahun
2000-2012
Pangsa pasar ekspor bawang putih dunia oleh enam negara eksportir
terbesar tahun 2000-2013
Pangsa pasar impor bawang putih dunia oleh enam negara importir
terbesar tahun 2000-2013
Produksi bawang putih Indonesia tahun 1981-2013

3
5
9
10
11
14
15
16
23
29
30
32
33
35

15 Luas areal tanam bawang putih Indonesia tahun 1981-2013
16 Perkembangan konsumsi, produksi dan impor bawang putih Indonesia
tahun 1989-2013
17 Perkembangan impor, konsumsi dan harga bulanan tahun 2008-2014
18 Perkembangan harga bawang putih Indonesia tahun 2008-2014

36
38
47
48

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil estimasi persamaan permintaan bawang putih Indonesia dengan
metode 2SLS
2 Hasil estimasi persamaan relasi penawaran bawang putih Indonesia
dengan metode 2SLS

63
64

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Seiring dengan pertumbuhan dan jumlah penduduk yang cukup tinggi, terjadi
peningkatan kebutuhan akan makanan dan minuman baik produk mentah maupun
olahan. Kepemilikan wilayah pertanian yang luas serta statusnya sebagai negara
agraris ternyata tidak menjamin ketersediaan kebutuhan pangan dalam negeri
Indonesia. Tidak hanya konsumsi produk pangan utama, namun konsumsi produk
holtikultura khususnya sayuran pun harus dipenuhi dari pelaksanaan impor. Dari
segi volume impor, sub sektor hortikultura melakukan impor dengan volume yang
lebih tinggi dibandingkan sektor peternakan dengan laju pertumbuhan yang cukup
tinggi pada bulan Mei-Juni 2014 yakni sebesar 65.91 persen. Tabel 1 menunjukkan
bahwa pada bulan Juni 2014, neraca perdagangan sub sektor hortikultura
mengalami defisit US$ 123.10 juta dan mengalami kenaikan sebesar 54.19
persen dibandingkan bulan sebelumnya. Komoditas yang mengalami defisit
neraca perdagangan yang cukup besar yakni bawang putih (US$ 39.53 juta), apel
(US$ 30.74 juta), anggur (US$13.36 juta) dan kentang (US$ 12.36 juta) (Kementan
2014).
Tabel 1 Neraca ekspor impor produk pertanian Indonesia menurut sub sektor,
Januari-Juni 2014 (rupiah)
No
1

Sub Sektor

3

4

Kumulatif
Januari- Juni

Juni

-1 442 867 995

-1 402 918 789

-2.77

-6 759 554 888

-553 655 899

-558801438

0.93

-2 687 292 045

Volume (Kg)

-82 073 626

-136 166 994

65.91

-667 138 395

Nilai (US$)

-79 842 245

-123 105 423

54.19

-608 131 562

Volume (Kg)

2 802 009 513

2 834 760 032

1.17

15 609 473 422

Nilai (US$)

2 431 380 203

2 383 889 755

-1.95

1 3405 264 656

Volume (Kg)

-108 768 554

-112 016 638

2.99

-572 444 686

Nilai (US$)

-282 422 653

-310 090 212

9.80

-1 566 089 603

Tanaman
Pangan
Volume (Kg)
Nilai (US$)

2

Pertumbuhan
Mei-Juni
2014 (%)

Mei

Hortikultura

Perkebunan

Peternakan

Sumber: Kementan 2014

Beberapa sayuran dengan volume impor tertinggi digambarkan pada Tabel 2.
Secara keseluruhan, volume impor memiliki tren positif dari tahun ke tahun. Dari
segi volume maupun nilai, bawang putih merupakan komoditas subsektor
hortikultura yang paling banyak diimpor. Dibandingkan dengan komoditas lain dari
kelompok sayuran, impor bawang putih secara konsisten menempati posisi teratas.

2
Perkembangan volume impor bawang putih cenderung meningkat dari tahun ke
tahun dilihat dari laju permintaan bawang putih impor yaitu sebesar 1.1 persen per
tahun, tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan komoditas sayuran lainnya.
Tabel 2 Volume impor beberapa sayuran di Indonesia tahun 2008-2013
Volume impor (Ribu Ton)

Komoditi

Laju
(persen)

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Bawang Putih

425.3

405.1

361.3

419.1

415.0

439.9

1.1

Bawang Merah

166.9

101.2

125.8

235.1

155.4

124.5

3.6

8.3

14.0

26.9

80.9

48.5

56.9

67.8

Wortel
18.3
Sumber: UN Comtrade 2014

19.7

33.7

41.9

55.5

18.6

13.7

Kentang

Bawang putih merupakan salah satu sayuran yang paling banyak dikonsumsi
masyarakat Indonesia sebagai bumbu masakan. Selain itu, bawang putih juga
dipercaya sebagai obat yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit
seperti kanker, diabetes, dan penyakit lainnya. Seiring dengan pertumbuhan
penduduk, permintaan masyarakat terhadap bawang putih semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Rata-rata konsumsi bawang putih per kapita selama 5 tahun terakhir
melebihi 300 gram per bulannya (BPS 2015). Namun, dari sisi produksi kondisi
iklim tropis yang dimiliki Indonesia membuat budidaya tanaman ini masih
terkendala dan belum optimum. Bawang putih merupakan komoditas yang baik
ditanam di dataran tinggi dengan suhu sejuk, sementara itu ada banyak komoditas
lain yang juga hanya dapat ditanam di dataran tinggi seperti kedelai, teh dan kentang.
Karena daya saing yang rendah, petani enggan menanam bawang putih dan merasa
lebih menguntungkan menanam komoditas lain sehingga areal tanam dan produksi
bawang putih berkurang. Selain itu, kualitas bibit bawang putih yang digunakan
rendah, banyak penyakit yang sering menyerang bawang putih terutama jamur dan
virus, lingkungan tumbuh yang kurang optimum serta tingginya kehilangan hasil
akibat teknik penyimpanan umbi yang kurang memadai juga menjadi penyebab
rendahnya produksi bawang putih di Indonesia (Wibowo 2006). Jenis bawang putih
yang banyak ditanam di dalam negeri adalah jenis bawang putih bersiung tunggal
yang memiliki bobot kecil. Dari sisi konsumsi, bertambahnya jumlah penduduk,
munculnya berbagai teknologi dan produk olahan baru berbahan dasar bawang
putih semakin meningkatkan konsumsi masyarakat akan bawang putih. Hal tersebut
menjadikan keputusan impor merupakan salah satu jalan untuk memenuhi
kekurangan pasokan bawang putih domestik (Jumini 2008). Tabel 3
menggambarkan perkembangan produksi dan impor bawang putih Indonesia
selama tahun 2008-2013. Selama enam tahun tersebut, impor telah mendominasi
sebagian besar pasokan bawang putih dalam negeri. Perkembangan impor dan
produksi bawang putih cenderung stabil dengan tren yang sedikit meningkat dalam
rangka memeuhi konsumsi yang juga semakin meningkat dari tahun ke tahunnya.

3
Tabel 3 Perkembangan produksi dan impor bawang putih Indonesia tahun
2008-2013 (dalam ribu ton)
Tahun

Produksi

Konsumsi

Impor

2008

12.34

437.60

425.27

2009

15.42

420.37

405.14

2010

12.30

373.30

361.29

2011

14.75

433.62

419.09

2012

17.63

432.37

414.96

455.59

439.91

2013
15.77
Sumber: Kementan dan UN Comtrade 2014

Permana (2006) menyatakan bahwa sampai dengan tahun 1998 Indonesia
masih mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan bawang putih dari produksi
domestik. Namun, setelah tahun 1998 terjadi lonjakan impor yang sangat besar
mencapai empat kali lipat dari tahun 1997. Hal tersebut terjadi seiring dengan
dilakukannya penandatanganan Letter of Intent (LoI) dengan IMF yang
mewajibkan penghapusan segala hambatan perdagangan termasuk kuota dan tarif
impor untuk bahan pangan pada tahun 1997. Peningkatan ekstrim ini terlihat pada
Gambar 1 dimana impor melonjak tajam pada periode 1997-1999. Setelah itu,
impor cenderung memiliki tren yang positif dengan laju yang cukup tinggi pada
tahun 2003-2008 dan impor tertinggi pada tahun 2008 sejumlah 425 274 ton (FAO
2014).
800000
700000
600000

Ton

500000
400000
300000
200000
100000
0

Tahun
Sumber: FAO 2014

Gambar 1 Perkembangan volume impor bawang putih Indonesia tahun
1975-2011
Impor bawang putih Indonesia mayoritas didatangkan dari Tiongkok seiring
dengan diberlakukannya kembali kebijakan pencabutan bea masuk impor untuk
bawang putih pada tahun 2005. Akibatnya, bawang putih domestik pun mengalami

4
persaingan secara alami baik dari sisi kualitas maupun harga. Lebih dari 90 persen
konsumsi bawang putih dipenuhi dari impor dan lebih dari 90 persen dari bawang
putih impor tersebut didatangkan dari Tiongkok. Tabel 4 menunjukkan bahwa
selama 6 tahun terakhir bawang putih dari Tiongkok konsisten mendominasi pasar
bawang putih dalam negeri. Bawang putih asal Tiongkok mempunyai tampilan
yang lebih bagus, buah yang lebih putih bulat dan padat serta harga yang lebih
murah dibandingkan bawang putih lokal, sehingga lebih dipilih oleh konsumen.
Negara lain yang juga melakukan impor bawang putih ke Indonesia adalah India,
Malaysia, Pakistan dan Amerika Serikat namun dengan pangsa yang sangat kecil.
Dengan melakukan impor, diharapkan konsumsi bawang putih dalam negeri akan
terjamin dengan harga yang terjangkau bagi konsumen.
Tabel 4 Persentase impor bawang putih Indonesia asal Tiongkok tahun 20082013 (dalam ribu ton)

2008

425.27

421.51

Pangsa Impor dari
Tiongkok (persen)
99.1

2009

405.14

402.79

99.4

2010

361.29

358.49

99.2

2011

419.09

411.29

98.1

2012

414.96

410.11

98.8

2013

439.91

439.66

99.9

Tahun

Total Impor

Impor dari Tiongkok

Sumber: UN Comtrade 2014

Perumusan Masalah
Tinggnya konsumsi bawang putih khususnya untuk konsumsi rumahtangga,
tidak didukung oleh produksi dalam negeri yang makin menurun dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2013, bawang putih domestik hanya mampu memenuhi kurang
dari 5 persen kebutuhan bawang putih nasional (Wijaya 2014). Impor merupakan
jalan yang dipilih pemerintah untuk memenuhi kebutuhan bawang putih dalam
negeri. Dalam melakukan impor, pemerintah memberlakukan kebijakan
perdagangan baik dalam bentuk tarif maupun non-tarif untuk mengontrol volume
impor maupun harga domestik. Pada tahun 2012, Kementerian Perdagangan
mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 30/M- DAG/PER/6/2012
tentang pembatasan impor produk hortikultura termasuk untuk komoditas bawang
putih. Dengan pembatasan ini, izin impor yang tadinya boleh dilakukan oleh
importir umum menjadi hanya diberikan kepada importer produsen (IP) dan
importer terdaftar (IT) untuk mendatangkan pasokan bawang putih impor ke dalam
negeri. Selain itu untuk setiap persetujuan impor bawang putih harus mendapat
Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian yang
mengatur waktu, importir dan jumlah bawang putih yang boleh didatangkan.
Penentuan RIPH dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain jumlah
produksi dalam negeri, tingkat konsumsi tahun sebelumnya, dan stok/persediaan
nasional.
Meskipun harga bawang putih yang diimpor jauh lebih murah dibandingkan
harga bawang putih domestik, pada kenyatannya beberapa waktu lalu harga bawang

5
putih di pasar domestik sangat berfluktuasi bahkan di beberapa daerah sempat
melonjak tinggi mencapai Rp. 60.000-100 000 per kilogramnya1. Menurut Saputro
(2013), kenaikan harga bawang putih yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya adalah faktor cuaca ekstrim, rendahnya pasokan baik dari dalam
negeri maupun luar negeri, serta keterlambatan distribusi dikarenakan terjadinya
penimbunan barang oleh pihak lain. Indikasi pengaturan jumlah bawang putih yang
beredar juga diperkuat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), bahwa
terdapat upaya pengaturan jumlah bawang putih yang beredar oleh kartel
terselubung yang dilakukan oleh beberapa importir bawang putih. KPPU telah
memutuskan adanya praktek kartel melalui berkas perkara Nomor 05/KPPU-I/2013
tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 11, Pasal 19 huruf c, dan Pasal 24 Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat terkait importasi bawang putih. Sejumlah 19 importir
diputuskan telah melakukan praktek monopoli dengan membatasi peredaran
bawang putih di pasarandengan cara menahan pasokan bawang putih sebanyak
lebih dari 300 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya pada periode
November 2012 hingga Februari 2013, sehingga berakibat pada lonjakan harga di
pasar. Kesembilanbelas importir ini memiliki keterkaitan kepemilikan, hubungan
kekeluargaan yang sangat dekat, kesamaan gudang penyimpanan, dan lainnya.
Pangsa pasar yang dikuasai oleh 19 importir pada periode tersebut melebihi 80
persen pangsa pasar bawang putih impor. Kondisi dimana terdapat beberapa
perusahaan yang menguasai sebagian besar penawaran dalam pasar
mengindikasikan struktur pasar yang bersifat oligopolistik (Kohl dan Uhl, 2002).
30000.0
25000.0
20000.0
CV=0.33

15000.0
10000.0
CV=0.22

5000.0
0.0

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2011
Harga Impor (Rp/Kg)

2012

2013

2014

Harga Tingkat Pedagang Besar (Rp/Kg)

Sumber: PIKJ 2015 dan BPS 2014

Gambar 2 Perkembangan harga bawang putih Indonesia tahun 2011-2014
Gambar 2 menggambarkan pergerakan harga bawang putih Indonesia pada
tingkat importir dan pedagang besar. Harga bawang putih pada tingkat impor
merupakan harga yang diterima dari negara eksportir, sedangkan harga bawang
putih tingkat pedagang besar dibentuk dari interaksi antara pedagang besar dengan
Ananda Teresia, dalam artikel online dengan judul “Kenaikan Harga Bawang Bisa Diikuti
Makanan” diakses pada http://www.tempo.co/read/news/2013/03/16/092467437/Kenaikan-HargaBawang-Bisa-Diikuti-Makanan-1

6
importir. Bawang putih impor yang masuk ke pelabuhan selanjutnya dipasarkan ke
pasar-pasar besar/pasar induk untuk selanjutnya dipasarkan ke rantai pemasaran
selanjutnya. Gambar 2 menunjukkan bahwa pergerakan harga pada tingkat importir
dan tingkat pedagang besar memilik pola pergerakan yang berbeda, dimana harga
impor bergerak relatif lebih stabil dibandingkan harga bawang putih pada tingkat
pedagang. Nilai coefficient of variation (CV) menggambarkan bahwa pergerakan
harga pada tingkat pedagang besar lebih bervariasi dibandingkan pada tingkat
importir. Variasi ini dapat disebabkan karena adanya suatu pihak yang
mempengaruhi harga, yakni importir yang mana bertindak sebagai supplier.
Keputusan pemerintah dalam memberlakukan kebijakan impor selain untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi yang tidak bisa dipenuhi dari produksi dalam
negeri, juga dilakukan dalam rangka stabilisasi harga bawang putih di pasar.
Dengan struktur pasar yang kompetitif, aliran impor diharapkan akan menciptakan
keseimbangan pasar pada harga yang lebih rendah dan kuantitas yang lebih tinggi.
Selain indikasi diatas, tingginya harga juga dapat disebabkan oleh keterlambatan
dari sisi distribusi akibat jarak geografis antar wilayah distribusi, rantai pasok yang
lebih panjang atau infrastruktur yang kurang baik. Kombinasi dari penyebabpenyebab tersebut dapat menyebabkan melesetnya sasaran kebijakan yang
direncanakan oleh pemerintah tersebut.
Sejak tahun 2015 Indonesia telah menjalani skema perdagangan bebas
dengan negara-negara anggota ASEAN dan Tiongkok. Pada hakikatnya, sistem
pasar yang kompetitif bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dari seluruh
pihak termasuk konsumen dan produsen. Aliran impor diharapkan akan
menciptakan keseimbangan pasar pada harga yang lebih rendah dan kuantitas yang
lebih tinggi. Barang dengan harga yang lebih kompetitif akan menyerbu pasar
domestik. Namun jika terdapat indikasi persaingan yang tidak kompetitif, dalam
hal ekstrim jika terdapat monopoli/kartel, maka hakikat social welfare tersebut
tidak akan dapat dipenuhi sehingga penerapan pasar bebas tidak akan menimbulkan
manfaat seperti yang diharapkan. Harga yang diharapkan terbentuk dari interaksi
permintaan dan penawaran di pasar justru dapat dijadikan sebagai alat produsen
atau importer pelaku kartel dalam mengeruk keuntungan.
Sebelum memutuskan untuk menerapkan pasar yang kompetitif, ada
baiknya penyebab inefisiensi dalam pasar dibenahi terlebih dahulu. Suatu pasar
yangbaik adalah pasar yang bersaing atau memiliki tingkat kompetisi yang tinggi.
Tingkat kompetisi dalam pasar digambarkan oleh derajat kekuatan pasar yang
dimiliki oleh suatu perusahaan, dimana semakin tinggi derajat kekuatan pasar yang
ada maka struktur pasar yang dihadapi semakin tidak kompetitif. Hal yang
sebaiknya dilakukan dalam kasus ini adalah membuktikan apakah benar terdapat
kekuatan pasar dalam perdagangan bawang putih serta seberapa kuat kekuatan
pasar yang ada pada struktur pasar yang bersifat oligopolistik. Selain itu, perlu
dianalisis mengenai dampak dari kebijakan-kebijakan perdagangan yang kekuatan
pasar tersebut secara sosial karena terdapat biaya yang muncul akibat inefisiensi
pada pasar akibat kebijakan pembatasan impor tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian diatas tentang kondisi perdagangan bawang
putih di Indonesia, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah:
1. Bagaimana derajat kekuatan pasar dalam perdagangan bawang putih di
Indonesia?

7
2.

Berapa besar biaya sosial yang ditimbulkan dari inefisiensi pasar akibat
kebijakan pemerintah dan kekuatan pasar dalam perdagangan bawang putih?
Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan utama menemukan penjelasan mengenai
fenomena struktur pasar pada perdagangan bawang putih di Indonesia. Secara
khusus, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengestimasi derajat kekuatan pasar pada perdagangan bawang putih pada
struktur pasar di Indonesia,
2. Mengestimasi besar biaya sosial yang muncul akibat kebijakan pemerintah dan
kekuatan pasar pada perdagangan bawang putih.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah Indonesia dan
instansi yang terkait dalam melakukan kebijakan terkait impor suatu komoditi yang
dibutuhkan terutama impor bawang putih dimasa yang akan datang. Hasil yang
diperoleh akan menunjukkan struktur pasar bawang putih di Indonesia dan hal ini
dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam menetapkan berbagai
kebijakan perdagangan untuk mencapai hasil yang lebih akurat.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki ruang lingkup dan keterbatasan antara lain adalah:
1. Penelitian hanya menganalisis struktur dengan kebijakan pemerintah pada
rezim kebijakan tahun 2008-saat ini dimana terjadi peralihan kebijakan dari
kondisi tidak ada kebijakan non tarif (pengaturan impor) menjadi kondisi
dimana pemerintah memberlakukan kebijakan non tarif dan pada akhirnya
kembali menghapuskannya.
2. Data-data sekunder yang digunakan dalam penelitian merupakan data resmi,
data perdagangan ilegal tidak digunakan dalam penelitian.
3. Skala industri bawang putih yang dianalisis adalah industri perdagangan
bawang putih domestik yang berasal dari produksi domestik dan impor.
Sehingga, kekuatan pasar yang dimaksud merupakan kekuatan pasar yang
diciptakan oleh importir sebagai pemegang share terbesar pemasok bawang
putih dalam negeri.
4. Keterbatasan model ini adalah hanya menggambarkan kondisi keseimbangan
pada satu level pemasaran saja, yakni pada tingkat konsumen.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penulisan bab ini dimulai dengan pengkajian mengenai teori-teori yang
terkait dengan kekuatan pasar dan biaya sosial akibat adanya kekuatan pasar.
Kemudian, ditampilkan beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan kekuatan
pasar pada berbagai jenis industri. Terakhir, dalam bab ini juga dibahas kerangka
pemikiran penelitian.

8
Landasan Teori
Organisasi Industri
Studi mengenai Organisasi Industri atau Ekonomi Industri mulai banyak
dilakukan seiring dengan perkembangan industri pada beberapa abad terakhir.
Pasar nasional umumnya memiliki dua karakteristik utama yakni diferensiasi
produk dan adanya beberapa perusahaan besar. Karakteristik ini tidak sesuai dengan
teori pasar persaingan sempurna yang berasumsi bahwa produk homogen dan
terdapat banyak penjual kecil dan pembeli kecil, sehingga pada kondisi dimana
produk terdiferensiasi atau terdapat beberapa penjual dalam pasar akan
menyebabkan perusahaan menjadi price makers bukan price takers. Perusahaan
yang menjual barang yang terdiferensiasi tidak akan mengalami kekhawatiran
ketika menaikkan harga produknya, karena konsumen akan tetap membeli produk
tersebut. Hal yang sebaliknya terjadi ketika perusahaan memproduksi barang
homogen, perusahaan tidak dapat menaikkan harga karena konsumen akan memilih
barang yang diproduksi perusahaan lain. Rendahnya jumlah perusahaan pesaing
serta adanya preferensi konsumen mengindikasikan adanya kekuatan pasar yang
dimiliki perusahaan dan kompetisi dalam pasar yang tidak sempurna (Church and
Ware 2000).
Struktur Pasar Oligopolistik
Salah satu ciri struktur pasar yang kompetitif adalah terdapat banyak
penjual/perusahaan yang menawarkan produk yang homogen atau identik. Jika
suatu perusahaan berusaha menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi dari
harga pasar, maka konsumen akan dengan mudah beralih ke produk yang dijual
oleh perusahaan lain dengan harga pasar yang berlaku. Sementara itu, apabila
struktur pasar yang dihadapi merupakan pasar monopoli dimana hanya ada satu
penjual/perusahaan dan perusahaan tersebut menaikkan harga produk maka
perusahaan tidak akan kehilangan konsumen sebanyak ketika kondisi pasar bersifat
kompetitif. Monopolis memiliki kekuatan monopoli tertentu, monopolis memiliki
lebih banyak pilihan dalam variasi harga dibandingkan dengan perusahaan di pasar
kompetitif (Varian 2006).
Pada kenyataannya, suatu pasar umumnya berada pada kondisi diantara
kompetisi sempurna dan monopoli. Oligopoli merupakan suatu kondisi dimana
terdapat beberapa penjual/perusahaan dengan banyak pembeli. Dalam struktur
pasar oligopoli, pembeli bertindak sebagai price takers, sementara
penjual/perusahaan dapat bertindak sebagai price takers/price maker bergantung
pada sikap yang diambil oleh perusahaan. Secara umum terdapat beberapa bentuk
oligopoli yakni quasi-competitive, kartel, model cournot dan conjectural variation
model (Nicholson 2005).
Quasi-competitive merupakan suatu kondisi dimana perusahaan yang ada
dalam pasar bertindak sebagai price takers, artinya keputusan tiap perusahaan tidak
akan mempengaruhi harga pasar. Pada situasi ini keseimbangan yang tercapai
adalah selayaknya pada pasar yang kompetitif yakni pada pertemuan permintaan
dan penawaran. Pada Gambar 3, kondisi ini berada pada titik C. Namun, perilaku
price-taking tidak cocok pada suatu industri dimana tiap perusahaan didalamnya
menyadari bahwa keputusan yang dilakukan akan memberikan pengaruh pada
harga. Perusahaan-perusahaan tersebut kemudian akan melakukan koordinasi

9
(membentuk kartel) dalam menentukan keputusan secara bersama sehingga dapat
mencapai profit yang tinggi seperti dalam struktur monopoli, dalam Gambar 3
ditunjukkan pada titik M. Anggota kartel dapat melakukan kesepakatan terkait
harga, jumlah yang diperjual-belikan maupun pembagian keuntungan.
Pembentukan kartel menurunkan tingkat kompetisi dan memudahkan perusahaan
oligopolis. Keseimbangan yang dicapai pada kondisi kartel adalah seperti layaknya
dalam struktur pasar monopoli yakni saat penerimaan marjinal bernilai sama
dengan biaya marjinalnya. Tidak sedikit produk pertanian yang diperjual-belikan di
pasar internasional melalui asosiasi/kartel yang didukung pemerintah. Namun
umumnya pada pasar domestik, perilaku perusahaan yang mengarah ke kartel atau
monopoli dilarang oleh pemerintah karena menimbulkan suasana usaha yang tidak
sehat serta harga produk yang tinggi.

Sumber: Nicholson 2005

Gambar 3 Kondisi keseimbangan pada beberapa jenis struktur oligopoli
Conjectural variation model merupakan kondisi dimana setiap perusahaan
menyadari bahwa keputusan produksinya tidak hanya akan mempengaruhi harga
pasar, namun juga mempengaruhi keputusan perusahaan pesaingnya. Perusahaan
harus menyadari bahwa variasi keputusan produksinya tidak hanya berpengaruh
secara langsung terhadap harga namun ada pengaruh tak langsung melalui
keputusan perusahaan lain. Salah satu variasi kondisi ini adalah terdapat beberapa
perusahaan besar yang mampu mengontrol jumlah barang yang dijual (Kohl dan
Uhl 2002) dan umumnya akan membentuk suatu hirarki pemimpin-pengikut
dimana ketika perusahaan pemimpin melakukan perubahan harga maka perusahaan
pengikut akan segera menyesuaikan harga produknya. Kondisi ini tidak berarti
tidak terdapat persaingan antar perusahaan. Persaingan yang dilakukan tidak lagi
menggunakan instrumen harga, namun menggunakan usaha lain seperti inovasi dan
diferensiasi produk, pelayanan tambahan atau melakukan promosi dan periklanan.
Gambar 4 menggambarkan kondisi ketika terdapat satu perusahaan
pemimpin yang bertindak sebagai price leader. Kurva D menggambarkan
permintaan total terhadap produk industri, sementara kurva SC menggambarkan
penawaran produk oleh perusahaan dalam industri kecuali perusahaan pemimpin

10
(n-1) dalam kondisi yang kompetitif. Kurva SC merupakan penjumlahan biaya
marjinal dari perusahaan-perusahaan tersebut. Dengan dua kurva tersebut, dapat
diturunkan kurva permintaan bagi perusahaan pemimpin. Pada harga P1,
perusahaan pemimpin tidak akan menjual produknya kerena permintaan telah
dipenuhi oleh perusahaan pesaingnya. Sementara pada saat harga berada di P 2,
perusahaan pesaing tidak akan menjual barangnya sehingga pasar dikuasai
sepenuhnya oleh perusahaan pemimpin. Kurva permintaan D’ berada antara P1 dan
P2 yakni dengan mengurangi total permintaan dengan jumlah yang ditawarkan oleh
perusahaan pesaing, perusahaan pemimpin memenuhi permintaan yang tidak
dipenuhi dari perusahaan pesaingnya.

Sumber: Nicholson 2005

Gambar 4 Kondisi keseimbangan pada price leadership behavior
Pada kurva permintaan residual, perusahaan pemimpin dapat membentuk
kurva penerimaan marjinalnya. Keputusan perusahaan akan berada pada kondisi
maksimisasi profit yakni saat penerimaan marjinal bernilai sama dengan biaya
marjinalnya yakni pada QL dengan harga pasar PL. Pada harga tersebut perusahaan
pesaing akan berproduksi sejumlah QC sehingga total output industri berada pada
QT=QL+QC.
Kekuatan Pasar (Market Power)
Kekuataan pasar diartikan sebagai kemampuan suatu perusahaan untuk
meningkatkan harga diatas biaya marjinalnya dan menunjukkan tingkat kompetisi
dalam pasar. Jika dikaitkan dengan struktur pasar, perusahaan dalam struktur pasar
yang kompetitif tidak memiliki kekuatan pasar, sebaliknya perusahaan yang berada
pada pasar monopoli memiliki kekuatan pasar yang paling kuat. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa jika suatu pasar semakin bersifat kompetitif, maka semakin
rendah tingkat kekuatan pasar suatu perusahaan dan sebaliknya jika suatu pasar
semakin tidak kompetitif maka semakin tinggi kekuatan pasar yang terdapat dalam
industri (Lubis 2012). Hal tersebut tergambar dalam Gambar 5.

11
Most Market Power /
Least Efficient

Least Market Power /
Most Efficient

Perfect
Competition

Monopolistic
Competition

Oligopoly

Monopoly

Gambar 5 Kontinuum struktur pasar berdasarkan tingkat kekuatan pasarnya
Pada dasarnya tujuan dari suatu perusahaan untuk berproduksi dalam suatu
pasar tertentu adalah untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Pada pasar
yang kompetitif, harga yang diterima oleh perusahaan akan bernilai sama dengan
biaya marjinal produksi, begitu pula dengan penerimaan marjinalnya. Jika pasar
tidak bersifat kompetitif, dalam hal ekstrim bersifat monopoli, maka hal tersebut
berarti terdapat kekuatan dalam pasar (Durevall 2004). Perusahaan dengan
kekuatan pasar akan berusaha untuk meningkatkan harga diatas biaya marjinal
maupun penerimaan marjinal atau melakukan mark-up yang merupakan ukuran
kekuatan pasar.
Model Oligopolistik Bresnahan-Lau
Model Olgopoli Bresnahan-Lau terdiri dari 2 persamaan struktural yakni
persamaan permintaan (demand) dan persamaan harga atau supply (supply relation).
Misalkan fungsi keuntungan suatu perusahaan diberikan sebagai berikut:
�= . −

,� −

(1)

dimana q merupakan output perusahaan, P merupakan harga, C merupakan biaya
variabel, W merupakan variabel eksogen yang mempengaruhi biaya marginal atau
penawaran (upah atau harga input tertentu) dan F adalah biaya tetap (fixed cost).
Sementara itu fungsi invers permintaan pasar yang dihadapi oleh perusahaan
dinyatakan sebagai berikut:
=

,

=

+

+ ⋯+

,

(2)

dengan Z adalah variabel eksogenus yang mempengaruhi permintaan. Jika
persamaan (2) disubstitusi ke persamaan (1) maka diperoleh fungsi profit:
�=

,

. −

,� −

(3)

. − ′ ,� = 0

(4)

− ∑ ′ ,�

(5)

dengan menderivasi fungsi keuntungan terhadap output perusahaan (q) maka
diperoleh fungsi:


=



+

,

Kemudian dengan mengasumsikan kondisi tersebut adalah rata-rata untuk seluruh
perusahaan maka:
+



,

dan bila � =
= −� ′

.

=0

. maka persamaan (5) dapat dituliskan kembali menjadi:
,

.

+∑ ′ ,�

(6)

12
dimana turunan pertama fungsi permintaan ′ , menunjukkan pendapatan
marjinal dan turunan pertama fungsi biaya ′ , � adalah biaya marjinal.
Kembali ke persamaan :

�=

+ ∑

. =

dimana ruas

+ ∑

).
) menunjukkan conjectural variation perusahaan.

Conjectural variation dapat didefinisikan sebagai perubahan output keseluruhan
perusahaan lain (the rest) yang diantisipasi oleh suatu perusahaan akibat perubahan
output perusahaan tersebut (Bikker 2003).
Mengacu pada persamaan (6) maka dapat ditarik kesimpulan terkait
kemampuan perusahaan memainkan harga di pasar:
1. Untuk perusahaan yang berada pada kondisi pasar persaingan sempurna,
karena bersifat sebagai price taker, maka perubahan output suatu perusahaan
tidak akan berdampak pada output keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa
�=0 sehingga persamaan (6) menjadi:
= ∑ ′ ,�

atau

P=MC

2. Jika perusahaan-perusahaan yang ada di pasar melakukan kolusi (sempurna)
maka peningkatan output suatu perusahaan akan diikuti oleh peningkatan
output perusahaan
�=

+ ∑

). =

+



). =

. =

=

sehingga dalam kondisi terjadinya kolusi sempurna nilai �=1.
3. Jika perusahaan bersaing dalam kerangka Cournot, perubahan output
keseluruhan hanya berasal dari perubahan output satu perusahaan, tanpa ada
pembalasan (retaliation) dariperusahaan lain (the rest).

= sehingga � =

Dengan demikian antara pasar persaingan sempurna dan kolusi sempurna,
nilai λ akanberkisar antara 0 hingga 1, yang berarti dapat digunakan sebagai
indikator untuk menunjukkan tingkat market power atau tingkat persaingan yang
ada di pasar. Studi empiris estimasi market power untuk mengetahui tingkat
persaingan di pasar dapat dilakukan dengan cara mengestimasi variabel λ tersebut.
Oleh karena itu, untuk menjawab tujuan penelitian, studi ini akan mengestimasi
market power pada perdagangan bawang putih Indonesia dengan cara mengestimasi
nilai λ yang diperoleh dari model oligopoli Bresnahan-Lau (BL).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, model oligopoli BL merupakan model
struktural yang terdiri dari persamaan permintaan dan penawaran. Formulasi model
didasarkan pada persamaan permintaan (invers persamaan (2)) dan persamaan
harga (persamaan (6)). Dengan menggunakan invers persamaan (2):
=

, ,

+�

(7)

dan dengan penyesuaian pada persamaan harga (6) yang merupakan persamaan
kurva penawaran, maka diperoleh:
= −�

, ,

+

, �,

+�

(8)

13
Persamaan (7) dan (8) diatas dapat diselesaikan dengan menggunakan
metode analisis two-stage least square (2SLS) dengan harga (P) dan output (Q)
sebagai variabel endogen. Nilai λ yang diperoleh dari estimasi model struktural
diatas dapat digunakan untuk menunjukkan seberapa besar market power atau
tingkat persaingan yang terjadi di pasar.
Spesifikasi persamaan permintaan yang diperlukan untuk dapat
mengestimasi market power adalah dengan cara mencari variabel eksogen (variabel
Z) yang tidak hanya menggeser kurva permintaan secara paralel saja, akan tetapi
juga dapat merubah derajat kemiringan (slope) kurva permintaan (Bresnahan dalam
Lubis, 2012). Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan variabel instrumental
yang merupakan perkalian (cross-term) variabel harga P dengan variabel eksogen
Z, menjadi:
=

+

+

+

+�

(9)

Dengan demikian variabel eksogen Z tidak hanya menggeser kurva
permintaan saja melainkan juga merotasinya2. Sedangkan persamaan harga yang
digunakan adalah:
= −�.

+



+

+

+

�+�

(10)

Dengan perubahan variabel eksogen Z, intersep dan derajat kemiringan
(slope) kurva permintaan akan berubah. Dapat dilihat pada Gambar 6, apabila pasar
berperilaku kompetitif, rotasi kurva permintaan disekitar keseimbangan lama tidak
akan merubah keseimbangan, sehingga tetap di (Q1, P1). Namun, jika perusahaan
memiliki kekuatan pasar, maka akan terjadi perubahan keseimbangan menjadi (Q2,
P2). Dengan demikian, rotasi kurva permintaan yang disebabkan oleh variable
eksogen Z, memberikan respon yang berbeda antara pasar yang berperilaku
kompetitif dan pasar yang berperilaku monopoli.

Hal ini diperlukan untuk dapat mengestimasi λ karena dalam persamaan (8) variable λ terkait
dengan variabel Q, sementara variabel Q terdiri dari 2, yakni Q yang terikat dengan α dan yang
terikat dengan β. Dengan rotasi ini maka dapat dipisahkan Q yang hanyaterikat dengan α dan λ saja
(Lubis, 2012)
2

14

Sumber: Lubis 2012

Gambar 6 Perbedaan respon antara pasar kompetitif dan pasar monopoli
Biaya Sosial
Biaya sosial merupakan surplus yang hilang dan tidak diterima kembali oleh
beberapa pihak karena dinikmati oleh pihak lain (melalui rent seeking activity)
ataupun hilang tidak diterima sama sekali oleh siapapun, dikarenakan terjadi suatu
perubahan dalam pasar. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh penyebab
eksternal seperti kebijakan pemerintah, penyebab internal seperti terjadinya
inefisiensi dalam pasar, maupun keduanya. Biaya sosial dianggap sebagai kerugian
yang ditanggung oleh masyarakat s