Daya Saing Ayam Ras Pedaging Indonesia Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean.

DAYA SAING AYAM RAS PEDAGING DI INDONESIA
DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

SURYANI NURFADILLAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Daya Saing Ayam Ras
Pedaging Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah benar
karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Suryani Nurfadillah
NIM H351140456

RINGKASAN
SURYANI NURFADILLAH. Daya Saing Ayam Ras Pedaging Indonesia dalam
Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dibimbing oleh DWI RACHMINA
dan NUNUNG KUSNADI.
Pada akhir 2015 ini era perdagangan bebas ASEAN Economic Community
(AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mulai diberlakukan bagi
negara-negara anggota ASEAN. MEA adalah bentuk integrasi ekonomi regional
yang bertujuan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi
dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, tenaga terampil, dan modal yang lebih
bebas. MEA yang merupakan bentuk liberalisasi perdagangan menuntut setiap
negara untuk memiliki daya saing yang tinggi. Industri ayam ras pedaging adalah
salah satu sektor yang memerlukan perhatian menjelang diberlakukannya MEA.
Biaya produksi dan harga jual daging ayam ras Indonesia lebih tinggi dibandingkan
negara-negara lain. Dengan berlakunya MEA, dikhawatirkan daging ayam lokal
tidak dapat bersaing dengan daging impor yang harganya lebih murah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing dan dampak
kebijakan pemerintah terhadap daya saing ayam ras pedaging di Indonesia sebelum
dan setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan
membandingkan dua jenis pengusahaan, yaitu pengusahaan oleh peternak rakyat
dan perusahaan yang terintegerasi. Data primer diperoleh dari 39 peternak rakyat
yang terdiri dari 30 peternak mitra dan 9 peternak mandiri, satu buah perusahaan
unggas yang terintegerasi secara vertikal, dan pedagang besar daging ayam ras.
Metode sampling yang digunakan adalah stratified random sampling untuk
kelompok peternak mitra¸ metode survey untuk kelompok peternak mandiri, dan
purposive untuk perusahaan. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis
Matrix (PAM).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengusahaan daging daging
ayam ras Indonesia pada berbagai bentuk pengusahaan menguntungkan pada harga
privat. Hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah memberikan manfaat
kepada produsen. Namun dilihat dari harga sosial, pengusahaan ayam ras pedaging
oleh peternak rakyat bernilai negatif atau tidak menguntungkan, sedangkan
pengusahaan oleh perusahaan masih menguntungkan. Analisis keunggulan
kompetitif dan keunggulan komparatif berdasarkan nilai Private Cost Ratio (PCR)
serta Domestic Resources Cost Ratio (DRC) menunjukan bahwa peternak rakyat
memiliki nilai PCR1 yang berarti tidak memiliki keunggulan

komparatif. Sedangkan perusahaan memiliki nilai PCR dan DRCR yang kurang
dari satu yang berarti memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pengusahaan ayam ras oleh perusahaan lebih
berdaya saing daripada peternak rakyat.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap output ayam ras pedaging
menunjukan transfer output bernilai positif, hal ini berarti pemerintah telah
memberikan proteksi karena peternak memperoleh penerimaan diatas harga.
Sedangkan kebijakan harga input usaha ayam ras pedaging juga menyebabkan
peternak membeli input lebih mahal dibandingkan harga sosialnya. Secara

keseluruhan kebijakan input-output yang diterapkan pemerintah bersifat protektif
Terdapat tiga skenario yang digunakan untuk menggambarkan daya saing
ayam ras pedaging saat berlangsunngnya MEA, yaitu penurunan tarif impor,
penurunan tingkat suku bunga, dan penurunan biaya logistik. Penurunan tarif impor
daging menyebabkan penurunan daya saing. Saat tarif impor dihapuskan, maka
hanya pengusahaan oleh perusahaan yang masih tetap berdaya saing. Sedangkan
penurunan tingkat suku bunga dan biaya logistik akan menyebabkan peningkatan
daya saing. Pelaksanaan MEA akan mengurangi keunggulan kompetitif tetapi
meningkatkan keunggulan komparatif.
Kata kunci: Ayam ras pedaging, daya saing, MEA, policy analysis matrix


SUMMARY

SURYANI NURFADILLAH. Indonesian Broiler Competitiveness Towards
ASEAN Economic Community (AEC). Supervised by DWI RACHMINA and
NUNUNG KUSNADI.
By the end of this year the 10 countries that make up the Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN) are supposed to join forces as a single economic
community, the Asean Economic Community (AEC). The goal of ASEAN
economic integration is to become a single production base where goods can be
manufactured anywhere and distributed efficiently to anywhere within the region.
Asean needs to work towards the goal of freer movement of labour and capital, but
in reality, integration and the free flow of resources will only be gradual, step by
step, sector by sector. AEC which is a form of trade liberalization requires high
competitiveness. Broiler industry is one of the sectors that needs attention before
the enforcement of the AEC. The price and production of local chicken meat is
higher than other countries. With the enactment of the MEA, local chicken meat
would be threated by cheaper imported product.
This study aimed to analyze the competitiveness and impact of government
policy on the competitiveness of broiler in Indonesia before and after the

implementation of the ASEAN Economic Community by comparing the two types
of cultivation, ie cultivation by small farms and by vertically integrated company.
Primary data were obtained from 39 people small farmers, an integrated company,
and wholesalers. The sampling method used was stratified random sampling for
partenered-farmers, survey method for independent farmers, and purposive
sampling method for the company. The analytical method used was the Policy
Analysis Matrix (PAM).
Based on the benefit analysis, known that the income in various form of chicken
meat production is positive or profitable. These results indicate that the government
policy provides benefits to producers. But from a social price, chicken meat production
done by small farms is unprofitable while the production by the company is still
profitable. Analysis of competitive advantage and comparative advantage based on the
value of Private Cost Ratio (PCR) and Domestic Resources Cost Ratio (DRC) showed
that small farms have PCR 1 means that it does not have a comparative advantage. While the company
has a PCR and DRCR value less than one, it means that production by company has
comparative and competitive advantages. It can be concluded that the production of
chicken meat by company has more competitiveness.
The impact of government policies on output indicates the positive Output
Transfer value, it means that the government has provided protection for farmers.
Meanwhile, the input policies of broiler production also led farmers to buy inputs

more expensive than its social price. Overall input-output policies applied by the
government is protective.
There are three scenarios that are used to describe the competitiveness of
broiler when AEC is enforced, the reduction of import tariffs, reduction of interest
rates, and reduction in logistics costs. So far, ASEAN overall has progressed to a
level of 80% in terms of eliminating tariffs on goods traded within the region. Some
items remain on sensitive lists in each country, but these items will have tariffs

reduced to zero by the end of 2015. ASEAN in general has been on the right track
to eliminate all tariffs by the end of 2015. Meat import tariff reduction will lead to
a decline in competitiveness. When import tariffs were eliminated, only the
production done by company that remains competitive. While the reduction in
interest rate and logistics costs will lead to increased competitiveness. The
implementation of AEC will reduce competitive advantage but increase
comparative advantage.
Keywords: AEC, broiler, competitiveness, policy analysis matrix

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAYA SAING AYAM RAS PEDAGING DI INDONESIA
DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

SURYANI NURFADILLAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains Agribisnis
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Heny K. Daryanto, MEc

Judul Tesis : Daya Saing Ayam Ras Pedaging di Indonesia dalam Menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN
Nama
: Suryani Nurfadillah
NIM
: H351140456

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Magister Sains Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian : 31 Agustus 2015

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Februari–Agustus ini adalah daya saing dengan
judul Daya Saing Ayam Ras Pedaging Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat

Ekonomi ASEAN.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak akan dapat diselesaikan
dengan baik tanpa dorongan, bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis dalam kesempatan ini menyampaikan penghargaan yang tinggi
dan terima kasih kepada Dr Ir Dwi Rachmina MSi dan Dr Ir Nunung Kusnadi MS
selaku komisi pembimbing, Dr Ir Anna Fariyanti MSi selaku evaluator kolokium,
Dr Ir Heny K. Daryanto MEc selaku penguji luar komisi, Dr Ir Joko Purwono MS
selaku penguji wakil program studi, serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina MS selaku
Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis atas bimbingan, saran dan
bantuannya yang telah diberikan. Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan
kepada PT. Malindo Feedmill serta para peternak ayam ras pedaging di Kecamatan
Pamijahan baik yang bermitra maupun yang tidak bermitra atas bantuan dan
informasi yang diberikan selama penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga
atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam
semangat dan terima kasih kepada teman-teman Agribisnis 47 IPB, MSA 4 IPB,
dan sahabat-sahabat yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam pembuatan
tesis ini.
Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2015


Suryani Nurfadillah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

1
1
3
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Usahaternak Ayam Ras Pedaging
Daya Saing Produk Peternakan
Dampak Liberalisasi Perdagangan
Metode Pengukuran Daya Saing

7
7
8
9
11

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Masyarakat Ekonomi ASEAN
Konsep Perdagangan Internasional

12
12
20

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data

28
28
28
29
29

5 GAMBARAN UMUM PENELITIAN
Karakteristik Wilayah Kecamatan Pamijahan
PT. Malindo Feedmill
Kebijakan Pemerintah Pada Agribisnis Ayam Ras Pedaging

41
41
50
53

6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan Input Produksi Ayam Ras pedaging
Biaya dan Penerimaan
Analisis Tingkat Keuntungan Usaha Ayam Ras Pedaging
Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Ayam Ras Pedaging
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
Daya Saing Mutu Ayam Ras Pedaging Indonesia

57
57
62
67
69
70
75

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

76
76
77

DAFTAR PUSTAKA

77

LAMPIRAN

82

RIWAYAT HIDUP

90

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Neraca perdagangan pertanian Indonesia menurut subsektor 20112013
Konsumsi daging segar per kapita (kg/kapita/tahun), 2011-2013
Kebijakan harga pada komoditas pertanian
Produksi daging ayam ras Indonesia beserta lima sentra produksi
terbesar (ton), 2011-2013*)
Alokasi biaya berdasarkan komponen domestik dan asing
Policy Analysis Matrix (PAM)
Kelompok usia penduduk Kecamatan Pamijahan
Jenis pekerjaan penduduk Kecamatan Pamijahan
Tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Pamijahan
Kelompok usia responden
Jenis kelamin responden
Tingkat pendidikan formal responden
Pekerjaan di luar beternak ayam
Lama usaha ayam ras pedaging
Kapasitas usaha ayam ras pedaging
Alasan beternak ayam ras pedaging
Harga ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan Mei 2015
Penggunaan DOC, pakan, dan obat-obatan pada usaha ayam ras
pedaging (per 1 ton karkas)
Feed Convertion Ratio (FCR) dan mortalitas pada usaha ayam ras
pedaging (per 1 ton karkas)
Penggunaan input penunjang pada usaha ayam ras pedaging
(per 1 ton karkas)
Rata – rata curahan tenaga kerja pada usaha ayam ras pedaging
(per 1 ton karkas)
Biaya Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Peternak Mitra
(per ton karkas)
Biaya Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Peternak Mandiri
Biaya Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Perusahaan (per ton
karkas)
Tingkat keuntungan pengusahaan ayam ras pedaging
Nilai keunggulan komparatif dan kompetitif usaha ayam ras pedaging
Indikator dampak kebijakan output pemerintah pada pengusahaan
ayam ras pedaging
Indikator dampak kebijakan input pemerintah pada pengusahaan
ayam ras pedaging
Indikator dampak kebijakan input-output pemerintah pada
pengusahaan ayam ras pedaging
Indikator daya saing berdasarkan skenario terjadinya MEA

2
2
21
28
30
33
42
43
43
44
44
45
45
46
46
47
50
58
59
60
62
63
65
66
68
69
70
71
72
73

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Faktor-faktor Pembangun Daya Saing
Kurva Aliran Perdagangan Internasional
Dampak Subsidi terhadap Produsen dan Konsumen pada Barang
Ekspor dan Impor
Pajak dan Subsidi pada Input Tradable
Pajak dan Subsidi pada Input Non-tradable
Hubungan Daya Saing dengan Faktor Pembangunnya dalam
Kerangka Teori Policy Analysis Matrix (PAM)
Integrasi vertikal sektor perunggasan

19
20
24
26
27
39
51

DAFTAR LAMPIRAN
1 Biaya dan penerimaan privat sistem komoditi ayam ras pedaging
pada pengusahaan dengan kemitraan di Kecamatan Pamijahan
2 Biaya dan penerimaan sosial sistem komoditi ayam ras pedaging
pada pengusahaan dengan kemitraan di Kecamatan Pamijahan
3 Biaya dan penerimaan privat sistem komoditi ayam ras pedaging
pada pengusahaan mandiri di Kecamatan Pamijahan
4 Biaya dan penerimaan sosial sistem komoditi ayam ras pedaging
pada pengusahaan mandiri di Kecamatan Pamijahan
5 Biaya dan penerimaan privat sistem komoditi ayam ras pedaging
pada perusahaan terintegerasi
6 Biaya dan penerimaan sosial sistem komoditi ayam ras pedaging
pada perusahaan terintegerasi
7 Policy Analysis Matriks untuk skenario perubahan tarif impor
menjadi nol persen
8 Policy Analysis Matriks untuk skenario perubahan interest rate
menjadi 5 persen
9 Policy Analysis Matriks untuk skenario penurunan biaya logistik
20 persen
10 Policy Analysis Matriks untuk skenario kombinasi

82
83
84
85
86
87
88
88
89
89

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada akhir 2015 ini era perdagangan bebas ASEAN Economic Community
(AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mulai diberlakukan bagi
negara-negara anggota ASEAN. MEA adalah bentuk integrasi ekonomi regional
yang bertujuan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi
dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, tenaga terampil, dan modal yang lebih
bebas. Selanjutnya MEA diharapkan dapat menjadikan ASEAN sebagai kawasan
yang mempunyai daya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang
merata dan terintegrasi dalam ekonomi global.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjadi tantangan sekaligus peluang
bagi Indonesia untuk mengembangkan produk dalam negeri sehingga bersaing di
pasar ASEAN. Dalam konteks ini, produk Indonesia dituntut untuk dapat bersaing
menghadapi berbagai produk sejenis di pasar tunggal AEC 2015, khususnya
produk‐produk pertanian. Pelaku usaha di dalam negeri diharuskan untuk
mempersiapkan diri karena semua aturan ekonomi akan terintegrasi dan
diberlakukan sama pada semua negara anggota.
Kesepakatan MEA akan memberi peluang bagi Indonesia untuk memperluas
cakupan skala ekonomi, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi,
meningkatkan daya tarik bagi investor dan wisatawan, mengurangi biaya transaksi
perdagangan, memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis, serta meningkatkan
daya saing. Selain itu, MEA juga akan memberikan kemudahan dan peningkatan
akses pasar intra‐ASEAN serta meningkatkan transparansi dan mempercepat
penyesuaian peraturan‐peraturan dan standarisasi domestik.
Namun pada sisi lain, pembentukan MEA menimbulkan tantangan bagi
Indonesia berupa keharusan untuk meningkatkan daya saing melalui peningkatan
efisiensi, meningkatkan pemahaman masyarakat, menciptakan good governance,
mampu menentukan prioritas sektor‐sektor yang akan di liberalisasi serta
menyelaraskan posisi Indonesia dalam berbagai negosiasi baik bilateral, regional
maupun multilateral. Apabila Indonesia tidak mampu menjawab tantangan tersebut
maka akan semakin tertinggal di kawasan ASEAN bahkan tertinggal di tingkat
global.
Peternakan merupakan salah satu subsektor yang perlu menjadi perhatian
menjelang berlangsungnya MEA. Subsektor peternakan berperan penting dalam
penyediaan sumber protein hewani, menciptakan lapangan kerja, dan turut
berkontribusi dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data Pusat Data dan
Informasi Pertanian (Pusdatin) 2014a, diketahui bahwa kontribusi peternakan
terhadap PDB tahun 2011-2014 selalu mengalami peningkatan dengan laju 4.72
persen per tahun. Namun subsektor peternakan merupakan subsektor dengan defisit
perdagangan tertinggi kedua setelah tanaman pangan. Bahkan ketika subsektor lain
menunjukkan penurunan defisit perdagangan, defisit subsektor peternakan justru
semakin meningkat. Subsektor peternakan menjadi satu-satunya subsektor yang
memiliki laju neraca perdagangan negatif selama tahun 2011 hingga 2013 (Tabel
1).

2
Tabel 1 Neraca perdagangan pertanian Indonesia menurut subsektor 2011-2013
Subsektor
Tanaman Pangan
Hortikultura
Perkebunan
Peternakan
Pertanian

Neraca
Perdagangan
Volume (Ton)
Nilai (000 $)
Volume (Ton)
Nilai (000 $)
Volume (Ton)
Nilai (000 $)
Volume (Ton)
Nilai (000 $)
Volume (Ton)
Nilai (000 $)

2011
-14 555 744
-6 439 075
-1 670 623
-1 194 827
23 551 764
31 845 976
-283 633
-1 445 730
7 041 764
22 766 344

Tahun
2012
-14 206 457
-6 156 086
-1 712 188
-1 308 676
28 255 073
29 367 336
-1 016 067
-2 141 573
11 320 361
19 761 000

2013
-12 776 045
-5 270 409
-1 263 442
-1 179 188
31 047 294
26 839 007
-1 048 694
-2 451 068
15 959 114
17 938 343

Laju (%)
6.23
9.39
11.86
0.18
14.93
8.19
-130.72
-31.29
50.87
-11.21

Sumber : Kementerian Pertanian 2014

Berdasarkan data sensus pertanian oleh Badan Pusat Statistik (2014), dilihat
dari jumlah ternak yang dipelihara oleh rumah tangga pertanian di Indonesia, ayam
ras pedaging merupakan ternak yang paling banyak diusahakan (1.31 miliar ekor),
diikuti ayam lokal (87.90 juta ekor) dan ayam ras petelur (81.15 juta ekor). Ternak
ayam ras pedaging menjadi menarik untuk diusahakan karena waktu pemeliharaan
yang lebih singkat dibanding ternak lainnya sehingga menyebabkan perputaran
modal yang cepat pula. Selain itu, daging ayam ras merupakan daging yang paling
banyak dikonsumsi dibandingkan daging lainnya (Tabel 2). Konsumsi yang terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akan menyebabkan peningkatan
permintaan daging ayam ras.
Tabel 2 Konsumsi daging segar per kapita (kg/kapita/tahun), 2011-2013
No

Komoditas

2011

2012

2013

1
2
3
4
5
6

Sapi
Babi
Ayam Ras Pedaging
Ayam Kampung
Unggas Lainnya
Daging Lainnya

0.31
0.21
3.08
0.52
0.05
0.05

0.37
0.21
3.55
0.63
0.05
0.05

0.42
0.26
3.65
0.63
0.05
0.05

Laju
(% per th)
16.43
11.90
9.04
10.58
0.00
0.00

Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjennak ) 2014, diolah

Permintaan terhadap produk ayam ras pedaging akan selalu meningkat
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perubahan demografi berupa
pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan pendapatan. Kedua, perubahan gaya
hidup (life style ) menyebabkan permintaan terhadap makanan yang siap masak
(ready to cook) dan siap santap (ready to eat) semakin meningkat. Ketiga,semakin
banyaknya QSR (Quick Service Restaurant), pasar swalayan dan hypermarket yang
menawarkan beragam komoditas dan produk olahan daging ayam ras. Keempat,
semakin banyak konsumen terkait dengan alasan kesehatan beralih dari daging
merah (red meat) ke daging ayam. Kelima, daging ayam memiliki peran sebagai
penyedia protein hewani yang paling murah dibandingkan dengan komoditas
peternakan lainnya.

3
Dilihat dari sisi produksi, Indonesia memiliki potensi besar. Hal ini
ditunjukkan dengan produksi daging ayam ras yang semakin meningkat setiap
tahunnya. Produksi daging ayam ras pada tahun 2010 sebesar 1.21 juta ton dan
meningkat menjadi 1.52 juta ton pada tahun 2014. Rata-rata laju pertumbuhan
produksi daging ayam ras dari tahun 2010 hingga 2014 sebesar 5.89 persen per
tahun. Jawa Barat merupakan produsen daging ayam ras tertinggi yang
menyumbang 35.91 persen dari total produksi nasional, disusul Jawa Timur dan
Jawa Tengah (Pusdatin 2014b).
Walaupun produksi ayam ras pedaging di Indonesia terus meningkat, namun
biaya yang harus dibayarkan untuk memproduksi setiap kilogram ayam masih
relatif tinggi. Biaya produksi per kilogram di Indonesia mencapai US$ 1.39, biaya
produksi di negara ASEAN (Thailand dan Malaysia) sebesar US$ 1.2, sedangkan
biaya produksi di negara eksportir utama (US, Brazil, dan Argentina) kurang dari 1
dolar (US$ 0.85-0.97) (USDA 2014). Hal ini menunjukkan bahwa biaya untuk
memproduksi ayam ras pedaging di Indonesia lebih mahal 20 hingga 54 persen dari
negara lain. Tingginya biaya produksi secara otomatis akan menyebabkan harga
output menjadi lebih mahal sehingga dapat kalah bersaing dengan produk sejenis
dari negara lain.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan mulai diberlakukan pada
akhir 2015 merupakan salah satu bentuk implementasi perdagangan bebas. Untuk
dapat bertahan dalam iklim perdagangan bebas, setiap negara dituntut memiliki
daya saing yang tinggi. Daya saing adalah kemampuan produsen dalam
memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang baik dan biaya yang cukup
rendah sesuai harga di pasar internasional, serta dapat dipasarkan dengan harga
yang cukup sehingga dapat melanjutkan kegiatan produksi. Secara sederhana daya
saing juga berarti apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian
sumberdaya domestik cukup rendah, sehingga harga jualnya cukup kompetitif
dibandingkan harga yang terbentuk di pasar dunia. Melihat tingginya selisih biaya
produksi ayam ras pedaging antara Indonesia dengan Thailand dan Malaysia,
dikhawatirkan kesepakatan perdagangan bebas antarnegara ASEAN ini justru akan
menjadi ancaman bagi agribisnis ayam ras pedaging Indonesia. Berdasarkan
pemaparan diatas, daya saing ayam ras pedaging di Indonesia menarik untuk dikaji.
Perumusan Masalah
Ternak unggas merupakan salah satu komoditas subsektor peternakan yang
sejak tahun 1972 mengalami pertumbuhan relatif cepat. Pertumbuhan tersebut
didorong oleh adanya perkembangan yang kuat dari sektor industri hulu (pabrik
pakan, pembibitan dan industri farmasi) dan industri hilir yang meliputi rumah
potong ayam, restoran dan lain-lain.
Usahaternak unggas yang mengalami paling dominan dan dianggap paling
menarik untuk diusahakan adalah usaha agribisnis ayam ras pedaging. Hal ini
dilandasi beberapa alasan, yaitu: (1) pada periode 1986-2014, produksi daging asal
unggas didominasi oleh daging ayam ras, dengan pangsa 61.16 persen dari total
daging unggas; (2) periode siklus produksinya yang relatif pendek sehingga
perputaran modal relatif cepat, sehingga cocok untuk usaha peternakan rakyat; (3)
usaha ayam ras pedaging mempunyai kaitan yang luas baik kaitan kebelakang

4
(backward linkage) dan kaitan kedepan (forward linkage); (4) kemampuannya
dalam menyerap tenaga kerja secara ekstensif.
Namun di sisi lain industri ayam ras pedaging masih memiliki
permasalahan-permasalahan di berbagai subsektor agribisnis yang akan
berpengaruh negatif terhadap daya saing. Pada subsektor hulu, permasalahan terkait
penyediaan pakan menjadi isu yang sangat menonjol. Sebagian besar bahan baku
pakan masih sangat tergantung pada impor, seperti impor jagung yang mencapai
40-50 persen; bungkil kedelai 95 persen; tepung ikan 90-92 persen; tepung tulang
dan vitamin/feed additive hampir 100 persen impor. Jagung merupakan komponen
utama pakan ayam ras pedaging. Negara-negara yang memiliki daya saing tinggi
sangat tergantung pada pasokan jagung domestik. Ketergantungan terhadap impor
jagung sangat merugikan bagi Indonesia karena pasokan untuk pakan (feed)
semakin berkurang akibat persaingan dengan kebutuhan untuk pangan (food) dan
bahan bakar nabati (fuel). Keadaan ini menyebabkan kecenderungan harga pakan
yang terus meningkat. Padahal alokasi biaya untuk pakan merupakan yang terbesar,
sekitar 60-70 persen dari biaya produksi. Dengan meningkatnya harga pakan, biaya
produksi daging ayam ras secara otomatis juga akan meningkat.
Subsektor budidaya ayam ras pedaging merupakan subsektor yang dianggap
paling baik kinerjanya dibanding ketiga subsektor lainnya. Hal ini didasarkan pada
terus meningkatnya produksi ayam ras dari tahun ke tahun sehingga pada tahun
2010 sudah dapat memenuhi kebutuhan nasional. Namun, tingginya produksi ayam
ras pedaging nasional tidak dapat dijadikan sebagai indikator efisiensi. Dapat
disimpulkan dari beberapa penelitian bahwa usaha ayam ras pedaging di Indonesia
sudah efisien secara teknis, namun masih belum efisien secara alokatif maupun
ekonomi. Dilihat dari segi efisiensi teknis, walaupun sudah tergolong efisien namun
Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya karena
budidaya ayam ras pedaging pada negara-negara tersebut sudah menggunakan
sistem closed house.
Dilihat dari segi biaya produksinya, biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi perkilogram ayam ras pedaging di Indonesia juga lebih tinggi.
Sebagai contoh, menurut laporan United States Department of Agriculture (USDA)
2014, rata-rata harga pokok produksi ayam ras pedaging di Thailand rata-rata
sebesar 36 bath/kg atau setara dengan Rp 13 965 per kg. Penggunaan biaya tersebut
dibagi dalam empat hal, yaitu untuk ayam umur sehari atau DOC (21.95 persen),
pakan (63.41 persen), obat-obatan dan vaksinasi (2.44 persen), dan tenaga kerja
(12.19 persen). Sedangkan di Indonesia harga pokok produksi ayam ras pedaging
pada periode yang sama berkisar antara 16 500 - 17 000 rupiah. Hal ini berarti
biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi perkilogram ayam ras pedaging
di Indonesia lebih tinggi 20 persen dibandingkan apabila diproduksi di Thailand.
Industri broiler di Indonesia telah berkembang sebagai bisnis komersial yang
bersifat dualistik, yaitu tumbuhnya perusahaan peternakan skala besar pada satu sisi
dan pada sisi lain tumbuhnya peternak rakyat. Peternak skala besar biasanya berupa
perusahaan multinasional yang melakukan integrasi vertikal dari hulu ke hilir.
Sedangkan peternak rakyat biasanya merupakan peternak dengan skala usaha kecil
yang hanya beroperasi di subsistem budidaya (on-farm). Peternak rakyat kemudian
dibedakan menjadi dua junis, yaitu peternak mandiri dan peternak yang bermitra.
Peternak mandiri (non mitra) adalah peternak yang mampu menyelenggarakan
usaha ternak dengan modal sendiri dan bebas menjual outputnya ke pasar. Pada

5
prinsipnya peternak mandiri menyediakan seluruh input produksi dari modal sendiri
dan bebas memasarkan produknya. Pengambilan keputusan mencakup kapan
memulai berternak dan memanen ternaknya, serta seluruh keuntungan dan risiko
ditanggung sepenuhnya oleh peternak. Peternak mitra pada dasarnya adalah
peternak skala kecil yang menjalin kemitraan dengan peternak skala menengah atau
besar untuk mendapat bantuan berupa bimbingan teknis, manajemen, permodalan,
dan pemasaran hasil.
Industri broiler pada dekade terakhir abad-20 menunjukkan struktur produksi
yang timpang, di mana pangsa produksi dikuasai oleh perusahaan peternakan skala
besar (60%), skala menengah (20%) dan skala kecil (20%) (Yusdja et al. 1999).
Padahal pelaku pengusaha ayam ras pedaging skala kecil ini paling banyak
jumlahnya. Berdasarkan Sensus Pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik (2014), ayam ras pedaging diusahakan oleh 6 620 410 rumah tangga dari
keseluruhan 12 969 210 rumah tangga di subsektor peternakan.
Pertumbuhan yang pesat dalam industri broiler sejauh ini lebih banyak
dinikmati oleh perusahaan multinasional (MNCs) berskala besar yang digerakkan
oleh adanya keuntungan skala usaha dan globalisasi sistem rantai nilai dari hulu
hingga hilir atau melakukan integrasi vertikal (Daryanto, 2009). Dengan terjadinya
integrasi vertikal dalam industri broiler dari hulu hingga hilir tersebut pada satu sisi
mampu memproduksi daging broiler secara efisien dan berdaya saing, namun pada
sisi lain peran peternak rakyat makin terpinggirkan.
Permasalahan pada subsektor hilir sangat terkait dengan berfluktuasinya
harga output (daging ayam) dan inefisiensi pemasaran akibat sistem perdagangan
ternak hidup. Pertama, fluktuasi harga jual ayam menyebabkan adanya
ketidakpastian keuntungan penjualan yang diterima oleh para peternak, bahkan
sering kali harga daging ayam lebih rendah daripada harga pokok produksi (HPP)
perkilogramnya. Fluktuasi harga daging ayam ras ini juga merupakan akibat dari
belum adanya upaya pengelolaan logistik yang efektif, informasi pasar dan saluran
pemasaran yang belum efisien, belum terbentuknya agroindustri yang menciptakan
nilai tambah berbasis perubahan bentuk/form utility (Daryanto 2009). Tingginya
biaya logistik di Indonesia juga menjadi penyebab tingginya harga daging ayam di
tingkat konsumen. Sebagai contoh, biaya logistik di Indonesia rata-rata sebesar US$
13.5/km sedangkan biaya logistik Malaysia hanya US$ 7.9/km1. Kedua,
perdagangan ternak yang selama ini masih dalam kondisi hidup tidak efisien karena
banyak mengeluarkan retribusi, resiko kematian selama perjalanan yang tinggi,
serta berpotensi sebagai sarana penyebaran penyakit ternak. Seharusnya
perdagangan ternak hidup sudah mulai digantikan dengan perdagangan ternak
karkas dengan rantai dingin.
Permasalahan pada subsektor penunjang antara lain terkait investasi,
kemitraan, dan kebijakan pemerintah. Investasi merupakan salah satu faktor yang
krusial dalam pengembangan agribisnis ayam ras pedaging, mengingat besarnya
modal yang diperlukan untuk membangun dan menjalankan usahaternak ayam ras.
Saat ini industri ayam ras pedaging masih didominasi oleh investasi asing,
sedangkan investasi dari dalam negeri masih rendah apalagi setelah
diberlakukannya UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
yang memperbolehkan usaha peternakan unggas diselenggarakan secara
1

Kesiapan Sektor Usaha Sektor Pertanian dalam Mengahadapi AEC 2015. Disampaikan dalam
PENAS Petani dan Nelayan, 10 Juni 2014. http://bkp.pertanian.go.id/bahanseminarkadinpenas.pdf

6
terintegrasi (suatu badan usaha peternakan yang dapat memiliki usaha sejak dari
hulu hingga hilir) dan hasil usaha terintegrasi tersebut dapat sepenuhnya dipasarkan
pada pasar tradisional dalam negeri. Dalam kondisi seperti ini, para perusahaan
kecil PMDN serta peternakan rakyat akan sulit bersaing bahkan di pasar tradisional
yang selama ini sebagai tempat pemasaran para peternak rakyat.
Permasalahan-permasalahan diatas merupakan permasalahan dasar yang
semestinya dapat memberikan dampak negatif bagi perkembangan agribisnis ayam
ras pedaging. Namun, pada kenyataannya agribisnis ayam ras pedaging terus
menunjukkan kondisi yang semakin membaik, terutama dilihat dari sisi
produksinya. Ternyata, hal ini disebabkan oleh adanya intervensi dari pemerintah
berupa berbagai kebijakan yang bertujuan untuk memproteksi agribisnis ayam ras
supaya menunjukkan performa yang baik. Pemerintah terus mendorong perbaikan
dengan berbagai kebijakan, seperti subsidi input, kemudahan dalam mengakses
modal, peraturan-peraturan bagi penanam modal asing, dan hambatan impor daging
ayam. Berbagai kebijakan yang dijalankan terbukti efektif untuk meningkatkan
kinerja agribisnis ayam ras pedaging.
Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN akhir 2015 ini akan menuntut
daya saing komoditi antarnegara. Bagi negara produsen dengan daya saing yang
rendah, maka secara otomatis akan tersingkir dari persaingan. Perdagangan bebas
juga merupakan instrumen yang akan menuntut pemerintah melepaskan
proteksinya. Dengan begitu maka agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia akan
berada dalam masalah, karena selama ini baiknya kinerja industri ini adalah akibat
berbagai kebijakan proteksi pemerintah. Berdasarkan hal tersebut pertanyaan
penelitian yang muncul adalah bagaimana daya saing agribisnis ayam ras pedaging
Indonesia dengan berbagai bentuk pengusahaan sebelum dan sesudah
diberlakukannya era perdagangan bebas ASEAN Economic Community 2016.
Apakah agribisnis ayam ras pedaging Indonesia masih dapat survive dan perform
pada iklim perdagangan bebas.
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya saing dan
dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas ayam ras pedaging di
Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Adapun tujuan
khusus penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis daya saing agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia melalui
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pada berbagai.
2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
diberlakukannya era perdagangan bebas ASEAN Economic Community 2016
terhadap daya saing agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia.

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Usahaternak Ayam Ras Pedaging
Ayam ras pedaging merupakan ternak yang paling ekonomis dan banyak
diusahakan bila dibandingkan dengan ternak lain. Kelebihan yang dimiliki adalah
kecepatan pertambahan/produksi daging dalam waktu yang relatif cepat dan singkat
atau sekitar 4 - 5 minggu produksi daging sudah dapat dipasarkan atau dikonsumsi
Keunggulan ayam ras pedaging antara lain pertumbuhannya yang sangat cepat
dengan bobot badan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek, konversi pakan
kecil, siap dipotong pada usia muda serta menghasilkan kualitas daging berserat
lunak. (Situmorang 2013; Yunus 2009).
Usahaternak ayam ras pedaging memiliki karakteristik 1) bisnis ayam ras
pedaging didasarkan pada pemanfaatan pertumbuhan dan produksi, dimana ayam
ras pedaging memiliki pertumbuhan yang tergolong cepat; 2) produktivitas ayam
ras pedaging sangat tergantung pada pakan baik secara teknis (pemberian pakan
yang tepat) maupun ekonomis (penggunaan pakan yang efisien); dan 3) produk
akhir (final product) dari agribisnis ayam ras pedaging merupakan produk yang
dihasilkan melalui tahapan-tahapan produksi mulai dari hulu sampai hilir, dimana
produk antara merupakan makhluk biologis bernilai ekonomi tinggi berupa ayam
ras pedaging (Pakarti 2000; Situmorang 2013).
Pada peternakan ayam ras biaya tetap tergantung pada jumlah investasi untuk
kandang, tanah, dan peralatan. Sedangkan biaya variabel meliputi bibit (DOC),
pakan, obat-obatan dan vaksin, makanan tambahan (feed suplemen), tenaga kerja
dan biaya-biaya lain yang habis dipakai dalam satu periode proses produksi. Biaya
terbesar digunakan untuk pakan, DOC, vaksin dan obat-obatan, kemudian disusul
biaya tenaga kerja (Lestari 2009; Nurfadillah 2014; Sarwanto 2004; Situmorang
2013; Yunus 2009).
Di Indonesia, ayam ras pedaging banyak diusahakan dengan pola kemitraan
yakni mengintegrasikan antara perusahaan besar dengan peternak rakyat dengan
tujuan meningkatkan efisiensi (Lestari 2009; Sarwanto 2014; Situmorang 2013;
Yunus 2009). Petemakan rakyat umumnya mempunyai ciri-ciri berupa ukuran
usaha relatif kecil, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan peternak,
penerapan manajemen dan teknologi yang masih konvesional, terbatasnya modal
usaha, belum digunakannya bibit unggul, dan belum tepatnya cara penggunaan
pakan sehingga produksinya rendah (Blair et al 2001; Broadway 2009; Brown et al
2002; Ellis 2005; Gardner 2000).
Karakteristik dasar bisnis ayam ras pedaging adalah sebagai industri biologi
yang mempunyai implikasi pada tuntutan dalam pengelolaannya, yang akan
berpengaruh terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri perunggasan (Saragih,
1998). Karakteristik-karateristik tersebut antara lain adalah:
1. Bisnis ayam ras pedaging didasarkan pada pemanfaatan serta pendayagunaan
pertumbuhan dan produksi broiler yang memiliki sifat dan pertumbuhan yang
tergolong cepat dan mengikuti kurva pertumbuhan sigmoid.
2. Produk akhir perunggasan (ayam ras pedaging) merupakan produk yang
dihasilkan melalui tahapan-tahapan produksi mulai dari sub sistem agribisnis

8
hulu hingga hilir, di mana produk antara merupakan makhluk biologis bernilai
ekonomi tinggi dan rentan terhadap keterlambatan waktu.
3. Produktivitas ayam ras pedaging sangat tergantung pada kualitas pakan.
Produktivitas dan efisiensi produksi akan dicapai kalau memenuhi persyaratanpersyaratan tepat mutu, tepat waktu, dan konsumsi pakan yang efisien.
Ketiga karakteristik tersebut diatas menjadi penjelas pentingnya melakukan
integrasi vertikal, baik oleh perusahaan dalam satu sistem manajemen
pengambilan keputusan maupun melalui kemitraan usaha industri ayam ras
pedaging. Pengelolaan ayam ras pedaging dengan pendekatan manajemen
rantai pasok dan manajemen rantai nilai yang inklusif menjadi suatu keharusan
Daya Saing Produk Peternakan
Secara umum daya saing dapat dikelompokkan dalam 2 jenis, yakni
kompetitif dan komparatif. Sebuah komoditas dapat unggul secara komparatif dan
kompetitif, unggul secara kompetitif atau komparatif saja, atau bahkan tidak unggul
secara kompetitif dan komparatif (Puspitasari 2011; Oguntade 2009; Najarzadeh R
et al 2011)
Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya daya saing pada umumnya
terdiri dari teknologi, produktivitas, harga, biaya input, struktur industri, kualitas
permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi
(1) faktor yang dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi,
pelatihan, riset dan pengembangan, (2) faktor yang dikendalikan oleh pemerintah,
seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, exchange rate), kebijakan
perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan
regulasi pemerintah, (3) faktor semi terkendali, seperti kebijakan harga input, dan
kualitas permintaan domestik, dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti
lingkungan alam (Feryanto 2010; Dewanata 2011).
Subsektor peternakan di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan karena memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif
subsektor peternakan Indonesia diantaranya berasal dari potensi sumber daya
ternak, kekayaan alam dalam menyediakan pakan, dan rendahnya upah tenaga kerja
(Deblitz et al. 2005; Daryanto 2009).
Negara dengan tenaga kerja terampil yang melimpah akan memiliki
keunggulan komparatif dalam memproduksi suatu produk yang membutuhkan
tenaga kerja terampil lebih intensif. Daryanto (2009) menyatakan Indonesia
memiliki keunggulan kompetitif dari segi komponen biaya tenaga kerja. Data
National Wages and Productivity Commission (NWPC) menunjukan bahwa upah
minimum pekerja per bulan Indonesia tahun 2013 sedikitnya sebesar US$ 75.58
yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Filipina (US$ 171.36),
Malaysia (US$ 241.02), Thailand (US$ 206.67). Hal ini ternyata masih lebih tinggi
dibandingkan dengan Vietnam (US$ 66.26) dan Kamboja (US$ 60.0) (NWPC
2013). Upah tenaga kerja Indonesia yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan
beberapa negara tetangga seharusnya dapat dijadikan sumber keunggulan, dengan
biaya input yang rendah maka biaya yang digunakan untuk membayar tenaga kerja
lebih murah. Penelitian Serra et al. (2005) menyebutkan bahwa peningkatan daya
saing usaha sapi potong di Uruguay salah satunya berkenaan dengan ketersediaan
tenaga kerja yang tinggi dan murah, sedangkan di Selandia Baru berkaitan dengan

9
ketersediaan peternak terdidik dan produktivitas tenaga kerja yang cukup. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan peternak berkorelasi positif
dengan adopsi teknologi usaha peternakan, semakin tinggi pendidikan peternak,
maka semakin cepat adopsi teknologi (Suppadit et al. 2006; Hendayana 2012).
Berkaitan dengan hal diatas, inovasi teknologi baru dan pengembangan teknologi
tepat guna serta adaptasinya di tingkat petani/perusahaan juga merupakan faktor
penentu daya saing (Simatupang dan Hadi 2004; Daryanto 2009).
Daya saing selain ditentukan oleh produktivitas namun dapat pula
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah (Rose 2010; Siggel 2007; Simanjuntak
1992; WB 2009). Selain itu, WB (2009) menambahkan bahwa kerangka kebijakan
inti terhadap daya saing (core policy framework for competitiveness) adalah: (1)
Insentif ekonomi seperti tarif impor dan ekspor, sistem nilai tukar, pasar faktor
produksi dan kebijakan pajak, (2) Jasa dan biaya seperti energi, telekomunikasi,
layanan bea cukai, transportasi dan logistik, keterampilan khusus dan layanan usaha
serta (3) Lembaga dan kebijakan yang pro aktif antara lain badan promosi investasi
dan ekspor, lembaga standarisasi, lembaga yang mendorong inovasi serta penelitian
dan pengembangan.
Pengaruh kebijakan pemerintah telah diteliti oleh berbagai pakar sebelumnya.
Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pengaruh kebijakan terhadap daya
saing bervariasi, yaitu berpengaruh positif, negatif maupun tidak berpengaruh
nyata. Banse et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara
daya saing dengan kebijakan producer subsidy equivalent (PSE) ukuran mengenai
besaran transfer dari konsumen dan pembayar pajak terhadap petani. Hal tersebut
bermakna dengan semakin menurunnya daya saing (nilai DRC meningkat) maka
nilai PSE akan semakin meningkat. Sebaliknya Bezlepkina et al. (2005)
menyimpulkan bahwa kebijakan subsidi terhadap peternakan sapi perah di Rusia
berpengaruh positif terhadap keuntungan usaha melalui pengurangan hambatan
dalam kredit usaha.
Dari hasil kajian mengenai daya saing ayam ras pedaging di Indonesia , secara
umum pengusahaan ayam ras pedaging di Indonesia memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif sehingga bisa dikatakan ayam ras pedaging di Indonesia
berdayasaing. Saptana dan Rusastra (2003) menyatakan bahwa pengusahaan ayam
ras pedaging di berbagai wilayah di Indonesia dengan berbagai tipe pengusahaan,
memiliki nilai PCR antara 0.851 – 0.989 dan nilai DRCR 0.790 – 0.917. Sedangkan
Hidayati (2010) melihat pengaruh skala usaha terhadap daya saing dengan hasil
bahwa pegusahaan dengan skala besar memiliki daya saing yang lebih tinggi
dibandingkan dengan skala kecil. Pada skala kecil nilai PCR sebesar 0.85 dan
DRCR 0.79. Sedangkan pada skala besar nilai PCR sebesar 0.72 dan DRCR 0.67.
berdasarkan penelitian Chikangaidze (2011) diketahui bahwa nilai PCR
pengusahaan ayam ras pedaginng di Brazil, Thailand, dan Afrika Selatan berturutturut 0.38, 0.43, dan 0.68. Dari nilai PCR dan DRCR tersebut dapat disimpulkan
bahwa pengusahaan ayam ras pedaging di Indonesia masih kurang berdaya saing
dibandingkan ketiga negara tersebut.
Dampak Liberalisasi Perdagangan
Dampak dari berlakunya liberalisasi perdagangan di pasar internasional dapat
bermacam-macam tergantung pada perbedaan tingkat distorsi pasar, komitmen

10
unntuk mengurangi distorsi, serta konsistensi dalam implementasi komitmen.
Secara umum, pelaksanaan liberalisasi perdagangan akan meningkatkan harga
internasional, sementara dampak terhadap produksi, konsumsi, dan perdagangan
bervariasi tergantung komoditas dan negaranya. Negara produsen yang efisien akan
memeroleh manfaat yang lebih besar, sedangkan negara net-importir akan
menderita kerugian akibat liberalisasi perdagangan (Susila 2005; Najarzadeh et al
2011).
Dampak positif dari adanya liberalisasi perdagangan yang dapat diidentifikasi
antara lain berupa peningkatan dalam produksi, efisiensi produksi, manfaat bagi
konsumen, dan dalam pertumbuhan ekonomi. Perdagangan bebas memungkinkan
suatu negara untuk mengkhususkan diri dalam produksi komoditas di mana mereka
memiliki keunggulan komparatif. Dengan spesialisasi negara dapat mengambil
keuntungan dari efisiensi yang dihasilkan dari skala ekonomi dan peningkatan
output (Chen et al. 2009; Langley et al. 2007). Perdagangan internasional
meningkatkan ukuran pasar perusahaan, sehingga biaya rata-rata yang lebih rendah
dan peningkatan produktivitas, akhirnya menyebabkan peningkatan produksi dan
efisiensi. Selain itu, ketatnya kompetisi dalam perdagangan bebas akan memberi
manfaat bagi konsumen berupa rendahnya harga barang dan jasa yang tersedia (Suh
et al. 2013).
Tujuan jangka panjang dari kesepakatan perdagangan bebas (khususnya
WTO) adalah menciptakan sistem perdagangan yang adil dan berorientasi pasar
melalui 3 pilar yaitu perluasan akses pasar (market access), pengurangan dukungan
domestik (domestic support) yang dapat mendistorsi pasar, dan pengurangan
subsidi ekspor (export subsidy). Tujuan ini seharusnya mendatangkan manfaat
bersama bagi seluruh negara di dunia. Namun faktanya kesepakatan perdagangan
lebih banyak merugikan negara-negara sedang berkembang (Suryana 2004;
Abdullateef dan Ijaiya 2010).
Kondisi ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba et.al
(2007) dalam menilai dampak perdagangan bebas di sektor pertanian melalui WTO
yang menggunakan model Agricultural Trade Policy Simulation Model (ATPSM).
Menurut model ATPSM ini kesejahteraan total dihitung berdasarkan penjumlahan
dari surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah. Liberalisasi
perdagangan lebih banyak memberi keuntungan bagi negara maju melalui
peningkatan kesejahteraan total dan sebaliknya merugikan negara berkembang.
Negara maju mengalami total kesejahteraan yang diperoleh dari selisih surplus
produsen dan konsumennya. Penurunan tarif bea masuk akan menurunkan surplus
produsen negara yang mengenakan tarif, tetapi konsumennya akan mengalami
peningkatan surplus sehingga kerugian produsen dapat diimbangi oleh keuntungan
konsumen. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan meningkatkan surplus petani
produsen negara berkembang, tetapi menurunkan surplus konsumennya sehingga
total kesejahteraan menunjukkan nilai negatif.
Faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan untuk menciptakan
sistem perdagangan sektor pertanian yang adil dan berorientasi pasar tersebut antara
lain 1) Negara-negara maju masih tetap mempertahankan, bahkan meningkatkan
dukungan domestik melalui subsidi kepada petaninya, terutama produsen pangan
dan peternakan, 2) Selain subsidi domestik, negara-negara maju juga memberikan
subsidi ekspor yang besar untuk produk-produk pertaniannya. 3)
Ketidakseimbangan tingkat pembangunan ekonomi, teknologi, ketrampilan SDM,

11
dan infrastruktur antara negara maju dan negara berkembang menyebabkan
ketidakmampuan negara berkembang menciptakan equal playing field, 3)
Ketidakadilan dalam membuka akses pasar, dimana di satu sisi negara maju
memaksa negara berkembang membuka akses pasar seluas-luasnya, namun di sisi
lain mereka berusaha membatasi akses pasar bagi produk-produk negara
berkembang melalui berbagai instrumen, seperti tarif eskalasi, perlindungan
sanitary dan phyto-sanitary, dan non-trade barrier lainnya.
Metode Pengukuran Daya Saing
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai
daya saing suatu komoditas pertanian yang telah dilakukan pada penelitianpenelitian sebelumnya antara lain Revealed Comparative Adventage (RCA),
Berlian porter, dan Policy Analysis Matrix (PAM). Beberapa metode ini dapat
digunakan sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan.
Revealed Competitive Adventage (RCA) dapat digunakan untuk mengukur
keunggulan kompetitif suatu komoditas dalam kondisi perekonomian aktual,
(Karim dan Ismail 2007; Sembiring 2009). RCA ini biasa digunakan dalam
penelitian yang berkaitan dengan penetapan komoditas di daerah tertentu untuk
meningkatkan daya saing karena banyak manfaat yang dihasilkan, terutama untuk
meningkatkan perekonomian daerah berbasiskan sumberdaya lokal. Kelemahan
dari analisis ini adalah sifatnya yang statis, terbatas pada komoditas ekspor, dan
tidak dapat menunjukkan darimana keunggulan komparatif berasal (Sembiring
2009; Purmiyanti 2002).
Metode Berlian Porter (Porter’s Diamond) digunakan untuk mengukur dan
menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Berlian Porter (Porter’s
diamond) adalah model yang diciptakan oleh Michael Porter untuk membantu
dalam memahami konsep keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu
negara, berbeda dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage)
yang menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu menghasilkan suatu produk
apabila produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh negara lain dengan lebih baik,
unggul, dan efisien secara alami. Manfaat penggunaan metode berlian porter dalam
menilai daya saing sebuah komoditas dapat memberikan gambaran yang lebih jelas
karena analisis yang dilakukan terhadap komoditas tersebut lebih komprehens