Analisis Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia Dalam Menghadapi Pasar Asean.

(1)

ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS

INDONESIA DALAM MENGHADAPI PASAR ASEAN

ISVENTINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia dalam Menghadapi Pasar ASEAN adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2015 Isventina NIM. H151137334

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait


(4)

RINGKASAN

ISVENTINA. Analisis Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia dalam Menghadapi Pasar ASEAN. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan M. PARULIAN HUTAGAOL.

Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses dimana semakin banyak negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi global sehingga hubungan suatu negara dengan negara lainnya menjadi semakin terbuka. Indonesia terlibat aktif dalam perdagangan bebas internasional dengan menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menghasilkan pembentukan World Trade Organization (WTO) dan deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ASEAN lainnya juga sepakat membentuk perdagangan bebas ASEAN, yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA). Pembentukan AFTA mengukuhkan terbentuknya pasar tunggal ASEAN yang tujuannya adalah untuk menciptakan pasar yang terintegrasi antar negara anggota ASEAN dan sasarannya adalah meningkatkan daya saing ekonomi ASEAN sebagai product based dalam menghadapi persaingan di pasar dunia. Sejumlah langkah peningkatan daya saing dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap sektor industri prioritas yang dianggap strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal ASEAN, antara lain industri Makanan dan Minuman, industri Tekstil, industri Pakaian Jadi, industri Kulit dan Barang dari Kulit, industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Logam Dasar, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia dalam menghadapi pasar ASEAN sebagai dasar menentukan strategi-strategi yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing sektor industri prioritas Indonesia. Metode yang digunakan meliputi Revealed Comparative Advantage (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian adalah pada tahun 2001-2013 dan variabel-variabel yang digunakan, antara lain harga ekspor, produktivitas tenaga kerja, penambahan modal tetap dan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.

Berdasarkan perhitungan tingkat daya saing dengan menggunakan RCA, menunjukkan bahwa sektor industri prioritas Indonesia berdaya saing (RCA>1) di pasar ASEAN, kecuali industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur. Hal tersebut mengartikan bahwa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif pada sebagian besar sektor industri prioritasnya, sehingga dapat digunakan untuk mendukung strategi pemerintah guna memperluas pasar industri nasional ke kawasan ASEAN. Sedangkan dari hasil analisis regresi data panel, menunjukkan bahwa harga ekspor merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap daya saing sektor industri prioritas Indonesia. Dalam hal ini, harga ekspor merupakan refleksi dari biaya produksi, dimana biaya produksi merupakan harga pembelian input oleh perusahaan eksportir untuk menghasilkan outputnya. Dengan demikian, tingginya biaya produksi menandakan bahwa harga pembelian input oleh perusahaan eksportir juga tinggi, sehingga harga ekspornya pun tinggi. Karena esensi daya


(5)

saing adalah biaya yang relatif rendah, maka tingginya harga ekspor menunjukkan daya saingnya yang semakin menurun. Faktor yang berpengaruh lainnya adalah nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat dan produktivitas tenaga kerja. Depresiasi Rupiah dapat mendorong pertumbuhan ekspor yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing. Sementara itu, adanya pengembangan SDM menjadikan kebijakan industri yang awalnya berbasis buruh murah dan sumber daya alam dapat dikembangkan menjadi industri berbasis produktivitas yang didukung oleh SDM berkualitas serta ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi. Di sisi lain, variabel penambahan modal tetap tidak berpengaruh terhadap daya saing sektor industri prioritas. Hal ini disebabkan karena dampak terhadap peningkatan daya saing dari adanya penambahan modal tetap pada tahun tertentu tidak langsung dirasakan pada tahun tersebut, melainkan akan dirasakan pada beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, berdasarkan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode RCA dan regresi data panel, upaya peningkatan daya saing sektor industri prioritas Indonesia dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah mengembangkan industri hulu dan industri antara berbasis sumber daya alam serta mengendalikan ekspor bahan mentah, mengembangkan SDM pelaku industri pada sektor industri prioritas Indonesia dengan pelatihan dan kegiatan inovasi, mengembangkan industri hilir serta peningkatan nilai tambah produk pada industri prioritas melalui kegiatan diversifikasi produk serta meningkatkan pola kerjasama dengan produsen negara lain di kawasan ASEAN melalui promosi sehingga dapat mendukung kegiatan diversifikasi pasar tujuan ekspor untuk produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia ke arah yang lebih prospektif.

Kata kunci: Integrasi ASEAN, Industri Manufaktur, Daya Saing, Analisis Data Panel


(6)

SUMMARY

ISVENTINA. Competitiveness of Indonesian Priority Industrial Sector in Facing the ASEAN Market. Supervised by NUNUNG NURYARTONO and M. PARULIAN HUTAGAOL.

Economic globalization is a process whereby the countries directly involved in global economic activities so that relations with other countries to become more open. Indonesia participated in the current free trade agreement to sign the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) which produces the formation of the World Trade Organization (WTO) and the declaration of the Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Not less important, Indonesia with other ASEAN countries also agreed to establish the ASEAN free trade asean, namely ASEAN Free Trade Area (AFTA). The formation of AFTA inaugurated the establishment of an ASEAN single market which the object is to create the integrated between ASEAN members and the target is to increase ASEAN economic competitiveness as the product based to face the global market competition. A number of steps to increase the competitiveness conducted by the Indonesia government towards the priority industrial sectors that is considered strategic liberalized toward an ASEAN single market, among the textile industry and textile products, leather and leather goods (footwear), furniture industry, the food and beverage industry, chemical industry and goods from chemicals, industrial machinery and equipment, as well as the basic metal industry. Base on that, so this study aimedto analyze the factorsthat influence competitiveness of Indonesia’s priority industrial sectors in facing the ASEAN market by using Revealed Comparative Advantage (RCA) and panel data as a background to formulated several strategies are expected to boost the competitiveness of Indonesia’s priority industrial sectors. This research used data available between 2001 and 2013. It also used several variables including the export price, labor productivity, fixed capital and riil exchange rate.

Based on the calculation of the level of competitiveness by using RCA, showed that the Indonesia's priority industrial sectors have strong competitive (RCA>1) in the ASEAN market, except for the chemical industry and machinery and equipment industry. That is, Indonesia has a comparative advantage in most of the priority industrial sectors, so that it can be used to support the government's strategy to expand the national industrial market to the ASEAN region. While the results of the panel data analysis showed that the export price is the most influential factor for the competitiveness of priority industrial sectors in Indonesia. In this case, the export price is a reflection of the production cost, where production cost is the purchase price of inputs by exporting companies to produce output. Thus, the high of production cost indicates that the purchase price of inputs by exporting companies is also high, so that the export price was high. Because the essence of competitiveness is relatively low cost, the high export prices showed a decreasing competitiveness. Other factors that affect are the real exchange rate and labor productivity. Rupiah depreciation can encourage the growth of exports, which in turn can improve competitiveness. Meanwhile, the development of human resources that make industrial policy was originally based on cheap labor and natural resources can be developed into a productivity-based


(7)

industries are supported by qualified human resources as well as science and high technology. On the other hand, the addition of variable fixed capital does not affect the competitiveness of priority industrial sectors. This is because the impact of the increased competitiveness of the addition of fixed capital in a given year is not directly felt in the year, but will be felt in the next few years. Thus, based on descriptive qualitative and quantitative using RCA and panel data, the strategy can be formulated to improve the competitiveness of the priority industrial sectors, including developing the upstream industry and among industry based on natural resources and the control of exports of raw materials, develop human resources industry players in the Indonesia’s priority industrial sectors with training and innovation activities, developing downstream industries as well as the increase in value-added products in the priority industrial sectors through product diversification and improve the pattern of cooperation with the manufacturers of other countries in the ASEAN region through the promotion so as to support the diversification of export markets for products produced by the Indonesian priority industrial sectors towards a more prospective.

Keywords: ASEAN Integration, Manufacturing Industry, Competitiveness, Panel Data Analysis


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS

INDONESIA DALAM MENGHADAPI PASAR ASEAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(10)

(11)

(12)

(13)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Penelitian dengan tema perdagangan internasional yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini berjudul “Analisis Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia dalam Menghadapi Pasar ASEAN.”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu demi terselesaikannya penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Prof. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan salama proses penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para pengelola Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi serta seluruh dosen yang telah berbagi ilmu kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suami, orang tua dan kakak-kakak tercinta yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis serta rekan-rekan kuliah, baik kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB batch 1 dan 2, maupun kelas regular yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, November 2015 Isventina


(14)

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Konsep dan Teori Perdagangan 9

Konsep Perdagangan Indonesia serta Hubungannya dengan Produktivitas Tenaga Kerja dan Daya Saing 9

Konsep Perdagangan Internasional 10

Integrasi Ekonomi 12

Konsep Daya Saing 15

Pengukuran Daya Saing 18

Penelitian Terdahulu 19

Kerangka Pemikiran 21

Hipotesis Penelitian 23

3 METODE PENELITIAN 25 Jenis dan Sumber Data 25 Metode Analisis 25 Revealed Comparative Advantage (RCA) 25

Model Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia 26

Metode Data Panel 28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33

Daya Saing Industri Prioritas Indonesia di Pasar ASEAN Berdasarkan Metode RCA 33

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Sektor Industri Prioritas 38

Analisis Kebijakan Peningkatan Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia 50

5 SIMPULAN DAN SARAN 55

Simpulan 55

Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 57

LAMPIRAN 61


(16)

DAFTAR TABEL

1 Presentase penyerapan tenaga kerja setiap lapangan usaha (persen) 3 2 Peringkat daya saing industri manufaktur negara-negara ASEAN tahun

2002-2012 4

3 Nilai RCA rata-rata sektor industri prioritas negara-negara ASEAN

tahun 2001-2013 33

4 Matriks korelasi antar variabel bebas pada Fixed Effect Model 41 5 Hasil etimasi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor

industri prioritas Indonesia 42

6 Nilai intercept pada masing-masing sektor industri prioritas Indonesia 50

DAFTAR GAMBAR

1 Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia tahun

2010-2014 2

2 Jumlah produksi optimum 11

3 Trade creation dan trade diversion pada integrasi ekonomi 14 4 Faktor-faktor penentu daya saing di tingkat makro 15 5 Faktor-faktor penentu daya saing di tingkat mikro 16

6 Kerangka pemikiran konseptual 22

7 Kriteria pengujian autokorelasi dengan Durbin Watson 29

8 Deteksi normalitas pada Fixed Effect Model 40

9 Plot residual pada Fixed Effect Model 40

10 Ekspor sektor industri prioritas Indonesia ke kawasan ASEAN tahun

2005-2013 43

11 Rata-rata produktivitas tenaga kerja sektor industri prioritas Indonesia

tahun 2001-2013 45

12 Persentase rata-rata impor bahan baku pada sektor industri prioritas

Indonesia tahun 2001-2013 53

DAFTAR LAMPIRAN

1 Industri-industri pada sektor manufaktur berdasarkan kategori KBLI

digit 2 61

2 Ekspor dan impor industri prioritas Indonesia ke negara-negara ASEAN

tahun 2005–2013 62

3 Nilai RCA sektor industri prioritas di negara Indonesia dan Kamboja 63 4 Nilai RCA sektor industri prioritas di negara Philipina dan Malaysia 64 5 Nilai RCA sektor industri prioritas di negara Singapura, Thailand dan

Vietnam 65

6 Uji chow dan uji hausman 66

7 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Pooled Least Square tanpa

pembobotan 67

8 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Pooled Least Square

dengan pembobotan 68

9 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Fixed Effect 69 10 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Random Effect 70


(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses dimana semakin banyak negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi global sehingga, hubungan suatu negara dengan negara lainnya menjadi semakin terbuka (Tambunan 2004). Hal ini telah meningkatkan hubungan saling ketergantungan ekonomi sekaligus persaingan antar negara. Liberalisasi perdagangan dunia ditandai dengan semakin cepatnya aliran barang dan jasa antar negara serta semakin berkembangnya sistem inovasi teknologi informasi, perdagangan, reformasi politik, transnasionalisasi sistem keuangan dan investasi. Indonesia mengikuti arus perdagangan bebas internasional dengan menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menghasilkan pembentukan World Trade Organization (WTO) dan deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) tentang sistem perdagangan bebas dan investasi yang berlaku penuh pada tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 bagi negara berkembang.

Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama-sama negara-negara di kawasan ASEAN lainnya juga sepakat membentuk perdagangan bebas ASEAN, yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA secara resmi diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2003 pada negara ASEAN-6 (Indonesia, Philipina, Thailand, Singapura, Brunei dan Malaysia) dan negara ASEAN-4 (Vietnam mulai diberlakukan pada tahun 2006, Laos dan Myanmar pada tahun 2008, Kamboja pada tahun 2010). Dengan diberlakukannya AFTA ini, maka negara-negara anggota harus menurunkan pengenaan tarif impor intra ASEAN menjadi 5-0 persen bagi barang-barang yang dimasukkan ke dalam Daftar Inklusi (Inclusive List) dan telah memenuhi ketentuan tentang kandungan produk ASEAN. Pada akhirnya, keseluruhan tarif ini dihapuskan sama sekali (menjadi 0 persen) untuk negara ASEAN-6 pada tahun 2010 dan bagi negara ASEAN-4 pada tahun 2015, sehingga akan tercipta kawasan perdagangan regional AsiaTenggara yang benar-benar bebas bagi para anggota ASEAN.

Pembentukan AFTA mengukuhkan terbentuknya pasar tunggal ASEAN yang tujuannya adalah untuk menciptakan pasar yang terintegrasi antar negara anggota ASEAN dan sasarannya adalah meningkatkan daya saing ekonomi ASEAN sebagai product based dalam menghadapi persaingan di pasar dunia, sehingga kegiatan produksi dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing negara anggota. Dengan menghilangkan hambatan tarif inter-regional di kawasan ASEAN, daya saing negara-negara ASEAN diharapkan lebih kompetitif sehingga rasio volume perdagangan ASEAN maupun dunia semakin meningkat (Istifadah 2012).

Saat ini AFTA telah bertransformasi menuju sebuah kawasan yang lebih terintegrasi berupa Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (MEA/AEC). Adanya AEC diharapkan akan menciptakan suatu kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi. Selain itu, diharapkan dapat terbentuk integrasi ekonomi yang menjanjikan, peningkatan kesejahteraan melalui pembukaan akses


(18)

2

pasar yang lebih besar, dorongan mencapai efisiensi dan daya saing ekonomi yang lebih tinggi, serta terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih luas.

Perwujudan AEC tersebut menempatkan ASEAN sebagai kawasan pasar terbesar ke-3 di dunia. Hal ini dapat mendorong pembukaan dan pembentukan pasar yang lebih besar, peningkatan efisensi dan daya saing, serta pembukaan peluang penyerapan tenaga kerja di kawasan ASEAN. Namun, apakah liberalisasi ASEAN selama ini telah meningkatkan daya saing dan keterkaitan industri antara Indonesia dengan negara ASEAN lainnya masih harus diteliti lebih lanjut.

Sejumlah langkah peningkatan daya saing dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap sektor-sektor yang dianggap strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal ASEAN dan berbasis produksi. Salah satunya adalah sektor industri manufaktur1. Seiring dengan terjadinya proses industrialisasi, peranan sektor industri manufaktur terhadap perekonomian semakin besar. Hal tersebut dapat dilihat dari meningkatnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2015

Gambar 1 Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia tahun 2010-2014

Meningkatnya peranan sektor industri manufaktur terhadap perekonomian Indonesia juga dapat dilihat dari nilai ekspornya yang cenderung meningkat beberapa tahun ini, khususnya yang ke kawasan ASEAN, yaitu dari 23,992 miliar USD di tahun 2010 menjadi 28,968 miliar USD di tahun 2011 dan 28,444 miliar USD di tahun 2012. Namun, sempat mengalami penurunan di tahun 2013 menjadi 27,992 miliar USD2. Penurunan permintaan ekspor dan kenaikan harga BBM ditengarai menjadi penyebab penurunan ekspor manufaktur Indonesia ke ASEAN pada tahun 20133.

Selain kontribusinya terhadap PDB dan peningkatan ekspor nasional, industri manufaktur juga merupakan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan data BPS (2015), jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri manufaktur pada tahun 2014 adalah sebesar 15.25 juta orang.

1Kementerian Perdagangan RI. Menuju ASEAN

Economic Community 2015 2World Integrated Trade Solution (WITS) Data, 2015

3 Kemenperin.

http://www.kemenperin.go.id/artikel/7356/Pemerintah-Tingkatkan-Kinerja-Ekspor-Industri-Manufaktur (diakses 9 Januari 2015)

0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000

2010 2011 2012 2013 2014

Mi

li

ar

Ru

p


(19)

3 Jumlah ini meningkat bila dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 14.96 juta orang di tahun 2013 dan 14.39 juta orang di tahun 2012. Secara umum, jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri manufaktur sejak tahun 2009 hingga 2013 mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 0.40 persen per tahun. Namun, penyerapan tenaga kerja di sektor ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja di sektor lainnya, seperti sektor pertanian dan sektor jasa (Tabel 1). Meskipun demikian, perkembangan sektor industri manufaktur merupakan yang tercepat dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Alasannya adalah karena sektor industri memerlukan input dari sektor lain dan outputnya banyak digunakan oleh sektor lain (Utama 2010).

Tabel 1 Persentase penyerapan tenaga kerja setiap lapangan usaha (persen)

Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012 2013

Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan

dan Perikanan 40.66 39.46 36.19 35.33 34.78

Pertambangan dan Penggalian 1.12 1.17 1.35 1.42 1.27

Industri Pengolahan 11.69 12.30 13.44 13.82 13.27

Listri, Gas dan Air 0.23 0.22 0.22 0.22 0.27

Konstruksi 5.08 5.01 5.85 6.08 5.63

Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa

Akomodasi 20.64 20.46 20.87 20.88 21.38

Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 5.76 5.01 4.70 4.48 4.52 Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha

Persewaan dan Jasa Perusahaan 1.34 1.52 2.39 2.38 2.57

Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan 13.49 14.87 14.99 15.38 16.36 Sumber: BPS 2015

Perumusan Masalah

Menjelang AEC-2015 persaingan di antara negara-negara ASEAN akan semakin ketat dalam memperebutkan peluang dalam pasar ASEAN. Jika tidak mampu bersaing, Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN dengan jumlah penduduk kurang lebih 250 juta jiwa berpotensi dibanjiri produk-produk dari negara ASEAN lainnya. Sebaliknya, bila industri nasional mampu bersaing dalam pasar ASEAN, maka akan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam memanfaatkan pasar tunggal ASEAN adalah daya saing Indonesia yang masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Hal ini dapat ditunjukkan dari data International Institute for Management Development/IMD (2014) yang menunjukkan bahwa peringkat daya saing industri Indonesia cenderung menempati peringkat paling bawah di antara beberapa negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina. Bahkan Indonesia sempat menduduki posisi daya saing industri terendah di ASEAN, yaitu pada tahun 2007 dengan peringkat ke-54. Sementara untuk negara Malaysia, Thailand dan Philipina memiliki daya saing industri yang relatif stabil (Tabel 2).


(20)

4

Tabel 2 Peringkat daya saing industri manufaktur negara-negara ASEAN tahun 2002-2012

No. Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 Singapura 8 4 2 3 3 2 2 3 1 3 4 2 Malaysia 24 21 16 25 22 23 19 18 10 16 14 3 Thailand 31 28 26 25 29 33 27 26 26 27 30 4 Indonesia 47 49 49 50 52 54 51 42 35 37 37 5 Philipina 40 41 43 40 42 45 40 43 39 41 43

Sumber: IMD World Competitiveness 2014

Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing industri Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: pertama, buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerja di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga. Kedua, rendahnya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif. Ketiga, lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumber daya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional. Keempat, keterbatasan infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, maupun infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.

Dalam rangka menghadapi MEA yang akan diberlakukan pada akhir tahun 2015, pemerintah menyiapkan berbagai cara agar potensi pasar Indonesia tidak direbut negara-negara ASEAN lainnya. Dalam hal ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) RI telah menyiapkan beberapa industri yang akan digenjot untuk siap menghadapi gempuran industri-industri asing, khususnya yang berasal dari kawasan ASEAN. Untuk menguasai pasar ASEAN, pemerintah menyiapkan strategi ofensif melalui fokus pengembangan sembilan sektor industri prioritas, antara lain industri berbasis agro (CPO, kakao, dan karet), industri ikan dan produk olahannya, industri tekstil dan produk tekstil, industri kulit, industri furnitur, industri makanan dan minuman, industri kimia, industri mesin dan peralatannya serta industri logam dasar4. Dari kesembilan sektor industri prioritas tersebut, yang termasuk ke dalam sub sektor industri manufaktur berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) digit 2, meliputi industri Tekstil dan Produk Tekstil, industri Kulit dan Barang dari Kulit, industri Furnitur, industri Makanan dan Minuman, industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Logam Dasar. Industri-industri tersebutlah yang akan dibahas lebih dalam pada penelitian ini. Adapun daftar dari 22 sub sektor industri manufaktur berdasarkan KBLI digit 2 beserta kode industrinya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Untuk industri Makanan dan Minuman, menurut data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), peringkat daya

4


(21)

5 saing industri Makanan dan Minuman Indonesia berada di peringkat 50, masih jauh di bawah negara kompetitor utamanya di kawasan ASEAN, yaitu Malaysia di peringkat 25, Brunei di peringkat 28 dan Thailand di peringkat 38 (Kemenperin 2013). Di sisi lain, meskipun industri Makanan dan Minuman merupakan salah satu kontributor terbesar dalam pertumbuhan, masih banyak faktor termasuk kebijakan pemerintah yang masih belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri Makanan dan Minuman itu sendiri. Sementara ancaman dari produk Makanan dan Minuman impor terus bertambah sejalan dengan integrasi perekonomian Indonesia dengan perekonomian regional dan global. Kendala lainnya yang dihadapi industri ini adalah dalam mendapatkan bahan baku produksinya, baik karena adanya bea masuk bahan baku yang tinggi, maupun kebijakan pemerintah yang terus membatasi impor bahan baku seperti impor gula rafinasi (Permenkeu No.241/PMK.011/2010)5.

Ketergantungan impor yang tinggi juga terjadi pada industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia serta industri Logam Dasar. Kandungan impor yang tinggi di kedua industri ini meningkat dari 62 persen menjadi 68 persen dari total produk manufaktur di tahun 2014. Hal ini menyebabkan ketika Rupiah terdepresiasi, pertumbuhan ekspor di kedua industri ini melambat dan tidak dapat tumbuh optimal karena terdapat tekanan dari sisi biaya produksi akibat besarnya kenaikan harga bahan baku dan barang modal. Padahal, depresiasi Rupiah seharusnya justru meningkatkan ekspor yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan daya saing (Bank Mandiri 2014).

Pada industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang meliputi industri Tekstil dan industri Pakaian Jadi, industri ini masih harus menghadapi beberapa kendala. Selain dikarenakan membanjirnya produk impor di pasar domestik, mahalnya bahan baku produksi yang menyebabkan biaya produksi meningkat juga menjadi masalah dalam industri ini. Mesin-mesin yang digunakan di industri ini juga berumur sangat tua, dimana sekitar 80 persen dari keseluruhan mesin di industri TPT yang ada saat ini telah berusia di atas 20 tahun, sehingga menyebabkan produktivitasnya menurun hingga 50 persen. Selain itu, produktivitas pekerja di industri TPT Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan produsen lainnya di kawasan ASEAN. Peringkat produktivitas pekerja TPT Indonesia berada pada tingkat 59. Posisi tersebut cukup rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Thailand yang menempati posisi 27, Malaysia di posisi 28 dan Philipina yang berada pada posisi 49 (Efendi 2013).

Sementara pada industri Furnitur, kendalanya adalah kurangnya permodalan, sumber daya manusia yang kurang kreatif serta rendahnya teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Keterbatasan teknologi menghambat perusahaan dalam memenuhi permintaan dengan kualitas yang diharapkan. Hal ini menjadi salah satu masalah dalam pengembangan produk-produk furnitur dalam negeri. Selain itu, kenaikan harga bahan baku juga menjadi permasalahan utama bagi industri furnitur Indonesia yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi. Banyak strategi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, namun dalam implementasinya kurang berjalan dengan baik. Misalnya, adanya rantai kebijakan yang cenderung mengarah pada ekonomi biaya tinggi, adanya inefisiensi promosi,

5 GAPMMI-Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia:


(22)

6

adanya bantuan teknis yang tidak tepat sasaran dan belum adanya kebijakan pemerintah terkait dengan merk dagang ekspor. Kondisi inilah yang dirasakan oleh para pengusaha pada industri furnitur, yang membutuhkan perhatian dari pemerintah guna merebut pasar furnitur ASEAN6.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya terkait dengan kondisi sektor industri prioritas Indonesia, dengan kualitas industri yang ada saat ini sebagaimana banyak dikeluhkan pengusaha, niscaya akan sangat sulit bagi produk dari sektor industri prioritas Indonesia untuk dapat bersaing di pasar ASEAN. Penetapan sektor industri prioritas oleh pemerintah sebagai sektor industri yang diunggulkan untuk merebut pasar ASEAN dirasa perlu dianalisa kembali mengingat masih adanya beberapa kendala yang dihadapi oleh industri-industri prioritas tersebut yang dapat menghambat daya saingnya di pasar ASEAN. Kinerja sektor industri prioritas yang masih kurang baik membuat banyak kalangan pesimis akan kemampuan Indonesia untuk unggul, atau bahkan dapat bertahan di pasar ASEAN. Rasa pesimis ini diperkuat dengan hasil simulasi dari beberapa penelitian sebelumnya, antara lain Oktaviani et al. (2008) yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah pihak yang dirugikan, atau paling tidak bukan ekonomi yang paling diuntungkan dari era perdagangan bebas tanpa hambatan. Juga penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Pambudi dan Chandra (2006) serta Hutabarat et al. (2007) mengenai keuntungan yang Indonesia bisa dapatkan dari kesepakatan perdagangan bebas di kawasan ASEAN dengan tidak memberikan alasan yang kuat untuk optimis. Selain itu, penetapan sektor industri prioritas oleh pemerintah juga tidak disertai oleh indikator-indikator yang menentukan bahwa sektor industri prioritas tersebut memang memiliki daya saing. Kemampuan bersaing produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia perlu dipahami dengan melakukan komparasi terhadap produk sejenis yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas di negara-negara ASEAN lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang relevan untuk dirumuskan pada penelitian ini, antara lain:

1. Apakah sektor industri prioritas Indonesia yang telah ditetapkan oleh pemerintah memiliki daya saing di pasar ASEAN?

2. Apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing sektor industri prioritas Indonesia tersebut di pasar ASEAN?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini berdasarkan permasalahan di atas adalah:

1. Menganalisis daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN. 2. Menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya saing sektor

industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN sebagai dasar dalam menentukan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saingnya.

Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, antara lain:

6Satria AN. 2010. http://www.ugm.ac.id/en/berita/2895- strategi pemerintah tingkatkan daya saing


(23)

7 1. Bagi pembaca, memperluas pengetahuan mengenai integrasi ekonomi ASEAN serta dampak yang ditimbulkan dari keikutsertaan Indonesia dalam kawasan integrasi ASEAN terhadap sektor industri manufaktur, khususnya terhadap sektor industri prioritas.

2. Sebagai referensi bagi para pembuat kebijakan dalam rangka optimalisasi kebijakan yang terkait dengan perdagangan industri manufaktur guna meningkatkan daya saing industri manufaktur Indonesia di kawasan ASEAN. 3. Bagi penulis, merupakan media untuk menerapkan mata kuliah yang telah

dipelajari selama masa perkuliahan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saingnya sebagai dasar dalam menentukan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN. Sektor industri prioritas yang dimaksud disini adalah 8 (delapan) sub sektor industri manufaktur yang telah dikelompokkan berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), meliputi industri Makanan dan Minuman, industri Pakaian Jadi, industri Tekstil, industri Kulit dan Barang dari Kulit, industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Logam Dasar, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur. Adapun periode yang digunakan adalah tahun 2001-2013. Periode tersebut merupakan periode terkini terkait dengan ketersediaan data.

Sementara itu, metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Daya saing sektor industri prioritas secara komparatif dianalisis dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA), sedangkan untuk menganalisis determinan daya saingnya digunakan regresi data panel. Hasil analisa RCA dan regresi panel tersebut pada akhirnya digunakan sebagai dasar dalam menentukan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN.


(24)

8


(25)

9

2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep dan Teori Perdagangan

Konsep Perdagangan Indonesia serta Hubungannya dengan Produktivitas Tenaga Kerja dan Daya Saing

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan pada tahun 2007/2008 telah menetapkan produk atau komoditi untuk tujuan ekspor dengan fokus pada komoditi utama, produk prioritas untuk peningkatan dan pengembangan ekspor non migas (yang kemudian dikenal dengan istilah 10-10-3) yang meliputi:

a. Sepuluh produk utama, yaitu: Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Elektronik, Karet dan produknya, Sawit, Produk hasil hutan, Alas kaki, Otomotif, Udang, Kakao dan Kopi.

b. Sepuluh produk potensial, yaitu: Produk kulit, Peralatan medis, Tanaman obat, Makanan olahan, Minyak atsiri, Ikan dan Produk perikanan, Kerajinan, Perhiasan, Rempah-rempah dan Peralatan kantor.

c. Jasa perdagangan, yaitu: Konstruksi, Teknologi informasi dan Tenaga kerja. Konsep ekspor komoditi ini terus bergulir setiap saat dan berubah menyesuaikan dengan kondisi perdagangan dunia dan ASEAN serta perhatian dari kementerian terkait, yaitu Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Penekanan untuk jenis-jenis ekspor komoditi prioritas ini pada dasarnya melihat bagaimana peluang komoditi Indonesia terhadap jenis komoditi yang sama di kawasan ASEAN maupun secara global, sehingga penetapan komoditi prioritas akan berbeda sesuai dengan sikap yang diambil dari suatu Kabinet Pemerintahan dalam menilai indikator kekuatan pasar komoditi Indonesia saat itu. Dengan melihat adanya peluang bagi industri nasional untuk dapat bersaing di pasar ASEAN, maka pada tahun 2013, pemerintah menetapkan sektor industri prioritas yang diunggulkan untuk dapat merebut pasar ASEAN.

Bagi sektor industri prioritas, ekspor merupakan faktor yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peningkatan permintaan ekspor terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas dapat menyebabkan peningkatan produksi dalam negeri yang kemudian dapat juga mendorong kebutuhan akan investasi dan tenaga kerja. Peningkatan investasi dapat mendorong peningkatan kapasitas produksi dan peningkatan kebutuhan tenaga kerja yang pada akhirnya dapat mendorong petumbuhan konsumsi masyarakat (Bank Indonesia 2013).

Selain dapat meningkatkan permintaan, aktivitas ekspor pada sektor industri prioritas juga berpengaruh pada tingkat produktivitas industri itu sendiri. Partisipasi sektor industri prioritas Indonesia pada pasar ekspor, khususnya di kawasan ASEAN dapat meningkatkan produktivitasnya. Industri yang berorientasi ekspor memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan industri yang hanya menjual produknya di pasar domestik saja.

Kemungkinan bagi sektor industri prioritas Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dari menjual produknya ke luar negeri (ASEAN) lebih besar daripada hanya menjual outputnya di dalam negeri saja. Perbedaan nilai mata uang merupakan salah satu alasan mengapa kegiatan ekspor memiliki kemungkinan


(26)

10

untuk lebih menguntungkan. Selain itu, untuk dapat mengekspor produknya, suatu industri memerlukan penyesuaian biaya. Oleh karena itu, industri akan terdorong untuk meningkatkan produktivitasnya agar aktivitas ekspor tersebut berpotensi untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar dan beban biaya yang muncul akibat mengekspor dapat dikurangi. Industri yang kesulitan dalam menyesuaikan produktivitasnya akan tertarik keluar dari pasar ekspor, karena mengekspor tidak lagi menguntungkan untuk industri tersebut.

Pada saat menjual outputnya ke pasar ASEAN, sektor industri prioritas Indonesia harus berkompetisi dengan industri-industri sejenis yang berasal dari negara ASEAN lainnya. Dalam hal ini produktivitas merupakan kunci penting dalam berkompetisi. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas pada sektor industri prioritas perlu dilakukan agar industri ini dapat berkompetisi dengan industri sejenis yang berasal dari negara ASEAN lainnya.

Dalam peningkatan produktivitas, sumber daya manusia memegang peranan utama yang menguntungkan bagi industri, karena teknologi dan produksi merupakan hasil karya manusia sehingga peningkatan produksi dapat terjadi berdasarkan perbandingan yang sesuai antara jumlah sumber daya manusia, dalam hal ini tenaga kerja yang digunakan dengan jumlah barang yang diproduksi. Produktivitas tenaga kerja dapat menjadi ukuran efisiensi penggunaan tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi. Produktivitas tenaga kerja pada dasarnya juga menandakan perubahan pada teknologi, efisiensi teknik dan alokasi serta utilitas kapasitas produksi. Kenaikan produktivitas tenaga kerja, berarti tenaga kerja yang digunakan dapat menghasilkan lebih banyak barang pada jangka waktu yang sama, atau suatu tingkat produksi tertentu dapat dihasilkan pada waktu yang lebih singkat. Pada industri-industri yang bersifat padat karya, seperti pada sektor industri prioritas, produktivitas tenaga kerja merupakan faktor yang penting bagi proses produksi karena semakin rendah produktivitas tenaga kerja pada suatu industri, berarti semakin rendah pula efisiensi pada industri tersebut dan begitu pula sebaliknya, semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, berarti semakin tinggi efisiensi pada industri tersebut (Soekartawi 1994).

Liberalisasi perdagangan diduga memberikan pengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja. Semakin terbukanya perdagangan Indonesia, khususnya ke kawasan ASEAN, menandakan semakin tingginya persaingan produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia dengan produk sejenis dari negara ASEAN lainnya. Hal ini menyebabkan produsen di sektor industri prioritas Indonesia harus berusaha mendorong peningkatan produktivitasnya agar dapat bertahan di tengah persaingan dengan produk asing. Beberapa penelitian, antara lain yang dilakukan oleh Bloch dan McDonald (2000) di Australia serta Sjoholm (1997) di Indonesia, menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara liberalisasi perdagangan dengan produktivitas tenaga kerja.

Konsep Perdagangan Internasional

Perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara ke negara lain melalui ekspor pada dasarnya merupakan upaya dan proses yang dilakukan suatu negara untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi didalam negeri melalui perdagangan intrnasional. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat mensejahterakan


(27)

11 masyarakat ini dapat dilakukan dengan program industrialisasi yang ditempuh melalui dua strategi, yaitu:

1. Substitusi Impor, yaitu industrialisasi dengan memusatkan pengerahan segenap sumber daya yang ada pada produksi komoditi-komoditi manufaktur yang semula diimpor.

2. Orientasi Ekspor, yaitu peningkatan produksi dan ekspor komoditi primer (bahan pangan, bahan mentah, dan bahan tambang) yang sejak beberapa lama telah menjadi sumber andalan perolehan devisa suatu negara.

Menurut Krugman dan Obstfeld (2004), transaksi antar negara atau perdagangan internasional terjadi karena adanya dua motif, yaitu perbedaan sumber daya dan teknologi tiap negara serta untuk mencapai skala ekonomis yang mengarah pada tujuan untuk mendapatkan manfaat perdagangan. Sementara Heckhser-Ohlin menyatakan bahwa perdagangan internasional terutama digerakkan oleh perbedaan sumber daya yang melimpah di dalam suatu negara. Konsep H-O ini menekankan pada saling keterkaitan antara perbedaan proporsi faktor-faktor produksi antar negara (factor proportion) dan perbedaan proporsi penggunaannya dalam memproduksi barang (factor endowment).

Teori H-O menggunakan dua kurva, meliputi kurva isocost, yaitu kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama dan kurva isoquant, yaitu kurva yang menggambarkan total kuantitas produk yang sama. Kurva isocost akan bersinggungan dengan kurva isoquant pada satu titik optimal. Jadi, dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan biaya minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa suatu perusahaan dikatakan menghasilkan produksi yang optimum apabila perusahaan tersebut dengan jumlah anggaran tertentu dapat menghasilkan junlah produksi yang tertinggi. Pada saat itu, perusahaan menghasilkan output dengan kombinasi faktor produksi yang paling rendah biayanya/least cost combination (Salvatore 1996). Kondisi tersebut dapat disajikan dalam grafis pada Gambar 2.

Sumber: Salvatore 1996


(28)

12

Perusahaan akan menggunakan faktor produksi L sebanyak L1 dan faktor produksi K sebanyak K1, pada persinggungan antara kurva isoquant 1 (I1) dengan kurva isocost E/PK : E/PL pada titik A. Pada saat itu perusahaan menghasilkan produksi tertinggi dengan jumlah anggaran tertentu sebesar E dan harga faktor produksi tenaga kerja (PL) dan harga faktor produksi kapital (PK). Kondisi produksi pada titik B walaupun lebih tinggi, tetapi tidak dapat dipilih karena di luar garis anggaran perusahaan (isocost). Anggaran perusahaan tidak mencukupi untuk memproduksi sejumlah B.

Menurut teori H-O, negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya.

Integrasi Ekonomi

Batasan definisi yang baku tentang integrasi ekonomi di antara para ekonom belum juga ditemukan saat ini. Para ekonom mengembangkan definisi integrasi ekonomi dari berbagai sudut pandang yang berbeda satu sama lain. Balassa (1961) mengemukakan definisi integrasi sebagai bentuk penghapusan diskriminasi serta kebebasan bertransaksi, atau dapat dikatakan juga sebagai penyatuan beberapa kawasan atau negara menjadi satu sehingga memiliki satu pasar yang ditandai dengan kesamaan harga barang dan faktor produksi di antara kawasan-kawasan tersebut. Balassa juga membagi integrasi ekonomi menjadi beberapa tahap, antara lain:

1. Preferential Trading Arrangements (PTA), yang merupakan blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk produk tertentu dari negara tertentu dengan melakukan pengurangan tarif namun tidak menghilangkannya sama sekali.

2. Free Trade Area (FTA), adalah suatu kawasan dimana tarif dan kuota antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap mempertahankan tarif mereka terhadap negara-negara bukan anggota.

3. Customs Union (CU), merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan komoditi antar negara anggota dan menerapkan tarif yang sama terhadap negara-negara bukan anggota. Efek kesejahteraan statis dari sebuah persekutuan pabean diukur melalui penciptaan perdagangan (trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion). Penciptaan perdagangan terjadi ketika produksi domestik digantikan oleh impor dari produsen dengan biaya yang lebih rendah dan lebih efisien di dalam persekutuan pabean. Hal ini meningkatkan kesejahteraan. Pengalihan perdagangan terjadi ketika impor berasal dari pemasok di luar persekutuan pabean digantikan dengan pemasok dari dalam persekutuan pabean dengan biaya yang lebih tinggi. Hal ini mengurangi kesejahteraan. Efek kesejahteraan dinamis lebih penting dan terjadi ketika persaingan dan skala ekonomis yang meningkat dan tingkat investasi yang lebih tinggi menjadi mungkin dalam integrasi ekonomi.

4. Common Market (CM), merupakan suatu CU yang juga meniadakan hambatan pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber yang efisien.


(29)

13 5. Economic Union (EU), merupakan suatu CM dengan tingkat harmonisasi

kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan struktural). 6. Total Economic Integration, adalah bentuk penyatuan kebijakan moneter,

fiskal dan sosial yang diikuti dengan pembentukan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota.

Terbentuknya AEC di akhir tahun 2015 ini, menunjukkan bahwa ASEAN akan memasuki tahap akhir dari integrasi ekonomi. Seperti diketahui bahwa ASEAN telah menerapkan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) sejak tahun 1991 yang bertujuan untuk menghilangkan hambatan perdagangan berupa tarif antar sesama anggota ASEAN, dan menerapkan ASEAN Single Window (ASW) pada tahun 2013 yang bertujuan untuk mengintegrasikan sistem Bea dan Cukai di seluruh kawasan ASEAN (Almonte 2013). Dengan penerapan AEC pada tahun 2015, maka pada dasarnya ASEAN akan menerapkan common market dan economic union pada saat yang bersamaan.

Negara-negara yang membentuk sebuah integrasi dalam bentuk persekutuan kawasan dalam perdagangan bebas berkesempatan untuk mengambil keuntungan dari situasi yang ada, sehingga dampak persekutuan ini akan memberikan dampak statis dan dinamis. Dampak ini akan menciptakan trade creation dan trade diversion (Suarez 2001).

- Trade Creation/penciptaan perdagangan, yaitu bagaimana sebagian produksi domestik di salah satu atau beberapa negara anggota yang kurang efisien dapat digantikan dengan impor yang harganya lebih murah (produksinya lebih efisien) dari sesama anggota. Hal ini akan meningkatkan spesialisasi produksi dan kesejahteraan di lingkungan persekutuan pabean tersebut.

- Trade Diversion, yaitu impor yang murah dari negara luar non-anggota tergusur oleh impor yang sesungguhnya lebih mahal (produksinya kurang efisien) dari salah satu negara anggota. Produk yang kurang efisien tersebut dapat masuk karena tertolong dengan dihapuskannya tarif di antara sesama negara anggota persekutuan pabean. Trade diversion cenderung menurunkan kesejahteraan di lingkungan negara-negara anggota persekutuan pabean itu sendiri karena akan menjauhkan produksi dari pola keuntungan komparatif.

Menurut Viner (1950), perjanjian perdagangan regional (melalui skema Free Trade Agreement antar beberapa negara) akan menguntungkan jika besarnya penciptaan perdagangan (trade creation) lebih besar daripada pengalihan perdagangan (trade diversion). Sebaliknya, perjanjian FTA akan merugikan jika besarnya penciptaan perdagangan lebih kecil daripada pengalihan perdagangan. Karena itu, penting untuk memfokuskan pada perubahan dalam produksi domestik dan perdagangan intra maupun ekstra regional.


(30)

14

Sumber: Suarez 2001

Gambar 3 Trade creation dan trade diversion pada integrasi ekonomi Pada kurva di atas, dapat dilihat bahwa sebelum terbentuknya integrasi ekonomi, harga yang berlaku pada suatu negara adalah harga dunia ditambah dengan tarif yang diberlakukan (pw + t). Setelah dibentuk integrasi ekonomi, maka harga turun karena dibebaskan dari semua bentuk tarif sehingga terjadi harga dalam kawasan integrasi sebesat pi. Dengan terbentuknya integrasi ekonomi akan terjadi penurunan harga akibat efisiensi biaya produksi yang mendekati harga dunia, sehingga surplus konsumen meningkat yaitu pada areal a dan b, walaupun penerimaan pemerintah hilang sebesar a dan c. Selisih besarnya b dan c akan menentukan apakah integrasi ekonomi menimbulkan trade creation atau trade diversion. Apabila b > c, maka integrasi ekonomi menimbulkan trade creation dan apabila b < c, maka integrasi ekonomi memberikan trade diversion.

Penciptaan perdagangan terjadi ketika perdagangan di antara negara-negara anggota meningkat sebagai akibat dari keanggotaan mereka dalam perjanjian perdagangan bebas. Penghapusan hambatan perdagangan, khususnya tarif, mendorong negara-negara untuk mengimpor komoditas dari negara anggota FTA yang berbiaya lebih rendah daripada membeli dari industri domestik yang berbiaya tinggi. Dengan cara ini, perekonomian di wilayah perdagangan bebas menghasilkan output lebih banyak dengan berkonsentrasi pada komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Karena itu, trade creation/penciptaan perdagangan meningkatkan spesialisasi di negara-negara anggota, dan skala ekonomi meningkatkan efisiensi produktif di negara tersebut.

Menurut Bretschger dan Steger (2004), integrasi ekonomi di suatu kawasan ASEAN akan menghasilkan beberapa manfaat dan kerugian bagi negara yang melakukan integrasi. Manfaat integrasi ekonomi meliputi:

1. Mendorong berkembangnya industri lokal.

2. Peningkatan manfaat perdagangan melalui perbaikan terms of tade. 3. Mendorong efisiensi ekonomi di suatu kawasan ekonomi.

Sedangkan kerugian dari integrasi ekonomi meliputi:

1. Dapat membatasi kewenangan suatu negara untuk menggunakan kebijakan fiskal dan moneter dalam mempengaruhi kinerja ekonomi dalam negeri negara tersebut.


(31)

15 2. Adanya kemungkinan hilangnya potensi untuk menjadi pasar bagi negara yang

tidak mampu bersaing.

Konsep Daya Saing

Daya saing (competitiveness) telah menjadi satu kunci, baik bagi masyarakat suatu perekonomian maupun individu dalam suatu tatanan ekonomi lintas negara. Bukan hanya perusahaan yang melakukan restrukturisasi untuk dapat bersaing, tetapi juga pemerintah untuk meningkatkan kinerja perekonomian dan menarik investasi ke dalam. Dengan demikian, yang harus bersaing bukan hanya perusahaan, tetapi juga pemerintah suatu negarapun harus melakukannya. Karena itu pula, daya saing tersebut dapat dipengaruhi secara bersamaan oleh banyak faktor, yang menurut sifatnya (endogen/bisa dikontrol dan eksogen/tidak bisa dikontrol) bisa dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni faktor-faktor di sisi permintaan dan faktor-faktor di sisi penawaran yang kemudian disebut sebagai faktor-faktor penentu daya saing di tingkat makro (Tambunan dan Sitepu 2012). Faktor-faktor di sisi permintaan bersifat eksogen bagi Indonesia, termasuk perubahan harga di pasar internasional untuk semua produk yang Indonesia ekspor. Dalam hal ini, di perdagangan dunia, Indonesia bukan penentu harga, melainkan price taker. Pemerintah Indonesia hanya bisa mempengaruhi harga dalam mata uang asing dari produk-produk ekspor Indonesia melalui perubahan nilai tukar Rupiah (devaluasi atau revaluasi). Sementara itu, faktor-faktor yang bersifat endogen bagi Indonesia adalah dari sisi penawaran yang meliputi sumber daya manusia (SDM), ketersediaan/penguasaan teknologi, ketersediaan bahan baku bukan hanya dalam arti jumlah, tetapi juga kualitas dan harga, infrastruktur dan logistik dalam kuantitas dan kualitas, industri-industri pendukung, barang-barang modal dan perantara, energi, ketersediaan informasi, dan kebijakan khusus ekspor.

Sisi Penawaran Sisi Permintaan

Sumber: Tambunan dan Sitepu 2012

Gambar 4 Faktor-faktor penentu daya saing di tingkat makro

SDM: kualitas dan upah Teknologi dan kemampuan inovasi

Pendanaan Bahan baku/SDA Infrastruktur dan logistik

Industri pendukung Energi Informasi Kebijakan ekspor-impor

Kebijakan sektoral

Ekspor

Kebijakan/kesepakatan internasional/regional/bilateral

Permintaan Luar Negeri (LN)

Jumlah penduduk LN Pendapatan LN

Kebijakan pemerintah Harga LN


(32)

16

Yang membuat faktor-faktor di sisi penawaran semakin kompleks dari sudut pandang kebijakan pemerintah adalah bahwa masing-masing dari faktor-faktor tersebut mewakili sektor masing-masing, dan ini berarti berbagai kebijakan sektoral secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap tingkat daya saing. Misalnya dalam hal SDM, kebijakan dari Kementerian Pendidikan turut serta mempengaruhi ketersediaan pekerja-pekerja terampil siap pakai bagi perusahaan-perusahaan eksportir. Demikian juga kebijakan moneter, misalnya nilai tukar Rupiah yang terlalu tinggi juga membuat daya saing harga dari ekspor Indonesia menurun relatif dibandingkan harga dari produk yang sama buatan negara lain. Dengan harga yang lebih murah tersebut menyebabkan permintaan terhadap produk-produk ekspor Indonesia meningkat yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan daya saing.

Selain dibedakan menurut sifatnya seperti yang diuraikan di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat daya saing juga dapat dibedakan menurut tingkatnya, yakni pada tingkat makro dan tingkat mikro (Tambunan dan Sitepu 2012). Di tingkat makro adalah yang telah dibahas di atas, yakni faktor-faktor di sisi permintaan dan sisi penawaran yang mempengaruhi daya saing nasional secara keseluruhan. Sedangkan di tingkat mikro adalah mengenai daya saing ekspor dari sebuah perusahaan secara individu. Tingkat daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari tingkat daya saing dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dalam gilirannya, daya saing dari perusahaan tersebut ditentukan oleh banyak faktor, tujuh diantaranya yang sangat penting adalah: keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik, ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti energi dan bahan baku.

Sumber: Tambunan dan Sitepu 2012

Gambar 5 Faktor-faktor penentu daya saing di tingkat mikro

Sementara itu, menurut Sugiyanto (2004), dalam perspektif mikro, indikator daya saing suatu industri juga dapat dilihat dari tingkat harga relatif. Tingkat harga relatif yang semakin rendah, menunjukkan tingkat daya saing industri yang

Keahlian pengusaha Keahlian

pekerja

Organisasi dan

manajemen yang baik Ketersediaan teknologi Ketersediaan input lainnya Ketersediaan

modal Ketersediaan informasi Faktor-faktor Penentu Daya Saing Perusahaan

Daya Saing Perusahaan Daya Saing Produk


(33)

17 semakin tinggi. Pengertian relatif di sini diartikan dalam kaitannya dengan berbagai atribut yang membentuk suatu macam produk, baik itu kualitas, desain, harga dan atribut-atribut lainnya. Jadi, harga relatif dapat juga dikatakan sebagai biaya yang dikeluarkan produsen selama proses produksi. Dalam hal ini biaya produksi berpengaruh terhadap harga ekspor karena harga yang dikeluarkan oleh produsen merupakan harga pembelian input perusahaan eksportir untuk menghasilkan produk-produk yang diekspor, sehingga juga menentukan harga ekspornya. Harga ekspor yang rendah karena rendahnya harga input akan mendorong peningkatan daya saing karena pada dasarnya esensi dari daya saing itu sendiri adalah biaya yang relatif rendah. Dengan kata lain, esensi peningkatan daya saing adalah penurunan biaya.

Dalam konteks ekonomi Indonesia, perhatian terhadap daya saing sangat relevan, setidaknya jika daya saing tersebut dikaitkan dengan dua hal berikut. Pertama, berkaitan dengan arus liberalisasi perdagangan dunia. Keikutsertaan Indonesia di dalam AFTA mempunyai konsekuensi bahwa Indonesia harus taat terhadap aturan-aturan di dalamnya. Implikasi dari perjanjian tersebut adalah bahwa semua negara yang terlibat sebagai anggota harus secara bertahap melakukan pengikisan terhadap proteksi-proteksi perdagangan antar negara. Kedua, kondisi internal industri Indonesia secara umum masih belum efisien. Akibatnya, jika harus memasuki tatanan perdagangan bebas, sangat mungkin perusahaan-perusahaan Indonesia akan kalah bersaing di pasar internasional.

Untuk mencapai keberhasilan dalam bersaing, suatu negara diharapkan tidak hanya memiliki keunggulan komparatif, tetapi juga memiliki keunggulan kompetitif. Menurut Porter (1990), dalam persaingan global saat ini, suatu negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu dan dua faktor pendukung. Empat faktor utama yang menentukan daya saing suatu produk adalah kondisi faktor (sumber daya alam/SDA, sumber daya manusia/SDM, modal, IPTEK dan infrastruktur), kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif, serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri. Dua faktor lainnya yang mempengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut, yaitu faktor peluang atau kesempatan dan peran pemerintah.

Kondisi faktor merupakan keadaan ketersediaan faktor produksi, seperti SDA, keadaan tenaga kerja, pengetahuan dan teknologi, modal serta infrastruktur. Struktur industri dari faktor produksi tersebut akan menentukan daya tawar pemasok faktor produksi dan daya saing industri suatu negara.

Pada kondisi permintaan, semakin maju suatu masyarakat dan semakin demanding konsumen, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk atau melakukan inovasi guna memenuhi permintaan konsumen. Kondisi permintaan tidak hanya berasal dari lokal, tetapi juga dari luar negeri karena adanya globalisasi yang digambarkan melalui harga ekspor dan volume ekspor suatu produk. Dalam hal ini, harga ekspor pada dasarnya dihasilkan dari permintaan dan penawaran produk yang dihasilkan oleh suatu industri, sedangkan volume ekspor merupakan jumlah produk yang diminta oleh pasar luar negeri.

Dalam rangka menghasilkan output guna memenuhi permintaan konsumen, keberadaan industri terkait dan industri pendukung diperlukan untuk memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik,


(34)

18

pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan industri. Adapun manfaat industri pendukung dan terkait, yaitu dapat meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam clusters yang dapat dimanfaatkan oleh industri lainnya. Selain itu, dengan adanya industri pendukung dan terkait, maka akan meningkatkan produktivitas dan daya saing.

Adanya tingkat persaingan mendorong perusahaan untuk mengembangkan produk baru, memperbaiki produk yang telah ada, menurunkan harga dan biaya, mengembangkan teknologi baru dan memperbaiki mutu serta pelayanan. Dalam hal ini, strategi perusahaan dibutuhkan untuk memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Pada akhirnya, persaingan yang kuat akan mendorong industri untuk memperluas pasarnya.

Strategi-strategi yang disusun dalam upaya meningkatkan daya saing suatu industri tidak lepas dari adanya peran pemerintah dan faktor peluang atau kesempatan. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator agar industri semakin meningkatkan daya saingnya. Pemerintah dapat mempengaruhi daya saing global melalui regulasi-regulasi dan kebijakan yang memperlemah atau memperkuat faktor penentu daya saing. Di sisi lain, peran kesempatan berada di luar kendali perusahaan maupun pemerintah untuk mempengaruhi daya saing. Peran kesempatan ini dapat berupa penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang konstan akibat perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang, peningkatan permintaan produk industri yang lebih besar dari pasokannya, kondisi politik yang menguntungkan daya saing dan lain sebagainya.

Pengukuran Daya Saing

Analisis daya saing dilakukan dengan menggunakan pendekatan matematis terhadap ukuran daya saing suatu produk di pasar internasional. Ada beberapa ukuran daya saing yang dapat digunakan, antara lain Revealed Comparative Advantage (RCA), Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), Export Product Dynamics (EPD) dan Constant Market Share Analysis (CMSA). Pengukuran daya saing dengan menggunakan metode RCA digagas oleh Balassa pada tahun 1965. RCA merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif produk suatu negara di pasar internasional. Metode ini membuat rasio ekspor yang kemudian dikenal sebagai salah satu ukuran dalam menentukan kinerja perdagangan. Pendekatan ISP merupakan ukuran yang digunakan untuk menganalisis posisi atau tahapan perkembangan suatu produk sehingga dapat dilihat kecenderungan suatu negara sebagai eksportir atau importir. ISP mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu produk dalam perdagangan ke dalam lima tahap, yaitu tahap pengenalan, tahap substitusi impor, tahap pertumbuhan, tahap kematangan dan tahap kembali mengimpor (Hasibuan et al. 2012).

Pendekatan EPD digunakan untuk mengidentifikasi keunggulan kompetitif suatu produk dan mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Pendekatan ini juga untuk mengetahui apakah suatu produk merupakan produk dengan performa yang dinamis atau tidak. EPD dianalisis ke dalam 4 kategori, yaitu rising star, falling star, lost opportunity dan retreat (Yanti dan Widyastutik 2012). Terakhir adalah metode CMSA sebagai model analisis


(35)

19 daya saing yang digunakan utntuk mengetahui keunggulan kompetitif atau daya saing ekspor di pasar internasional dari suatu negara produsen relatif terhadap negara pesaing (Kemendag 2011).

Pengukuran daya saing dengan menggunakan metode RCA merupakan pengukuran yang paling sering digunakan. RCA mampu mengukur keunggulan komparatif industri di setiap negara, dan berdasarkan distribusi keunggulan komparatif tersebut dapat diperkirakan dampaknya terhadap kondisi industri di masing-masing negara. Apabila distribusi RCA untuk industri tertentu tidak merata antar negara, maka kondisi tersebut memungkinkan untuk terjadinya saling melengkapi antar negara. Kondisi ini mengarah kepada terciptanya perdagangan (trade creation). Dengan menggunakan RCA juga, maka dapat diukur seberapa besar kekuatan sebuah grup negara-negara terhadap dunia.

Analisis daya saing yang digunakan dalam penelitian ini adalah RCA. Alasannya adalah karena keunggulan komparatif masih relevan hingga saat ini dalam menjelaskan pola perdagangan internasional, dan RCA merupakan salah satu alat sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif tersebut. Bila dilihat dari keunggulan dan kelemahannya, keunggulan RCA adalah dapat mengukur secara spesifik pangsa pasar produk dari sektor industri prioritas dalam suatu negara di kawasan ASEAN terhadap total ekspornya secara relatif terhadap pangsa pasar produk dari sektor industri prioritas tersebut kepada perdagangan ASEAN. Sedangkan kelemahannya, ada kemungkinan nilai RCA tidak mencerminkan comparative advantage dari negara yang sebenarnya. Hal ini bisa disebabkan akibat kebijakan ataupun intervensi negara yang terlalu besar yang dapat mendistorsi aliran perdagangan. RCA mengeluarkan faktor country effect. Akibatnya, ada kemungkinan peningkatan pangsa pasar sektor industri prioritas pada satu negara ASEAN bukan disebabkan oleh kemampuan yang lebih kuat sektor tersebut memasuki pasar ASEAN, tapi lebih mencerminkan kemampuan perusahaan pada sektor industri prioritas memilih pasar yang tepat. Hal ini dapat dikoreksi dengan menggunakan pendekatan CMSA.

Penelitian Terdahulu

Penelitian yang akan dilakukan ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Berikut penelitian-penelitian yang mendasari dilakukannya penelitian mengenai analisis daya saing sektor industri prioritas Indonesia dalam menghadapi pasar ASEAN.

Penelitian yang dilakukan oleh Nalurita et al. (2014) yang berjudul Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Kopi Indonesia dengan menggunakan RCA dan Porter’s Diamond Theory sebagai metode analisisnya. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa berdasarkan analisis daya saing dengan menggunakan RCA secara komparatif kopi Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional. Berdasarkan analisis Berlian Porter, kopi Indonesia juga memiliki keunggulan kompetitif yang didukung dengan kondisi faktor (sumber daya alam, modal, tenaga kerja, IPTEK), industri terkait dan pendukung, peran pemerintah dan kesempatan.

Penelitian yang berjudul Daya Saing dan Strategi Pengembangan Minyak Sawit di Indonesia oleh Nayatakaningtyas dan Daryanto (2012). Metode analisis yang digunakan adalah RCA, Porter’s Diamond Theory dan analisis SWOT.


(36)

20

Hasilnya menyatakan bahwa strategi rutin yang harus dilakukan setiap tahunnya antara lain pengembangan sumber daya manusia pelaku industri minyak sawit dengan pelatihan dan kegiatan inovasi, memperhatikan isu nasional dan internasional dengan memperbaiki kebijakan pemerintah, pengembangan industri hilir serta peningkatan nilai tambah minyak sawit, dan meningkatkan pola kerja sama dengan produsen negara lain melalui promosi.

Arianti dan Lubis (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing dan Kesiapan Indonesia Dalam Rangka Integrasi ASEAN: Studi Kasus Automotives, Rubber Based dan Agro Based Products, dengan menggunakan metode RCA dan Intra Industry Trade (IIT) menyimpulkan bahwa: (1) berdasarkan hasil IIT, untuk sektor otomotif, liberalisasi meningkatkan keterkaitan industri otomotif Indonesia dengan Thailand, Singapura dan pasar dunia. Sedangkan pada hasil RCA menunjukkan bahwa liberalisasi meningkatkan daya saing industri otomotif Indonesia dengan negara ASEAN; (2) untuk industri berbahan baku karet, pasar industri berbasis karet Indonesia memiliki tingkat integrasi yang relatif tinggi diseluruh negara kawasan ASEAN, artinya liberalisasi dapat meningkatkan keterkaitan industri karet Indonesia keseluruh negara ASEAN. Sedangkan pada hasil RCA, menunjukkan bahwa liberalisasi meningkatkan daya saing industri karet Indonesia dengan negara ASEAN, terutama dengan Malaysia dan Singapura; (3) untuk sektor industri agro based, liberalisasi tidak meningkatkan keterkaitan industri berbasis produk pertanian Indonesia baik ke dunia maupun keseluruh negara ASEAN. Sedangkan berdasarkan RCA menunjukkan bahwa liberalisasi yang terjadi dapat meningkatkan daya saing industri berbasis pertanian Indonesia dengan negara ASEAN; (4) berdasarkan hasil analisis model ekonometrika, FDI mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap IIT pada model yang menjelaskan determinan IIT untuk sektor industri berbasis karet dan pertanian, namun hal itu tidak terjadi untuk sektor industri otomotif. Di sisi lain, FDI mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap RCA pada model yang menjelaskan determinan IIT untuk sektor industri otomotif, sektor industri berbasis karet dan berbasis pertanian.

Penelitian yang dilakukan oleh Anwar et al. (2012) yang berjudul Analisis Daya Saing Industri Furnitur Rotan Kabupaten Sukoharjo. Dengan menggunakan metode Porter’s Diamond Theory, RCA dan OLS (Ordinary Least Square), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan konsep Porter’s Diamond dan konsep RCA, industri furnitur rotan Kabupaten Sukoharjo telah memiliki kondisi yang cukup baik untuk pengembangan industri furniture rotan dan digolongkan memiliki daya saing yang kuat. Sedangkan berdasarkan metode OLS, hasil uji F menunjukkan bahwa semua variabel yang diteliti secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap daya saing industri furnitur rotan Sukoharjo pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil uji t menunjukkan bahwa variabel harga ekspor furnitur rotan Sukoharjo (X1), nilai tukar Dollar AS terhadap Rupiah (X3) dan kebijakan pemerintah (D) secara individu berpengaruh nyata terhadap daya saing industri furnitur rotan Sukoharjo. Berdasarkan nilai standar koefisien regresi, variabel nilai tukar Dollar AS terhadap Rupiah (X3) memberikan pengaruh terbesar.

Rakhmawan (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing Komoditi Udang Indonesia di Pasar Internasional. Dengan menggunakan metode analisis RCA, Ordinary Least Square (OLS) dan Teori Berlian Porter (Porter’s


(37)

21 Diamond Theory), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komoditi udang Indonesia berdaya saing kuat atau Indonesia mempunyai keunggulan komparatif atas komoditi udang Indonesia karena terlihat dari nilai RCA yang mencapai angka puluhan. Sedangkan pada hasil analisis Porter’s Diamond Theory

ditunjukkan bahwa komoditi udang Indonesia mempunyai potensi dalam faktor input, yaitu sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia, modal serta infrastruktur yang unggul. Tetapi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi komoditi udang Indonesia masih lemah karena kurangnya penerapan teknologi intensif (modern) pada sektor budidaya udang serta teknologi ekspor yang kurang memadai dibandingkan negara pesaingnya seperti Thailand. Selain itu, komoditi udang Indonesia juga mempunyai potensi pada permintaan domestik dan ekspor yang tinggi, persaingan yang ketat antar negara eksportir udang serta adanya peran pemerintah untuk pengembangan komoditi udang Indonesia dan faktor kesempatan yang bagus di dunia internasional. Sedangkan pada industri terkait dan pendukung serta struktur dan strategi ekspor komoditi udang Indonesia masih rendah karena belum banyaknya tempat-tempat penelitian benih udang dan kurang berperannya industri pakan udang serta belum adanya strategi-strategi khusus dalam ekspor udang Indonesia.

Dari berbagai penelitian terdahulu, maka penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia sebagai dasar dalam menentukan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saingnya cukup relevan untuk dilakukan mengingat menjelang MEA di akhir tahun 2015 ini persaingan di antara negara-negara ASEAN akan semakin ketat dalam memperebutkan peluang dalam pasar ASEAN. Jika tidak mampu bersaing, dikhawatirkan Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara ASEAN lainnya dan dibanjiri oleh produk-produk asing. Sebaliknya, bila industri nasional mampu bersaing di pasar ASEAN, maka integrasi ekonomi ini akan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. Dengan kinerja industri nasional seperti saat ini, penelitian ini ingin melihat kondisi daya saing industri nasional di pasar ASEAN yang difokuskan kepada sektor industri prioritas sebagai industri-industri yang diunggulkan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap memiliki daya saing. Pemilihan sektor industri inilah yang membedakan dengan penelitian sebelumnya, dimana pada penelitian terdahulu belum ada yang meneliti mengenai sektor industri prioritas. Di samping itu, pada penelitian ini selain mengukur tingkat daya saingnya, juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing tersebut.

Kerangka Pemikiran

Implementasi dari pembentukan AFTA sebagai bentuk integrasi ekonomi ASEAN salah satunya adalah adanya pengurangan atau penghapusan hambatan tarif inter-regional di kawasan ASEAN. Selain itu, pembentukan AFTA juga mengukuhkan terbentuknya pasar tunggal ASEAN yang tujuannya adalah untuk menciptakan pasar yang terintegrasi antar negara ASEAN, dimana sasarannya adalah meningkatkan daya saing ekonomi ASEAN sebagai product based dalam menghadapi persaingan di pasar dunia. Oleh karena itulah daya saing negara-negara ASEAN diharapkan dapat lebih kompetitif, karena dalam pasar tunggal


(38)

22

ASEAN kegiatan produksi dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing negara anggota.

Sejumlah langkah peningkatan daya saing dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap sektor-sektor yang dianggap strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal ASEAN. Dalam hal ini, pemerintah menetapkan sektor industri prioritas sebagai industri-industri yang akan digenjot untuk siap menghadapi gempuran industri-industri sejenis yang berasal dari kawasan ASEAN. Kemampuan bersaing produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia perlu dipahami dengan melakukan komparasi terhadap produk sejenis yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas di negara-negara ASEAN lainnya. Dalam mengukur daya saing komparatif digunakan metode RCA karena metode ini mampu mengukur keunggulan komparatif industri di setiap negara, dan berdasarkan distribusi keunggulan komparatif tersebut dapat diperkirakan dampaknya terhadap kondisi industri di masing-masing negara.

Gambar 6 Kerangka pemikiran konseptual Integrasi Ekonomi ASEAN 1. Terbentuknya pasar tunggal ASEAN

2. Penurunan atau penghapusan hambatan tarif inter-regional di kawasan ASEAN

Daya saing Indonesia diharapkan lebih kompetitif terhadap negara ASEAN lainnya

Penetapan sektor industri prioritas oleh pemerintah karena diunggulkan untuk dapat bersaing di pasar ASEAN

Faktor-faktor yang

mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas: 1. Harga Ekspor

2. Produktivitas Tenaga Kerja

3. Penambahan Modal Tetap 4. Nilai Tukar Riil

Analisis daya saing sektor industri prioritas Indonesia

di pasar ASEAN

Regresi Data Panel RCA


(39)

23 Analisa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas dengan menggunakan regresi data panel juga perlu dilakukan sebagai dasar dalam menentukan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saingnya. Dalam hal ini, daya saing dapat dipengaruhi secara bersamaan oleh banyak faktor yang menurut tingkatannya dibedakan menjadi tingkat makro dan tingkat mikro. Beberapa diantaranya yaitu harga ekspor, produktivitas tenaga kerja, penambahan modal tetap dan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.

Kerangka pemikiran konseptual yang dikembangkan dalam penelitian ini tentunya tidak terlepas dari tujuan penelitian. Secara ilustratif, kerangka pemikiran konseptual yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari masalah yang dibahas, dimana kebenarannya masih harus diuji. Dari hasil penelitian ini diharapkan sektor industri prioritas yang ditetapkan sebagai sektor unggulan oleh pemerintah memiliki peningkatan daya saing di pasar ASEAN dan pemerintah dapat melakukan strategi-strategi tertentu guna mempertahankan bahkan meningkatkan daya saing dari sektor industri prioritas tersebut, baik di pasar domestik maupun di pasar ASEAN. Adapun hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Sektor industri prioritas Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah terbukti merupakan industri unggulan untuk bersaing di pasar ASEAN berdasarkan indeks daya saing.

2. Variabel harga ekspor berpengaruh negatif terhadap daya saing sektor industri prioritas. Tingkat harga yang semakin rendah, menunjukkan tingkat daya saing yang semakin tinggi.

3. Variabel produktivitas tenaga kerja berpengaruh positif terhadap daya saing sektor industri prioritas karena semakin banyak output yang dihasilkan dengan tenaga kerja yang produktif, maka dapat meningkatkan daya saing sektor industri prioritas.

4. Variabel penambahan modal tetap berpengaruh positif terhadap daya saing sektor industri prioritas, semakin banyak modal yang tersedia dalam proses produksi, akan mendorong peningkatan output yang dihasilkan dan itu berarti akan meningkatkan daya saing sektor industri prioritas.

5. Variabel nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat berpengaruh positif terhadap daya saing sektor industri prioritas karena semakin terdepresiasi Rupiah akan mendorong peningkatan ekspor dan berdampak pada peningkatan daya saing.


(40)

24


(1)

66

Lampiran 6 Uji chow dan uji hausman pada Fixed Effect Model

Uji Chow:

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 160.745488 (7,92) 0.0000

Uji Hausman:

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Chi-Sq. Prob.

Cross-section random 0.000000 4 1.0000

* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.


(2)

67 Lampiran 7 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Pooled Least Square

tanpa pembobotan Dependent Variable: LOG(DS) Method: Panel Least Squares Date: 10/12/15 Time: 16:05 Sample: 2001 2013

Periods included: 13 Cross-sections included: 8

Total panel (balanced) observations: 104

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PX -2.226476 3.739799 -0.595346 0.5530 LOG(LABPROD) 0.030679 0.060859 0.504095 0.6153 LOG(FIXCAP) -0.028264 0.038232 -0.739264 0.4615 LOG(RER) 0.595591 0.322750 1.845367 0.0680 C -5.216987 3.311886 -1.575231 0.1184 R-squared 0.087896 Mean dependent var 0.228308 Adjusted R-squared 0.051044 S.D. dependent var 0.498775 S.E. of regression 0.485879 Akaike info criterion 1.441169 Sum squared resid 23.37177 Schwarz criterion 1.568303 Log likelihood -69.94077 Hannan-Quinn criter. 1.492675 F-statistic 2.385071 Durbin-Watson stat 0.111895 Prob(F-statistic) 0.056314


(3)

68

Lampiran 8 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Pooled Least Square dengan pembobotan

Dependent Variable: LOG(DS)

Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 10/12/15 Time: 16:08

Sample: 2001 2013 Periods included: 13 Cross-sections included: 8

Total panel (balanced) observations: 104

Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PX -2.278343 0.572464 -3.979890 0.0001 LOG(LABPROD) 0.031265 0.011543 2.708624 0.0080 LOG(FIXCAP) -0.016719 0.009253 -1.806838 0.0738 LOG(RER) 0.641185 0.042823 14.97293 0.0000 C -5.736965 0.460467 -12.45902 0.0000

Weighted Statistics

R-squared 0.799232 Mean dependent var 3.015798 Adjusted R-squared 0.791120 S.D. dependent var 3.911553 S.E. of regression 1.010164 Sum squared resid 101.0227 F-statistic 98.52668 Durbin-Watson stat 1.429327 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.086885 Mean dependent var 0.228308 Sum squared resid 23.39769 Durbin-Watson stat 0.108309


(4)

69 Lampiran 9 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Fixed Effect

Dependent Variable: LOG(DS)

Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 10/12/15 Time: 16:16

Sample: 2001 2013 Periods included: 13 Cross-sections included: 8

Total panel (balanced) observations: 104

Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PX -5.261890 1.118679 -4.703663 0.0000 LOG(LABPROD) 0.026079 0.021177 1.231493 0.0403 LOG(FIXCAP) -0.023866 0.011474 -2.080041 0.2213 LOG(RER) 0.556836 0.064308 8.658878 0.0000 C -4.824985 0.717292 -6.726663 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.943883 Mean dependent var 2.752431 Adjusted R-squared 0.937173 S.D. dependent var 4.511400 S.E. of regression 1.036088 Sum squared resid 98.75999 F-statistic 140.6756 Durbin-Watson stat 1.693559 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.872896 Mean dependent var 0.228308 Sum squared resid 32.56928 Durbin-Watson stat 0.809833


(5)

70

Lampiran 10 Hasil Regresi persamaan dengan pendekatan Random Effect Dependent Variable: LOG(DS)

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 10/15/15 Time: 10:16

Sample: 2001 2013 Periods included: 13 Cross-sections included: 8

Total panel (balanced) observations: 104

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PX -4.831652 2.195397 -2.200810 0.0301 LOG(LABPROD) 0.013720 0.052472 0.261472 0.0259 LOG(FIXCAP) -0.043411 0.019197 -2.261349 0.7943 LOG(RER) 0.462911 0.188217 2.459453 0.0156 C -3.721490 2.080309 -1.788912 0.0767

Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 0.618064 0.9160

Idiosyncratic random 0.187223 0.0840

Weighted Statistics

R-squared 0.393076 Mean dependent var 0.019114 Adjusted R-squared 0.368553 S.D. dependent var 0.232083 S.E. of regression 0.184421 Sum squared resid 3.367114 F-statistic 16.02938 Durbin-Watson stat 0.833861 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.081948 Mean dependent var 0.228308 Sum squared resid 23.52419 Durbin-Watson stat 0.119354


(6)

71

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Isventina, dilahirkan di Bogor pada tanggal 19 April 1984. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Drs. Paidjo Pudjosumarto dan Sri Sugiwangsih.

Penulis memulai pendidikan di TK Bhayangkari, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1989, lalu melanjutkan ke SD Negeri Tempelan 1 Blora, Jawa Tengah pada tahun 1990 dan lulus pada tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 2 Kota Depok, Jawa Barat dan lulus pada tahun 1999. Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Kota Depok, Jawa Barat merupakan tempat penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Lulus tahun 2002 dari SMUN 1 Kota Depok, Jawa Barat, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dan lulus pada tahun 2006.

Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Direktorat Kerjasama Pengembangan Ekspor, Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan RI. Penulis memperoleh beasiswa dari Kementerian Perdagangan RI untuk melanjutkan studinya pada Pascasarjana IPB, program studi Ilmu Ekonomi.