Pemanfaatan bakteri endofit sebagai alternatif pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman jahe

PEMANFAATAN BAKTERI ENDOFIT SEBAGAI
ALTERNATIF PENGENDALIAN PENYAKIT
LAYU BAKTERI PADA TANAMAN JAHE
(Zingiber officinale Rosc.)

SRI RAHAYUNINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Bakteri Endofit
sebagai Alternatif Pengendalian Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Jahe
(Zingiber officinale Rosc.) adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

Sri Rahayuningsih
NRP A451030071

ABSTRACT

SRI RAHAYUNINGSIH. Endophytic bacteria as alternatives diseases control of
bacterial wilt on ginger (Zingiber officinale). Under direction of ABDUL
MUNIF, WIDODO and SUPRIADI.
Ginger is cultivated in many tropical and subtropical regions of the world.
Growers expressed concern regarding the impact of pathogens on yields in recent
years. Similarly, growers expressed concern regarding the effect that pathogen
threats will have on the industry in the future. Bacterial wilt disease caused by
Ralstonia solanacearum is an important disease on ginger plant (Zingiber
officinale Rosc) in Indonesia. The objective of this research was to study the
effectiveness of endophytic bacteria in inhibiting the progress of bacterial wilt
disease on ginger. Three isolates of endophytic bacteria were selected and tested

their antibiosis activity and plant growth promoting rhizobacteria (PGPR)
against the bacterial wilt disease (R. solanacearum). The research showed that
under greenhouse condition all of the ginger plants treated with the 3 isolates of
endophytic bacteria produced symptoms of bacterial wilt disease 7 days after
inoculation of R. solanacearum. The 3 isolates of can only inhibit 12 % of severity
of bacterial wilt disease on ginger up to 42 days after the inoculation, therefore
they are not effective as biocontrol agent. .
Keyword : endophytic bacteria, bacterial wilt, ginger, R. solanacearum

RINGKASAN

SRI RAHAYUNINGSIH. Pemanfaatan Bakteri Endofit sebagai Alternatif
Pengendalian Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Jahe (Zingiber officinale).
Dibimbing oleh ABDUL MUNIF, WIDODO dan SUPRIADI.
Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada
tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc), merupakan penyakit penting di beberapa
negara di Asia, Australia, dan Afrika. Di Indonesia, penyakit layu bakteri jahe
ditemukan pada tahun 1971 di Kuningan, Jawa Barat. Penyakit ini dapat
menurunkan potensi hasil jahe sampai 90 %. Pada kasus tanaman jahe, varietas
tahan dengan produksi rimpang yang memenuhi syarat sampai saat ini belum

diperoleh di samping itu belum ada cara pengendalian yang efektif untuk penyakit
layu bakteri. Alternatif pengendalian yang sedang dikembangkan adalah dengan
meningkatkan pertahanan tanaman melalui induksi ketahanan. Penelitian
bertujuan untuk mendapatkan isolat-isolat bakteri endofit yang potensial dalam
mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe yang disebabkan oleh
bakteri R. solanacearum.
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Penyakit dan rumah kaca Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Bogor, pada bulan Oktober
2008 – Januari 2010. Eksplorasi bakteri endofit dilakukan di daerah sentra
produksi tanaman obat. Isolasi bakteri endofit dilakukan dengan cara
mensterilisasi permukaan akar/batang menggunakan larutan NaOCL 10 % dan air
steril. Bakteri patogen diisolasi dari tanaman jahe terinfeksi bakteri R.
solanacearum di lapang. Isolat bakteri endofit diseleksi berdasarkan
kemampuannya memproduksi bakteriosin atau sifat antibiosis. Uji potensi plant
growth-promoting rhizobacteria (PGPR) dilakukan dengan menyiram benih
mentimun yang telah disterilkan permukaanya dengan suspensi bakteri endofit
dan ditumbuhkan dalam bak perkecambahan yang berisi tanah steril. Perlakuan
diulang sebanyak 10 kali. Bakteri endofit hasil seleksi dikarakterisasi berdasarkan
sifat morfologi koloni dan fisiologinya. Isolat bakteri endofit terpilih diuji
potensinya di rumah kaca dengan cara menyiramkan 50 ml suspensi bakteri

endofit 108 cfu/ml kedalam polibag yang telah ditanami bibit jahe umur 2 bulan,
sebagai kontrol dilakukan penyiraman dengan menggunakan air steril. Satu
minggu setelah aplikasi bakteri endofit tanaman diinokulasi R. solanacearum
isolat T-954 dengan cara menyiramkan 25 ml ml/tanaman inokulum dengan
kerapatan populasi 108 cfu/ml (OD600 = 0,1). Rancangan percobaan menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan jumlah perlakuan tiga isolat bakteri
endofit yang paling berpotensi dari uji in-vitro diulang tiga kali. Masing-masing
unit perlakuan terdiri dari 10 bibit. Peubah yang diamati meliputi Keparahan
penyakit, kejadian penyakit, dan indeks penekanan penyakit. Data dianalisis
menggunakan Anova dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf 5%.
Hasil eksplorasi dan isolasi bakteri endofit dari akar, rimpang, dan batang
tanaman jahe, kencur, tomat, dan jagung diperoleh sebanyak 222 isolat.
Banyaknya isolat bakteri endofit yang diperoleh menunjukkan bahwa keberadaan
bakteri endofit di alam berlimpah. Hasil pengujian secara in vitro menunjukkan,
dari 222 isolat bakteri endofit yang diperoleh terdapat 39 isolat atau 18 %

diantaranya mampu memproduksi bakteriosin atau bersifat antibiosis, sedangkan
82 % sisanya tidak bersifat antibiosis. Bakteri endofit yang menunjukkan sifat
antibiosis paling tinggi berasal dari tanaman jagung (41,03 %), berturut-turut
diikuti isolat dari tanaman jahe (28,20), tomat (25,64 %), dan kencur (5,13 %).

Pengujian potensi 39 isolat bakteri endofit antibiosis dalam meningkatkan
pertumbuhan tanaman secara in vivo pada tanaman mentimun menunjukkan
bahwa, terdapat tiga isolat bakteri endofit yang mampu meningkatkan
pertumbuhan perakaran tanaman mentimun tertinggi. Ketiga isolat tersebut
berasal dari tanaman jahe (EJH6), tomat (ET9), dan jagung (EJG14) yang
selanjutnya akan digunakan dalam uji potensi dalam menekan perkembangan
penyakit layu bakteri R. solanacearum pada tanaman jahe di rumah kaca.
Karakterisasi morfologi menunjukkan ketiga isolat terbagi dalam dua
kelompok yang berbeda, dua isolat (ET9 dan EJG14) termasuk kedalam kelompok
P. fluorescens dan satu isolat (EJH6) kelompok Bacillus. Isolat R. solanacearum
(T 954) yang digunakan dalam pengujian bakteri endofit mempunyai virulensi
yang tinggi, terlihat dari perkembangan gejala penyakit layu yang cepat pada
tanaman jahe yang diinokulasi. Munculnya gejala awal penyakit layu bakteri,
yang ditandai dengan daun menguning sudah terlihat pada hari ke-7 setelah
inokulasi baik pada perlakuan kontrol positif (RS) maupun tanaman yang diberi
perlakuan dengan tiga isolat bakteri endofit. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa tanaman jahe yang diaplikasi bakteri endofit laju perkembangan
penyakitnya lebih lambat dibandingkan dengan tanpa aplikasi. Isolat bakteri
endofit yang diplikasikan hanya mampu menekan keparahan penyakit sampai hari
ke 42 setelah inokulasi sebesar 12 %.


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PEMANFAATAN BAKTERI ENDOFIT SEBAGAI
ALTERNATIF PENGENDALIAN PENYAKIT
LAYU BAKTERI PADA TANAMAN JAHE
(Zingiber officinale Rosc.)

SRI RAHAYUNINGSIH

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Memen Surahman, M.Sc. Agr.

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan pada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga karya ilmiah dengan judul “Pemanfaatan Bakteri Endofit sebagai
Alternatif Pengendalian Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Jahe
(Zingiber officinale Rosc)” dapat diselesaikan.
Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu satu
Sekolah Pasca Sarjana IPB untuk

syarat


kelulusan di

mendapatkan gelar Magister Sains

pada

Departemen Hama dan Penyakit
Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir.
Abdul Munif, M.Sc. Agr selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Widodo, MS
dan Prof. Dr. Ir. Supriadi, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas segala
bimbingan dan arahannya kepada penulis dalam penulisan usulan penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (alm), ibu, suami, anak,
serta seluruh keluarga atas segala do’a dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bermanfaat bagi pihak yang
memerlukan.

Bogor, Juni 2011

Sri Rahayuningsih


RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Surabaya, pada tanggal 6 Oktober 1968 dari pasangan ayah
(Alm.) H. Soeprapto dan ibu Hj. Rr. Soetartik sebagai putri ke-5 dari enam
bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Malang, lulus tahun 1992. Karier sebagai Pegawai
Negeri Sipil pada dimulai tahun 1994 sebagai CPNS di Balai Penelitian
Tembakau dan Tanaman Serat (BALITTAS) Malang Jawa Timur, di bidang
penyakit tanaman. Pada tahun 1999 sampai dengan sekarang sebagai tenaga
peneliti bidang penyakit tanaman di Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik, Bogor. Pada tahun 2003, penulis mendapat kesempatan tugas belajar
di Program Studi Fitopatologi pada Program Magister Sains, Sekolah Pasca
Sarjana IPB.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................


xii

DAFTAR TABEL.............................................................................................

xiii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………......................
Tujuan Penelitian …………………………………………………………….
Hipotesis……………………………………………………………................

1
1
4
4


TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jahe ...................................................................................................
Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Jahe…………………..........................
Strategi Pengendalian Penyakit Layu Bakteri Jahe ..........................................
Induksi KetahananTanaman……………………………………......................
Bakteri Endofit ………………………………………………….....................

5
5
6
8
10
12

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………….................
Tahap dan Metode Penelitian ...........................................................................
Pengamatan ......................................................................................................

15
15
15
19

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelimpahan Bakteri Endofit ............................................................................
Bakteri Endofit Bersifat Antibiosis ..................................................................
Bakteri Endofit sebagai Pemacu Pertumbuhan Tanaman ................................
Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi Bakteri Endofit ...................................
Potensi Bakteri Endofit di Rumah Kaca ..........................................................

21
21
23
26
29
31

KESIMPULAN DAN SARAN

37

DAFTAR PUSTAKA

39

DAFTAR TABEL
Halaman
No
1.

2.

3.

4.

5.

Jumlah isolat bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman jahe,
kencur, tomat, dan jagung ................................................................

21

Diameter Zona hambatan isolat bakteri endofit penghasil
bakteriosin ........................................................................................

25

Persentase peningkatan pertumbuhan bibit mentimun pada umur 7
hari setelah diberi perlakuan bakteri endofit ....................................

28

Karakter morfologi dan fisiologi bakteri endofit isolat EJH6, ET9,
dan EJG14 …………………………………………………………

30

Indeks keparahan dan kejadian penyakit layu bakteri pada
tanaman jahe yang diaplikasi dengan bakteri endofit di rumah
kaca ..................................................................................................

32

DAFTAR GAMBAR
Halaman
No
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Penampilan koloni bakteri endofit hasil isolasi (a) dan koloni
bakteri endofit yang sudah dimurnikan (b) pada media TSA

22

Persentase bakteri endofit bersifat antibiosis hasil koleksi (a), dari
tanaman jae, kencur, tomat, dan jagung ...........................................

23

Zona hambatan bakteri endofit dengan R. solanacearum (a) dan
koloni R. solanacearum pada media TTZA ……………………….

24

Persentase kelompok diameter hambatan bakteri endofit antibiosis
hasil koleksi (a), dari tanaman jahe, kencur, tomat, dan jagung (b)

25

Persentase peningkatan pertumbuhan bibit mentimun yang diberi
perlakuan bakteri endofit dibandingkan dengan kontrol ………….

27

Ciri pertumbuhan bakteri endofit isolate EJH6 dari tanaman jahe
(a), ET9 dari tomat (b), EJG14 dari jagung (c) ...............................

31

Grafik kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman jahe yang
diaplikasi dengan bakteri endofit .....................................................

32

Grafik keparahan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe yang
diaplikasi dengan bakteri endofit .....................................................

33

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jahe (Zingiber officinale Rosc) adalah tanaman asli dari China Selatan
yang juga dibudidayakan di daerah tropis dan sub tropis di dunia.

Jahe

merupakan salah satu tanaman obat dengan klaim khasiat paling banyak, di
antaranya sebagai bumbu/penyedap makanan, bahan baku industri jamu, makanan
dan minuman kesehatan, fitofarmaka serta produk kosmetik dan perawatan tubuh
(SPA). Komoditas jahe, saat ini masih menempati urutan teratas dalam
penggunaan, sehingga masih memiliki peluang besar untuk terus dikembangkan.
Menurut data FAO (Camacho dan Brescia 2009), luas lahan dan produksi
jahe di seluruh dunia mengalami peningkatan sejak tahun 1999 dan diperkirakan
kecenderungannya akan terus meningkat di masa mendatang.

Produksi jahe

dunia pada tahun 1999 adalah 952.222 ton meningkat menjadi 1.387.445 ton pada
tahun 2007. Hal yang sama terjadi pada luas lahan jahe di dunia yang juga
mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir. Total luas lahan jahe dunia pada
tahun 1999 dari 762.318 acre (308.434 Ha) meningkat setiap tahunnya menjadi
1.060.818 acre (429.207 Ha) pada tahun 2007. Dalam beberapa tahun terakhir
China dan India secara terus menerus menempati urutan teratas dalam produksi
jahe segar dunia (lebih dari 50 %), diikuti Indonesia, Nepal and Nigeria. Tahun
1999 Indonesia menempati urutan ke 2 setelah China sebagai negara pengekspor
jahe terbesar di dunia, namun pada tahun 2000 - 2005 produksi jahe Indonesia
terus mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan adanya serangan penyakit
layu bakteri di daerah sentra pengembangan jahe utama di Jawa Barat.
Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum
(Smith) Yabuuchi et al., merupakan salah satu penyakit penting dan merupakan
kendala utama dalam produksi pada tanaman jahe di banyak negara beriklim
tropis dan sub tropis di dunia (Buddenhagen dan Kelman 1964; Hayward 1991).
Di Indonesia, penyakit layu bakteri jahe ditemukan pada tahun 1971 di Kuningan,
Jawa Barat (Sitepu 1991) kemudian menyebar ke daerah Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jambi, Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Utara. Penyakit ini dapat
menurunkan potensi hasil jahe sampai 90 % (Januwati 1999).

2
Bakteri patogen

R. solanacearum

ditemukan di seluruh dunia dan

memiliki kisaran inang yang luas termasuk dalam ratusan spesies rentan dari
sekitar 50 famili tumbuhan yang berbeda, sehingga sulit dikendalikan (Kelman et
al 1994;. Hayward 1991). Strategi pengelolaan konvensional seperti rotasi
tanaman, penyesuauan waktu tanam, teknik budaya dan pengelolaan tanah masih
belum efektif (Chellemi et al. 1997).
Pengendalian penyakit layu bakteri harus dilakukan secara terpadu
menggunakan varietas tahan, secara kultur teknis, pemakaian bibit yang sehat dan
secara hayati (Elphinstone dan Aley 1995). Pada kasus tanaman jahe, varietas
tahan dengan produksi rimpang yang memenuhi syarat sampai saat ini belum
diperoleh di samping itu belum ada cara pengendalian yang efektif untuk penyakit
layu bakteri. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif lain dalam pengendalian
penyakit layu bakteri jahe. Salah satu diantaranya adalah pengendalian secara
hayati yang mungkin dapat diintegrasikan dengan cara-cara pengendalian lainnya.
Pengendalian hayati terhadap penyakit tanaman yang telah dikembangkan
saat ini umumnya bersifat langsung terhadap patogen, yaitu melalui kompetisi,
antibiosis atau parasit. Aspek lain yang perlu diteliti adalah potensi agen hayati
dalam menginduksi ketahanan tanaman. Menurut Tuzun dan Kuc (1991)
ketahanan tanaman dapat terinduksi dengan menginokulasi agen penginduksi
sehingga dapat melindungi tanaman terhadap patogen dan mekanisme ini dikenal
dengan imunisasi.
Alternatif pengendalian yang sedang dikembangkan adalah dengan
meningkatkan pertahanan tanaman melalui induksi ketahanan.

Ketahanan

merupakan suatu kemampuan tanaman untuk mengendalikan pengaruh yang
ditimbulkan patogen atau faktor perusak lainnya secara keseluruhan atau
sebagian. Induksi ketahanan terjadi apabila terdapat agen penginduksi yang dapat
mengakibatkan tanaman mengalami peningkatan ketahanan pada saat diserang
patogen (Agrios 1997).

Induksi ketahanan tidak didasarkan pada penekanan

patogen, melainkan pada pengaktifan mekanisme pertahanan tanaman (Steiner &
Schönbeck 1995).
Dasar pemikiran dari induksi ketahanan adalah bahwa gen untuk ketahanan
atau reaksi pertahanan ada pada semua tanaman.

Gen ketahanan akan

3
diekspresikan setelah adanya induksi ketahanan pada tanaman dan biasanya
akan terdeteksi oleh adanya inokulasi challenge (infeksi susulan) pada waktu
dan lokasi yang berbeda. Respon ketahanan tanaman yang terinduksi dapat berupa
respon hypersensitive, sintesis, fitoaleksin, pembentukan callose, pembentukan
pathogenesis-related (PR) protein, ß-1-3-glukanase, kitinase, peroksidase dan
proteinase inhibitor (Stermer 1995).
Sejumlah komponen diketahui dapat menginduksi ketahanan tanaman
ketika diaplikasikan secara eksogeneous pada tanaman. Komponen tersebut dapat
berupa komponen biotik seperti mikroorganisme patogenik dan non patogenik, ras
inkompatibel, komponen microbial, ekstrak tanaman dan komponen abiotik
seperti senyawa kimia sintetik, radiasi dan CO2 (Oku 1994).

Salah satu

komponen yang dapat digunakan dalam induksi ketahanan adalah bakteri endofit.
Pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan bakteri endofitik
merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan,
berkesinambungan dan dapat diintegrasikan dalam program pengendalian hama
terpadu. Beberapa jenis bakteri endofit disamping sebagai agen biokontrol, juga
sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, dan mengimunisasi ketahanan tanaman
terhadap patogen (Kloepper et al. 1999).
Bakteri endofit adalah bakteri yang mengkolonisasi jaringan internal
tanaman dan tidak menimbulkan pengaruh yang merugikan bagi tanaman
(Hallmann et al. 1997). Bakteri endofit sudah banyak dilaporkan berpotensi
sebagai agens biokontrol untuk mengendalikan beberapa jenis patogen seperti
virus, fungi, bakteri, nematoda, dan beberapa serangga (Van Loon et al. 1998).
Bakteri endofit dapat berasal dari biji (Adams dan Kloepper 1996), bahan
vegetatif tanaman (Sturz 1995), dan tanah rhizosfer maupun phylloplane
(Hallmann et al. 1997). Pada umumnya bakteri endofit masuk ke dalam jaringan
tanaman melalui stomata, lenti sel, luka (termasuk patahnya trikhom), area yang
rentan pada perakaran tanaman, dan radikel perkecambahan (Huang 2001).
Bakteri endofit saat ini menjadi perhatian para peneliti karena
keberadaannya yang mempengaruhi mekanisme fisiologi tanaman. Terjadinya
penyimpangan mekanisme fisiologi tanaman yang mengarah kepada peningkatan
produksi metabolit sekunder tertentu berpeluang untuk mengarahkan produksi

4
metabolit sekunder tertentu pada tanaman seperti tanaman obat (jahe) melalui
bakteri endofit. Senyawa yang menginduksi metabolit sekunder, elisitor, dapat
berupa polisakarida, oligosakarida, protein, glikoprotein dan asam lemak.
Komponen tersebut salah satu diantaranya dapat berupa komponen dinding sel
mikroorganisme (Dixon dan Lamb 1990).
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan isolat-isolat bakteri endofit yang
potensial dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada jahe yang disebabkan
oleh bakteri Ralstonia solanacearum melalui induksi ketahanan.

Hipotesis
Hipotesis yang dapat diajukan adalah bakteri endofit yang diperoleh dapat
menginduksi ketahanan tanaman jahe terhadap

R. solanacearum (EF Smith)

Yabuchii et al. penyebab penyakit layu.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah mendapatkan isolat
bakteri endofit yang dapat menginduksi ketahanan tanaman jahe sebagai salah
satu alternatif pengendalian hayati penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R.
solanacearum (EF Smith) Yabuchii et al.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jahe

Tanaman jahe adalah jenis herba tahunan, yang tumbuh di daerah tropis
dan subtropis di Asia dan Australia. Tanaman ini termasuk genus Zingiber dari
famili Zingiberaceae yang terdiri dari sekitar 150 spesies. Zingiberaceae cukup
penting sebagai tanaman rempah yang bermanfaat sebagai tanaman obat dan
mempunyai nilai ekonomi. Selain jahe (Z. officinale Rosc.) yang termasuk ke
dalam famili Zingiberaceae antara lain bangle (Z. cassumunar) dan lempuyang
wangi (Z. aromaticum) (Ravindran et al. 2004).
Tanaman jahe tumbuh merumpun, berakar serabut dan mempunyai batang
semu yang bebentuk bulat dengan tinggi antara 30 – 75 cm. Tumbuh tegak, tidak
bercabang, berwarna hijau muda, sering kemerahan pada bagian pangkal.

Setiap

batang umumnya terdiri 8 – 12 helai daun, berdaun sempit memanjang
menyerupai pita dengan panjang 15 – 23 cm dan lebar sekitar 2,5 cm yang
tersusun teratur dua baris berseling. Bunga berupa malai yang tersembul pada
permukaan tanah seperti gada dengan panjang lebih kurang 25 cm. Rimpang jahe
beruas-ruas, gemuk, agak pipih tertanam kuat dalam tanah
membesar dengan bertambahnya umur tanaman.

dan semakin

Rimpang jahe mengandung

minyak atsiri yang aromatis dan oleoresin khas jahe (Rostiana et al. 1991,
Rismunandar 1988).
Rimpang jahe mengandung minyak essensial α zingiberen yang tinggi.
Minyak jahe banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman, misalnya
ginger ale, bir jahe, dan berbagai kue maupun makanan penutup.

Industri

kosmetik, farmasi,dan parfum juga menggunakannya dalam jumlah kecil. kapsul
Jahe dapat digunakan untuk meredakan kelelahan, membantu pencernaan, dan
untuk mengobati penyakit reumatik.
Di Indonesia famili Zingiberaceae digunakan sebagai obat-obatan,
kosmetik dan bumbu masak.

Species penting yang dikomersial adalah jahe,

kunyit, temulawak dan lengkuas. Penggunaan temu-temuan untuk obat-obatan
didominasi kunyit dan jahe, sedangkan lengkuas, temulawak, dan temu ireng

6
masih di bawah 20 % dari total temu-temuan (Kuntorini 2005). Industri tanaman
obat tradisional Indonesia mengalami peningkatan yang sangat nyata dari tahun ke
tahun. Jumlah perusahaan obat tradisional pada tahun 1981 mencapai 165 buah
meningkat menjadi 1.023 pada tahun 2003; dan pangsa pasarnya pada tahun 2010
diperkirakan mencapai Rp. 7,2 triliun (Syakir 2007).
Tipe jahe yang banyak di tanam di Indonesia dikenal ada tiga yang
didasarkan atas ukuran dan warna rimpang, yaitu jahe putih besar, jahe putih kecil
dan jahe merah. Jahe putih kecil dan jahe merah sebagian besar dimanfaatkan
dalam industri minuman penyegar dan bahan baku industri obat tradisional, herba
terstandar maupun fitofarmaka (Bermawie et al. 2006). Jahe putih besar banyak
digunakan untuk sayur, makanan, minuman, permen dan rempah-rempah
(Januwati 1999). Kontribusi Jahe di dalam perdagangan rempah-rempah dunia
sekitar 90% dibandingkan dengan rempah-rempah lainnya, seperti lada, cengkeh,
kayu manis, pala, dan kapulaga (Nakatani dan Kikuzaki, 2002).

Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Jahe

Penyakit layu bakteri tanaman jahe yang disebabkan oleh R. solanacearum
(EF Smith) Yabuuchi et al. (sebelumnya disebut Pseudomonas solanacearum (EF
Smith) merupakan kendala budidaya jahe. Penyakit ini sulit sekali ditanggulangi,
antara lain karena patogen ini mampu bertahan dalam tanah dalam waktu yang
cukup lama dan mempunyai sekitar 250 jenis tumbuhan dari 44 famili yang
dilaporkan dapat menjadi inang dari R. solanacearum (Hayward, 1991).
Supriadi (2000), melaporkan ada sekitar 124 jenis tanaman inang dari R.
solanacearum adalah tanaman-tanaman yang berkhasiat obat. Beberapa jenis
diantaranya merupakan komoditas penting yang banyak digunakan dalam industri
obat tradisional dan fitofarmaka di Indonesia, seperti bangle (Zingiber
cassumunar) dan temumangga (Curcuma mangga) (Supriadi 1987), jahe (Z.
officinale (Supriadi 1994), pisang (Supriadi 1999), cengkeh (Hartati et al. 1994),
kencur (Kaempferia galanga) (Adhi et al. 1998a), garut (Marantha arundinaceae)
(Adhi et al. 1998b), dan kunyit (C. domestica) (Rahayuningsih et al. 2001).

7
Hayward (1991), Denny dan Hayward (2001) menyebutkan bahwa R.
solanacearum bersifat gram negatif, berbentuk batang dengan ukuran 0,5–0,7 x
1,5–2,5 µm, oksidase dan katalase positif, mengakumulasi poly-ß-hydroxibutirat
sebagai sumber karbon, dan dapat mereduksi nitrat.
Gejala penyakit layu bakteri jahe
tanaman menjadi layu dan mati.

yang paling mudah dilihat adalah

Sebelum itu dapat diamati beberapa gejala

seperti daun menguning, pada pangkal batang dekat dengan rimpang ditemukan
bercak-bercak memar. Batang mudah dilepas dari rimpangnya dan kalau dicium
berbau busuk. Rimpang dari tanaman yang terserang menjadi lunak dan berbau
busuk. Bila batang dipotong kemudian direndam ujungnya dalam air jernih maka
bakteri yang ada di dalam jaringan pembuluh kayu akan keluar berupa gumpalan
berwarna putih. Dalam beberapa waktu warna air berubah dari jernih menjadi
keruh (putih susu).
Gejala penyakit di lapang umumnya baru muncul setelah tanaman jahe
berumur 2-3 bulan dan perkembangan gejala berlangsung dengan cepat (2-3
minggu) setelah infeksi (Supriadi, 1994). Berdasarkan kisaran inangnya, R.
solanacearum dikelompokkan ke dalam 5 ras berdasarkan perbedaan tanaman
inang utamanya, yaitu: ras 1 dengan inang fa mili Solanaceae dan Leguminosae,
ras 2 dengan inang tanaman pisang dan Heliconia spp., ras 3 dengan inang
tanaman kentang dan tomat, ras 4 dengan inang tanaman jahe, dan ras 5 dengan
inang tanaman mulberry (Buddenhagen & Kelman 1964; He 1986).

Khusus

untuk ras 4 (jahe), juga menyerang beberapa komoditas bernilai ekonomi tinggi,
dan beberapa jenis gulma.

Misalnya, dari kelompok terung-terungan adalah

tomat, terung, cabai, dan kentang. Kelompok temu-temuan misalnya kunyit (C.
domestica), kencur (K. galanga), bangle (Z.

cassumunar), temulawak (C.

xanthorriza), temumangga (C. mangga), lempuyang wangi (Z. aromaticum).
Kelompok gulma, misalnya babadotan (Ageratum conyzoides), gelang/krokot
(Portulaca oleracea), ceplukan (Physalis angulata), pulus hayam (Acalipha alba),
gewor (Commelina nudiflora), Croton hirtus, sintrong (Erechtites valerianifolia),
nanangkaan (Euphorbia hirta), meniran (Phylanthus niruri), dan patah kemudi
(Senecio sonchifolia).

8
Penyebaran R. solanacearum terutama melalui benih, ras jahe menyebar
cukup luas, meliputi Australia, China, Thailand, Malaysia, Hawaii, dan Indonesia
akibat terbawa benih jahe yang sudah terkontaminasi patogen (Hayward 1991;
Supriadi 1999).

Penyebaran

R. solanacearum di dalam kebun umumnya

berlangsung melalui eksudat akar yang keluar dari tanaman sakit, kemudian
menginfeksi akar-akar tanaman sehat disekitarnya (Supriadi et al. 2000). Pegg
dan Moffett (1971), menyimpulkan bahwa R. solanacearum strain jahe dapat
bertahan hampir 2 tahun di dalam lahan bekas pertanaman jahe di Queensland,
Australia.

Strategi Pengendalian Penyakit Layu bakteri
Berbagai

cara

pengendalian

telah

diupayakan

untuk

menekan

perkembangan penyakit layu bakteri R. solanacearum dengan keberhasilan yang
masih terbatas. Penyakit layu bakteri adalah masalah utama dan menjadi salah
satu kendala dalam produksi jahe dan tanaman sayuran lainnya karena sebaran
geografisnya sangat luas, banyak tanaman inangnya, mampu bertahan lama di
dalam tanah, variabilitas genetik,

epidemiologi dan cara penularan yang

kompleks.
Strategi pengendalian layu bakteri yang umum dilakukan adalah : pemilihan
rimpang sehat dari daerah bebas penyakit; penentuan lahan yang sebelumnya
tidak memiliki riwayat layu bakteri, perlakuan rimpang dengan aplikasi panas atau
bahan kimia; sanitasi yang ketat di lapangan, termasuk pembatasan gerakan
pekerja pertanian dan air irigasi di lapangan; teknik budidaya dan pengolahan
tanah minimum; rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang seperti padi dan
jagung; perlakuan tanah, termasuk agen pengendalian biologis, pengendalian
hama serangga dan nematoda di lapangan (Kumar dan Hayward 2005).
Strategi pengendalian yang dapat diterapkan pada tanaman obat, seperti
jahe adalah pencegahan masuknya patogen pada lahan yang masih sehat. Strategi
ini tergantung pada ketersediaan benih sehat dan informasi sejarah penggunaan
lahan. Pertanaman yang akan dijadikan sebagai sumber benih harus memenuhi
kriteria tidak ada serangan layu bakteri selama 9 bulan tanaman berada di

9
lapangan, untuk itu perlu dilakukan monitoring secara periodik, minimal 2 kali
(Supriadi et al. 2000).
Menurut French (1994) dalam Supriadi (2000), pengendalian penyakit
layu bakteri bisa dengan pendekatan ras patogen. Faktor yang harus diperhatikan
untuk mengembangkan strategi pengendalian penyakit layu bakteri yang
disebabkan oleh R. solanacearum ras 1 dan ras 3, diantaranya adalah lahan bebas
penyakit, pengendalian nematoda, bibit sehat, tanaman tahan, perlakuan tanah
dengan pemanasan maupun “soil amendments”, rotasi, tumpang sari, dan
pembuangan gulma di kebun.
Strategi untuk menghadapi R. solanacearum pada tanaman obat dapat
mengikuti pola pendekatan ras 1. Pemilihan lokasi merupakan salah satu faktor
yang kontribusinya paling penting dalam keberhasilan pengendalian penyakit layu
bakteri pada jahe. Tanah yang tidak memiliki riwayat penyakit layu bakteri akan
menghasilkan tanaman jahe yang sehat jika rimpang yang ditanam bebas dari
patogen. Lahan sawah berpeluang sebagai lahan bebas penyakit, karena tanah
sawah terus menerus dalam keadaan tergenang megakibatkan anaerob R.
solanacearum tidak akan bertahan hidup lama (Supriadi 2000). Tindakan
pencegahan patogen lebih luas di lapang dapat dilakukan dengan mengeradikasi
tanaman sakit apabila sebaran patogen masih berada pada areal terbatas. Kunci
keberhasilan tidak merebaknya R. solanacearum pada tanaman jahe di Australia
karena dilakukannya tindakan eradikasi dan karantina yang ketat pada tahun
1960an sehingga sampai saat ini Australia bebas dari R. solanacearum ras 4 jahe
(Hayward 1991).
Bibit jahe tahan nematoda merupakan faktor penting dalam pengendalian
layu bakteri setelah lahan bebas penyakit.

Nematoda berperan utama dalam

membuat luka pada sistem perakaran tanaman sehingga mempermudah R.
solanacearum masuk/menginfeksi tanaman (Mustika 1996). Menanam varietas
tahan adalah cara yang paling efisien, mudah, dan praktis, tetapi tidak mudah
untuk mendapatkannya.

Supriadi et al. (1997) menyatakan, melalui skrining

ketahanan belum mendapatkan varietas/nomor-nomor jahe yang tahan terhadap R.
solanacearum di rumah kaca. Belum adanya varietas yang tahan karena sempitnya
ragam genetik tanaman akibat dikembangkan secara vegetatif. Untuk itu, peluang

10
mendapatkan varietas jahe tahan dilakukan melalui pemuliaan inkonvensional
seperti somaklonal dan fusi protoplas, sebagaimana dilakukan oleh Ibrahim
(2009), yang telah mendapatkan somaklonal jahe yang mengindikasikan
ketahanan terhadap toksin yang dihasilkan oleh R. solanacearum.
Keberhasilan agen pengendali hayati yang mampu untuk bersaing dengan
mikroba lain di dalam mikroflora tanah, dengan menghasilkan antibiotik atau
menginduksi tanaman inang

dalam meningkatkan pertahanan tanaman untuk

menghambat pertumbuhan R. solanacearum sudah banyak dilaporkan.

Bakteri

antagonis strain avirulen R. solanacearum efektif dalam mengendalikan layu pada
kacang tanah. Bakteri endofit strain liar 358 adalah agen pengendali layu bakteri
yang potensial (Frey et al. 1993).

Induksi Ketahanan Tanaman

Tanaman mempertahankan diri terhadap infeksi patogen dalam bentuk
struktur anatomis dan sistem fisiologis yang diaktifkan oleh suatu sinyal (induksi
ketahanan).

Pertahanan dalam bentuk sistem fisiologis ini bersifat laten dan

hanya terjadi apabila ada penginduksi yang tepat (Van Loon 1997), seperti infeksi
patogen non kompatibel atau terserapnya senyawa bioaktif (Sequeira et al. 1977,
Dixon & Lamb 1990).
Induksi ketahanan tanaman merupakan aktivitas pertahanan tanaman untuk
melindungi diri dari patogen atau hama

melalui pengaktifan mekanisme

ketahanan tanaman (Ouchi 1983). Mekanisme pertahanan tanaman terjadi akibat
perlakuan agens penginduksi ketahanan dan infeksi challenge.

Agens

penginduksi akan diterima dan dikenali oleh reseptor tanaman yang berada diluar
dan/atau pada membran sel. Agens penginduksi ketahanan bisa berperan sebagai
sinyal itu sendiri atau hanya memicu sintesis sinyal tertentu yang ditransduksikan
ke bagian tanaman lain. Sinyal tersebut diproduksi di satu bagian tanaman dan
berperan di bagian lain. Transduksi sinyal dapat ditransfer secara intraseluler dan
interseluler sehingga menyebabkan perlindungan sistemik. Beberapa sinyal yang
terlibat dalam induksi ketahanan adalah asam salisilat (SA), asam jasmonat,
sistemin, 2,6 dichloro-isonicotinic (Steiner & Schönbeck 1995).

11
Pengaktifan reaksi ketahanan ditandai dengan adanya perubahan aktivitas
gen tanaman yang diindikasikan oleh suatu metilasi DNA genom setelah aplikasi
agens penginduksi tertentu.

Dalam ketahanan terinduksi terjadi peningkatan

aktivitas enzim dalam lintasan produksi metabolit tertentu dan peningkatan jumlah
produksi gen primer seperti kitinase, β-1,3-glukanase, peroksidase, pathogenesis
related (PR) protein. Sintesis protein-protein ini tampaknya diregulasi pada level
mRNA (Park & Kloepper 2000).
Hoffland et al. 1996, mengemukakan bahwa induksi ketahanan oleh
bakteri non-patogenik umumnya tidak menimbulkan dampak bunuh diri
(hypersensitivity/ programmed cell death).

Dampak fenotipik yang teramati

berupa induksi ketahanan secara sistemik (induced systemic resistance atau ISR).
ISR ditujukan pada penekanan perkembangan penyakit tanpa adanya hubungan
langsung antara bakteri penginduksi dengan patogen pada tempat infeksi.
Menurut Sticher et al. (1997), beberapa hal yang membedakan antara mekanisme
ISR dengan antagonisme, antara lain : tidak ada pengaruh toksik dari stimulan
terhadap patogen, sifat induksi ketahanan menurun bila inhibitor (aktinomisin D)
diaplikasikan, dan tidak ada korelasi dengan produksi metabolit toksik dari
stimulan.
Mulya et al. (1996) melaporkan adanya

kelompok bakteri yang

mempunyai habitat pada risosfer tanaman atau disebut dengan risobakteri yang
dapat mengkolonisasi jaringan dan menginduksi ketahanan tanaman.

Bakteri

Pseudomonas fluorescens PfG32R dapat hidup dalam jaringan daun tembakau
dan menginduksi aktivitas enzim fenilalanin amoniliase. Kemampuan hidup dan
menginduksi ensim tersebut diduga ada kaitannya dengan keberadaan gen yang
memiliki homology dengan gen asal patogen yang mengkode hipersensitivitas dan
patogenesitas, yaitu gen hrp.

Risobakteri diaplikasikan melalui pencampuran

dengan tanah steril, perendaman akar bibit tanaman atau pelapisan biji (Kloeper
1996).
Faktor-faktor yang menentukan induksi ketahanan oleh risobakteri
meliputi produksi asam salisilat, siderofor, dan lipopolisakarida (LPS).

Pada

risosfer tanaman tembakau atau kacang buncis dimana ketersediaan ion besi
cukup terbatas, P. aureoginosa 7NSK2 memproduksi pyoverdin, pyochelin dan

12
asam salisilat.

Asam salisilat tersebut menjadi faktor penentu dalam induksi

ketahanan tanaman tembakau terhadap tobacco mosaik virus (TMV) atau
ketahanan kacang buncis terhadap Botrytis cinerea (Sticher et al. 1997).

Bakteri Endofit

Keberadaan mikroorganisme non-patogenik dalam jaringan tanaman tanpa
menimbulkan gejala penyakit telah lama diketahui (Trevet dan Hollis 1948).
Mikroorganisme tersebut dikenal sebagai endophytic microorganisms, termasuk
bakteri endofit. Pada tanaman hortikultura musiman populasi bakteri endofit
dalam jaringan tanaman dapat mencapai 107 cfu per gram tanaman, sedangkan
pada tanaman tahunan seperti pinus berkisar antara 105 cfu per gram tanaman.
Berbagai spesies bakteri endofit terisolasi dari berbagai jenis tanaman dan
dapat menginduksi ketahanan tanaman. Kemampuan bakteri untuk hidup dalam
jaringan tanaman, sifat antagonisme terhadap patogen dan kemampuan
menginduksi ketahanan merupakan sifat menonjol dari bakteri endofit (Nejad dan
Johnson 2000).

Keberadaan bakteri langsung dalam jaringan tanaman

mengurangi cekaman lingkungan yang sering mempengaruhi efektifitas
pengendalian. Strain bakteri tertentu selain menginduksi ketahanan juga dapat
memperbaiki

pertumbuhan

tanaman,

meningkatkan

ketahanan

terhadap

kekeringan dan mencegah infeksi nematoda (Chanway 1998).
Bakteri endofit umumnya mengkolonisasi bagian interselluler dari
jaringan tanaman dan hanya sedikit laporan mengenai kolonisasi bakteri endofit
pada daerah intra seluler.

Disamping itu bakteri endofit juga dapat

mengkolonisasi sistem pembuluh dan dapat ditranslokasikan secara sistemik ke
seluruh bagian tanaman (Hallmann et al. 1997).
Mekanisme bakteri endofit dalam menginduksi ketahanan tanaman yang
telah dilaporkan adalah menstimulasi akumulasi senyawa antimikrobia yang
merupakan suatu substansi dengan berat molekul rendah seperti fitoaleksin dan
senyawa fenol, pembentukan pathogegenesis-related protein (protein-PR), dan
pembentukan barier sel tanaman baik barier fisik maupun kimiawi dengan
pembentukan biopolymer protektif seperti lignin, kallose, dan glycoprotein yang

13
kaya akan hidroxiproline sehingga patogen tidak dapat menyebar ke dalam
jaringan tanaman.
Beberapa spesies bakteri endofit yang telah dilaporkan diantaranya adalah
Bacillus subtilis, Pseudomonas, Clavibacter, Micrococus yang diisolasi dari
tanaman jagung efektif terhadap Fusarium moniliforme; Pseudomonas sp, P.
fluorescens dari tanaman tomat efektif terhadap R. solanacearum (Bacon 1998,
Trevet dan Hollis 1948). Lebih lanjut dikemukakan oleh Hartman et al. (1992)
bahwa Pseudomonas fluorescens dan P. gladiol dapat menekan pertumbuhan
Ralstonia solanacearum sebesar 60-90 % pada tanaman tomat.

14

15

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Hama dan Penyakit
dan rumah kaca Balai penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO),
Bogor; pada bulan Oktober 2008 – Januari 2010.

Kelimpahan bakteri endofit

Eksplorasi bakteri endofit dilakukan di daerah sentra produksi tanaman
obat. Beberapa contoh tanaman obat (jahe, kencur, kunyit) yang tidak
menunjukkan gejala penyakit (tanaman sehat). Bagian tanaman yang diambil
adalah rimpang, akar atau batang.

Selanjutnya contoh tanaman diisolasi di

laboratorium bakteri BALITTRO.
Isolasi bakteri endofit dilakukan dengan cara mensterlisasi permukaan
akar/batang menggunakan larutan NaOCL 10 dan air steril. Air cucian yang
terakhir ditumbuhkan pada media 1/10 Tryptic Soy Agar (TSA), kemudian
diinkubasikan pada suhu 37oC. Bila pada medium tidak ada mikroorganisme
yang tumbuh menandakan sterilisasi permukaan sudah berhasil. Contoh tanaman
yang telah disterilisasi permukaannya digerus dengan mortar steril sampai halus
dan diencerkan dengan air steril. 0,1 ml suspensi ekstrak tanaman ditumbuhkan
pada medium 1/10 TSA dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam.
Setelah 48 jam koloni bakteri yang tumbuh dimurnikan dan diperbanyak pada
medium TSA. Isolat bakteri endofit dikoleksi dan disimpan dalam botol berisi air
steril untuk diuji potensinya.

Isolasi bakteri patogen

Bakteri patogen diisolasi dari tanaman jahe terinfeksi bakteri R.
solanacearum di lapang. Contoh tanaman dicuci dengan air mengalir sampai
bersih kemudian permukaannya disterilisasi dengan alkohol 70 %. Selanjutnya

16
dimasukkan kedalam tabung reaksi berisi air steril. Setelah 5 menit, suspensi
bakteri yang terbentuk digoreskan pada medium selektif Tryphenyl Tetrazolium
Chloride (TTZA) dengan menggunakan jarum ose. Selanjutnya diinkubasikan
pada suhu 37oC selama 48 jam. Koloni bakteri virulen yang tumbuh dimurnikan
dan diperbanyak pada medium Sucrose Peptone Agar (SPA). Isolat bakteri
murni disimpan dalam botol berisi air steril dan siap untuk digunakan.

Seleksi sifat antibiosis secara in vitro

Isolat bakteri endofit yang diperoleh dari hasil isolasi diseleksi untuk
mendapatkan isolat potensial. Isolat diseleksi berdasarkan kemampuannya
memproduksi bakteriosin. Isolat ditumbuhkan pada medium SPA dalam cawan
petri dengan metode titik dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam.
Setelah biakan tumbuh dimatikan dengan uap chloroform selama 30 menit
kemudian dituangi dengan suspensi R. solanacearum dengan kerapatan populasi
108 cfu/ml (OD600 = 0,1) dan diinkubasikan lagi selama 24 jam. Pengamatan
dilakukan terhadap zona bening (hambatan) yang terbentuk disekitar koloni
bakteri endofit dan diukur diameternya. Diamater zona hambatan dikelompokkan
menjadi tiga kategori, yaitu lemah (< 8mm), sedang (8 - 16 mm), dan kuat (> 16
mm).
Isolat bakteri endofit yang mampu memproduksi bakteriosin atau bersifat
antibiosis dikoleksi untuk diuji potensinya dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman pada benih dan tanaman mentimun di rumah kaca.

Uji potensi dalam memacu pertumbuhan tanaman
Biakan bakteri endofit berumur 48 jam disuspensikan dengan akuades
steril hingga diperoleh kerapatan 108 cfu/ml. Benih mentimun yang telah
disterilkan permukaanya dengan larutan natrium hipoklorit 1 % kemudian dibilas
dengan akuades selanjutnya ditumbuhkan dalam nampan perkecambahan yang
berisi campuran, pasir, dan pupuk kandang steril dengan perbandingan 2 : 1 : 1
didalam rumah kaca pada suhu kamar. Masing-masing suspensi bakteri endofit
diteteskan sebanyak 1 ml pada benih mentimun, sedangkan untuk kontrol

17
diteteskan akuades steril dengan volume yang sama. Perlakuan diulang sebanyak
10 kali. Pengamatan dilakukan satu minggu setelah perlakuan terhadap panjang
akar dan jumlah akar serabut bibit mentimun. Peningkatan pertumbuhan tanaman
dihitung berdasarkan persentase panjang akar dan jumlah akar serabut bibit
mentimun yang diberi perlakuan bakteri endofit dibandingkan dengan kontrol.
Isolat

bakteri

endofit

antibiosis

yang

berpotensi

meningkatkan

pertumbuhan tanaman dikarakterisasi dan diidentifikasi untuk digunakan dalam
pengujian induksi ketahanan di rumah kaca.

Karakterisasi bakteri endofit

Isolat bakteri endofit bersifat antibiosis yang berpotensi meningkatkan
pertumbuhan tanaman dikarakterisasi berdasarkan sifat morfologi koloni dan
fisiologinya sebagaimana diuraikan dalam Supriadi (1994), Kerr (1980) dan
Schaad et al. (2001). Beberapa tahapan yang dilakukan, antara lain :

Karakter koloni.
Bakteri endofit ditumbuhkan pada medium SPA dan King’s B Agar
(KBA) dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Karakter koloni bakteri
yang tumbuh diamati. Menurut Kerr (1980), pembentukan pigmen fluorescens
ditandai oleh adanya warna kuning kehijauan yang berpendar di bawah cahaya
ultra violet).

Reaksi Gram.
Pada permukaan kaca objek diletakkan 1-2 tetes KOH 3%. Koloni bakteri
dicampur dengan KOH menggunakan jarum ose selama 10 detik. Koloni yang
membentuk lendir dan bila ditarik seperti benang menandakan bereaksi positif
atau termasuk gram negatif, sebaliknya bila tidak berlendir bereaksi negatif atau
gram positif (Schaad et al. 2001).

18

Reaksi oksidatif/fermentatif.
Isolat bakteri ditusukkan ke dalam dua tabung reaksi yang berisi medium
oksidatif-fermentatif, satu tabung ditutup dengan parafin cair steril dan satu lagi
dibiarkan terbuka kemudian diinkubasikan selama 7 hari. Medium yang berwarna
kuning pada tabung terbuka dan tertutup menandakan reaksi fermentatif,
sedangkan reaksi oksidatif ditandai terbentuknya warna kuning pada medium
hanya pada tabung yang terbuka (Kerr, 1980).

Hidrolisis arginin.
Isolat bakteri ditusukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi medium
arginin dan diinkubasikan selama 7 hari. Terjadinya hidrolisis arginin ditandai
dengan perubahan warna merah pada media (Kerr, 1980).

Reaksi hipersensitif.
Isolat bakteri ditumbuhkan pada medium TSA dan diinkubasikan pada
suhu 37oC selama 48 jam, selanjutnya disuspensikan dalam air steril hingga
diperoleh kerapatan populasi 108 (OD600 = 0,1). Suspensi bakteri diinjeksikan
pada tulang sekunder daun tembakau. Isolat yang bersifat patogen terlihat dari
gejala putih transparan, kematian jaringan daun (collapse) dalam waktu 24 – 48
jam setelah injeksi (Lelliot dan Stead, 1987).

Uji potensi di rumah kaca

Efektifitas isolat bakteri endofit yang bersifat antibiosis kuat dan
berpotensi meningkatkan pertumbuhan tanaman diuji di rumah kaca. Bibit jahe
yang digunakan adalah jahe putih besar. Aplikasi bakteri endofit dengan cara
penyiraman 50 ml suspensi bakteri endofit 108 cfu/ml kedalam polibag yang telah
ditanami bibit jahe umur 2 bulan, sebagai kontrol dilakukan penyiraman dengan
menggunakan air steril. Satu minggu setelah aplikasi bakteri endofit tanaman

19
diinokulasi R. solanacearum isolat T-954 dengan cara menyiramkan 25 ml
ml/tanaman inokulum dengan kerapatan populasi 108 cfu/ml (OD600 = 0,1).
Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)
dengan jumlah perlakuan tiga isolat bakteri endofit yang paling berpotensi dari uji
in-vitro diulang tiga kali. Masing-masing unit perlakuan terdiri dari 10 bibit.

Peubah yang diamati

Kejadian penyakit
Kejadian penyakit dihitung dengan menggunakan rumus :
P = a / b x 100 %
Keterangan :

P = Kejadian penyakit layu
a = Jumlah tanaman yang menunjukan gejala layu
b = Jumlah tanaman yang diamati

Keparahan penyakit
Indeks penyakit dihitung menggunakan rumus seperti digunakan oleh
Winstead dan Kelman (1954), Arwiyanto et al. (1994) yang dimodifikasi.
Keparahan penyakit dihitung berdasarkan skala :

0 = tidak ada gejala daun menguning
1 = 10 % daun menguning
2 = 20 – 50 % daun menguning
3 = semua daun menguning kecuali daun pucuk
4 = semua daun menguning
5 = tanaman mati.

20
Rumus keparahan penyakit (KP) adalah :

(n1 x 1) + (n2 x 2) + (n3 x 3) + n4 x 4) + (n5 x 5)
KP

=

x 100 %
Nx5

n1 …5

= jumlah tanaman dengan skala penyakit tertentu

0, 1, …, 5 = skala penyakit
N

= Jumlah tanaman pada tiap perlakuan

Penekanan penyakit
Indeks penekanan penyakit dihitung dengan rumus :

DIc – DIb
Indeks penekanan penyakit =

x 100 %
DIc

DIc = Indeks penyakit pada kontrol
DIb = indeks penyakit pada perlakuan agens biokontrol

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara statistika dengan dengan menggunakan
Anova dan dilanjutkan dengan uji Tukey Test pada taraf 5 %.

21
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelimpahan bakteri endofit
Hasil eksplorasi dan isolasi bakteri endofit dari akar, rimpang, dan batang
tanaman jahe, kencur, tomat, dan jagung disajikan pada Tabel 1. Bakteri endofit
yang diperoleh sebanyak 222 isolat, paling banyak diperoleh pada bagian akar
dibandingkan pada bagian batang tanaman. Banyaknya isolat bakteri endofit
yang diperoleh menunjukkan bahwa keberadaan bakteri endofit di alam
berlimpah.

Tabel 1 Jumlah isolat bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman jahe, kencur,
tomat, dan jagung
Tanaman
Asal
Bagian
Isolat
Akar

Rimpang/
batang



(%)

Jahe

Sukabumi

13

32

45

20,27

Kencur

Bogor

21

12

33

14,86

Tomat

Lembang

36

24

60

27,03

Jagung

Bogor

45

39

84

37,84

222

100

Jumlah

Data Tabel 1 menunjukkan bahwa bakteri endofit bisa ditemukan di dalam
jaringan tanaman pada bagian akar, batang, maupun rimpang temu-temuan seperti
kencur dan jahe. Sebagaimana dikemukakan oleh Adams dan Kloepper (1996),
bahwa bakteri endofit dapat berasal dari biji dan bahan vegetatif tanaman.
Selanjutnya Zinniel et al. (2002), mengemukakan bakteri endofitik dapat diisolasi
dari bagian akar, batang, bunga, dan kotiledon. Bakteri dapat masuk melalui
proses perkecambahan biji, akar-akar sekunder stomata, atau melalui kerusakan
yang terjadi pada daun. Di dalam tanaman, bakteri endofitik dapat terlokalisir
pada bagian dimana bakteri tersebut mulai masuk atau menyebar ke bagian
tanaman lainnya. Di dalam jaringan tanaman bakteri berada di dalam sel, diruang
antar sel, atau dalam jaringan pembuluh.

22
Hasil isolasi bakteri endofit diperoleh jumlah isolat yang bervariasi,
dengan urutan pertama diperoleh dari tanaman jagung (37,84 %), diikuti tanaman
tomat (27,03 %), tanaman jahe (20,27 %), dan terendah dari tanaman kencur
(14,86 %), dengan peluang diperoleh bakteri endofit paling banyak pada bagian
akar. Liang et al. (2003), melakukan pengamatan terhadap kolonisasi bakteri
endofit tomat 01-144 pada akar dan batang tanaman tomat. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa bakteri endofit lebih kuat mengkolonisasi akar dibandingkan
batang dan fluktuasi populasi pada bagian akar juga le