Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani

PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP STRATIFIKASI
SOSIAL RUMAHTANGGA PETANI

SALIS RIZKA AGUNG PUTRI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penguasaan
Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014
Salis Rizka Agung Putri
NIM I34100051

ABSTRAK
SALIS RIZKA AGUNG PUTRI. Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap
Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani. Di bawah bimbingan HERU
PURWANDARI.
Penguasaan lahan merupakan salah satu istilah dalam struktur agraria yang
menunjuk pada penguasaan efektif. Bagi masyarakat pedesaan yang mayoritas
bekerja di bidang pertanian, tanah menjadi suatu hal yang dihargai. Hal ini
memungkinkan terjadinya pelapisan masyarakat berdasarkan penguasaan lahan.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pengaruh faktor internal dan faktor
eksternal terhadap penguasaan lahan Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo,
mendeskripsikan bentuk dan indikator stratifikasi sosial Dusun Margajaya dan
Dusun Karanglo, serta menganalisis pengaruh penguasaan lahan terhadap
stratifikasi sosial Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo. Penelitian ini
dilaksanakan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara
menggunakan metode kuantitatif didukung data kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor internal tidak berpengaruh terhadap penguasaan lahan

di kedua dusun. Kedua dusun memiliki tiga bentuk stratifikasi, yaitu miskin,
menengah, kaya, dengan indikator masing-masing. Penguasaan lahan berpengaruh
signifikan terhadap stratifikasi sosial di kedua dusun.
Kata kunci : penguasaan lahan, petani, stratifikasi sosial

ABSTRACT
SALIS RIZKA AGUNG PUTRI. The Effect of Land Tenure over Social
Stratification of Peasant Households. Under supervision of HERU
PURWANDARI.
Land tenure is one of the terms in the agrarian structure refers to the effective
tenurial. For rural people who majority work in agriculture, the land becomes a
thing that valuable. This allows the layering of society based on the rule of the
land. This study aims to describe the influence of external factors and internal
factors to the mastery of the land of the hamlet Margajaya and the hamlet of
Karanglo, describes the form and indicators of social stratification of the
Margajaya hamlet and the Karanglo hamlet, as well as analyze the effect of land
tenure to social stratification of the Margajaya hamlet and the Karanglo hamlet.
This research carried out in the Margajaya hamlet and the Karanglo hamlet,
Tonggara village uses the quantitative method supported a qualitative data. The
results showed that internal factors do not affect the land tenure in both hamlets.

Both the village has three forms of stratification, i.e. poor, medium, rich, with an
each indicators. Land tenure impact significantly to social stratification in both
hamlets.
Key words : land tenure, peasant, social stratification

PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP STRATIFIKASI
SOSIAL RUMAHTANGGA PETANI

SALIS RIZKA AGUNG PUTRI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014


Judul Skripsi : Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial
Rumahtangga Petani
Nama
: Salis Rizka Agung Putri
NIM
: I34100051

Disetujui Oleh

Heru Purwandari, S.P, M.Si
Pembimbing

Diketahui Oleh

Dr Ir Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan karuniaNya, sehingga skripsi yang berjudul “ Pengaruh Penguasaan
Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani “ dapat diselesaikan
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
rasa terima kasih kepada:
1. Ayah Agus Nursidik dan Ibu Tukul Sulami yang selalu memberikan
dukungan baik materi, waktu maupun tenaga.
2. Heru Purwandari, S.P, M.Si, dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
mencurahkan waktu dan sabar untuk membimbing dan memberikan masukan
yang sangat berarti selama penulisan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA, selaku dosen penguji utama dan Ir.
Fredian Tony, MS, selaku dosen penguji anggota.
4. Ir. Hadiyanto, M.Si, selaku dosen penguji petik dan dosen pembimbing
akademik yang telah membimbing serta memberi masukan dalam hal
akademik.
5. Mba Dhiny, Mba Maria, dan Mba Nisa selaku pegawai sekretariat SKPM
yang selalu membantu perihal administrasi.

6. Kepala Desa Tonggara beserta jajarannya yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melakukan penelitian.
7. Keluarga Bapak Sakhroni, Bapak Noto dan warga Desa Tonggara khususnya
Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo atas kerjasamanya selama penelitian.
8. Keluarga Bapak Handadi Khaerudin yang selalu memberikan dukungan dan
bantuan.
9. Teman-teman seperjuangan, Saefihim, Sari Lestari, Tuti Artianingsih, Anggi
Pratama, Dwi Izmi, Gebyar, Fadhianisa, Yudhistira, Putri Nurgandini,
Sakinah, Diwyacitra, Farhatul, Anjas yang selalu saling menyemangati dan
membantu.
10. Teman-teman seperjuangan SKPM 47 yang tidak bisa disebutkan satu
persatu, atas semangat dan kebersamaan selama ini.
11. Teman-teman, Fitri Herdiyanti, Dewi Valentina, Vinsensia, Wulan, Ayu
Kartika, Anggriani Okta, Rifa Annisa, atas dukungan dan kebersamaannya.
12. Dan semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga
terselesaikannya skripsi ini
Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan pembaca dalam memahami lebih jauh tentang pengaruh penguasaan
lahan terhadap stratifikasi rumahtangga petani.


Bogor, Juni 2014

Salis Rizka Agung Putri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN
Lokasi dan Waktu Penelitian

Metode Penelitian
Teknik Penentuan Responden
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Fisik
Kondisi Sosial
Dusun Margajaya
Dusun Karanglo
PENGUASAAN LAHAN
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan
Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Penguasaan Lahan
Ikhtisar
PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP STRATIFIKASI
SOSIAL
Stratifikasi Sosial
Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial
Ikhtisar
PENUTUP
Simpulan

Saran
Lampiran

xi
xii
xiii
1
1
2
3
3
4
4
9
10
10
13
13
13
14

14
15
16
16
17
18
19
21
26
29
36
38
38
40
42
44
44
45
46


xi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Definisi Operasional Faktor Internal
Definisi Operasional Penguasaan Lahan
Definisi Operasional Stratifikasi Sosial
Jumlah dan Persentase Luas Lahan Milik yang Dikuasai Responden Dusun
Karanglo dan Dusun Margajaya
Jumlah dan Persentase Banyak Cara yang Digunakan Responden dalam
Menguasai Lahan di Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya
Jumlah dan Persentase Tingkat Pendapatan Rumahtangga Responden Dusun
Karanglo dan Dusun Margajaya
Jumlah dan Persentase Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Responden Dusun
Karanglo dan Dusun Margajaya
Jumlah dan Persentase Jumlah Tanggungan Keluarga Rumahtangga
Responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya
Jumlah dan Persentase Status Sosial Responden Dusun Karanglo dan Dusun
Margajaya
Jumlah dan Persentase Status Penduduk Responden Dusun Karanglo dan
Dusun Margajaya
Pengaruh Tingkat Pendapatan terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun
Karanglo
Pengaruh Tingkat Pendapatan terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun
Margajaya
Pengaruh Tingkat Pengeluaran terhadap Penguasaan Lahan Responden
Dusun Karanglo
Pengaruh Tingkat Pengeluaran terhadap Penguasaan Lahan Responden
Dusun Margajaya
Pengaruh Jumlah Tanggungan Keluarga terhadap Penguasaan Lahan
Responden Dusun Karanglo
Pengaruh Jumlah Tanggungan Keluarga terhadap Penguasaan Lahan
Responden Dusun Margajaya
Pengaruh Status Sosial terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun
Karanglo
Pengaruh Status Sosial terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun
Margajaya
Pengaruh Status Penduduk terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun
Karanglo
Pengaruh Status Penduduk terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun
Margajaya
Indikator Stratifikasi Sosial di Dusun Karanglo
Indikator Stratifikasi Sosial di Dusun Margajaya
Jumlah dan Persentase Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi
Sosial Responden Dusun Karanglo
Jumlah dan Persentase Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi
Sosial Responden Dusun Margajaya
Uji Regresi Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Dusun
Karanglo
Uji Regresi Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Dusun
Margajaya

11
11
12
19
23
26
26
27
28
28
29
30
31
31
32
33
34
34
35
36
38
39
41
41
42
42

xii

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka Pemikiran Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi
Sosial Rumahtangga Petani

10

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Kerangka Sampling Dusun Karanglo
Kerangka Sampling Dusun Margajaya
Jadwal Pelaksanaan Penelitian

46
47
48

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bagi negara agraris seperti Indonesia, pertanian merupakan komoditas
utama. Data BPS 2013 menunjukkan 39.96 juta orang Indonesia bekerja di sektor
pertanian. Hal ini tentu membuat tanah menjadi sumberdaya yang paling penting
dan tinggi nilainya. Tjondronegoro (1998), menyatakan bahwa tanah yang
menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk bercocok tanam yang
merupakan sumber kehidupan utamanya. Tanah merupakan salah satu kebutuhan
manusia yang vital, dimana keberadaannya saat ini merupakan hal yang langka
(Wiradi 2000). Pernyataan tersebut konsisten dengan pertambahan jumlah
penduduk yang terus meningkat sedangkan ketersediaan tanah sebagai kebutuhan
hidup selalu tetap jumlahnya. Hal tersebut menjadikan tanah menjadi satu
komoditas tersendiri yang seringkali menimbulkan masalah terkait pembagian,
penyebaran dan distribusinya.
Kelembagaan tradisional merupakan aturan yang digunakan untuk
mengatasi permasalahan terkait dengan tanah, sebelum diberlakukannya UUPA
No.5 Tahun 1960. Sejak lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960,
persoalan mengenai penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia diatur dalam
UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya dengan beberapa pengecualian.
Penguasaan tanah sendiri berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur,
mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah
kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun
peraturan lainnya. Penguasaan tanah tidak hanya merujuk kepada kepemilikan
tanah, tetapi tanpa memiliki tanah tersebut seseorang juga dapat menguasai tanah
melalui hubungan sewa, gadai, sakap dan sebagainya. Melalui hubungan tersebut,
masyarakat yang memiliki penghasilan besar dapat menguasai sebidang tanah
dengan luas tertentu. Akibatnya dapat terjadi pemusatan penguasaan lahan oleh
sejumlah kecil golongan masyarakat. Selain itu, pemusatan penguasaan lahan ini
juga disebabkan oleh politik hukum yang seringkali bertentangan dengan UUPA,
sehingga UUPA tidak mampu dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai
masalah agraria dan pertanahan.
Masalah penguasaan lahan bukan saja masalah hubungan manusia dengan
lahannya, tetapi lebih menyangkut hubungan sosial politik dan ekonomi antar
manusia (Wiradi 2009). Hal tersebut menjelaskan bahwa suatu hubungan
penguasaan atas tanah melibatkan manusia dalam suatu hubungan dengan
masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian pola-pola penguasaan atas tanah akan
berubah dari waktu ke waktu. Perubahan yang terjadi pada umumnya disebabkan
oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang
berasal dari dalam individu, seperti tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran,
jumlah tanggungan keluarga, status sosial dan status penduduk. Faktor eksternal
adalah faktor yang berasal dari luar diri individu, seperti letak geografis, dan nilai
jual lahan.

2
Desa Tonggara merupakan salah satu desa yang tergolong semi urban dan
masih berbasis pertanian. Desa ini memiliki delapan dusun dengan karakteristik
yang cukup heterogen. Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo merupakan dua
dusun yang ada di Desa Tonggara dan masih berbasis pertanian. Meskipun kedua
dusun tersebut merupakan dusun yang masih berbasis pertanian namun, memiliki
karakteristik yang cukup berbeda. Mayoritas masyarakat Dusun Margajaya
bekerja di sektor pertanian dan tidak memiliki pekerjaan sampingan, sementara
masyarakat Dusun Karanglo mayoritas memiliki pekerjaan sampingan meskipun
mereka sudah bekerja di sektor pertanian.
Penguasaan lahan merupakan faktor penting bagi masyarakat Dusun
Margajaya dan Karanglo yang kehidupannya masih tergantung pada sektor
pertanian. Penguasaan lahan juga penting dalam penentuan berbagai kebutuhan
lain dalam masyarakat karena lahan memiliki nilai jual. Berdasarkan hal tersebut,
lahan tidak hanya sebagai aset produktif, tetapi juga sebagai komoditas yang dapat
diperjualbelikan.
Menurut Soekanto (1982) selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu hal
yang dihargai, maka akan menumbuhkan sistem lapisan masyarakat. Bagi
pedesaan yang memiliki karakteristik sebagai daerah pertanian dan mayoritas
masyarakatnya bekerja di bidang pertanian seperti Dusun Margajaya dan Dusun
Karanglo, lahan menjadi suatu hal yang penting dan berharga. Hal ini akan
memungkinkan terjadinya pelapisan masyarakat berdasarkan penguasaan lahan.
Akan tetapi, pada masyarakat yang tinggal di daerah dengan karakteristik sebagai
daerah pertanian dengan mayoritas masyarakatnya justru bekerja di luar sektor
pertanian, mungkin lahan bukan lagi menjadi penentu dalam pelapisan
masyarakat. Kondisi semacam pemaparan di atas bukanlah jaminan untuk seluruh
daerah di Indonesia yang memiliki karakteristik serupa, namun pada dasarnya
sesuatu yang dihargai selalu berubah-ubah sesuai perkembangan zaman dan
teknologi. Hal tersebut menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran stratifikasi yang
ada di masyarakat berbeda-beda. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti lebih
lanjut bagaimana pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial
suatu masyarakat.

Rumusan Masalah

Tanah merupakan sumberdaya terpenting bagi masyarakat pedesaan yang
mayoritas masyarakatnya bekerja di bidang pertanian. Tanah bukan saja menjadi
sumber mata pencaharian, tetapi juga menjadi sumber dari segala aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat. Hal ini menjadikan tanah sebagai komoditas yang
memiliki nilai tinggi dibandingkan dengan benda lainnya. Bersumber dari nilai
tanah yang tinggi itu timbul berbagai hak dan kewajiban serta hal-hal yang sangat
kompleks, misalnya dalam penguasaan tanah. Penguasaan tanah sendiri menunjuk
pada penguasaan tanah secara efektif. Seseorang bisa saja menguasai sebidang
tanah tanpa harus memiliki tanah tersebut, dengan cara menyewa atau melakukan
sistem bagi hasil atau cara lain seperti gadai. Tanah tidak begitu saja dapat
dikuasai oleh seseorang. Mengingat masalah tanah tidak hanya hubungan manusia

3

dengan tanah itu sendiri, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia, sehingga
untuk dapat menguasai tanah dipengaruhi oleh faktor baik yang berasal dari dalam
orang itu sendiri maupun dari luar orang tersebut. Oleh karena itu, perlu untuk
diteliti bagaimana pengaruh faktor internal dan eksternal terhadaap
penguasaan lahan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo?
Setiap masyarakat senantiasa memiliki penghargaan terhadap hal-hal
tertentu. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu tersebut, akan
menimbulkan lapisan masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan Jawa yang masih
kental dengan pertanian, tanah memiliki nilai yang sangat tinggi. Tingginya nilai
tanah ini dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk menentukan lapisan
masyarakat. Akan tetapi, pada zaman sekarang dengan kesempatan bekerja di luar
pertanian terbuka lebar, mungkin saja tanah bukan lagi menjadi ukuran penentu
lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran pelapisan masyarakat
bukan hanya tanah saja, sehingga bentuk-bentuk lapisan masyarakat pun berbedabeda. Oleh karena itu, perlu untuk diteliti bagaimana bentuk dan indikator
stratifikasi sosial yang terjadi di Dusun Margajaya dan Dusun karanglo?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap penguasaan
lahan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo
2. Mendeskripsikan bentuk dan indikator stratifikasi sosial di Dusun Margajaya
dan Dusun Karanglo
3. Menganalisis pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial
masyarakat Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih lanjut
mengenai pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi yang ada di masyarakat
Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara. Melalui penelitian ini,
terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada beberapa pihak,
yaitu:
1. Bagi akademisi, diharapkan tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan
penelitian-penelitian terkait stratifikasi di pedesaan berdasarkan penguasaan
lahan.
2. Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa
kritik dan saran kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar lebih teliti
dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan penguasaan lahan.

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Penguasaan Lahan
Konsep Penguasaan Lahan
Pada masa pra-kolonial, pola pembagian wilayah yang menonjol di
Indonesia berupa pembagian tanah menjadi beragam penguasaan atau
pengawasan, yang diberikan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau
pihak yang berwenang di istana. Menurut Wiradi (2009), pada masa itu konsep
kepemilikan atau penguasaan tanah berdasarkan konsep Barat (“property“,
Eigendom) belum dikenal oleh golongan masyarakat manapun, bahkan bagi
penguasa. Penguasa dapat mempertahankan dan secara teoritis juga mempunyai
hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil buminya sesuai
hukum adat dengan kekuasaan dan pengaruh dari para pejabat.
Menurut Harsono (2008) dalam hukum tanah dikenal adanya penguasaan
tanah secara yuridis. Penguasaan tanah secara yuridis adalah penguasaan yang
dilandasi oleh hak yang dilindungi secara hukum dan umumnya memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai tanah tersebut secara fisik.
Tidak semua penguasaan secara yuridis memberikan hak kepada pemilik tanah
untuk menguasai tanahnya secara fisik. Fakta yang terjadi di lapang, penguasaan
tanah dapat dilakukan oleh pihak lain, meskipun secara yuridis pemilik lahan
diberi kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik. Misalnya, apabila tanah
yang dikuasai disewakan kepada pihak lain, maka tanah tersebut dikuasai secara
fisik oleh pihak lain dengan hak sewa meskipun secara yuridis, tanah tersebut
dikuasai oleh pemilik tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak
memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik,
misalnya saja kreditor atau bank sebagai pemegang hak jaminan atas tanah
mempunyai hak penguasaan secara yuridis atas tanah yang telah dijadikan
jaminan oleh pemiliknya. Akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap pada
pemegang hak atas tanah.
Menurut pengertian struktur agraria, perlu dibedakan antara istilah
pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Istilah “pemilikan” dapat
diaartikan sebagai penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” dapat
diartikan sebagai penguasaan efektif. Arti dari penguasaan efektif sendiri adalah
seseorang tidak harus memiliki lahan untuk menguasai lahan, tetapi lahan dapat
dikuasai dengan cara lain seperti sewa, sakap atau bagi hasil, gadai, dan lain-lain.
Contoh lebih jelas untuk penguasaan misalnya, jika sebidang tanah disewakan
kepada orang lain maka orang yang menyewa tanah tersebut yang dikatakan
secara efektif menguasai. Contoh lain, jika seseorang menggarap tanah miliknya
sendiri seluas dua hektar, kemudian orang tersebut juga menggarap tanah seluas
tiga hektar yang disewa dari orang lain, maka orang tersebut dapat dikatakan
menguasai tanah seluas lima hektar. Kata “pengusahaan” sendiri dapat diartikan

5

sebagai cara yang digunakan dalam mengolah sebidang tanah agar diusahakan
secara produktif (Wiradi 2009).
Wiradi (2009) seperti yang dikutip oleh Supriyati et al. (2008) dalam
penelitiannya, mendefinisikan penguasaan lahan merupakan tatanan dan prosedur
yang mengatur hak dan kewajiban dari individu atau kelompok dalam penggunaan
dan pengawasan atas tanah. Undang-Undang Pokok Agraria (UU No.5 tahun
1960), mengakui ada beberapa hak atas tanah. Hak atas tanah tersebut adalah hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka
hutan, hak memungut hasil hutan, serta hak yang sifatnya sementara seperti hak
usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Beberapa bentuk
penguasaan tanah tradisional diubah status hukumnya setelah diundangkannya
UUPA. Berbeda dengan teori, dalam praktek di beberapa pedesaan, perlakuan
maupun istilah dalam penguasaan tanah tradisional masih banyak dipakai.
Secara garis besar, tata hubungan antara kepemilikan, penguasaan, dan
peruntukan tanah disebut struktur agraria. Dalam struktur agraria sendiri dikenal
istilah land tenure dan land tenancy. Land tenure merujuk pada status hukum dari
penguasaan tanah. Sedangkan land tenancy menyangkut tentang sistem
pembayaran diantara pihak yang memiliki urusan dengan tanah. Istilah
penguasaan tanah tidak hanya menunjuk pada tanah milik, tetapi juga tanah yang
didapat melalui cara menyewa, gadai, dan bagi hasil. Selain itu dalam hukum
tanah dikenal juga penguasaan secara yuridis dengan diberi kewenangan dan
tanpa diberi kewenangan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan
Komersialisasi yang terjadi di pedesaan Jawa pada tahun 1800 hingga 1950an menyebabkan terjadinya perubahan pemaknaan terhadap nilai uang. Perubahan
pemaknaan tersebut merupakan salah satu hal yang mendorong pada terjadinya
perubahan struktur agraria penguasaan lahan. Menurut Wiradi dan Manning
(1984) ada dua faktor penyebab perubahan struktur agraria penguasaan lahan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa desa di DAS Cimanuk,
faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria penguasaan lahan
dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
yang dimaksud adalah umur petani, lama pendidikan petani, pendapatan RTP,
akses memperoleh lahan, dan jumlah tanggungan keluarga, sedangkan faktor
eksternal yang dimaksud adalah pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah
melalui rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), intervensi swasta, faktor
ekonomi (kesejahteraan), faktor sosial budaya (warisan), faktor alam dan
kelembagaan hukum pertanian.
Berbeda dengan penelitian Wiradi dan Manning (1984), Setiawan (2006)
menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi semakin merosotnya
penguasaan lahan, yaitu faktor ekonomi, faktor alam, kebijakan pemerintah yang
tidak mengutamakan pertanian, faktor sosial ekonomi, akses petani terhadap
lahan, dan faktor jumlah tanggungan keluarga. Apabila dicermati kembali dengan
merujuk pada penelitian Wiradi dan Manning (1984), sebenarnya faktor-faktor
tersebut dapat digolongkan secara garis besar ke dalam dua faktor, yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor-faktor yang termasuk faktor eksternal
diantaranya adalah faktor ekonomi (misal: lemahnya proporsi pendapatan usaha
tani terhadap total penerimaan rumahtangga petani), faktor alam (misal: banjir,

6
kekeringan, erosi, pencemaran, iklim, cuaca, serangan hama penyakit yang
semakin intensif, luas dan bervariasi, sehingga sulit untuk diprediksi dan
dikendalikan), kebijakan pemerintah tidak mengutamakan pertanian
(kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian penguasaan sudah
banyak dibuat, namun implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh
data dan sikap proaktif yang memadai dari pemangku kepentingan), faktor sosial
ekonomi (misalnya: tingginya biaya sekolah anak) dan terbatasnya kredit modal
kerja di sektor pertanian. Sedangkan yang termasuk faktor internal adalah akses
petani terhadap penggunaan lahan pertanian yang tersedia, jumlah tanggungan
keluarga (anak-anak pewaris tidak mendapatkan pekerjaan di luar sektor
pertanian, akibatnya lahan warisan dibagi-bagi hingga jelas batas-batas
kepemilikannya).
Sementara itu, dari hasil penelitian Susanti et al. (2013) hanya ada dua
faktor, yaitu faktor pertumbuhan penduduk, dan faktor ekonomi (nilai jual lahan).
Kedua faktor tersebut jika dikategorikan sesuai dengan yang dikemukakan Wiradi
dan Manning (1984) termasuk dalam faktor eksternal. Faktor yang pertama yaitu
faktor pertumbuhan penduduk, dijelaskan dalam penelitian tersebut bahwa
semakin tingginya angka pertumbuhan penduduk, maka ketimpangan penguasaan
lahan pun semakin meluas. Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi, tingginya
nilai jual lahan yang diiringi dengan tingginya kebutuhan sementara pendapatan
tidak menunjang, membuat seorang petani dapat dengan mudah menjual
lahannya. Ketika peristiwa seperti itu terus terjadi, maka bukan tidak mungkin
jika beberapa waktu yang akan datang penguasaan lahan akan semakin timpang.
Berbeda dengan penjelasan Wiradi dan Manning (1984), penelitian dari
Swastika et al. (2000) menyebutkan bahwa faktor keterbatasan tenaga kerja dan
modal usaha serta kondisi lahan yang rusak akibat keterbatasan air mempengaruhi
terjadinya pola penguasaan lahan. Jika merujuk pada temuan Wiradi dan Manning
(1984) ketiga faktor tersebut tidak serta merta dapat langsung digolongkan ke
dalam faktor eksternal maupun internal. Apabila dicermati lebih jauh lagi, faktorfaktor yang ditemukan dalam penelitian Swastika et al. (2000) ini dapat
digolongkan dalam faktor eksternal.
Berbeda daerah, berbeda pula faktor yang mempengaruhi terjadinya
penguasaan lahan di daerah tersebut hingga terkadang menimbulkan ketimpangan.
Teori yang dapat dipakai dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi
penguasaan lahan adalah hasil temuan dari Wiradi dan Manning (1984), dengan
menggolongkan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Meskipun berbeda-beda faktor di setiap daerah, namun dari tiga hasil penelitian di
atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang sama yang muncul di tiga daerah
penelitian yang berbeda adalah faktor ekonomi. Hal tersebut menandakan bahwa
faktor ekonomi yang lebih sering mempengaruhi terjadinya suatu pola penguasaan
lahan tertentu, namun bukan berarti bahwa faktor lain tidak berpengaruh.
Pola Penguasaan Lahan
Bagi masyarakat pedesaan, lahan masih menjadi hal yang penting dan
berperan sebagai tumpuan utama kehidupan. Apalagi nilai jual lahan semakin hari
semakin tinggi, sementara kebutuhan tidak bisa terpenuhi jika hanya
mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan. Hal inilah yang seringkali
melatarbelakangi petani pemilik lahan menjual lahan atau menyewakan lahannya

7

ketika berada dalam keadaan terdesak untuk membeli kebutuhan. Adanya strategi
jual beli, sewa menyewa lahan dan bagi hasil ini membuat seseorang tidak hanya
menggunakan pola eksklusif (satu orang hanya menggunakan satu pola), tetapi
banyak pola. Hasil penelitian Sihaloho et al. (2009) dalam penelitian di dua desa
perkebunan di Banten, menemukan dua pola penguasaan lahan yaitu pola
penguasaan tetap dan pola penguasaan sementara. Pola penguasaan tetap berarti
petani menguasai lahan dengan cara memiliki lahan tersebut. Sedangkan pola
penguasaan sementara dimaksudkan bahwa petani menguasai lahan tidak dengan
cara memiliki lahan, tetapi dengan cara lain, seperti sewa, gadai, sakap, dan lainlain. Hal ini sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) yang menyebutkan tentang
jenis-jenis penguasaan lahan yang diaplikasikan di Indonesia yaitu berupa milik,
sewa, sakap atau bagi hasil, menjual lepas, gadai, dan maro atau sewa bersamasama dengan gadai.
Pola penguasaan lahan yang sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) juga
dikenal dalam penelitian Susanti et al. (2013) di Pegunungan Tengger. Pola
penguasaan yang umumnya dikenal di daerah tersebut adalah pemilikan lahan
bercorak pribadi. Jika merujuk pada penelitian Sihaloho et al. (2009) pola seperti
ini termasuk pola pemilikan tetap. Dengan sistem ini, pemilik bebas untuk
melakukan pemindahtanganan kepada orang lain yang berakibat pada perpecahan
dan fragmentasi lahan pertanian. Di daerah ini, meskipun yang umumnya dikenal
adalah pola pemilikan tetap, terdapat juga penguasaan lahan bersifat sementara.
Penguasaan lahan bersifat sementara tersebut bisa didapat dengan cara sewa
menyewa, bagi hasil, dan gadai.
Penelitian lain yang sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) adalah
penelitian Supriyati et al. (2008) yang menyebutkan bahwa dalam studi-studi
sosial ekonomi pertanian tentang masalah penguasaan tanah di pedesaan
Indonesia dilakukan penyederhanaan dalam pengelompokkan bentuk-bentuk
penguasaan tanah ke dalam dua kelompok besar, yaitu penguasaan tanah milik,
dan penguasaan tanah bukan milik, yang terdiri dari sewa, bagi hasil, gadai, dan
lainnya. Jika dibandingkan dengan penelitian Sihaloho et al. (2009), cara
mengelompokkan pola penguasaan pada penelitian Supriyati et al. (2008) sedikit
berbeda. Pada penelitian Sihaloho et al. (2009) pola penguasaan lahan
dikelompokkan menjadi penguasaan milik tetap dan penguasaan bersifat
sementara. Sementara pada penelitian ini dikelompokkan menjadi penguasaan
tanah milik dan penguasaan tanah bukan milik. Meskipun begitu, cara
mendapatkan lahan dari dua pengelompokkan tersebut tetap dengan cara yang
sama seperti penjelasan Wiradi (2009).
Berdasarkan pemaparan berbagai macam hasil penelitian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pola penguasaan lahan di pedesaan Indonesia umumnya ada
dua, yaitu penguasaan lahan milik dan penguasaan lahan sementara. Penguasaan
lahan sementara yang terdiri dari sewa menyewa, sakap atau bagi hasil, gadai.
Berdasarkan dua pola penguasaan tersebut, pola yang umumnya terjadi pada
beberapa daerah penelitian di atas adalah pola penguasaan lahan milik. Hal ini
terjadi karena jenis lahan dari lokasi di ketiga penelitian tersebut berbeda-beda,
sehingga pola penguasaan yang terjadi pun berbeda-beda. Hal ini senada dengan
temuan Supriyati et al. (2008) yang melakukan penelitian di dua lokasi yang
berbeda, yaitu Jawa dan Luar Jawa. Pada Pulau Jawa penguasaan yang umum
terjadi adalah penguasaan milik. Hal ini disebabkan jenis lahan yang umumnya

8
berupa tegalan dan relatif sempitnya lahan yang bisa diusahakan, sehingga orang
cenderung memilih penguasaan milik karena keuntungan yang didapat lebih besar
dibandingkan penguasaan sementara. Sementara di luar Jawa, pola penguasaan
yang umum diterapkan adalah pola penguasaan sementara karena jenis lahannya
termasuk perkebunan. Luas kebun yang besar, memberikan hasil dari pola
penguasaan sementara yang tidak lebih kecil dari penguasaan tetap.

Stratifikasi Sosial
Konsep Stratifikasi Sosial
Masyarakat telah mengakui adanya pelapisan dalam kehidupan mereka
sejak berabad-abad yang lalu. Perwujudan dari pelapisan sosial adalah adanya
kelas-kelas tinggi dan kelas rendah. Tidak adanya keseimbangan dalam
pembagian hak dan kewajiban serta tanggung jawab antar anggota masyarakat
menjadi dasar dari pelapisan masyarakat itu sendiri. Selain itu, setiap masyarakat
pada umumnya memiliki penghargaan terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat
yang bersangkutan. Penghargaan terhadap hal-hal tertentu akan menempatkan hal
tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal lainnya. Gejala tersebut
menimbulkan pelapisan dalam masyarakat. Sistem pelapisan tersebut, dalam
sosiologi dikenal dengan istilah stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial menurut
Pitirim A. Sorokin dalam Sajogyo (1985) adalah pembedaan masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat.
Stratifikasi sosial menyebabkan adanya perbedaan posisi sejumlah grup
sosial. Perbedaan tersebut selanjutnya memberikan perlakuan yang berbeda.
Misalnya saja, masyarakat yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah
sangat banyak dianggap berada di lapisan atas oleh anggota masyarakat lainnya.
Biasanya kedudukan yang tinggi tersebut bersifat kumulatif. Artinya, mereka
yang memiliki uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan,
dan mungkin untuk mendapatkan kemudahan akses terhadap hal lain.
Lapisan masyarakat memiliki banyak bentuk konkret, tetapi secara prinsip
bentuk tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga macam kelas, yaitu ekonomis,
politik dan didasarkan pada jabatan tertentu dalam masyarakat. Pada umumnya
ketiga macam kelas tadi mempunyai hubungan yang erat satu sama lain, namun
tidak semua keadaan demikian. Hal itu semuanya tergantung pada sistem nilai
yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat.
Menurut Weber dalam Soekanto (1982) konsep stratifikasi sosial meliputi
class (kelas), status (kelompok status), dan partai-partai. Kelas merupakan
stratifikasi sosial yang berdimensi ekonomi berupa produksi dan penguasaan.
Status merupakan perwujudan stratifikasi sosial yang berhubungan dengan
prinsip-prinsip yang dianut oleh masyarakat dalam mengonsumsi “harta benda”,
menyangkut gaya hidup (life style), kehormatan (honour) dan hak-hak istimewa
(privileges). Partai merupakan perkumpulan sosial yang berdimensi pada
penggunaan kekuasaan yang mempengaruhi tindakan masyarakat.
Berdasarkan teori stratifikasi Weber, maka dasar menentukan kelas (lapisan
masyarakat) pada suatu masyarakat diantaranya dapat berdasarkan ukuran
pemilikan yang berkaitan dengan produksi. Maksud Weber, kelas itu mencakup

9

orang yang memiliki peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut
ekonomis, antara lain melalui pemilikan dan penguasaan tanah.
Dasar-Dasar Pelapisan Masyarakat
Pelapisan masyarakat memiliki banyak bentuk dan berbeda-beda. Namun,
pelapisan masyarakat tetap ada, meskipun dalam masyarakat kapitalis,
demokratis, komunis dan lain sebagainya (Soekanto 1982). Menurut Inkeles
(1965) dalam Soekanto (1982) pada awalnya pelapisan masyarakat didasarkan
pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, pembagian
kerja, dan bahkan pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin rumit dan semakin
maju teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan
masyarakatnya. Saat ini ada empat ukuran yang biasa dipakai untuk
menggolongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan, yaitu :
- ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki banyak kekayaan termasuk dalam
lapisan teratas. Misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, kendaraan yang
dimiliki, pakaian, dan lain sebagainya.
- ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau wewenang
terbesar menempati lapisan teratas.
- ukuran kehormatan, ukuran semacam ini biasanya ditemui pada masyarakatmasyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka
yang pernah berjasa.
- ukuran ilmu pengetahuan, ukuran ini biasanya dipakai oleh masyarakat yang
menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang dengan gelar tertinggi menempati
lapisan teratas.
Dasar pelapisan masyarakat tidak terbatas pada keempat ukuran
sebagaimana yang dipaparkan di atas. Pada beberapa masyarakat tradisional di
Indonesia, misalnya di Jawa, seseorang yang berasal dari kerabat dan keturunan
pembuka tanah menempati lapisan tertinggi. Kemudian, menyusul para pemilik
tanah. Lalu, menyusul mereka yang hanya mempunyai pekarangan atau rumah
saja.

Kerangka Pemikiran

Definisi sederhana dari penguasaan lahan menunjuk kepada penguasaan
efektif. Seseorang dapat menguasai lahan tanpa memiliki lahan tersebut secara
yurisprudensi. Penguasaan lahan dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai dan
status lahan yang dikuasai. Seiring dengan perubahan yang terjadi di masyarakat
dari waktu ke waktu juga menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal
penguasaan lahan. Perubahan penguasaan lahan itu sendiri disebabkan oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Meskipun penguasaan lahan mengalami perubahan
dari waktu ke waktu, namun lahan tetap memiliki nilai yang tinggi. Tingginya
nilai lahan ini dapat dijadikan sebagai penentu dalam stratifikasi masyarakat.
Stratifikasi sendiri dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan atas, lapisan
menengah dan lapisan bawah. Pelapisan masyarakat tidak terjadi begitu saja,

10
tetapi memiliki dasar. Biasanya ukuran yang menjadi dasar pelapisan adalah
sesuatu hal yang berharga.
Faktor Internal :
- Jumlah tanggungan
keluarga
- Tingkat pendapatan
- Status Penduduk
- Akses Informasi
- Tingkat Pengeluaran

Penguasaan Lahan :
- Luas Lahan
- Status Lahan

Faktor Eksternal:

Stratifikasi Sosial :

- Nilai jual lahan
- Lokasi Lahan

- Tingkat pendapatan
- Kepemilikan aset
- Luas Lahan

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi
Sosial Rumahtangga Petani
Keterangan :
: Mempengaruhi
: Diukur secara kualitatif

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan peneliti di atas, maka
dapat dirumuskan dua hipotesis, yaitu :
1. Diduga faktor internal mempengaruhi penguasaan lahan
2. Diduga penguasaan lahan mempengaruhi stratifikasi sosial

Definisi Operasional

Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri responden
yang mempengaruhi penguasaan lahan. Merujuk pada penelitian Wiradi dan

11

Maanning (1984) faktor internal terdiri atas jumlah tanggungan keluarga dan
tingkat pendapatan. Adapun status sosial, status penduduk dan tingkat
pengeluaran belum pernah dilaporkan sebelumnya sebagai faktor internal yang
mempengaruhi penguasaan lahan, namun dianggap perlu untuk diketahui. Status
sosial terdiri atas tiga pertanyaan tertutup dan dua pertanyaan terbuka. Indikator
untuk status sosial digolongkan menjadi dua yaitu rendah dan tinggi. Skor yang
digunakan untuk menggolangkan status sosial ke dalam dua kategori tersebut
merupakan jumlah skor dari tiga pertanyaan tertutup. Sementara penentuan
indikator keempat variabel lainnya dilakukan dengan cara jawaban tertinggi
(bukan jawaban pencilan) dikurangi jawaban terendah dibagi dua.
Tabel 1 Definisi operasional faktor internal
No Variabel
Definisi
1
Akses
Kesempatan seseorang
informasi
untuk mendapatkan
informasi
2
Tingkat
Jumlah uang pemasukan
pendapatan per musim yang
dihasilkan oleh
responden dari hasil
bekerja
3
Status
Hal yang berhubungan
penduduk
dengan keanggotaan
sebagai orang yang
mendiami suatu tempat
yang berbeda dengan
tempat kelahirannya
4
Jumlah
Banyaknya anggota
Tanggungan keluarga yang masih
Keluarga
menjadi tanggungan
responden dalam
memenuhi kebutuhan
hidup
5
Tingkat
Jumlah uang rata-rata
Pengeluaran yang keluar per bulan
untuk memenuhi
kebutuhan

Indikator
Rendah (skor 5-9)
Tinggi (skor 10-14)

Jenis Data
Ordinal

Rendah (1 500 000
– 5 540 000)
Tinggi ( > 5 540
000)

Ordinal

Asli (Tempat
kelahiran di desa)
Pendatang (tempat
kelahiran di luar
desa)

Ordinal

Rendah (1-3 orang)
Tinggi (4-6 orang)

Ordinal

Rendah ( 5 320 000
– 11 630 000)
Tinggi (>11 630
000)

Ordinal

Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan merupakan istilah dalam struktur agraria yang
menunjukkan penguasaan efektif. Penguasaan dapat dilihat dari dua hal yaitu luas
lahan dan status lahan. Luas lahan untuk menentukan penguasaan tinggi atau
rendah. Sementara status lahan digunakan untuk menentukan pola penguasaan
yang terjadi.

12
Tabel 2 Definisi operasional penguasaan lahan
No Variabel
Definisi
Indikator
1
Luas Lahan
Ukuran lahan yang
Tinggi (> 5000 m2)
dikuasai responden
Rendah (900-5000
dalam satuan hektar
m2)
2
Status Lahan Hal yang berhubungan Milik
dengan status lahan
Sewa
yang dikuasai oleh
Sanggem
seseorang
Waris

Jenis Data
Ordinal

Nominal

Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas
yang bertingkat. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
rumahtangga petani. Setiap masyarakat di berbagai daerah memiliki ukuran dan
bentuk stratifikasinya masing-masing.
Tabel 3 Definisi operasional stratifikasi sosial
No Variabel
Definisi
1
Tingkat
Jumlah rata-rata uang
pendapatan
yang masuk per
musim baik yang
berasal dari pertanian
maupun non
pertanian
2

Kepemilikan asset

Jumlah benda atau
barang yang
mempunyai nilai
ekonomi yang
dimiliki oleh
responden

3

Luas Lahan

Luasan lahan yang
dikuasai responden

Indikator
Tinggi
Sedang
Rendah
(kedua dusun
berbeda, indikator
ada di
pembahasan)
Tinggi
Sedang
Rendah
(kedua dusun
berbeda ukuran,
indikator ada di
pembahasan)
Tinggi
Sedang
Rendah
(kedua dusun
berbeda ukuran,
indikator ada di
pembahasan)

Jenis Data
Ordinal

Ordinal

Ordinal

PENDEKATAN LAPANGAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di dua dusun yaitu Dusun Margajaya dan Dusun
Karanglo, Desa Tonggara, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Tegal,
Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive.
Alasan pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan tiga aspek. Aspek yang
pertama yaitu karakteristik kedua dusun sebagai dusun pertanian. Aspek kedua
mempertimbangkan mata pencaharian masyarakat di kedua dusun. Mayoritas
masyarakat Dusun margajaya bekerja sebagai buruh tani di lahan Perhutani tanpa
memiliki pekerjaan sampingan, sementara mayoritas masyarakat Dusun Karanglo
bekerja sebagai petani dan memiliki pekerjaan sampingan. Aspek ketiga yang
dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi yaitu keadaan masyarakat dusun yang
memiliki perbedaan kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi masyarakat Dusun
Karanglo dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan konidisi ekonomi
masyarakat Dusun Margajaya.
Tahapan dilaksanakannya penelitian ini dimulai dari penyusunan proposal
skripsi yang dilaksanakan selama bulan Februari hingga minggu kedua bulan
Maret. Pada minggu ketiga bulan Maret dilaksanakan kolokium. Perbaikan
proposal dilakukan selama tiga minggu, yaitu minggu ke tiga dan ke empat bulan
Maret serta minggu pertama bulan April. Setelah proposal selesai diperbaiki,
tahap selanjutnya yaitu pengambilan data lapang yang dilaksanakan selama tiga
minggu, yaitu minggu ke dua hingga minggu ke empat bulan April. Selama
minggu pertama hingga minggu ke tiga bulan Mei, data yang didapat dari lapang
kemudian diolah dan dianalisis. Setelah data diolah dan dianalisis, tahap
selanjutnya yaitu penulisan draft skripsi yang dilaksanakan selama minggu ke tiga
bulan Mei hingga minggu ke dua bulan Juni. Setelah draft selesai disusun,
dilakukan uji petik pada minggu ke dua bulan Juni. Selesai uji petik, kemudian
pada minggu ke tiga bulan Juni dilakukan sidang. Tahap yang terakhir adalah
tahap perbaikan skripsi. Perbaikan skripsi dilakukan setelah sidang selesai
dilakukan.

Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung
dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survey
kepada kepala rumah tangga yang menjadi responden. Metode survey sendiri
adalah mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai
alat pengumpulan data yang lengkap (Singarimbun dan Effendi, 1989).
Sedangkan data kualitatif diperoleh melalui FGD (Focus Group Discusion)

14
dengan masyarakat dusun, wawancara mendalam kepada responden dengan
panduan pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat.

Teknik Penentuan Responden

Unit analisis yang diambil oleh peneliti adalah rumahtangga, baik yang
bekerja di bidang pertanian maupun non pertanian yang menguasai lahan.
Selanjutnya, informasi dan data penelitian diperoleh melaui responden yang
sekaligus menjadi informan. Responden adalah pihak yang memberikan
keterangan mengenai dirinya dan keluarganya, sekaligus memberikan informasi
mengenai situasi yang terjadi di sekitarnya karena responden juga berperan
sebagai informan.
Populasi dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang ada di Dusun
Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara, Kecamatan Kedung Banteng,
Kabupaten Tegal. Menggunakan teknik simple random sampling, dipilih
rumahtangga yang tinggal dan lahan yang dikuasai ada di Dusun Margajaya serta
rumah tangga yang tinggal dan lahan yang dikuasai ada di Dusun Karanglo.
Berdasarkan kerangka sampling tersebut didapatkan sebanyak 55 calon responden
Dusun Margajaya dan 66 calon responden Dusun Karanglo. Kemudian responden
ditentukan menggunakan rumus Slovin, yaitu :

Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
α = Derajat kepercayaan (digunakan 10%)
Berdasarkan rumus Slovin, didapatkan 35 responden untuk Dusun
Margajaya, dan 40 responden untuk Dusun Karanglo. Selanjutnya responden
dipilih secara acak menggunakan Ms. Excel.

Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan melalui FGD, kuesioner, wawancara
mendalam. FGD dilaksanakan di salah satu rumah warga dengan peserta FGD
adalah masyarakat dusun setempat. Tujuan dilakukannya FGD untuk mengetahui
indikator yang digunakan oleh masyarakat lokal saat menggolong-golongkan
masyarakat di masing-masing dusun tersebut ke dalam lapisan-lapisan sosial.
Kuesioner diberikan kepada responden dan peneliti membantu responden dalam

15

pengisian kuesioner tersebut untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam
pengisian. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman
pertanyaan kepada seluruh responden. Sementara data sekunder diperoleh melalui
data potensi desa dan literatur lainnya yang terkait.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data primer yang diperoleh, selanjutnya akan diolah menggunakan tabel
tabulasi silang, Microsoft Excel, dan analisis regresi menggunakan program SPSS
16.0 for Windows. Tabulasi silang digunakan untuk menggambarkan hubungan
antar dua variabel dan mempermudah dalam membaca serta memahami data. Data
tersebut kemudian di uji lanjut menggunakan analisis regresi jika diperlukan.
Selanjutnya hasil diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan berdasarkan hipotesis
yang sudah ada. Data kualitatif diolah melalui tiga tahap, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Fisik

Desa Tonggara merupakan desa terujung barat dari Kecamatan Kedung
Banteng dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Pangkah, dipisahkan oleh
jalan raya Pangkah-Tonggara. Desa ini memiliki bentangan wilayah yang terbagi
menjadi dataran rendah dan berbukit-bukit serta curah hujan sebesar 306 mm,
sebagian besar wilayahnya dimanfaatkan untuk persawahan yaitu sebesar 118.88
hektar. Persawahan yang ada di Desa Tonggara terbagi menjadi sawah irigasi
teknis sebesar 55.26 hektar, irigasi sebagian teknis 35.60 hektar, dan sawah tadah
hujan sebesar 28.02 hektar. Komoditas pertanian utama di desa ini adalah jagung,
padi, dan tebu.
Prasarana dan kondisi irigasi yang digunakan untuk sawah tercatat
sepanjang 950 meter untuk saluran primer dan 1250 meter untuk saluran sekunder
sedangkan saluran tersier hanya sepanjang satu meter, prasarana yang lain seperti
pintu sadap terdapat sejumlah tiga unit dan 400 unit pintu pembagi air. Namun,
sebesar 400 meter dari saluran primer, 250 meter saluran sekunder, 710 saluran
tersier, dan satu unit pintu sadap air rusak. Prasarana air bersih yang digunakan
untuk sanitasi penduduk, sebesar 1420 unit rumah menggunakan sumur pompa
dan 40 unit rumah menggunakan sumur gali.
Tanah kering yang dimanfaatkan sebesar 163.85 hektar yang lebih dari
separuhnya digunakan sebagai ladang, 32.80 hektar digunakan sebagai
pemukiman dan 6.05 hektar digunakan sebagai pekarangan. Sebesar 32.80 hektar
yang digunakan sebagai pemukiman terbagi menjadi perkantoran pemerintah,
bangunan sekolah, pertokoan, pasar, perumahan, dan jalan desa.
Bidang pendidikan, desa ini memiliki tiga playgroup, satu taman kanakkanak, tiga sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama serta dua
Raudhatul Athfal, namun belum memiliki sekolah menengah atas sendiri,
sehingga setelah lulus dari sekolah menengah pertama harus melanjutkan ke
kecamatan ataupun daerah lain. Akses dari dan menuju desa, sudah ada satu ruas
jalan utama yang menggunakan aspal dan satu ruas jalan yang menggunakan
makadam. Jembatan yang digunakan untuk melalui sungai juga sudah ada empat
unit jembatan beton dan satu unit jembatan besi. Sebagian besar jalan desa dalam
kondisi baik dan terawat, namun ada satu dusun yang terpencil yaitu Dusun
Margajaya yang kondisi jalannya masih berbatu dan bergelombang, sehingga
memerlukan perhatian khusus.
Pemerintah desa sudah memiliki balai desa dan gedung kantor tersendiri
dengan kondisi yang baik dan fasilitas yang lengkap. Prasarana keagamaan hanya
agama islam yang mudah ditemui karena di seluruh desa terdapat lima masjid dan
14 mushola, sedangkan prasarana agama lain tidak ada. Prasarana dan sarana
kesehatan yang ada di desa ini mencakup satu unit puskesmas, satu unit poliklinik
atau balai pengobatan, dua apotek, delapan posyandu, satu praktik dokter umum,
dua orang bidan, satu orang dukun bersalin terlatih, dan satu dukun pengobatan
alternatif.

17

Kondisi fisik sarana dan prasarana Desa Tonggara secara keseluruhan
terhitung cukup memadai. Adanya minimarket seperti indomaret, serta kantor
cabang dan ATM bank BRI menambah lengkap fasilitas di desa ini. Selain itu,
akses jalan raya yang menghubungkan dengan kecamatan Pangkah dan ibukota
kabupaten yaitu Slawi, juga memudahkan warga Desa Tonggara untuk mencapai
fasilitas lain yang tidak tersedia di desa.

Kondisi sosial

Kondisi sosial Desa Tonggara berdasarkan keadaan penduduknya dapat
dilihat dari tingkat perkembangan jumlah penduduk, struktur mata pencaharian,
tingkat pendidikan, jumlah kejadian