Kajian terhadap Sosialisasi Nota Kesepahaman Indonesia – Malaysia tentang Penangkapan Ikan oleh Nelayan di Wilayah Tumpang Tindih Selat Malaka, Sumatera Utara

KAJIAN TERHADAP SOSIALISASI NOTA KESEPAHAMAN INDONESIA
- MALAYSIA TENTANG PENANGKAPAN IKAN OLEH NELAYAN DI
WILAYAH TUMPANG TINDIH SELAT MALAKA, SUMATERA UTARA

MARDIAH

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian terhadap
Sosialisasi Nota Kesepahaman Indonesia - Malaysia tentang Penangkapan Ikan
oleh Nelayan di Wilayah Tumpang Tindih Selat Malaka, Sumatera Utara adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Mardiah
NIM C44100047

ABSTRAK
MARDIAH. Kajian terhadap Sosialisasi Nota Kesepahaman Indonesia - Malaysia
tentang Penangkapan Ikan oleh Nelayan di Wilayah Tumpang Tindih Selat
Malaka, Sumatera Utara. Dibimbing oleh DARMAWAN dan AKHMAD
SOLIHIN.
Pemerintah
Republik
Indonesia
dengan
Pemerintah Malaysia
menandatangani dokumen kesepahaman (Memorandum of Understanding –
MoU) pada tanggal 27 Januari 2012 sebagai solusi sementara untuk menjamin
keselamatan dan penanganan nelayan kedua negara yang melakukan operasi

penangkapan ikan di wilayah tumpang tindih, Selat Malaka. Tujuan penelitian ini
untuk mengkaji efektivitas sosialisasi dokumen tersebut, tingkat pemahaman
lembaga koordinator, lembaga pendukung, dan nelayan Indonesia; serta
memberikan rekomendasi penanganan permasalahan perbatasan lebih lanjut
kepada Pemerintah Indonesia. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai
dengan April 2014, di Jakarta dan Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan,
Sumatera Utara. Metode yang digunakan dalam menentukan responden yaitu
metode purposive sampling. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif,
dengan alat analisis yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sosialisasi kepada nelayan kurang maksimal, karena hanya
disampaikan kepada perwakilan nelayan dalam bentuk seminar sehingga masih
banyak nelayan yang belum menerima sosialisasi. Hal ini disebabkan karena
terbatasnya anggaran sosialisasi yang dimiliki oleh Bakorkamla, TNI AL, PSDKP
dan Polisi Perairan. Akibatnya pelaksanaan MoU dilapangan kurang maksimal.
Efektivitas pengetahuan nelayan mengenai MoU dengan persentase sebesar 12,5%
dari skala 100%. Sedangkan Bakorkamla, PSDKP, Polisi Perairan persentase
pengetahuan terhadap MoU sebesar 100%.
Persentase pengetahuan TNI
Angkatan Laut-1 Belawan mengenai MoU yaitu sebesar 80%. Tingkat
pemahaman nelayan terhadap isi MoU yaitu 0% dari skala 100%, sedangkan

tingkat pemahaman Bakorkamla, PSDKP, dan Polisi Perairan yaitu 100%.
Persentase tingkat pemahaman TNI Angkatan Laut-1 Belawan mengenai isi MoU
yaitu sebesar 80%.
Kata kunci: MoU RI - Malaysia, Sosialisasi

ABSTRACT
MARDIAH. Socialization Study Memorandum of Understanding Indonesia –
Malaysia about Fishermen Fishing on Overlapping Claim Area Malacca Strait,
North Sumatera. Supervised by DARMAWAN and AKHMAD SOLIHIN.
The government of the Republic of Indonesia signed an MoU with the
government of Malaysia on January 27, 2012 as a temporary solution to ensure
the safety and treatment of the fishermen from both countries who engage in
fishing operations in the overlapping claim area. The purpose of this research was
to examine the effectiveness of socialization from MoU RI – Malaysia and the
level of understanding from the coordinating agencies, supporting agencies and

the Indonesian fishermen; describing the recommendations for solutions of the
border issue to the Indonesian Government and Indonesian fishermen. The
research was conducted in March to April 2014, in Jakarta and Belawan Ocean
Fishing Port, North Sumatra. The method that used to determination the

respondents is purposive sampling method. This research used descriptive
analysis with the juridical normative and juridical empirical as analysis tools.
Socialization of MoU RI – Malaysia to the fishermen is less than maximal, due to
the spread of information only on the representatives of fishermen and it held in
the seminars events, so there are many fishermen who have not received
socialization. This occurrence is due to the limited budget of socialization that
owned by Bakorkamla, Navy, PSDKP and Indonesian National Police. As a
result of this condition, the implementation of the MoU in the field is less than the
maximum. The effectiveness of fishermen knowledge about the MoU is about
12.5% of the scale 100%. While Bakorkamla, PSDKP, and Indonesian National
Police knowledge of the MoU is 100%. Percentage of the Indonesian Navy-1
Belawan knowledge about the MoU is 80%. The fishermen level of understanding
of the content of the MoU were 0% of the scale of 100%. While the level of
understanding from Bakorkamla, PSDKP, and Indonesian National Police of
MoU is 100% and the Indonesian Navy-1 Belawan is 80%.
Keywords: MoU RI - Malaysia, Socialization

KAJIAN TERHADAP SOSIALISASI NOTA KESEPAHAMAN INDONESIA
- MALAYSIA TENTANG PENANGKAPAN IKAN OLEH NELAYAN DI
WILAYAH TUMPANG TINDIH SELAT MALAKA, SUMATERA UTARA


MARDIAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Kajian terhadap Sosialisasi Nota Kesepahaman Indonesia –
Malaysia tentang Penangkapan Ikan oleh Nelayan di Wilayah
Tumpang Tindih Selat Malaka, Sumatera Utara
Nama
: Mardiah

NIM
: C44100047
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui oleh

Dr Ir Darmawan, MAMA
Pembimbing I

Akhmad Solihin, SPi, MH
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Budy Wiryawan, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Penulis sangat bersyukur pada Allah SWT, atas segala karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Maret 2014, dengan judul “Kajian terhadap Sosialisasi Nota Kesepahaman
Indonesia - Malaysia tentang Penangkapan Ikan oleh Nelayan di Wilayah
Tumpang Tindih Selat Malaka, Sumatera Utara”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Darmawan, MAMA dan
Akhmad Solihin, SPi, MH selaku pembimbing yang memberikan dorongan agar
tulisan ini segera selesai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada
dosen penguji yaitu Ir Mochammad Dahri Iskandar, MSi, dosen Komisi
Pendidikan Departemen PSP yaitu Dr Iin Solihin, SPi, MSi. Penulis juga ucapkan
terima kasih kepada Basri, APi, MSi sebagai Kepala Stasiun Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan,
Bapak Asep Supriadi sebagai Kepala Seksi Operasional Wilayah Barat PSDKP
Pusat, Bapak Rahman Arif sebagai Kasubdit Logistik Wilayah Barat, Mayor Laut
Farid Ma‟ruf Kepala Dinas Hukum TNI AL-1 Belawan, Mayor Laut Dwi Afiandi
sebagai Kepala Satuan Keamanan Laut TNI AL-1 Belawan, Mayor Laut Sugeng
Ashary sebagai Kepala Dinas Potensi dan Maritim TNI AL-1 Belawan, Bripka
Watirin Wahyu sebagai Kepala Bagian Penegakkan Hukum Polisi Air Laut
Belawan, Ir Revolkhair sebagai Kepala Bagian Operasional Polisi Air Laut
Belawan, Bapak Hudiansyah Is Nursal sebagai Kasubdit Advokasi Hukum Badan

Koordinasi Keamanan Laut serta Nelayan Pelabuhan Perikanan Samudera
Belawan, yang telah memberikan informasi dan mengizinkan penggunaan data
yang dibutuhkan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu dan
saudara-saudara atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada
pengawas perikanan PSDKP Belawan dan Pusat, PSP angkatan 47, teman asrama
putri A3 Kamar 306 – 307, Kammi Daerah Bogor, Rumah Ceria, Nurul Fitri, dan
teman-teman semua atas segala doa dan bantuannya.
Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi
pemerintah dalam mengambil kebijakan dan keputusan tentang batas maritim di
Selat Malaka.

Bogor, Desember 2014
Mardiah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR


viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian


4

Manfaat Penelitian

4

TINJAUAN PUSTAKA

5

METODE PENELITIAN

8

Waktu dan Tempat

8

Alat Penelitian


8

Alur Penelitian

9

Metode Pengumpulan Data

10

Metode Pengumpulan Data Kuisioner

10

Metode Analisis Data

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

14

Penjelasan Pasal-pasal MoU RI - Malaysia

14

Sosialisasi Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) oleh
Indonesia kepada Nelayan Indonesia

17

Efektivitas Sosialisasi Nota Kesepahaman dan Tingkat Pemahaman Lembaga
Koordinator (Bakorkamla), Lembaga Pendukung (TNI Angkatan Laut, Polisi
Perairan, PSDKP), dan Nelayan Indonesia
20
Rekomendasi untuk Penanganan di Wilayah Perbatasan kepada Pemerintah
Indonesia dan Nelayan Indonesia
27
SIMPULAN DAN SARAN

31

Simpulan

31

Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

46

DAFTAR TABEL

1 Titik Koordinat overlapping claim area
2 Wawancara Nelayan Kapal Ikan Indonesia yang Menangkap Ikan di
Selat Malaka
3 Informasi Penelitian
4 Data Sekunder Penelitian
5 Sosialisasi MoU RI - Malaysia
6 Pengetahuan, Pemahaman dan Pelaksanaan MoU RI - Malaysia oleh
Lembaga pendukung dan Nelayan
7 Rekapitulasi penangkapan Kapal Ikan Indonesia dan Kapal Ikan
Malaysia di Overlapping Claim Area
8 Kekuatan Armada Patroli dan Pengawasan Polisi Perairan, PSDKP,
TNI Angkatan Laut Belawan dan Bakorkamla

1
12
13
14
18
22
25
30

DAFTAR GAMBAR
1 Titik Koordinat Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka (overlapping
claim area)
2 Alur Proses Komunikasi
3 Peta Lokasi Penelitian
4 Alur Proses Sosialisasi MoU oleh Pihak Indonesia kepada Nelayan
Sumatera Utara
5 Peta Sebaran Kapal Ikan Indonesia yang melakukan aktivitas
Penangkapan di Selat Malaka, Sumatera Utara

2
6
8
19
26

DAFTAR LAMPIRAN
1 Memorandum of Understanding RI – Malaysia tentang Penanganan
terhadap Nelayan yang Melakukan Aktivitas Penangkapan Ikan di
Overlapping Claim Area
2 Peta Sebaran Kapal Ikan Indonesia yang melakukan Penangkapan
Ikan di Selat Malaka

34
44

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penetapan batas laut di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia sudah
dimulai sejak tanggal 27 Oktober 1969 yang menetapkan batas landas kontinen.
Kedua negara belum menyepakati batas Zona Ekonomi Eksklusif di Selat Malaka.
Indonesia dan Malaysia saling mengklaim garis batas Zona Ekonomi Eksklusif di
Selat Malaka sehingga terbentuk kawasan tumpang tindih atau overlapping claim
maritime area (Arsana dan Yuniar 2012). Indonesia dan Malaysia saling
mengklaim pada titik-titik koordinat (Tabel 1).
Tabel 1 Titik koordinat overlapping claim area
Titik 1
05º27‟00”U 98º17‟05”T
Titik 2
04º55‟07”U 98º41‟05”T
Titik 3
03º59‟06”U 99º43‟05”T
Titik 4
03º47‟04”U 99º55‟05”T
Titik 5
02º41‟05”U 101º12‟01”T
Titik 6
02º15‟04”U 101º46‟05”T
Titik 7
01º55‟02”U 102º13‟04”T
Titik 8
01º41‟02”U 102º35‟04”T
Sumber Data : Dinas Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut

Permasalahan yang sering muncul dengan adanya tumpang tindih batas
kedua negara adalah adanya aktivitas nelayan Indonesia di kawasan tersebut yang
dianggap sebagai pelanggaran batas maritim oleh aparat Malaysia dan aktivitas
nelayan Malaysia yang dianggap sebagai pelanggaran batas maritim oleh aparat
Indonesia. Insiden yang terjadi pada tanggal 7 April 2011 melibatkan kapal
berbendera Malaysia, Petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia,
dan Helikopter Malaysia. Petugas patroli Indonesia menganggap kapal Malaysia
sudah secara ilegal memasuki perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Pada saat kapal Malaysia ditangkap dan hendak dibawa ke wilayah Indonesia,
Helikopter Malaysia muncul dan meminta kapal dilepaskan. Namun petugas
patroli Indonesia menolak dan akhirnya kapal dibawa ke Pelabuhan Belawan
(Arsana dan Yuniar 2012).
Insiden yang terjadi, tentunya merugikan nelayan masing-masing negara,
petugas keamanan Indonesia maupun Malaysia terutama yang beroperasi di
kawasan tumpang tindih tersebut. Tim Badan Koordinasi Keamanan Laut
(Bakorkamla) menangkap dua kapal nelayan berbendera Malaysia pada tanggal 7
April 2011, karena memasuki perairan wilayah Indonesia. Mengenai penangkapan
itu, Kementrian Luar Negeri Malaysia mengirimkan nota protes kepada
Pemerintah Indonesia, mereka menganggap aparat Indonesia telah memasuki
perairan Malaysia (Palenewen 2013). Insiden lainnya terjadi pada 1 Oktober 2011,
kapal nelayan Indonesia disergap kemudian dirusak kapal patroli Tentara Laut
Diraja Malaysia (TLDM) bernomor lambung 137. Ketika nelayan Indonesia
menangkap ikan di perairan ZEEI di Selat Malaka di koordinat
Lintang
Utara dan
Bujur Timur, yang masih berada di wilayah perairan
Indonesia (Syam 2011).

2

Gambar 1 Titik koordinat klaim Indonesia dan Malaysia di Selat
Malaka (overlapping claim area)
Sumber : Dinas Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut

Sering terjadinya insiden pada tahun 2011 antara Indonesia dan Malaysia
tentang nelayan kedua negara yang menangkap ikan di overlapping claim area,
disikapi oleh Indonesia dan Malaysia dengan menandatangani Memorandum of
Understanding (MoU) guna menjamin kesejahteraan bagi nelayan yang
beroperasi di kawasan perbatasan yang masih belum jelas batas maritimnya. Dua
instansi dari masing-masing negara, yaitu Badan Koordinasi Keamanan Laut
(Bakorkamla) mewakili Indonesia dan Majelis Keselamatan Negara (MKN)
mewakili Malaysia menandatangani MoU terkait pedoman umum penanganan
masalah laut perbatasan Republik Indonesia - Malaysia (Arsana dan Yuniar 2012).
Penandatanganan MoU tersebut dilakukan oleh Kepala Pelaksana Harian Badan
Koordinasi Keamanan Laut, Laksamana Madya TNI Y. Didik Heru Purnomo
sebagai wakil dari pihak Indonesia serta Sekretaris Majelis Keselamatan Negara
Dato Mohamed Thajudeen Abdul Wahab sebagai wakil dari pihak Malaysia.
Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga koordinator yang sekaligus menjadi
focal point dari MoU tersebut. Focal point merupakan instansi pelaksana utama
yang menjadi pusat pelaporan dan penanganan aktivitas nelayan yang melakukan
penangkapan ikan di overlapping claim area, Selat Malaka.
Tujuan utama ditandatanganinya MoU tanggal 27 Januari 2012 di Nusa Dua,
Bali, adalah untuk menjamin kesejahteraan nelayan kedua negara dalam
beroperasi di wilayah tumpang tindih. Selain itu, penandatanganan MoU tersebut
dalam rangka meningkatkan kerjasama antar otoritas koordinator keamanan laut
terutama upaya meminimalisir terjadinya penangkapan nelayan kedua negara
(Arsana dan Yuniar 2012).

3
Walaupun sudah ada kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia dalam
bentuk MoU, ternyata masih terjadi penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat
Malaysia. Pada tanggal 22 September 2013 Polisi Maritim Malaysia menangkap
nelayan Indonesia dari Kabupaten Langkat yang menangkap ikan di overlapping
claim area, Selat Malaka. Oknum Polisi Diraja Malaysia meminta sejumlah uang
tebusan kepada nelayan yang ditangkap tersebut, karena tidak memiliki uang,
maka perahu nelayan dibawa ke Pulau Penang, Malaysia. Selain 6 nelayan
tersebut, satu rombongan nelayan lain asal Desa Kelantan, Kecamatan Brandan
Barat, juga tertangkap namun belum berhasil diidentifikasi (Mukhtar 2013).
Menurut Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan, Polisi Maritim Malaysia telah melanggar nota kesepahaman antara
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang pedoman umum
penanganan terhadap nelayan oleh lembaga penegak hukum di laut Republik
Indonesia dan Malaysia, karena aparat Malaysia telah menangkap enam nelayan
Indonesia yang menangkap ikan di overlapping claim area, kemudian melakukan
pemerasan dengan meminta sejumlah uang tebusan serta kapal nelayan dibawa ke
Malaysia (Mukhtar 2013). Pasal 3 dalam MoU tersebut disebutkan bahwa, apabila
nelayan kedua negara melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah tumpang
tindih tersebut, maka hanya diminta meninggalkan daerah itu dan dilakukan
pemeriksaan yang kemudian dilaporkan kepada focal point dengan segera.
Upaya ini harus dikoordinasikan dengan Bakorkamla mewakili Pemerintah
Indonesia. Namun, komunikasi secara langsung dan terbuka diantara lembaga
penegak hukum maritim dengan segera dan secepatnya dalam melakukan upaya
hukum tidak dilakukan oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM).
Sebaliknya, nahkoda kapal yang menginformasikan kepada keluarga bahwa
mereka ditangkap APMM (Mukhtar 2013).
Permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan di lapangan disebabkan
ketidaktahuan dan ketidakpahaman nelayan Indonesia jika bertemu dengan aparat
Malaysia, terkait dengan hak mereka untuk tidak ditangkap oleh aparat Malaysia
ketika menangkap ikan di overlapping claim area. Aparat Malaysia hanya berhak
melakukan pemeriksaan dan pengusiran pada nelayan Indonesia, kemudian
melaporkan kepada focal point. Selain itu, apakah aparat Indonesia mengetahui
bahwa memberikan perlindungan dan rasa aman adalah kewajibannya, serta
apakah aparat Indonesia telah melindungi nelayan Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan di wilayah tumpang tindih tersebut. Hal inilah yang kemudian
melatarbelakangi penelitian ini dilakukan. Penelitian ini ingin melihat apakah
MoU sudah tersosialisasikan dengan baik kepada pihak Indonesia dan nelayan
Indonesia, sehingga mereka memahami dan melaksanakan sesuai dengan pasalpasal dalam MoU tersebut. Aparat Indonesia memahami bahwa melindungi
nelayan Indonesia yang menangkap ikan di overlapping claim area merupakan
kewajiban sebagai lembaga koordinator dan lembaga pendukung dalam MoU
tersebut. Pemahaman tersebut di implementasikan dengan melakukan pengawasan
dan patroli di wilayah tumpang tindih, sebagai bentuk perlindungan kepada
nelayan Indonesia. Pemahaman nelayan Indonesia tentang MoU artinya nelayan
memahami haknya untuk tidak ditangkap oleh aparat Malaysia, jika menangkap
ikan di wilayah tumpang tindih Selat Malaka, selain itu nelayan tidak boleh
menggunakan alat tangkap ilegal ketika menangkap ikan di wilayah tumpang
tindih tersebut. Sehingga adanya MoU ini menjamin kesejahteraan nelayan kedua

4
negara yang melakukan operasi penangkapan ikan di overlapping claim area.
Jaminan kesejahteraan bagi nelayan dalam dokumen kesepahaman tersebut
artinya tidak terjadi lagi penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia
maupun sebaliknya
.
Perumusan Masalah
Menghadapi berbagai permasalahan yang sering terjadi di wilayah tumpang
tindih ini, Indonesia dan Malaysia menandatangani MoU guna memberikan
perlindungan dan menjamin kesejahteraan nelayan kedua negara. Setelah MoU
tersebut disepakati oleh kedua belah pihak maka kedua negara berkewajiban
melakukan sosialisasi kepada pihak masing-masing negara dan nelayan kedua
negara serta melaksanakan sesuai dengan pasal-pasalnya. Nota Kesepahaman ini
merupakan payung pengaturan dalam melindungi nelayan yang melakukan
penangkapan ikan di overlapping claim area. Isi MoU yang perlu dipahami oleh
nelayan dan stakeholder lainnya yaitu mengenai batas-batas wilayah Indonesia
dan Malaysia di Selat Malaka; alat tangkap ilegal yang dilarang penggunaannya
serta penanganan/tindakan terhadap nelayan yang melakukan operasi
penangkapan ikan di wilayah tumpang tindih tersebut. Namun, masih terjadinya
penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia menandakan bahwa masih
lemahnya pengawasan dan perlindungan yang dilakukan oleh aparat Indonesia
terhadap nelayan Indonesia, serta belum pahamnya nelayan Indonesia mengenai
MoU yang telah disosialisasikan oleh Pemerintah Indonesia. Berdasarkan
permasalahan tersebut, maka dilakukanlah penelitian ini dalam rangka untuk
melihat apakah sosialisasi dan pembekalan telah diberikan oleh pihak Indonesia
kepada nelayan Indonesia sehingga pelaksanaan MoU dilapangan sesuai dengan
tujuan dibuatnya MoU tersebut.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu: (1) mengkaji apakah isi nota kesepahaman
antara Indonesia dan Malaysia tentang penanganan terhadap nelayan yang
melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area sudah disosialisasikan
oleh Indonesia kepada nelayan Indonesia; (2) mengkaji efektivitas sosialisasi nota
kesepahaman dan tingkat pemahaman dari pihak yang terkait, seperti lembaga
koordinator (Bakorkamla), lembaga pendukung (TNI Angkatan Laut, Polisi
Perairan, PSDKP), dan nelayan Indonesia; dan (3) memberikan saran untuk
penanganan di wilayah perbatasan kepada pemerintah Indonesia dan nelayan
Indonesia.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi lembaga
pendukung (Bakorkamla, TNI Angkatan Laut, Polisi Air, PSDKP) dalam
pelaksanaan MoU serta evaluasi terkait sosialisasi MoU yang telah dilakukan
untuk nelayan Indonesia.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982
sebuah negara pantai berhak untuk melakukan klaim untuk laut territorial sampai
12 mil laut, zona tambahan sampai 24 mil laut, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
sampai 200 mil laut, landas kontinen sampai 200 mil laut atau lebih (350 mil laut)
dengan syarat sesuai UNCLOS 1982 tergantung geologi dan geomorfologi dasar
laut. Namun jika ternyata jarak dengan negara tetangga kurang dari dua kali jarak
klaim maritim yang diperbolehkan, maka perlu menentukan dengan tepat batasbatas antara kedua negara tersebut (Arsana dan Yuniar 2012).
Penetapan batas ZEE antara Negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan di atur dalam Pasal 74 UNCLOS 1982 ayat (1), (2) dan (3) yaitu :
(1) penetapan batas ZEE antara Negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional,
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk
mencapai suatu pemecahan yang adil; (2) apabila tidak dapat dicapai persetujuan
dalam jangka waktu yang pantas, Negara-negara yang bersangkutan harus
menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV (tentang penyelesaian
sengketa/Settlement of Disputes); (3) sambil menunggu suatu persetujuan
sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), negara-negara yang bersangkutan, dengan
semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk
mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa
peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu
persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya
penetapan akhir mengenai perbatasan.
Kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia
pada tanggal 27 Januari 2012 yang ditandatangani antara Bakorkamla dengan
MKN merupakan solusi sementara untuk menjamin kesejahteraan nelayan yang
melakukan operasi penangkapan ikan di kawasan tumpang tindih tersebut. Nota
kesepahaman yang ditandatangani tersebut adalah bentuk kerjasama setelah
pelaksanaan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) antara Malaysia
dan Republik Indonesia yang dilaksanakan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 10 11 Oktober 2011, serta diperkuat oleh pernyataan bersama (Joint Statement)
antara Republik Indonesia dan Malaysia pada Konsultasi Tahunan antara Presiden
Dr H Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Dato „Sri Mohd. Najib
bin Tun Abdul Razak, dilaksanakan di Lombok, Indonesia, pada tanggal 20
Oktober 2011. MoU yang ditandatangani merupakan kesungguhan kedua negara
dalam menangani isu perikanan kedua negara serta insiden yang sering terjadi di
kawasan tumpang tindih tersebut. Delimitasi batas maritim antara Indonesia dan
Malaysia di Selat Malaka harus segera dituntaskan untuk memberikan solusi
permanen dan perlindungan lebih baik kepada para nelayan yang menangkap ikan
di sekitar perairan perbatasan Indonesia – Malaysia di Selat Malaka. Sampai
dengan tahun 2013 Indonesia dan Malaysia tercatat sudah bertemu 23 kali dalam
rangka perundingan batas maritim (Arsana dan Yuniar 2012).
Memorandum of Understanding antara Indonesia dan Malaysia tentang
perlindungan dan penjaminan kesejahteraan nelayan di kawasan tumpang tindih
perlu dipastikan penerapannya di lapangan sehingga tidak terjadi lagi

6
penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia. Pemahaman nelayan
tentang MoU sangat mempengaruhi pelaksanaan MoU di lapangan, sehingga
lembaga koordinator dan lembaga pendukung dalam MoU berkewajiban
melakukan penyebaran informasi/sosialisasi MoU dan memberikan perlindungan
kepada nelayan Indonesia ketika melakukan penangkapan ikan di kawasan
tumpang tindih, Selat Malaka.

Sumber

Komunikator

Pesan
Saluran (Media)

Komuunikan

Hasil (Effect)

Gambar 2 Alur proses komunikasi
Sumber : Widjaja, 2010

Menurut Rousydiy (1985) komunikasi efektif adalah komunikasi yang
berhasil mencapai tujuan dengan feedback yang positif, komunikator berhasil
secara efektif memberikan pengertian kepada komunikan, dan komunikan
mempunyai pengertian yang sama mengenai pesan yang diterima, serta
komunikator berhasil merubah tingkah laku komunikan sesuai dengan tujuan yang
diinginkan. Tujuan komunikasi menurut Rudy (2005) ada tiga, yaitu: (1) untuk
mengetahui sesuatu, (2) untuk memberi sesuatu, dan (3) untuk memengaruhi atau
mengarahkan orang lain agar berbuat sesuatu. Fungi komunikasi menurut Widjaja
(2010) salah satunya adalah fungsi sosialisasi yaitu penyampaian
informasi/sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan
bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif, kemudian ia sadar akan fungsi
sosialnya sehingga ia dapat aktif di dalam masyarakat.
Berdasarkan diagram diatas, komponen atau unsur yang menjadi syarat
terjadinya komunikasi yaitu: : (1) source (sumber); (2) communicator (penyampai
pesan); (3) message (pesan); (4) channel (saluran); (5) communican (penerima
pesan); dan (6) effect (hasil) (Widjaja 2010). Selain 6 unsur tersebut, yang
terpenting dalam komunikasi adalah aktivitas sumber informasi dalam
memberikan makna informasi yang akan disampaikan dan aktivitas communican
dalam memaknai informasi yang diterima (Bungin 2008).
Pemaknaan informasi bersifat subjektif dan kontekstual. Subjektif artinya
sumber dan communican memiliki kapasitas untuk memaknai informasi yang
disebarkan atau yang diterimanya berdasarkan pada apa yang ia rasakan, ia yakini,

7
dan ia mengerti serta berdasarkan tingkat pengetahuan kedua pihak. Sedangkan
kontekstual adalah pemaknaan berkaitan erat dengan kondisi waktu dan tempat
dimana informasi itu ada dan dimana kedua belah pihak itu berada. Konteks
sosial-budaya ikut mewarnai kedua pihak dalam memaknai informasi yang
disebarkan dan yang diterima. Oleh karena itu, sebuah proses komunikasi
memiliki dimensi yang sangat luas dalam pemaknaannya, karena dilakukan oleh
subjek-objek yang beragam dan konteks sosial yang majemuk (Bungin 2008).
Berdasarkan diagram alur komunikasi diatas, penelitian ini ingin melihat
alur proses sosialisasi MoU yang terjadi di lapangan. Sosialisasi yang telah
dilakukan oleh lembaga koordinator dan lembaga pendukung sebagai
komunikator kepada nelayan sebagai komunikan. Serta media sosialisasi apa yang
digunakan, pesan yang disampaikan dan apa effect yang dihasilkan dari sosialisasi
yang telah dilakukan.
Hasil dari komunikasi yang kita lakukan (mencapai tujuan atau tidak) dapat
kita lihat (nilai/evaluasi) dari efek (umpan balik) yang ditunjukkan oleh
komunikan. Efek komunikasi merupakan pengaruh yang ditimbulkan dari proses
komunikasi, yakni sikap dan tingkah laku dari komunikan, baik yang sesuai
maupun yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. Apabila
sikap dan tingkah laku komunikan sesuai, dapat diartikan bahwa pesan yang
disampaikan oleh komunikator telah berhasil. Sebaliknya, apabila sikap dan
tingkah laku komunikan tidak sesuai, berarti pesan yang disampaikan belum
memperoleh hasil yang diharapkan. Efek komunikasi dapat dilihat, dinilai,
ditinjau dari: (1) personal opinion (pendapat pribadi) yaitu sikap dan/atau
pendapat seseorang secara pribadi terhadap suatu masalah dan terhadap hal yang
disampaikan; (2) public opinion (pendapat umum) yaitu pendapat atau penilaian
dari masyarakat umum mengenai suatu hal yang penting atas dasar
berlangsungnya pertukaran pikiran yang dilakukan individu-individu secara sadar
dan rasional; dan (3) majority opinion yaitu pendapat sebagian besar dari publik.
Komunikator dapat melihat serta mengukur keberhasilan pesan yang disampaikan
dari berhasil atau tidaknya memperoleh kesepakatan atau dukungan dari sebagian
besar (mayoritas) khalayak. (Rudy 2005).
Efek komunikasi terdiri dari efek yang bersifat kognitif, afektif dan konatif
yang timbul pada diri seseorang atau sejumlah orang sebagai akibat dari
komunikasi yang dilancarkan seseorang kepadanya. Efek kognitif berkaitan
dengan daya pikir dan daya nalar, misalnya menjadi tahu dan paham karena
informasi atau berita, menjadi cerdas karena banyak membaca dan sebagainya.
Efek afektif berkaitan dengan perasaan, misalnya menjadi gembira, bangga, sedih,
terharu, marah, puas, tidak puas disebabkan suatu pesan yang dikomunikasikan
kepadanya. Efek konatif berkaitan dengan dorongan untuk bertindak, adanya
upaya melaksanakan kegiatan (sesuai pesan yang diterima), yang berlanjut
menjadi tindakan dan perilaku (Effendy 2002).
Mengukur efektivitas sosialisasi MoU RI – Malaysia dapat dinilai dari efek
yang bersifat kognitif, afektif dan konatif. Berdasarkan efek kognitif dapat dinilai
pengetahuan dan pemahaman lembaga koordinator, lembaga pendukung dan
nelayan mengenai MoU tersebut. Berdasarkan efek afektif dapat dilakukan
penilaian terhadap perasaan lembaga koordinator, lembaga pendukung, serta
perasaan nelayan (apakah merasa aman dengan adanya MoU). Berdasarkan efek
konatif dapat dilakukan penilaian terhadap lembaga koordinator dan lembaga

8
pendukung, apakah ada upaya untuk menjalankan kewajibannya sebagai pihak
Indonesia dalam MoU tersebut yaitu memberikan sosialisasi, perlindungan dan
pengawasan kepada nelayan Indonesia. Efek konatif bagi nelayan yaitu adanya
upaya untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim
area demi terjaminnya keselamatan dan kesejahteraan nelayan.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian ini dilakukan di Jakarta dan Pelabuhan Perikanan
Samudera Belawan, Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada Bulan Maret
sampai dengan April 2014.

Gambar 3 Peta lokasi penelitian
Alat Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Dokumen MoU RI - Malaysia
Pada penelitian ini dilakukan interpretasi MoU, memahami setiap pasal dalam
MoU terkait dengan pelaksanaannya.
2. Kuisioner
Kuisioner digunakan sebagai panduan dalam wawancara Bakorkamla, Polisi
Air, PSDKP, TNI Angkatan Laut, dan nelayan Indonesia.
3. Data sekunder
Digunakan untuk melihat adakah pelanggaran terhadap MoU RI - Malaysia.

9
Alur Penelitian

Naskah MoU
mMoU
Mulai: Interpretasi MoU

Menentukan: rumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka

Pengumpalan Data dan Informasi:
Data Sekunder:
1. Titik koordinat kapal nelayan Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area
tahun 2014 (PSDKP).
2. Data kapal penangkap ikan dan nelayan Indonesia yang ditangkap aparat Malaysia (PSDKP,
Bakorkamla, TNI AL, Polisi Air).
3. Data kapal penangkap ikan dan nelayan Indonesia yang dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia
(PSDKP dan Bakorkamla).
4. Data nelayan asing yang melakukan operasi penangkapan ikan di overlapping claim area.
5. Data kapal pengawas (Direktorat kapal pengawas PSDKP)
6. Titik koordinat overlapping claim area (PSDKP dan Dishidros TNI AL)
7. Profil nelayan Indonesia yang ditangkap aparat Malaysia (PSDKP)
8. Profil nelayan Indonesia yang dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia (PSDKP)
9. Data banyaknya sosialisasi MoU untuk nelayan Indonesia (Bakorkamla, TNI AL-1 Belawan)
Informasi:
Ya
Tidak
1. Sosialisasi MoU kepada nelayan dan lembaga pendukung oleh Bakorkamla sebagai koordinator dalam
MoU.
2. Pelaksanaan pasal-pasal dalam MoU di lapangan.

MoU tersosialisasikan
dengan baik
Pasal-pasal dalam MoU terlaksana

Pasal-pasal dalam MoU tidak terlaksana

1.

2.

Penanganan lembaga koordinator dan lembaga pendukung Indonesia (Bakorkamla, TNI AL, Polri,
PSDKP) terhadap nelayan kapal ikan Malaysia yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di
overlapping claim area.
Penanganan lembaga koordinator dan lembaga pendukung Malaysia (MKN, APMM, TLDM, Polisi
Maritim Diraja Malaysia, Departemen Perikanan) terhadap nelayan kapal ikan Indonesia yang melakukan
aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area.

Nelayan diusir oleh aparat

Nelayan ditangkap oleh aparat

Tidak terjadi pelanggaran terhadap MoU

Pelanggaran terhadap MoU masih terjadi

Analisis data menggunakan analisis deskriptif : yuridis empiris dan yuridis normatif.

Kesimpulan

Selesai

10
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Cara
pengumpulan data primer berupa informasi yaitu melalui observasi dilapangan
dengan melakukan pengisian kuisioner dan wawancara langsung terhadap nelayan,
Bakorkamla, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan PPS Belawan,
TNI Angkatan Laut, Polisi Air, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pengumpulan data sekunder diperoleh dari lembaga/instansi terkait, buku-buku,
makalah, artikel, jurnal, atau karya pakar.
Aspek yang diteliti yaitu: (1) sosialisasi / penyebarluasan informasi tentang
MoU apakah sudah dilakukan dengan maksimal oleh pemerintah. Peneliti
mengumpulkan data jumlah sosialisasi MoU yang telah dilakukan oleh lembaga
koordinator dan lembaga pendukung sejak tahun 2012 hingga 2014, selain itu
peneliti juga mengumpulkan bahan/materi sosialisasi MoU dari instansi terkait
serta melakukan pengisian kuisioner dan wawancara terbuka kepada responden
terkait dengan pengetahuan tentang MoU; (2) pemahaman pihak dan nelayan
Indonesia terkait semua pasal yang ada dalam MoU. Peneliti mengumpulkan data
jumlah kapal ikan Indonesia dan Malaysia yang ditangkap dan / atau di usir oleh
aparat penegak hukum laut kedua negara sebagai materi untuk menganalisis
responden apakah memahami tujuan MoU dan mekanisme pelaksanaan
dilapangan. Selain itu, peneliti juga mengumpulkan data mengenai sosialisasi
MoU, perlindungan dan pengawasan terhadap nelayan Indonesia di overlapping
claim area sebagai materi untuk menganalisis fungsi lembaga koordinator dan
lembaga pendukung apakah telah memahami MoU tersebut, sehingga efektivitas
sosialisasi dapat terukur dari implementasi pemahaman lembaga koordinator dan
lembaga pendukung. Pengisian kuisioner dan wawancara terbuka dilakukan dalam
pengumpulan data dan informasi terkait dengan pemahaman responden terhadap
MoU; (3) Melihat apakah MoU sudah berhasil dalam menyelesaikan
permasalahan persengketaan di wilayah tumpang tindih tersebut atau perlu
menuntaskan perjanjian bilateral kedua negara. Peneliti mengumpulkan data
jumlah kapal ikan Indonesia yang ditangkap oleh aparat Malaysia dan data jumlah
kapal ikan Malaysia yang di usir oleh aparat Indonesia sebagai materi untuk
menganalisis apakah MoU telah memberikan dampak yang positif dalam
pencegahan terhadap persengketaan di overlapping claim area.

Metode Pengumpulan Data Kuisioner
Metode yang digunakan dalam menentukan responden pada penelitian ini
adalah dengan metode purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik
nonprobability sampling yang memilih orang-orang yang terseleksi oleh peneliti,
berdasarkan ciri-ciri khusus yang dimiliki sampel tersebut yang dipandang
mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya (Narbuko & Abu 2013).
Responden dalam penelitian ini yaitu pihak Indonesia dan nelayan Indonesia
berdasarkan isi MoU tersebut. Pihak Indonesia adalah lembaga koordinator dan
lembaga pendukung dalam nota kesepahaman tersebut. Lembaga koordinator
yaitu Badan Koordinasi Keamanan Laut. Lembaga-lembaga pendukung yaitu

11
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Polisi Air Republik
Indonesia, Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara, serta Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan,
Sumatera Utara.
Responden dari Bakorkamla dengan ciri-ciri yaitu individu yang diberikan
kewenangan oleh pimpinan instansi tersebut untuk terlibat dan berperan aktif
dalam pelaksanaan MoU mulai dari sosialisasi MoU; patroli dan penanganan
nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area;
serta mewakili Bakorkamla dalam rapat koordinasi, rapat teknis dan review
meeting pelaksanaan MoU; satu responden dari Bakorkamla yaitu Kepala Subdirektorat Advokasi Hukum Bakorkamla. Responden dari PSDKP, TNI Angkatan
Laut dan Polisi Perairan dengan ciri-ciri yaitu individu yang diberikan
kewenangan oleh pimpinan instansi tersebut untuk terlibat dan berperan aktif
dalam pelaksanaan MoU mulai dari melakukan pengawasan / patroli di wilayah
barat Indonesia hingga ke overlapping claim area; yang berhak melakukan
penanganan terhadap nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di
overlapping claim area; melakukan sosialisasi MoU (sebagai bagian dari
kewajiban pihak Indonesia dan menjadi lembaga pendukung dalam MoU tersebut).
Responden dari PSDKP berjumlah 6 orang yaitu: Kepala Stasiun PSDKP
Belawan, Kepala Sub-direktorat Logistik Wilayah Barat PSDKP Pusat, Kepala
Seksi Operasional Wilayah Barat PSDKP Pusat, Kepala Bagian Sub- Hukum
PSDKP Pusat, Staff Bidang Penanganan Pelanggaran PSDKP Belawan, dan Staff
Penanganan Barang Bukti dan Alat Kapal PSDKP Pusat. Responden TNI
Angkatan Laut-1 Belawan berjumlah 5 orang yaitu: Kepala Dinas Hukum,
Komandan Pos Radar, Komandan Satuan Keamanan Laut, Komandan Dinas
Potensi Maritim, dan Kepala Sub-dinas Hukum Later (Laut dan Humaniter).
Responden dari Polisi Perairan Sumatera Utara berjumlah 2 orang yaitu: Kabag
Bin Gakkum (Penegakkan Hukum) dan Kabag Bin Opsnal. Responden dari
nelayan memiliki ciri-ciri yaitu: nelayan kapal yang melakukan penangkapan ikan
di atas 12 mil, nelayan kapal yang melakukan penangkapan ikan hingga ke
overlapping claim area berdasarkan data Vessel Monitoring System (VMS), dan
nelayan dengan kapal ikan yang memiliki SLO (Sertifikat Laik Operasi).
Responden dari nelayan berjumlah 8 orang.
Pemilihan responden nelayan oleh peneliti berdasarkan karakteristik
kewenangan jalur penangkapan ikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No.PER.30/MEN-KP/2013, yaitu: kabupaten/kota (0-4 mil) kapal ukuran 5-10 GT,
provinsi (4-12 mil) kapal ukuran 10-30 GT, dan pusat (di atas 12 mil) ukuran
kapal di atas 30 GT. Berdasarkan data jumlah kapal berbagai ukuran dengan jenis
alat tangkap serta kewenangan jalur penangkapan ikan, maka sebanyak 265 kapal
tonase diatas 30 GT yang memiliki kewenangan melakukan penangkapan ikan di
wilayah perairan diatas 12 mil hingga ke ZEEI daerah penangkapan ikan, kapal
yang daerah penangkapan ikannya di Selat Malaka yaitu sebanyak 243 kapal.
Selain berdasarkan jalur penangkapan ikan, peneliti melakukan penelitian
pendahuluan dengan melakukan olah data sekunder lain yaitu data VMS dari
PSDKP Belawan. Pemilihan responden nelayan berdasarkan data VMS PSDKP
Belawan dengan melihat sebaran kapal ikan Indonesia yang sering menangkap
ikan di overlapping claim area, Selat Malaka berdasarkan pantauan VMS PSDKP
Belawan. Berdasarkan data tersebut, kapal ikan Indonesia yang melakukan

12
penangkapan ikan di overlapping claim area, Selat Malaka pada bulan Desember
2013 sampai dengan bulan Maret 2014 sebanyak 9 kapal.
Karakteristik lain yang menunjukkan homogennya sub populasi yaitu
dibuktikan dengan adanya kesamaan pemilik kapal dari 9 kapal tersebut. Tiga
kapal diantaranya merupakan kapal dengan pemilik yang sama, 2 kapal lainnya
dimiliki oleh pemilik yang sama. Selain itu, tingkat pendidikan nelayan yang
masih rendah, rata-rata hanya sampai Sekolah Dasar. Hal ini semakin menguatkan
peneliti untuk memilih responden nelayan berdasarkan karakteristik tersebut.
Karena keterbatasan jumlah kapal dengan tonase diatas 30 GT yang bersandar di
Pelabuhan Belawan serta keseragaman informasi yang didapatkan sehingga
peneliti menilai bahwa 8 responden nelayan cukup mewakili populasi nelayan
dengan karakteristik yang sudah disebutkan. Jumlah responden nelayan disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Wawancara Nelayan Kapal Ikan Indonesia yang menangkap Ikan di Selat
Malaka
Nama Kapal
GT
AT
Sumber Karya
62
Purse Seine
Sumber Jaya
54
Purse Seine
Bintang Selamat
34
Purse Seine
Sumber : Wawancara dan Data SLO PSDKP

SKK
30 mil
60 mil
60 mil

Jumlah ABK
23
28
29

Metode Analisis Data
Penelitian kajian terhadap sosialisasi nota kesepahaman lndonesia Malaysia tentang penangkapan ikan oleh nelayan di wilayah tumpang tindih Selat
Malaka ini menggunakan analisis deskriptif terhadap data-data yang diperoleh,
dengan langkah-langkah atau alat analisis yaitu yuridis normatif dan yuridis
empiris. Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu
menggunakan aspek-aspek normatif melalui metode yang bersifat deskriptif
analisis, yaitu menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan
menghubungkan satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan umum yang
didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus (Soekanto 1986).
Yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan
meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka (Soekanto dan Sri 1995).
Penelitian ini dimulai dengan melakukan interpretasi terhadap pasal-pasal dalam
MoU Indonesia - Malaysia, kemudian menentukan konsekuensi dari setiap pasal
yang telah di interpretasi. Menganalisis hasil pengumpulan data dan informasi
terkait dengan isi MoU tersebut mengenai sosialisasi MoU Indonesia - Malaysia
serta penanganan terhadap nelayan yang melakukan penangkapan ikan di
overlapping claim area. Kemudian, dilakukan penarikan kesimpulan untuk
memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara MoU Indonesia Malaysia dengan peraturan lain dan penerapan dalam pelaksanaannya di lapangan.
Penelitian hukum sosiologis atau yuridis empiris adalah metode penelitian
yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran
dengan menggunakan metode berpikir induktif dan kriterium kebenaran
koresponden serta fakta yang digunakan untuk melakukan proses induksi dan

13
pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang mutakhir (Soekanto
dan Sri 1995). Data primer berupa informasi hasil wawancara dan pengisian
kuisioner di analisis untuk melihat efektivitas pelaksanaan MoU tersebut terhadap
tingkat kepahaman pihak Indonesia dan nelayan Indonesia serta tindakan aparat
terhadap penanganan nelayan yang melakukan penangkapan ikan di overlapping
claim area. Informasi dan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, disajikan
pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3 Informasi penelitian
Informasi

Sumber informasi

Sosialisasi MoU (sumber, pesan
komunikator,
saluran/
media,
komunikan)

Nelayan
Utara

Sumatera

PSDKP, Polisi Air,
TNI AL-1 Belawan,
dan Bakorkamla

Pemahaman tentang makna dan
konsekuensi pasal-pasal dalam MoU
yaitu: (1) memahami tujuan MoU
(data jumlah kapal ikan Indonesia
dan Malaysia yang ditangkap dan
atau di usir oleh aparat penegak
hukum laut kedua negara); (2) fungsi
lembaga koordinator dan lembaga
pendukung (sosialisasi, memberikan
perlindungan dan pengawasan/patroli
di overlapping claim area); serta (3)
memahami mekanisme pelaksanaan
MoU dilapangan (data kapal ikan
Indonesia yang di usir dan di tangkap
aparat Malaysia)
Pelaksanaan aktivitas penangkapan
ikan oleh nelayan dan pengawasan
oleh kedua belah pihak sesuai
dengan pasal-pasal dalam MoU
tersebut (jumlah kasus penangkapan
kapal ikan Indonesia yang di tangkap
oleh aparat Malaysia)
Penilaian terhadap MoU apakah
sudah cukup menyelesaikan dan
mengurangi
permasalahan
persengketaan dalam penangkapan
ikan oleh nelayan.
Rencana
kerja
(kebijakan ke depan)

Bakorkamla

Nelayan
Utara

Sumatera

PSDKP, Polisi Air,
TNI AL-1 Belawan,
dan Bakorkamla

Nelayan
Utara

Sumatera

PSDKP, Polisi Air,
Bakorkamla, dan TNI
AL-1 Belawan
Nelayan
Utara

Sumatera

PSDKP, Polisi Air
dan
TNI
AL-1
Belawan
Bakorkamla

Cara
pengumpulan
Kuisioner dan
wawancara
langsung
Kuisioner,
wawancara
langsung dan
referensi
dokumen
Kuisioner,
wawancara
langsung dan
referensi
dokumen

Cara
pengolahan
Analisis
deskriptif

Kuisioner,
wawancara
langsung dan
referensi
dokumen

Daftar
periksa
melalui
yuridis
empiris,
analisis
deskriptif
Daftar
periksa
melalui
yuridis
empiris

Kuisioner dan
wawancara
langsung

Wawancara

Daftar
periksa
melalui
yuridis
empiris,
analisis
deskriptif

Analisis
deskriptif

14
Tabel 4 Data sekunder penelitian
Data

Sumber data

Cara

Cara

pengumpulan

pengolahan

Isi MoU RI - Malaysia pada tanggal 27
Januari 2012 di Nusa Dua, Bali

PSDKP,
Bakorkamla

Referensi
dokumen

Jumlah Kasus pelanggaran perbatasan
oleh nelayan yang menangkap ikan
Sebaran kapal ikan Indonesia yang
melakukan penangkapan ikan di
overlapping claim area
Data nelayan dan kapal ikan Indonesia
yang ditangkap aparat Malaysia

PSDKP,
Bakorkamla
PSDKP,
Bakorkamla

Referensi
dokumen
Referensi
dokumen (data
VMS)
Referensi
dokumen

Data kapal ikan dan nelayan Indonesia
yang di pulangkan oleh Pemerintah
Malaysia
Data kapal pengawas dan patroli

Titik koordinat overlapping claim area
Profil
nelayan
Indonesia
yang
ditangkap aparat Malaysia
Profil nelayan Indonesia yang di
pulangkan oleh Pemerintah Malaysia

PSDKP, TNI AL,
Bakorkamla, Polisi
Air
PSDKP,
Bakorkamla
Direktorat
Kapal
Pengawas PSDKP,
Polisi Perairan, TNI
AL-1 Belawan, dan
Bakorkamla
Bakorkamla, TNI
AL (Dishidros)
PSDKP
PSDKP

Analisis yuridis
empiris dan
yuridis normatif
Analisis
deskriptif
Analisis
deskriptif
Analisis
deskriptif

Referensi
dokumen

Analisis
deskriptif

Referensi
dokumen

Analisis
deskriptif

Referensi
dokumen
Referensi
dokumen
Referensi
dokumen

Analisis
deskriptif
Analisis
deskriptif
Analisis
deskriptif

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penjelasan Pasal-pasal MoU RI – Malaysia
Memorandum of Understanding antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Malaysia yang disepakati pada tanggal 27 Januari 2012 di Bali,
merupakan solusi sementara dalam menangani permasalahan perbatasan kedua
negara di Selat Malaka. Nota kesepahaman ini merupakan pedoman umum
lembaga penegak hukum di laut dalam menangani nelayan yang melakukan
aktivitas penangkapan ikan di unresolved maritime boundary (semua batas
maritim yang belum terselesaikan oleh kedua pihak).
Penandatanganan MoU pada tanggal 27 Januari 2012, dari Pemerintah
Indonesia diwakili oleh Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan
Laut (Bakorkamla) dan Pemerintah Malaysia diwakili oleh Sekretaris Majelis
Keselamatan Negara (MKN). Nota kesepahaman ini sesuai dengan hukum dan
peraturan kedua negara, terdapat 11 pasal dalam nota kesepahaman ini.
Pasal 1 mengenai tujuan MoU, yaitu sebagai petunjuk dan arahan umum
untuk menetapkan kesepakatan kegiatan tentang isu perikanan kedua belah pihak
dengan memperhatikan jaminan kesejahteraan terhadap nelayan kedua negara.

15
Makna dari kesejahteraan nelayan yaitu tidak ditangkapnya nelayan Indonesia
yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area oleh aparat
Malaysia, begitu juga sebaliknya. Nelayan hanya diusir dari wilayah tersebut oleh
aparat penegak hukum maritim di laut. Apabila nelayan Indonesia ditangkap oleh
aparat Malaysia ketika melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area,
maka aktivitas nelayan dalam operasi penangkapan ikan menjadi terhenti,
sehingga nelayan tidak mendapatkan pendapatan yang menyebabkan tidak
terpenuhinya kebutuhan sehari-hari keluarganya. Hal ini semakin memperburuk
kondisi perekonomian nelayan dan keluarganya, sehingga tidak tercapainya
jaminan kesejahteraan untuk nelayan.
Pasal 2 mengenai prinsip-prinsip pedoman umum MoU, yaitu kedua belah
pihak harus menghindari dan meminimalisir konflik. Jika terjadi konflik maka
harus ada rekonsiliasi (tindakan memulihkan hubungan baik antar pihak-pihak
yang bersangkutan) atau penyelesaian sengketa secara damai. Jika ada kelalaian
atau kesalahan berdasarkan nota kesepahaman tersebut maka tidak mengurangi
perjanjian bilateral yang ada pada batas-batas maritim; negosiasi bilateral yang
dilakukan terhadap delimitasi batas maritim; isu kedaulatan termasuk posisi yang
diambil dalam melakukan penafsiran; penerapan hukum internasional, klaim
maritim territorial, baik dalam bentuk tertulis atau sebaliknya; dan akhir dari
delimitasi batas maritim serta keadilan bagi para nelayan terkait perlakuan aparat
kedua belah pihak.
Pasal 3 mengenai lingkup kegiatan, yaitu acuan dalam melakukan tindakan
penanganan terhadap nelayan kedua belah pihak. Pasal 3A mengenai penyebaran
informasi/sosialisasi MoU harus dilakukan kepada para nelayan dan pengelola
industri perikanan sebagai upaya tindakan pencegahan konflik serta melakukan
patroli terkoordinasi. Pasal 3B mengenai tindakan yang akan dilakukan jika terjadi
insiden pelanggaran yaitu: (1) melakukan pemeriksaan secara langsung dan
meminta semua kapal nelayan untuk segera meninggalkan daerah itu, kecuali bagi
nelayan yang menggunakan alat tangkap ilegal seperti bahan peledak, alat tangkap
dengan menggunakan aliran listrik dan bahan kimia. Jika nelayan yang
menggunakan alat tangkap ilegal tersebut menangkap di overlapping claim area,
maka akan dihukum sesuai dengan hukum nasional aparat yang menangkap
nelayan kapal tersebut; (2) pemberitahuan pemeriksaan dan permintaan
meninggalkan daerah itu, harus dilaporkan dengan segera kepada focal point; dan
(3) melakukan komunikasi secara langsung dan terbuka dengan segera diantara
para lembaga penegak hukum maritim.
Pasal 4 mengenai lembaga-lembaga koordinator dan lembaga pendukung
kedua belah pihak yaitu: (1) lembaga koordinator yaitu lembaga yang
mengkoordinasikan pelaksanaan MoU dari kedua negara. Lembaga koordinator
dari Republik Indonesia yaitu Bakorkamla dan dari Malaysia yaitu MKN; (2)
lembaga dari masing-masing pihak dapat bertemu setiap tahun dan setiap kali
dianggap penting, untuk mengontrol, menilai dan melihat (me