Analisis Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan Bilih Di Danau Toba Dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Keluarga Studi Kasus : Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir

(1)

1

ANALISIS PENDAPATAN USAHA PENANGKAPAN

IKAN BILIH DI DANAU TOBA DAN KONTRIBUSINYA

TERHADAP PENDAPATAN KELUARGA

Studi Kasus : Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir

SKRIPSI

Oleh :

PAGAR D. RICARDO SINAGA

060304007

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(2)

2

ANALISIS PENDAPATAN USAHA PENANGKAPAN

IKAN BILIH DI DANAU TOBA DAN KONTRIBUSINYA

TERHADAP PENDAPATAN KELUARGA

Studi Kasus : Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir

SKRIPSI

Oleh :

PAGAR D. RICARDO SINAGA

060304007

Diajukan kepada

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Untuk Memenuhi sebagian dari Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Derajat

Sarjana Pertanian

Disetujui Oleh :

Komisi Pembimbing,

Ketua,

Anggota,

(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec.)

(Dr. Ir. Salmiah, MS.)

NIP : 195803251985021002

NIP :

195702171986032001

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(3)

3

ABSTRAK

PAGAR D RICARDO SINAGA. 2011. “Analisis Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan Bilih di Danau Toba dan Kontribusinya terhadap

Pendapatan Keluarga”. Studi Kasus di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir.

Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik di Sumatera Utara yang mempunyai nilai sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta ekonomi termasuk usaha penangkapan ikan bilih ini. Ikan bilih berasal dari Danau Singkarak dan diintroduksikan di Danau Toba oleh Tim Peneliti (Dr. Achmad S Sarnita dan Prof. Dr. Endi Setiadi Kartamihardja, MSc.) dari Pusat Riset

Perikanan Tangkap. Seiring pesatnya perkembangan dan pertumbuhan ikan bilih di Danau Toba yang bahkan dinilai lebih tinggi dibandingkan di habitat aslinya, saat ini juga ikan bilih Danau Toba telah tumbuh menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat di sekitar sehingga sering disebut sebagai ”ikan anugerah”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem penangkapan ikan bilih, mengetahui tingkat keuntungan usaha penangkapan, kelayakan usaha, dan untuk mengetahui tingkat persentase kontribusi pendapatan ikan bilih

terhadap pendapatan keluarga di daerah penelitian. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang dari 3 desa yaitu Desa Parsaoran 1, Desa Parlondut dan Desa Pardugul di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem penangkapan yang digunakan adalah dengan lift net dengan rata-rata pendapatan penangkap per 100m2 adalah sebesar Rp 6.479.680,52 dalam 1 tahun dan dengan R/C sebesar 1,6233 maka usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Usaha ini mampu memberikan kontribusi pendapatan rata-rata sebesar 25,29% dari total pendapatan keluarga.


(4)

4

RIWAYAT HIDUP PENULIS

PAGAR D. RICARDO SINAGA lahir di kota Pangururan (Samosir) pada tanggal 04 September 1988. Mulai mengenyam pendidikan dasar pada tahun 1996 di SD Inpres Tanah Lapang No. 174588 Pangururan (kini berubah nama menjadi SD Negeri 3 Pangururan). Pada tahun 2001 masuk ke SLTP Negeri 1 Pangururan. Setelah itu melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Pangururan dan tamat pada tahun 2006. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA, anak pertama dari pasangan Bapak St. R Sinaga dan Ibu T. Sitanggang, SPd. ini langsung

melanjutkan ke jenjang pendidikan S-1 melalui jalur PMP dengan mengambil Program Studi Agribisnis di Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara.

Pada akhir studinya di Program Studi Agribisnis, “Analisis Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan Bilih di Danau Toba dan Kontribusinya terhadap

Pendapatan Keluarga” dipilih sebagai judul skripsi dibawah bimbingan para dosen yaitu Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. dan Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS.


(5)

5

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Yesus Kristus yang dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Pendapatan Usaha

Penangkapan Ikan Bilih di Danau Toba dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Keluarga”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana di Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. dan Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dengan sabar dan tekun selama penulis melaksanakan penelitian sampai selesainya penyusunan hasil penelitian ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang turut setia mendoakan/membantu penulis, teman-teman mahasiswa Departemen Agribisnis FP USU dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang senantiasa mendukung penyelesaian skripsi ini dengan baik.

Akhir kata semoga Yesus Kristus lah yang selalu memberikan rahmat-Nya kepada kita dalam mengejar ilmu dan semoga hasil penelitian ini

bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, Januari 2011 Penulis


(6)

6

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

RIWAYAT PENULIS ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ……….…... 1

1.2. Identifikasi Masalah ………... 7

1.3. Tujuan Penelitian……….…... 7

1.4. Kegunaan Penelitian………...8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN………....9

2.1. Tinjauan Pustaka………..9

2.1.1. Tinjauan Biologi……….…..9

2.1.2. Tinjauan Ekonomi……….….11

2.2. Landasan Teori………...13

2.3. Kerangka Pemikiran……….…..18

2.4. Hipotesis Penelitian……….…...20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………...21

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian………....21

3.2. Metode Penentuan Sampel………...22

3.3. Metode Pengumpulan Data………....23

3.4. Metode Analisa Data……… 23

3.5. Defenisi dan Batasan Operasional……….…... 25

3.5.1. Defenisi……….…… 25

3.5.2. Batasan Operasional………...27

BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PENANGKAP………. 28

4.1. Deskripsi Daerah Penelitian………...…....28

4.1.1. Letak Geografis, Batas dan Luas Wilayah……….... 28

4.1.2. Topografi Wilayah……… 28

4.1.3. Iklim Wilayah………...29


(7)

7

4.2. Karakteristik Para Penangkap/Sampel………... 33

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 35

5.1. Sistem Penangkapan Ikan Bilih...35

5.2. Analisis Pendapatan Usaha Penangkapan...42

5.2.1. Penerimaan Usaha Penangkapan Ikan Bilih... 42

5.2.2. Biaya Produksi... 43

5.2.3. Pendapatan Usaha Penangkapan...45

5.3. Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Ikan Bilih...47

5.3.1. Analisis R/C... 47

5.4. Tingkat Kontribusi Pendapatan Ikan Bilih terhadap Pendapatan Keluarga... 48

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 49

6.1. Kesimpulan... 49

6.2. Saran... 50

DAFTAR PUSTAKA... 51 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

8

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Jumlah Unit Bagan Tangkap Ikan Bilih dan Kecamatan 2009...21

2. Banyaknya Curah Hujan (CH) dan Hari Hujan (HH)...29

3. Komposisi Penduduk... 30

4. Padi Sawah Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Pangururan...32

5. Karakteristik Para Penangkap...33

6. Rata-rata penerimaan Penangkapan per Penangkap dan per 100m2 7. Rata-rata Biaya Produksi Usaha Penangkapan Ikan Bilih...45

...42

8. Rata-rata pendapatan per Penangkap dan per 100m2 9. Total Penerimaan, Biaya dan RC Rasio... 47

per tahun...45

10. Nilai Rata-rata Kontribusi Pendapatan Ikan Bilih terhadap total Pendapatan Keluarga... 48


(9)

9

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Ikan Bilih Segar dari Danau Toba...9

2. Skema Kerangka Pemikiran...19

3. Rangkaian Sulangat/keramba Penangkap Ikan bilih di Danau Toba...36

4. Para penangkap berada di atas rakit...37

5. Rangkaian Katrol di Sulangat...37

6. Suasana Pengangkatan Jaring dari dasar danau...38

7. Hasil tangkapan...38

8. Suasana Pemasaran Ikan Bilih ke toke di pinggir Pantai Danau Toba...40


(10)

3

ABSTRAK

PAGAR D RICARDO SINAGA. 2011. “Analisis Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan Bilih di Danau Toba dan Kontribusinya terhadap

Pendapatan Keluarga”. Studi Kasus di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir.

Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik di Sumatera Utara yang mempunyai nilai sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta ekonomi termasuk usaha penangkapan ikan bilih ini. Ikan bilih berasal dari Danau Singkarak dan diintroduksikan di Danau Toba oleh Tim Peneliti (Dr. Achmad S Sarnita dan Prof. Dr. Endi Setiadi Kartamihardja, MSc.) dari Pusat Riset

Perikanan Tangkap. Seiring pesatnya perkembangan dan pertumbuhan ikan bilih di Danau Toba yang bahkan dinilai lebih tinggi dibandingkan di habitat aslinya, saat ini juga ikan bilih Danau Toba telah tumbuh menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat di sekitar sehingga sering disebut sebagai ”ikan anugerah”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem penangkapan ikan bilih, mengetahui tingkat keuntungan usaha penangkapan, kelayakan usaha, dan untuk mengetahui tingkat persentase kontribusi pendapatan ikan bilih

terhadap pendapatan keluarga di daerah penelitian. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang dari 3 desa yaitu Desa Parsaoran 1, Desa Parlondut dan Desa Pardugul di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem penangkapan yang digunakan adalah dengan lift net dengan rata-rata pendapatan penangkap per 100m2 adalah sebesar Rp 6.479.680,52 dalam 1 tahun dan dengan R/C sebesar 1,6233 maka usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Usaha ini mampu memberikan kontribusi pendapatan rata-rata sebesar 25,29% dari total pendapatan keluarga.


(11)

10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Danau Toba memiliki luas lebih kurang 369.854 Ha, terdiri dari 190. 3124 Ha daratan di Pulau Sumatera (keliling luar danau), 69.280 ha daratan Pulau Samosir (di tengah danau) dan 110.260 ha berupa perairan Danau Toba (luas permukaan). Secara geografis, Ekosistem Kawasan Danau Toba (EKDT) terletak di antara koordinat 2º10’LU–3º0’LU dan 98º20”BT–99º50”BT. EKDT terdapat di Pegunungan Bukit Barisan, Provinsi Sumatera Utara. Menurut wilayah administrasi pemerintahan, EKDT meliputi tujuh Kabupaten yaitu: (1) Kabupaten Tapanuli Utara, (2) Kabupaten Humbang Hasundutan, (3) Kabupaten Toba, (4) Kabupaten Samosir, (5) Kabupaten Simalungun, (6) Kabupaten Karo, dan (7) Kabupaten Dairi. (ITB, 2001 dalam Siregar, A.Z., 2008).

Menurut Siregar, H.D., (2007), Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100 km x 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengah danau terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir. Danau Toba sebagai salah satu danau alami terbesar di Indonesia memiliki potensi alam yang cukup besar untuk meningkatkan perekonomian daerah. Disamping sebagai salah satu andalan objek pariwisata di Sumatera Utara, juga berfungsi sebagai prasarana transportasi air yang menghubungkan beberapa kota yang terletak di pinggiran Danau Toba dengan Pulau Samosir. Selain itu fungsi yang tak kalah penting adalah sebagai sumber air masyarakat serta


(12)

11

pembangkit listrik tenaga air untuk mensuplai kebutuhan energi listrik Industri Alumunium Asahan.

Danau Toba merupakan fungsi sumberdaya air yang mempunyai nilai sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba sebagai habitat berbagai organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitar, sebagai tempat penangkapan ikan dan budidaya ikan dalam keramba jaring apung, kegiatan transportasi air, menunjang berbagai jenis industri seperti kebutuhan air untuk industri pembangkit listrik Sigura-Gura dan Asahan. Tak kalah pentingnya adalah fungsi Danau Toba sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal ke mancanegara dan sangat potensial untuk pengembangan pariwisata di Provinsi Sumatera Utara. (Fitra E., 2008)

Danau Toba dilihat dari asal proses terbentuknya merupakan danau volcano-tektonik yang menurut Van Bemmelen (1949), dikatakan terbentuknya akibat proses tanah terban yang terjadi karena bagian kedalamannya yang berupa magma naik ke permukaan melalui celah tektonik membentuk gunung api. Ruang yang ditinggalkan oleh magma membentuk rongga di dalam kerak bumi dan kemudian beban di permukaannya mengalami terban dan terpotong menjadi beberapa bagian. Bagian yang cukup besar berada pada bagian tengah dengan posisi miring ke arah barat berupa pulau Samosir, dan bagian lain yang posisinya lebih rendah selanjutnya tergenang air permukaan membentuk danau. Erupsi magma di bagian barat yang muncul ke permukaan membentuk gunung api Pusuk Bukit (1981 m) sedangkan di sekeliling bagian yang terban terbentuk dinding terjal atau caldera rim. Luas keseluruhan danau termasuk pulau Samosir adalah 1.810 kilometer


(13)

12

persegi, dengan luas danau lebih dari 1.100 kilometer. (Bapedalda Sumut, 2000 dalam Fitra E., 2008).

Pada beberapa tempat, lahan DTA Danau Toba dimanfaatkan penduduk setempat sebagai lahan usaha tani, walaupun produktifitasnya relatif rendah, tetapi produksi pertanian ini turut memegang peranan dalam menunjang kelestarian lingkungan DTA Danau Toba. Demikian pula dengan adanya keterkaitan hulu-hilir, maka keberadaan Danau Toba terutama dalam pemanfaatan ruangnya memegang peranan penting dalam menjaga kelestarian lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Asahan bagian hilir. Dari fungsi DTA Danau Toba tersebut di atas, yang paling menonjol saat ini adalah pemanfaatan potensi alam sebagai objek wisata yang sangat tergantung pada kelestarian alamnya, serta tenaga massa air outlet Danau Toba untuk PLTA yang sangat tergantung kepada debit air dan fluktuasinya. (Ilyas, D.S., 1998).

Di perairan Danau Toba ini tempo dulu masih dijumpai ikan asli yaitu ikan batak dan pora-pora. Tetapi saat ini sudah jarang bahkan mungkin sudah hilang dan tidak jelas apa penyebabnya. Pada tahun 1996 usaha perikanan di perairan Danau Toba mulai berkembang dalam bentuk Keramba Jaring Apung (KJA) dan hingga saat ini mencapai luas ± 440 ha. Walaupun luas perairan yang digarap baru mencapai 0,4% dari ambang luas dan yang diizinkan sebesar 1% dari luas perairan Danau Toba. (LP Universitas Sumatera Utara, 1999 dalam Sianturi, T., 2004).

Banyak masalah yang timbul, seperti penyebaran lokasi KJA tersebut berada di dalam kawasan daerah wisata. Sebagai contoh terdapat di daerah turis Tomok


(14)

13

yang walaupun dalam jumlah yang sedikit, para wisatawan terutama dari mancanegara sudah terusik dan enggang mandi di perairan tersebut. Demikian juga di kota Haranggaol, sepanjang pantainya penuh dengan KJA sehingga mengganggu sekaligus sebagai kota tujuan wisata potensial di Kabupaten Simalungun dan banyak lagi daerah/kota lain di sekitar Danau Toa dan Pulau Samosir. Dengan demikian sudah terjadi konflik penggunaan/pemanfaatan perairan Danau Toba antara para petani KJA dengan pariwisata. Demikian juga dengan transportasi perairan (perhubungan) dapat terganggu apabila penempatan KJA yang sembarangan. (Sianturi, T., 2004).

Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba mempunyai peranan penting dalam menunjang pembangunan wilayah Propinsi Sumatera Utara. Hal ini ditunjukkan dengan Danau Toba sebagai pusat industri Pariwisata, debit air outlet Danau Toba sebagai sumber tenaga massa air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tangga, PLTA Sigura-gura dan PLTA Asahan, serta sebagai penunjang industri pulp PT Inti Indorayon Utama. Di samping itu, DTA Danau Toba memiliki hutan lindung sebagai penyangga sistem kehidupan dan simpanan plasma nutfah. Perairan Danau Toba dimanfaatkan sebagai media pengembangan perikanan dan sarana transportasi air. (Ilyas, D.S., 1998).

Pada 3 Januari 2003, ikan bilih yang asli danau Singkarak tersebut diintroduksikan di Danau Toba oleh Tim Peneliti (Dr. Achmad S Sarnita dan Prof. Dr. Endi Setiadi Kartamihardja, MSc.) dari Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jakarta. Ikan yang ditebarkan sebanyak 3.400 ekor tersebut telah berhasil berkembang dengan pesat. Pertumbuhan ikan bilih di danau Toba ini bahkan


(15)

14

dinilai lebih tinggi dibandingkan di habitat aslinya. Tidak hanya itu, ikan bilih di danau Toba telah tumbuh menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat di sekitar danau Toba sehingga ikan ini sering disebut sebagai ”ikan anugerah”. (Wibowo, S. 2009).

Ikan bilih (Mystacoleucus pandangensis Blkr.) merupakan ikan khas Danau Singkarak. Ikan pemakan plankton sepanjang 6-12 sentimeter ini hasil dari evolusi selama berjuta-juta tahun di lingkungan danau itu. Ikatan antara ikan ini dengan danaunya sangat erat bahkan sampai belum bisa dibudidayakan di kolam buatan. (Anonimous, 2010).

Mempertimbangkan perkembangan ikan bilih yang cepat dan kondisi lingkungan Danau toba yang sangat sesuai bagi perkembangannya, maka pada tahun selanjutnya hasil tangkapan ikan bilih akan mendominasi total hasil tangkapan ikan di danau ini. Pada tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih yang dicatat oleh enumerator di beberapa tempat pendaratan ikan menunjukkan hasil tangkapan sebesar 653,6 ton atau 14,6% dari total hasil tangkapan ikan sebesar 4.462 ton. Sedangkan total potensi produksi ikan yang ditaksir berdasarkan produktivitas primer perairannya berkisar antara 2.519-7.309 ton/tahun. Hasil tangkapan ikan bilih tersebut berada pada urutan ketiga setelah tangkapan ikan mujair dan nila. Dengan rata-rata harga jual ikan bilih sebesar Rp 6.000, diperkirakan nilai hasil tangkapan pada tahun 2005 tersebut mencapai 3.9 milyar rupiah. (Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008).


(16)

15

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan dan pedagang ikan pada bulan April 2008 diperoleh informasi bahwa aktivitas penangkapan ikan bilih mulai tinggi pada tahun 2007. Pada saat itu, pedagang pengumpul yang datang dari Kota Pekanbaru, Riau mulai berdatangan dan bersedia menampung ikan hasil tangkapan nelayan di beberapa sentra produksi seperti di Tigaraja, Parapat, Tongging, Bakara di Porsea, Balige dan daerah lainnya. (Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008).

Di pasar Tigaraja setiap hari didaratkan antara 1,5-2 ton ikan bilih yang dijual ke pedagang pengumpul untuk kemudian diangkut dalam bentuk segar menggunakan kotak plastik kapasitas 50-60 kg ke Pekanbaru. Rata-rata harga ikan bilih yang dibeli pedagang pengumpul dari nelayan paling tinggi yaitu Rp 4.000,- jika dibandingkan dengan tempat pendaratan lainnya. Prakiraan pendapatan kotor nelayan di sekitar Parapat ini antara 200-300 ribu rupiah per hari atau sekitar 6-6.9 juta rupiah per bulan. Tingkat pendapatan yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata tingkat pendapatan nelayan pada umumnya yang hanya kurang dari 800 ribu rupiah per bulan. (Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008).

Seiring pesatnya perkembangan dan pertumbuhan ikan bilih di Danau Toba yang bahkan dinilai lebih tinggi dibandingkan di habitat aslinya, saat ini juga ikan bilih Danau Toba telah tumbuh menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat di sekitar sehingga sering disebut sebagai ”ikan anugerah”. Hal ini membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh tentang Analisis Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan Bilih di Danau Toba dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Keluarga di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir.


(17)

16

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, berikut ini akan diindentifikasikan beberapa permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem penangkapan ikan bilih oleh para penangkap di daerah penelitian?

2. Apakah usaha penangkapan ikan bilih menguntungkan dilakukan di daerah penelitian?

3. Bagaimana kelayakan usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian? 4. Berapa besar kontribusi pendapatan ikan bilih terhadap pendapatan keluarga?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan tersebut, maka tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana sistem penangkapan ikan bilih di daerah penelitian.

2. Untuk mengetahui tingkat keuntungan usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian.

3. Untuk mengetahui kelayakan usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian.

4. Untuk mengetahui tingkat persentase kontribusi pendapatan ikan bilih terhadap pendapatan keluarga.


(18)

17

1.4. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan tersebut, maka kegunaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak-pihak yang ingin membuat usaha penangkapan ikan bilih.

2. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat di kawasan Danau Toba yang menangkap dan mengusahakan ikan bilih di Danau Toba.


(19)

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

Perikanan ialah segala usaha penangkapan, budidaya ikan serta pengolahan sampai pemasaran hasilnya. Penangkapan adalah kegiatan menangkap atau mengumpulkan ikan/binatang air lainnya/tanaman liar yang hidup di laut/perairan umum secara bebas dan bukan/milik perseorangan. (Mubyarto, 1994). Perikanan berdasarkan tempat ekosistemnya terbagi 2 yaitu; perikanan laut (bersifat ekstraktif) dan perikanan darat di air tawar (bersifat budidaya). Pada perikanan darat ini ada juga yang bersifat ekstraktif yaitu penangkapan di perairan umum. (Tarigan K. dan Lily Fauzia, 2006).

2.1.1. Tinjauan Biologi

Ikan bilih atau dalam bahasa ilmiah disebut Mystacoleucus padangensis Bleeker adalah ikan endemik yang hidup di Danau Singkarak, Sumatera Barat. (Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008).


(20)

19

Bentuk badan ikan bilih sangat mirip dengan kerabatnya, ikan genggehek (Jawa Barat) atau wader (Jawa Tengah dan Timur), yaitu Mystacoleucus marginatus yang banyak terdapat di perairan umum Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Ikan ini juga mirip dengan ikan wader cakul (Jawa Tengah dan Timur), beunteur (Jawa Barat) atau pora-pora (Sumatera Utara), yaitu Pontius binotatus. Oleh karena sejak tahun 1990-an, ikan pora-pora di Danau Toba tidak pernah tertangkap lagi, maka masyarakat sekitar Danau tersebut menyebut ikan bilih sebagai ikan pora-pora yang sebenarnya adalah ikan bilih terus melekat dan populer sampai sekarang. (Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008).

Ikan bilih melakukan reproduksi atau pemijahan dengan cara menyongsong aliran air di sungai yang bermuara di danau. Induk jantan dan betina berruaya ke arah sungai dengan kecepatan arus air ke arah sungai berkisar antara 0,3-0,6 m/detik dan dangkal dengan kedalama air antara 10-20 cm. Habitat pemijahan ikan bilih adalah perairan sungai yang jernih dengan suhu air relatif rendah, berkisar antara 24,0-26,0°C, dan dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir. Dalam hal ini, faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus air dan substrat dasar. Ikan bilih menuju ke daerah pemijahan menggunakan orientasi visual dan insting. Sesampainya di habitat pemijahan tersebut, ikan bilih betina melepaskan telur dan bersamaan dengan itu juga ikan jantan melepaskan sperma untuk membuahi telur tersebut. Telur ikan bilih yang telah dibuahi berwarna transparan dan tenggelam berada di dasar sungai untuk kemudian hanyut terbawa arus air masuk ke danau. (Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008).


(21)

20

Telur-telur tersebut akan menetas di danau sekitar 19 jam setelah dibuahi pada suhu air antara 27,0-28,0°C dan larvanya berkembang di danau menjadi dewasa. Populasi ikan bilih memijah setiap hari sepanjang tahun, mulai dari sore hari sampai dengan pagi hari. Puncak pemijahan ikan bilih terjadi pada pagi hari mulai jam 5.00 sampai 9.00, seperti diperlihatkan dengan banyaknya telur yang dilepaskan. Pemijahan ikan bersifat parsial, yakni telur yang telah matang kelamin tidak dikeluarkan sekaligus tetapi hanya sebagian saja dalam satu periode pemijahannya. Jumlah telur yang dikeluarkan (fekunditas) ikan bilih berkisar antara 3.654-14.561 butir telur dengan rata-rata 7.580 butir per induk. (Kartamihardja, E.S., 2009)

Masalah Penanganan Ikan Segar

Proses kerusakan ikan berlangsung cepat di daerah beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi. Proses tersebut makin dipercepat dengan praktek-praktek pemanenan yang tidak baik, cara penanganan yang kurang tepat, sanitasi dan higiena yang tidak memadai, terbatasnya sarana distribusi dan sistem pemasaran, dan sebagainya. Masalahnya, di negara-negara berkembang tropis seperti Indonesia, seringkali ikan ditangkap dan didaratkan tanpa pemberian es yang memadai. (Wibowo, S. 2009).

2.1.2. Tinjauan Ekonomi

Sistem dan usaha agribisnis yang sedang dipromosikan adalah sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing tinggi. Hal ini dapat dicirikan dengan efisiensi yang tinggi mampu merespon perubahan pasar secara cepat dan efisien, menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, menggunakan inovasi teknologi sebagai sumber


(22)

21

pertumbuhan dan produktivitas dan nilai tambah. Hal ini dapat disikapi dengan pembangunan industri hulu dan industri hilir pertanian yang dapat memperbaiki sistem dan prospek pertanian ke arah yang berpotensi positif. (Daniel, 2002).

Menurut Sunarno, MD. (2008), pentingnya ikan bagi manusia, yaitu:

− Ketahanan Pangan,

a. Ikan mengandung protein tinggi (40-70%) dan kolesterol rendah. b. Ikan mudah diperoleh karena kelayakan air melimpah di negara tropis

− Mata pencaharian masyarakat,

− Pendapatan masyarakat dan pemerintah,

a. Kebutuhan manusia kompleks dan perlu adanya transaksi antar individu atau kelompok,

− Peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Diversifikasi pemanfaatan ikan bilih perlu dilakukan untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Tak hanya sekedar dipasarkan dalam bentuk basah atau dikeringkan saja, tetapi dapat juga diolah menjadi berbagai produk lain. Teknologi yang diperlukan cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Jika produk-produk semacam ini dapat dikembangkan, maka dapat dijadikan produk spesifik dan andalan daerah. Terlebih Danau Toba adalah daerah wisata yang sangat terkenal di dalam maupun di luar negeri. (Purnomo, K., 2009).

Menurut Wibowo, S (2009) ada beberapa cara pengolahan yang dapat dilakukan pada ikan bilih, antara lain:

a. Pengeringan ikan bilih (pengasinan) b. Pengolahan dendeng ikan bilih


(23)

22 c. Pengolahan bakso ikan bilih d. Pengolahan kerupuk ikan bilih e. Pengolahan ikan bilih.

2.2. Landasan Teori

Usahatani adalah kegiatan mengorganisasi (mengelola) aset dan cara dalam pertanian. Usaha pertanian lebih diartikan sebagai suatu modal besar dan mempunyai tenaga administrasi disamping membutuhkan atau membayar tenaga kerja lapangan. Kegiatan ini dikelola dengan tujuan utama mencari keuntungan semaksimal mungkin. (Daniel, 2002).

Menurut Soekartawi (2002), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual.

TR = Y . Py Dimana : TR = Total Penerimaan

Y = Produksi yang diperoleh Py = Harga jual Y

Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pd = TR-TC

Dimana: Pd = Pendapatan Usahatani TR = Total Penerimaan TC = Total Biaya

Biaya usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua yaitu : biaya tetap (fixed

cost dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap ini umumnya didefenisikan


(24)

23

produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi, besar biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Biaya tetap ini beragam dan kadangkala tergantung dari peneliti apakah mau memberlakukan variabel itu sebagai biaya tetap atau biaya variabel. Disisi lain, biaya variabel biasanya didefenisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. (Soekartawi, 1995).

Untuk mengetahui kelayakan usaha penangkapan ikan bilih ini dianalisis dengan metoda analisis R/C. Secara teoritis dengan rasio R/C = 1 artinya tidak untung dan tidak rugi. Namun karena adanya biaya usahatani yang kadang-kadang tidak dihitung, maka kriterianya dapat diubah menurut keyakinan si peneliti. (Soekartawi, 2002).

Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis anggaran parsial. Indikator analisis yang dipakai adalah R/C yang merupakan singkatan dari Return Cost

Ratio. Soekartawi (1995) menyebutkan bahwa R/C ratio adalah perbandingan

(nisbah) antara penerimaan dan biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut :

Py . Y RC Ratio =

TC R = Py.Y

TC = FC + VC

Keterangan :

R = Penerimaan Y = Jumlah Produksi/tangkapan TC = Biaya Total FC = Biaya tetap (fixed cost)


(25)

24 Kriteria : a > 1 maka dikatakan layak,

a < 1 maka dikatakan tidak layak dan

a = 1 maka dikatakan impas (tidak untung maupun merugi)

Strategi pengembangan perikanan yang berwawasan agribisnis pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis, merupakan suatu upaya sangat penting untuk mencapai tujuan, yaitu :

a. Menarik dan mendorong munculnya industri baru di sektor perikanan. b. Menciptakan struktur perekonomian yang tangguh, efisien, efektif dan

fleksibel.

c. Menciptakan nilai tambah. d. Menciptakan penerimaan devisa.

e. Menciptakan lapangan kerja. (Pusat Riset Perikanan Budidaya, 2000).

Menurut Kartamihardja, E.S. (2009), ada beberapa alasan mengapa ikan bilih hidup, tumbuh dan berkembang pesat di Danau Toba, yaitu karena:

a. Di danau toba tersedia makanan ikan bilih yang berupa pankton, detritus dan sisa pakan dari budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) yang cukup melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal oleh ikan lain,

b. Ikan bilih termasuk ikan benthopelogis, yaitu jenis ikan yang dapat memanfaatkan jenis makanan yang berada di dasar perairan (benthic) maupun di lapisan tengah dan permukaan air (pelagic).

c. Ikan bilih tidak berkompetisi makanan dan ruang dengan ikan lain di danau Toba seperti ikan mujair, mas, nila dan lainnya.

d. Menggantikan ikan pora-pora yang populasinya sudah menurun/tidak tertangkap lagi sejak 1990.


(26)

25

e. tempat hidup ikan bilih 10 kali lebih luas dibanding di Danau Singkarak. f. Tempat pemijahan ikan bilih yang berupa sungai yang masuk ke Danau

Toba (191 sungai) 30 kali lebih banyak dari sungai yang masuk ke Danau Singkarak (6 sungai).

Menurut Purnomo, K. (2009), ikan bilih pada umumnya ditangkap di daerah sekitar muara-muara sungai, misalnya: sungai Sipiso-piso (Tongging), sungai Naborsahan (Ajibata), sungai Sisodang (Tomok), sungai Simangira dan sungai Silang (Bakara), sungai di Hatinggian (Balige) dan sungai di daerah Silalahi II.

Menurut Purnomo, K. (2009) juga, ada beberapa alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan bilih yaitu; gillnet/jaring insang/doton (ukuran mata jaring 1,25 inci), bubu, jala, pancing, bagan/sulangat, setrum, racun/tuba, bahan peledak/bom dan lainnya. Adapun tujuan pengelolaan perikanan tangkap adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan produksi dalam keadaan mantap yaitu mendekati tingkat potensi produksi ikannya dan melestarikan lingkungan sumber daya ikan.

Ada beberapa teknik dalam pengelolaan perikanan tangkap di Danau Toba menurut Purnomo, K (2009), yaitu :

a. Penetapan suaka perikanan di muara-muara sungai seperti Sungai Sipangolu, Sungai Sipiso-piso, Sungai Sisodang dan Sungai Naborsahan untuk melindungi ikan bilih yang memijah.

b. Pengaturan alat tangkap baik jenis maupun jumlahnya

c. Pengaturan ukuran ikan bilih yang tertangkap, misal tidak boleh berukuran lebih kecil dari 8 cm.


(27)

26

d. Pengembangan penanganan hasil tangkapan untuk meningkatkan nilai tambah produk dan pemasaran.

e. Pengembangan kelembagaan kelompok nelayan.

Menurut Purnomo K (2009), pengaturan penangkapan yang ramah lingkungan di Danau Toba meliputi :

a. Pembatasan ukuran mata jaring (minimal 2 inci) yang bertujuan agar tangkapan maksimum dan kelestarian stok ikan terjamin,

b. Pelarangan waktu dan lokasi penangkapan (kaitannya dengan musim pemijahan kebanyakan ikan dan daerah perlindungan yang merupakan tempat pemijahan ikan),

c. Penerapan sistem lisensi (perjanjian menggunakan alat tangkap),

d. Pemasangan alat tangkap harus sesuai dengan tata ruang pemanfaatan perairan (misalnya: jangan memasang alat tangkap doton dan bagan di jalur transportasi yang telah ditetapkan, dekat lokasi wisata/hotel),

e. Tidak boleh menggunakan alat tangkap yang sifatnya mencegat secara total ruaya ikan bilih ke hulu,

f. Tidak boleh menangkap ikan memakai alat setrum/aliran listrik, racun/tuba dan bahan peledak,

g. Tidak boleh memasang doton dan atau bagan dengan mata jaring kurang dari 2 inci,

h. Jangan menangkap ikan di daerah suaka.


(28)

27

2.3. Kerangka Pemikiran

Analisis usaha penangkapan ikan bilih di Danau Toba adalah analisis mengenai kelayakan pengelolaan perikanan tangkap untuk meningkatkan dan mempertahankan produksi dalam keadaan baik yaitu mendekati tingkat potensi produksi ikannya dan melestarikan lingkungan sumber daya ikan. Usaha penangkapan ikan bilih ini cukup prospektif, karena merupakan primadona baru dalam dunia perikanan di Danau Toba yang memiliki nilai jual yang istimewa. Hal ini didukung karena kini ikan ini sudah langka di daerah asal.

Karena dianggap datangnya tiba-tiba, produksi ikan bilih melejit pada tahun 2005 ikan bilih ini dianggap sebagai ikan ”anugerah” yang tumbuh menjadi salah satu penopang utama ekonomi masyarakat. Masalah pun muncul seiring dengan upaya eksploitasibesar-besaran yang dilakukan oleh nelayan tanpa mengindahkan kelestariannya. (Wibowo, S. 2009).

Adapun tujuan pengelolaan perikanan tangkap adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan produksi dalam keadaan baik yaitu mendekati tingkat potensi produksi ikannya dan melestarikan lingkungan sumber daya ikan.

Skema kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2 yang ada di bawah ini.


(29)

28

Keterangan : menyatakan hubungan/pengaruh

Gambar 2. Skema kerangka pemikiran

Layak Tidak Layak

Ikan Bilih

Pasar

Sistem Penangkapan Ikan Bilih

Tingkat Produksi Tangkapan Ikan Bilih

Kelayakan Usaha: (Analisis R/C)

Pendapatan Ikan Bilih Penerimaan Ikan Bilih

Harga

Biaya Penangkapan

Kontribusi terhadap Total Pendapatan Keluarga (%)


(30)

29

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori dan identifikasi masalah-masalah penelitian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian, yaitu:

1. Usaha penangkapan ikan bilih layak dijalankan di daerah penelitian.


(31)

30

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penentuan daerah dilakukan secara Purposive Sampling (sengaja) yaitu di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir dengan pertimbangan bahwa di daerah penelitian terdapat kegiatan penangkapan ikan bilih, dekat dengan pusat pasar, ibu kota kabupaten dan merupakan salah satu tempat dengan jumlah unit bagan tangkap ikan bilih terbesar di Kabupaten Samosir di samping kecamatan Simanindo. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1. Jumlah Unit Bagan Tangkap Ikan Bilih dan Kecamatan 2009 No. Kecamatan Bagan Tangkap

(Unit)

1 Sianjur Mula-mula 10

2 Harian 5

3 Sitio-tio 12

4 Onan Runggu 28

5 Nainggolan 23

6 Palipi 30

7 Ronggur ni Huta -

8 Pangururan 138

9 Simanindo 269

Sumber : Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Samosir (tahun 2009)

Kecamatan Simanindo merupakan daerah dengan jumlah bagan tangkap ikan bilih terbesar yaitu 269 unit, namun peneliti tidak memilih daerah ini karena letak daerahnya yang terlalu jauh dari Kota Pangururan (faktor biaya penelitian), disusul dengan Kecamatan Pangururan sebesar 138 unit. Kecamatan Ronggur ni Huta terletak di dataran tinggi dan cukup jauh dari kawasan Danau Toba, sehingga tidak terdapat kegiatan penangkapan ikan bilih di daerah ini.


(32)

31

3.2. Metode Penentuan Sampel

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penentuan sampel yang disebut sebagai metode Simple Random Sampling (sampel random sederhana) dimana semua individu dalam populasi diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Responden yang dapat dijadikan sebagai sampel harus memenuhi kriteria sampel yaitu para penangkap ikan bilih harus memiliki alat tangkap ikan bilih, menangkap/mengusahakan ikan bilih dan berada di dalam kecamatan Pangururan. Adapun jumlah populasi penangkap ikan yang menangkap ikan bilih di Kecamatan Pangururan ini adalah sebanyak 138 orang penangkap.

Sampel yang diambil adalah sebanyak 30 sampel yaitu 22% dari populasi penangkap ikan bilih. Hal ini sesuai dengan teori Bailey yang menyatakan bahwa untuk penelitian yang menggunakan analisis statistik, ukuran responden minimal adalah 30 sampel (Hasan, 2002).

Sampel ditarik dari kelompok populasi, tetapi tidak semua anggota kelompok populasi menjadi anggota sampel. (Nazir, 2003).

Sampel tersebut diperoleh dari 3 desa, yaitu; Desa Parsaoran 1, Desa Parlondut dan Desa Pardugul. Ketiga desa ini dipilih karena merupakan desa-desa yang bertetangga, jadi masih terdapat hubungan yang erat dalam sistem penangkapan ikan bilih di daerah penelitian. Ketiga desa ini juga dipilih karena ditemukan sampel yang telah memenuhi kriteria umur 1-5 tahun lamanya usaha penangkapan.


(33)

32

3.3. Metode Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui wawancara kepada para penangkap ikan bilih dan toke pengumpul dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner), pengamatan dan diskusi di lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait serta literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4. Metode Analisa Data

Untuk menganalisa masalah (1) yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu dengan mengamati bagaimana sistem penangkapan ikan bilih di daerah penelitian.

Untuk menganalisa masalah (2), yang digunakan adalah metode analisis pendapatan. Secara matematik dapat ditulis:

TR = Y . Py Dimana:

TR = Total revenue /penerimaan(Rp) Y = Produksi yang diperoleh (Kg) Py = Harga Y (Rp)

Metode analisis ini menggunakan data yang diperoleh langsung di daerah penelitian dengan membuat aliran dana jumlah penerimaan dan pengeluaran biaya dalam usaha penangkapan ikan bilih yang ada di daerah penelitian.


(34)

33

Untuk menganalisa masalah (3) menggunakan analisis studi kelayakan untuk mengetahui layak atau tidak layaknya suatu usaha. Analisis kelayakan ini menggunakan analisis Return Cost ratio (R/C) yang merupakan perbandingan antara total penerimaan (TR) dengan total biaya (TC). Secara matematik rumusnya sebagai berikut:

TR RC Ratio =

TC Kriteria keputusan:

a. R/C > 1 maka usaha ini layak untuk dikembangkan,

b. R/C = 1 maka usaha ini layak tapi tidak menguntungkan (mengalami titik impas),

c. R/C < 1 maka usaha ini tidak layak untuk dkembangkan.

Untuk menganalisa masalah (4), yang digunakan adalah rumus persentase kontribusi pendapatan, secara matematik ditulis:

Dimana :

K = Persentase kontribusi pendapatan ikan bilih terhadap pendapatan keluarga.

Yi = Total pendapatan ikan bilih Yk = Total pendapatan keluarga.


(35)

34

3.5. Definisi dan Batasan Operasional

Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman mengenai pengertian tentang istilah-istilah dalam penelitian, maka dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut:

3.5.1 Defenisi

1) Ikan bilih merupakan ikan endemik danau Singkarak, Sumatera Utara yang diintroduksikan ke Danau Toba pada tahun 2003, pemakan plankton, sepanjang 6-12 sentimeter, umumnya ditangkap nelayan di daerah sekitar muara-muara sungai.

2) Karakteristik Penangkap ikan bilih meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman/lamanya menangkap, jumlah tanggungan, curahan tenaga kerja, ukuran sulangat dan modal usaha penangkapan ikan bilih.

3) Umur adalah usia sampel penangkap ikan bilih berdasarkan tanggal lahirnya masing-masing.

4) Tingkat pendidikan diukur berdasarkan lamanya pendidkan formal yang ditempuh oleh sampel.

5) Pengalaman adalah lamanya sampel menekuni usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian.

6) Jumlah tanggungan merupakan jumlah anggota keluarga yang masih ditanggung oleh sampel.

7) Curahan tenaga kerja merupakan banyaknya tenaga kerja yang digunakan dalam setiap tahap penangkapan ikan bilih.

8) Ukuran sulangat yaitu ukuran alat tangkap yang dibuat oleh sampel untuk menangkap ikan bilih dengan satuan luas m2.


(36)

35

9) Modal usaha yaitu seluruh dana dan input yang dikeluarkan oleh sampel untuk menjalankan usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian.

10) Sistem penangkapan ikan bilih merupakan sistem yang digunakan untuk menangkap ikan bilih di danau toba, pada umumnya ditangkap di muara-muara sungai. Alat angkap yang digunakan berupa gillnet/doton, bubu, jala, pancing, bagan/sulangat dan lainnya.

11) Pasar merupakan segala bentuk area (tempat dalam arti luas) yang membentuk hubungan yang bebas antara penjual dan pembeli ikan bilih, hubungan itu menimbulkan/menghasilkan harga yang beragam hingga terbentuk suatu harga keseimbangan.

12) Tingkat pendapatan (keuntungan) merupakan selisih antara jumlah penerimaan dan semua biaya dalam penangkapan hingga pemasaran ikan bilih di danau toba.

13) Total biaya adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi ikan bilih hingga ke pasar.

14) Analisis Return Cost ratio (R/C) merupakan perbandingan antara total penerimaan (revenue) dengan total biaya (cost).

15) Fekunditas secara umum berarti kemampuan untuk bereproduksi yaitu laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi berdasarkan jumlah gamet, biji ataupun propagula aseksual yang berada di bawah kontrol genetik maupun lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu spesies.


(37)

36

16) Ikan Endemik adalah ikan yang hanya mampu hidup dalam geografis yang terbatas. Misalnya ikan bilih, yaitu ikan endemik yang hidup di Danau Singkarak.

17) Introduksi ikan merupakan salah satu alat pengelolaan perikanan yang telah lama dan banyak dilakukan di perairan umum baik danau, waduk dan genangan air lainnya yang didahului dengan kajian ilmiah yang memadai sehingga tidak berdampak negatif terhadap populasi ikan asli di perairan yang akan ditebari.

3.5.2. Batasan Operasional

Adapun batasan operasional adalah sebagai berikut :

1) Sampel diperoleh dari daerah penelitian yaitu: Desa Parsaoran 1, Desa Parlondut dan Desa Pardugul di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir.

2) Waktu penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2010.


(38)

37

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

DAN KARAKTERISTIK PENANGKAP

4.1. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1.1. Letak Geografis, Batas dan Luas Wilayah

Kecamatan Pangururan merupakan salah satu kecamatan di kabupaten samosir. Kabupaten ini baru dimekarkan dari Kabupaten Toba Samosir sesuai UU RI No. 36 tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kecamatan Pangururan berada pada 20 32’ - 20 45’ Lintang Utara dan 980 42’ - 980 47’ Bujur Timur.

Kecamatan Pangururan memiliki luas daerah 121.43 km2. Kabupaten Samosir diapit oleh 7 (tujuh) Kabupaten yaitu:

- sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Simanindo, - sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Ronggur Nihuta, - sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Palipi,

- sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sianjur Mulamula.

4.1.2. Topografi Wilayah

Kecamatan Pangururan terletak pada wilayah dataran tinggi, yaitu berada pada ketinggian 50.37 meter di atas permukaan laut, dengan topografi dan kontur tanah yang beraneka ragam yaitu datar, landai, miring dan terjal. Struktur tanahnya labil dan berada pada wilayah gempa tektonik dan vulkanik.


(39)

38

4.1.3. Iklim Wilayah

Kabupaten Samosir tergolong ke dalam daerah beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 170C – 290C dan rata-rata kelembaban udara 85,04 persen.

Tabel 2. Banyaknya Curah Hujan (CH) dan Hari Hujan (HH) di Stasiun Pengamatan Palipi Menurut Bulan, tahun 2007

Sumber : UPTD Pertanian dan Ketahanan Pangan Kecamatan Pangururan Tahun 2007

Dari tabel ini dapat diketahui bahwa di Kecamatan Pangururan umumnya hujan turun pada bulan Agustus hingga Desember setiap tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November sebesar 193 mm dan hari hujan terlama terjadi pada bulan Oktober yaitu selama 22 hari. Curah hujan dan hari hujan ini sangat berpengaruh terhadap jumlah tangkapan ikan bilih karena memiliki hubungan yang sejajar terhadap jumlah hasil tangkapan.

Tingginya curah hujan akan membuat aliran pada sungai. Ikan bilih dewasa bergerombol menyongsong aliran sungai dan akan memijah disana. Telur yang telah dibuahi akan terbawa aliran air ke danau dan menetas menjadi larva, tumbuh jadi ikan muda sampai dewasa di danau. Semakin tinggi tingkat pemijahan maka produksi ikan di danau juga akan meningkat.

Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan (HH)

Januari - -

Februari - -

Maret - -

April - -

Mei - -

Juni - -

Juli - -

Agustus 94 12

September 148 10

Oktober 181 22

November 193 18

Desember 97 15


(40)

39

4.1.4. Keadaan Penduduk

Komposisi Penduduk menurut Umur

Jumlah penduduk di Kecamatan Pangururan pada tahun 2007 berjumlah 29.990 orang. Untuk lebih jelasnya mengenai komposisi penduduk di Kecamatan Pangururan menurut jenis kelamin, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Rasio Jenis Kelamin dan Desa/Kelurahan tahun 2007.

No Desa/Kelurahan Laki-laki Perempuan Jenis Kelamin/Sex Jumlah

1 Rianiate 1318 1319 2637

2 Parmonangan 452 485 937

3 Huta Namora 694 778 1472

4 Pintusona 673 622 1295

5 Huta tinggi 506 532 1038

6 Pardomuan 1 1695 1818 3513

7 Pasar Pangururan 1204 1127 2331

8 Tanjung Bunga 1017 948 1965

9 Siogung-ogung 639 596 1235

10 Parsaoran 1 503 548 1051

11 Sait Nihuta 341 371 712

12 Lumban Pinggol 263 281 544

13 Sianting-anting 310 355 665

14 Parlondut 314 357 671

15 Aek Nauli 197 222 419

16 Pardugul 334 396 730

17 Panampangan 303 339 642

18 Sitoluhuta 342 364 706

19 Sinabulan 255 258 513

20 Siopat Sosor 261 286 547

21 Huta Bolon 299 312 611

22 Situngkir 347 369 716

23 Sialanguan 214 256 470

24 Parhorasan 323 347 670

25 Pardomuan Nauli 202 216 418

26 Lumban Suhi-suhi Dolok 614 591 1205

27 Lumban Suhi-suhi Toruan 865 881 1746

28 Parbaba Dolok 275 256 531

Total: 14760 15230 29990

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Samosir - Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun 2007


(41)

40

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa penduduk terbesar terdapat di desa Pardomuan 1, yaitu sebanyak 3.513 orang dengan komposisi laki-laki sebanyak 1.695 orang dan perempuan sebanyak 1.818 orang. Penduduk terkecil terdapat di desa Pardomuan Nauli, yaitu hanya sebanyak 419 orang.

Untuk ketiga daerah penelitian yaitu Desa Parsaoran 1, Desa Pardugul dan Desa Parlondut berturut-turut total penduduknya yaitu sebanyak 1051 orang, 730 orang dan 671 orang. Ketiga desa ini merupakan desa yang bertetangga/berdekatan, sehingga masyarakatnya memiliki hubungan historis dan kekeluargaan yang harmonis.

Deskripsi Penduduk Desa menurut Mata Pencaharian

Kecamatan Pangururan terdiri atas 28 desa/kelurahan. Di daerah ini terdapat beberapa sumber mata pencaharian masyarakat yaitu bertani, nelayan, guru, bertenun ulos, supir, bertukang (ahli bangunan), PNS dan lainnya. Tetapi pada umumnya, masyarakat di Kecamatan Pangururan memilih mengusahakan pertanian sebagai mata pencaharian utama.

Tanaman padi merupakan komoditi yang terbesar dibudidayakan petani disana setiap tahunnya. Dalam 5 tahun terakhir, tanaman bawang sudah tidak layak lagi diusahakan karena rendahnya produktifitas akibat cuaca yang tidak menentu dan hama penyakit yang sulit untuk diberantas.

Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah luas panen padi sawah pada seluruh desa atau kelurahan di dalam Kecamatan Pangururan, disajikan pada tabel di bawah ini:


(42)

41

Tabel 4. Padi Sawah Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Pangururan tahun 2007

No. Desa/Kelurahan Luas panen (ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ton/ha)

1. Rianiate 46 248 5,39

2. Parmonangan 24 116 4,83

3. Huta Namora 62 339 5,47

4. Pintu Sona 17 92 5,41

5. Huta Tinggi 17 92 5,41

6. Pardomuan I 8 53 6,63

7. Pasar Pangururan 8 54 6,75

8. Tanjung Bunga - - -

9. Siogung-Ogung 12 63 5,25

10. Parsaoran I 44 239 5,43

11. Sait Nihuta 29 166 5,72

12. Lumban Pinggol 30 168 5,60

13. Sianting-Anting 34 183 5,38

14. Parlondut 40 193 4,83

15. Aek Nauli 18 95 5,28

16. Pardugul 39 189 4.85

17. Panampangan 40 193 4.83

18. Sitoluhuta 25 117 4.68

19. Sinabulan 18 95 5.28

20. Siopat Sosor - - -

21. Huta Bolon 5 31 6.20

22. Situngkir - - -

23. Sialanguan - - -

24. Parhorasan 34 145 4.26

25. Pardomuan Nauli 68 279 4.10

26. Lumban Suhi-suhi Dolok 58 263 4.53

27. Lumban Suhi-suhi Toruan 57 259 4.54

28. Parbaba Dolok 52 253 4.87

Jumlah/ Total 785 3 925 5.00

Sumber : Kecamatan Pangururan dalam Angka 2008

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa desa Pardomuan Nauli memiliki jumlah luas panen terbesar yaitu 68 ha dengan produktifitas 4.1 ton/ha. Padi diusahakan dengan sistem tadah hujan. Dibeberapa desa seperti Tanjung Bunga, Siopat Sosor, Situngkir dan Sialanguan tidak terdapat areal padi sawah karena desa ini berada pada areal miring pegunungan dan berbatu. Mereka umumnya mengusahakan tanaman jagung, sayuran dan tanaman lainnya.


(43)

42

Di Kecamatan Pangururan juga mengusahakan tanaman lain seperti jagung, ubi, kacang tanah, kopi, cengkeh, kemiri, bawang dan lainnya. Peternakan juga ada seperti peternakan sapi, kerbau, kambing, babi, ayam, ikan mas, ikan mujair dan lain-lainnya. Usaha perikanan seperti ikan mas dan ikan mujair diakukan dengan media keramba (jaring apung) di pinggiran Danau Toba.

Karena masih baru, usaha penangkapan ikan bilih di Danau Toba hanya diusahakan dalam skala kecil (satu keluarga) sebagai tambahan mata pencaharian keluarga. Ikan ini umumnya dijual dalam keadaan segar yang kebanyakan langsung dijual ke toke dan dikonsumsi secukupnya sebagai lauk pauk keluarga sehari-hari. Usaha pengolahan dan kondisi pasar ikan ini masih sangat memprihatinkan. Usaha pengolahan yang baik perlu dilakukan untuk menambah nilai jual ikan bilih serta menjaga kelestarian ikan bilih di Danau Toba agar nantinya dapat dijadikan aset daerah.

2.2.Karakteristik Para Penangkap/Sampel.

Karakter para penangkap yang menjadi sampel pada penelitian ini meliputi pengalaman, umur penangkap, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan dan ukuran sulangat (alat tangkap). Karakteristik penangkap yang menjadi sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5. Karakteristik Para Penangkap

No Uraian Karakteristik Range Rataan

1. Pengalaman (tahun) 1-5 2,77

2. Umur Penangkap (tahun) 30-60 43,6

3. Tingkat Pendidikan (tahun) 6-17 10,6

4. Jumlah Tanggungan (orang) 1-10 4,77

5. Ukuran Sulangat (m2) 100-324 127,1


(44)

43

Dari tabel ini dapat dilihat bahwa rata-rata pengalaman penangkap untuk menangkap ikan bilih ini adalah 2,77 tahun. Hal ini menunjukkan tingginya minat warga untuk mengusahakan penangkapan ikan bilih. Walaupun kegiatan ini dijadikan sebagai mata pencaharian sampingan, namun pendapatannya sangat menjanjikan.

Hal ini disebabkan karena kegiatan penangkapannya tidak membutuhkan waktu yang lama (cukup 1-2 jam setiap paginya) dan pemasarannya pun mudah dilakukan baik dijual ke toke maupun langsung dijual ke pasar.

Rata-rata umur penangkap yang menangkap ikan bilih ini sekitar 43,6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memulai usaha ini membutuhkan biaya yang cukup besar (lebih dari 10 juta) untuk membuat sebuah alat tangkap yang disebut “sulangat”. Tingkat pendidikan di daerah penelitian memiliki rataan 10,6 tahun atau setara dengan SMA kelas 1. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di daerah penelitian adalah cukup baik.

Jumlah tanggungan memiliki rataan 4,77 orang. Jumlah tanggungan ini tergolong tidak terlalu besar. Demikian juga dengan ukuran luas sulangat yang mencapai rataan 127m2. Umumnya para penangkap memiliki sulangat dengan ukuran 10x10m2 yang disesuaikan dengan modal yang tersedia, padahal luas sulangat berbanding lurus dengan hasil tangkapan. Semakin besar ukuran sulangat maka hasil tangkapan juga semakin besar.


(45)

44

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Sistem Penangkapan Ikan Bilih

Di daerah penelitian, sistem yang dipakai sampel (penangkap) dalam penangkapan adalah dengan menggunakan sistem jaring angkat (Lift Net). Jaring angkat (lift net) atau yang di daerah penelitian dikenal sebagai keramba adalah rangkaian yang biasanya berbentuk empat persegi panjang yang terbuat dari jaring/net, kayu broti, papan, katrol dan drum, dibentangkan ke dalam air secara horizontal. Rangkaian keramba ini dirancang sehingga kerangka tadi mengapung di permukaan air dan diletakkan tidak jauh dari pinggir pantai untuk mengurangi intensitas ombak.

Kerangka ini diikatkan dengan menggunakan jangkar yang terbuat dari tali dan adonan semen hingga ke dasar danau agar kerangka keramba tidak berpindah tempat. Untuk mempermudah pengangkatan jaring dari dasar danau maka dipasang rangkaian katrol, dimana rangkaian katrol ini umumnya telah ditempah di kota Pangururan.

Ikan akan berkumpul di atas jaring sebagai akibat dari daya tarik cahaya lampu yang diletakkan di atas permukaan air. Lampu ini dinyalakan pada sore menjelang malam (suasana gelap) hingga pagi hari dengan menggunakan arus listrik langsung dari rumah penangkap ikan melalui media kabel. Ketika listrik padam, para penangkap umumnya tidak melakukan kegiatan penangkapan.


(46)

45

Gambar 3. Rangkaian Sulangat/keramba Penangkap Ikan bilih di Danau Toba

Teknik dan Waktu Operasi Penangkapan

Pada saat sulangat selesai dibuat, penangkap pertama kali akan menurunkan jaring dan menghidupkan lampu pada sore hari (ketika mulai gelap). Lampu yang dipakai dalam kegiatan ini dikenal sebagai lampu tembak dengan daya 100-500 watt tergantung luas sulangat. Arus listrik diperoleh dari tiap rumah penangkap dengan memakai kabel beberapa ratus meter hingga ke sulangat.

Lampu ini akan tetap menyala hingga pagi hari saat penangkap akan mengangkat jaring, tujuannya agar ikan terkumpul semakin banyak. Pada pukul 5 setiap paginya, para penangkap akan berangkat ke sulangat dengan memakai rakit dan membawa sebuah ember untuk tempat ikan hasil tangkapan.


(47)

46

Gambar 4. Para penangkap berada di atas rakit untuk berangkat ke sulangat

Sesampainya di sulangat, suasana harus tetap tenang agar ikan yang berada di atas jaring tidak menyebar keluar. Penarikan dilakukan dengan menarik tali yang telah dirangkaikan dengan rangkaian katrol tadi sehingga lebih ringan. Jaring akan diangkat hingga ke permukaan air.


(48)

47

Gambar 6. Suasana Pengangkatan Jaring dari dasar danau. (1,2) Pengumpulan ikan.

(3) Pengumpulan ikan ke ember dengan menggunakan jaring pengumpul (scoop net).

Setelah jaring terangkat, maka hasil tangkapan dikumpulkan dengan memakai jaring pengumpul (Scoop Net). Ikan yang tertangkap dimasukkan ke dalam ember.

Gambar 7. Hasil tangkapan. (1) Hasil tangkapan yang telah dimasukkan ke dalam ember. (2) Tim peneliti yang berkesempatan mengikuti kegiatan penangkapan.

1

3

2


(49)

48

Demikian seterusnya. Jika operasi penangkapan ingin dilanjutkan kembali, maka jaring diturunkan kembali ke perairan seperti semula. Dalam 1 hari, operasi penangkapan hanya dapat dilakukan 1 kali penangkapan.

Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah hasil tangkapan, seperti; pada musim hujan maka tingkat produksi akan sangat tinggi dan pada musim lainnya akan sedikit. Bahkan pada suatu kegiatan penangkapan, ada sulangat yang tidak memperoleh apa-apa (kosong). Ada juga faktor lain, seperti terangnya bulan, kondisi ombak permukaan air, suasana penangkapan, intensitas dan warna cahaya lampu, ukuran sulangat dan lainnya.

Mengapa Ikan Tertarik pada Cahaya? Ikan tertarik pada cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan melalui otak (pineal region pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya disebut phototaxis. Dengan demikian ikan yang tertarik oleh cahaya hanyalah ikan-ikan fototaxis yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis dan sebagian kecil ikan demersal termasuk ikan bilih ini.

Ada beberapa alasan mengapa ikan tertarik oleh cahaya, antara lain penyesuaian intensitas cahaya dengan kemampuan mata ikan untuk menerima cahaya. Dengan demikian, kemampuan ikan untuk tertarik pada suatu sumber cahaya sangat berbeda-beda. Prinsip penangkapan ikan dengan light fishing adalah menyalurkan keinginan ikan sesuai dengan nalurinya. Dengan demikian, ikan yang datang disekitar lampu tersebut merupakan pemanfaatan dari perilaku ikan tersebut.


(50)

49

Pemasaran Ikan Bilih

Ikan bilih yang telah dikumpulkan di dalam ember kemudian dibawa ke pinggir pantai. Beberapa saat kemudian, para toke akan datang untuk membeli ikan tersebut dengan harga yang telah ditetapkan toke. Ada juga sebagian penangkap yang memiliki perahu langsung datang ke tempat pengemasan ikan (tangkahan). Penangkap/sampel disini hanya sebagai price taker.

Umumnya, penangkap akan memperoleh uang hasil tangkapan setiap minggu atau setiap bulannya tergantung sistem kesepakatan toke. Ikan bilih ini akan diukur beratnya dan dicatat berapa jumlahnya oleh toke.

Gambar 8. Suasana Pemasaran Ikan Bilih ke toke di pinggir Pantai Danau Toba.

Kemudian para toke akan mengumpulkan ikan hasil tangkapannya pada suatu tempat pengemasan. Di tempat pengemasan ini, ikan bilih yang telah dibersihkan akan ditimbang kembali sesuai ukuran kemasan dan diberikan es agar tahan lama di perjalanan. Semua ikan akan dimasukkan ke dalam kemasan yang telah diberi es dan disusun. Kemudian kemasan ini dimasukkan ke dalam truk pengangkut dan dibawa ke luar kota misalnya Padang, Palembang dan kota lainnya di Indonesia.


(51)

50

Gambar 9. Suasana di Tangkahan (tempat pengumpulan dan pengemasan) Ikan bilih di Desa Parsaoran 1.

Menurut pengakuan toke, Kabupaten Samosir mampu mengumpulkan ikan bilih sebanyak 15 ton per hari untuk dijual keluar daerah. Nilai ini belum dihitung dengan jumlah konsumsi daerah. Para penangkap juga mengakui bersyukur akan tingginya tingkat produksi ikan bilih ini sehingga mampu menanbah pendapatan keluarga. Jumlah hasil tangkapan memang tergantung pada musimnya. Jika musim hujan, maka produksi ikan bilih akan banjir mencapai 100 kg per sulangat setiap harinya.


(52)

51

Namun, jika cuaca buruk misalnya angin kencang maka akan timbul kerugian. Pada cuaca buruk ini, banyak sulangat yang terbawa arus hingga rusak dan tidak tahu terbawa kemana. Para penangkap harus mengganti kerugian ini dengan membuat sulangat yang baru.

5.2. Analisis Pendapatan Usaha Penangkapan 5.2.1. Penerimaan Usaha Penangkapan Ikan Bilih.

Penerimaan adalah nilai yang diperoleh dari hasil perkalian seluruh hasil produksi dengan harga jual di pasar. Harga jual di pasar ini sering mengalami fluktuasi, namun penangkap pada umumnya tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga karena masih berada pada permainan para toke yang tidak segan-segan membeli hasil tangkapannya dengan harga rendah yang telah ditetapkan oleh toke.

Di daerah penelitian, pada umumnya harga jual yang ditetapkan toke untuk hasil tangkapan para penangkap hanya Rp 1.500,- setiap kilonya untuk ikan segar. Untuk ikan bilih olahan sudah mulai ditinggalkan penangkap karena dinilai kurang efisien dan efektif. Satu kilo ikan bilih yang diasinkan hanya senilai Rp 7.500,- padahal dibutuhkan ikan segar sebanyak 3 kilogram dan waktu yang lama untuk proses pengasinannya. Belum lagi masalah pencemaran udara yang sangat menyesakkan jika berada di sekitar areal penjemuran.

Tabel 6. Rata-rata penerimaan penangkapan ikan per penangkap dan per 100m2 dalam 1 tahun.

No. Penerimaan Usaha Rupiah

1 Per Penangkap 19.265.580

2 Per 100m2 ukuran sulangat 16.298.739,33


(53)

52

Dari tabel ini, dapat dilihat bahwa rata-rata penerimaan penangkap ikan bilih adalah Rp 19.265.580,- dalam satu tahun atau setara dengan Rp 1.605.465,- per bulan. Sedangkan untuk penerimaan per 100m2 ukuran sulangat adalah Rp 16.298.739,33 dalam 1 tahun atau setara dengan Rp 1.358.228,278 per bulannya.

5.2.2. Biaya Produksi

Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan selama proses produksi berlangsung, baik biaya tetap (mis. penyusutan, biaya listrik dan lainnya) maupun biaya variabel (mis. biaya tenaga kerja dan lainnya). Berikut ini akan dijelaskan semua biaya produksi yang dikeluarkan untuk usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian.

a) Biaya Penyusutan

Biaya penyusutan yang diperhitungkan dalam penelitian ini adalah penyusutan semua alat yang digunakan dalam penangkapan ikan bilih. Penyusutan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus straight-line

method, secara matematik dapat ditulis:

Keterangan : D = Penyusutan Peralatan (Rp) Haw = Harga Awal (Rp)

Hak =Harga Akhir (Rp)

WP = Waktu Pakai/Umur Ekonomis (tahun)

Adapun peralatan-peralatan yang digunakan dalam usaha penangkapan ikan bilih ini adalah sulangat, ember, timbangan/neraca dan jaring pengumpul.


(54)

53

Dalam penelitian ini, peneliti telah menetapkan acuan umur ekonomis peralatan. Sulangat pada umumnya memiliki umur ekonomis 2-3 tahun tergantung pada bahan yang digunakan dalam pembuatan sulangat. Ember memiliki 1 tahun umur ekonomis. Timbangan/neraca umumnya memiliki umur ekonomis selama 3 tahun. Umur ekonomis jaring pengumpul umumnya hanya 2 tahun.

b) Biaya Curahan Tenaga Kerja

Adapun tenaga kerja yang digunakan dalan usaha penangkapan ikan bilih ini hanya terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) pada daerah penelitian karena tidak membutuhkan tenaga yang besar untuk menangkapnya. Nilai 1 HKP di daerah penelitian mencapai Rp 50.000,- dan nilai ini digunakan untuk menghitung nilai curahan tenaga kerja sebagai Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK). 1 HKP = 8 jam per hari.

Umumnya di daerah penelitian hanya membutuhkan 1-2 orang untuk menangkap dan menngumpulkan ikan ke ember. Kegiatan penangkapan ini hanya membutuhan waktu 1-1,5 jam setiap paginya hingga pemasaran di pinggir Danau Toba. Kebanyakan para toke langsung menjemput ikan hasil tangkapannya ke pinggir pantai dimana sulangat berada.

c) Biaya PBB dan Listrik

Di daerah penelitian tidak ditemukan adanya biaya PBB yang dikeluarkan penangkap dalam kegiatan penangkapannya dan hal ini terbukti dengan tidak adanya peranan pemerintah untuk mengkontrol laju kegiatan penangkapan untuk tetap menjamin kelestarian ikan bilih di Danau Toba.


(55)

54

Biaya listrik yang harus dibayar oleh setiap penangkap umumnya mencapai Rp 200.000,- setiap bulannya. Nilai ini tergantung pada besar daya lampu dan lama pakai yang digunakan penangkap pada sulangatnya.

Tabel 7. Rata-rata Biaya Produksi Usaha Penangkapan Ikan Bilih. No. Jenis Biaya Rp/100m2

1 Biaya Penyusutan 3831098,631

2 Biaya Curahan Tenaga Kerja 5625000

3 Biaya PBB dan Listrik 1360000

Jumlah: 10816098,631

Sumber : Analisis data Primer pada Lampiran 6

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa biaya produksi terbesar adalah biaya tenaga kerja yaitu sebesar Rp 5625000,- dimana biaya tenaga kerja untuk 1 HKP di daerah penelitian sebesar Rp 50.000,-. Namun, di lapangan umumnya kegiatan penangkapan hingga pemasaran dilakukan oleh Tenaga Kerja dalam Keluarga (TKDK), jadi tidak sepenuhnya menjadi kerugian para penangkap.

5.2.3. Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan Bilih

Pendapatan merupakan selisih antara total penerimaan yang diperoleh petani/penangkap dikurangi dengan jumlah biaya produksi yang dibutuhkan dalam usaha penangkapan ikan bilih. Berikut ini diperlihatkan rata-rata pendapatan bersih para penangkap ikan di daerah penelitian.

Tabel 8. Rata-rata pendapatan per Penangkap dan per 100m2 per tahun

No. Pendapatan Penangkap Rupiah

1 Per penangkap 7434024,445

2 Per 100m2 6479680,52


(56)

55

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata pendapatan per penangkap adalah sebesar Rp 7.434.024,445 dalam 1 tahun dan rata-rata pendapatan penangkap per 100m2 adalah Rp 6.479.680,52 dalam 1 tahun. Dari data di atas maka dapat disimpulkan bahwa usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian sangat menguntungkan karena mampu menghasilkan keuntungan yang besar.

Pada kenyataan di lapangan, pendapatan ini mampu bertambah lagi karena umumnya tenaga kerja yang dipakai adalah dari dalam kelurga (TKDK) sehingga pengeluaran ini tidak dihitung penangkap. Hal ini sesuai dengan hipotesis kedua yang menyatakan bahwa usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian menguntungkan.


(57)

56

5.3. Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Ikan Bilih

5.3.1. Analisis R/C

Analisis Return Cost ratio (R/C) yang merupakan perbandingan antara total penerimaan (revenue) dengan total biaya (cost). Besarnya nilai RC ratio dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 9. Total Penerimaan, Biaya dan RC Rasio

No. Uraian Rp/100m2

1 Total Penerimaan 577967400

2 Total Biaya 354946666,7

3 R/C 1,628

Sumber : Analisis Data pada Lampiran 10

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai R/C adalah sebesar 1,628. Berdasarkan kriteria kelayakan diketahui bahwa nilai R/C > 1. Artinya adalah setiap Rp 1,00 modal yang diinvestasikan untuk usaha penangkapan ikan bilih ini akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,628 sehingga dapat dijelaskan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. Penerimaan ini bisa lebih besar lagi karena di lapangan/tempat penelitian, tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja dari dalam keluarga (TKDK) yang umumnya tidak ikut dihitung.

Maka kesimpulannya, usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Hal ini sesuai dengan hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian layak untuk diusahakan dan dikembangkan.


(58)

57

5.4. Tingkat Kontribusi Pendapatan Ikan Bilih terhadap Pendapatan Keluarga

Kontribusi pendapatan merupakan persentase perbandingan antara jumlah pendapatan ikan bilih dengan total jumlah pendapatan keluarga secara keseluruhan. Dari sampel yang diambil ada beberapa pekerjaan utama yang mereka kerjakan seperti bertani, bertenun ulos, wiraswasta/berdagang, PNS, pegawai honorer, nelayan, tukang bangunan dan supir. Total pendapatan ikan bilih dan total pendapatan keluarga penangkap telah tercantum pada lampiran 11. Berikut ini diperlihatkan rata-rata tingkat kontribusi pendapatan penangkap di daerah penelitian.

Tabel 10. Nilai Rata-rata Kontribusi Pendapatan Ikan Bilih terhadap Total Pendapatan Keluarga.

No Uraian (%)

1 Total Kontribusi (30 sampel) 758,8

2 Rata-rata kontribusi 25,29

Sumber : Analisis Data Primer pada Lampiran 11

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian mampu memberikan kontribusi pendapatan rata-rata seluruh sampel sebesar 25,29% dari total pendapatan keluarga. Usaha penangkapan ikan bilih ini mampu memberikan rata-rata seperempat lebih tambahan pendapatan keluarga. Angka ini pun bisa bertambah lagi karena umumnya penangkap tidak menghitung biaya tenaga kerja (TKDK) dalam usaha penangkapan ikan bilih ini.

Hal ini sesuai dengan hipotesis keempat yang menyatakan bahwa usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian mampu memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar terhadap total pendapatan keluarga sampel (penangkap).


(59)

58

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:

a) Sistem yang dipakai sampel (penangkap) dalam penangkapan adalah dengan menggunakan sistem jaring angkat (Lift Net). Jaring angkat ini diletakkan tidak jauh dari pinggir pantai dan dipasang semacam keramba sebagai kerangkanya. Ikan akan berkumpul di atas jaring sebagai akibat dari daya tarik cahaya lampu yang diletakkan di atas permukaan air.

b) Rata-rata pendapatan per penangkap ikan bilih di Danau Toba adalah sebesar Rp 7.434.024,445 per tahun dan rata-rata pendapatan penangkap per 100m2 adalah Rp 6.479.680,52 per tahun.

c) Usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C sebesar 1,628. Berdasarkan kriteria kelayakan diketahui bahwa nilai R/C > 1, maka usaha itu adalah layak untuk dijalankan.

d) Usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian mampu memberikan kontribusi pendapatan rata-rata seluruh sampel sebesar 25,29% dari total pendapatan keluarga. Usaha penangkapan ikan bilih ini mampu memberikan rata-rata seperempat lebih tambahan pendapatan keluarga.


(60)

59

6.2 Saran

a) Setiap tahun penangkap dan toke telah mengetahui adanya peningkatan jumlah keramba dan jumlah tangkapan juga semakin menurun. Kita sebaiknya memahami bahwa suatu saat produksi ikan bilih di Danau Toba akan punah jika setiap saat dikuras tanpa adanya tindakan pelestarian. Sistem penangkapan yang efektif dan efisien perlu diterapkan untuk menjaga kelestarian ikan bilih di Danau Toba.

b) Bersama-sama pemerintah untuk ikut mensukseskan sistem dalam Perda yang akan dikeluarkan untuk kelestarian Ikan Bilih di Danau Toba pada masa yang akan datang.

c) Sepatutnya Pemerintah secepatnya merealisasikan Peraturan Daerah (Perda) tentang ikan bilih dan ikut mengontrol sistem/aktifitas penangkapan ikan bilih di kawasan Danau Toba.

d) Pemerintah juga berupaya merealisasikan TPI (Tempat Pengumpulan Ikan) yang telah direncanakan untuk mengontrol jumlah produksi dan harga yang ada di pasar. Kini ikan bilih sepatutnya menjadi suatu aset besar daerah untuk pembangunan daerah Samosir di masa yang akan datang.


(61)

60

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2010. Ikan Bilih Danau Singkarak. Dikutip dari 4 April 2010.

Daniel, 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.

Fitra E., 2008. Analisis Kualitas Air Minum dan Hubungannya dengan Keanekaragaman Vegetasi Akuatik di Perairan Parapat Danau Toba. Tesis Pasca Sarjana USU, Program Studi Biologi.

Hasan, M.I.2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Ilyas, D.S., 1998. Studi Pemanfaatan Ruang Daerah Tangkapan Air Danau Toba

serta Hubungannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Tesis Pasca Sarjana USU, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD).

Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008. Populasi Ikan Bilih di Danau Toba. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Kartamihardja, E.S., 2009. Mengenal Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) dan Siklus Hidupnya di Danau Toba. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta.

Mubyarto, 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.

Purnomo, K., 2009. Teknik Penangkapan Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis) yang Ramah Lingkungan di Danau Toba. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Sianturi, T., 2004. Degradasi Danau Toba. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. Volume 2, Nomor 1, April 2004: 1-3.

Simanihuruk, M., 2005. Pendekatan Patrisipatif dalam Perencanaan Konservasi Lingkungan di DTA Danau Toba. Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2.

Siregar, A.Z.,2008. Pengelolaan Danau Toba Tanggung Jawab Siapa? USU Repository©2008.


(1)

55

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata pendapatan per penangkap adalah sebesar Rp 7.434.024,445 dalam 1 tahun dan rata-rata pendapatan penangkap per 100m2 adalah Rp 6.479.680,52 dalam 1 tahun. Dari data di atas maka dapat disimpulkan bahwa usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian sangat menguntungkan karena mampu menghasilkan keuntungan yang besar.

Pada kenyataan di lapangan, pendapatan ini mampu bertambah lagi karena umumnya tenaga kerja yang dipakai adalah dari dalam kelurga (TKDK) sehingga pengeluaran ini tidak dihitung penangkap. Hal ini sesuai dengan hipotesis kedua yang menyatakan bahwa usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian menguntungkan.


(2)

56

5.3. Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Ikan Bilih

5.3.1. Analisis R/C

Analisis Return Cost ratio (R/C) yang merupakan perbandingan antara total penerimaan (revenue) dengan total biaya (cost). Besarnya nilai RC ratio dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 9. Total Penerimaan, Biaya dan RC Rasio

No. Uraian Rp/100m2

1 Total Penerimaan 577967400

2 Total Biaya 354946666,7

3 R/C 1,628

Sumber : Analisis Data pada Lampiran 10

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai R/C adalah sebesar 1,628. Berdasarkan kriteria kelayakan diketahui bahwa nilai R/C > 1. Artinya adalah setiap Rp 1,00 modal yang diinvestasikan untuk usaha penangkapan ikan bilih ini akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,628 sehingga dapat dijelaskan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. Penerimaan ini bisa lebih besar lagi karena di lapangan/tempat penelitian, tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja dari dalam keluarga (TKDK) yang umumnya tidak ikut dihitung.

Maka kesimpulannya, usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Hal ini sesuai dengan hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian layak untuk diusahakan dan dikembangkan.


(3)

57

5.4. Tingkat Kontribusi Pendapatan Ikan Bilih terhadap Pendapatan Keluarga

Kontribusi pendapatan merupakan persentase perbandingan antara jumlah pendapatan ikan bilih dengan total jumlah pendapatan keluarga secara keseluruhan. Dari sampel yang diambil ada beberapa pekerjaan utama yang mereka kerjakan seperti bertani, bertenun ulos, wiraswasta/berdagang, PNS, pegawai honorer, nelayan, tukang bangunan dan supir. Total pendapatan ikan bilih dan total pendapatan keluarga penangkap telah tercantum pada lampiran 11. Berikut ini diperlihatkan rata-rata tingkat kontribusi pendapatan penangkap di daerah penelitian.

Tabel 10. Nilai Rata-rata Kontribusi Pendapatan Ikan Bilih terhadap Total Pendapatan Keluarga.

No Uraian (%)

1 Total Kontribusi (30 sampel) 758,8

2 Rata-rata kontribusi 25,29

Sumber : Analisis Data Primer pada Lampiran 11

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian mampu memberikan kontribusi pendapatan rata-rata seluruh sampel sebesar 25,29% dari total pendapatan keluarga. Usaha penangkapan ikan bilih ini mampu memberikan rata-rata seperempat lebih tambahan pendapatan keluarga. Angka ini pun bisa bertambah lagi karena umumnya penangkap tidak menghitung biaya tenaga kerja (TKDK) dalam usaha penangkapan ikan bilih ini.

Hal ini sesuai dengan hipotesis keempat yang menyatakan bahwa usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian mampu memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar terhadap total pendapatan keluarga sampel (penangkap).


(4)

58

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:

a) Sistem yang dipakai sampel (penangkap) dalam penangkapan adalah dengan menggunakan sistem jaring angkat (Lift Net). Jaring angkat ini diletakkan tidak jauh dari pinggir pantai dan dipasang semacam keramba sebagai kerangkanya. Ikan akan berkumpul di atas jaring sebagai akibat dari daya tarik cahaya lampu yang diletakkan di atas permukaan air.

b) Rata-rata pendapatan per penangkap ikan bilih di Danau Toba adalah sebesar Rp 7.434.024,445 per tahun dan rata-rata pendapatan penangkap per 100m2 adalah Rp 6.479.680,52 per tahun.

c) Usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C sebesar 1,628. Berdasarkan kriteria kelayakan diketahui bahwa nilai R/C > 1, maka usaha itu adalah layak untuk dijalankan.

d) Usaha penangkapan ikan bilih di daerah penelitian mampu memberikan kontribusi pendapatan rata-rata seluruh sampel sebesar 25,29% dari total pendapatan keluarga. Usaha penangkapan ikan bilih ini mampu memberikan rata-rata seperempat lebih tambahan pendapatan keluarga.


(5)

59 6.2 Saran

a) Setiap tahun penangkap dan toke telah mengetahui adanya peningkatan jumlah keramba dan jumlah tangkapan juga semakin menurun. Kita sebaiknya memahami bahwa suatu saat produksi ikan bilih di Danau Toba akan punah jika setiap saat dikuras tanpa adanya tindakan pelestarian. Sistem penangkapan yang efektif dan efisien perlu diterapkan untuk menjaga kelestarian ikan bilih di Danau Toba.

b) Bersama-sama pemerintah untuk ikut mensukseskan sistem dalam Perda yang akan dikeluarkan untuk kelestarian Ikan Bilih di Danau Toba pada masa yang akan datang.

c) Sepatutnya Pemerintah secepatnya merealisasikan Peraturan Daerah (Perda) tentang ikan bilih dan ikut mengontrol sistem/aktifitas penangkapan ikan bilih di kawasan Danau Toba.

d) Pemerintah juga berupaya merealisasikan TPI (Tempat Pengumpulan Ikan) yang telah direncanakan untuk mengontrol jumlah produksi dan harga yang ada di pasar. Kini ikan bilih sepatutnya menjadi suatu aset besar daerah untuk pembangunan daerah Samosir di masa yang akan datang.


(6)

60

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2010. Ikan Bilih Danau Singkarak. Dikutip dari 4 April 2010.

Daniel, 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.

Fitra E., 2008. Analisis Kualitas Air Minum dan Hubungannya dengan Keanekaragaman Vegetasi Akuatik di Perairan Parapat Danau Toba. Tesis Pasca Sarjana USU, Program Studi Biologi.

Hasan, M.I.2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Ilyas, D.S., 1998. Studi Pemanfaatan Ruang Daerah Tangkapan Air Danau Toba

serta Hubungannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Tesis Pasca Sarjana USU, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD).

Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008. Populasi Ikan Bilih di Danau Toba. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Kartamihardja, E.S., 2009. Mengenal Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) dan Siklus Hidupnya di Danau Toba. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta.

Mubyarto, 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.

Purnomo, K., 2009. Teknik Penangkapan Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis) yang Ramah Lingkungan di Danau Toba. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Sianturi, T., 2004. Degradasi Danau Toba. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. Volume 2, Nomor 1, April 2004: 1-3.

Simanihuruk, M., 2005. Pendekatan Patrisipatif dalam Perencanaan Konservasi Lingkungan di DTA Danau Toba. Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2.

Siregar, A.Z.,2008. Pengelolaan Danau Toba Tanggung Jawab Siapa? USU Repository©2008.