REALITAS PEREMPUAN DALAM FILM INDONESIA (Analisis Wacana Film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami Karya Nia Dinata)

(1)

i REALITAS PEREMPUAN DALAM FILM INDONESIA

(Analisis Wacana Film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami Karya Nia Dinata)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S1)

Disusun Oleh: Ilvit Kelnis C NIM : 08220369

Dosen Pembimbing: 1. Sugeng Winarno, MA 2. Himawan Sutanto, M.Si

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


(2)

(3)

(4)

iv PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ilvit Kelnis C

Tempat, tanggal lahir : Ruteng, 07 Mei 1989

NIM : 08220369

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan : Ilmu Komunikasi

Menyatakan bahwa karya ilmiah (skripsi) dengan judul: Realitas Perempuan Dalam Film Indonesia

(Analisis Wacana Film Ca Bau Kan Dan Berbagi Suami Karya Nia Dinata) 1. adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya kecuali penulisan dalam bentuk kutipan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya dengan benar.

2. Hasil Tulisan Skripsi / Karya Ilmiah dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak Bebas Royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Malang, 11 Juli 2012 Yang menyatakan,


(5)

(6)

vi MOTTO

Ladies, tak ada larangan untuk menjadi diam dan bodoh menurut logika, tetapi sejuta larangan berlaku ketika ke-sok-tahu-an

menghantui ketaklogisan. ~I My Me Mine~

~~~

"Beauty, in projection and perceiving is 99.9% attitude." ~Grey Livingston~

"A woman is like a tea bag. You never know how strong she is until she gets into hot water."

~Eleanor Roosevelt~


(7)

vii KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan kasihnya yang melimpah, penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Realitas Perempuan Di Indonesia (Analisis Wacana Film Ca Bau Kan Dan Berbagi Suami Karya Nia Dinata) ini setelah melalui sebuah proses yang sangat panjang, penuh perjuangan dan kesabaran sebagai syarat untuk meraih gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

Penulis berharap dengan adanya skripsi ini bisa memberikan pengetahuan dan informasi bagi pembaca, khususnya bagi teman-teman juga peneliti lainnya, yang ingin dan akan melakukan penelitian tentang realitas perempuan dalam film dan analisis wacana. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi secara ilmiah kepada setiap masyarakat luas bahwa film yang memang merupakan media selain menghibur juga dapat menjadi alat penghasil ideologi dan melahirkan sebuah pandangan baru akan realitas sosial dimasyarakat, lalu penyimpangan-penyimpangan terjadi karena mengadaptasi cerita dalam film yang disaksikan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Sehingga masyarakat diharapkan untuk lebih bersifat kritis dalam menyaksikan hiburan-hiburan di bioskop ataupun TV dalam hal ini film.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, dan dorongan dari semua pihak, maka dalam hal ini penulis mengucapkan terimaksih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Wahyudi, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Bapak Nurudin, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi.

3. Bapak Sugeng Winarno, MA. selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu dan bersedia membagikan ilmunya dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Himawan Sutanto, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II, yang juga telah meluangkan waktu dan bersedia memberikan pinjaman buku-buku


(8)

viii berharga ditambah kuliah extra dalam penulisan skripsi ini sekaligus selaku Dosen Wali Angkatan 2008 Kelas E.

5. Bapak Joko Susilo, M.Si dan Bapak Novin Farid Styo Wibowo, S.Sos, selaku dosen penguji I dan II atas waktu dan tenaga dalam memberikan sumbangan pemikiran untuk skripsi ini.

6. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi yang “tanpa nama” sangat berjasa dalam waktu yang panjang.

7. Keluarga tercinta yang Luar Biasa.

8. Mama, yang dalam doa tak lepas menyebut nama, juga bercucur keringat demi rupiah dalam menyelamatkan satu jiwa di kota seberang tanpa keluarga untuk cita-cita dan masa depan yang lebih baik dari dirinya.

9. Bapa, yang berdiri tegas dan tak pernah menitikan air mata, ternyata diam-diam menyisipkan sedikit dari rupiah yang didapat dalam saku celana sebelum diserahkan ke bendahara rumah. Meskipun tak pernah bertegur sapa walau hanya melalui media, dia sedang berjuang agar anaknya mendapatkan yang terbaik dari yang baik.

10. Si perempuan-perempuan tangguh dengan gelar masa depan yang gemilang, Suci dan Liva.

11. Si laki-laki pendiam penuh langkah dan sedang bersiap berlayar, Elvin, Pebi, Rai, dan Dior.

12. Perempuan penggila dolar yang masih belum membutuhkan laki-laki sebagai sandaran, i‟i Mey Lee Chang.

13. Abang-abang dengan sejuta cerita diperfilman Indonesia, Arfan Adhi Permana, Yani, Aditya, dan Dimas Yuono.

14. Sahabat-sahabat yang terpatri dalam hati dan ingatan, Ariyele, MK Production, Kine‟s People (#), Novi Andriyanti (Mami), Dhila, Ai_Chan, Chilla (Bebeh), Setiana (Scholarship addicted), Uyab (Papi), Dimas HRSP, Novi Pratiwi (Onnie), Moomoo, Silvy, Devia, Ima, dan Koko.

15. Semua nama dalam daftar pustaka yang melahirkan buku-buku hebat sebagai penunjang terselesaikannya skripsi ini.


(9)

ix 16. Seluruh pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini dengan tetap memberikan “renyah senyum itu” tanpa syarat, dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu tanpa mengecilkan arti bantuannya.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Malang, 11 Juli 2012


(10)

x HALAMAN PERSEMBAHAN

For beloved Dad, Mom, Brothers, Sisters, Family, Friends and mostly is my Great Jesus Christ.

Everyone, you are the best ever! THANKYOU SO MUCH… to every praying, to every enchanted that was perfect be portrait & landscape, to every place that feels like homes in the whole scenario, to every times in this outer space. And my honor to be heard your best words after read this story about critical

discourse what I’ve done! Best Hug


(11)

xi DAFTAR ISI

SAMPUL ………... i

LEMBAR PERSETUJUAN ……… ii

LEMBAR PENGESAHAN ……….……… iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ……….…… iv

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI ……… v

MOTTO ……….... vi

KATA PENGANTAR ………. vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. x

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR GAMBAR ………... xiii

DAFTAR PUSTAKA ……….. xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah ………... 6

C. Tujuan Penelitian ………. 7

D. Manfaat Penelitian ……….. 7

E. Kerangka Pemikiran ……… 8

E.1. Komunikasi Audio Visual ……… 8

E.2. Pengertian Film, Jenis-Jenis Film dan Klasifikasi Film ……… 10

E.3. Teori Film Psikoanalitis ………... 22

E.4. Feminisme ……… 24

E.5. Wacana ………. 29

F. Metode Penelitian ……… 45

F.1. Jenis Penelitian ………. 45

F.2. Ruang Lingkup ………. 45

F.3. Fokus Penelitian ………... 46

F.4. Unit Analisis ………. 46


(12)

xii

F.6. Teknik Analisis Data ……… 49

F.7. Analisis Data ……… 50

F.8. Goodness Criteria ………. 51

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN A. Media Film Dan Masyarakat ………... 52

B. Film Dan Perempuan Di Indonesia ………. 56

C. Sineas Perempuan Di Indonesia ……….. 61

D. Profil Nia Dinata ………. 64

E. Sinopsis, Profil Pemain, Dan List Crew Film Ca Bau Kan ………. 67

F. Sinopsis, Profil Pemain, Dan List Crew Film Berbagi Suami ………. 72

G. Wacana Perempuan Dalam Film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami ………. 76

BAB III PEMBAHASAN REALITAS PEREMPUAN DALAM FILM CA BAU KAN DAN BERAGI SUAMI A. Film Ca Bau Kan ………. 78

B. Wacana Kritis Film Ca Bau Kan ………. 147

C. Film Berbagi Suami ……… 155

D. Wacana Kritis Film Berbagi Suami ……… 270

E. Kognisi Sosial Menurut Teun A. Van Dijk Dalam Film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami ………. 283

F. Analisis Perempuan Dalam Film Menurut Psikoanalisis Lacan ……….. 288

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ………. 307

B. Saran ……… 311


(13)

xiii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 ………... 41

Gambar 1.2 ………... 50

Gambar 2.1 ………... 64

Gambar 2.2 ………... 67

Gambar 2.3 ………... 72

Gambar 3.1 ………... 79

Gambar 3.2 ………... 79

Gambar 3.3 ………... 79

Gambar 3.4 ………... 80

Gambar 3.5 ………... 83

Gambar 3.6 ………... 83

Gambar 3.7 ………... 83

Gambar 3.8 ………... 84

Gambar 3.9 ………... 87

Gambar 3.10 ………. 87

Gambar 3.11 ………. 87

Gambar 3.12 ………. 90

Gambar 3.13 ………. 90

Gambar 3.14 ………. 90

Gambar 3.15 ………. 91

Gambar 3.16 ………. 93

Gambar 3.17 ………. 93

Gambar 3.18 ………. 95

Gambar 3.19 ………. 96

Gambar 3.20 ………. 96

Gambar 3.21 ………. 96

Gambar 3.22 ………. 98

Gambar 3.23 ………. 99


(14)

xiv

Gambar 3.25 ………. 99

Gambar 3.26 ………. 102

Gambar 3.27 ………. 102

Gambar 3.28 ………. 103

Gambar 3.29 ………. 103

Gambar 3.30 ………. 103

Gambar 3.31 ………. 104

Gambar 3.32 ………. 106

Gambar 3.33 ………. 107

Gambar 3.34 ………. 109

Gambar 3.35 ………. 109

Gambar 3.36 ………. 112

Gambar 3.37 ………. 112

Gambar 3.38 ………. 114

Gambar 3.39 ………. 115

Gambar 3.40 ………. 115

Gambar 3.41 ………. 117

Gambar 3.42 ………. 117

Gambar 3.43 ………. 118

Gambar 3.44 ………. 119

Gambar 3.45 ………. 120

Gambar 3.46 ………. 122

Gambar 3.47 ………. 123

Gambar 3.48 ………. 123

Gambar 3.49 ………. 123

Gambar 3.50 ………. 126

Gambar 3.51 ………. 126

Gambar 3.52 ………. 127

Gambar 3.53 ………. 127

Gambar 3.54 ………. 130


(15)

xv

Gambar 3.56 ………. 132

Gambar 3.57 ………. 134

Gambar 3.58 ………. 135

Gambar 3.59 ………. 135

Gambar 3.60 ………. 137

Gambar 3.61 ………. 139

Gambar 3.62 ………. 141

Gambar 3.63 ………. 141

Gambar 3.64 ………. 143

Gambar 3.65 ………. 145

Gambar 3.66 ………. 145

Gambar 3.67 ………. 156

Gambar 3.68 ………. 157

Gambar 3.69 ………. 157

Gambar 3.70 ………. 159

Gambar 3.71 ………. 160

Gambar 3.72 ………. 160

Gambar 3.73 ………. 161

Gambar 3.74 ………. 165

Gambar 3.75 ………. 165

Gambar 3.76 ………. 168

Gambar 3.77 ………. 168

Gambar 3.78 ………. 169

Gambar 3.79 ………. 172

Gambar 3.80 ………. 174

Gambar 3.81 ………. 176

Gambar 3.82 ………. 177

Gambar 3.83 ………. 180

Gambar 3.84 ………. 180

Gambar 3.85 ………. 183


(16)

xvi

Gambar 3.87 ………. 186

Gambar 3.88 ………. 188

Gambar 3.89 ………. 189

Gambar 3.90 ………. 191

Gambar 3.91 ………. 191

Gambar 3.92 ………. 195

Gambar 3.93 ………. 195

Gambar 3.94 ………. 198

Gambar 3.95 ………. 198

Gambar 3.96 ………. 199

Gambar 3.97 ………. 202

Gambar 3.98 ………. 202

Gambar 3.99 ………. 205

Gambar 3.100 ………... 205

Gambar 3.101 ………... 206

Gambar 3.102 ………... 208

Gambar 3.103 ………... 209

Gambar 3.104 ………... 209

Gambar 3.105 ………... 210

Gambar 3.106 ………... 213

Gambar 3.107 ………... 215

Gambar 3.108 ………... 218

Gambar 3.109 ………... 218

Gambar 3.110 ………... 220

Gambar 3.111 ………... 222

Gambar 3.112 ………... 223

Gambar 3.113 ………... 226

Gambar 3.114 ………... 226

Gambar 3.115 ………... 228

Gambar 3.116 ………... 230


(17)

xvii

Gambar 3.118 ………... 236

Gambar 3.119 ………... 236

Gambar 3.120 ………... 239

Gambar 3.121 ………... 242

Gambar 3.122 ………... 242

Gambar 3.123 ………... 245

Gambar 3.124 ………... 246

Gambar 3.125 ………... 248

Gambar 3.126 ………... 249

Gambar 3.127 ………... 252

Gambar 3.128 ………... 252

Gambar 3.129 ………... 254

Gambar 3.130 ………... 255

Gambar 3.131 ………... 257

Gambar 3.132 ………... 258

Gambar 3.133 ………... 260

Gambar 3.134 ………... 260

Gambar 3.135 ………... 262

Gambar 3.136 ……….. 262

Gambar 3.137 ………... 265

Gambar 3.138 ………... 267

Gambar 3.139 ………... 268


(18)

xviii DAFTAR PUSTAKA

Book

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis Mazhab Franfrut, Karl Marx, Cultural Studies, Teori Feminis, Derrida Postmodernitas, Kritik, Penerapan Dan Implikasinya. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Azis, Asmaeny. 2007. Feminisme Profetik. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Arivia, Gadis. 2007. Jurnal Perempuan Merayakan Keberagaman.

Jakarta : Penebar Swadaya.

Berger, Arthur Asa. 2000. Media and Comunication Research Methods An Introduction Qualitative and Quantitative Approaches. US : Sage Publication, Inc.

Burton, Graeme. 2010. Media Dan Budaya Populer. Yogyakarta : Jalasutra. Darma, Yoce Alia. 2007. Analisis Wacana Kritis. Bandung : Yrama

Widya.

Effendi, Heru. 2002. Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser. Jakarta : Adipura.

Eriyanto. 2009. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : Lkis.

Gomble, Sarah. 2004. Pengantar Memahami Feminisme dan Post Feminisme. Yogyakarta : Jalasutra.

Hall, Stuart, et al. 2011. Budaya, Media, Bahasa Teks Utama Pencanang Culture Studies 1972- 1979. Yogyakarta : Jalasutra.

Hamid, Farid. 2012. Ilmu Komunikasi Sekarang Dan Tantangan Masa Depan. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.

Hamidi. 2008. Metode Penelitian Kualitatif : Pendekatan Praktis Penulisan Proposal Dan Laporan Penelitian. Malang : UMM Press.

Irawan. 2008. Animal Ambiguitatis Memahami Manusia Melalui Pemikiran Maurice Merleau-Ponty dan Jacques Lacan. Yogyakarta : Jalasutra. Irwansyah, Ade. 2009. Seandainya Saya Kritikus Film Pengantar Menulis Kritik


(19)

xix Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media Culture Studies, Identitas, Dan

Politik : Antara Modern Dan Postmodern. Yogyakarta : Jalasutra. Littlejohn, Stephen W dan Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi Teori Of

Human Communication. Jakarta : Salemba Humanika. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistimologi Modern : dari

Postmodernisme, Teori Kritis, Psikoanalisisme Hingga Culture Studies. Jakarta : Pustaka Indonesia Satu.

Murniati, A. Nunuk. P. 2004. Getar Gender (Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga). Magelang : IndonesiaTera.

Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta : Homerian Pustaka.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik. Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosiologi Postmodern. Jakarta : Kreasi Wacana.

Rusdi, Prima. 2007. Bikin Film, Kata 40 Pekerja Film. Jakarta : Majalah Bobo. Schadt, Fritz G. 1994. Pengantar Penyutradaraan. Jakarta : -

Sen, Krishna. 1994. Indonesian Cinema Framing The New Order. London. Zed Books Ltd.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung : Remaja Rosdakarya. Stam, Robert. 2000. Film Theory An Introduction. UK : Blackwell. Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta : Kompas. Sylado, Remy. 1999. Ca Bau Kan Hanya Sebuah Dosa. Jakarta : KPG. Zaimar, Okke KS dan Harahap, Basoeki Ayu. 2009. Telaah Wacana Teori

dan Penerapan. Jakarta : Komodo Books.

Non Book

Ganjur, Gerak Visual Dan Adio Visual Dalam Pembelajaran,

http://ganjureducation.wordpress.com/2010/12/26/gerak-visual-dan-audio-visual-dalam-pembelajaran/. Arsip : 26 Desember 2010, Akses 25


(20)

xx Bbj, Putar Film Karya Sutradara Nia Dianata,

http://en.bisnis.com/articles/bbj-putar-film-karya-sutradara- nia-dinata-1, Akses 17 Maret 2012. 20:12 WIB.

Gorp, Van, Metadi-scourses,

http://colorado.edu/communication/meta-discourses/Papers/App_Papers/VanGorp.html, Akses 8 Juni 2012. 22:53 WIB.


(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak saluran komunikasi yang dapat digunakan untuk membentuk teks. Teks dapat disampaikan dengan bahasa lisan, bahasa tertulis, bahasa gambar, maupun dengan film. Oleh karena itu film menjadi sebuah media yang efektif dalam menyampaikan pesan baik itu secara verbal maupun non verbal, dimana visual itu sendiri telah mampu bercerita dengan baik. Dalam film Indonesia banyak sekali perempuan yang selalu menjadi sorotan menarik untuk di bahas dan tidak akan ada habisnya. Dengan begitu pandangan masyarakatpun telah terbentuk dengan apa yang selama ini dilihat melalui media terutama film.

Perempuan di Indonesia selalu dikaitkan dengan agama, budaya, dan juga keluarga yang mana dalam agama perempuan selalu dikatakan sebagai pelengkap. Dalam budaya sendiri, perempuan dianggap sebagai pemangku keturunan dan berkaitan dengan fungsi biologis. Juga perempuan dalam keluarga yang mengatakan bahwa perempuan itu hanya bertugas untuk mengurus anak dan suami tidak lebih. Pada zaman dahulu perempuan juga tidak memiliki hak untuk mengeluarkan pendapatnya atau tidak boleh duduk dibangku pendidikan, hal ini dipengaruhi dari budaya bangsa Indonesia pada zaman dahulu akan perbedaan status antara laki-laki dan perempuan. Sehingga terjadilah


(22)

2

kekerasan terhadap perempuan, baik itu di dalam kehidupan sehari-hari, dalam layar televisi ataupun Film yang juga sama memperlakukan perempuan hanya sebagai subordinat, ataupun adanya keterkaitan antara kekerasan dengan ideologi yang melatarbelakangi.

Dalam film-film di Indonesia perempuan dengan adat dan latar belakang sosial yang kental digambarkan sangat kompleks. Dari mulai eksploitasi secara seksual, peran yang cenderung dipinggirkan dalam rumah tangga, sampai karakter yang terlalu ekstrimis, perempuan menjadi kaum yang termarjinalkan dan dipandang pasif. Tidak hanya itu, perempuan juga ditempatkan sebagai peran tambahan belaka, sehingga imaji dan tindakan perempuan hanya membentuk sebagian kecil atau tidak penting keseluruhan naratif dan hanya di manfaatkan dalam film-film horor yang bertema seksual ataupun melodrama yang menyentuh hati.

Kemudian pada tahun 1980-an ditengah gandrungnya masyarakat disuguhkan dengan film yang cenderung monoton dan didominasi oleh tema-tema seks, komedi dan musik dangdut, rilis sebuah film yang berjudul R.A Kartini di sutradarai oleh Sjumandjaja dimana mengisahkan tentang perjuangan R.A. Kartini mengenai hak-hak perempuan Indonesia. Hal ini akhirnya menggambarkan bahwa perempuan juga mampu untuk memperjuangkan hak yang sama seperti laki-laki menurut Undang-Undang. Kemudian pada tahun 2000-an banyak sineas muda berbakat bermunculan, film Indonesia-pun semakin berkembang dan


(23)

3

bervariasi. Dengan hadirnya beberapa film seperti Jelangkung, Beth, Ada Apa Dengan Cinta, Ca Bau Kan, dan lainnya. Hal ini kemudian membuat atmosfer perfilman nasional mulai berubah menjadi lebih menarik dan berkualitas. Tetapi tetap saja realitas yang ditampilkan dalam film bukanlah realitas sebenarnya, karena yang diberikan film adalah re-imajinasi, versi buatan dari yang nyata. Memang terlihat seperti yang akrab dikenali, tapi sebenarnya dalam jagat yang beda dengan dunia nyata.

Film Ca Bau Kan dan Film Berbagi Suami adalah salah satu gambaran tentang realitas perempuan di Indonesia yang selalu terpinggirkan dan menjadi kaum yang tertindas. Dalam Film Ca Bau Kan perempuan hanya berperan sebagai pelaku seks yang dalam artian hanya sebagai alat pemuas para lelaki. Dalam Film Berbagi Suami pun tidak jauh berbeda, perempuan dijadikan korban lelaki yang berpoligami. Penggambaran perempuan yang sangat semena-mena, sehingga menjadi sorotan utama dalam setiap cerita dalam film karya Nia Dinata ini.

Nia Dinata adalah salah seorang sutradara perempuan yang membuat gebrakan baru di dunia perfilman Indonesia. Nia juga adalah bagian dari orang-orang yang membawa Indonesia ke forum internasional, dengan film pertama yang di buatnya sebagai sutradara adalah Ca Bau Kan (2002). Nia menghadirkan suasana atau bahkan aliran baru dalam setiap filmnya dibawah naungan perusahaan film independen Kalyana Shira Film miliknya sendiri.


(24)

4

Setiap film yang dibuat Nia selalu saja bercerita tentang perempuan. Adapun beberapa judul film karya Nia Dinata yang ceritanya fokus pada perempuan, yaitu Ca Bau Kan (2002), Arisan 1 dan 2 (2003 dan 2011), Perempuan Punya Cerita (2007) dan Berbagi Suami (2006) misalnya. Film karya Nia Dinata ini juga kadangkala menjadi kontroversi dikalangan kritikus film Indonesia. Seperti yang ditulis dalam BISNIS.com (23 Juni 2011) akan tetapi beberapa judul film Nia Dinata pun berhasil mendapatkan penghargaan baik itu didalam maupun luar negeri. Seperti halnya Ca Bau Kan film ini meskipun mendapatkan penghargaan di Seoul, Korea Selatan dalam acara Asia Pacific Festival, juga menjadi kontroversi karena selain dibesut oleh sutradara wanita yang masih jarang pada perfilman Indonesia jaman itu, film ini merupakan film pertama yang menggunakan judul bahasa asing. Berbagi Suami yang mendapatkan penghargaan Golden Orchid Award di Hawaii, Amerika Serikat. Sedangkan dari Film Festival Indonesia (FFI) film ini mendapatkan beberapa piala untuk kategori lainnya.

Sebenarnya inilah bagian yang menarik untuk diteliti yaitu, mengapa Nia Dinata selaku sutradara perempuan selalu mengeluarkan film yang fokusnya adalah perempuan. Realitas yang mungkin masih jarang terjadi diperfilman Indonesia. Kalau menurut Nia Dinata sendiri setiap film garapannya itu adalah bersifat personal, ada kaitannya dengan dirinya sendiri. Apakah Nia Dinata memang memiliki tujuan untuk mengangkat isu penindasan perempuan yang terjadi di Indonesia, apakah


(25)

5

realitas perempuan dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami memang benar-benar dirasakan oleh Nia Dinata, apakah hanya merupakan sebuah pembalasan dendam dengan menggunakan cerita perempuan lain, atau apakah kemungkinan setiap film yang dibuat olehnya hanyalah sebuah konstitusi untuk mencapai pangsa pasar demi keuntungan pribadi. Adanya sebuah praktik ideologi yang tersembunyi dibalik ketenaran seorang Nia Dinata sebagai sutradara yang selalu membuat film dengan perempuan yang menjadi topik utamanya. Sehingga realitas perempuan dalam setiap filmnya hanya sebuah topeng dalam layar.

Realitas yang dihadirkan Nia Dinata mengundang beberapa pertanyaan yang masih bersifat absurd bagi saya selaku peneliti, mengapa karena ada beberapa scene dalam film Ca Bau Kan dan juga Berbagi Suami yang menonjolkan sisi lain dari perempuan yang memang itu terkesan hanyalah sebuah cerita fantasi. Sehingga anggapan-anggapan akan perempuan memang masih perlu dipertanyakan kebenarannya dalam realitas yang dikonstruksi oleh media apapun dalam hal ini adalah film.

Seringkali seseorang yang membaca novel atau menonton film, mengatakan bahwa apa yang dilihatnya adalah suatu kebohongan. Sebenarnya hal itu berbeda, karena apabila seseorang itu berbohong, maka ia menyembunyikan suatu kebenaran sedangkan karya fiksi justru seringkali menampilkan kebenaran dalam cerita (kebenaran hakiki) yang telah berubah menjadi realita fiktif, (Okke KS Zaimar dan Ayu Basoeki


(26)

6

Harahap, 2009:26). Realitas fiktif yang ada di dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami memang terlihat mendominasi, tetapi dengan adanya ideologi dari si pembuat, yaitu Nia Dinata, penelitian ini menjadi lebih menarik untuk dibahas sedikit lebih rinci.

Gay Cook menyebutkan ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu: teks, konteks, dan wacana. Cook mengartikan teks sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak dilembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar teks dan mempengaruhi semua pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks itu diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana sendiri kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama, (Sobur, 2001:56). Dengan menggunakan analisis wacana inilah peneliti akan memperjelas isi penelitian terhadap film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami karya Nia Dinata.

B. Rumusan Masalah

Sebuah realitas yang tidak biasa dalam film Indonesia dengan beberapa alasan yang telah dijelaskan pada latar belakang diatas membuat peneliti ingin meneliti film-film karya Nia Dinata, dengan rumusan masalahnya adalah Bagaimana realitas perempuan dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami karya Nia Dinata?


(27)

7

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, tujuan yang ingin didapat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa hal: pertama, bagimanakah cara Nia Dinata membangun realitas perempuan itu sendiri selaku sutradara dengan melihat dari teknik pengambilan gambar dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami; kedua, Apakah mungkin realitas perempuan dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami memiliki tujuan ataupun maksud lain sehingga sengaja diproduksi oleh Nia Dinata demi keuntungan pribadi; atau yang ketiga, Apakah Nia Dinata yang selaku Sutradara dalam Film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami ini memang benar-benar ingin merubah cara pandang orang Indonesia mengenai perempuan pada jamannya. Oleh karena itu beberapa tujuan diatas ini nantinya yang akan menjadi kesimpulan dari penelitian ini.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih baik dibidang akademis maupun praktis bagi semua pihak. D.1. Manfaat Akademis

Dengan adanya penelitian ini, di harapkan dapat memberikan informasi dan wawasan kepada mahasiswa jurusan ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang khususnya dan mahasiswa jurusan lainnya yang berkaitan dengan media massa dalam hal ini Film dengan


(28)

8

menggunakan analisis wacana terhadap realitas perempuan dalam film-film karya Nia Dinata. Selain itu dapat berguna bagi peneliti lainnya untuk dijadikan referensi ketika melakukan penelitian yang sejenis dan juga penelitian ini dapat digunakan sebagai penunjang dalam mempelajari film, realitas perempuan, dari segi analisis wacana. Yang mana akan menambah lagi model penelitian dibidang film selain analisis isi, framing dan semiotik.

D.2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini di harapkan dapat memberikan wawasan lebih kepada peneliti juga pembaca mengenai realitas perempuan dalam film-film karya Nia Dinata dan juga dapat berguna bagi para sineas muda yang ingin berkecimpung didunia audio visual, khususnya perfilman.

E. Kerangka Pemikiran

E.1. Komunikasi Audio Visual

Komunikasi audio visual adalah proses penyampaian pesan atau informasi dari sumber kapada satu penerima atau lebih dengan cara memvisualisasikan sekaligus memperdengarkan isi pesan atau informasi kepada penerima dengan melalui media yang menunjangnya. Karakteristik media ini adalah memiliki unsur suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua yaitu media audio dan visual.


(29)

9

Bentuk produk dari komunikasi audio visual ini bisa berbentuk film yang bersifat entertain maupun informatif dan iklan seperti yang kita sering lihat di televisi. Produk audio-visual yang diperuntukkan sebagai media komunikasi kini sering disebut sebagai multimedia, (Ganjur Education, 2011).

Lahirnya media komunikasi audio visual ini tentunya membawa dampak yang positif juga negatif dalam keseharian hidup kita sebagai manusia yang memang membutuhkan hiburan setelah lelah bekerja. Dampak positifnya adalah informasi bisa didapatkan dengan mudah, hiburan datang bertubi-tubi tanpa jeda, dan kita juga dengan mudah menentukan sendiri hiburan apa yang hendak kita saksikan dengan hanya memegang remot kontrol ditangan. Dan semua terlihat sangat praktis dan menyenangkan, tetapi tanpa disadar dampak negatif juga menyerang bersamaan dengan kesenangan yang diberikan. Informasi yang kita dapatkan, hiburan yang kita saksikan, baik itu film, sinetron, musik show, dan lain sebagainya ternyata tidak sepenuhnya baik bagi penikmat dengan sajian-sajian dalam media audio visual yang saat ini terbilang tidak mendidik. Dengan hadirnya acara-acara yang memang malah mengkonstruksi masyarakat akan suatu realitas dalam masyarakat. Indonesia dengan kebudayaan yang berbeda tiap pulaunya tentu sangat memungkinkan terpaan-terpaan dari media audio visual itu berjalan dengan mulus. Sehingga dapat dikatakan media audio visual membawa


(30)

10

perubahan yang sangat luar biasa baik itu perubahan kearah yang baik juga perubahan kearah yang buruk.

E.2. Pengertian Film, Jenis-jenis Film dan Klasifikasi Film

Setiap bentuk kesenian memiliki cara bertutur yang berbeda. Kedudukan visual dalam film diatas audio. Artinya, film ditujukan sebagai tontonan, santapan mata. Kedudukan audio sebagai pendukung. Diawal kelahirannya, film hadir tanpa suara atau bisu. Agar tontonan tak membosankan, pertunjukan film di iringi lantunan musik hidup yang mengiringi gambar bergerak dilayar. Baru kemudian, didecade kedua abad ke-20, ditemukan teknologi memasukkan suara ke dalam film. Mulai saat itu, film hadir dengan gambar dan suara. Dialog para tokohnya tak lagi teks yang diselipkan di antara gambar, namun suara tokohnya sendiri yang terdengar langsung oleh penonton. Himawan Pratista menulis, film secara umum dapat dibagi menjadi dua unsur pembentuk, yaitu unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah dan unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya, (Ade Irwansyah, 2009:27).

E.2.1. Pengertian Film

a. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan


(31)

11

alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera, (Fritz G. Schadt, 1994:4).

b. Menurut UU 8/1992 film juga adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan atau lainnya, (Fritz G. Schadt, 1994:37).

c. Pengertian Film menurut Heru Effendy (2002:137), yaitu: Media untuk merekam gambar yang menggunakan seluloid bahan dasarnya. Memiliki berbagai macam ukuran lebar pita seperti 16mm dan 35mm.

Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Film adalah bentuk karya seni audio-visual. Singkatnya film kini di artikan sebagai suatu genre (cabang) seni yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya.


(32)

12

E.2.2. Jenis-jenis Film

Secara umum film dapat dibagi menjadi tiga jenis menurut Himawan Pratista (2008:4), yakni :

a. Dokumenter (Nyata)

Kunci utama dari film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian, namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi atau otentik. Struktur bertutur dalam film dokumenter umumnya sederhana dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan.

Dalam meyajikan faktanya, film dokumenter dapat menggunakan beberapa metode, yaitu :

1.) Film dokumenter dapat merekam langsung pada saat peristiwa tersebut benar-benar terjadi.

2.) Film dokumenter dapat merekonstruksi ulang sebuah peristiwa yang pernah terjadi.

b. Fiksi (Rekaan)

Film fiksi terikat oleh plot. Dari sisi cerita, film fiksi sering menggunakan cerita rekaan diluar kejadian nyata serta memiliki konsep penggandengan yang telah dirancang sejak awal. Struktur cerita film juga terikat hukum kausalitas, berada di tengah-tengah dua kutub yaitu nyata dan abstrak yang sering kali memiliki tendensi ke salah satu kutubnya baik secara naratif maupun sinematik. Seperti


(33)

13

halnya film dokumenter, cerita film fiksi juga sering kali diangkat dari kejadian nyata. Sementara dikutub lainnya, sineas fiksi juga kadang menggunakan cerita dan latar abstrak dalam film-filmnya. c. Eksperimental (Abstrak)

Film eksperimental merupakan jenis film yang sangat berbeda dengan dua jenis filmnya. Para sineas eksperimental umumnya bekerja diluar industri film utama (mainstream) dan bekerja pada studio independen atau perorangan. Mereka umumnya terlibat penuh dalam seluruh produksi filmnya sejak awal hingga akhir. Film eksperimental tidak memiliki plot namun tetap memiliki struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi oleh insting subyektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman batin mereka. Film-film ekperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena mereka menggunakan simbol-simbol personal yang mereka ciptakan sendiri.

E.2.3. Klasifikasi Film 1. Genre

Genre berasal dari bahasa Prancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Dalam film genre didefinisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola sama (khas) seperti setting, Isi, dan subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter.


(34)

14

Klasifikasi tersebut menghasilkan genre-genre popular seperti aksi, petualangan, drama, komedi, horor, western, thriller, film noir, roman, dan sebagainya. Fungsi utama genre adalah untuk memudahkan klasifikasi sebuah film. Genre membantu kita memilah film-film tersebut sesuai dengan spesifikasinya, (Himawan Pratista, 2008:10).

2. Klasifikasi Genre

Sebuah genre biasanya ditetapkan setelah beberapa film yang mewakili genre tersebut sukses dan berkembang menjadi tren. Patut kita catat bahwa kebanyakan film merupakan kombinasi dari beberapa genre sekaligus. Kombinasi genre dalam sebuah film sering diistilahkan genre hibrida (campuran). Genre ini juga dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yakni genre induk primer, genre induk sekunder serta genre khusus, (Himawan Pratista, 2008:11&12).

1. Genre Induk Primer

Genre induk primer merupakan genre-genre pokok yang telah ada dan popular sejak awal perkembangan sinema era 1900-an hingga 1930-1900-an. Bisa kita katak1900-ana setiap film pasti mengandung setidaknya satu unsur genre induk primer namun lazimnya sebuah film adalah kombinasi dari beberapa genre induk sekaligus, (Himawan Pratista, 2008:13).


(35)

15

a. Aksi (Action)

Film aksi berhubungan dengan adegan-adegan aksi fisik seru, menegangkan, berbahaya, nonstop dengan tempo cerita yang cepat.

b. Drama

Film drama biasanya berhubungan dengan tema, cerita, setting, karakter serta suasana yang memotret kehidupan nyata. Konflik bisa dipicu oleh lingkungan, diri sendiri, maupun alam. Kisahnya seringkali menggugah emosi, dramatik, dan mampu menguras air mata penontonnya.

c. Epik Sejarah

Genre ini pada umumnya mengambil tema periode masa silam (sejarah) dengan sebuah kerajaan, peristiwa atau tokoh besar menjadi mitos, legenda, atau kisah biblikal.

d. Fantasi

Film fantasi biasanya berhubungan dengan tempat, peristiwa serta karakter yang tidak nyata. Dalam film fantasi terdapat unsur magis, mitos, negeri dongeng, imajinasi, halusinasi, serta alam mimpi.


(36)

16

e. Fiksi Ilmiah

Fisksi ilmiah berhubungan dengan masa depan, perjalanan angkasa luar, percobaan ilmiah, penjelajahan waktu, invasi atau kehancuran bumi. Genre inipun berhubungan dengan teknologi serta kekuatan yang berada diluar jangkauan teknologi masa kini.

f. Horor

Film horor memiliki tujuan utama memberikan efek rasa takut, kejutan, serta teror bagi penontonnya. g. Komedi

Tujuan utamanya adalah untuk memancing tawa penonton. Biasanya berupa film drama ringan yang melebih-lebihkan aksi, situasi, bahasa, hingga karakternya. Film komedi terbagi atas dua, yaitu komedi situasi (unsur komedi menyatu dengan cerita) serta komedi lawakan (unsur komedi bergantung pada figure komedian). Film komedipun dapat dipecah lagi menjadi lima bentuk, yaitu Slapstick (menekankan aksi konyol), komedi verbal (menekankan dialog), screwball comedy (komedi tim berpasangan dan populer pada era 40-an), komedi hitam (mengangkat


(37)

17

tema gelap seperti perang, kematian, kriminal), serta parodi atau satir (imitasi film-film populer).

h. Kriminal dan Gangster

Film ini berhubungan dengan aksi-aksi kriminal, seperti perampokan bank, pencurian, pemerasan, perjudian, pembunuhan, persaingan antar kelompok, serta aksi kelompok bawah tanah yang bekerja diluar sistem hukum. Kemudian genre ini bekembang menjadi detektif, film noir, serta film penjara atau narapidana.

i. Musikal

Film yang mengkombinasi unsur musik, lagu, tari (dansa), serta gerak (koreografi).

j. Petualangan

Berkisah tentang perjalanan, eksplorasi, atau ekspedisi ke suatu wilayah asing yang belum pernah tersentuh. Film petualangan ini selalu menyajikan panorama alam eksotis seperti hutam rimba, pegunungan, savanna, gurun pasir, lutan, serta pualu terpencil. k. Perang

Film bergenre ini biasanya mengangkat tema kengerian serta teror yang ditimbulkan oleh aksi perang.


(38)

18

l. Western

Sebuah genre orisinil milik Amerika. Genre ini memiliki karakter khas yakni, koboi, Indian, kavaleri, sheriff.

2. Genre Induk Sekunder

Genre induk sekunder adalah genre-genre besar dan popular yang merupakan pembangunan atau turunan dari genre induk primer. Genre ini memiliki ciri-ciri karakter yang lebih khusus dibandingkan dengan genre induk primer, (Himawan Pratista, 2008:21).

a. Bencana (Disaster)

Berhubungan dengan bencana atau musibah baik skala besar maupun skala kecil yang mengancam banyak jiwa manusia. Genre bencana ini juga terbagi atas dua, yaitu pertama, bencana alam, misalnya banjir, gempa bumi, dan sebagainya. Kedua, bencana buatan manusia misalnya kecelakaan pesawat, aksi terorisme, dan sebaginya.

b. Biografi

Secara umum merupakan perkembangan dari genre drama dan epik sejarah. Menceritakan penggalan kisah hidup seorang tokoh berpengaruh dimasa lalu maupun kini.


(39)

19

c. Detektif

Merupakan perkembangan dari genre kriminal dan gangster dan lebih popular pada era klasik dari pada kini. Inti cerita umumnya berpusat pada sebuah kasus kriminal pelik yang belum terselesaikan. Film di era modern sering berkombinasi dengan genre aksi dan thriller.

d. Noir

Film noir merupakan genre dengan pendekatan tema dan sinematik yang paling unik ketimbang genre-genre lainya. Alur cerita penuh misteri, sulit ditebak, serta kadang membingungkan. Film ini mulai popular pada awal dekade 1940-an hingga akhir 1950-an. e. Melodrama

Merupakan perkembangan dari genre drama yang sering diistilahkan opera sabun atau film “cengeng” menguras air mata.

f. Olah Raga

Mengambil kisah seputar aktifitas olah raga, baik atlet, pelatih, agen maupun ajang kompetisinya sendiri.


(40)

20

g. Perjalanan

Seperti halnya western, genre perjalanan sering diistilahkan road films merupakan genre khas milik Amerika yang sangat populer di era klasik.

h. Roman

Film ini lebih memusatkan pada masalah cinta, baik kisah percintaannya sendiri maupun pencarian cinta sebagai tujuan utamanya. Melodrama juga merupakan perkembangan dari genre drama.

i. Superhero

Genre fenomenal yang merupakan perpaduan dari genre fiksi-ilmiah, aksi, serta fantasi. Kisahnya menceritakan tentang si superhero yang bertugas untuk membasmi kejahatan.

j. Supernatural

Berhubungan dengan mahluk-mahluk gaib seperti hantu, roh halus, keajaiban, serta kekuatan mental seperti membaca pikiran, masa depan, masa lalu, telekinesis dan lainnya.

k. Spionase

Spionase atau agen rahasia satu genre popular kombinasi antara genre aksi, petualangan, thriller,


(41)

21

serta politik dengan karakter utama seorang mata-mata atau agen rahasia.

l. Thriller

Tujuan utamanya memberi rasa ketegangan, penasaran, ketidakpastian, serta ketakutan pada penontonya.

3. Genre Khusus

Genre khusus jumlahnya bisa mencapai ratusan dan dapat berkombinasi dengan genre induk manapun sesuai dengan konteks cerita filmya. Film drama misalnya dapat dipecah menjadi beberapa genre khusus berdasarkan tema cerita seperti keluarga, anak-anak, remaja, cinta, pengadilan, politik, jurnalis, religi, hari natal, tragedi, militer, prostitusi, gangguan kejiwaan, homoseksual, hippies, alkoholisme, kecanduan obat terlarang, dan lain sebagainya. Berdasarkan sumber cerita, genre drama bisa dipecah lagi menjadi beberapa genre khusus, seperti adaptasi literatur, kisah nyata, otobiografi, buku harian, dan lain sebagainya. Dari contoh diatas tampak jelas jika satu genre khusus saja dapat berisi puluhan (bahkan ratusan) judul film, (Himawan Pratista, 2008:4&5).

Hadirnya berbagai jenis film dan genre dalam dunia perfilman tentunya juga menghadirkan nuansa yang berbeda yang mana perkembangan film di Indonesia semakin menarik untuk di


(42)

22

saksikan. Tetapi yang di sayangkan adalah bergesernya fungsi dari genre. Misalnya saja film horor yang seharusnya menakutkan terbalik menjadi menyenangkan bagi para pecinta film “blue”. Inilah kesenangan yang sekaligus membawa dampak negatif bagi penikmat media audio visual atau film tersebut. Juga tidak adanya pertanggungjawaban yang bisa didapatkan kalau seandainya kita selaku penikmat ingin meminta. Lalu film juga dapat menjadi bom pembunuh karakter yang mungkin saja harus dimusuhi tetapi pada kenyataannya masih tetap menjadi sahabat akrab dan dicintai dengan bermunculannya sineas-sineas muda di dunia perfilman Indonesia.

E.3. Teori Film Psikoanalitis

Teori film saat ini memiliki cakupan konsep yang berbeda-beda dan saling melengkapi satu sama lain dalam rangka mendekati film sebagai objek studi tersendiri. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Film Psikoanalitis (Psychoanalitical Film Theory) milik Jacques Lacan. Teori ini merupakan bagian dari teori kritis yang menganalisis film dari sudut pandang psikoanalisis, dimana pendekatannya berfokus pada alam bawah sadar. Teori ini menganggap penonton berada dibawah alam sadar, karena menurut Lacanian, keinginan tidak soal menginginkan yang lain tetapi menginginkan keinginan yang lain dari pada hanya melihat gambar, melainkan


(43)

23

merupakan sebuah proses identifikasi dibioskop, (Robert Stam, 2000:163).

Dalam pandangan Feminis, teori ini terlihat memberikan ekspresi penolakan terhadap maskulinitas dalam perbedaan seks. Adanya Ideologi koheren yang dibangun dalam bisokop, di mana Metz berpendapat bahwa sifat ganda imajiner dari sinematik penanda imajiner merupakan identifikasi dari apa yang di wakili oleh si penanda. Dan inilah yang membuat film lebih bersifat realitas dibandingkan dengan teater, karena penonton akan mengidentifikasi persepsi dari peran yang ditonton terhadap dirinya sendiri, (Robert Stam, 2000:164).

Kesan realitas dalam film sendiri berasal dari situasi sinematik yang mendorong perasaan narsis dengan tujuan kepuasaan diri. Selain itu teori ini juga berkaitan dengan fungsi kerja bahasa, praktik representasi dan cara kerja ideologi, (Stuart Hall, 2011:269).

Dalam film, realitas merupakan sebuah hal yang paling utama jika ceritanya bermaksud untuk mengkritik. Hal ini tentu tidak seperti yang diharapkan. Seperti yang telah dijelaskan oleh Stuart Hall, realitas dalam film hanyalah sebuah perasaan narsis dan adanya unsur ideologi dari pembuat film. Sehingga munculah persepsi peran dari yang kita tonton dalam diri juga timbul keinginan lain dalam diri selain hanya menonton. Inilah hal yang secara tidak sadar akhirnya mengakibatkan realitas hanya menjadi kesan dan tidak bermakna apapun jika di tampilkan dalam layar. Kalau saja penikmat film bisa lebih kritis


(44)

24

terhadap film-film yang disajikan atau ditonton tentunya akan banyak sineas yang berbenah dalam menghasilkan sebuah karya dan pastinya akan terlihat sineas-sineas seperti apa yang terbilang kompeten dalam membuat film.

E.4. Feminisme

Feminisme adalah sebuah kepercayaan bahwa perempuan— semata-mata karena mereka adalah perempuan—diperlakukan tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk memprioritaskan cara pandang laki-laki serta kepentinganya, (Sarah Gomble, 2004:ix). Istilah teori feminis biasanya menyarankan pada sebuah kerangka pengetahuan yang menawarkan penjelasan-penjelasan kritis terhadap subordinasi wanita, menurut Stecy, (Sunarto, 2009:33).

Teori feminis berpusat pada perempuan dalam tiga hal menurut George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2004:487), yaitu:

1. “Objek” penelitian utamanya, merupakan awal dari seluruh penelitiannya, adalah situasi dan pengalaman perempuan di dalam masyarakat.

2. Teori ini memperlakukan perempuan sebagai “subjek” sentral dalam proses penelitian; jadi, ia berupaya melihat dunia dari sudut pandang khas perempuan di dunia sosial.

3. Teori feminis bersifat kritis dan aktif terhadap perempuan, berusaha membangun dunia yang lebih baik bagi perempuan.


(45)

25

Asmeny Azis (2007:55, 79, 78 & 93) menjelaskna beberapa aliran dalam feminisme, yaitu:

1. Feminisme Liberal

Menurut kaum liberal, “hak harus diberikan sebagai perioritas di atas “kebaikan”. Dengan kata lain keseluruhan sistem atas hak individu dibenarkan, karena hak ini mengahasilkan bingkai kerja, yang merupakan dasar bagi kita untuk memilih apa yang terbaik bagi kita masing-masing, selama kita tidak merampas hak orang lain. Kebebasan akan hak itulah yang mendorong sebagai pemikir liberal itu untuk tetap menekan laju pertumbuhan kesetaraan secara linier. Setiap individu dalam kapasitasnya sebagai manusia memiliki hak-hak masing-masing selama hak itu bisa dipertanggungjawabkan, baik secara sosial maupun secara hukum.

Sebagai sebuah gerakan yang melabrak semua pembatasan atas kebebasan perempuan, maka feminis liberal tidak mengharapkan adanya batasan-batasan dalam masyarakat, karena selama batasan itu ada, maka perempuan akan selalu menjadi korban dari “retorika” pembatasan.

Inti ajaran feminism liberal adalah :

a. Memfokuskan pada perlakuan yang sama terhadap wanita di luar, dari pada didalam keluarga.


(46)

26

b. Memperluas kesempatan dalam pendidikan dianggap sebagai cara paling efektif melakukan perubahan sosial.

c. Pekerjaan-pekerjaan wanita semisal perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai pekerjaan tidak terampil yang hanya mengandalkan tubuh, bukan pikiran rasional.

d. Perjuangan harus menyentuh kesetaraan politik antara wanita dan laki-laki melalui penguatan perwakilan wanita di ruang-ruang publik. Para feminis liberal aktif memonitor pemilihan umum dan mendorong laki-laki yang memperjuangkan kepentingan wanita.

e. Berbeda dengan pendahuluannya, feminism liberal saat ini cendrung lebih sejalan dengan model liberalisme kesejateraan atau legalitarian yang mendukung sistem kesejahteraan Negara (walfare state dan meritokrasi).

2. Feminisme Radikal

Gerakan yang dibangun oleh feminis radikal adalah membangun resistensi atas keberadaan masyarakat agar seluruh apresiasi mengenai perempuan dapat terelaborasi secara lebih akomodatif, atau bahkan agar perempuan bisa lebih tinggi derajat sosialnya dari pada laki-lahi. Logikanya perempuan harus berada di dalam ruang ekspresi yang bebas, tidak mengalami kondisi tertekan oleh laki-laki, budaya, kuasa dan modal.


(47)

27

Inti ajaran feminism radikal adalah:

a. The personal of political adalah slogan yang kerap digunakan feminis radikal. Maknanya; bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan kesengsaraan yang oleh para wanita di anggap sebagai masalah-masalah personal, pada hakekatnya adalah isu-isu politik yang berakar pada ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki.

b. Memprotes eksploitasi wanita dan pelaksanaan peran sebagai istri, ibu, dan pasangan seks laki-laki, serta menganggap perkawinan sebagai bentuk formalisasi pendiskriminasian terhadap wanita.

c. Menggambarkan sexisme sebagai sitem sosial yang terdiri dari hukum, tradisi, ekonomi, pendidikan, lembaga keamanan, ilmu pengetahuan, bahasa, media massa, moralitas seksual, perawatan anak, pembagian kerja dan interaksi sosial sehari-hari.

d. Masyarakat harus diubah secara menyeluruh. Lembaga-lembaga sosial yang paling fundamental juga harus diubah secara fundamental. Para feminis menolak perkawinan bukan hanya dalam teori, melainkan sering pula dalam praktik. e. Menolak sistem hierarkis yang berstrata berdasarkan garis


(48)

28

3. Feminisme Sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme Tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan Tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis ini mulai dikenal sejak tahun 1970-an.

Inti ajaran feminism sosialis adalah:

a. Wanita tidak dimasukkan kedalam analisis kelas, karena pandangan bahwa wanita tidak memiliki khusus dengan alat-alat produksi.

b. Mengajukan solusi untuk membayar wanita atas pekerjaannya yang dia lakukan dirumah. Status sang ibu rumah tangga dan pekerjaannya sangat penting bagi berfungsinya sistem kapitalis.

c. Kapitalisme memperkuat sexisme, karena memisahkan pekerjaan bergaji dengan pekerjaan rumah tangga dan mendesak agar wanita melakukan pekerjaan domestik.

4. Feminisme Postmodernis

Feminis posmodernis kecewa atas bangunan modernisme yang telah mengalienasi perempuan dalam ruang publik dan konstruksi sosial.

Laura Mulvey adalah seorang aktifis feminisme yang mengatakan film atau sinema merupakan alat untuk memenuhi kesenangan kaum laki-laki. Dalam hal ini perempuan dijadikan bahan eksploitasi.


(49)

29

Perkembangan feminisme di Indonesia memang terbilang cukup baik dengan hadirnya berbagi kelompok yang menjaga dan mensejahterakan perempuan. Dengan adanya jurnal perempuan, radio perempuan, ataupun kolom suara perempuan dalam koran kompas misalnya. Tetapi penindasan terhadap perempuan sepertinya tak kunjung surut. Perempuan masih tetap menjadi korban dalam masyarakat, dengan tamengnya adalah budaya ataupun agama turut ambil bagian. Seperti halnya poligami, agama menyetujui akan hal tersebut walaupun pro dan kontra sudah bersuara lebih kencang, tetap saja agama tidak bisa di bantah. Budaya yang selalu memandang rendah perempuan, didesa-desa terpencil didaerah bagian timur sana, masih banyak anak perempuan yang tidak merasakan bangku pendidikan karena anggapan anak perempuan setelah selesai sekolahpun akan tetap masuk dapur. Pemikiran seperti ini terbilang begitu ironis ditengah jaman yang sudah modern.

E.5. Wacana

Istilah wacana dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Istilah wacana dipopulerkan oleh psikolog, antropolog, dan sosiolog.

E.5.1. Pengertian Wacana

Istilah wacana merupakan terjemahan dari perkataan bahasa inggris discourse. Kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus


(50)

30

yang berarti “lari kian-kemari” (yang diturunkan dari dis-„dari, dalam arah yang berbeda‟, dan currere „lari‟). Sedangkan menurut Webster (Sobur, 2001:9), menerangkan wacana sebagai berikut:

1. Komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan.

2. Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah.

3. Risalat tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; kotbah.

Sobur mengatakan bahwa “sebuah wacana harus memiliki dua unsur penting, yakni kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence).” Sejalan dengan ini, Henry Guntur Taringan (Sobur, 2001:10) mengatakan bahwa “ istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya percakapan atau obrolan, tetapi juga pembicaraan dimuka umum, tulisan serta upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon”. Sedangkan menurut Foucault (1972) “Wacana: kadangkala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulative yang dilihat dari sejumlah pernyataan” (Eriyanto, 2009: 2), lebih sederhana Lull mengartikan “Wacana berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas”, (Sobur, 2001: 11). Inti dari wacana sendiri adalah upaya penyampaian ide dan konsep-konsep ideologis terhadap apa yang dirasakan.


(51)

31

E.5.2. Ciri-ciri dan Sifat Wacana

Berdasarkan pengertian wacana diatas, dapat diidentifikasikan ciri dan sifat sebuah wacan menurut Yoce Aliah Darma (2009:3) antara lain sebagai berikut:

1. Wacana dapat berupa rangkaian ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur.

2. Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek).

3. Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, dan lengkap dengan semua situasi pendukungnya.

4. Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu. 5. Dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental. E.5.3. Pengertian Analisis Wacana

Analisis wacana menurut Norman Fairclough (1995) adalah bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik sosial, ditinjau dari sudut pandang tertentu. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana. Dalam pandangan Little John, meski menulis dan bentuk-bentuk nonverbal dapat dianggap wacana, kebanyakan analisis wacana berkonsentrasi pada percakapan yang muncul secara wajar, (Sobur, 2001:48).


(52)

32

Menurut Mohammad A.S.Hikam yang dikutip oleh Eriyanto (2009:4) paling tidak ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Dengan begitu Analisi wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Pandangan kedua, konstruktivisme. Dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu.

Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana katogori yang ketiga ini disebut analisis wacana kritis (Critical Analysis Discourse / CDA).


(53)

33

Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena menulis wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran penelitian, (Eriyanto, 2009: 337).

E.5.4. Karakteristik Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis / CDA) adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecendrungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kepentingan.

Dalam analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis / CDA) ini menyangkut teks dan konteks. Analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang di analisis disini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Sedangkan konteks berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk didalamnya praktik kekuasaan. Berikut karakteristik penting dari analisis wacana kritis yang diambil dari tulisan Teun A.Van Dijk, Fairclough, dan Wodak yang dikutip oleh Eriyanto (2009:8,9,10,11,12 &13), ialah:

1. Tindakan

Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi.


(54)

34

Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Seseorang berbicara, menulis, dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Dengan pemahaman seperti ini, ada beberapa konsekuensi tentang bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang dan dipahami sebagai sesuatu yang bertujuan. Tujuannya itu bisa bermacam-macam atau beragam, bisa untuk mempengaruhi, berdebat, membujuk, bereaksi dan sebagainya. Kedua, wacana diartikan sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol. Dalam hal wacana bukan sesuatu yang diluar kendali atau diekspresikan diluar kesadaran.

2. Konteks

Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana disini dipandang produktif, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Gay Cook menyebutkan ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu: teks, konteks, dan wacana. Cook mengartikan teks sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak dilembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik,


(55)

35

gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar teks dan mempengaruhi semua pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks itu diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana sendiri kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.

3. Historis

Dalam memproduksi sebuah wacana tidak dapat dimengerti apabila tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu.

4. Kekuasaan

Kekuasaan (Power) juga merupakan pertimbangan dalam analisisnya. Disini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak di pandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana itu penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol disini tidak harus selalu dalam bentuk


(56)

36

fisik dan langsung, tetapi bisa juga kontrol secara mental atau psikis.

5. Ideologi

Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena, teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. E.5.5. Pendekatan Utama dalam Analisis Wacana Kritis Ada beberapa pendekatan dari analisis wacana menurut Eriyanto (2009:15, 16 & 17), yaitu:

1. Anlisis Bahasa Kritis (Critical Linguistics)

Critical Linguistics memusatkan analisis wacana pada bahasa dan menghubungkannya dengan ideologi. Inti dari Critical Linguistics ini adalah melihat bagaimana grammatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu. Bahasa adalah suatu sistem kategorisasi, dimana kosakata tertentu dapat dipilih yang akan menyebabkan makna tertentu.

2. Analisis Wacana Pendekatan Prancis (French Discourse Analysis)


(57)

37

Pendekatan Pecheux ini banyak dipengaruhi oleh teori ideologi Althusser dan teori wacana Foucault. Dalam pandangan Pecheux, bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa, dan materialisasi bahasa pada ideologi. Keduanya kata yang digunakan dan makna dari kata-kata menunjukkan posisi seseorang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui mana berbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menamakan keyakinan dan pemahamannya.

3. Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach)

Wacana dilihat bukan hanya dari struktur wacana, tetapi juga menyertakan bagaimana wacana itu diproduksi. Proses produksi wacana itu menyertakan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. 4. Pendekatan Perubahan Sosial (Sociocultural Change

Approach)

Analisis wacana ini terutama memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan sosial. Wacana disini dipandang sebagai praktik sosial, ada hubungan dialektis antara praktik diskursif tersebut dengan identitas dan relasi sosial.


(58)

38

5. Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse Historical Approaches)

Penelitian ini terutama ditujukan untuk menunjukkan bagaimana wacana seksisme, antisemit, rasialisme dalam media dan masyarakat kontemporer. E.5.6. Memahami Teori Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis / CDA) dipakai untuk mengungkap tentang hubungan ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Selain itu juga dapat digunakan untuk mengkritik. Dalam konteks sehari-hari analisis wacana kritis ini digunakan untuk membangun kekuasaan, ilmu pengetahuan baru, regulasi dan normalisasi, dan hegemoni. Analisis ini juga digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu, menerjemahkan, menganalisis, dan mengkritik kehidupan sosial yang tercermin dalam teks atau ucapan. Habermas (1973) yang di kutip oleh Yoce Aliah Darma (2009:53) mengatakan bahwa analisis wacana kritis bertujuan membantu menganalisis dan memahami masalah sosial dalam hubungannya antara ideologi dan kekuasaan. Jadi analisis ini dibentuk oleh struktur sosial (kelas, status, identitas etnik, zaman, dan jenis kelamin), budaya, dan wacana (bahasa yang digunakan). Sebagai suatu pendekatan analisis wacana kritis yang sistematik untuk pembentukan pengetahuan, maka analisis wacana ini mengambil bagian dari beberapa tradisi pemikiran barat. Perkembangan tradisi ini dan pengaruhnya banyak didasari perkembangan analisis


(59)

39

wacana Foucaultian. Pengaruh teoritis yang utama dalam metode ini adalah teori sosial yang kritis, kontra-fondasionalisme, postmodernisme, dan feminisme.

Teori Kritis (Chritical Theory) adalah gerakan intelektual yang berkembang dan sangat berpengaruh terhadap teori sosial-politik dan ilmu pengetahuan pada tahun 1929-an. Teori-teori kritik sangat luas, sehingga teori-teori tersebut selalu sulit ditempatkan dan dikelompokkan dalam keseluruhan teori komunikasi. Cabang-cabang pokoknya adalah : Marxisme, The Frankfurt School of critical Theory, post-modernisme, kajian budaya, post-strukturalisme, dan kajian feminis. Teori kritik saat ini sering sering dinamakan “neo marxis” atau “marxis”. Menurut Hooks yang dikutip oleh Littlejohn (2009:435) Teori kritik menjadi penting karena sifat penyebaran media: “politik dominasi memberitahukan cara sebagian besar gambaran yang kita konsumsi dibentuk dan dipasarkan”. Televisi dan Film adalah yang sangat penting karena kedua media ini menyosialisasikan orang-orang pada ideologi penindasan. Menurut Habermas, teori kritis berusaha untuk dapat menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis guna menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transcendental yang melampaui data empiris. Teori kritis ini sendiri merupakan hasil yang dimunculkan oleh mahzab Frankfurt, dimana teori ini mempunyai maksud membuka seluruh selubung ideologis dan irrasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berfikir yang dimiliki oleh manusia modern.


(60)

40

Seperti yang telah dijelaskan, film dan Televisi merupakan dua hal yang sangat jelas melakukan penindasan, yaitu dengan ideologi dari si pembuat. Tidak heran jika banyak kejanggalan akan realitas yang dibangun dalam film ataupun karya-karya televisi seperti sinetron misalnya. Tetapi kejanggalan ini malah menjadi bumbu manis menurut penonton, sehingga semakin banyak lagi di buat film atau sinetron setipe yang pada akhirnya sama sekali tidak mendidik. Tidak banyak memang masyarakat yang sadar akan penindasan tersebut, tetapi tidak sedikit juga yang sadar akan penindasan dan masih terus menikmati penindasan karena alam bawah sadar dari penonton telah dirangsang oleh ideologi si pembuat.

E.5.7. Wacana Sebagai Realitas

Sebuah wacana itu berbentuk rangkaian kebahasaan dengan semua kelengkapan struktural bahasa seperti apa adanya jika ditinjau dari segi realitas. Berdasarkan penelitian menurut Hamad (2004: 2-4) yang dikutip oleh Yoce Aliah Darma (2009:8), proses konstruksi realitas oleh pelaku pembuat wacana. Secara lebih khusus, dinamika internal dan eksternal yang mengenai diri si pelaku konstruksi tentu saja sangat mempengaruhi proses konstruksi. Ini juga menunjukkan bahwa pembentukkan wacana tidak berada dalam ruang vakum. Pengaruh itu bisa datang dari pribadi si penulis dalam bentuk kepentingan idealis, ideologis, dan sebagainya, maupun dari kepentingan eksternal, yaitu dari khalayak sasaran sebagai pasar, sponsor, dan sebagainya. Untuk


(61)

41

melakukan kosntruksi realitas, pelaku konstruksi memakai suatu strategi tertentu yang disebut sebagai strategi framing (pengaruh eksternal dan internal mencakup pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraph; pilihan fakta yang akan dimasukan/dikeluarkan dari wacana yang populer) dan strategi priming (wacana “discourse” atau realitas yang dikonstruksikan berupa tulisan “text”, ucapan “talk”, tindakan “act”, atau peninggalan “artifact”). Oleh karena itu wacana yang terbentuk ini telah dipengaruhi oleh berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang diperjuangkan.

Adapun modelnya seperti gambar di bawah ini:

Proses Konstruksi Realitas Dalam Pembentukan Wacana.

Gambar 1.1

Realitas Pertama: Keadaan, Benda, Pikiran, Orang, Peristiwa,…

Strategi Mengkonstruksi Realitas Sistem Komunikasi

yang Berlaku Dinamika Internal dan

Eksternal Pelaku Konstruksi Faktor Internal: Ideologis, Idealis… Faktor Eksternal: Pasar, Sponsor… Fungsi Bahasa Strategi Framing Strategi Priming Proses Konstruksi Realitas oleh Pelaku

Discourse atau realitas yang Dikonstruksikan (Text, Talk, Act, dan Artifact)


(62)

42

Menurut Hamad, (2004: 2-4) yang dikutip oleh Yoce Aliah Darma, (2009:8).

Realitas dalam film misalnya menjadi bagian dari wacana, karena adanya unsur pasar dan sponsor maka proses realitas menjadi berubah kearah konstruksi yang dibangun karena sebuah tujuan tersendiri. Realitas tidak lagi seriil mungkin ditampilkan dan masyarakatlah yang terkena dampak dari konstruksi tersebut. Hadirnya kritikus film mungkin sedikit membuat lega karena dalam hal mengkritisi film-film sudah tentu para kritikus film ini lebih cerdas dalam menikmati film. Tetapi hal ini tidak dibagikan secara terang-terangan ke publik, tujuannya adalah agar masyarakat juga dapat berfikir kritis dalam setiap film yang dinikmati sehingga konstruksi yang dihadirkan oleh si pembuat tidak semuanya merasuki penonton.

E.5.8. Realitas Dalam Paradigma Kritis

Dalam penelitian kritis ini realitas disebut historical realism, yaitu: realitas yang teramati merupakan realitas semu yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi politik. Dalam pandangan kritis, tidak ada realitas yang benar-benar riil, karena realitas yang muncul sebenar-benarnya adalah realitas semu yang terbentuk bukan melalui proses alami, tetapi oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi, (Eriyanto, 2009:50&54).

Pandangan kritis ini agak mirip dengan pandangan konstruktivisme yang melihat realitas sebagai hasil konstruksi manusia


(63)

43

atas realitas. Akan tetapi, pandangan konstruktivisme seolah melihat manusia sebagai determinan utama yang bisa menafsirkan dan bisa mengkonstruksikan realitas. Oleh karena itu, dalam pandangan kritis sendiri individu meskipun mempunyai kebebasan untuk melakukan konstruksi, tetapi ia juga dibatasi oleh struktur sosial dimana dia di posisikan akan menafsirkan realitas tersebut berdasarkan posisi dia berada, (Eriyanto, 2009:54).

Struktur sosial yang terbentuk (lewat kekuatan sosial dan sejarah) memposisikan laki-laki di atas dan wanita cendrung marjinal, struktur sosial semacam inilah yang mau tidak mau dipengaruhi bagaimana realitas itu dipahami oleh seseorang. Dengan demikian, realitas yang muncul dipermukaan adalah realitas yang telah terdistorsi karena lebih memarjinalkan posisi wanita. Dalam pandangan ini juga realitas bukan ada dalam suatu tatanan (order), tetapi dalam suatu konflik, ketegangan dan kontradiksi yang berjalan terus menerus diakibatkan oleh dunia yang berubah secara konstan. Oleh karena itu, apa yang disebut realitas seringkali bukanlah realitas, hanya ilusi yang menyebabkan distorsi pengertian dalam masyarakat, (Eriyanto, 2009:56). Jika demikian masyarakat seharusnya tidak perlu memberikan kepercayaan lebih kepada setiap media dalam bentuk apapun. Dan mungkin akan lebih baik jika masyarakat tidak usah memperdulikan media jika memang itu telah terlihat mengada-ngada akan sebuah realitas.


(64)

44

E.5.9. Realitas Perempuan Di Indonesia

Posisi perempuan diatur oleh tradisi. Menurut Nunuk P. Murniati (2004:109), perempuan Indonesia masih berada dalam transisi yang membingungkan perempuan sendiri. Antara ingin mandiri menunjukkan identitas pribadi, dan rasa aman dalam pola ketergantungan yang masih ada dalam masyarakat. Persoalan ini dapat menyebabkan perempuan dapat menghadapi dilema diri. Disatu sisi, dorongan pribadinya berontak ingin menunjukkan identitas (sebab memang memiliki sesuatu yang tidak kalah dibandingkan laki-laki), tetapi disisi lain masyarakat masih mengikatnya dengan pandangan tentang seks. Perempuan belum dapat memerdekakan dirinya sendiri, akan mengalami keragu-raguan yang tidak henti-hentinya. Hal inilah yang memang mungkin menyebabkan penindasan terhadap perempuan itu masih sering terjadi di Indonesia.

Perempuan yang tidak bisa dan tidak mau keluar dari zona amanya karena telah terbiasa. Sehingga kekuatiran lebih mendominasi walaupun perempuan sudah terlihat tidak kalah dari laki-laki, baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan, hukum, maupun pemerintahan. Hal ini yang seharusnya masih perlu dicermati oleh feminis Indonesia agar mendapat titik temu yang jelas dalam hal penindasan seperti apa yang sebenarnya dirasakan oleh perempuan-perempuan Indonesia yang telah hidup modern dan jauh dari penindasan seperti pendidikan, pekerjaan, ataupun yang lainnya. Sehingga mungkin dengan begitu penindasan terhadap perempuan akan benar-benar hilang.


(65)

45

F. Metode Penelitian F.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kritis kualitatif dalam analisis wacana secara konstruktif. Dengan tujuan dari jenis penelitian ini adalah untuk mengexplorasikan atau mengulas lebih dalam tidak hanya mengenai realitas perempuan dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami karya Nia Dinata itu sendiri, melainkan juga untuk menggali apa yang terdapat dibalik proses pembuatan film tersebut.

F.2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah realitas perempuan di Indonesia yang terdapat dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami karya Nia Dinata. Di mana film Ca Bau Kan sendiri dirilis pada tahun 2002, sedangkan film berbagi suami dirilis pada tahun 2006 dengan ruang lingkup hal-hal yang akan dibahas adalah:

1. Bagimanakah cara Nia Dinata membangun realitas perempuan itu sendiri selaku sutradara dengan melihat dari teknik pengambilan gambar dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami.

2. Apakah mungkin realitas perempuan dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami memiliki tujuan ataupun maksud lain sehingga sengaja di produksi oleh Nia Dinata demi keuntungan pribadi.

3. Apakah Nia Dinata yang selaku Sutradara dalam Film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami ini memang benar-benar ingin merubah cara pandang


(66)

46

orang Indonesia mengenai perempuan pada jamannya atau hanya sebatas membuat kesan realitas agar filmnya dapat diminati penikmat film. Dan beberapa hal diatas inilah yang menjadi pertanyaan peneliti dalam mencari tahu jawaban dari isi penelitian yang akan dibahas.

F.3. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, realitas perempuan yang diangkat dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami berfokus pada tokoh utama perempuan dari kedua film, yaitu Tinung dalam film Ca Bau Kan dan Salma, Siti, serta Ming dalam Film Berbagi Suami sendiri, yang mana dalam pembahasan nantinya penulis akan lebih membahas scene-scene yang terdapat tokoh utama yang telah disebutkan diatas.

F.4. Unit Analisis

Dalam hal ini peneliti akan membahas per-scene-nya yang mengacu pada struktur tiga babak atau juga sering diistilahkan dengan struktur Hollywood klasik, yaitu: babak I persiapan, babak II Konfrontasi, dan babak III Resolusi dengan pola nonlinier. Pola Nonlinier sendiri adalah sebuah proses manipulasi kronologi plot atau sebuah film yang plotnya menggunakan teknik kilas balik, (Himawan Pratista, 2008:49). Selain itu juga, Unit analisis lainnya yang akan mendukung proses menganalisis film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami adalah dengan menggunakan beberapa unsur teknik pengambilan gambar dalam film, yaitu:


(1)

orang Indonesia mengenai perempuan pada jamannya atau hanya sebatas membuat kesan realitas agar filmnya dapat diminati penikmat film. Dan beberapa hal diatas inilah yang menjadi pertanyaan peneliti dalam mencari tahu jawaban dari isi penelitian yang akan dibahas.

F.3. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, realitas perempuan yang diangkat dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami berfokus pada tokoh utama perempuan dari kedua film, yaitu Tinung dalam film Ca Bau Kan dan Salma, Siti, serta Ming dalam Film Berbagi Suami sendiri, yang mana dalam pembahasan nantinya penulis akan lebih membahas scene-scene yang terdapat tokoh utama yang telah disebutkan diatas.

F.4. Unit Analisis

Dalam hal ini peneliti akan membahas per-scene-nya yang mengacu pada struktur tiga babak atau juga sering diistilahkan dengan struktur Hollywood klasik, yaitu: babak I persiapan, babak II Konfrontasi, dan babak III Resolusi dengan pola nonlinier. Pola Nonlinier sendiri adalah sebuah proses manipulasi kronologi plot atau sebuah film yang plotnya menggunakan teknik kilas balik, (Himawan Pratista, 2008:49). Selain itu juga, Unit analisis lainnya yang akan mendukung proses menganalisis film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami adalah dengan menggunakan beberapa unsur teknik pengambilan gambar dalam film, yaitu:


(2)

F.4.1. Kostum dan Tata Rias Wajah (Make-Up)

Kostum adalah segala hal yang dikenakan pemain bersama seluruh aksesorisnya. Tata rias wajah (make-up) secara umum memiliki dua fungsi, yakni untuk menunjukkan usia dan untuk menggambarkan wajah non manusia. Dengan melihat dari segi kostum dan tata rias wajah yang digunakan oleh para pemain perempuan dalam Ca Bau Kan dan Berbagi Suami dapat memberikan gambaran realitas perempuan seperti apa yang dibangun oleh Nia Dinata dalam kedua film diatas, (Himawan Pratista, 2008:71).

F.4.2. Sinematografi

Mencakup perlakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya. Seorang sineas tidak hanya sekedar merekam sebuah adegan semata namun juga harus mengontrol dan mengatur bagaimana adegan tersebut diambil, seperti jarak, ketinggian, sudut, lama pengambilan, dan sebagainya, (Himawan Pratista, 2008:89). Dalam sinematografi ini sendiri juga akan digunakan untuk melihat realitas perempuan dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami dengan menggunakan beberapa jenis shot dan angel kamera yang digunakan.

Menurut Joseph V.Mascelli, (1997:8) shot adalah suatu rangkaian gambar hasil rekaman kamera tanpa interupsi. Angel


(3)

Ruang pandang kamera ketika sebuah set akan diambil gambarnya. Istilah tinggi, rendah, dan lebar didasari oleh norma imajiner dengan perkiraan kamera 35 mm dengan lensa 2 inci (50 mm) mengarah pada adegan setinggi bahu.

F.4.3. Suara

Suara dalam film dapat kita pahami sebagai seluruh suara yang keluar dari gambar, yakni, dialog, musik, dan efek suara. Dalam hal ini, peneliti hanya menggunakan dialog untuk melihat realitas perempuan dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami. Dialog adalah hal yang jamak dalam sebuah film cerita setelah teknologi film bicara dimungkinkan. Dialog dalam film juga tak lepas dari bahasa bicara yang digunakan dan sangat dipengaruhi oleh aksen. Ada beberapa sineas yang dikenal menekankan pada dialog sebagai kekuatan filmnya, seperti Orson Welles, Billy Wilder, Ingmar Bergman, serta Allen, (Himawan Pratista, 2008:149).

F.5. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Dokumentasi : Peneliti akan menonton film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami ini kemudian meng-copy setiap scene lalu diubah dalam bentuk Jpeg dan dijadikan potongan-potongan gambar dalam data.


(4)

2. Studi Kepustakaan : Dalam hal ini peneliti akan mengumpulkan data tertulis lain mengenai realitas perempuan di Indonesia dan profil-profil dari para pemain serta crew dalam film Ca Bau Kan dan Berbagi Suami dari literatur-literatur, seperti buku, artikel, karya ilmiah, ataupun informasi lainnya yang menunjang guna terselesaikannya penelitian ini.

F.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data penelitian ini dilakukan menurut model yang dikemukankan oleh Teun A. Van Dijk tentang “Kognisi Sosial” yang membahas mengenai bagaimana suatu teks itu di produksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Kognisi Sosial sendiri mempunyai dua arti. Disatu sisi ia menunjukkan bagaimana proses teks tersebut di produksi, disisi lain ia menggambarkan bagaimana nilai-nilai masyarakat yang patriakal itu menyebar dan diserap oleh kognisi, dan akhirnya dibuat untuk membuat teks. Banyak sekali rasialisme yang diwujudkan dan diekspresikan melalui teks. Contoh dapat dilihat dari percakapan sehari-hari wawancara kerja, rapat pengurus, debat diperlemen, propaganda politik, periklanan, artikel ilmiah, editorial, berita, foto, film, dan sebagainya. Bagaimana teks semacam ini dipahami dan bagaimana media menempatkan rasialisme itu sehingga tampak sebagai suatu kewajaran. Media membentuk konsensus dan pembenaran bahwa seperti itulah kenyataanya, (Eriyanto, 2009:221, 223, & 224).


(5)

Menurut Eriyanto (2009: 225), model dari analisis Van Djik ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.2

Dalam pandangan Van Djik, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagimana makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial, (Eriyanto, 2009:224).

F.7. Analisis Data

Pada prinsipnya analisis data adalah sejumlah aktifitas yang dilakukan oleh peneliti ketika melakukan proses pengumpulan data atau informasi yang berlangsung, sampai pada kesimpulan berupa konsep atau hubungan antar konsep, (Hamidi, 2008:97).

1. Menyaksikan dan mengamati secara keseluruhan film “Ca Bau Kan dan Berbagi Suami” Karya Nia Dinata.

Konteks

Teks Kognisi Sosial


(6)

2. Melakukan pengamatan dalam gambar dari scene-scene yang telah diubah dalam bentuk Jpeg dengan dengan menggunakan struktur tiga babak yang juga terbagi dalam teks (suara atau dialog), konteks (kamera angle dan shot), Make Up dan kostum, serta kognisi sosial. 3. Membentuk pernyataan kritis terhadap film Ca Bau Kan dan Berbagi

Suami secara subyektif, dengan melihat hasil dari identifikasi visual dan dialog dipernyataan kognisi sosial.

4. Mengaitkan perempuan dengan teori Psikoanalisis Lacan agar proses analisa lebih terstruktur dan berkaitan dengan goodness citeria. Sehingga menghasilkan satu kesimpulan umum dari kedua film tersebut dan mengetahui dengan jelas Ideologi dari seorang Nia Dinata.

F.8. Goodness Criteria

Untuk mengukur kebenaran dalam penelitian kritis ini peneliti menggunakan kriteria holistic, yaitu hasil penelitian diharapkan dapat memberikan penjelasan tidak hanya pada satu bidang analisis saja tetapi, juga dikaitkan dengan jenjang yang lebih tinggi, serta mengaitkannya dengan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, dan latar belakang historis. Dengan demikian, analisis yang dilakukan diharapkan mampu bersifat holistik, menyeluruh, tidak hanya pada teks saja tetapi juga pada konteksnya, yaitu dengan bingkai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan latar belakang historis, (Farid Hamid, 2011:253).