Pengaruh harapan dan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker

PENGARUH HARAPAN DAN COPING STRES
TERHADAPRESILIENSI CAREGIVERKANKER
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Oleh :
TirtaArthaWardani
NIM: 207070000725

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M

ABSTRAK
(A)
(B)
(C)
(D)


(E)
(F)

FakuItas Psikologi DIN SyarifHidayatuHah Jakarta
September 2014
Tirta Artha Wardani
PengaruhHarapan dan Coping Stres Terhadap Resiliensi Caregiver
Kanker
xiv + 114 + lampiran
Resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau
ketidakberuntungan, dengan kata lain resiliensi ialah kemampuan untuk
bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk, maka dari itu
diperlukannya resiliensi untuk meningkatkan ketahanan caregiver disaat
menghadapi stres yang dirasakannya 、。ャセュ
merawat pasien kanker. Caregiver
dapat mengubah kondisi psikologis pasien dari waktu ke waktu, dengan
adanya resiliensi dalam bentuk harapan dan optimisme dalam menghadapi
kondisi negatif ataupun positif. Oleh karenanya, dibutuhkan resiliensi yang
baik pada caregiver dalam merawat pasien kanker.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh harapan dan coping stres

terhadap resiliensi caregiver kanker. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan melibatkan 165 caregiver. Caregiver adalah anggota
keluarga yang secara langsung terlibat dalam perawatan pasien kanker baik di
rumah atau mendampingi di rumah sakit, teknik sampliilg yang digunakan
adalah non-probability sampling, yaitu dengan teknik accidental sampling.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala baku yang
dimodifikasi, skala baku tersebut ialah Resilience Scale (RS) untuk mengukur
resiliensi, Herth Hope Index (HHI) untuk mengukur harapan, dan Ways of
Coping Scale (WaC) untuk mengukur coping stres. Pengukuran validitas
skala penelitian ini menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA), dan
analisis statistik dalam penelitian ini menggunakan multiple regression
dengan bantuan software SPSS 18.
HasH atau kesimpulan yang terdapat dalam penelitian ini, menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh yang disignifikan harapan dan coping stres terhadap
resiliensi caregiver kanker dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 atau P:S0,5.
Adapun nilai R Square (R2) dari semua variabel yang diujikan adalah sebesar
0,315 artinya dari enam variabel memberikan kontribusi sebesar 31,5%
terhadap resiliensi caregiver kanker sedangkan sisanya 68,5% dipengaruhi
variabel lain diluar penelitian.


vi

1

BAB I
PENDAHULUAN
Bagian pertama ini menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi peneliti dalam
melakukan penelitian tentang resiliensi caregiverkanker. Selain itu, peneliti juga
akan memaparkan tujuan dan manfaat dari penelitian. Tidak lupa peneliti
memberikan pembatasan masalah agar pembahasan tidak melebar bahkan
berseberangan dari tujuan. Sistematika penulisan juga disertakan untuk memberi
tuntunan dalam menyusun laporan hasil penelitian.
1.1 Latar Belakang
Kanker merupakan suatu proses pertumbuhan dan penyebaran yang tidak
terkontrol dari sel yang abnormal, yang mempunyai kecenderungan menyebar
pada bagian tubuh yang lain. Sel kanker ini bertindak sebagai penghambat dan
perusak bagi organ-organ tubuh dimana ia berkembang, terutama jika sel tersebut
tumbuh pada organ vital seperti otak, hati dan paru-paru, yang pada akhirnya
sering kali menyebabkan kematian pada penderitanya (Sarafino, 1998). Penyakit
kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu sangat diperlukan

perhatian yang sangat serius, karena penyakit kanker yang sudah pada tahap
stadium tinggi biasanya berujung kepada kematian. Menurut Gumawan (dalam
Kompas, 2001) menyatakan bahwa dua pertiga dari penderita kanker di dunia
berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), setiap 11 menit ada satu penduduk dunia meninggal
karena kanker dan setiap tiga menit ada satu penderita kanker baru. Data WHO
menyebutkan setiap menit di dunia terdapat penambahan 6,25 juta penderita

2

kanker baru dan dua pertiga penderita kanker di dunia berada di negara
berkembang (Organisasi Kesehatan Dunia, 2001). Di Indonesia, masalah penyakit
kanker menunjukkan lonjakan yang luar biasa. Dalam jangka waktu 10 tahun,
terlihat bahwa peringkat kanker sebagai penyebab kematian, naik dari peringkat
dua belas menjadi peringkat enam. Setiap tahun diperkirakan terdapat 190 ribu
penderita baru dan seperlimanya akan meninggal akibat penyakit ini (Mediasehat,
2005).
Kanker menjadi sesuatu yang menakutkan bagi semua orang, hal ini
karena angka kematian akibat kanker yang sangat tinggi. Angka harapan hidup
penderita kanker hanya 60% dibandingkan dengan bukan penderita (Mediasehat,

2005). Kanker bisa menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita. Ada beberapa
jenis yang sifatnya lebih spesifik dan lebih sering menyerang pria seperti kanker
prostat dan kanker paru (Mediasehat, 2004). Berdasarkan laporan tengah tahunan
catatan medik RS Dr. Soetomo kurun waktu Juni sampai dengan Desember 1984,
didapatkan bahwa kanker paru telah menduduki urutan ketiga sebagai penyebab
kematian bagi kaum laki-laki di Indonesia (Gatra, 2001). Lebih dari 1,3 juta kasus
baru kanker paru di seluruh dunia, menyebabkan 1,1 juta kematian tiap tahunnya.
Di Indonesia, kanker paru menjadi penyebab kematian utama kaum pria dan lebih
dari 70% kasus kanker itu baru terdiagnosis pada stadium lanjut (stadium III atau
IV) sehingga hanya 5% penderita yang bisa bertahan hidup (Mediasehat,
2004).Pada wanita tahun 2005 ditemukan sebanyak 3.884 kasus (36,83%) kanker
leher

rahim.

Sedangkan

kanker

payudara


sebanyak

749

kasus

atau

19,62%.Walaupun demikian, apabila penyakit ini dapat dideteksi pada tahap awal,

3

maka kurang lebih dari separuh penyakit kanker dapat dicegah, bahkan dapat
disembuhkan (KBI Gemari, 2003). Sayangnya hasil diagnosis kanker menyatakan
bahwa 80% penderita kanker ditemukan pada stadium lanjut, yakni stadium 3 dan
4 (Kompas, 2001). Pada tahap ini kanker sudah menyebar ke bagian-bagian lain di
dalam tubuh sehingga semakin kecil peluang untuk sembuh dan pulih, dan
berkemungkinan langsung tidak akan sembuh. Keadaan di atas menjadi salah satu
penyebab meningkatnya penyakit kanker di Indonesia.

Hileman, Lackey, dan Hassanein(dalam Duci, 2011) menjelaskan bahwa
secara klinis seorang yang didiagnosis kanker ditandai dengan berangsur-angsur
menghilangnya kemampuan intelektual yang mempengaruhi kognitif, dan
perilaku, yang pada akhirnya seorang kanker menjadi tergantung pada orang lain,
dan membutuhkan perawatan tetap oleh anggota keluarga.
Peters(dalam Serfelova, 2012)menjelaskan bahwa penyakit kronis seperti
kanker, telah lama dikenal sebagai penyakit yang berdampak serius, tidak hanya
terhadap diri penderita namun juga berdampak pada orang lain, terutama keluarga.
Keluarga, selain juga mengalami dampak emosional dari diagnosis tersebut, juga
terbebani tanggung jawab baru karena hampir semua pasien kanker membutuhkan
pengobatan jangka panjang yang berproses. Ini menuntut anggota keluarga untuk
ikut terlibat dalam kepedulian merawat pasien kanker tersebut.
Keluarga mereka yang menjadi perawat bagi pasien biasa disebut sebagai
caregiver. Mereka tidak hanya terlibat pada awal masa pengobatan, tetapi juga
dalam kepedulian termasuk kekambuhan, perkembangan kesehatan pasien, dan
sampai berakhirnya masa perawatan.

4

Menurut Barbara A. Given (2012), caregiver adalah sumber utama

dukungan bagi individu penderita kanker dan dapat mempengaruhi perubahan
pada pasien. Tanpa dukungan dari caregiver, pasien sulit untuk mempertahankan
diri dalam menjalani penyakit yang diderita. Caregiver diperlukan untuk merawat
dan mendorong pasien serta menjadi sumber dukungan bagi pasien dalam
menggurangi kekhawatiran yang timbul di dalam dirinya. Wong (dalam Menz,
2012) mengemukakan bahwa ketika pasien merasa perlu mengkomunikasikan
kebutuhan mereka, caregiver adalah tujuan mereka, karena pelayanan kesehatan
dan dokter lebih fokus pada kebutuhan medis pasien. Caregiver juga harus ulet
untuk menangani pasien dan menumbuhkan hal-hal yang tidak disediakan oleh
tenaga medis seperti rasa kasih sayang, harapan, dorongan pemahaman dan
penghargaan dari usahanya bertahan demi memelihara semangat hidupnya
(resilience).
Miller(dalam Chakraborty, 2007) mengemukakan bahwa faktor penting
untuk kesembuhan pasien juga dilihat dari kedekatan hubungan antara caregiver
dan pasiennya. Hal ini sangat berpengaruh bagi efektifitas perawatan yang
diberikan caregiver terhadap pasien.
Given, Hudson, dan Moody(dalam Barbara 2012) menjelaskan bahwa
caregiver diharapkan menjadi penyedia utama layanan kesehatan bagi pasien di
rumah. Berbagai macam tanggung jawab caregiver pada saat merawat pasien
kanker mempengaruhi masa depan perkembangan penyembuhan pasien tersebut.

Segala bentuk tuntutan pasien, baik secara eksternal maupun internal
membutuhkan respon yang baik. Besarnya tanggung jawab dan tekanan yang

5

diterima caregiver ini dapat berakibat buruk karena stres yang dialami caregiver
dapat menjadi penghambat besar dalam masa perawatan sehari-hari pasien.
Perasaan cemas, khawatir, kelelahan baik secara fisik maupun psikologis,
kejenuhan, bingung, dan perasaan lainnya yang menimbulkan stres dalam
merawat pasien seringkali muncul dalam masa pelayanan mereka terhadap pasien.
Connor dan Richardson(dalam Rosenberg, 2013)mengemukakan bahwa
berkaitan dengan beban yang ditanggungnya, dibutuhkan adanya bantuan dari
penyedia layanan kesehatan untuk mempertahankan kesejahteraan caregiver dan
untuk mempertahankan peran mereka sebagai caregiver keluarga. Hasil studi
terhadap caregiver kanker menemukan bahwa ketahanan (resiliensi) caregiver
mempengaruhi semua kondisi pasien kanker termasuk kondisi fisik, psikologis,
sosial, keuangan, dan spiritual. Oleh sebab itu untuk membuat keadaan caregiver
jadi lebih baik dibutuhkan cara untuk mengurangi stres pada caregiver yang
sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Unggar (dalam Bennett 2012)
menekankan perlunya resiliensi untuk meningkatkan ketahanan caregiver disaaat

menghadapi stres yang dirasakannya dalam masa perawatan yang tinggi.
Resiliensi adalah ketahanan atau kerentanan caregiver dalam menghadapi segala
tuntutan.
Davidson (dalam Pinke 2009) memandang resiliensi sebagai kualitas
personal yang baik dan ketahanan mereka terhadap stres yang mendorong
individu untuk dapat berkembang meskipun berada dalam kesulitan. Sanggeta
bhatia(dalam Grotberg, 2004) menjelaskan tentangtanggung jawab dalam
merawat anggota keluarga yang menderita kanker serta penyesuaian diri terhadap

6

segala perubahan, bukanlah suatu tuntutan hidup yang mudah. Oleh karenanya,
dibutuhkan resiliensi yang baik dalam merawat pasien. Resiliensi dapat
dimanfaatkan sebagai alat untuk mengelola stres caregiver terkait dengan masalah
klinis kejiwaan, anak, kesehatan masyarakat, pengaturan seluruh jangka hidup
dengan penyakit kronis.
Resiliensi tidak hanya dilihat dari kemampuan individu untuk dapat
beradaptasi dengan baik pada situasi sulit yang dialami, tetapi juga kemampuan
individu untuk tetap mempertahankan kondisi fisik dan kesehatan dengan baik
dan melakukan proses adaptasi dengan cara-cara yang tidak merusak (Siebert,

2005). Dengan kata lain, caregiver yang memiliki resiliensi yang baik akan
mampu mengatasi stres yang dialaminya dengan cara yang baik.
Kemampuan caregiver untuk menyediakan perawatan pada pasien dapat
dikatakan tergantung pada kemampuannya mempertahankan resiliensi. Pada
umumnya bahwa caregiver menjadi stres karena hasil kesehatan dirinya yang
memburuk, karena caregiver tidak mampu menjaga kesehatan, disebabkan
banyakwaktu yang tersita untuk merawat pasien. Luthar (dalam Lin Fang-Yi,
2013) menyatakan bahwa stressor yang dirasakan oleh caregiver merupakan
tantangan bagi keluarga untuk mengkondisikan kekuatan yang ada pada diri
caregiver melalui resiliensi.
Kekuatan

resiliensi

memungkinkan

caregiver

untuk

mencapai

keseimbangan, keyakinan, dan kekuatan pribadi. Caregiver tidak bisa menghindar
dari tugasnya merawat pasein, sehingga ia harus bisa menangani sebaik mungkin
tekanan yang diterimanya agar dapat menjadi pelindung pada pasien kanker.

7

Wagnild dan Young (1993) menyatakan bahwa resiliensi adalah keberhasilan
untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata lain,
resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah
jatuh dan terpuruk.
Dengan resiliensi, membuat caregiver dapat mengendalikan perasaannya
dengan sehat. Caregiver membiarkan dirinya sendiri untuk merasakan
kemarahan,kehilangan, dan keraguan, namun ia tidak membiarkan perasaan
tersebut menjadi keadaan yang permanen dalam dirinya. Aspinwall dan Clark
(dalam Rowland, 2005) menjelaskan bahwa resiliensi bukanlah sekedar suatu ciri
sifat yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh individu, namun lebih sebagai bagian
dari proses perkembangan kesehatan untuk dapatberadaptasi dan meningkatkan
kesejahteraan di sepanjang rentang waktu kehidupan. Dari berbagai jenis kanker
dan stadium yang diderita pasien, caregiver harus bisa menyesuaikan
kebutuhannya untuk memberikan dukungan kepada pasien dan mengatur
emosionalnya.
Setiap orang yang didiagnosis dengan kanker membutuhkan caregiver
terlibat dalam perawatannya, untuk mempertahankan kondisi normal sehari-hari
dan memelihara harapan pasien dalam menghadapi kanker. Menurut Gazini,
(dalam Rabkin, 2000) caregiver dapat mengubah kondisi psikologis pasien dari
waktu ke waktu, dengan adanya resiliensi dalam bentuk harapan dan optimisme
dalam menghadapi kondisi negatif ataupun positif. Harapan dan optimisme yang
berhubungan dengan kondisi negatif berkaitan dengan penanganan terhadap
kesusahan yang diderita, sedangkan yang berhubungan dengan kondisi positif

8

dapat berupa penyesuaian psikologis yang baik, agar pasien dapat memelihara
semangatnya untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik.
Resiliensi dianggap berfungsi pada caregiver dalam menghadapi stres
yang berdampak pada semua aspek fungsi keluarga, yang paling erat kaitannya
dengan fungsi pemecahan masalah dalam membangun kognitif caregiver dalam
kemampuan menggunakan coping. Menurut Bruhn dan Felder(dalam Moseley,
2011) menjelaskan bahwa resiliensi caregiver menyiratkan kemampuan caregiver
untuk bertahan dari stres dalam merawat pasien kanker, resiliensi juga telah
dikaitkan dengan kuantitas yang lebih besar dan lebih efektif, dengan
menggunakan coping.
Kemampuan coping padacaregiver kanker merupakan kemampuan yang
dimiliki oleh caregiver untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang
berasal dari sumber stres selama merawat pasien kanker untuk dapat mencapai
resilien. Pakenham (dalam Bennett, 2012) mengemukakan bahwa kemampuan
coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang
digunakan

individu

untuk

menguasai,

mentoleransi,

mengurangi,

atau

meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres. Lazarus(dalam
Moseley, 2011) menjelaskan bahwa kematangan individu terhadap kemampuan
coping menunjukkan bahwa individu memiliki kematangan dalam coping yang
tinggi sehingga lebih cenderung pada problem focused coping saat ia bermasalah.
Sebaliknya, kematangan coping yang relatif rendah akan lebih cenderung
mengarah pada emotional focused coping dalam penyelesaian masalahnya.
Dikaitkan dengan resiliensi yang berhubungan dengan faktor internal dan

9

eksternal pada caregiver yang dapat mempengaruhi kemampuannya dalam
coping. Menurut Norton (dalam Pinke, 2009) resiliensi memegang peranan
penting untuk membuat seseorang mencapai kehidupan yang positif dan dinamis
meskipun

mengalami

masalah,

sehingga

mampu

mengembangkan

kemampuannya melaksanakan tugas-tugas pada perkembangan dan mampu untuk
terus menghasilkan coping yang baik terhadap permasalahaan yang dihadapinya.
Berkaitan dengan fenomena diatas, maka dari itu peneliti tertarik
melakukan penelitian skripsi mengenai “Pengaruh Harapan dan Coping stres
terhadap Resiliensi Caregiver Kanker”.
1.2Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Untuk membatasi meluasnya permasalahan penelitian, maka masalah dalam
penelitian ini dibatasi pada pengaruh harapan dancoping stresterhadap
resiliensicaregiverkanker.
Adapun konsep-konsep yang berkaitan dengan obyek penelitian dibatasi sebagai
berikut:
1. Harapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan meningkatkan
ketahanan caregiver kanker untuk mengembangkan bagaimanakeberanian
menjumpai hambatan dan motivasiuntuk menggunakan cara atau jalur tersebut
agar mencapai tujuan(Snyder, 2000).Berdasarkan dari dimensi harapan (hope)
yaitu, untuk merencanakan menuju tujuan (goal)denganadanya motivasi
(agency), meskipun menjumpai hambatan (pathway).

10

2. Coping Stres yang dimaksud dalam penelitian ini menurut pengertian
Pakenham (dalam Bennett, 2012) kemampuan coping sebagai upaya-upaya
khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan individu untuk
menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian
yang menimbulkan stres. Berdasarkan dari dimensi coping stres yaitu,
memecahkan masalah (planful problem solving), menghadapi masalah
(confrontive coping), mencari dukungan sosial (seeking social support),
menerima

tanggungjawab

(accepting

responsibility),

menjaga

jarak

(distancing), melarikan diri-menghindari (escape-avoidance), penilaian positif
(reappraisal positive).
3. Resiliensi (resilience) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberhasilan
untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata
lain, resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan
setelah jatuh dan terpuruk (Wagnild, & Young, 1993).Menekankan bahwa
semua individu sangat membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan
dengan melalui lima komponen resiliensi yaitu ketenangan hati (equnimity),
ketekunan(perseverance), kebermaknaan (meaningfulness),kemandirian (self
reliance), daneksistensial kesendirian(exixtential aloneness).
4. Caregiver dalam penelitian ini yang dimaksud caregiver adalah sumber utama
dukungan bagi individu penderita kanker dan dapat mempengaruhi perubahan
pada pasien (Barbara A. Given, 2012). Caregiver adalahanggota keluargayang
secara langsung terlibat dalam perawatan pasien kanker baik di rumah atau
mendampingi di rumah sakit.

11

1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkanpembatasan masalah diatas, maka penelitimerumuskan masalah
penelitian sebagaiberikut :
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi harapandan dimensi
coping stres terhadap resiliensi pada caregiverkanker?
2. Diantara variabel yang ada, variabel manakah yang paling berpengaruh
terhadap resiliensi pada caregiverkanker?
3. Seberapa besar proporsi harapan dancoping stresbeserta dimensi-dimensinya
dalam memberikan pengaruh terhadap resiliensicaregiverkanker?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Memiliki latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan
sebagai berikut:
a. Menguji adanya pengaruh harapan terhadap resiliensicaregiver kanker.
b. Menguji adanya pengaruh coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Setelah dilakukan penelitian ini, diharapkan hasilnya dapat memberikan
manfaat dalam pengembangan bidangmengenai bagaimana pengaruh
harapandan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker, serta
menambah khazanah keilmuan psikologi, khususnya yang berkaitan dengan

12

cabang psikologi klinis dan psikologi kesehatan.
b. Secara lebih terperinci, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk
mengembangkan pemahaman mengenai resiliensi pada caregiver dalam
merawat pasien kanker.
2. Manfaat praktis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, diantaranya:
a. Peneliti
Meningkatkan kemampuan diri untuk dapat bangkit kembali dari kesulitan
yang mungkin dialami. Dengan kata lain, hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat memberi pemahaman dan motivasi pada diri peneliti sendiri untuk
dapat menjadi individu yang resilien. Kemampuan ini dapat terpenuhi
melalui harapan yang ada dalam diri dan coping stres untuk dapat
memecahkan masalah sendiri.
b. Yayasan atau praktisi kesehatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam
menentukan intervensi yang bertujuan meningkatkan resiliensi pada
caregiver.
c. Caregiver
Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat membantucaregiveruntuk
membentuk dirinya sebagai pribadi yang resilien, melalui adanya
pengharapan pada diri sendiri dan dapat menurunkan dampak negatif baik
fisik ataupun psikis dalam merawat pasien kanker.

13

d. Komunitas kanker
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pemeliharaan dan
perhatian komunitas untuk ikut berperan dalam memberikan harapan dan
memberikan pemecahan masalah (coping) yang tepat kepada caregiver
dalam merawat pasien kanker agar dapat bertahan.
1.4 Sistematika Penulisan
Penulisan laporan hasil penelitian ini mengacu pada “Panduan Penulisan Skripsi
dengan Pendekatan Kuantitatif Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta”. Adapun sistematikanya terinci sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan
skripsi.
BAB II KAJIAN TEORI
Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang dikemukakan dalam penelitian ini
meliputi pengertian resiliensi, dimensi resiliensi, faktor yang mempengaruhi
resiliensi dan pengukuran resiliensi; pengertian harapan, dimensi harapan,
karakteristik individu tingkat harapan tinggi, dan pengukuran harapan; pengertian
coping stres, dimensi coping stres, dan pengukuran coping stres; dan pengertian
caregiver, jenis caregiver, fungsi caregiver, tugas caregiver.Kerangka berpikir,
serta hipotesis penelitian.

14

BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang metode penelitian, jenis-jenis penelitian, tempat dan waktu
penelitian, populasi, sampel dan sampling, variabel dan definsi operasional
masing-masing variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas
konstruk, teknik analisis data, metode analisis data, dan prosedur penelitian yang
digunakan.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Bab ini peneliti menguraikan gambaran subyek penelitian,deskripsi hasil
penelitian, pelaksanaan penelitian, statistik diskriptif, gambaran kondisi lokasi
penelitian, analisis data, dan hasilnya. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel,
grafik, gambar, dan diagram.
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan, diskusi, dan saran-saran. Kesimpulan
berisi tentang uraian hasil penelitian sebagai jawaban atas masalah penelitian yang
dirumuskan sebelumnya. Diskusi merupakan pembahasan hasil penelitian yang
berisi analisis hasil penelitian dan membandingkannya dengan teori dan hasilhasil penelitian sebelumnya. Sedangkan saran memuat saran teoritis yang
berkaitan dengan penelitian lebih lanjut berdasarkan hasil penelitian dan
keterbatasan yang dialami. Selain itu, dijelaskan pula saran praktis yang dapat
diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan berkenaan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

15

BAB II
KAJIAN TEORI
Bab kedua dari penelitian ini akan memaparkan tentang teori yang digunakan
dalam penelitian ini, pengukuran nya, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
2.1 Resiliensi
2.1.1 Definisi Resiliensi
Rutter (dalam Wagnild & Young, 1993) mendefinisikan resiliensi sebagai faktor
penyangga yang melindungi individu dari gangguan psikotik. Menurut Grotberg
(2000, 2004) resiliensi adalah seluruh kapasitas yang memungkinkan individu,
kelompok atau komunitas untuk mencegah, meminimalisir atau mengatasi
pengaruh merugikan atas kesengsaraan atau kesulitan. Tekanan ini bersifat terus
menerus sehingga individu yang resilien adalah yang mampu melakukan adaptasi
terhadap tantangan yang bersifat terus menerus (Garmezy, Werner, Luthar, &
Masten, dalam Basim, 2010).
Norman (dalam Cathy, 2010) mendefinisikan resiliensi sebagai kualitas dan
mekanisme protektif yang meningkatkan adaptasi pada kehadiran faktor yang
beresiko tinggi terhadap jalannya perkembangan. Kemudian Miller dan Lawton
(dalam Chakraborty, 2007) menyebutkan definisi yang serupa. Ia mengemukakan
bahwa resiliensi adalah adaptasi positif terhadap kemalangan. Resiliensi juga
memungkinkan adanya perkembangan kompetensi saat menghadapi tekanan berat
(Luthar, Cichetti & Becker, dalam Thomas, 2010) dan merupakan kapasitas untuk
bangkit kembali dari kekecewaan, jalan mundur, dan rintangan (Nash, & Bowen,
dalam Thomas, 2010).

16

Pada akhirnya, resiliensi tidak hanya berkisar pada adaptasi positif terhadap
resiko tinggi atau melambung dari jalan mundur melainkan juga memberi
kemampuan pada individu untuk berespon dengan fleksibel dibawah tekanan yang
terjadi tiap hari dalam kehidupan (Rutter & Greene, 2000). Sedangkan menurut
Luthar, dan Rutter(dalam Betancourt, 2008) resiliensi mengacu pada suatu
fenomena atau proses yang secara relatif mencerminkan adaptasi positif saat
mengalami ancaman atau trauma yang signifikan.
Beberapa definisi tentang resiliensi menjadi 3 kategori menurut Haase
(dalam Basim, 2010) yaitu, a) untuk ketahanan diri sendiri, b) dukungan keluarga
dan, c) dukungan luar lainnya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka
resilliensi diartikan sebagai suatu kemampuan atau kapasitas yang dimiliki
individu di mana dengan kapasitas tersebut, individu mampu bertahan serta
mampu berkembang secara sehat dan menjalani hidup secara positif dalam situasi
yang kurang menguntungkan atau dalam kondisi yang penuh tekanan.
Resiliensi bukanlah suatu hal yang menetap, melainkan suatu hal yang
dinamis dan berkembang sepanjang kehidupan manusia, serta di pengaruhi oleh
faktor lingkungan. Wagnild dan Young (1990, 1993) sebelumnya juga
menemukan bahwa resiliensi merupakan suatu hal yang dinamis, tepat suatu
kekuatan dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi
kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya.
Ditambahkan oleh Wagnild (2010), hampir semua manusia mengalami
kesulitan dan jatuh dalam perjalanan hidup, namun mereka memiliki ketahanan
untuk bangkit dan melanjutkan hidupnya. Kemampua untuk bangkit dan terus

17

melanjutkan hidup ini disebut resiliensi. Penelitian Wagnild (2010) menemukan
bahwa resiliensi dapat menjadi faktor protektif dari munculnya depresi,
kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya
sehingga memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin
muncul. Selanjutnya, individu yang resilien disebut sebagai individu yang
berorientasi pada tujuan, di mana hal tersebut akan mendorongnya untuk selalu
bangkit dan terus maju ketika menghadapi kesulitan. Ia juga mengetahui kekuatan
yang dimiliki dirinya, serta sadar bahwa ia dapat bergantung pada dirinya sendiri
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, meskipun harus menyelesaikannya sendiri
(Wagnild, 2011). Untuk itu, Wagnild menekankan bahwa semua individu sangat
membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan melalui lima komponen
resiliensi yaitu meaningfulness, perseverance, equnimity, self reliance, dan
exixtential aloneness.
Definisi yang dikemukakan Wgnild dan Young (1990, 1993) seperti yang
didapatkan di atas tidak hanya melihat resiliensi sebagai suatu hal yang dinamis
dan dapat dikembangkan sepanjang kehidupan manusia, melainkan juga
memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai lima komponen yang
mendasari resiliensi itu sendiri. Selain itu, definisi tersebut merupakan salah satu
dasar pencetus dan berkembangnya studi tentang resiliensi serta menjadi acuen
dalam berbagai penelitian lanjutan. Untuk itu, pada penelitian ini peneliti
akanmmenggunakan definisi resiliensi dari Wagnild dan Young (1990; 1993).

18

2.1.2 Dimensi Resiliensi
Dimensi resiliensi merupakan suatu cara yang diwujudkan untuk membuat
pertahanan dalam merawat pasien dalam penyakit kronis. Wagnild & Young
(1993; 2010) membagi resiliensi kedalam lima bentuk yaitu:
a. Ketenangan hati
Ketenangan hati yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh individu mengenai
hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya semasa hidup yang
dianggap merugikan. Wagnild(2010), namun demikian individu harus mampu
untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga ia dapat melihat hal-hal
yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang
dialami. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh karena itu
individu resilien dapat menertawakan situasi apapun yang sedang dihadapi,
melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak terjebak pada hal-hal
negatif yang terdapat didalamnya.
b. Ketekunan
Ketekunan yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan dalam menghadapi
suatu situasi sulit. Perseverance juga berarti keinginan seseorang untuk terus
berjuang dalam mengembalikan kondisi seperti semula. Wagnild(2010), dalam
karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan pada diri individu ketika
berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang menguntungkan baginya.
c. Kemandirian
Kemandirian adalah keyakinan pada diri sendiri dengan memahami
kemampuan dan batasan yang dimiliki oleh diri sendiri. Wagnild (2010),

19

individu yang resilien sadar kekuatan yang ia miliki dan mempergunakannya
dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan yang ia lakukan.
Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup yang dialami seharihari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan kemampuan dirinya
sendiri. Individu yang resilien mampu belajar dari pengalaman hidup yang
didapatnya setiap hari dan mampu mengembangkan berbagai pemecahan
masalah yang dihadapinya.
d. Kebermaknaan
Kebermaknaan merupakan kesadaran individu bahwa hidupnya memiliki
tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Wagnild (2010)
menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan karakteristik resiliensi yang
paling penting dan menjadi dasar dari keempat karakteristik yang lain, karena
menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan sia-sia karena tidak memiliki arah
dan tujuan yang jelas. Tujuan mendorong individu untuk melakukan sesuatu
dalam hidup tak terkecuali ketika ia mengalami kesulitan, tujuanlah yang
membuat individu terus berjuang menghadapi kesulitan tersebut.
e. Eksistensial kesendirian
Eksistensial Kesendirian menggambarkan kesadaran bahwa setiap individu
unik dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang
harus dihadapi sendiri. Individu resilien belajar untuk hidup dengan
keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus-menerus mengandalkan orang
lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun sehingga
individu

menjadi

lebih

menghargai

kemampuan

yang

dimilikinya.

20

Wagnild(2010), karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak
menghiraukan pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain,
melainkan menerima diri sendiri apa adanya.
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Rutter, Luthar, dan Richardson(dalam Zauszniewski, 2010) menjelaskan bahwa
perkembangan resiliensi pada manusia merupakan suatu proses perkembangan
manusia yang sehat, suatu proses dinamis dimana terdapat pengaruh dari interaksi
antara kepribadian seorang individu dengan lingkungannya dalam hubungan yang
timbal balik. Hasilnya ditentukan berdasarkan keseimbangan antara faktor resiko,
kejadian dalam hidup yang menekan, dan faktor protektif. Selanjutnya,
keseimbangan ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah dari faktor resiko dan faktor
protektif yang hadir dalam kehidupan seorang individu tetapi juga dari frekuensi,
durasi, derajat keburukannya, sejalan dengan kemunculannya.
1. Faktor Risiko
Faktor risiko dapat berasal dari kondisi budaya, ekonomi, atau medis yang
menempatkan individu dalam risiko kegagalan ketika menghadapi situasi yang
sulit. Faktor risiko menggambarkan beberapa pengaruh

yang dapat

meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan
yang lebih serius lagi. Trait risiko merupakan predisposisi individu yang
meningkatkan kelemahan individu pada hasil negatif. Efek lingkungan, dimana
lingkungan atau keadaan dapat berhubungan atau mendatangkan risiko.
Hubungan antar beberapa variabel resiko yang berbeda akan membentuk suatu
rantai risiko (Rutter, dalam Zauszniewski, 2010).

21

2. Faktor Protektif
Faktor protektif adalah karakteristik pada individu atau kondisi dari keluarga,
sekolah, ataupun komunitas yang meningkatkan kemampuan individu dalam
menghadapi tantangan dalam kehidupan dengan baik. Menurut Rutter (dalam
Zauszniewski, 2010) menyatakan interaksi antaraproses sosial dan intrapsikis
dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kesulitan dan segala
kumpulan tantangan kehidupan secara positif. Menjelaskan resiliensi sebagai
proses dinamik yang sangat dipengaruhi oleh faktor protektif, dimana
seseorang dapat bangkit kembali dari kesulitan dan menjalani kehidupannya.
Ditambahkan juga bahwa faktor protektif merupakan setiap traits, kondisi
situasi yang muncul untuk membalikkan kemungkinan dari masalah yang
diprediksi akan muncul pada individu yang mengalami masalah. Menyatakan
faktor protektif merupakan prediktor terkuat dalam mencapai resiliensi dan hal
yang memainkan peran kunci dalam proses yang melibatkan seseorang untuk
berespon dalam situasi sulit.
2.1.4 Pengukuran Resiliensi
Meskipun penelitian mengenai resiliensi ini tergolong baru, namun telah banyak
peneliti yang mengembangkan alat ukut atau skala untuk menilai kemampuan
seseorang dalam menghadapi bentuk-betuk situasi yang menekan.
a. The Brief Resilience Scale
Brief Resilience Scale (BRS) didesain oleh Smith dan rekan-rekannya sebagai
pengukuran hasil untuk menilai kemampuan untuk bangkit kembali atau pulih
dari stress (Windle, Bennet & Noyes, 2011). BRS yang terdiri dari enam item

22

ini dikembangkan untuk menentukan apakah resiliensi dapat dinilai sebagai
kemampuan bangkit kembali dari stres, berkaitan dengan sumber-sumber
resiliensi, dan apakah berkaitan dengan dampak kesehatan (Smith, dalam
Kusuma 2014).
b. The Connor-Davidson resilience Scale
Connor-Davidson

resilience

Scale

(CD-RISC)

dikembangkan

sebagai

penilaian singkat mengenai self-rated untuk membantu mengukur resiliensi
sebagai ukuran klinis untuk menilai respon terhadap treatment (Connor &
Davison, 2003). CD-RISC terdiri dari 25 item yang masing-masing itemnya
dikelompokkan ke dalam lima faktor, yaitu kompetensi personal, kepercayaan
penguatan stress, penerimaan terhadap perubahan dan hubungan yang aman,
kontrol serta pengaruh spiritual (Windle, dalam Kusuma 2014).
c. Resilience Scale
Resilience Scale (RS) dikembangkan oleh Wagnild dan Young(1990). Tujuan
pengembangan yang dirancang untuk mengidentifikasi individu tangguh atau
mereka yang memiliki kapasitas untuk ketahanan dalam merawat, terdiri dari
25 item.
Berdasarkan hubungan antara pengertian dan jenis-jenis alat ukur yang telah
dipaparkan sebelumnya, peneliti dalam kesempatan ini memilih Resilience Scale
(RS). Alasan menggunakan RS dikarenakan skala ini mampu mewakili tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian, yaitu menilai resiliensi dari faktor protektif
yang dianggap memfasilitasi dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan,
perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki

23

potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul untuk ketahanan
caregiver dalam merawat pasien kanker.
2.2 Harapan
2.2.1 Definisi harapan
Synder (2000) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang
dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan,
bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalur-jalur tersebut.
Harapan didasarkan pada harapan positif dalam pencapaian tujuan. Synder, Irving,
dan Anderson (dalam Synder, 2000) menyatakan harapan adalah keadaan
termotivasi yang positif didasarkan pada hubungan interaktif antara agency
(energi

yang

mengarah

pada

tujuan)

dan

pathway

(rencana

untuk

mencapaitujuan).
Dufault dan Martocchia(dalam Moseley, 2011), harapan memungkinkan
seseorang untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan (stressful) dengan
mengharapkan hasil yang positif. Karena hasil positif yang diharapkan maka
seseorang termotivasi untuk bertindak dalam menghadapi ketidakpastian.Menurut
Herth dan Snyder(dalam Moseley, 2011) harapan adalah suatu proses terhadap
pencapaian tujuan di masa depan yang ditentukan oleh pentingnya tujuan tersebut
bagi seseorang dan motivasi dalam bertindak untuk meraih tujuan.
Pemahaman terhadap konsep harapan berkembang menurut Farran,
Herth, dan Popovitch, Snyder(dalam Drach-Zahavy, 2002) melakukan metaanalisis terhadap beberapa definisi yang ada dan mengemukakan bahwa harapan
merupakan suatu pengalaman dalam kehidupan manusia. Harapan berfungsi

24

sebagai cara merasakan, cara berpikir, cara bertindak dan cara berhubungan
dengan dirinya maupun dengan dunianya. Harapan ada ketika suatu objek atau
hasil yang didambakan belum terwujud.
Sebagai suatu cara merasakan (afektif), harapan digambarkan sesuatu
yang melampaui emosi dan berfungsi sebagai suatu kekuatan pendorong. Harapan
menggerakan seseorang utnuk maju ketika merasakan sesuatu cara berpikir
(kongnitif), harapan dilakukan dengan keberanian, keteguhan dalam menghadapi
masalah yang sulit atau mengalami begitu banyak rintangan(a sense of fortitude).
Harapan merupakan suatu sikap positif secara kongnitif, emosi, dan motivasi
terkait dengan masa depan (Kanfer & Ackerman, dalam Drach-Zahavy, 2002).
Synder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua
komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan
yang diinginkan dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut.
Harapan merupakan keseluruhan dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan
konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan
adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai,
bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Pemikiran hopeful mencakup tiga
komponen, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking. Namun juika
individu memiliki keyakinan untuk mencapai tujuannya, maka individu tidak
memerlukan harapan. Sebaliknya, jika individu yakin bahwa ia tidak akan bisa
maka ia akan menjadi hopeless. Berdasarkan konseptualisasi ini, emosi positif dan
negati merupakan hasil dari pemikiran hopeful atau hopeless yang memiliki
tujuan.

25

2.2.2 Dimensi Harapan
Menurut Snyder (2000), dimensi yang terkandungmerupakan suatu harapan yang
diwujudkan dalam goal, agency, dan pathway, yaitu:
1. Goal/ Tujuan
Goal atau tujuan adalah sasaran dari harapan tindakan mental yang
menghasilkan

komponen

kongnitif.

Tujuan

merupakan

suatu

objek,

pengalaman, atau hasil titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan
dapat berupa harapan menjadi sesuatu yang bernilai untuk mengaktifkan
pemikiran yang disadari dalam hidup seseorang (Snyder, Cheavers &
Sympson, 2000). Tujuan juga sangat beragam dilihat dari tingkat kemungkinan
untuk mencapainya. Bahkan suatu tujuan yang tampaknya tidak mungkin untuk
dicapai pada waktunya akan dapat dicapai dengan perencanan dan usaha yang
lebih keras.
2. Agency Thinking/Willpower
Agency Thinking atauWillpower merupakan kapasitas kekuatan untuk
menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agency
mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya
melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan
penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi
hambatan dalam mencapai tujuannya. Orang yang memiliki harapan tinggi
menggunakan self-talk sepert “saya dapat melakukan ini” dan “saya tidak akan
berhenti sampai disini”.

26

Agency berisikan keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan
untuk membantu menggerakan seseorang untuk maju kearah pencapaian tujuan
yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu. Agency memunculkan persepsi
seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan menuju
pencapaian tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam
kehidupan. Agencydapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat
memahami dan mepresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Tujuan
yang samar tidak mencetuskan dorongan secara mental untuk maju. Oleh
karena itu, ketika seseorang dapat mengklarifikasi tujuan maka ia cenderung
dapat mengisi dirinya dengan pemikiran yang aktif dan memberdayakan diri
menuju pencapaian tujuan. Agency juga memunculkan keyankinan dalam diri
seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan menuju pencapaian
tujuan (Snyder, 2000).
Kemampuan seseorang untuk menciptakan agency didasarkan pada
pengalaman sebeumnya tentang keberhasilan yang mengaktifasikan benak dan
tubuh kita untuk mengejar tujuan Penting untuk digarisbawahi bahwa agency
tidak diperoleh ketika seseorang menjalani kehidupannya dengan mudah
dimana tujuan dapat dicapai tanpa adanya rintangan. Seseorang yang memiliki
agency adalah seseorang yang telah mampu mengatasi kesulitan-kesulitan
sebelumnya dalam hidup (Snyder, 2000).
3. Pathway Thinking/Waypower
Pathway Thinking atauWaypower mereleksikan rencana atau peta jalur secara
mental yang menuntun pemikiran yang penuh harapan (hopeful thinking).

27

Pathway adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu
atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, Lapointe, crowson,
&Ear, 2000). Pathway adalah suatu persepsi bahwa seseorang dapat terlibat
dalam pemikiran yang penuh perencanaan. Secara khusus, kemampuan
pathway seseorang dapat diterapkan dalam beberapa tujuan yang berbeda satu
sama lain. Secara umum, seseorang tampak lebih mudah untuk merencanakan
secara efektif ketika tujuan yang hendak dicapai dapat didefinisikan atatu
dioperasionalkan dengan baik. Tujuan yang lebih penting bagi seseorang lebih
cenderung memunculkan perencanaan yang kaya. Hal ini terjadi karena
seseorang dalam perkembangannya cenderung menghabiskan banyak waktu
untuk berpikir tentang bagaiman meraih tujuan yang lebih penting dan
cenderung mempraktekkan perencanaan terkait dengan tujuan yang lebih
penting tersebut (Irving, Snyder, & Crowson, Snyder, Harris, 2000).
Kemampuan seseorang untuk menciptakan pathway didasarkan pada
pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penelitian, ingatan
seseorang diatur atau diorganisasikan kedalam tujuan dan rencana. Dengan
perkataan lain, seseorang menyimpan informasi secara mental berdasarkan
tujuan dan cara yang diasosiasikan dengan tujuan tersebut (Snyder, Irving, &
Anderson, 2000).

28

Gambar 2.1
Visualisasi Harapan
PATHWAYS
TOUGHTS:
Develop
mental
Lessons of
Correlation/

EMOTIONS
PATHWAYS
TOUGHTS

OUTCOME
VALUE
AGENCY
TOUGHTS

AGENCY
TOUGHTS:
Develop mental
Lessons of Self
as Author of
Casual Chains
of Event

Learning History

GOAL
BEHAVIOR:
attainment/
nonattainment

EMOTIONS

Pre-Event

Event Sequence

2.2.3 Karakteristik Individu Dengan Tingkat Harapan Tinggi
Menurut Synder (2000), orang dewasa dengan tingkat harapan tinggi memiliki
profil tertentu. Mereka telah mengalami berbagai kemunduran atau “pukulan”
sama seperti orang lain dalam kehidupan mereka namun mereka telah
mengembangkan keyakinan bahwa mereka dapat melakukan penyesuaian
terhadap tantangan yang ada dan mengatasi kesulitan yang terjadi. Mereka juga
mempertahankan dialog dalam dirinya yang positif, seperti mengatakan pada
dirinya pernyataan berikut: “saya pasti bisa atau saya tidak akan menyerah”.
Mereka fokus pada keberhasilan bukan pada kegagalan. Pada saat menghadapi
rintangan dalam pencapaian tujuan yang didambakan, mereka mengalami emosi
negatif yang sedikit dan kurang intens. Hal ini terjadi karena mereka secara kreatif
mampu mengembangkan jalur atau cara lain untuk meraih tujuan atau memilih

29

tujuan lainnya yang dapat dicapai. Ketika menghadapi permasalahan dalam
hidupnya, seseorang dengan tingkat harapan tinggi cenderung mampu
memecahkan masalah yang tampak besar dan tidak jelas menjadi masalahmasalah yang lebih kecil dan dapat didefinisikan secara lebih jelas sehingga dapat
dikelola. Sedangkan seseorang dengan tingkat harapan yang rendah, ketika
menghadapi rintangan yang berat akan mengalami perubahan emosi dengan siklus
sebagai berikut: dari berharap menjadi marah, kemudian dari marah menjadi putus
asa dan pada akhirnya putus asa menjadi apatis. Mengemukakan karakteristik
psikologis yang dimiliki seseorang dengan tingkat harapan tinggi berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukannya. Karakteristik tersebut yaitu:
1. Optimis
Seseorang dengan harapan yang tinggi pasti optimis namun tidak sebaliknya.
Optimis tampak berkaitan erat dengan willpower namun tidak dengan
waypower. Mereka yang optimis memiliki suatu energi mental terkait dengan
pencapaian tujuannya namun mereka tidal selalu memiliki pemikiran terkait
dengan cara pencapaian tujuan (waypower).
2. Memiliki cara pencapaian tujuan terhadap kehidupannya
Seseorang dengan tingkat harapan yang tinggi cenderung memiliki keyakinan
bahwa dirinya sendiri memiliki kendali terhadap hidupnya dan dirinya sendiri
menentukan nasib hidupnya.
3. Harga diri (self esteem) tinggi
Seseorang yang terbiasa mengembangkan willpower dan waypower terkait
dengan tujuannya akan memiliki harga diri yang positif dalam berbagai situasi.

30

Mereka berpikir positif dengan diri sendiri karena mereka mengetahui bahwa
mereka telah meraih tujuan mereka dimasa lalu dan melakukan hal yang sama
untuk tujuan dimasa yang akan datang. Harga diri orang dengan tingkat
harapan yang tinggi tampil dalam ruang privat terkait dengan perasaan bangga
terhadap diri sendiri.
4. Memiliki persepsi tentang kemampuannya dalam pemecahan masalah
Kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah berkaitan dengan pemikiran
seseorang terkait dengan cara pencapaian tujuan. Pada saat mengalami situasi
sulit dalam melakukan cara yang biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan,
mereka menjadi sangat berorientasi pada tugas dan menjalankan cara alternatif
untuk mencapai tujuan. Mereka cenderung telah mengantisipasi permasalahan
dengan mengembangkan perencanaan dengan sistem back-up (cadangan) untuk
mengatasi kemungkinan mengalami suatu kesulitan.
2.2.4 Pengukuran Harapan
Ada beberapa skala harapan untuk melihat kemampuan yang dimiliki seseorang
dalam mencapai sebuah harapan.
1. TheMillerHopeScale(MHS)
TheMillerHopeScale(MHS)dikembangkan olehMiller(1988), yangterdiri dari40
item.

Skordari40

sampai

tinggitingkatharapan.
1)kepuasandengan

200,

semakin

tinggi

Dapatdikelompokkandalam
diri,

orang

lain,

skor,

semakin

tigakomponen:

danhidup,2)penghindaranpada

ancamanharapan,dan3)antisipasipada masa depan. MHStelah digunakandalam

31

berbagai penelitiandanpengaturan yang berbeda, khususnya harapandalam
kelompokpasien dengansakitdiri, dukungan sosialdanpendidikan.
2. TheHerthHopeScale(HHS)
TheHerthHopeScale(HHS)dibuat olehHerth(1991), ada30item, di manauntuk
menggambarkansebagai"tidak pernah berlaku untuk saya" dansebagai "sering
berlaku untuk saya". Skor dari30 sampai 120, semakin tinggi skor, semakin
tinggitingkatharapan. Koefisien reliabilitassampai dengan0.94, melaluitigasub
skala: masa depan, kesiapan, harapan, dan keterkaitan.
3. TheHerthHopeIndex(HHI)
TheHerthHopeIndex(HHI)dibaut

oleh

singkatdariHHS,

subskaladariHHSasli.

termasuktiga

Synder

(2000)adalah
The

versi

HHIterdiri

dari12item, diatur denganskordari 1 sampai 4, di mana1adalah'sangat tidak
setuju' dan4 adalah'sangat setuju'. Skordari12 sampai48,semakin tinggi skor,
semakin tinggi tingkatharapan.
Tetapi dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala Herth Hope Index
(HHI)Snyder (2000) mendefinisikan harapan sebagai kemampuan yang dirasakan
untuk memperoleh jalur ke tujuan (goal) yang diinginkan, dan memotivasi diri
melalui lembaga berpikir (agency) untuk menggunakan jalur (pathway) tersebut.
2.3 Coping Stres
2.3.1 Definisi Stres
Stres seringkali dianggap sebagai keadaan dimana individu merasa tertekan untuk
memenuhi tuntutan dari ligkungan di sekitarnya. Tiap individu merespon tekanan
yang sama dengan cara yang berbada-beda, hal ini menunjukkan bahwa

32

pengalaman tiap individu terhadap stres bergantung pada reaksinya terhadap
tekanan dari luar. Menurut Lazarus dan Folkman, (1984) mengindikasikan suatu
konsep yang sistematis untuk memahami fenomena dalam lingkup yang luas
mengenai pentingnya adaptasi manusia dan juga hewan.
Stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan
tegang. Dalam bahasa sehari-hari stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang
menuntut individu untuk melakukan penyesuaian. Menurut Lazarus dan Folkman
(1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik
dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial
membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk
mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun
psikologis (Rodrigue & Hoffman, dalam Duci, 2011). Stres juga diterangkan
sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk
mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme
yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang
batas kekuatan adaptifnya (Taylor, dalam Duci, 2011).
Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga
bentuk yaitu:
1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang
menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.
2. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang
muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang
muncul dapat secara psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing,

33

serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah
tersinggung.
3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara
aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah lak