Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer

(1)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

COPING STRESS PADA PRIMARY CAREGIVER PENDERITA

PENYAKIT ALZHEIMER

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

RIANTI WIDIASTUTI

04131080

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2008/2009


(2)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Coping stress pada primary caregiver penderita penyakit Alzheimer Rianti Widiastuti dan Hasnida, M.Si.,psikolog

ABSTRAK

Alzheimer merupakan suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat balik, yang dicirikan dengan kemorosotan secara perlahan dari ingatan, penalaran, bahasa, dan fungsi fisik (Santrock, 1995). Alzheimer paling banyak timbul pada usia 65 tahun. Penurunan kognitif pada penderita Alzheimer akan membutuhkan seseorang yang merawat untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang disebut dengan caregiver. Kebanyakan yang menjadi caregiver adalah istri penderita Alzheimer. Penurunan kognitif, gangguan perilaku dan ketergantungan melakukan kegiatan sehari-hari pada penderita Alzheimer serta perubahan hidup yang dialami caregiver akan meningkatkan stres pada caregiver. Oleh karena itu diperlukan bagi caregiver melakukan metode coping yang tepat agar tidak meningkatkan resiko yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran coping stress yang digunakan oleh primary caregiver penderita Alzheimer. Karakteristik responden adalah istri dari penderita Alzheimer pada stadium menengah dan akhir yang berperan menjadi caregiver. Jumlah responden adalah 2 orang. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) sebagai metode utama dalam pengambilan data.

Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa istri yang menjadi caregiver penderita Alzheimer akan mengalami stres ketika memberikan perawatan. Sumber stres pada responden A berasal dari perubahan hidup yang dialaminya dan coping yang digunakan dengan melakukan kekerasan pada suaminya. Hal ini menimbulkan beban pada responden A dapat dilihat dari responden yang tidak menerima perubahan hidupnya. Sedangkan sumber stres pada responden B berasal dari penurunan kognitif pada suaminya yang menderita Alzheimer dan coping yang digunakan dengan mengontrol emosinya dahulu. Hal ini membuat responden B untuk beradaptasi dengan situasi yang ada.


(3)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal seminar ini sampai selesai.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Dr.Hasan Sjahrir dan Ibu Endah, orang tuaku tercinta dan tersayang terima

kasih atas segala pengertian, informasi, dan semangat yang diberikan. Kakakku tersayang, Mbak Puji terima kasih selalu memberikan semangat dan mendengar semua cerita adekmu.

2. Ibu Hasnida, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing seminar ini atas segala

waktu yang diluangkan, bimbingan dan saran selama proses pengerjaan proposal ini dari awal sampai selesai.

3. Ibu Arliza Juairiani Lubis, M.Si, psikolog dan Kak Juliana.I.Saragih, S.Psi selaku

dosen penguji atas petunjuknya hingga proposal ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Bapak Ari Widiyanta, Psikolog atas keluangan waktu, bimbingan dan masukan

yang diberikan.

5. NK yang bersedia untuk melakukan wawancara dan memberikan cerita yang

membantu penulis menyelesaikan proposal ini.

6. Langit Athar Yudhistira dan Adriansyah Lubis, lelaki baik yang selalu mendengar

semua ceritaku dan memberikan semangat, canda tawa, dan bahagia.

7. Teman-temanku tersayang: Indri, Rina & Liya (kita jarang ketemu ya..), Wita,


(4)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Kiaw, Ecad (makasih buat semua kata-kata dan masukannya yang membuatku lebih semangat), teman-teman yang lagi seminar Psikologi Klinis juga (terima kasih buat semua informasi dan motivasinya...semangat..!!) serta teman-teman mahasiswa psikologi stambuk 2004 terima kasih buat semua masukan, semangat, dan cerita yang diberikan.

8. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan

dukungan dan bantuan hingga seminar ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa proposal ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca demi kesempurnaan proposal ini. Harapan peneliti semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait, lingkungan akademik Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, serta para pembaca pada umumnya,

Terima kasih

Medan, Juni 2008


(5)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

BAB I. PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang... 1

I.B. Perumusan Masalah... 9

I.C. Tujuan Penelitian... 9

I.D. Manfaat Penelitian... 10

I.D.1.Manfaat teoritis... 10

I.D.2.Manfaat praktis... 10

I.E. Sistematika Penulisan... 11

BAB.II. LANDASAN TEORI II.A. Stres... 12

II.A.1.Pengertian Stres... 12

II.A.2.Sumber Stres... 13

II.B. Coping Stress... 14

II.B.1.Pengertian Coping... 14

II.B.2.Fungsi Coping Stress... 16

II.B.3.Metode Coping Stress... 16

II.C. Penyakit Alzheimer... 18

II.C.1.Gambaran Umum penyakit Alzheimer... 18

II.C.2.Kriteria Diagnostik Alzheimer... 20


(6)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

II.C.4.Stadium Penyakit Alzheimer... 24

II.D.Coping Stress pada Caregiver Keluarga Penderita Alzheimer... 25

II.F. Paradigma... 28

BAB. III. METODE PENELITIAN III.A. Penelitian Kualitatif... 29

III.B. Subjek Penelitian... 30

III.B.1.Karakteristik Subjek Penelitian... 30

III.B.2.Jumlah Subjek Penelitian... 30

III.B.3.Teknik Pengambilan Sampel... 31

III.B.4.Lokasi Penelitian... 31

III.C. Metode Pengumpulan Data... 31

III.C.1.Wawancara... 32

III.D. Alat Bantu Pengambilan Data... 33

III.D.1.Pedoman Wawancara... 33

III.D.2.Tape Recorder... 33

III.E. Prosedur Analisis Data... 34

BAB. IV. ANALISA DATA IV.A.Responden A………... 35

A.1. Analisa Data……… 35

A.2. Pembahasan Data………. 40

IV.B. Responden B……….. 41

B.1. Analisa Data………. 41

B.2. Pembahasan Data……….. 55


(7)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB V. KESIMPULAN,DISKUSI,SARAN………. 59

DAFTAR PUSTAKA... v BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia di dunia akan mengalami beberapa proses dimulai dengan kelahiran sampai dengan akhir kehidupan. Usia lanjut merupakan periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang dimana telah mengalami perubahan-perubahan yang tidak sama ketika periode sebelumnya. Dalam proses tersebut manusia akan mengalami tahap perkembangan yang berbeda dan setiap tahap yang dilalui akan memberikan beberapa perubahan. Perubahan tersebut terjadi pada fungsi biologis dan motoris, pengamatan dan berpikir, motif-motif dan kehidupan afeksi, hubungan sosial serta integrasi masyarakat (Monks, 2002).

Menurut Hurlock (1980), salah satu ciri usia lanjut adalah mengalami periode kemunduran. Kemunduran yang terjadi seperti mengalami perubahan fisik dan mental yang sudah tidak sama ketika periode sebelumnya. Kemunduran fisik dan mental yang terjadi secara bertahap dan perlahan disebut dengan proses menjadi tua.

Pada saat proses penuaan, otak dapat mengalami gangguan kognitif atau intelektual. Gangguan tersebut sering diistilahkan dengan kepikunan. Kepikunan dianggap sebagai proses

fisiologis yang wajar pada saat terjadinya penuaan. Cummings dan Benson (1992)

menggunakan istilah "senescence" yang menandakan perubahan proses menua yang masih


(8)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

pada lanjut usia tetapi belum pikun, dan apabila sudah ada gangguan kepikunan maka istilahnya adalah “dementia” (Besdin, 1987 dalam Sjahrir, Darulkutni, Rambe, 1999 ).

Demensia merupakan kekurangan fungsi kognitif secara progresif yang banyak muncul pada usia lanjut (Sarafino, 2006). Karakteristik Demensia ditandai dengan gejala-gejala gangguan pada komponen kognitif seperti berbahasa, memori, visuospasial, atensi, dan fungsi eksekutif. Biasanya gangguan memori selalu ada dan diikuti oleh gangguan kognitif lainnya (Sjahrir, Darulkutni, Rambe, 1999).

Salah satu penyebab dari Demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyakit Alzheimer merupakan suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat balik, yang dicirikan dengan kemorosotan secara perlahan dari ingatan, penalaran, bahasa, dan fungsi fisik (Santrock, 1995). Penyakit Alzheimer paling banyak timbul setelah usia 65 tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), memperkirakan lebih dari satu milyar orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun atau 10% penduduk dunia menghidap penyakit Alzheimer pada tahun 2003. Peningkatan ini, ada kaitannya dengan semakin banyak penduduk dunia yang berusia lanjut. Pada saat ini penderita penyakit Alzheimer di dunia diperkirakan sebanyak 15 juta orang (www.w3c.org). Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut di atas 60 tahun adalah 7,2% (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi. Penderita penyakit Alzheimer di Indonesia sendiri diperkirakan sebanyak 606.100 orang dengan insiden 191.400 orang (www.koalisi.org). Penyakit Alzheimer merupakan penyakit yang menyebabkan kematian nomor empat setelah kanker, stroke, dan penyakit jantung.

Angka kejadian Alzheimer sangat erat dengan penambahan usia. Pada usia 65 tahun lebih angka kejadian kepikunan adalah 8%, meningkat secara pasti menjadi 25% pada usia


(9)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

lebih dari 80 tahun, dan 40% pada usia 90 tahun lebih ( dalam Sjahrir, Darulkutni, Rambe, 1999).

Penderita penyakit Alzheimer akan mengalami beberapa perubahan di otak yang akan menganggu aktivitas kehidupan sehari-hari. Gangguan otak pada penyakit Alzheimer ditandai dengan penurunan pada perhatian, memori, dan kepribadian. Perubahan kepribadian penderita Alzheimer terjadi secara tiba-tiba dimana penderita menjadi kurang spontan dan lebih menarik diri dari orang lain. Penderita penyakit Alzheimer juga sering mengalami disorientasi dalam waktu, tempat, dan identitas mereka (Sarafino, 2006).

Penurunan kognitif yang terjadi pada penderita penyakit Alzheimer berlangsung semakin menurun secara progresif dan biasanya tampak dalam waktu lima sampai 10 tahun mendatang. Kekurangan kemampuan sosial dan penurunan melakukan aktivitas sehari-hari akan membuat penderita memerlukan bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Bayer&Reban, 2004). Bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penderita membutuhkan seseorang untuk merawat. Seseorang yang melakukan perawatan disebut dengan caregiver. Caregiver terdiri dari formal dan tidak formal. Caregiver formal merupakan perawatan yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga profesional lainnya yang diberikan dan melakukan pembayaran. Sedangkan caregiver yang tidak formal merupakan perawatan yang dilakukan di rumah dan tidak profesional dan tanpa melakukan pembayaran seperti keluarga penderita yaitu istri/suami, anak perempuan/laki-laki, dan anggota keluarga lainnya. Kebanyakan para penderita penyakit Alzheimer akan tinggal di rumah dan menerima perawatan dari keluarga mereka (Sarafino, 2006). Di Indonesia, para penderita penyakit Alzheimer masih ditangani oleh keluarga dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Organisasi dan kelompok formal yang belum banyak


(10)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

tersedia di Indonesia menyebabkan kebanyakan penderita penyakit Alzheimer menerima perawatan di rumah dan diberikan oleh keluarganya (Kusumoputro & Sidiarto, 2004).

Caregiver memiliki beberapa tugas yang dilakukan yaitu (1) emotional support, pemberian saran; (2) asisten dalam pekerjaan rumah tangga (seperti pembersihan rumah, persiapan makan, belanja, transportasi); (3) perawatan diri (seperti mandi, berpakaian, makan, persiapan obat); (4) mengatur keuangan; (5) membuat keputusan tentang perawatan dan berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan formal (seperti mengatur pelayanan dalam rumah dan pelayanan kesehatan); (6) asisten pengaturan finansial (Brody & Schoonover, 1986; Horowitz, 1985; Noelker, 1987; Townsend & Poulshock, 1986 dalam Birren & Schaie, 1990).

Efek dari penyakit Alzheimer tidak hanya berdampak bagi penderita tetapi juga berdampak pada anggota keluarga yang memberikan perawatan atau caregiving (Berk, 2007). Kejadian yang stressful pada caregiver saat melakukan perawatan pada penderita penyakit Alzheimer berhubungan dengan gangguan kognitif, fungsional dan perilaku yang dialami oleh penderita. Aneshensel et al. (1995) menjelaskan objective stressor seperti kerusakan kognitif, ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan masalah perilaku. Sedangkan subjective stressor seperti reaksi caregiver pada objective stressor yang ada (dalam Robertson, Zarit, Duncan, Rovinne, & Femia, 2007).

Salah satu stressors dari objective stressor adalah munculnya gangguan perilaku pada penderita. Beberapa gangguan perilaku tersebut yaitu termasuk gangguan mood (seperti depresi dan kecemasan), gangguan aktivitas (seperti mengembara), perilaku yang mengganggu dan menuntut (seperti agresi secara fisik dan verbal), dan gejala psikotik (seperti delusi). Gangguan perilaku yang merupakan karakteristik pada penderita Alzheimer


(11)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

dapat berhubungan dengan munculnya depresi pada caregiver (Schulz, 1995 dalam

Penderita penyakit Alzheimer semakin lama akan kehilangan fungsi kognitif, kemampuan untuk melakukan tugas yang sederhana dan mengingat. Hilangnya fungsi kognitif pada penderita penyakit Alzheimer akan membuat keluarga penderita Alzheimer akan semakin frustasi (Migliorelli, 1995 dalam Sarafino, 2006). Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara singkat dengan caregiver penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut seperti :

“..kita lihat kemundurannya hari ke hari..kadang-kadang itu yang bikin stres.. kalo kita perhatiin, kelihatan juga mundur..dari segi daya ingat, pikiran, sifatnya juga dah berubah....” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Menurut hasil observasi peneliti pada fenomena yang dialami oleh NK (79 tahun) yang merupakan istri dari KK (91 tahun) di Kota Medan merupakan salah satu contoh dari munculnya stres pada caregiver akibat gangguan perilaku yang dialami oleh penderita penyakit Alzheimer. KK menderita penyakit Alzheimer selama kurang lebih tujuh tahun. Sebelum KK menderita penyakit Alzheimer, KK merupakan sosok yang sangat lembut dan baik. KK tidak pernah marah kepada istrinya dan anak-anaknya. Setelah KK menderita penyakit Alzheimer, KK berubah menjadi sosok yang tidak lembut, sering marah tanpa alasan, dan membentak istrinya dan anak-anaknya. KK juga sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan yang banyak, tidur yang cukup, dan lainnya. Gangguan-gangguan tersebut menyebabkan istri KK yaitu NK yang merupakan caregiver penderita menjadi stres yang berlanjut. NK menjadi sulit tidur dan sering meminta obat ke dokter untuk mengurangi stres.

Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang terkena penyakit Alzheimer menjadi tuntutan bagi pasangan penderita dan anak penderita yang sudah dewasa.


(12)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Pengalaman dalam memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang terkena penyakit Alzheimer dapat memberikan hasil yang negatif pada caregiver. Hasil negatif tersebut antara lain stres, strain, masalah kesehatan fisik dan mental, dan beban (Aneshensel, Pearlin, Mullen, Zarit, & Whitlatch, 1995; Schulz & Beach, 1999 dalam Robertson, Zarit, Duncan, Rovinne, & Femia, 2007). Caregiver juga memiliki waktu yang sedikit diberikan untuk anggota keluarga lainnya dan untuk aktivitas waktu luang bagi dirinya sendiri (Ory et al, 1999 dalam Hooyer & Roodin, 2003).

Istri yang menjadi caregiver bagi penderita Alzheimer lebih mengalami simtom depresi daripada suami. Hal ini dikarenakan kehilangan kedekatan seperti saling bercerita dan melakukan aktivitas bersama dalam hubungan perkawinan berhubungan dengan kerusakan kognitif yang dialami penderita Alzheimer (Hoyer&Roodin, 2003).

Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara singkat dengan caregiver penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut seperti :

“...kita butuh kawan..untuk ngobrol dah gak bisa la.. gak bisa cerita apa aja gak bisa lagi.. dia ngerti sih tapi abis itu lupa lagi.. kadang pengen cerita yang dulu-dulu.. tapi gak bisa lagi.. memang jadi stres juga.. kita ada anak-anak, tapi dah ada kesibukan masing-masing.. gak bisa terus sama.. kadang kalo malam dah mau tidur kita gak ada kawan lagi.. jadi gimanapun juga suka stres sih. .sering lah.. kadang juga sampe minta obat ma dokter.. jadi susah tidur... ” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Tuntutan untuk merawat penderita penyakit Alzheimer dapat menimbulkan masalah fisiologis dan emosional bagi keluarganya (Sarafino, 2006). Istri menjadi lebih terbebani dengan kesehatan penderita Alzheimer seperti menjadi lebih khawatir, frustasi, dan tidak sabar sehingga mengakibatkan kerja yang berlebihan (Barrow, 1996). George dan Gwyther (1986) menemukan bahwa pada caregiver penderita demensia lebih mengalami stres daripada penyakit kronis lainnya.


(13)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Stres yang dialami oleh caregiver akan mempengaruhi kesehatan mereka sendiri yaitu sistem imun yang rendah, hormon stress yang tinggi, dan tingkat angka kematian yang tinggi (Sarafino, 2006). Caregiver berusaha untuk mengimbangi potensi yang ia miliki dengan tuntutan untuk memberikan perawatan. Penerimaan potensi yang dimiliki caregiver dapat membuat dirinya menjadi lebih aktif dan melihat situasi yang ada dengan pandangan positif (dalam Dacey dan Travers, 2002).

Pada saat mengalami stres, orang akan mencari dan menggunakan berbagai cara untuk mengurangi dan menghilangkan stresnya atau biasa disebut dengan coping stress (Sarafino, 2006). Folkman dan Lazarus (dalam Rice, 1992) mendefinisikan coping sebagai usaha individu dalam menghadapi dan bertingkah laku untuk menguasai, mengurangi, atau memaklumi permintaan atas dirinya. Menurut Lazarus,dkk (1994) coping mempunyai dua macam fungsi yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping.

Emotion-focused coping digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan respon emosi menggunakan dua pendekatan yaitu perilaku dan kognitif. Pendekatan perilaku termasuk dengan menggunakan alkohol, mencari social support dari teman atau keluarga, dan melakukan aktivitas lain. Sedangkan pendekatan kognitif adalah bagaimana orang berpikir mengenai situasi stressful (Sarafino, 2006). Social support merupakan perantara bagi caregiver untuk mengurangi stres. Penerimaan social support yang baik akan meningkatkan semangat dan mengurangi beban pada caregiver(Birren dan Schaie, 1990).

Hal yang sama juga diperoleh dari hasil wawancara singkat dengan caregiver penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut beragam mulai dari pernyataan seperti:

“..banyak baca juga tentang penyakit Alzheimer... kalo gak, jadi kesel terus..soalnya kita gak ngerti..makanya harus ngerti sama cari-cari informasi...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)


(14)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

“kalo jenuh ya keluar...pergi ke supermarket..yang dibeli juga satu atau dua barang aja.. tapi yang penting keluar aja dulu...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Caregiver mengambil salah satu dari tiga tipe emosional dalam coping stress dengan merawat anggota keluarga yang menderita penyakit Alzheimer. Tipe-tipe tersebut adalah confrontatial ( seperti marah, bersalah, sedih), denial (seperti menekan emosi negatif), dan penghindaran (Hooyer & Roodin, 2003).

Beberapa penelitian menemukan bahwa penggunaan strategi emotion-focused coping yang berbeda seperti penghindaran, pengharapan, dan pelepasan emosi dapat meningkatkan depresi pada caregiver. Penggunaan satu strategi emotion-focused yaitu penerimaan dapat mengurangi efek negatif pada caregiver (Pruchno & Resch, 1989 dalam dengan caregiver penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut beragam mulai dari pernyataan seperti:

“...mesti banyak sabar... kalo marah juga percuma..dianya juga gak tahu.. tapi akhirnya jadi stres... yah, kita harus bisa nerima memang dah jalannya dan seperti ini.. kita balik lagi ke agama...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

“...ada kejenuhan...tapi abis itu mikir jalan hidup yang harus kita jalani..dengan tawakkal..kalo gak, kita sendiri yang pusing sendiri...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Problem-focused coping digunakan oleh individu dengan mengurangi tuntutan dari situasi stressful atau mengembangkan sumber pada dirinya. Individu akan mengurangi stressor dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru. Pendekatan problem-focused cenderung digunakan jika individu yakin akan dapat merubah situasi. Caregiver pada pasien terminal illness menggunakan problem-focused coping pada beberapa bulan sebelum menuju kematian (Sarafino, 2006).


(15)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Terkadang individu menggunakan tipe Emotion-Focused Coping dan Problem-Focused Coping secara bersamaan ketika mereka menghadapi situasi yang stressful. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), penggunaan strategi coping stress yang efektif dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dimana strategi tersebut digunakan.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas peneliti ingin mengetahui bagaimana pengalaman stres yang dialami oleh keluarga penderita Alzheimer dan coping stress pada keluarga yang merawat individu penderita Alzheimer.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pengalaman stres pada caregiver yaitu pasangan dari individu penderita

Alzheimer?

2. Bagaimanakah strategi coping stress yang digunakan oleh caregiver yaitu pasangan dari

individu penderita Alzheimer?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman stres dan gambaran strategi coping stress yang dialami oleh pasangan penderita penyakit Alzheimer yang berperan menjadi primary caregiver penderita.


(16)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk perkembangan ilmu psikologis, khususnya di bidang Psikologi Klinis dan bermanfaat menjadi salah satu sumber informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah yang berkaitan dengan coping stress pada pasangan penderita penyakit Alzheimer yang berperan menjadi primary caregiver penderita.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada keluarga dan orang-orang di sekitar individu penderita Alzheimer, institusi yang berada dalam bidang Alzheimer dan pihak lain yang berkepentingan mengenai coping stress pada pasangan dari individu penderita Alzheimer sehingga diharapkan dapat membantu mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan individu penderita Alzheimer tersebut.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang stres, coping stress, caregiving dan caregiver, dan penyakit Alzheimer.


(17)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB III : Metodologi Penelitian

Berisikan pendekatan yang digunakan, subjek penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisis data

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres

1. Pengertian Stres

Dalam buku Stres and Health, Rice (1992), mendefinisikan stres dengan tiga pengertian yang berbeda, yaitu :


(18)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

a. Stres mengarah pada setiap kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan

seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari eksternal seseorang. Kondisi yang dapat menimbulkan stres disebut dengan stressor. Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang memaksa tubuh dan menyebabkan timbulnya ”physiological reaction” adalah stressor.

b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian internal

dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri, interpretasi dan proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.

c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun menghilangkan

gangguan.

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) mengatakan stres adalah keadaan dimana transaksi yang ada membuat orang mempunyai kesenjangan antara tuntutan fisik atau fisiologis dari situasi dan sumber dari sistem biologis, psikologis, dan sosialnya.

Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) mengatakan stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan, dan lainnya) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping. Penyebab stres yang berasal dari fisik, lingkungan, dan sosial dapat diartikan dengan stressor. Sekali dimunculkan oleh stressor maka memberikan berbagai macam respon, yaitu respon secara fisik dan psikologis seperti kecemasan, depresi, keputusasaan, dan perasaan lainnya yang tidak dapat diatasi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres adalah terjadinya kesenjangan antara tuntutan fisik, lingkungan, dan sosial dengan sumber daya yang dimiliki individu.


(19)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

2. Sumber Stres

Sarafino (2006) mengatakan tiga jenis sumber stres yang dapat terjadi pada kehidupan, yaitu :

1. Sumber yang berasal dari individu

Salah satu sumber stres yang berasal dari individu adalah terkenanya penyakit. Sumber stres yang lain adalah ketika munculnya konflik pada individu.

2. Sumber yang berasal dari keluarga

Tingkah laku, kebutuhan, dan kepribadian masing-masing anggota keluarga dapat memberikan dampak dan berhubungan dengan sistem keluarga yang terkadang menghasilkan stres. Sumber-sumber stres dapat berasal dari adanya anggota baru dalam keluarga misalnya kelahiran anak, perceraian, dan penyakit dan kematian pada anggota keluarga dimana jika ada orang tua yang sakit dan harus dirawat oleh anggota keluarganya dapat meningkatkan stres terutama orang tersebut harus dirawat terus menerus dan mengalami penurunan mental (Martine&Schulz, 2001).

3. Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat

Hubungan interpersonal yang ada di luar keluarga dapat menjadi sumber stres. Pengalaman pada orang dewasa yang dapat menjadi sumber stres berhubungan dengan pekerjaan mereka dan berbagai situasi lingkungan yang dapat menjadi tertekan.

B. Coping Stress 1. Pengertian Coping


(20)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Taylor, 2003), coping adalah proses yang mengatur tuntutan dari eksternal atau internal yang muncul melampaui batas sumber daya seseorang. Coping terdiri dari usaha langsung pada aksi dan intrapsychic untuk mengatur (seperti mengurangi, memahami, mengecilkan) lingkungan dan tuntutan dari internal serta konflik diantara keduanya. Definisi dari coping ini mempunyai beberapa aspek, yaitu :

1. Hubungan antara coping dan situasi yang penuh tekanan merupakan proses yang

dinamis. Coping merupakan gabungan transaksi antara seseorang yang mempunyai susunan sumber daya, nilai, dan komitmen dengan suatu lingkungan khusus yang mempunyai sumber daya, tuntutan dan paksaannya sendiri.

2. Definisi kedua dari coping adalah keluasan cakupannya. Definisi ini meliputi

banyak aksi dan reaksi terhadap situasi yang penuh tekanan. Reaksi emosi seperti marah atau depresi dapat dijadikan bagian dari proses coping dan juga aksi yang dijalankan untuk menghadapi situasi tersebut.

Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) mengatakan coping adalah usaha seseorang untuk mengatur kesenjangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki dalam situasi yang penuh dengan tekanan. Usaha coping dapat diartikan dengan memperbaiki masalah dan dapat juga membantu seseorang merubah pandangannya terhadap kesenjangan, menerima ancaman, atau menghindar dari situasi.

Menurut Suls dan Fletcher (Rice, 1992) bahwa perilaku coping mungkin bersifat positif atau negatif, aktif atau menghindar, secara langsung atau tidak langsung. Hal ini mencakup mencari pertolongan, mencari informasi atau perhatian yang menyenangkan.


(21)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa coping adalah suatu proses dimana individu berusaha untuk mengatur atau mengelola diri terhadap tuntutan-tuntutan baik secara internal maupun eksternal.

2. Fungsi Coping Stres

Secara umum menurut Lazarus, dkk ( Sarafino, 2006) coping mempunyai dua fungsi, yaitu:

a. Emotion-focused coping

Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan respon emosi menggunakan dua pendekatan yaitu perilaku dan kognitif. Pendekatan perilaku termasuk dengan menggunakan alkohol, mencari social support dari teman atau keluarga, dan melakukan aktivitas lain. Sedangkan pendekatan kognitif adalah bagaimana orang berpikir mengenai situasi yang penuh tekanan.

b. Problem-focused coping

Digunakan oleh individu dengan mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan atau mengembangkan sumber daya pada dirinya. Individu akan mengurangi stresor dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru. Pendekatan ini cenderung digunakan jika individu yakin akan dapat merubah situasi.

3. Metode Coping Stres

Taylor (2003) mengatakan bahwa metode coping terdiri dari:

a. Planful Problem Solving yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah usaha untuk fokus pada masalah dan mencari pemecahannya.


(22)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

b. Confrontative adalah coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah usaha yang agresif untuk mengubah situasi.

c. Seeking Social Support adalah coping yang bertujuan sebagai Problem focused, adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari informasi dari orang lain.

d. Direct Action yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah tindakan secara langsung untuk merubah situasi menjadi lebih baik.

e. Distancing adalah coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha untuk melepaskan diri dari situasi yang penuh dengan tekanan.

f. Escape/Avoidance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha untuk meghindar atau lari dari masalah.

g. Self Control yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah yaitu mengatur perasaan atau tindakan seseorang yang berhubungan dengan masalah yang ada.

h. Accepting Responsibility yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah yaitu berusaha mengambil pengetahuan tentang peranannya dalam suatu masalah,sambil berusaha membetulkan apa yang salah.

i. Positive Appraisal yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah usaha untuk mendapatkan makna yang positif dalam pengalaman dengan fokus pada pertumbuhan diri.

j. Emotional Discharge yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah melibatkan pengekspresian atau pelepasan perasaan tentang situasi yang menekan. k. Religion yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk


(23)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

l. Acceptance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk menerima kenyataan mengenai situasi yang terjadi.

m. Cognitive Redefinition yaitu berusaha tetap terlihat baik didalam situasi yang buruk, membuat sesuatu perbandingan dengan orang lain yang lebih rendah, atau melihat sesuatu yang baik yang muncul dari masalah itu.

n. Denial yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk menolak situasi yang tidak menyenangkan.

o. Intrusive Troughts yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah berpikir berulang-ulang tentang kesalahan orang lain sehingga muncul masalah tersebut.

C. Caregiving dan Caregiver

1. Pengertian Caregiving dan Caregiver

Meningkatnya harapan hidup manusia sehingga bisa mencapai usia lanjut merupakan perubahan demografis yang terjadi paling drastis pada abad ke-20. Usia lanjut merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh yang tidak sama ketika periode sebelumnya (Papalia, 2001).

Penurunan fungsi tubuh yang dialami para lansia merupakan salah satu alasan mengapa para lansia membutuhkan bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari disebabkan mereka menderita penyakit kronis. Pemberian bantuan ini bisa datang dari institusi formal seperti perawat rumah sakit atau tenaga professional lainnya atau dari mekanisme informal seperti keluarga, kerabat atau lingkungan di sekitarnya.


(24)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Pemberian bantuan atau perawatan oleh anggota keluarga kepada para lanjut usia biasa disebut dengan caregiving. Lund (1993) mendefinisikan caregiving atau pemberian perawatan sebagai berikut :

“Caregiving is informal, unpaid care of a person whose independence is physically, mentally, or economically limited. It may include errands, chauffeuring, help with finances, or housework, or complete physical care.”

(dalam Papalia and Sterns, 2002)

Schulz, Mittelmark, Burton, Hirsch, & Jackson (1997) mendefinisikan caregiving sebagai berikut :

“Caregiving is typically defined as living with or being related to an elderly individual with a cognitive deficit and/or functional disability. Relatives of the disabled elderly person are presumed to be providing care by virtue of their relation to the disabled person and/or because they live with them, even though no direct evidence is reported regarding the extent to which care provision actually occurs”

(dalam Schulz, Mittelmark, Burton, Hirsch, & Jackson, 1997)

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa caregiving adalah pemberian perawatan atau bantuan secara informal dan tidak menerima pembayaran kepada individu yang tidak mandiri serta memiliki keterbatasan fisik, mental atau ekonomi. Anggota keluarga dari lansia yang mempunyai keterbatasan mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perawatan kepada lansia tersebut dikarenakan mereka tinggal bersama lansia tersebut atau mempunyai tugas moral yang harus dipenuhi. Bentuk pemberian bantuan termasuk berbelanja, membawa kendaraan, membantu secara finansial, pekerjaan rumah atau perawatan fisik secara utuh.


(25)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Mahalnya biaya panti wredha atau rumah perawatan dan keengganan para lanjut usia

untuk dirawat disana, membuat para lanjut usia yang membutuhkan bantuan memperoleh

perawatan di rumah.

“Someone whose life is in some way restricted by the need to be responsible for the care of someone who is mentally ill, mentally handicapped, physically disabled or whose health is impaired by sickness or old age.”

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa caregiver merupakan seseorang yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perawatan pada seseorang yang sakit secara mental, ketidakmampuan secara fisik atau kesehatannya terganggu karena penyakit atau usia tua yang diderita.

2. Tugas-tugas Caregiving

Menurut Brody & Schoonover (1986), Horowitz (1985), Noelker (1987), Townsend & Poulshock (1986) (dalam Birren & Schaie, 1990) mengatakan ada enam jenis tugas yang dilakukan oleh caregiver, yaitu :

1. Memberikan dukungan emosi dan pemberian saran

2. Asisten dalam melakukan pekerjaan rumah tangga seperti pembersihan rumah,

persiapan makan, belanja, dan transportasi

3. Membantu dalam perawatan personal seperti memandikan, membantu berpakaian,

makan, dan mempersiapkan obat

4. Mengatur keuangan

5. Membuat keputusan tentang perawatan dan berhubungan langsung dengan pelayanan

kesehatan formal seperti mengatur pelayanan dalam rumah dan pengasuhan


(26)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

3. Jenis-Jenis Caregiver

Menurut Barrow (1996), caregiver terdiri dari dua jenis, yaitu :

1. Caregiver formal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan melakukan pembayaran yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga profesional lainnya

2. Caregiver informal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan tidak melakukan pembayaran dan tidak secara tenaga professional. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah dan biasa diberikan oleh pasangan penderita, anak dari penderita atau anggota keluarga lainnya.

4. Gambaran Kerangka Proses Stres dan Coping Stres pada Caregiver

Dalam Birren dan Schaie (1999), elemen-elemen dari gambaran proses stress dan coping pada caregiver terdiri dari :

a. Stressor atau kejadian hidup

Stressor pada model ini terdiri dari dua bentuk yaitu pertama masalah kesehatan yang dialami oleh penderita seperti gejala penyakit yang timbul. Menurut Aneshensel et al. (1995) gejala penyakit yang timbul pada penderita Alzheimer seperti kerusakan kognitif, ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan gangguan perilaku. Hal ini dikatakan sebagai objective stressor pada caregiver. Stressor kedua yaitu perubahan hidup yang terjadi pada caregiver saat ia memberikan perawatan. Perubahan hidup yang terjadi pada caregiver seperti berubahnya tuntutan peran dari yang dahulu dan adanya tuntutan dari keluarga, tempat kerja, pertemanan, dan


(27)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

finansial yang dialami oleh caregiver. Bagaimana reaksi caregiver terhadap objective stressor yang ada. Hal ini dikatakan sebagai subjective stressor.

b. Appraisal

Appraisal dalam model ini mempunyai dua aspek yaitu pertama persepsi caregiver terhadap gejala-gejala penyakit yang timbul pada penderita sebagai sesuatu yang menyedihkan atau dapat diatasi. Sedangkan aspek kedua yaitu penerimaan caregiver terhadap perubahan hidupnya yang terjadi setelah ia memberikan perawatan. Perubahan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diterima atau tidak diterima dan seberapa banyak ia dapat memberikan perawatan.

c. Mediator

Pada elemen ini, mediator dari kejadian yang stressful termasuk sumber yang dimiliki oleh caregiver seperti kontribusi finansial, pendidikan, dukungan sosial, dan asisten formal. Mediator kedua yaitu kemampuan coping stress pada caregiver. Kemampuan coping termasuk (1) mengatur situasi yang ada seperti memecahkan masalah atau mencari bantuan, (2) mengatur arti atau penerimaan dari situasi yang ada seperti menolak untuk memikirkan, dan (3) mengatur gejala stres seperti mencari dukungan sosial dan melakukan aktivitas lain.

d. Hasil yang keluar pada caregiver

Hasil yang ada pada caregiver biasanya mengarah pada bentuk stres atau beban yang dirasakan. Bentuk dari stres termasuk distres secara emosi, muncul masalah kesehatan pada caregiver, aktivitas sosial yang berkurang dilakukan, perubahan dalam hubungan dengan penderita yang diberikan perawatan, dan tuntutan finansial yang muncul.


(28)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

*Kerangka proses terjadinya stres dan coping pada caregiver*

Event Stressor Appraisal Mediator Outcomes

Simtom pada Persepsi caregiver

Orang Tua pada simtom sbg Coping

menyedihkan atau Stress

dapat diatasi

Penyakit Beban,Distress

yang Timbul atau Adaptasi

Perubahan Penerimaan pada Sumber dan Hidup perubahan hidup Dukungan Sosial

Caregiver caregiver

D. Penyakit Alzheimer

1. Gambaran umum Penyakit Alzheimer

Alzheimer atau sebutannya az-zhai-me, merupakan sejenis

saraf

menular. Penyakit Alzheimer adalah keadaan di mana daya ingatan seseorang merosot dengan parahnya sehingga pengidapnya tidak mampu mengurus diri sendiri. (Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia).


(29)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Penyakit Alzheimer adalah kerusakan otak yang ditandai dengan penurunan dari perhatian, memori, dan kepribadian. Fungsi kognitif pada penderita penyakit Alzheimer tidak hilang pada satu saat. Fungsi pertama yang menurun adalah perhatian dan memori. Perubahan kepribadian sering muncul dimana penderita menjadi kurang spontan, lebih apatis, dan menarik diri. Munculnya penurunan perhatian terhadap diri sendiri dan masalah perilaku muncul ketika penderita menjadi sering berkelana dan tersesat. Penderita mengalami disorientasi dalam memperhatikan waktu, lokasi, dan identitas mereka. Penurunan ini semakin berkembang jika penderita mengalami kekurangan dalam bahasa atau mempunyai sejarah pada alkohol atau gangguan neurologis seperti stroke atau Parkinson (dalam Sarafino, 2006).

Tanda-tanda klasik yang dialami oleh kebanyakan penderita pada stadium awal sebagai berikut :

1. Short-term memory loss

Kemunduran fungsi memori merupakan tanda yang paling awal 2. Learning and retaining new information

Penderita mengalami kesulitan untuk belajar hal yang baru. Akibatnya adalah mengulang-ulang sesuatu seperti pada pembicaraan dan janji.

3. Reasoning and abstractive thought

Kesulitan untuk melihat kalender, memahami lelucon, atau menentukan waktu. Mengalami kesukaran dalam menghitung buku cek, memasak atau tugas yang membutuhkan langkah berurutan.


(30)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Mengalami kesukaran dalam kemampuan untuk mengantisipasi atau mempertimbangkan akibat suatu peristiwa atau tindakan. Tidak mampu memecahkan masalah sehari-hari.

5. Language skills

Sangat sulit menemukan kata yang benar dalam mengungkapkan pikiran. 6. Inhibition and impulse control

Penderita yang dahulu pasif menjadi lebih agresif dan kadang-kadang berperilaku tidak wajar.

Berdasarkan beberapa gambaran mengenai penyakit Alzheimer di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit Alzheimer merupakan penurunan kemampuan kognitif yang terjadi secara progresif dan penderita mengalami beberapa perubahan.

2. Gejala Penyakit Alzheimer

Alzheimer's Disease and Related Disorders Association (dalam Adesla, 2007), membuat 10 gejala penyakit Alzheimer yang sering muncul sebagai berikut:

1. Hilang ingatan.

Salah satu gejala awal dari demensia adalah melupakan informasi yang baru dipelajari. Pada orang normal, wajar bila melupakan janji, nama atau nomor telepon. Pada mereka yang mengidap demensia, mereka akan melupakan berbagai hal seperti itu lebih sering dan kemudian tidak ingat akan hal tersebut.

2. Sulit untuk mengerjakan tugas yang familiar.

Orang yang terkena demensia seringkali kesulitan untuk menyelesaikan tugas sehari-hari yang sangat mereka ketahui yang tidak perlu berpikir untuk melakukannya. Orang yang terkena demensia tidak akan mengetahui langkah-langkah untuk


(31)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

menyiapkan makanan, menggunakan perabot rumah tangga atau berpartisipasi dalam melakukan kegemarannya selama ini.

3. Bermasalah dengan bahasa.

Sesekali, setiap orang dapat memiliki masalah dalam menemukan kata yang tepat, namun pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka seringkali lupa akan kata-kata sederhatana ataupun substitusi dari kata yang tidak biasa digunakan, membuat ucapan atau tulisannya sulit untuk dimengerti. Contohnya: jika orang yang mengidap Alzheimer kesulitan untuk menemukan sikat giginya, maka ia akan bertanya "sesuatu untuk mulut saya".

4. Disorientasi waktu dan tempat.

Normal jika lupa hari dari minggu itu atau dimana kamu pergi. Tapi orang yang mengidap Alzheimer dapat tersesat di jalan dekat rumahnya sendiri, lupa dimana dia berada dan bagaimana ia dapat sampai ke tempat tersebut, dan tidak tahu bagaimana caranya dia bisa kembali ke rumah.

5. Lemah atau kurang baik dalam mengambil keputusan.

Tidak ada seorang pun yang memiliki keputusan sempurna di sepanjang waktu. Namun demikian, pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka mengenakan baju tanpa mempertimbangkan cuaca, memakai beberapa kaos di hari yang panas atau memakai pakaian yang sangat minim ketika cuaca dingin. Orang dengan demensia seringkali menunjukkan keputusan yang lemah atau kurang baik mengenai uang, mereka memberikan sejumlah besar uang kepada para telemarket atau membayar perbaikan rumah ataupun membeli barang yang tidak mereka butuhkan.


(32)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Menyeimbangkan buku cek mungkin menjadi begitu sulit ketika tugas tersebut lebih rumit dari biasanya. Namun demikian, pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka akan benar-benar lupa berapa jumlah/angkanya, dan apa yang harus mereka lakukan terhadap angka-angka tersebut.

7. Salah menempatkan segala sesuatu.

Setiap orang dapat secara tidak disengaja salah menempatkan/menaruh dompet atau kunci. Orang yang mengidap Alzheimer akan meletakkan segala sesuatu pada tempat yang tidak sewajarnya, contoh: meletakkan gosokan di dalam freezer atau meletakkan jam tangan di dalam mangkuk gula.

8. Perubahan mood atau tingkah laku.

Setiap orang dapat menjadi sedih dari waktu ke waktu. Seorang yang mengidap Alzheimer menampilkan mood yang tidak tentu/berubah-ubah dari tenang menjadi ketakutan kemudian menjadi marah tanpa ada alasan yang jelas.

9. Perubahan kepribadian.

Kepribadian seseorang wajar mengalami perubahan seiring dengan usia. Namun seorang yang mengidap Alzheimer dapat sangat berubah , menjadi benar-benar kacau, penuh kecurigaan, ketakutan atau menjadi bergantung pada anggota keluarga.

10.Kehilangan inisiatif.

Lelah akibat pekerjaan rumah, aktivitas bisnis, atau kewajiban sosial sesekali waktu adalah wajar. Namun demikian, orang yang mengidap Alzheimer dapat menjadi pasif, duduk di depan televisi selama berjam-jam, tidur lebih dari biasanya atau tidak ingin melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.


(33)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

1. Stadium awal

Penderita pada stadium awal menunjukkan gejala kesulitan dalam berbahasa, mengalami kemunduran daya ingat secara bermakna, disorientasi dalam waktu, tersesat di tempat yang dikenal, sulit membuat keputusan, kehilangan inisiatif dan motivasi, menunjukkan gejala depresi dan agitasi, dan kehilangan minat dalam hobi dan aktivitas.

2. Stadium menengah

Penderita pada stadium menengah menunjukkan gejala mudah lupa yang sering terutama pada peristiwa baru dan nama orang, tidak dapat mengelola kehidupan sendiri, sangat bergantung pada orang lain, membutuhkan bantuan untuk kebersihan diri, makin sulit berbicara, mengalami masalah dalam mengembara ( wondering ) dan beberapa gangguan perilaku, tersesat di rumah sendiri, dan dapat menunjukkan halusinasi.

3. Stadium akhir

Penderita pada stadium akhir menunjukkan gejala ketidakmandirian yang total, tidak mengenali lagi anggota keluarganya, sulit memahami dan menilai peristiwa, tidak mampu menemukan jalan di sekitar rumah sendiri, kesulitan berjalan, mengalami inkontinensia buang air kecil dan besar, menunjukkan perilaku tidak wajar di masyarakat, dan akhirnya bergantung pada kursi roda atau tempat tidur.

E. Coping Stress pada Caregiver Penderita Alzheimer

Pada saat lanjut usia, orang akan mengalami beberapa perubahan yaitu perubahan fisik, kogntif , dan sosioemosional (Santrock, 1995). Perubahan kognitif yang terjadi pada lanjut usia akan mengalami gangguan kognitif yang sering diistilahkan dengan kepikunan.


(34)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Gangguan kognitif ini juga dapat disebut dengan Demensia. Demensia merupakan kekurangan fungsi kognitif secara progresif yang banyak muncul pada lanjut usia. Salah satu bagian dari Demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyakit Alzheimer biasa terjadi pada usia 65 tahun.

Penyakit Alzheimer merupakan jenis penyakit penurunan fungsi otak yang kompleks dan progresif (Wikipedia Indonesia). Gangguan otak pada penyakit Alzheimer ditandai dengan penurunan pada perhatian, memori, dan kepribadian (Sarafino, 2006). Penderita penyakit Alzheimer akan mengalami beberapa tanda masalah pada stadium awal yaitu kehilangan Short Term Memory, pembelajaran dan penerimaan informasi, pemikiran abstraktif, penilaian dan perencanaan, kemampuan bahasa, dan kontrol diri. Perubahan-perubahan yang dialami penderita penyakit Alzheimer akan membutuhkan seseorang untuk merawat yang biasa disebut caregiver. Caregiver dapat berada pada sebuah institusi yang khusus di bidang penyakit Alzheimer dan keluarga terdekat dari penderita penyakit Alzheimer seperti istri, anak perempuan, dan lainnya. Kebanyakan para penderita penyakit Alzheimer akan tinggal di rumah dan menerima perawatan dari keluarga mereka (Sarafino, 2006).

Tingkah laku penderita penyakit Alzheimer semakin bermasalah selama peningkatan penyakitnya dan dapat meningkatkan stres dalam keluarganya (Sarafino, 2006). Tingkat keparahan dari kerusakan kognitif dan masalah perilaku yang dialami oleh penderita Alzheimer dapat menjadi pengaruh yang besar dalam kesehatan caregiver (Berk, 2007). Keluarga yang berperan menjadi caregiver akan beresiko mengalami masalah fisik dan kesehatan mental serta kematian yang lebih cepat jika ia memberikan kapasitas yang berlebihan dalam caregiving (Schultz&Beach, Sovensen&Pinquart, 2005 dalam Berk 2007). Caregiver tidak mengalami bentuk stress yang secara signifikan yang sama. Hal ini


(35)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

tergantung pada usia, keadaan yang terjadi, hubungannya dengan penderita dan sumber yang ada (Harper dan Lund, 1990 dalam Papalia&Sterns, 2002).

Caregiver penderita penyakit Alzheimer lebih banyak menghabiskan waktu untuk memberikan perawatan dan mengalami stres yang lebih banyak daripada caregiver penderita penyakit lainnya (Ory et al, 2000). Pada saat mengalami stres, orang akan mencari dan menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan stresnya atau disebut dengan coping stres ( Sarafino, 2006).

Coping stres adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan antara tuntuan dan sumber yang muncul pada situasi stresful. Usaha coping dapat diartikan dengan memperbaiki masalah dan dapat juga membantu seseorang merubah pandangannya terhadap kesenjangan, menerima ancaman, atau menghindar dari situasi (Sarafino, 2006).Coping stres memiliki dua fungsi yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping.

Emotion-focused coping adalah usaha untuk mengatur respon emosional karena situasi stresful (Sarafino, 2006). Menurut Folkman dan Lazarus dalam emotion-focused coping mempunyai strategi coping yang spesifik yaitu self control adalah usaha untuk mengatur perasaan seseorang, distancing adalah usaha untuk melepaskan diri dari situasi yang stresful, positive reappraisal adalah usaha untuk mendapatkan makna yang positif dalam pengalaman, accepting responsibility adalah usaha untuk membenarkan peran sendiri dalam suatu masalah, dan escape / avoidance adalah usaha untuk menghindar dari masalah dengan makan, minum, merokok, menggunakan obat, dan lainnya (Taylor, 2003).

Sedangkan problem-focused coping adalah usaha untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan atau mengembangkan sumber daya pada dirinya (Sarafino, 2006). Menurut Folkman dan Lazarus, dalam problem-focused coping mempunyai strategi coping


(36)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

yang spesifik yaitu confrontative coping adalah usaha yang agresif untuk mengubah situasi, seeking social support adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari informasi dari orang lain, dan planful problem solving adalah usaha untuk fokus pada masalah dan mencari pemecahan masalahnya (Taylor, 2003).


(37)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Perubahan Fisik Perubahan Kognitif Perubahan

Sosioemosional Demensia

Alzheimer

Masalah Spesifik Penyakit Alzheimer: - Perhatian

- Memori

- Kepribadian

Ditangani oleh :

Formal : Dokter, psikiater Caregiver Stres Coping Stress Emotion-focused coping Problem-focused coping Keluarga (istri)

Demensia Vaskuler Demensia karena kondisi

medis :Penyakit HIV,Trauma kepala,Penyakit

Parkinson,Penyakit Pick,Penyakit Creutzfeldt-Jakob

- Self control - Distancing

- Positive reappraisal

- Accepting

responsibility - Escape/avoidance

- Confrontative coping

- Seeking social

support

- Planful problem

solving Lanjut Usia

Ket :

Area Penelitian :

Informal

Objective stresssor

Subjective stressor


(38)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penelitian Kualitatif

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.

Sejalan dengan definisi tersebut Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2006) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. Menurut Moleong (2006), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara keseluruhan, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Pemilihan metode penelitian kualitatif menjadi metode dalam penelitian ini karena peneliti ingin melihat pengalaman subjektif seorang caregiver yang merupakan keluarga dari penderita penyakit Alzheimer, bagaimana pengalaman stres mereka dan strategi coping yang digunakan untuk mengatasi stres mereka selama menjadi caregiver. Perbedaan strategi coping yang digunakan oleh setiap orang untuk mengatasi stres juga merupakan alasan peneliti mengapa menggunakan metode penelitian kualitatif, hal ini sesuai dengan fungsi dan


(39)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

pemanfaatan kualitatif yaitu dapat melihat sesuatu secara mendalam, memahami isu-isu yang sensitif, dan isu-isu yang rumit.

B. Subjek Penelitian

1. Karakteristik subjek penelitian

Adapun karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian telah disesuaikan dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah :

1. Caregiver penderita penyakit Alzheimer pada stadium menengah dan akhir yang merupakan istri dari penderita.

Penderita Alzheimer pada stadium menengah dan akhir akan mengalami peningkatan gangguan perilaku, ketergantungan dalam aktivitas sehari-hari, dan penurunan fungsi kognitif. Peningkatan pada stadium menengah dan akhir berhubungan dengan peningkatan stres dan gangguan kesehatan mental pada caregiver (Alspaugh, Stephens, Townsend, Zarit, & Greene, 1999; Aneshensel et.al., 1995; Walker, Acock, Bowman, & Li, 1996; Zarit, Todd, & Zarit, 1986). Sekitar 40% caregiver disediakan oleh pasangan suami atau istri yaitu 14% oleh suami dan 26% oleh istri (Harris, 1993 dalam Barrow, 1996).

2. Jumlah subjek penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), penelitian kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah subjek yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah subjek yang akan diambil dalam penelitian ini adalah dua orang.


(40)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

3. Teknik pengambilan subjek

Prosedur pengambilan subjek dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Subjek dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (dalam Poerwandari, 2001).

4. Lokasi penelitian

Penelitian akan dilakukan di Kota Medan, karena terdapat alasan kemudahan bagi peneliti dalam menemukan sampel, mengingat peneliti juga berdomisili di Kota Medan sekaligus menghemat biaya penelitian. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan disesuaikan dengan keinginan dari subjek penelitian agar subjek merasa nyaman.

C. Metode Pengumpulan Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006) sumber utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini dapat dicatat melalui perekaman suara atau melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistik. Pencatatan sumber data utama dapat dilakukan dengan wawancara dan observasi yang merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Dalam penelitian yang dilakukan, peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan wawancara.

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh


(41)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

pengetahuan makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara menggunakan petunjuk umum wawancara. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan. Demikian pula penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk wawancara dalam hal tertentu tidak boleh dilakukan sebelumnya. Petunjuk wawancara hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup. Pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks wawancara yang sebenarnya (dalam Moleong, 2006)

D. Alat Bantu Pengambilan Data

Menurut Poerwandari (2001), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara dan alat perekam.

1. Pedoman wawancara

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah


(42)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

dibahas atau ditanyakan (dalam Poerwandari, 2001). Tema yang akan digunakan pada pedoman wawancara adalah mengenai perasaan caregiver pada dampak penyakit yang ditimbulkan oleh penderita, pengalaman stres yang dialami oleh caregiver, dan strategi coping yang digunakan oleh caregiver.

2. Tape recorder

Tape recorder ini akan digunakan untuk merekam wawancara yang dilakukan sehingga semua data penting yang diungkapkan subjek tidak ada yang terlupakan. Rekaman wawancara berguna untuk verbatim sehingga mempermudah dalam melakukan pengkodean dan analisis data. Penggunaan tape recorder ini akan dilakukan dengan seizin subjek penelitian (dalam Poerwandari, 2001).

E. Kreadibilitas dan Validitas Penelitian

Dalam penelitian kualitatif dikenal istilah kreadibilitas yaitu istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas yang dimaksud untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kreadibilitas studi kualitiatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001).

Menurut Sarantoks (dalam Poerwandari, 2001) ada empat jenis validitas yang digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu :

1. Validitas Kumulatif

Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa.


(43)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Validitas komunikatif didapatkan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisa pada subjek penelitian. Data-data dan hasil analisa yang diperoleh akan dikonfirmasikan kembali pada sampel penelitian ini adalah pasangan penderita yang berperan menjadi caregiver penderita Alzheimer.

3. Validitas Argumentatif

Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik dan rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

4. Validitas Ekologis

Validitas ekologis menunjukkan pada sejauh mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari partisipan yang teliti, sehingga justru kondisi ”apa adanya” dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian.

Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan beberapa cara untuk meningkatkan kredibilitas penelitian kualitatif antara lain :

1. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan

objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal-hal yang terkait. Peneliti juga perlu menyediakan catatan khusus yang memungkinkan menuliskan berbagai alternatif konsep, skema atau metafora yang terkait dengan data. Catatan ini sangat penting dalam memudahkan mengembangkan analisa dan interpretasi.

2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses,

pengumpulan data dan strategi analisnya.

3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya

sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan terhadap penelitiannya dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk penelitiaanya sendiri.


(44)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

4. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai ”setan” atau

pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan (devil advocate) yang memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisa yang dilakukan peneliti.

5. Melakukan upaya-upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif; pemahaman

kita tentang pola dan kecenderungan yang telah kita identifikasikan akan meningkat bila kita memberikan pula perhatian pada kasus-kasus yang tidak sesuai dengan pola umum tersebut.

6. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking dan rechecking) data,

dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda. Peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisa, dengan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyan tentang data.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong,2000). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisa data.

1. Tahap Pralapangan

Pada tahap ini perispan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2000) yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi dimasyarakat

Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang berhubungan dengan istri yang menjadi caregiver penderita Alzheimer, baik melalui orang-orang sekitar, teman-teman, dosen, artikel, dan internet untuk meyakinkan


(45)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

peneliti mengenai aspek-aspek psikologis yang terjadi pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke. Setelah itu, peneliti merumuskan masalah yang ingin diteliti sesuai dengan fenomena yang diperoleh.

b. Mempersiapkan landasan teoritis

Peneliti mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan Alzheimer, caregiver penderita Alzheimer, dan coping stress

c. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

d. Persiapan untuk pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa orang partisipan yang sesuai denga kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediannya (inform concent) untuk menjadi partisipan. e. Membangun rapport

Rapport juga dilakukan pada responden A dan responden B. Peneliti mengenal responden A dan responden B dari Ayah peneliti yang merupakan dokter suami responden yang menderita Alzheimer.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Peneliti meminta persetujuan partisipan untuk dijadikan partisipan penelitian. Setelah itu, membuat janji pertemuan dan mulai melakukan wawancara. Wawancara akan dilakukan di tempat yang ditentukan oleh subjek penelitian dan akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir, dan peneliti juga akan mencatat bahasa non verbal partisipan ketika wawancara berlangsung.


(46)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Pelaksanaan pengambilan data responden A (Nazwa) dilakukan sebanyak 2 kali yaitu wawancara I dilakukan pada hari Senin, 12 Januari 2009 pada pukul 14.00-16.00 WIB dan wawancara II dilakukan pada hari Kamis, 29 Januari 2009 pada pukul 11.45-13.00 WIB. Pelaksanaan pengambilan data responden B (Duma) dilakukan pada hari Rabu, 4 Februari 2009 pada pukul 14.00-16.00 WIB dan wawancara II dilakukan pada hari Jumat, 20 Februari 2009 pada pukul 14.30-16.00 WIB.

3. Tahap Pencatatan Data

Data yang telah diperoleh dari wawancara dituangkan ke dalam bentuk verbatim berupa tulisan. Sedangkan data yang didapatkan dengan metode observasi berupa data deskriptif berbentuk narasi. Data ini selanjutnya akan dianalisa sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

G. Prosedur Analisis Data

Data akan dianalisis menurut prosedur kualitatif, dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode kualitatif. Menurut Poerwandari (2001) proses analisis data adalah sebagai berikut :

1. Organisasi data secara sistematis untuk memperoleh kualitas data yang baik,

mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

2. Koding dan analisis. Mula-mula peneliti menyusun transkripsi verbatim atau

catatan lapangan sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar sebelah kanan dan kiri transkrip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinu melakukan penomoran pada baris-baris


(47)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

transkrip. Selanjutnya peneliti mulai memberikan perhatian pada substansi data yang telah dikumpulkan.

3. Pengujian terhadap dugaan. Peneliti akan mempelajari data yang kemudian akan

mengembangkan data yang kemudian akan mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan sementara. Pengujian terhadap dugaan berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda mengenai data yang sama, dalam hal ini peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analitis serta memeriksa bias-bias yang mungkin tidak disadari.

4. Strategi analisis. Proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul

dari jawaban atau kata-kata subjek maupun konsep yang dipilih atau dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Kata kunci dapat diambil dari istilah yang dipakai oleh subjek.

5. Interpretasi, yaitu upaya untuk memahami data secara lebih ekstensif dan


(48)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB IV

HASIL ANALISA DATA

A. Responden A

1. Analisa Data

a. Identitas Diri Responden A

Tabel 1. Gambaran Umum Responden A

Keterangan Responden A

Nama Nazwa

Usia 71 tahun

Agama Islam

Suku Mandailing

Pekerjaan Pensiunan Guru Sekolah Dasar

Pendidikan Terakhir Sarjana Muda Bahasa Inggris

Jumlah Anak 8 orang

Lama menjadi caregiver 5 tahun

Responden A dalam penelitian ini bernama Nazwa sebagai primary caregiver yang merupakan istri dari penderita penyakit Alzheimer. Nazwa berusia 71 tahun dan bertempat tinggal di Kota Medan. Responden yang berkulit putih ini memiliki tinggi badan 153 cm dan


(49)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

berat badan 65 kg. Nazwa sudah menjadi primary caregiver suaminya yang menderita penyakit Alzheimer semenjak tahun 2004 hingga sekarang tahun 2009.

Responden menikah dengan Raffi yang bersuku Aceh selama 54 tahun sejak tahun 1955 hingga saat ini tahun 2009. Nazwa memiliki delapan orang anak yaitu lima orang perempuan dan tiga orang laki-laki. Keempat orang anak Nazwa bertempat tinggal di Medan, dua orang di Jakarta, satu orang di Amerika, dan satu orang lagi di Kalimantan. Anak-anak Nazwa sudah menikah dan telah memiliki anak kecuali putra keenamnya yang memiliki keterbelakangan mental dan bertempat tinggal bersama responden hingga saat ini.

Responden merupakan pensiunan guru Sekolah Dasar di Sumatera Utara. Ia mulai pensiun semenjak tahun 1980 karena harus pindah ke Jakarta bersama suaminya yang pindah kerja di sana. Responden pernah menjadi guru di Kota Medan, Tapanuli, Siantar, dan daerah Sumatera Utara lainnya. Nazwa merupakan Sarjana Muda Bahasa Inggris. Semenjak ia pensiun, ia mengisi waktu luangnya dengan mengikuti kursus seperti kursus menjahit, memasak, dan lainnya. Ia juga beberapa kali melanjutkan sekolah di Perguruan Tinggi dalam bidang pendidikan di Jakarta.

Nazwa sudah bertempat tinggal di Medan selama 48 tahun semenjak ia lahir. Ia pindah ke Jakarta dan tinggal bersama keluarganya selama 13 tahun karena tuntutan pekerjaan suaminya. Ia juga pernah tinggal di Aceh tempat kelahiran suaminya selama 10 tahun. Sekarang ia bertempat tinggal di rumah yang bersebelahan dengan rumah salah satu anaknya di Medan.

Saat ini Nazwa banyak menghabiskan waktunya di Rumah Sakit Permata Bunda di Medan selama beberapa hari karena suaminya yang harus diopname. Ia hanya pulang jika pakaiannya yang di Rumah Sakit sudah habis dan harus diganti. Selama di sana ia selalu bercerita pada perawat dan hampir mengenal semua perawatnya. Untuk mengisi waktu


(50)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

luangnya ia sering ke kantin di Rumah Sakit tersebut dan bercerita dengan keluarga pasien lainnya yang juga dirawat di Rumah Sakit tersebut.

b. Identitas Diri Penderita Alzheimer

Tabel 2. Gambaran Umum Suami Responden A

Keterangan Responden A

Nama Raffi

Usia 75 tahun

Lama menderita Alzheimer 5 tahun

Kategori Stadium Alzheimer Stadium Akhir

Raffi merupakan suami dari Responden yang menderita penyakit Alzheimer semenjak lima tahun lalu dari tahun 2004 hingga saat ini. Raffi yang bersuku Aceh saat ini berusia 75 tahun dan merupakan pensiunan dari salah satu perusahaan perminyakan di Indonesia.

Saat Raffi masih menikah dengan Nazwa, ia pernah menyakiti hati Nazwa karena ia sering berpacaran dengan wanita lain. Istrinya mengetahui hal ini dan membuat Nazwa merasa kesal dan marah. Tetapi mereka masih menikah hingga sekarang dan tidak bercerai. Hubungan Raffi dan Nazwa kurang harmonis dan banyak masalah karena perilaku Raffi yang sering berpacaran.

Awal Raffi terkena penyakit Alzheimer ketika ia selesai makan tape yang sangat banyak di sebuah pesta saudaranya di Jakarta. Setelah acara itu, Raffi mulai berbicara-bicara yang tidak jelas dan berulang-ulang. Kemudian Raffi dibawa ke Rumah Sakit di Jakarta untuk diperiksa dan Raffi dikatakan oleh dokter menderita penyakit Alzheimer dan memorinya akan hilang semua.

Semenjak itu Raffi sudah tidak ingat lagi dengan istri dan anak-anaknya yang dikatakan sebagai teman baiknya dan saudaranya kecuali pada anak pertama yang tinggal di


(51)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Amerika ia masih mengingatnya. Ketika anak pertamanya datang ke Jakarta Raffi masih ingat dengannya dan menyebutkan nama anaknya. Raffi juga selalu berbicara bahasa Inggris dan Aceh kepada semua orang di Rumah Sakit tersebut tetapi pembicaraanya tidak pernah sesuai dengan tujuannya.

Raffi juga sudah tidak dapat lagi melakukan aktivitas sehari-harinya seperti mandi atau berpakaian secara sendiri. Semua aktivitasnya harus dibantu oleh orang lain. Selama delapan bulan terakhir ini, Raffi sudah tidak dapat melakukan aktivitas lain selain di tempat tidur karena ia tidak dapat bergerak lagi dan hanya di tempat tidur. Ia juga susah untuk melakukan pembicaraan dengan orang lain. Raffi sudah beberapa kali dirawat di Rumah Sakit karena harus opname dimana kondisi Raffi sudah kurang membaik. Menurut laporan dokter yang memeriksa Raffi, saat ini Raffi pada stadium akhir dari stadium penyakit Alzheimer.

2. Observasi Umum Responden A

Tabel 3. Waktu Wawancara Responden A

No. Responden Hari/Tanggal

Wawancara

Waktu Wawancara Tempat

Wawancara

1. Nazwa 12 Januari 2009 14.00 – 16.00 WIB Di Rumah Sakit

Permata Bunda

2. Nazwa 29 Januari 2009 11.45 – 13.00 WIB Di Rumah Sakit

Permata Bunda

Peneliti mengenal Nazwa dari Ayah peneliti yang merupakan dokter dari suami Responden yang menderita penyakit Alzheimer. Nazwa juga merupakan nenek kandung dari teman peneliti sejak Sekolah Dasar sehingga peneliti juga sudah mengetahui tentang keluarga responden sejak dahulu. Tetapi peneliti dengan responden belum pernah bertemu dan berkenalan.


(1)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Menurut Harper dan Lund (1990), mengatakan bahwa caregiver tidak mengalami bentuk stres yang signifikan tergantung kepada hubungannya dengan penderita Alzheimer yang merupakan suami dari Responden A.

Sedangkan pada Responden B yang mengalami stress berasal dari penurunan kognitif yang dialami oleh suaminya. Hal ini dilihat dari ingatan suaminya menurun yang selalu bertanya hal yang sama secara berulang-ulang kepada Duma. Duma masih berharap bahwa ingatan suaminya akan kembali seperti semula atau semakin membaik lagi. Ia terus berusaha dan mencari cara agar ingatan suaminya yang dapat kembali lagi seperti semula dengan melatih suaminya untuk berinisiatif sendiri melakukan aktivitas sehari-harinya.

Menurut penelitian Pruchno dan Resch (1989), mengatakan bahwa strategi coping dengan pengharapan akan meningkatkan depresi pada caregiver penderita Alzheimer. Sedangkan penurunan kognitif yang dialami oleh penderita Alzheimer akan semakin menurun secara perlahan yang biasanya tampak dalam waktu lima tahun mendatang (Bayer&Reban, 2004).

Duma merasa sedih ketika melihat anggota keluarganya yang tidak menghargai lagi suaminya Duma karena kondisi Duma yang sudah tidak aktif lagi seperti dulu. Duma juga sudah tidak dapat berdiskusi dan bercerita lagi kepada suaminya karena kondisi ingatan suaminya yang tidak ingat lagi dengan cerita yang ada. Hal ini membuat Duma sedih dan merasa bahwa ia sudah tidak ada lagi kawan berbaginya di rumah. Ia merasa bahwa hanya fisik suaminya saja yang ada tetapi nyawa suaminya tidak ada di rumah.

Hal ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya simtom depresi pada istri yang menjadi caregiver suaminya yang menderita penyakit Alzheimer. Kurangnya kedekatan dalam perkawinan dan melakukan aktivitas bersama seperti saling bercerita akan meningkatan stres pada istri yang menjadi caregiver (Hooyer dan Roodin, 2003).


(2)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan kedua responden ditemukan bahwa kedua responden hanya mengetahui sedikit informasi tentang penyakit Alzheimer. Nazwa hanya mengetahuinya dari dokter yang pertama memeriksa suaminya di Jakarta dan yang ia ketahui bahwa memori suaminya yang akan menurun dan fisik suaminya tidak mengalami kelumpuhan. Sedangkan Duma mengetahui informasi mengenai penyakit Alzheimer dari brosur yang ia baca di ruangan dokter yang merawat suaminya. Ia mengetahui tentang memori yang menurun dan bagian syarafnya yang terkena.

C. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

a. Saran Penelitian Lanjutan

1. Dalam penelitian selanjutnya diharapkan agar lebih menggali informasi tentang hubungan caregiver dengan penderita Alzheimer dan dukungan sosial yang didapatkan dari keluarga caregiver

2. Peneliti perlu melakukan wawancara dengan anggota keluarga yang terkait seperti anak dari caregiver penderita Alzheimer yang merupakan pasangan penderita Alzheimer agar lebih mendapatkan data yang akurat

b. Saran Praktis

1. Bagi responden sebagai primary caregiver penderita Alzheimer

Responden yang berperan sebagai primary caregiver penderita Alzheimer untuk menemukan metode coping yang tepat dengan melihat dan mendengar metode


(3)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

meningkatkan stres dan mengalami faktor resiko yang ada. Disarankan juga bagi responden untuk mengetahui informasi mengenai penyakit Alzheimer.

2. Bagi keluarga responden caregiver penderita Alzheimer

Pihak keluarga juga dapat memberikan dukungan sosial kepada pasangan penderita yang berperan sebagai caregiver penderita Alzheimer. Disarankan bagi keluarga untuk menerima dan mengerti gejala yang muncul pada penderita Alzheimer seperti penurunan kognitif, ketergantungan melakukan aktivitas sehari-hari, dan gangguan perilaku.

3. Bagi yayasan, lembaga, rumah sakit dan praktisi kesehatan yang berada dalam bidang Alzheimer dan menangani penderita Alzheimer

Bagi institusi yang berada dalam bidang Alzheimer dapat membuat program yang dapat mengatasi stress pada caregiver penderita Alzheimer seperti support group agar para caregiver memiliki perkumpulan dan melihat pengalaman caregiver lainnya. Program ini disarankan untuk memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan oleh caregiver penderita Alzheimer .

4. Bagi masyarakat luas

Masyarakat luas dapat memberikan dukungan positif yang dapat mengurangi stres pada caregiver penderita Alzheimer. Disarankan juga agar masyarakat dapat memahami dan mengerti gejala yang timbul pada penderita Alzheimer.


(4)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

Alzheimer , [on-line]

tanggal 15 Februari 2008).

Adesla, V. (2007). Alzheimer: Anda Yakin Anda Tahu Alzheimer, [on-line]

Barrow, G.M. (1996). Aging, the Individual, and Society 6th edition. Amerika: West

Publishing Company.

Bayer, A & Reban, J. (2004). Alzheimer’s Disease and Related Conditions. Czech: MEDEA-Press.

Birren, J.E & Schaie, K.W. (1990). The Psychology of Aging 3rd edition. Amerika: Academic

Press,INC.

Caregiver, [on-line]

(Diakses tanggal 2 Januari 2009)

Dacey, J.S & Travers, J.F. (2002). Human Development Across The Lifespan 5th edition. New

York: The Mc-Graw Hill Companies

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) – 4th edition – Text Revision,


(5)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Dimatteo, M.R. (1991). The Psychology of Health, Illness, and Medical Care. Amerika: Brooks/Cole Publishing Company.

Hoyer, W.J & Roodin, P.A. (2003). Adult Development and Aging 5th edition. New York:

McGraw-Hill.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan.Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan, edisi 5. Jakarta: Penebit Erlangga.

Kail, R.V & Cavanaugh, J.C. (2000). Human Development a Lifespan View 2nd edition.

Wadsworth: Thomson Learning

Kusumoputro, S & Sidiarto, L.D. (2004). Mengenal Awal Pikun Alzheimer. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-press).

Koalisi untuk Indonesia Sehat. (2007). Mudah Lupa, Pertanda Terserang Alzheimer,

[on-line]

Moleong. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moonks, P.J & Knoers, A.M.P. (2002) Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Morgan, et al. (1986). Introduction to Psychology. 7th Ed. New York: Mc Graw-Hill.

Neundorfer, McClendon, Smyth & Stuckey. (2001). A Longitudinal Study of the Relationship Between Levels of Depression among Persons with Alzheimer's Disease and Levels of Depression among Their Family Caregivers. The Journals of

Gerontology, Vol 56B.

Poerwandari (2001). Pendekatan Kualitatif dan Penelitian Psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.

Powers, Gallagher-Thompson & Kraemer. (2002). Coping and Depression in Alzheimer's

Caregivers: Longitudinal Evidence of Stability.

Vol.57B.


(6)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Robertson, Zarit, Duncan, Rovine & Femia. Family Caregivers’ Patterns of Positive and Negative Affect. Minneopolis, Vol 56

Sarafino, E.P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. Amerika: John Willey &Sons,INC.

Sjahrir, H. ,Nasution, D., &Rambe, H.H. (1999). Demensia. Medan: USU Press.

Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development edisi 5, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Taylor, S.E. (2003). Health Psychology 5th edition. New York: McGraw-Hill

Wibowo, A.S (2007).

line